• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEBUDAYAAN MASYARAKAT IRARUTU

3.7. Pandangan tentang Alam

Bagi Etnik Irarutu, sebagaimana dikemukakan oleh Rumbarar (http://intsia.wordpress.com/2009) berdasarkan ucapan para tokoh adatnya yang secara sentimentil menyatakan bahwa tanah tidak hanya tempat mencari makan, tapak pijak perjalanan, wadah pengembaraan diri, dan harta. Tanah bagi Etnik Irarutu

menunjuk pada mana seseorang berasal dan kemana akan kembali. Tanah mencerminkan kekuasaan, kewenangan, identitas diri, status sosial, termasuk harapan. Tanah juga berarti kasih sayang, kemulian, kehormatan, penghargaan, dan pengakuan.

Mungkin benar adanya pemahaman masyarakat tentang tanah tersebut. Tetapi itu sudah lalu. Tetapi itu hanya dipunyai oleh tetua adat dan orang-orang segenerasi dengannya. Pemahaman tentang arti tanah sebagaimana dikemukakan diatas tercermin dari pernyataan bapak Yonas 66 tahun yang merupakan ketua adat di satu kampung di wilayah teluh Arguni.

“Tuhan su kasih dong tanah yang subur..terimakasih Tuhan..”

“…di kebun ada tanam kaladi, kasbi, pisang.. kalo tara di

kebun.. sa tokok.. sa pangkur sagu.. itu samua untuk bikin hidup torang pu anak.. dan samua kaluarga..”

“… dulu.. pagi-pagi torang su berangkat ka kebun.. kadang su makan.. kadang belum.. kalo belum, sabantar siang,

torang pu maitua akan antar makan..”

Ungkapan hati dari seorang Yonas menggambarkan tentang kasih sayang Tuhan kepada mahluk ciptaaannya dan kasih sayang dalam keluarga. Ungkapan tersebut juga menggambarkan tanggung jawab kepala keluarga kepada anggota keluarganya. Di dalamnya juga terdapat kemuliaan karena telah mensyukuri karunia ilahi dan merupakan kehormatan karena semua dilakukan dengan tanggungjawab dan kasih sayang untuk keluarga.

Namun sekali lagi, itu nilai-nilai dulu, bukan sekarang. Apa yang menjadi ungkapan hati dari bapak Yonas tidak sama dengan kondisi saat ini. Apa yang kami lihat dilingkungan sekitar tempat orang-orang Irarutu lahir dan dibesarkan, tempat yang diwariskan oleh para leluhur dan tempat untuk mengais penghidupan ternyata jauh dari nilai-nilai yang dimiliki tetua adat dan bapak Yonas. Kebun

yang kaya dengan pohon-pohon bernilai ekonomi seperti kelapa, sagu, coklat, durian, cengkeh dan pala dibiarkan tumbuh liar.

Terkait dengan penggunaan tanah, bapak Yakob, 60 tahun, tetua masyarakat dikampung Jawera juga memberikan kata-kata bijak yang menurutnya harus diperhatikan oleh anak-anak muda yang akan menggantikannya dikemudian hari. Dia mengemukakan bahwa :

“...tanah ini adalah tanah adat, pohon-pohon ini pu hasil dari tanah adat... torang harus hati-hati ambil dong hasil tanah… torang harus hati-hati dong rawat tanah itu adat...”

Bagi kami yang melihat kondisi alam di wilayah ini, kalimat yang diucapkan bapak Yakob tersebut hanya merupakan kata-kata yang sekedar indah didengar. Tidak lebih dari itu. Kebun dan hutan yang ada di wilayah adat kampung Jawera adalah hamparan tanah dengan berbagai jenis tanaman. Tanaman yang tumbuh tanpa sentuhan tangan orang-orang yang hidup mengandalkan hasil tanah tersebut.

Pemuda yang menjadi generasi penerus orang-orang seperti bapak Yonas dan Yakob tidak lagi suka berada di kebun. Mereka tidak punya keinginan untuk mengolah kebun sebagai warisan dan harta yang harus dirawat dan dipelihara dengan hati-hati sebagaimana harapan bapak Yakob. Pemandangan yang kami lihat pada kehidupan masyarakat di kampung Jawera, kebun adalah orang tua dan orang-orang kampung adalah anak yang hanya bisa meminta saja. Kalau perlu uang untuk makan dan untuk kebutuhan hidup lainnya, mereka akan mengambil semua hasil kebun yang bisa diambil.

Tentang keengganan pemuda untuk pergi berkebun, Ruben, 23 tahun, bapak muda yang baru dikaruniai anak berusia 4 tahun, beralasan bahwa saat ini para pemuda sedang mengerjakan proyek perbaikan kampung yang didanai pemerintah daerah.

“...dorang sekarang sedang sibuk kerja”

Memang benar adanya bahwa saat ini masyarakat kampung sedang mengerjakan pembangunan irigasi yang merupakan program pemberdayaan kampung dan kelurahan (P2K). Suatu bentuk pembangunan berbasis kampung sebagai strategi pembangunan kabupaten Kaimana.

Jarak yang menurut kami “jauh” antara kampung dengan lokasi kebun, nampaknya bukan alasan bagi masyarakat khususnya generasi muda untuk tidak merawat dan melindungi kebun. Ketika kami bersama-sama pergi melihat kebun, mereka berkata dengan entengnya bahwa jaraknya dekat saja. Padahal kami sudah bercucur keringat saat menempuh perjalanan menuju ke lokasi kebun.

Hal ini perlu dilakukan agar kebun bisa memberikan hasil yang baik dan tidak terbengkalai menjadi sekedar tumpukan tanaman. Salah satu alasan mengapa remaja kampung enggan merawat kebun adalah seperti apa yang dikemukakan oleh bapak Paulus.

“..para generasi muda di kami pu kampung ini kurang pu semangat kelola kebun..padahal kalo mau kelola.. hasil kebun disini bagus..”

“.. jangankan kelola kebun.. untuk sekolah saja, kami pu anak-anak tidak ada semangat.. padahal itu untuk masa depan dia..”

Kondisi tersebut ditunjang dengan masuknya bahan makanan berupa beras dari tanah seberang Papua. Beras yang dapat diperoleh dengan relatif “mudah” membuat masyarakat tidak perlu bersusah payah lagi menokok sagu, menanam ubi, talas dan keladi untuk dikonsumsi. Terkait dengan masuknya beras ke wilayah teluk Arguni, bapak Lapinus, 37 tahun berkomentar sebagai berikut.

“..orang-orang disini sudah diracuni program beras murah.. itu membuat su jarang dorang pi pangkur sagu buat makan.. program raskin su bikin dorang malas.. tara mau susah-susah.. maunya enak saja..”

Untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan masyarakat Kabupaten, Pemerintah daerah Kaimana mempunyai program beras miskin yang dikenal masyarakat dengan nama program raskin. Setiap tiga bulan program raskin ini didistribusikan kepada masyarakat. Satu tumah tangga hanya dapat membeli sebanyak 50 kg dengan harga 70 ribu rupiah. Bagi mereka yang punya uang, kalau beras program sudah habis dikonsumsi, akan membeli beras yang dijual oleh kios yang ada di kampung. Harga beras yang dijual di kios mencapai 150 ribu rupiah untuk 10 kg.

Masyarakat kampung ini lebih suka mengeluarkan biaya yang besaruntuk menikmati sekepal nasi. Kondisi yang cukup ironis, ada tanah yang sangat luas dengan segala jenis tanaman pangan diatasnya namun tidak diolah baik untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Selain kebun dan hutan yang terbentang luas, teluk Arguni juga menyediakan hamparan pantai dan laut untuk masyarakat yang tinggal disekitarnya. Pantai yang terbentang sepanjang teluk Arguni menyediakan berbagai flora dan fauna. Pohon “mangi-mangi” tumbuh berjajar menjadi pagar alam bagi kampung Jawera dari terpaan angin laut. Sejenis pohon bakau ini tampak menjadi benteng yang akan melindungi batas garis pantai dari kikisan ombak. Namun apakah masyarakat di kampung ini sadar tentang fungsi alaminya? Sebab kami melihat hasil penebangan liar pohon

mangi-mangi berupa tumpukan potongan kayu. Kayu yang akan

dimanfaatkan penduduk kampung sebagai kayu bakar.

“..torang banyak potong itu kayu mangi-mangi... kayu

mangi-mangi pu api boleh.. itu kayu mengandung minyak sehingga boleh kalo dibakar..”

“.. coba dong lihat (sambil menunjuk tumpukan potongan kayu mangi-mangi di dermaga kampung) itu kayu akan dibawa turun untuk dijual..”

Demikian komentar Philipus, 24 tahun, bercerita tentang pemanfaatan pohon magi-mangi, sambil duduk menikmati terbitnya matahari di dermaga kampung. Penduduk kampung banyak menggunakan kayu mangi-mangi sebagai kayu bakar di rumah. Pembakaran yang bagus dari kayu ini, mengakibatkan kayu mempunyai nilai ekonomi. Penduduk kampung seringkali memotong pohon dan menjual kayunya ke kota sebagai upaya memenuhi permintaan kebutuhan kayu bakar yang berkualitas. Apakah kayu mangi-mangi tidak akan punah kalau selalu diambil kayunya? Demikian logika sederhana yang muncul dibenak tentang penebangan kayu yang dilakukan penduduk. Dengan tenangnya Olif, 32 tahun berkomentar:

“...tara bisa.. kayu mangi-mangi tara bisa habis.. walau

kayu mangi-mangi dong potong.. dong ambil satiap hari.. kayu tara mungkin habis..”

“…pohon mangi-mangi di sini tumbuh cepat.. itu yang duri-duri di bawah pohon akan menjadi pohon baru..”

Untuk saat ini pohon mangi-mangi memang masih tumbuh lebat disepanjang pantai kampung yang dihuni oleh sekitar 50 keluarga. Tidak mengherankan kalau Philipus dan Olif yang berpendidikan SMP tidak keberatan dengan kegiatan penebangan kayu oleh penduduk. Dalam pikiran mereka, pohon itu nanti akan tumbuh dengan sendirinya sebagai proses alamiah. Sedih juga mengetahui mereka dan sepertinya kebanyakan penduduk di kampung, tidak berpikir tentang keberlangsungan pohon

Selain untuk diambil kayunya, keberadaan hutang

mangi-mangi ini merupakan tempat bagi penduduk untuk menangkap

karaka, istilah masyarakat terhadap kepiting. Untuk beberapa daerah, karaka adalah bahan makanan yang berharga mahal. Nelayan di kampung Tugarni masih di wilayah teluk Arguni menjadikan karaka sebagai komoditi. Mereka menangkap karaka dalam jumlah banyak untuk dikirim ke berbagai kota besar di Indonesia seperti Makasar, Surabaya dan Jakarta.

“...Kalau mau cari karaka.. dong bisa cari di sekitar mangi-mangi.. dong su pasti dapat banyak karaka”

Demikian komentar Yulianus, 28 tahun tentang mudahnya mendapatkan karaka di wilayah mereka. Semua penduduk kampung tahu benar dengan kondisi tersebut. Hanya saja, walau penduduk di kampung Jawera sama-sama tahu tentang potensi tersebut, tapi mereka tidak tertarik untuk menangkap karaka dan menjadikan sebagai komoditi ekonomi.

Memperhatikan segenap potensi alam yang ada dimana setiap orang bisa dengan mudah mendapatkannya, tidak salah kalau penduduk asli merasa tidak perlu khawatir tidak bisa makan yang menjadi kebutuhan utamanya. Tidak terbersit dalam benak mereka bagaimana kondisi ketersediaan bahan makanan seperti ikan, udang, karaka dan hasil tanah mereka lainnya bila terus di eksploitasi.

Para pemuda nampak lebih suka berkumpul dengan sesama. Bersenda gurau bersama, merokok bersama, minum teh dan kopi bersama, bekerja bersama dan makan bersama. Semua hal yang dikerjakan itu tidak lepas dari alunan musik dan lagu. Genre musik dan lagu dari tanah ambon manise merupakan musik dan lagu favorit untuk menemani setiap aktivitasnya. Terlihat nyaman bagi pemuda untuk berada secara bersama-sama dengan teman sebaya dan sepermainan daripada mengolah kebun, hutan,

pantai dan laut yang menyediakan sumber kehidupan buat mereka dan anak cucunya kelak dikemudian hari.

3.8. Bahasa

Dikemukakan oleh Barr and Barr (Ajamiseba, 1994) bahwa di tanah Papua terdapat 234 bahasa. Oleh para linguistik bahasa yang ada di Papua diklasifikasikan kedalam dua golongan, fila bahasa melanesia dan fila bahasa non melanesia. Masuk dalam kelompok fila bahasa melanesia karena penutur bahasa meliputi derah persebaran yang disebelah Barat dibatasi oleh bahasa Madagaskar, Utara oleh bahasa Taiwan, sebelah Timur oleh pulau Paskah Polinesia dan di sebelah Selatan dibatasi oleh bahasa kepulauan Melanesia. Sedangkan kelompok bahasa non melanesia adalah bahasa khas Papua dan tidak mempunyai hubungan linguistik dengan bahasa diluar Papua dan Papua Niugini. Dari 234 bahasa yang terdapat di papua, 43 bahasa diiantaranya termasuk dalam kelompok bahasa melanesia. Semua bahasa ini terdapat di dekat pantai dan tidak ditemukan di daerah pedalaman. Sedangkan kelompok bahasa non melanesia yang sering disebut “bahasa papua” akan dapat dijumpai di daerah pantai dan juga didaerah pegunungan.

Gambaran mengenai keanekaragaman bahasa di papua dapat diperoleh dengan mempelajari beberapa sumber. Dalam Ajemiseba (1994) dikemukakan bahwa sumber informasi tentang bahasa di Papua antara lain, peta bahasa pada tulisan yang dibuat oleh Galis, atlas bahasa susunan Salzner, daftar bahasa-bahasa Irian Jaya susunan Voorhoeve , index Summer Institute of Linguistics dan dalam atlas bahasa-bahasa pasifik susunan Wurm dan Shiro Hattori.

Bahasa Irarutu menurut index of Irian Jaya Languages (Ajamiseba, 1994) adalah bahasa yang termasuk phylum

Austronesia-Melanesia. Jumlah penutur bahasa Irarutu menurut Voorhoeve (Ajamiseba, 1994) terdiri dari kira-kira 6000 penutur. Lebih jauh tentang penggunaan bahasa Irarutu, sebagaimana terdapat pada http://manweer.wordpress.com/2009 mengemukakan bahwa secara mayoritas dalam penggunaan Bahasa Irarutu ada terdapat tiga dialek Utama meskipun ada dialek yang sedikit berbeda juga di daerah Babo yang tersebar di kampung-kampung di Teluk Arguni.

Bahasa Irarutu merupakan kelompok bahasa yang terdapat di Arguni dan Babo sebelah Barat daya di leher burung Papua. Bahasa Irarutu digunakan oleh masyarakat yang bermukim di daerah Pesisir pantai Teluk Arguni hingga ke Pantai pesisir Selatan Teluk Bintuni. Kata Iraru memiliki arti suara atau bahasa dan tu adalah derivasi dari fitu yang berarti benar. Dalam pandangan masyarakat lokal bahwa dunia ini berawal dari wilayah bahasa Kuri/Nabi. Sehingga Irarutu berarti bahasa asli yang benar atau suara asli yang benar.

Para ahli linguistik sudah banyak mengetahui struktur bahasa Austronesia pada umumnya dan Melanesia pada khususnya. Ciri-ciri umum bahasa Melanesia antara lain struktur klausa yang tata urutnya adalah predikat – subjek – objek (PSO) atau subjek – predikat – objek (SPO) dengan kata kerja yang strukturnya sederhana. Bahasa Irarutu sebagai salah satu bahasa Austronesia-Melanesia memperlihatkan struktur kalimat yang sama dengan struktur bahasa Indonesia.

Susunan Kata menurut SPO (Subjek, Predikat, Objek) pada bahasa Irarutu adalah sebagai contoh berikut.

Orang Jumlah Subjek Predikat Objek

1 tunggal ja ga fas

saya makan nasi

jamak amo ga fas

kami makan nasi

2 tunggal o ge fa ddan

kamu hendak ke kebun

jamak ir ge fa ddan

mereka hendak ke kebun

Selain Bahasa Irarutu yang digunakan bila berkomunikasi dengan sesama orang Irarutu, digunakan juga Bahasa Indonesia bila berkomunikasi dengan orang luar Irarutu. Bahasa Indonesia yang gunakan adalah bahasa Indonesia baku dan Bahasa Indonesia pasaran (tidak baku).

Bahasa Indonesia baku digunakan pada saat acara resmi misalnya saat rapat di kantor, saat kegiatan belajar mengajar di Sekolah, atau kegiatan resmi lainnya. Tetapi Bahasa Indonesia pasaran umumnya digunakan sehari-hari untuk bergaul dengan Etnik bangsa lain yang ikut mendiami wilayah itu, juga dengan sesama mereka. Bahasa pasaran ini mendapat pengaruh dialek, juga kata-katanya pun merupakan pengaruh langsung dari bahasa lokal (Irarutu) setempat. Misalnya orang Jawa, orang Makasar, orang Buton dan lainnya yang mendiami wilayah mereka.

Contoh penggunaan bahasa Indonesia pasaran oleh penduduk Kampung:

“...kamu orang mau pergi kemana?” menjadi “..komorang

mo pigi dimana?”

“...saya mau pergi di lapangan,” menjadi “sa mo pi di

lapangan”.

”...dia orang itu hendak kemana?” menjadi “ dorang itu

mo pi mana?”

“...saya sudah makan,” menjadi “sa su makan”. “...saya sudah minum,” menjadi “sa su minum”.

Cara Menghitung. Dalam melakukan kegiatan menghitung dengan menggunakan bahasa Irarutu, terdapat ciri khusus yang hampir memiliki kesamaan dengan cara berhitung pada Etnik bangsa lain di wilayah Papua lainnya. Cara berhitung dalam kebudayaan Etnik bangsa Irarutu,dikenal adanya tiga macam cara berhitung, yaitu:

1) Menghitung dengan menggunakan Bahasa Indonesia 2) Sistem menggunakan kaki dan tangan

3) Sistem menghitung dengan bagian tubuh.

Namun yang lazim digunakan orang ketika melakukan penghitungan dengan menggunakan bahasa daerah Irarutu dalam kehidupan sehari-hari adalah penghitungan dengan menggunakan kaki dan tangan, digabungkan lagi dengan anggota tubuh beberapa orang. Apabila yang dihitung adalah angka puluhan sampai ratusan, maka dasar penghitungan yang digunakan adalah kembali dari angka 1-10. Belajar berhitung semua angka dalam bahasa Irarutu, selalu didasarkan pada angka 1 – 10. Jika seseorang bisa berhitung angka 1 – 10, maka akan lebih mudah bagi orang tersebut dalam menghitung angka-angkaselanjutnya. Untuk bisa berhitung, hanya digunakan hitungan jari-jari tangan, jari kaki dan bagian tubuh. Bagaimana orang Irarutu melakukan penghitungan, dapat kita lihat pada contoh berikut :

Angka Hitungan dalam

Bahasa Iraru Tu Penjelasan / Arti

1 Eswem -

2 Ru -

3 Tur -

4 Ru e Ru Dua dan dua

tangan)

6 Nine refid -

7 Ru nir refid 2 jari, dan (+) 5 jari tangan

sebelah

8 Tur nir refid 3 jari, dan 5 jari tangan sebelah

9 Ru e ru nir refid 4 jari, dan 5 jari tangan sebelah

10 Fradru Sepasang tapak habis atau ke 2

tangan (kedua jari –jari tangan)

11 Fradru risi eswem Kedua tangan (jari-jari), atau

Sepasang tapak tangan dan 1 (satu) jari

12 Fradru risi ru Kedua` tangan (jari-jari), atau

Sepasang tapak tangan dan 2 jari

13 Fradru risi tur Kedua tangan (jari-jari), atau

sepasang tapak tangan dan 3 jari

14 Fradru risi rue ru Kedua tangan (jari-jari), atau

Sepasang tapak tangan dan 4 jari

15 Fradru risi refid Kedua tangan (jari) atau

sepasang tapak tangan dan 5 jari tangan sebelah

16 Fradru risi nine

refid

Kedua tangan (jari-jari), atau Sepasang tapak tangan dan satu jari, dan 5 jari tangan sebelah

17 Fradru risi ru nir

refid

Kedua tapak tangan, 2 dan 5 jari tangan sebelah

18 Fradru risi tur nir

refid

Kedua tangan (jari-jari), atau satu Sepasang tapak tangan dan satu jari

19 Fradru risi rue ru nir refid

Sepasang tapak tangan, dan 2 dan 5 jari tangan sebelah

tapak kaki dan kedua tapak tangan) : kedua jari-jari kaki tambah kedua jari-jari tangan

21 Matu tni risi eswem Anggota tubuh 1 dan seterusnya

30 Matu tni risi fradru Terdiri dari anggota tubuh (jari

kaki dan jari tangan) 1 orang dan sepasang tapak tangan

40 Matu tni ru Manusia tubuh 2, maksudnya

terdiri dari jari kaki dan jari-jari tangan 2 orang.

Hitungan angka berikut ini hanya tinggal menambah kelebihannya (risi), kemudian dilanjutkan dengan angka atau hitungannya. Demikian seterusnya, hanya ditambah hitungan angka dasar.

Sebagaimana diketahui, di Papua terdapat ratusan etnis yang tersebar di berbagai pelosok daerah. Penggunaan bahasa merupakan satu indikator untuk membedakan satu etnis dengan lainnya. Sebelum penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat Papua, keaneka ragaman bahasa yang menjadi identitas suatu etnis di Papua menjadi penghalang komunikasi antar etnis.

Dikemukakan oleh Ajamiseba (1994) bahwa banyaknya bahasa di papua merupakan penghalang bagi Pemerintah untuk melakukan komunikasi dengan orang asli papua. Beragam bahasa yang digunakan oleh beragam Etnik bangsa tidak mempunyai bahasa tulis. Harusnya bahasa-bahasa tersebut diaksarakan sehingga dapat dipelajari demi kelancaran komunikasi. Kesulitan komunikasi antara Pemerintah dan rakyat papua mengakibatkan tidak sampainya program pembangunan yang dicanangkan Pemerinta. Demikian juga dengan kesulittan komunikasi antar etnis, hal ini memungkinkan terbatasnya mobilitas anggota etnis untuk keluar dari wilayah dimana etnis tersebut berada. Bisa jadi

seringnya perang antar etnis dulu, berawal dari kesulitan komunikasi. Sejak digunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa “lingua franka” oleh masyarakat Papua, bahkan sampai ke wilayah pedalaman, mengakibatkan kesulitan komunikasi antar etnis bisa teratasi.

Penggunaan bahasa Indonesia di Papua, dilihat dari satu sisi memang baik karena berfungsi sebagai bahasa penghubung. Tetapi dilihat dari sisi lain, penggunaan bahasa Indonesia akan membuat bahasa etnis menjadi terancam punah. Ancaman terhadap kepunahan bahasa daerah dari setiap etnis yang ada di papua bukan isapan jempol belaka. Hal ini terjadi karena setiap etnis hanya mengenal bahasa lisan, tidak bahasa tulis.