• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Menetap Orang Irarutu di Teluk Arguni

KEBUDAYAAN MASYARAKAT IRARUTU

3.3. Pola Menetap Orang Irarutu di Teluk Arguni

Penduduk Kaimanapada umumnya tersebar pada daerah kampung-kampung. Penduduk yang bertempat tinggal Distrik Kaimana Kota sebagian besar juga tersebar di daerah kampung-kampung. Sementara ini, merekayang berasal dari Etnik-Etnik lokal masih merupakan penduduk terbesar, walau pendatang dari Maluku, Sulawesi Selatan dan Jawa, mulai menghiasi kota Kaimana. Mereka merupakan penduduk yang bermigrasi secara spontan. Di kota mereka yang hidup membentuk pemukiman bergerombol dalam kantung-kantung pemukiman yang saling terpisah.

Gambaran pola menetap di Distrik Kota Kaimana, tampaknya merupakan cerminan pola pemukiman di wilayah dan Distrik lainnya di Kabupaten Kaimana. Hal yang membedakan dari pola menetap masyarakat di kota dan di Distrik lain adalah homogenitas manusianya. Ada perkampungan yang banyak dihuni oleh orang Seram sehingga dikenal dengan sebutan kampung Seram. Ada perkampungan yang banyak dihuni oleh orang Jawa, Buton, Bugis dan tentunya perkampungan orang-orang asli.

Gambar 3.1.

Lokasi Perkampungan di Wilayah Teluk Arguni Sumber: Dinas Kesehatan Kabupaten Kaimana, 2014

Di Distrik Teluk Arguni, yang merupakan pusat persebaran orang Irarutu, juga membentuk pemukiman menggerombol dalam kampung-kampung di sepanjang garis pantai teluk Arguni. Sebagaimana tampak pada gambar diatas, kampung-kampung yang terdapat di teluk Arguni hampir semua berlokasi di sepanjang pantai atau anak sungai yang bermuara di pantai tersebut. Ini merupakan fenomena umum dalam masyarakat pedalaman, mengingat fungsi sungai tidak hanya sebagai penyedia bahan makanan tetapi juga sebagai penghubung antar kampung. Ketika menuju ke pedalaman di teluk Arguni, kampung yang dapat

dijumpai setelah sampai di Kampung Tanggaromi sebagai pintu masuk antara lain desa Waho, Koy, Wanama, Inari. Keempat desa ini kebanyakan dihuni oleh orang-orang Kambrau yang juga menempati teluk Arguni di bagian sebelah Selatan. Dibagian sebelah Utara teluk, orang Irarutulah yang banyak bermukim disana. Beberapa kampung yang menjadi pemukiman orang Irarutu antara lain Nagura, Serara, Samun, Ukiara, Tanusan, Mandewa, Jawera dan Waromi. Disebelah Utara lagi masih terdapat kampung Bofuer dan Tiwara sebagai kampung terujung dari teluk Arguni.

Pola pemukiman dari setiap kampung orang Irarutu di pesisir pantai teluk Arguni tidak banyak berbeda. Beberapa kampung yang sempat disinggahi pola pemukimannya tidak banyak berbeda. Pintu masuk dan keluar kampung adalah dermaga. Dari dermaga di tepi pantai, dibangun jalan memanjang ke ujung kampung. Jalan yang ada, terbuat dari bahan semen dengan lebar jalan sekitar 2,5 meter. Rumah penduduk terletak berjejer disebelah kiri dan kanan jalan utama kampung. Kesamaan pola ini memungkinkan terjadi karena memang lingkungan geografi yang sama, etnis yang sama dan ditunjang oleh program pembangunan dari pemerintah Kabupaten yang cenderung menyamaratakan semua bentuk pembangunan kampung.

Demikian juga halnya dengan pola pemukiman di kampung Jawera. Dermaga, jalan kampung dan saluran irigasi yang ada merupakan salah satu hasil program pembangunan kampung, yang anggarannya berasal dari pemerintah daerah. Program pembangunan kampung semula adalah proyek yang ditenderkan pemerintah daerah kepada pihak ketiga. Pembangunan dermaga, contohnya. Beruntung pihak yang melakukan pembangunan dermaga ini berhasil membangun dengan “baik” sehingga keberadaan dan fungsi dermaga masih bisa dinikmati penduduk kampung. Kalau tidak, maka nasip dermaga ini akan sama dengan yang dibangun di kampung tetangga, yang beberapa tiang

penyangganya sudah roboh. Untuk menciptakan kemandirian masyarakat, program pembangunan kampung kemudian diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat setempat untuk melaksanakannya.

Sedangkan untuk bangunan rumah yang ada saat ini, terdapat tiga bentuk bangunan. Pertama adalah rumah panggung panggung terbuat dari kayu. Rumah ini merupakan pemberian dari perusahaan kayu yang dulu pernah beroperasi di wilayah tanah adat kampung Jawera. Sebagai imbalannya, perusahaan kayu tersebut mempunyai tanggung jawab merekruit penduduk kampung sebagai tenaga kerja di perusahaan dan memberikan fasilitas rumah buat penduduk. Bentuk kedua adalah bangunan rumah semi permanen. Bangunan di bagian bawah terbuat dari tembok dan di bagian atasnya terbuat dari kayu. Lantainya dibuat dari semen. Ruangnya, terdiri dari ruang tamu, dua kamar tidur dan dilengkapi dengan fasilitas kamar mandi dan WC. Inilah rumah bantuan pemerintah daerah yang dibangun dengan tujuan memberikan “rumah sehat” kepada warganya. Ketiga adalah rumah tembok. Model bangunan rumah tembok kebanyakan meniru bangunan yang ada di perkotaan dan dibangun dengan pembiayaan sendiri. Karena bahan baku untuk membangun rumah seperti batu dan pasir tidak tersedia di lingkungan kampung maka banyak di antara rumah tembok ini belum selesai dengan sempurna. Untuk atap rumahnya, kondisi saat ini, semua rumah di kampung menggunakan seng sebagai atapnya. Penduduk kampung Jawera sudah tidak memanfaatkan atap yang dibuat dari anyaman daun sagu atau daun nipa yang banyak tumbuh di lingkungan kampung.

Gambar 3.2.

Suasana Kampung Jaweradi Wilayah Teluk Arguni. Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut salah satu informan, bentuk rumah yang mereka bangun ditentukan secara turun temurun. Sesuai tradisi, ketika mereka melakukan pembangunan rumah tinggal, setiap orang diwajibkan membangun rumah yang pantas. Tidak ada motif khusus dari bentuk rumah yang mereka bangun untuk dihuni. Ada

bahasa orang tua dahulu berupa pesan moral yang disampaikan

untuk generasi yang masih ada sebelum meninggal dunia. Pesan moral yang terkait dengan pola pembangunan rumah sebagaimana dikemukakan berikut:

“...Bun san”, “Bun san kosi of, bun san kosi roge matu nafi nmit (ftakabya)”, “Bun san nabad fote o gata endi nma nir o nmi.”

(orang tua berpesan membuat rumah, membuat rumah jangan yang kecil, membangun rumah kecil itu orang yang ingin makan sendiri (pelit/kikir), bikin rumah besar agar

kamu punya siapa-siapa (kerabat-kerabat) datang bisa tinggal bersama kamu).

Pesan moral ini memiliki arti yang dalam bahwa ketika orang yang rumahnya kecil maka sesuai hatinya, selalu tertutup, tidak bisa berbagi dengan kerabat-kerabatnya atau siapapun, sehingga rizki atau kebaikannya itu sulit didapatkan, maka orang pun tidak akan datang (berkunjung) atau menempati rumahnya. Sedangkan orang yang baik terbuka rumahnya, dan rumahnya siap menampung kerabat-kerabat yang akan datang dari kampung manapun, sebab tamu (kerabat) yang datang akan selalu membawa rizkinya dan akan berbagi dengan si pemilik rumah.

Kehidupan sehari hari. Kehidupan masyarakat di kampung Jawera tampak berjalan dengan lambat. Saat fajar menyingsing, suasana kampung masih juga sepi. Yang terdengar hanyalah kokok ayam dan kicauan burung yang bertengger di pohon kayu besi, mangi-mangi dan sagu yang mengelilingi perkampungan. Tetapi nampaknya, kicauan burung yang bersautan dan kokok sang jago tidak segera membangunkan penduduk kampung dari lelap tidurnya.

Kehidupan mulai nampak, ketika satu dua penduduk kampung berjalan menuju pantai. Pembicaraan yang mereka lakukan sambil berjalan memberikan tanda bahwa pagi sudah menjelang. Biasanya sejak sekitar jam 06.00. para warga sudah berlalu lalang di jalan kampung menuju ke dermaga. Bapak-bapak, Ibu-ibu dan anak-anak menunggu kedatangan nelayan di dermaga. Menjelang kedatangan perahu nelayan pulang dari menangkap ikan, pantai dimana dermaga tempat long boat sang nelayan bersandar menjadi ramai. Sambil menunggu kedatangan nelayan, dermaga berfungsi sebagai “sumber” informasi tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan warga kampung.

Waktu kedatangan perahu nelayan ini tidak menentu. Kadang sebelum fajar menyingsing para nelayan sudah tiba di

dermaga. Kadang sampai tengah hari, mereka baru sampai. Semua itu bergantung pada kapan mereka berangkat melaut dan utamanya pada pasang surut air laut. Pada saat nelayan sudah merapat di dermaga, hasil tangkapan yang dibawa pulang nelayan akan diletakkan di geladak papan dermaga. Kalau ikan hasil tangkapan tidak terjual karena tidak ada kapal pengepul yang biasa membeli ikan nelayan, semua ikan akan diletakkan begitu saja di dermaga. Warga kampung akan memilih ikan yang masih segar untuk dibawa pulang. Ikan yang dianggap tidak segar akan ditinggal di dermaga dan menjadi makanan anjing. Bahkan bila terlalu banyak ikan yang tidak tidak segar dan ditinggal di dermaga, ikan-ikan tersebut akan membusuk dan menimbulkan bau busuk.

Semua orang boleh mengambil secara cuma-cuma, tanpa harus menggati dengan sejumlah uang. Warga bisa mengambil seperlunya untuk kebutuhan makan. Kadang beberapa warga mengambil gerobak sebagai tempat ikan untuk kemudian dibagi kepada warga yang mau. Tetapi bila para nelayan tidak memperoleh banyak ikan dan tidak bisa memberikan sisa tangkapannya, penduduk seakan bisa memaklumi kondisi tersebut dan pulang dengan tangan hampa. Sesaat keramaian dermaga berlalu, para ibu dan anak sudah kembali ke rumah masing-masing, kehidupan di desa kembali sepi.

Ketika pagi, tampak satu dua ibu menyapu halaman rumahnya. Kaum ibu lebih banyak berada di dalam rumah mempersiapkan anak-anaknya untuk berangkat ke sekolah dan menyiapkan sedikit makanan untuk dikonsumsi pagi hari buat keluarga. Mereka tidak biasa makan saat pagi. Makanan yang dikonsumsi hanya berupa makanan ringan seperti pisang goreng atau kue-kue kering yang ada dijual di beberapa rumah. Keberangkatan anak ke sekolah ini yang membuat kampung sedikit hidup. Pembicaraan yang dilakukan, tawa dan canda anak-anak berangkat ke sekolah terdengar ramai di jalan kampung. Setelah

anak berangkat ke sekolah, tugas ibu selanjutnya adalah mencuci pakaian anggota keluarga dan menyiapkan makan siang dan malam. Sedangkan para Bapak mulai menyiapkan perlengkapan untuk kegiatan harian mereka.

Menjelang siang, mereka yang berkebun, dengan berbekal peralatan mulai berangkat menuju lahan berkebunnya. Tempat mereka berkebun jauh di daerah atas. Demikian juga dengan yang menokok sagu. Dengan menenteng alat tokok dan bekal makanan, minuman dan rokok mereka berangkat ke rawa tempat pohon sagu tumbuh yang lokasinya di belakang kampung. Tetapi kegiatan berkebun dan menokok sagu ini adalah kegiatan yang tidak lagi dilakukan dengan rutin setiap hari. Kebun bagi masyarakat setempat tidak lebih dari lahan untuk mengambil bahan makanan yang tumbuh secara alami. Mereka tidak pernah mengolah dan merawat kebunnya agar nantinya dapat menghasilkan bahan makanan lebih banyak. Kalau ada orang atau keluarga pergi ke kebun ini mengindikasikan bahwa mereka sudah tidak punya perbekalan makan.

Keberadaan matahari diatas kepala membuat setiap orang enggan untuk keluar rumah. Sinar matahari di tanah Papua, termasuk di wilayah Arguni Kaimana, panasnya cukup menyengat. Tidak banyaknya pohon yang ditanam di halaman rumah, atap rumah yang terbuat dari seng kurang mampu memberikan kesejukan buat penghuni yang tinggal didalamnya. Walau hangatnya udara masih dapat dirasakan didalam rumah, tetapi berada didalamnya adalah pilihan yang banyak dilakukan oleh penduduk desa.

Keramaian penduduk desa mulai terasa kembali ketika matahari sudah condong di sebelah Barat. Ibu-ibu mulai menyapu halaman rumahnya. Anak-anak mulai bermain dan berlarian di jalan utama desa. Para remajanya mulai hilir mudik bersama teman sebayanya sambil menenteng handphone sebagai alat untuk

mendengarkan musik. Fungsi handphone di kampung tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya karena memang tidak terdapat sinyal. Bapak-bapak nelayan mulai menyiapkan semua perlengkapan melautnya di di dermaga. Keramaian ini berlangsung sampai matahari tidak tampak lagi.

Mengawali malam, sekitar jam 18.00. diesel pembangkit listrik desa, hasil PNPM Mandiri mulai digerakkan. Kebutuhan minyak untuk menghidupkan diesel diperoleh dengan jalan gotong royong. Setiap rumah tangga setiap bulannya, diharuskan berkontribusi sebanyak Rp. 20.000,-. Bagi mereka yang mempunyai perahu dan usaha lainnya diminta memberi lebih. Dana iuran warga inilah yang kemudian dikumpulkan untuk membeli bahan bakar guna menghidupi diesel. Lampu jalan desa, rumah-rumah penduduk dan beberapa fasilitas desa pun menyala.

Aktivitas warga di malam hari, lebih banyak dilakukan didalam rumah. Kegiatan utama pada malam hari adalah melihat tv yang bisa ditangkap dengan bantuan parabola. Mereka yang tidak punya TV, biasanya melihat di rumah tetangga yang punya TV. Selain itu, kegiatan malan seringkali dihabiskan dengan mendengarkan musik dan lagu. Suara audio tape terdengar kencang dari beberapa rumah. Lagu-lagu dari daerah maluku sepertinya merupakan lagu favorit penduduk desa, paling tidak itulah pilihan mereka yang punya audio tape tersebut.

Gotong royong. Gotong royong yang dapat diartikan sebagai aktivitas bekerja sama dikalangan masyarakat untuk menyelesaikan suatu kegiatan tertentu merupakan identitas masyarakat di wilayah teluk Arguni. Misalnya, ketika kampung Tanusan di wilayah distrik Arguni Bawah mengadakan kegiatan kerja bakti membangun tempat ibadah. Kepala pemerintahan kampung yang biasanya disebut dengan bapak desa akan menginformasikan tentang kegiatannya kepada pemerintahan Distrik dan kampung lainnya. Berdasarkan informasi tersebut,

penduduk kampung lain yang mendengar akan datang membantu kegiatan gotong royong yang sudah diagendakan.

Di Tanusan, pusat pemerintahan Distrik Teluk Arguni Bawah, yang mayoritas penduduknya muslim, sedang membangun Masjid Raya. Pembangunan Masjid tersebut, sepenuhnya merupakan swadaya masyarakat. Mereka yang punya uang sumbang uang, yang punya kayu sumbang kayu, yang punya pasir sumbang pasir, yang hanya punya tenaga sumbang tenaga. Semua anggota masyarakat berkontribusi.

Dalam upaya pembangunannya, sepenuhnya dikerjakan secara gotong royong. Mereka yang bergotong royong bukan hanya penduduk kampung tanusan saja. penduduk di kampung lain ternyata juga hadir untuk bekerja bersama-sama masyarakat Tanusan. Penduduk kampung Jawera yang harus menempuh perjalanan selama 30 menit dengan long boat juga datang untuk bergotong royang membangun Masjid. Berbekal informasi dari radio komunikasi antar kampung bahwa akan ada kegiatan kerja bakti membangun Masjid, kepala kampung Jawera memobilisasi masyarakatnya yang mayoritas beragama Nasrani untuk hadir dan berpartisipasi pada kegiatan tersebut.

Kuatnya nilai-nilai kebersamaan diantara masyarakat Irarutu mampu mengatasi perbedaan yang ada. Sejarah telah membuktikan kuatnya nilai kebersamaan ini. Ketika agama Islam masuk ke masyarakat Irarutu yang menurut hikayatnya dibawa oleh orang-orang Ternate, mereka bisa menerima dengan baik. Demikian juga ketika agama Nasrani dibawa dan masuk bersama orang eropa, orang Irarutupun bisa menerima dengan baik. Karena itu, masyarakat Irarutu saat ini sebagian memeluk agama Islam dan sebagian lagi memeluk agama Nasrani. Perbedaan ini tidak menjadikan orang Irarutu sebagai etnis yang terbelah.

Kembali pada kegiatan gotong royong. Ada tanggung jawab yang melekat di dalamnya ketika suatu kampung

menginformasikan kepada kampung lain tentang kegiatan gotong royong. Tanggug jawab kampung dan warga di dalamnya adalah menyediakan konsumsi selama kegiatan berlangsung dan akomodasi penginapan bila kegiatan berlangsung lebih dari sehari.

Sebagai tuan rumah, masyarakat Tanusan menyiapkan banyak hal untuk terselenggaranya kerja bakti. Karena banyak penduduk dari luar kampung Tanusan yang hadir, warga kampung Tanusan sebagai tuan rumah menyediakan rumahnya sebagai base

camp. Untuk setiap kampung disediakan masing-masing sebuah

rumah sebagai base camp. Setiap orang bisa memanfaatkan keberadaan base camp sebagai tempat istirahat dikala rehat atau untuk kebutuhan lainnya.

Masyarakat Tanusan juga menyediakan semua kebutuhan makan dan minum selama kegiatan kerja bakti berlangsung. Ibu-ibu warga Tanusan telah mengolah dan menyediakan berbagai makanan. Ada nasi, papeda, olahan daging rusa, ikan, sayur dari mentimun dan daun singkong serta kue-kue buatan ibu-ibu.