STUDI KOMPARASI PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK CIPTA
ATAS INSTRUMEN MUSIK TRADISIONAL ANTARA INDONESIA
DENGAN MALAYSIA
Penulisan Hukum
(Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan guna Memperoleh
Derajat Sarjana (S1) dalam Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
AJI RASPATI
NIM. E.0008007
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
PERNYATAAN
Nama : AJI RASPATI
NIM : E.0008007
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul:
STUDI KOMPARASI PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK CIPTA
ATAS INSTRUMEN MUSIK TRADISIONAL ANTARA INDONESIA
DENGAN MALAYSIA adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan
karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukan
dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan saya tidak
benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan
penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum
(skrispi) ini.
Surakarta, 15 Juli 2012
yang membuat pernyataan
Aji Raspati
MOTTO
“Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari suatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain, dan hanya kepada
Tuhanmu-lah hendaknya kamu berharap.”
(Q.S. Al Insyirah : 6-8)
Ketika aku lahir aku menangis dan orang-orang disekitarku tersenyum bahagia, ketika aku mati aku ingin tersenyum bahagia dan dan orang-orang disekitarku menangis.
PERSEMBAHAN
Karya sederhana ini Penulis persembahkan kepada :
1. Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat
dan hidayahnya.
2. Junjungan Nabi Besar Muhammad SAW.
3. Ayah Bundaku tercinta, Bapak Suroso dan
Ibu Rustiyati.
4. Kakak dan Adikku tersayang Rusiana Ika
Puspitasari, S.H. dan Andani Maya Sari
5. Yang terkasih Sayangku Risa Irene.
6. Sahabat-sahabatku yang selalu mendukungku
Rinof, Khrisna, Lutfi, Dedi, Danan, & Guntur.
7. Teman-teman seperjuanganku di Fakultas
ABSTRAK
Aji Raspati, E.0008007. 2012. STUDI KOMPARASI PENGATURAN
PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS INSTRUMEN MUSIK
TRADISIONAL ANTARA INDONESIA DENGAN MALAYSIA. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional, serta mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan antara Indonesia dengan Malaysia.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat deskriptif, dengan mengunakan pendekatan komparatif yaitu membandingkan undang-undang yang terkait dengan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional antara Indonesia dengan Malaysia. Jenis data yang digunakan adalah data sekunder. Sumber data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu studi kepustakaan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan perlindungan instrumen musik tradisional Indonesia diakomodir oleh Pasal 10 dan Pasal 31 ayat (1) (a) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002, di mana negara memegang hak cipta atas folklor dan berlaku tanpa batas waktu. Pengaturan perlindungan instrumen musik tradisional di Malaysia diakomodir oleh Seksyen 3 dan Seksyen 26 (4) (c) Akta Hakcipta 1987 serta dalam Seksyen 2 Akta Warisan Kebangsaan 2005. Kelebihan pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional Indonesia adalah negara memegang hak cipta atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik bersama, hak cipta atas folklor yang dipegang oleh negara berlaku tanpa batas waktu, dan negara memegang hak cipta atas folklor mempunyai fungsi sosial. Kelebihan pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional Malaysia adalah perlindungan pelaku dalam persembahan secara langsung dalam kaitannya dengan ekspresi cerita rakyat, perlindungan terhadap ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, dan perlindungan terhadap warisan budaya tak benda dalam Akta Warisan Kebangsaan 2005. Kelemahan pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional Indonesia adalah Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tidak menjelaskan secara rinci definisi ekspresi budaya tradisional, belum diaturnya lembaga pelaksana yang berwenang untuk menetapkan suatu ciptaan sebagai folklor, belum diterbitkannya Peraturan Pemerintah tentang "Hak Cipta atas Folklor yang Dipegang oleh Negara". Kelemahan pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional Malaysia adalah tidak ada pengaturan dalam Akta Hakcipta 1987 yang khusus mengatur dan melindungi folklor, tidak ada definisi ekspresi cerita rakyat dalam Akta Hakcipta 1987, masalah konsep persyaratan suatu ciptaan yang dilindungi Akta Hakcipta 1987, tidak ada pengaturan fungsi dan tanggung jawab menteri dalam melindungi ciptaan yang tidak diketahui penciptanya, dan Seksyen 67 dan Seksyen 68 Akta Warisan Kebangsaan 2005 dalam penerapannya menimbulkan permasalahan.
ABSTRACT
Aji Raspati. E.0008007. 2012. COMPARATIVE STUDIES OF THE ARRANGEMENT OF COPYRIGHT PROTECTION OVER TRADITIONAL MUSIC INSTRUMENTS BETWEEN INDONESIA WITH MALAYSIA. The Faculty of Law Sebelas Maret University
This study aims to determine the regulation of copyright protection for traditional music instruments and knowing the strengths and weaknesses of arrangements between Indonesia and Malaysia.
This research is a normative legal research is descriptive, using a comparative approach is to compare the laws relating to copyright protection over the traditional music instruments between Indonesia and Malaysia. Type of data used are secondary data. Secondary data sources used include primary legal materials, legal materials secondary, and tertiary legal materials. Data collection techniques used, namely the study of literature.
These results indicate that the protection settings of traditional music instruments Indonesia accommodated by Article 10 and Article 31 paragraph (1) (a) of Act No. 19 of 2002 in which the state holds the copyright to the folklore and valid indefinitely. Setting the protection of traditional music instruments in Malaysia accommodated by Seksyen 3 and Seksyen 26 (4) (c) Copyright Act 1987 and the National Heritage Act Seksyen 2, 2005. The advantages of copyright protection arrangements on traditional music instruments Indonesia is a country holds the copyright to the folklore and the culture of the people who belong together, the folklore that copyright is held by the state shall be valid indefinitely, and the state holds the copyright to the folklore has a social function. Excess regulation on copyright protection of traditional music instruments in Malaysia is offering protection direct offender in relation to expressions of folklore, the protection of an unknown creature creator, and not the protection of cultural heritage objects in the National Heritage Act 2005. Weakness of the copyright protection arrangements of traditional music instruments Indonesia is Article 10 of Law No. 19 of 2002 did not specify the definition of traditional cultural expressions, has not arranged the implementing agency authorized to establish a creature as folklore, not the issuance of Government Regulation on "Copyright Held by the folklore of the State". Weakness of the copyright protection arrangements of traditional music instruments Malaysia is no setting in the Copyright Act 1987 which specifically regulate and protect the folklore, there is no definition of expressions of folklore in the Copyright Act 1987, issues the concept of a creation of protected terms Copyright Act 1987, no arrangement functions and responsibilities of the minister in protecting an unknown creature creator, and Seksyen 67 and 68 Seksyen National Heritage Act 2005 in its application raises a problem.
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT dan Nabi Besar Muhammad
SAW atas karunia dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan Penulisan Hukum (Skripsi) yang berjudul STUDI
KOMPARASI PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK CIPTA
ATAS INSTRUMEN MUSIK TRADISIONAL ANTARA
INDONESIA DENGAN MALAYSIA.
Dalam penyusunan penulisan hukum ini, penulis menyadari
bahwa untuk terselesaikannya penulisan hukum ini, banyak pihak-pihak
yang telah memberikan bantuan yang berupa bimbingan, saran-saran,
nasihat-nasihat, fasilitas, serta dukungan moril maupun materiil. Oleh
karena itu dalam kesempatan yang baik ini dengan segala kerendahan
hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak sebagai
berikut :
1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum UNS dan Pembimbing Akademik, yang telah memberikan
ijin dan kesempatan kepada penulis untuk mengembangkan ilmu
hukum dalam menyelesaikan penulisan hukum ini.
2. Bapak Al. Sentot Sudarwanto, S.H., M.Hum selaku dosen
pembimbing I penulisan skripsi, yang telah memberikan waktu dan
ide, memberikan arahan dan memberi motivasi dalam penyusunan
penulisan hukum ini.
3. Bapak Munawar Kholil S.H, M.Hum selaku dosen pembimbing II
penulisan skripsi yang telah menyediakan waktu dan pikirannya
untuk memberikan bimbingan dan arahan bagi tersusunnya penulisan
hukum ini.
4. Ibu Djuwitastuti, S.H., M.H selaku Ketua Bagian Hukum Perdata
5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan
ilmu pengetahuannya kepada penulis sehingga dapat dijadikan bekal
dalam penulisan hukum ini.
6. Bapak dan Ibu staf karyawan kampus Fakultas Hukum UNS yang
telah membantu dan berperan dalam kelancaran kegiatan proses
belajar mengajar dan segala kegiatan mahasiswa di Fakultas Hukum
UNS.
7. Ayah Bundaku tercinta, Bapak Suroso dan Ibu Rustiyati yang tak
henti-hentinya memberikan kasih sayang, semangat dan mendoakan
penulis, hingga akhirnya dapat menyelesaikan penulisan hukum ini.
Tiada kata selain ucapan terima kasih dan semoga ananda dapat
memenuhi harapan kalian dapat mengejar cita-cita demi masa depan.
8. Kakakku tersayang Rusiana Ika Puspitasari, S.H. yang selalu
memberi semangat, motivasi, dan nasehat demi kelancaran penulisan
hukum ini.
9. Adikku tersayang Andani Maya Sari yang selalu berbagi keceriaan
di rumah, jangan nakal dik, tetep rajin belajar ya, Semangat!
10. Yang terkasih sayangku Risa Irene yang selalu berbagi senyum
keceriaan dan selalu memberi semangat sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan hukum ini.
11. Sahabat-sahabatku, Rinof, Khrisna, Lutfi, Dedi, Danan, dan Guntur,
terima kasih kalian selalu ada di kala penulis senang atau sedih,
kalian mau mendengar keluh kesah di saat bimbang maupun
menghadapi masalah. Maaf sudah banyak merepotkan kalian.
12. Teman-teman di Fakultas Hukum angkatan 2008 yang selalu berbagi
keceriaan selama kuliah, Teman-teman senasib seperjuangan dalam
mengerjakan penulisan hukum, terima kasih atas segala informasi
yang dapat mendukung dan membantu penulis.
13. Semua pihak yang telah banyak membantu yang tidak dapat penulis
Penulis menyadari bahwa dalam Skripsi ini banyak terdapat
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang
membangun sangat diharapkan guna perbaikan serta kesempurnaan
Skripsi ini. Akhirnya Penulis berharap semoga hasil Penulisan Hukum
(Skripsi) ini dapat memberikan manfaat pada pihak-pihak yang
berkepentingan.
Surakarta, 15 Juli 2012
Penulis
Aji Raspati
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
MOTTO ... v
PERSEMBAHAN ... vi
ABSTRAK ... vii
ABSTRACT ... viii
KATA PENGANTAR ... ix
DAFTAR ISI ... xii
DAFTAR BAGAN ... xvi
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah ... 10
C. Tujuan Penelitian ... 10
D. Manfaat Penelitian ... 10
E. Metode Penelitian ... 11
F. Sistematika Penulisan Hukum ... 15
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 17
A. Kerangka Teori ... 17
1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum ... 17
a. Istilah dan Definisi Perbandingan Hukum ... 17
b. Perbandingan Hukum sebagai Metode dan Ilmu ... 18
c. Cabang-cabang Perbandingan Hukum ... 20
a. Perlindungan Hukum Internasional terhadap Hak
Kekayaan Intelektual ... 21
b. Definisi Hak Kekayaan Intelektual ... 23
c. Ruang Lingkup Hak Kekayaan Intelektual ... 26
3. Tinjauan tentang Hak Cipta ... 28
a. Prinsip-prinsip dasar Perlindungan Hak Cipta ... 28
b. Definisi Hak Cipta ... 29
c. Hak-hak yang Terkandung dalam Hak Cipta ... 31
4. Tinjauan tentang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ... 33
a. Sejarah Perlindungan Hak Cipta ... 33
b. Lingkup Perlindungan Hak Cipta ... 35
5. Tinjauan tentang Akta Hakcipta 1987 Malaysia ... 37
a. Sejarah Perlindungan Hak Cipta ... 37
b. Lingkup Perlindungan Hak Cipta ... 39
6. Tinjauan tentang Akta Warisan Kebangsaan 2005 Malaysia ... 41
a. Sejarah Pengaturan Akta Warisan Kebangsaan 2005 . 41 b. Lingkup Perlindungan Akta Warisan Kebangsaan 2005 ... 43
7. Tinjauan tentang Pengetahuan Tradisional (Traditional Knowledge) ... 46
a. Definisi Pengetahuan Tradisional ... 46
b. Ruang Lingkup Pengetahuan Tradisional ... 51
8. Tinjauan tentang Folklor (Folklore) ... 53
a. Tinjauan Folklor secara Internasional ... 53
b. Definisi Folklor ... 55
c. Pengaturan Folklor di Indonesia ... 56
9. Tinjauan tentang Instrumen Musik Tradisional ... 58
a. Definisi Instrumen Musik Tradisional ... 58
10. Tinjauan tentang Instrumen Musik Tradisional
Angklung ... 61
a. Sejarah Instrumen Musik Tradisional Angklung ... 61
b. Jenis-Jenis Instrumen Musik Tradisional Angklung . 63 c. Sejarah Masuknya Instrumen Musik Tradisional Angklung di Malaysia ... 65
B. Kerangka Pemikiran ... 73
BAB III HASIL DAN PEMBAHASAN ... 75
A. Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional antara Indonesia dengan Malaysia ... 75
1. Pengaturan Hak Cipta di Indonesia ... 75
a. Kepemilikan Hak Cipta ... 75
b. Hak Eksklusif Pemilik Hak Cipta ... 77
c. Pelanggaran Hak Cipta ... 79
d. Pengecualian dari Pelanggaran Hak Cipta ... 79
e. Jangka Waktu Perlindungan Hak Cipta ... 80
f. Penegakan Hukum ... 81
2. Pengaturan Hak Cipta di Malaysia ... 84
a. Kepemilikan Hakcipta ... 84
b. Hak Eksklusif Pemilik Hakcipta ... 84
c. Pelanggaran Hakcipta ... 85
d. Pengecualian dari Pelanggaran Hakcipta ... 86
e. Jangka Waktu Perlindungan Hakcipta ... 87
f. Penegakan Hukum ... 88
3. Pengaturan Perlindungan Instrumen Musik Tradisional Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta ... 89
4. Pengaturan Perlindungan Instrumen Musik Tradisional Malaysia... 100
b. Pengaturan Berdasarkan Akta Warisan
Kebangsaan 2005 ... 112
B. Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional antara Indonesia dengan Malaysia ... 129
1. Kelebihan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional antara Indonesia dengan Malaysia ... 129
a. Kelebihan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional Indonesia ... 129
b. Kelebihan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional Malaysia ... 131
2. Kelemahan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional antara Indonesia dengan Malaysia ... 134
a. Kelemahan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional Indonesia ... 134
b. Kelemahan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik Tradisional Malaysia ... 138
BAB IV PENUTUP ... 144
A. Simpulan ... 144
B. Saran ... 146
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR BAGAN
Bagan 1: Kerangka Pemikiran ... 73
Bagan 2: Prosedur Pendaftaran Objek Warisan ... 117
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Pengaturan Perlindungan Hak Cipta atas Instrumen Musik
Tradisional antara Indonesia dengan Malaysia ... 124
Tabel 2: Kelebihan dan Kelemahan Pengaturan Perlindungan Hak Cipta
atas Instrumen Musik Tradisional antara Indonesia dengan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Akta Hakcipta 1987
Lampiran 2: Akta Warisan Kebangsaan 2005
Lampiran 3: CONVENTION FOR THE SAFEGUARDING OF THE
INTANGIBLE CULTURAL HERITAGE
INTERGOVERNMENTAL COMMITTEE FOR THE
SAFEGUARDING OF THE INTANGIBLE CULTURAL
HERITAGE ANGKLUNG.
Lampiran 4: COMMITMENT OF THE COORDINATING MINISTRY FOR
PEOPLE'S WELFARE REGARDING "SAFEGUARDING OF
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Zaman modern merupakan zaman di mana manusia dituntut untuk
mengembangkan diri dan memiliki tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini
manusia diharapkan mampu memilih dan menentukan tujuan hidupnya sendiri.
Segala tujuan dan cita manusia sangat dimungkinkan teraih karena topangan
kapasitas manusiawinya berupa intelegensi. Karena itulah manusia disebut
homo sapiens sekaligus homo faber. Sebutan pertama mewakili kemampuan
manusia untuk berbahasa. Sebutan yang kedua menunjukkan kapasitas mental
dan kemampuan untuk mencipta tidak hanya alat-alat praktis, teknis, tetapi
juga membuat kreasi-kreasi artistik. Artistik identik dengan seni, karena itulah
manusia sering disebut makhluk berkesenian (Schuon Frithjof, 2002: 57).
Manusia dapat dikatakan sebagai makhluk yang memiliki
keistimewaan. Adanya suatu keistimewaan ini melahirkan hak dari manusia
tersebut untuk mendapat pengakuan, dihargai, dan dihormati. Teori yang sering
muncul dalam sejarah pikiran manusia ialah bahwa keistimewaan manusia
terletak dalam wujud manusia itu sendiri, sebagaimana di dapat melalui
pikirannya, maka keistimewaan manusia itu bersifat rasional. Hak-hak yang
didapati orang secara rasional dianggap abadi dan tetap berlaku. Tiap-tiap
orang lain, termasuk pemerintah harus mengindahkannya, dengan membuat
hukum atas dasar hak-hak alamiah tersebut (Theo Huijbers, 1998: 98).
Salah satu aspek hukum yang melindungi hak-hak manusia dalam hak
intelektualnya adalah Hukum Hak Kekayaan Intelektual (HKI). Sebagai bentuk
penghargaan atas hak kepemilikan intelektual, perlindungan hukum atas
hak-hak tersebut memerlukan perangkat hukum dan mekanisme perlindungan yang
memadai. Melalui cara inilah HKI akan mendapat tempat yang layak sebagai
salah satu bentuk hak yang memiliki nilai ekonomis. Hukum HKI adalah
hukum yang mengatur perlindungan bagi para pencipta dan penemu
karya-karya inovatif sehubungan dengan pemanfaatan karya-karya-karya-karya mereka secara
kreativitas individu untuk kemanfaatan manusia secara luas (Hanneke
Louise van Traa-Engelman, 1989: 191). Sebagai suatu hak ekslusif, HKI secara
hukum mendapat tempat yang sama dengan hak-hak milik lainnya.
Salah satu isu yang menarik dan saat ini tengah berkembang dalam
lingkup kajian HKI adalah perlindungan hukum terhadap kekayaan intelektual
yang dihasilkan oleh masyarakat asli atau masyarakat tradisional. Kekayaan
intelektual yang dihasilkan oleh masyarakat asli tradisional ini mencakup
banyak hal mulai dari sistem pengetahuan tradisional ini mencakup banyak hal
mulai dari sistem pengetahuan tradisional (traditional knowledge), ekspresi
budaya tradisional (folklor) hingga apa yang dikenal sebagai indigenous
science and technology.
Traditional knowledge yang berupa budaya mengacu kepada sistem
pengetahuan, ciptaan-ciptaan, inovasi-inovasi, dan ekspresi budaya yang secara
umum telah disampaikan dari generasi ke generasi dan secara umum dianggap
berhubungan dengan orang-orang tertentu atau wilayahnya dan terus
berkembang sebagai akibat dari perubahan lingkungan. Kelompok traditional
knowledge dapat mencakup: pengetahuan pertanian; ilmu pengetahuan;
pengetahuan ekologi (lingkungan); pengetahuan pengobatan, termasuk
obat-obatan yang berkaitan dan pengobat-obatan; ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan keanekaragaman hayati, ekspresi budaya tradisional (ekspresi folklor)
dalam bentuk musik, tarian, nyanyian/lagu, kerajinan tangan, desain, cerita dan
karya seni; elemen-elemen bahasa seperti nama, indikasi geografis dan simbol;
dan barang-barang yang bernilai budaya.
Konsep perlindungan hukum HKI yang telah dikenal di negera-negara
maju lebih mengedepankan pada perlindungan HKI untuk karya cipta yang
diketahui individu penciptanya, sedangkan perlindungan HKI atas Pengetahuan
Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (PTEBT) merupakan hal yang
baru bagi bangsa Indonesia. Permasalahan muncul disebabkan berkembangnya
aspek hukum HKI dalam karya-karya budaya yang kepemilikannya yang
bersifat kolektif dan telah diwariskan secara turun-menurun serta tidak
negara maju yang telah mengenal dan menerapkan hukum HKI dan telah
disepakati pada Paris Convention for the Protection of Industrial Property
pada tahun 1883 dan Berne Convention for the Potection of Literary and
Artistic Works pada tahun 1886.
Tuntutan untuk adanya perlindungan bagi pengetahuan tradisional
muncul dengan ditandatanganinya Convention on Biological Diversity 1992
(CBD). Sejak saat itu berbagai pertemuan tingkat dunia, terutama dalam
kerangka World Intellectual Property Organisation (WIPO) terus
diselenggarakan untuk merumuskan sistem perlindungan yang tepat bagi
pengetahuan tradisional tersebut. Peluang untuk memberikan perlindungan
hukum (di tingkat internasional) terhadap PTEBT, menjadi semakin besar
karena sejumlah faktor, antara lain sebagai berikut (Basuki Antariksa, 2011: 1):
1. Pasal 2 paragraf viii Agreement Establishing the World Intellectual
Properaty Organization, antara lain menyebutkan bahwa yang dimaksud
sebagai “intellectual property” atau HKI termasuk di dalamnya yaitu:
“…and all other rights resulting from intellectual activity in the industrial,
scientific, literary or artistic fields”. Sebagian pihak berpendapat bahwa
frasa tersebut mengandung pengertian memberikan ruang kepada
jenis-jenis karya yang dihasilkan melalui kekuatan pemikiran di luar yang sudah
ada saat ini.
2. Pasal 8 paragraf j Convention on Biological Diversity 1992 mewajibkan
negara anggotanya untuk:
“…respect, preserve and maintain knowledge, innovations and practices of indigenous and local communities embodying traditional lifestyles relevant for the conservation and sustainable use of biological diversity and promote their wider application with the approval and involvement of the holders of such knowledge, innovations and practices and encourage the equitable sharing of the benefits arising from the utilization of such knowledge, innovations and practices”
3. WIPO Report on Fact-finding Missions on Intellectual Property and
Traditional Knowledge (1998-1999). Di dalam laporan tersebut antara lain
berbagai negara berkaitan dengan kebutuhan perlindungan kepemilikan
atas PTEBT.
4. Pembentukan Intergovernmental Committee on Intellectual Property and
Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore (IGC GRTKF)
oleh WIPO yang telah melaksanakan sidangnya sebanyak 18 (delapan
belas) sesi sejak tahun 2001 hingga saat ini. IGC GRTKF adalah sebuah
forum perundingan untuk mencari kesepakatan mengenai pengaturan yang
paling tepat mengenai perlindungan PTEBT, termasuk sumber daya
genetik, pada tingkat internasional.
5. Like-Minded Countries (LMCs) meetings (2009-sekarang) yang diinisiasi
oleh Indonesia dan Afrika Selatan dengan tujuan mengupayakan
dibentuknya perlindungan hukum terhadap PTEBT, di negara-negara yang
memiliki pandangan sama terhadap isu ini. Sebagaimana diketahui, proses
perundingan dalam kerangka IGC GRTKF belum dapat berjalan “mulus”
karena pada umumnya negara maju belum dapat menyepakati
perlindungan terhadap PTEBT, sebagai bagian dari HKI.
Indonesia merupakan salah satu negara yang telah meratifikasi
pembentukan World Trade Organization (WTO) melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1994. Konsekuensi Indonesia menjadi anggota WTO antara
lain, adalah melaksanakan kewajiban untuk menyesuaikan peraturan
perundang-undangan nasionalnya dengan ketentuan WTO, termasuk yang
berkaitan dengan Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property
Rights (TRIPs). Persetujuan TRIPs memuat berbagai norma dan standar
perlindungan bagi karya-karya intelektual. Di samping itu, TRIPs juga
mengandung pelaksanaan penegakan hukum di bidang hak kekayaan
intelektual. Untuk lebih menyesuaikan ketentuan dalam TRIPs khususnya yang
berhubungan dengan hak cipta, maka Indonesia telah menerbitkan
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Undang-Undang-Undang-Undang ini
diterbitkan untuk mengganti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 yang
dianggap belum terlalu memenuhi norma dan standar TRIPs-WTO. Selain itu
Literary Works (Konvensi Berne tentang Perlindungan Karya Seni dan
Sastra) melalui Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan World
Intellectual Property Organozation Copyrights Treaty (Perjanjian Hak Cipta
WIPO), melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997 (Penjelasan Umum
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, alinea kedua).
Indonesia sebagai salah satu negara yang terdiri atas berbagai macam
suku dan sangat kaya akan keragaman tradisi dan budaya, tentunya memiliki
kepentingan tersendiri dalam perlindungan hukum terhadap kekayaan
intelektual masyarakat asli tradisional. Kekayaan budaya tersebut ternyata
menyimpan pula potensi ekonomi yang sangat besar sehingga dapat
mendukung proses pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Tidak
mengherankan bahwa nilai tersebut telah menyebabkan pihak asing berulang
kali memanfaatkan tanpa izin dan/ atau mengakui PTEBT di Indonesia sebagai
milik mereka. Dalam jangka panjang, tindakan-tindakan tersebut dapat
merugikan kepentingan nasional, karena semakin lama akan semakin banyak
PTEBT Indonesia yang diambil alih oleh bangsa lain, sedangkan dari segi
kepentingan nasional di Indonesia sendiri belum dapat dikalkulasi seberapa
besar potensi keuntungan ekonomi secara berkelanjutan yang dapat diperoleh
dari kekayaan intelektual warisan budaya bangsa tersebut. Pemerintah
Indonesia sesungguhnya telah mengakui pentingnya nilai kekayaan intelektual
yang ada dalam folklor Indonesia sejak pertama kali mereka mengundangkan
Undang-Undang Hak Cipta Nomor 6 Tahun 1982. Kemudian Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1982 diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987
kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 dan
selanjutnya disempurnakan dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002
(Susilo Halim, 2006: 3).
Upaya perlindungan atas PTEBT di Indonesia mendapat perhatian lebih
akhir-akhir ini setelah munculnya sengketa antara Indonesia dan Malaysia
tentang penggunaan beberapa folklor Indonesia yang diklaim kepemilikannya
oleh Malaysia. Oleh karena itu, pemerintah Indonesia mulai berupaya
telah memulai proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) sui
generis untuk melindungi penggunaan kekayaan intelektual yang ada pada
PTEBT Indonesia. RUU tersebut, yang berjudul RUU Perlindungan dan
Pemanfaatan Kekayaan Intelektual Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi
Budaya Tradisional (RUU PTEBT), dimasukkan dalam Program Legislasi
Nasional (Prolegnas) 2010-2014. RUU PTEBT memberikan definisi dari
Pengetahuan Tradisional sebagai karya intelektual di bidang pengetahuan dan
teknologi yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang
dihasilkan, dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat lokal
atau masyarakat adat. Sedang untuk istilah folklor, RUU PTEBT mengganti
istilah folklor dengan istilah Ekspresi Budaya Tradisional dengan definisi
sebagai berikut karya intelektual dalam bidang seni, termasuk ekspresi sastra
yang mengandung unsur karakteristik warisan tradisional yang dihasilkan,
dikembangkan, dan dipelihara oleh komunitas masyarakat lokal atau
masyarakat adat (Afifah Kusumadara, 2011: 22).
Kasus klaim Malaysia yang cukup ramai adalah klaim instrumen musik
tradisional Angklung pada tahun 2007. Dalam situs www.musicmall_asia.com
disebutkan bahwa Angklung berasal dari Malaysia tepatnya berada di kota
Johor. Musik Angklung merupakan pengiring kesenian Kuda Kepang. Klaim
Angklung sebagai budaya Malaysia juga dituangkan dalam situs
www.malaysiana.pnm.my. Disebutkan Angklung adalah salah satu warisan
budaya Malaysia. Di situs ini pengunjung dijelaskan tentang bahan dasar
Angklung, fungsi, dan cara bermainnya serta diperlihatkan pula foto-foto
Angklung. Malaysia memasukkan Angklung untuk mempromosikan
pariwisatanya bertema “Truly Asia”, sedangkan Indonesia justru melupakan
Angklung dalam promosi pariwisatanya bertema “Art and Culture of
Indonesia” (Umi Kalsum. http://www.vivanews.com/appaux/images/
favicon_v2.ico).
Di Malaysia, banyak sekolah dan perguruan tinggi menjadikan
permainan Angklung sebagai kegiatan ekstrakurikuler. Sementara di Indonesia,
independen tanpa bantuan pemerintah dan diikuti hanya 10 peserta dari
berbagai tingkat pendidikan. Angklung diperkenalkan ke negara-negara
diberbagai belahan dunia dimasa lalu, tetapi menjadi bumerang dimasa kini
ketika masyarakat makin mengabaikan kekayaan budayanya (Admin AWI.
http://angklung-web-institute.com/ templates/JavaBean/css/template.css).
Sebagai bentuk perlindungan Angklung terhadap klaim Malaysia pada
tanggal 26 Agustus 2009, Saung Angklung Udjo melalui pemerintah Indonesia
mendaftarkan hak paten alat musik dan kesenian Angklung ke UNESCO
sebagai warisan budaya Indonesia. Angklung, instrumen musik tradisional
Indonesia yang terbuat dari bambu, dinominasikan ke dalam Daftar
Representatif Warisan Budaya Tak Benda oleh UNESCO, pada Sidang ke-5
Komite-Antar Pemerintah untuk Perlindungan Warisan Budaya yang
diselenggarakan di Kenya, Nairobi, Rabu, 17 November 2010. Dalam sidang
ini, sebanyak 47 warisan budaya tak benda dari 29 negara telah disertakan di
dalam daftar dimaksud. Daftar Representatif Warisan Budaya Tak Benda
adalah daftar yang dibuat oleh UNESCO untuk membantu menunjukkan
keragaman dan pentingnya warisan budaya. Kegiatan ini bertujuan untuk
melindungi dari pengakuan bangsa lain sekaligus sebagai bentuk perlindungan
hukumnya. Hingga saat ini, Angklung juga menjadi alat promosi budaya
dengan berbagai inovasi yang dilakukan dalam seni pertunjukan. Angklung
menjadi alat yang memiliki kekuatan diplomasi budaya dan alat komunikasi
non-verbal lintas sektoral yang sangat efektif (admin Kemlu,
http://www.kemlu.go.id/lima/Pages/Rss.aspx?N=Himbauan&l=id).
Perlindungan hak cipta di Malaysia berdasarkan Akta Hakcipta 1987
(Akta 332) (Copyright Act 1987) yang mulai diberlakukan pada tanggal 1
Desember 1987. Sebagai akibat keanggotaan Malaysia dalam Konvensi Berne,
Akta Hakcipta 1987diamandemen kembali pada tahun 1990 untuk memastikan
Akta tersebut sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam Konvensi Berne.
Selain amandemen, konvensi tersebut juga menghasilkan Peraturan Hakcipta
1990 yang berlaku pada tanggal 1 Oktober 1990. Sampai saat ini, Akta
tahun 2000. Pada dasarnya, amandemen pada tahun 1997, tahun 2000 dan
tahun 2002 memastikan bahwa hasil karya hak cipta dilindungi dalam
rangkaian elektronik.
Perlindungan hak cipta terdapat dalam Akta Hakcipta 1987 tanpa
melihat kualitas dan tujuan karya tersebut diciptakan. Walaupun pada awalnya,
undang-undang hak cipta memberi penekanan kepada perlindungan kepada
hasil karya sastra dan seni, Akta Hakcipta telah mengkategorikan pada enam
hasil karya hak cipta yang utama, yaitu:
1. Karya sastera; seperti yang dinyatakan dalam Seksyen 3 Akta Hak cipta 1987, karya satera termasuk:
a. Novel, cerita, buku, risalah, manuskrip, karya syair dan penulisan lain; b. Seni peran/ acting, drama, arahan pentas, skenario film, skrip siaran,
karya koreografi, dan pantomim;
c. Perjanjian, sejarah, biografi, karangan dan artikel; d. Ensiklopedia, kamus dan karya rujukan lain; e. Surat, laporan dan memorandum;
f. Ucapan, khutbah dan karya-karya lain yang sama sifatnya;
g. Jadual atau penyusunan, baik yang dinyatakan/ tidak dinyatakan dalam bentuk perkataan, angka atau simbol; dan, baik yang dinyatakan dalam bentuk kelihatan/ nyata
h. Program-program komputer. 2. Karya musik;
3. Karya seni; 4. Film;
5. Rekaman suara; 6. Siaran.
Kemudian Malaysia menetapkan Akta Warisan Kebangsaan 2005 (Akta
645) (National Heritage Culture Act 2005) yang Terinspirasi oleh
Rekomendasi UNESCO 1989 tentang Perlindungan Kebudayaan Tradisional
dan Cerita Rakyat, Konvensi 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya
Dunia dan Alam serta UNESCO Convention for the Safeguarding of Intangible
Cultural Heritage 2003. Tujuan Akta Warisan Kebangsaan 2005 adalah
perlindungan untuk pelestarian dan konservasi warisan nasional, warisan alam,
warisan budaya berwujud dan tidak berwujud, warisan budaya bawah air, harta
Sistem Pendaftaran karya cipta di Indonesia memang tidak wajib,
sedangkan di Malaysia tidak mengenal adanya sistem pendaftaran hak cipta,
karena perlindungan hukum atas karya cipta itu otomatis berlaku pada saat
pertama kali diumumkan kepada publik. Pendaftaran karya cipta diperlukan
sebagai bukti di pengadilan bila terjadi sengketa di kemudian hari. Bila
pencipta memiliki sertifikat pendaftaran karya cipta, pembuktian di pengadilan
akan lebih mudah. Mengingat hak cipta terdiri atas hak ekonomi (economic
rights) dan hak moral (moral rights). Hak ekonomi adalah hak untuk
mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan serta produk terkait. Hak moral
adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku yang tidak dapat
dihilangkan atau dihapus dengan alasan apapun, walaupun hak cipta atau hak
terkait telah dialihkan (Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002, alenia kelima). Namun yang menjadi permasalahan apabila karya cipta
berupa hasil seni dan budaya atau folklor berupa instrumen musik tradisional
(Angklung) dimana penciptanya tidak jelas atau tidak diketahui maka akan
sulit ketika dalam proses pembuktiannya. Terlebih pengaturan dalam sistem
hukum hak cipta belum sepenuhnya mampu memberikan perlindungan,
sehingga membutuhkan pengaturan secara khusus terhadap perlindungan
folklor seperti Akta Warisan Kebangsaan 2005.
Berdasarkan latar belakang diatas penulis tertarik untuk menulis lebih
lanjut terkait pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik
tradisional dengan membandingkan Undang-Undang di Indonesia dengan
Malaysia yang mengatur tentang perlindungan instrumen musik tradisional
berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dengan Akta Hakcipta
1987 dan Akta Warisan Kebangsaan 2005. Oleh karena itu, penulis tertarik
untuk menyusun penulisan hukum yang berjudul: “STUDI KOMPARASI
PENGATURAN PERLINDUNGAN HAK CIPTA ATAS INSTRUMEN
MUSIK TRADISIONAL ANTARA INDONESIA DENGAN
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas agar permasalahan yang ada dapat dibahas secara
lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka penting untuk
merumuskan masalah yang akan dibahas. Adapun rumusan masalahnya adalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik
tradisional antara Indonesia dengan Malaysia?
2. Apakah kelebihan dan kelemahan pengaturan perlindungan hak cipta atas
instrumen musik tradisional antara Indonesia dengan Malaysia?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Objektif
a. Mengetahui pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik
tradisional antara Indonesia dengan Malaysia.
b. Mengetahui kelebihan dan kelemahan pengaturan perlindungan hak
cipta atas instrumen musik tradisional antara Indonesia dengan
Malaysia.
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan penulis mengenai
pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional
antara Indonesia dengan Malaysia.
b. Untuk melengkapi persyaratan dalam mencapai gelar sarjana di
bidang Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Penulis berharap kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini akan
memberikan manfaat bagi para pihak yang terkait dengan penulisan hukum ini,
yaitu baik bagi penulis sendiri maupun bagi pembaca dan pihak-pihak lain.
Adapun manfaat yang diperoleh dari penulisan hukum ini antara lain :
1. Manfaat Teoritis
a. Memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang
b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan Hukum Perdata
tentang pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen musik
tradisional antara Indonesia dengan Malaysia.
c. Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap
penelitian-penelitian sejenisnya pada tahap selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
a. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir ilmiah, sekaligus untuk mengetahui
kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu-ilmu yang diperoleh.
b. Sebagai bahan masukan bagi pihak-pihak yang terkait langsung
dengan penelitian ini.
E. Metode Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan
pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk
mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan
menganalisanya. Kecuali hal tersebut, maka juga diadakan pemeriksaan yang
mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan
suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala
yang bersangkutan.
Penelitian hukum dilakukan dengan melakukan penelusuran bahan
hukum sebagai dasar untuk membuat suatu keputusan hukum (legal decision
making) terhadap kasus-kasus hukum konkret. Pada sisi lainnya, penelitian
hukum juga merupakan kegiatan ilmiah untuk memberikan refeksi dan
penilaian terhadap keputusan-keputusan hukum yang telah dibuat terhadap
kasus-kasus hukum yang pernah terjadi atau akan terjadi (Johny Ibrahim, 2006:
229).
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum
yang timbul. Oleh karena itu, penelitian hukum merupakan suatu penelitian di
dalam kerangka know-how di dalam hukum. Hasil yang dicapai adalah untuk
Mengingat penelitian hukum merupakan suatu kegiatan dalam rangka
know-how, isu hukum hanya diidentifikasikan oleh ahli hukum dan tidak mungkin
oleh ahli lain (Peter Mahmud Mazuki, 2005: 41).
Metodologi merupakan suatu unsur mutlak yang harus ada dalam suatu
penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Adapun metode yang penulis
pergunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dipergunakan adalah penelitian hukum
normatif. Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian
ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum
dari sisi normatifnya. Logika keilmuan yang ajeg, dalam penelitian hukum
normatif dibangun berdasarkan disiplim ilmiah dan cara kerja ilmu hukum
normatif, yaitu ilmu hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Sebagai
konsekuensi pemilihan topik permasalahan hukum, maka tipe penelitian
yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif (Johny Ibrahim, 2006: 295).
Metode Penelitian hukum normatif sendiri merupakan penelitian
hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum pustaka atau
data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum tersebut kemudian
disusun secara sistematis, dikaji, dan kemudian ditarik kesimpulan dalam
hubungannya dengan masalah yang diteliti yaitu mengenai pengaturan
perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional antara Indonesia
dengan Malaysia.
2. Sifat Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang
bertujuan untuk menggambarkan secara lengkap ciri-ciri dari suatu
keadaan, perilaku pribadi dan perilaku kelompok serta menentukan
Menurut Soerjono Sukanto (2010: 10) penelitian deskriptif adalah
penelitian yang dimaksud untuk memberikan data seteliti mungkin tentang
manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya. Penulisan hukum ini, khusus
akan menggambarkan dan menjelaskan komparasi pengaturan
perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional antara Indonesia
dengan Malaysia.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa macam pendekatan,
dimana dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapat informasi dari
berbagai aspek mengenai permasalahan hukum yang sedang dicoba untuk
dicari pemecahannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan didalam
penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach),
pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical
approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan
pendekatan konseptual (conceptual approach) (Peter Mahmud Mazuki,
2005: 93).
Pada penelitian ini digunakan pendekatan komparatif (comparative
approach), pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan
undang-undang suatu negara dengan undang-undang-undang-undang dari satu atau lebih negara
lain mengenai hal yang sama (Peter Mahmud Mazuki, 2005: 95).
Penulisan hukum ini, akan membandingkan pengaturan perlindungan hak
cipta atas instrumen musik tradisional antara Indonesia dengan Malaysia
berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 dengan Akta
Hakcipta 1987 dan Akta Warisan Kebangsaan 2005.
4. Jenis dan Sumber Bahan Penelitian
Dalam penelitian hukum tidak mengenal adanya data, yang ada
dalam penelitian hukum adalah bahan hukum. Bahan hukum terdiri dari
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier.
Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang terdiri atas peraturan
perundang-undangan berdasarkan hierarkinya. Bahan hukum sekunder
ditulis oleh para ahli hukum yang berpengaruh (dehersende leer),
jurnal-jurnal hukum, pendapat para sarjan, kasus-kasus hukum, jurisprudensi, dan
hasil-hasil symposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
seperti kasus hukum, encyclopedia, dan lain-lain (Johny Ibrahim, 2006:
296). Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian yaitu:
a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta.
2) Akta Hakcipta 1987 sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir tahun 2002 dengan Akta Hakcipta 2002.
3) Akta Warisan Kebangsaan 2005 (National Heritage Culture Act
2005)
4) Trade Related Aspects of Intelectual Property Rights (TRIPs).
5) World Intelectual Property OrganizationCopyrights Treaty.
6) UNESCO Convention for the Safeguarding of Intangible Cultural
Heritage 2003
b. Bahan hukum sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini
berupa buku teks, jurnal, artikel, dokumen resmi, arsip, dan lain
sebagainya.
c. Bahan hukum tersier yang digunakan diantaranya media internet,
kamus, dan ensiklopedia.
5. Teknik Pengumpulan Data
Pada penulisan hukum ini, penulis menggunakan pengumpulan data
dengan teknik studi kepustakaan (collecting by library). Pengumpulan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier
diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang
dibahas dipaparkan, disistemisasi, kemudian dianalisis untuk
6. Teknik Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan adalah metode penalaran hukum.
Metode penalaran hukum adalah kegiatan penalaran ilmiah terhadap
bahan-bahan hukum yang dianalisis dapat menggunakan penalaran
deduksi, induksi dan abduksi. Metode ini menitikberatkan pada pada
logika, logika mengajarkan segala sesuatu yang diperlukan untuk
menghindari kesalahan dalam rangka mencapai kebenaran materi
pemikiran, penalaran deduktif digunakan untuk menarik kesimpulan dari
hal yang bersifat umum ,menjadi kasus individual konkret yang dihadapi.
Penalaran induktif dengan merumuskan fakta, mencari hubungan sebab
akibat, serta mengembangkan penalaran berdasarkan kasus-kasus faktual
yang dihadapi yang menghasilkan temuan dan kesimpulan. Sedangkan
penalaran abduktif adalah penalaran hukum yang mengandung unsur
induksi dan deduksi secara bersama-sama (Johny Ibrahim, 2006: 249-251).
F.Sistematika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan dalam penulisan hukum serta
untuk mempermudah pemahaman mengenai seluruh isi penulisan hukum ini,
maka peneliti menjabarkan dalam bentuk sistematika penulisan hukum yang
terdiri dari 4 (empat) bab dimana tiap-tiap bab terbagi dalam sub-sub bagian
yang dimaksudkan untuk memudahkan pemahaman mengenai seluruh isi
penulisan hukum ini. Adapun sistematika penulisan hukum ini adalah sebagai
berikut:
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini, penulis menguraikan latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metode penelitian, dan sistematika penulisan hukum (skripsi).
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini Penulis akan memberikan landasan teori atau
bahan hukum yang Penulis gunakan dan doktrin ilmu hukum
yang dianut secara universal mengenai persoalan yang berkaitan
dengan permasalahan yang sedang Penulis teliti.
Landasan teori tersebut meliputi tinjauan tentang perbandingan
hukum, tinjauan tentang HKI, tinjauan tentang hak cipta, tinjauan
tentang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta, tinjauan tentang Akta Hakcipta 1987
Malaysia, tinjauan tentang Akta Warisan Kebangsaan 2005
Malaysia, tinjauan tentang pengetahuan tradisional (traditional
knowledge), tinjauan tentang folklor (folklore), tinjauan tentang
instrumen musik tradisional, dan tinjauan tentang instrumen
musik tradisional Angklung.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini Penulis menguraikan dan menyajikan pembahasan
berdasarkan rumusan masalah, yaitu: komparasi pengaturan
perlindungan hak cipta atas instrumen musik tradisional antara
Indonesia dengan Malaysia, dan apa yang menjadi kelebihan dan
kekurangan pengaturan perlindungan hak cipta atas instrumen
musik tradisional antara Indonesia dengan Malaysia.
BAB IV : PENUTUP
Bab ini menguraikan simpulan dan saran terkait dengan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Perbandingan Hukum
a. Istilah dan Defisinsi Perbandingan Hukum
Terdapat beberapa istilah asing mengenai perbandingan hukum,
yaitu antara lain: comparative law, comparative jurisprudence, foreign
law (Inggris), droit compare (Perancis), rechtvergelijking (Belanda),
rechtsvergleichung atau vergleichende rechlehre dalam istilah Jerman
(Barda Nawawi Arief, 2002: 3).
Ada pendapat yang menyatakan bahwa comparative law berbeda
dengan foreign law. Dikatakan bahwa comparative law mempelajari
berbagai sistem hukum asing dengan maksud untuk membandingkannya,
sedangkan foreign law mempelajari hukum asing dengan maksud
semata-mata untuk mengetahui sistem hukum asing itu sendiri dengan
tidak secara nyata bermaksud untuk membandingkannya dengan sistem
hukum lain (Barda Nawawi Arief, 2002: 3).
Berikut akan dipaparkan definisi perbandingan hukum dari
beberapa ahli hukum, diantaranya:
1) Winterton
Perbandingan hukum adalah suatu metode yang membandingkan
sistem-sistem hukum, dan perbandingan tersebut menghasilkan data
sistem hukum yang dibandingkan (Romli Atmasasmita, 2000: 7).
2) Lemaire
Perbandingan hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan (yang juga
mempergunakan metode perbandingan) berisikan kaidah-kaidah
hukum, persamaan dan perbedaannya, sebab-sebabnya, dan
dasar-dasar kemasyarakatannya (Romli Atmasasmita, 2000: 8).
Zweigert dan Kotz mendefinisikan bahwa: Comparative law is the
comparasion of the spirit and style of different legal system or of
comparable legal institutions or of the solution of comparable legal
problems in different system (Romli Atmasasmita, 2000: 9).
4) Soerjono Soekanto
Perbandingan hukum merupakan metode dan ilmu. baginya yang
penting ialah, bahwa dalam ilmu-ilmu hukum itu, bagaimana
penggunaan metode perbandingan secara tepat sebagai metode dan
penempatannya yang tepat dalam sasaran, demi perkembangan ilmu
kaidah dan ilmu pengertian dan bagaimana mengembangkan hukum
sebagai suatu cabang ilmu pengetahuan.
5) Levy Ullman
Perbandingan hukum merupakan cabang dari ilmu hukum dimana
tujuannya yaitu untuk membentuk hubungan erat yang tersusun
secara sistematis antara lembaga-lembaga hukum dari berbagai
negara.
6) Sunaryati Hartono
Perbandingan hukum merupakan cara penyelidikan suatu metode
untuk membahas suatu persoalan hukum dalam bidang manapun
juga.
7) Rudolf B. Schlesinger
Perbandingan hukum merupakan metoda penyelidikan dengan tujuan
untuk memperoleh pengetahuan yang lebih dalam tentang bahan
hukum tertentu. Perbandingan hukum bukanlah perangkat peraturan
dan asas-asas hukum dan bukan suatu cabang hukum, melainkan
merupakan teknik untuk menghadapi unsur hukum asing dari suatu
masalah hukum.
b. Perbandingan Hukum sebagai Metode dan Ilmu
Perbandingan hukum menunjukkan pembedaan antara
perbandingan hukum sebagai metode dan sebagai ilmu. Ketidakjelasan
luas, seperti yang dapat ditemui pada Black’s Law Dictionary yang
menyatakan bahwa ”comparative jurisprudence” adalah ”The study of
the principles of legal science by the comparison of various systems of
law” (Suatu studi mengenai prinsip-prinsip ilmu hukum dengan
melakukan perbandingan hukum dari beberapa pakar hukum terkenal)”
(Henry Campbell Black: 1968). Akan tetapi perumusan dari Black’s Law
Dictionary tersebut sebenarnya cenderung untuk mengklasifikasikan
perbandingan hukum sebagai metode, karena yang dimaksudkan dengan
”comparative” adalah ”Proceeding by the method of comparison;
founded on comparison; estimated by comparison”.
Ilmu-ilmu hukum juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan
antara gejala-gejala hukum dengan gejala sosial lainnya. Untuk mencapai
tujuannya, maka dipergunakan metode sosiologis, sejarah dan
perbandingan hukum (L. J. Van Apeldoorn: 1966) Penggunaan
metode-metode tersebut dimaksudkan untuk:
1) Metode sosiologis: untuk meneliti hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya.
2) Metode sejarah: untuk meneliti tentang perkembangan hukum. 3) Metode perbandingan hukum: untuk membandingkan berbagai tertib
hukum dari macam-macam masyarakat.
Ketiga metode tersebut saling berkaitan, dan hanya dapat
dibedakan (tetapi tak dapat dipisah-pisahkan). Metode sosiologis,
misalnya, tidak dapat diterapkan tanpa metode sejarah, oleh karena
hubungan antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan
hasil dari suatu perkembangan dari zaman dahulu. Metode perbandingan
hukum juga tidak boleh diabaikan oleh karena hukum merupakan gejala
dunia. Metode sejarah juga memerlukan bantuan dari metode sosiologis,
oleh karena perlu diteliti faktor-faktor sosial yang mempengaruhi
perkembangan hukum. Metode perbandingan tidak akan membatasi diri
pada perbandingan yang bersifat deskriptif; juga diperlukan data tentang
berfungsinya atau efektivitas hukum, sehingga diperlukan metode
perkembangan dari hukum yang diperbandingkan. Dengan demikian
maka ketiga metode tersebut saling mengisi dalam mengembangkan
penelitian hukum (Soerjono Soekanto, 1989: 26).
c. Cabang-Cabang Perbandingan Hukum
Betapa pentingnya perbandingan hukum dan berkembangnya
pengkhususan ini, antara lain terbukti dari kenyataan bahwa kemudian
timbul sub-spesialisasi. Sub-spesialisasi tersebut adalah (Edonard
Lambert: 1957):
1) Descriptive comparative law.
2) Comparative history of law.
3) Comparative legislation atau comparative jurisprudence (proper).
Descriptive comparative law merupakan suatu studi yang
bertujuan untuk mengumpulkan bahan-bahan tentang sistem hukum
berbagai masyarakat (atau bagian masyarakat). Cara menyajikan
perbandingan dapat didasarkan pada lembaga-lembaga hukum tertentu
(bidang tata hukum) ataupun kaedah-kaedah hukum tertentu yang
merupakan bagian dari lembaga tersebut. Yang sangat ditonjolkan adalah
analisis deskriptif yang didasarkan pada lembaga-lembaga hukum.
Comparative history of law berkaitan erat dengan sejarah,
sosiologi hukum, antropologi hukum dan filsafat hukum dan untuk
Comparative legislation atau comparative jurisprudence (proper)
bertitik tolak pada (Edouard Lambert: 1957): ”... the effort to define the
common trunk on which present national doctrines of law are destined to
graft themselves as a result both of the development of the study of law as
a social science and of the awakening of an international legal
consciousness.”
Bahan-bahan yang dipergunakan dalam perbandingan hukum
dapat berupa bahan yang langsung didapat dari masyarakat (data primer),
maupun bahan kepustakaan (data sekunder). Bahan-bahan kepustakaan
tersebut dapat berupa bahan hukum primer, sekunder ataupun tertier (dari
mencakup peraturan perundang-undangan, bahan hukum yang
dikodifikasikan (misalnya hukum adat) yurisprudensi, traktat, dan
seterusnya. Bahan-bahan hukum sekunder, antara lain peraturan
perundang-undangan (untuk ”comparative history of law”), hasil karya
para sarjana, hasil penelitian, dan seterusnya. Bahan-bahan hukum tersier
dapat dipergunakan sebagai bahan untuk mencari dan menjelaskan bahan
primer dan sekunder (Soerjono Soekanto, 1989: 54).
2. Tinjauan tentang Hak Kekayaan Intelektual
a. Perlindungan Hukum Internasional terhadap Hak Kekayaan Intelektual
Berkembangnya perdagangan internasional dan adanya gerakan
perdagangan bebas mengakibatkan makin terasa kebutuhan terhadap HKI
yang sifatnya tidak lagi timbal balik tetapi sudah bersifat antar negara
secara global. Pada akhir abad ke-19, perkembangan pengaturan HKI
mulai melewati batas-batas negara. Tonggak sejarahnya diawali dengan
dibentuknya Paris Convention for The Protection of Industrial Property
(Konvensi Paris) yang merupakan suatu perjanjian internasional
mengenai perlindungan terhadap hak kekayaan perindustrian yang
diadakan pada tanggal 20 Maret 1883 di Paris. Tidak lama kemudian
pada tahun 1886, dibentuk pula sebuah konvensi untuk perlindungan di
bidang hak cipta yang dikenal dengan International Convention for the
Protection of Literary and Artistic Works (Berne Convention) yang
ditandatangani di Berne (Muhamad Djumhana dan R. Djubaedillah,
1993: 12). Untuk mengelola kedua konvensi itu, maka melalui
Konferensi Stockholm pada tahun 1967 telah diterima suatu konvensi
khusus pembentukan organisasi dunia untuk hak kekayaan intelektual
(Convention Establishing the World Intellectual Property Organization/
WIPO) dan Indonesia menjadi anggotanya bersamaan dengan ratifikasi
Konvensi Paris. Sementara itu, General Agreement on Tariff and Trade
(GATT) dibentuk pada tahun 1947. Pada awalnya GATT diciptakan
dan mempunyai misi untuk mengurangi hambatan yang berupa bea
masuk (tariff barrier) maupun hambatan lainnya (non-tariff barrier).
Setelah sistem ini berjalan selama 40 tahun, maka dilebur dalam Naskah
Akhir Putaran Uruguay, yang ditandai dengan hadirnya organisasi
internasional yang mempunyai wewenang substantif dan cukup
komprehensif yaitu World Trade Organization (WTO). WTO yang akan
mengelola seluruh persetujuan dalam Putaran Uruguay bahkan
Persetujuan Umum tentang Tarif dan Perdagangan (GATT) 1947 serta
hasil-hasil putaran setelah itu. WTO akan mempermudah
pengimplementasian dan pelaksanaan seluruh persetujuan dan instrumen
hukum yang dirundingkan dalam Putaran Uruguay.
Atas desakan Amerika Serikat dan beberapa negara maju lainnya,
topik perlindungan HKI di negara-negara berkembang muncul sebagai
suatu isu baru dalam sistem perdagangan internasional. HKI sebagai isu
baru muncul di bawah Agreement on Trade Related Aspects of
Intellectual Property Right (TRIPs) atau Aspek Perdagangan Hak
Kekayaan Intelektual (HKI). Perjanjian tersebut merupakan sesuatu yang
komplek, komprehensif, dan ekstensif. TRIPs bertujuan untuk
melindungi dan menegakkan hukum HKI guna mendorong timbulnya
inovasi, pengalihan serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat
bersama pembuat dan pemakaian pengetahuan teknologi, dengan cara
yang menciptakan kesejahteraan sosial ekonomi serta keseimbangan
antara hak dan kewajiban. Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan
hambatan dalam perdagangan internasional dengan mengingat kebutuhan
untuk meningkatkan perlindungan yang efektif dan memadai terhadap
HKI, serta untuk menjamin agar tindakan dan prosedur untuk
menegakkan HKI tidak kemudian menjadi penghalang hal perdagangan
yang sah.
Kesepakatan TRIPs merupakan dampak dari kondisi perdagangan
dan ekonomi internasional yang dirasa semakin mengglobal sehingga
batas-batas negara. Berkaitan dengan kebutuhan setiap negara untuk
melindungi HKI-nya maka kehadiran TRIPs akan menjadi satu acuan
dalam pembentukan undang-undang nasional di bidang HKI bagi setiap
negara termasuk Indonesia. Persetujuan TRIPs ditujukan untuk
mendorong terciptanya iklim perdagangan dan investasi yang lebih
kondusif dengan (Eddy Damian, 2002: 36-37):
1) Menetapkan standar minimum perlindungan HKI dalam sistem hukum nasional negara-negara anggota WTO.
2) Menetapkan standar bagi administrasi dan penegakan HKI. 3) Menciptakan suatu mekanisme yang transparan.
4) Menciptakan sistem penyelesaian sengketa yang efektif dan dapat diprediksi untuk menyelesaikan sengketa HKI di antara para anggota WTO.
5) Memungkinkan adanya mekanisme yang memastikan bahwa sistem HKI nasional mendukung tujuan-tujuan kebijakan publik yang telah diterima luas.
6) Menyediakan mekanisme untuk menghadapi penyalahgunaan sistem HKI.
b. Definisi Hak Kekayaan Intelektual
Istilah tentang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) merupakan
terjemahan dari Intellectual Property Right (IPR), sebagaimana diatur
pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO
(Agreement Establishing The World Trade Organization). Pengertian
Intellectual Property Right (IPR) adalah yang mengatur segala
karya-karya yang lahir karena adanya kemampuan intelektual manusia. Dengan
demikian IPR merupakan pemahaman mengenai hak atas kekayaan yang
timbul dari kemampuan intelektual, yang mempunyai hubungan dengan
hak seseorang secara pribadi yaitu hak asasi manusia (human right).
Hak kekayaan disini menyangkut pengertian “pemilikan”
(ownership) yang menyangkut lembaga sosial dan hukum, keduanya
selalu terkait dengan “pemilik” (owner) dan sesuatu benda yang dimiliki
(something owned). Secara luas konsep “kepemilikan” dan “kekayaan”
apabila dikaitkan dengan “hak”, maka ditinjau dari segi hukum, dikenal
kebendaan. Pada dasarnya hak kebendaan meliputi juga hak kepemilikan
karena kepemilikan senantiasa berhubungan dengan benda tertentu baik
secara materiil maupun immaterial. Pada bidang milik intelektual terdiri
dari hak milik perindustrian (industrial right) yang khusus berkenaan
dengan bidang industri, serta hak cipta yangk meliputi bidang ilmu
pengetahuan, seni dan kesusastraan.
Menurut W.R. Cornish (2007: 106) “hak milik intelektual
melindungi pemakaian ide dan informasi yang mempunyai nilai
komersiil atau nilai ekonomi”. Pemilikannya tidak berupa hasil
kemampuan intelektual manusianya yang baru berupa idea tertentu. Hak
milik intelektual ini baru ada, bila kemampuan intelektual manusia itu
telah membentuk sesuatu yang dapat dilihat, didengar, dibaca, maupun
digunakan secara praktis.
Hak milik intelektual ini merupakan hak yang berasal dari hasil
kegiatan kreatif suatu kemampuan daya pikir manusia yang
diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, yang
memiliki manfaat serta berguna dalam menunjang kehidupan manusia,
juga mempunyai nilai ekonomi. Bentuk nyata dari kemampuan karya
intelektual tersebut bisa di bidang teknologi, ilmu pengetahuan, maupun
seni dan sastra.
Hak kekayaan intelektual adalah hak eksklusif yang diberikan
oleh negara kepada seseorang atau sekelompok orang atau entitas untuk
memegang monopoli dalam menggunakan dan mendapatkan manfaat
dari karya intelektual yang mengandung HKI tersebut. HKI terdiri dari
jenis-jenis perlindungan atau rezim yang berbeda, tergantung pada objek
(bentuk karya intelektual) yang dilindungi (Emmy Yuhassarie, 2004: 6).
Sebagai suatu hak milik yang timbul dari karya, karsa, cipta
manusia atau dapat pula disebut sebagai hak atas kekayaan intelektualitas
manusia. Hasil kreasi tersebut, dalam masyarakat beradab diakui bahwa