• Tidak ada hasil yang ditemukan

DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA DESA KUTURAI, KECAMATAN SIBERUT SELATAN, MENTAWAI, SUMATERA BARAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "DATA DASAR ASPEK SOSIAL TERUMBU KARANG INDONESIA DESA KUTURAI, KECAMATAN SIBERUT SELATAN, MENTAWAI, SUMATERA BARAT"

Copied!
166
0
0

Teks penuh

(1)

DATA DASAR ASPEK SOSIAL

TERUMBU KARANG INDONESIA

DESA KUTURAI, KECAMATAN SIBERUT SELATAN,

(2)

DATA DASAR ASPEK SOSIAL

TERUMBU KARANG INDONESIA

DESA KUTURAI, KECAMATAN SIBERUT SELATAN,

MENTAWAI, SUMATERA BARAT

Oleh :

Nawawi

Ari Wahyono

COREMAP – LIPI

PUSAT PENELITIAN KEPENDUDUKAN LEMBAGA ILMU PENGETAHUAN INDONESIA

(PPK-LIPI) 2006

(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF

Buku ini merupakan hasil studi tentang Data Dasar Sosial Ekonomi Terumbu Karang di Desa Katurai Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (PPK LIPI) bekerja sama dengan COREMAP pada tahun 2005. Tujuan umum dari studi ini adalah untuk mengumpulkan dan menganalisis data dasar mengenai aspek sosial berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Data dasar tersebut diharapkan dapat digunakan sebagai masukan bagi para perencana, pengelola dan pelaksana dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP tahap II di lokasi studi. Disamping itu hasil studi ini juga diharapkan dapat menjadi masukan dalam menyusun indikator yang dapat dipakai sebagai tolak ukur dalam mengevaluasi keberhasilan pelaksanaan program COREMAP tahap II.

Desa Katurai yang menjadi lokasi studi kasus dalam penelitian ini merupakan satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Mentawai. Desa ini merupakan salah satu daerah yang paling dekat dengan konsentrasi terumbu karang yang ada di Pulau Siberut Bagian Selatan. Wilayah perairan Desa Katurai, terutama di sekitar pulau-pulau kecil, sejak lama telah menjadi lokasi penangkapan (fisihing ground) berbagai jenis ikan, seperti jenis ikan palagis, ikan karang dan biota laut lainnya. Sebagian besar nelayan yang beroperasi di sekitar perairan Desa Katurai tersebut adalah nelayan dari luar Desa Katurai, seperti dari Pulau Sipora, Pagai, Sibolga, Padang Pariaman, Padang, Bengkulu, bahkan nelayan dari luar negeri seperti Thailand, Malaysia dan China. Strategisnya wilayah perairan laut Desa Katurai juga menjadikan daerah ini sebagai lokasi persinggahan bagi nelayan luar untuk berisitirahat ataupun bersandar (terutama kapal bagan) ketika cuaca di laut tidak bersahabat

Sebagian besar penduduk Desa Katurai memiliki pekerjaan utama sebagai petani kebun, seperti kelapa, cengkeh, cokelat, nilam dan buah musiman. Mereka yang bekerja sebagai nelayan adalah nelayan keluarga yang bersifat subsisten. Hasil laut yang didapatkan umumnya ditujukan untuk kebutuhan konsumsi protein keluarga. Alat tangkap yang digunakan juga masih sangat sederhana, yaitu berupa pancing rawai (toluk), jaring ingsan dan perahu sampan. Karena terkendala dengan permodalan dan kelengkapan peralatan, sebagian besar nelayan di Desa Katurai hanya memanfaatkan potensi sumberdaya laut yang ada di sekitar perairan teluk. Jenis hasil tangkapan yang diperoleh adalah

(4)

berbagai jenis sumberdaya laut yang hidup di ekosistem hutan mangrove seperti berbagai jenis ikan perairan dangkal, kepiting bakau, kerapu bakau, dan udang. Hanya sedikit nelayan di Desa Katurai yang memanfaatkan sumberdaya laut di sekitar konsentrasi terumbu karang. Mereka adalah nelayan pencari lola, teripang dan ikan-ikan karang.

Pola mata pencaharian penduduk di Desa Katurai yang relatif masih bersifat subsisten merupakan salah satu tantangan, sekaligus jawaban terhadap permasalahan yang harus diselesaikan dalam proses pembangunan di daerah ini. Keterisolasian dan keterbelakangan dalam segala aspek kehidupan ekonomi merupakan faktor utama yang menyebabkan daerah ini tergolong sulit untuk berkembang. Belum lagi dengan keadaan topografi lahan yang sebagian besar didominasi oleh daerah perbukitan dan hutan lebat yang mencerminkan beratnya medan yang harus ditaklukkan dalam membangun daerah ini. Permasalahan pembangunan yang dihadapai semakin menjadi rumit dan kompleks ketika berbenturan dengan fasilitas sarana dan prasarana sosial ekonomi yang sangat minim.

Kualitas SDM di Desa Katurai dapat dikatakan relatif rendah. Sebagian besar (sekitar 80 persen) penduduk hanya memiliki tingkat pendidikan tamat SD ke bawah. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk diduga terkait dengan minimnya sarana dan prasarana pendidikan di daerah ini. Untuk menyekolahkan anak usia sekolah ke jenjang SMP ke atas, maka orang tua murid di Desa Katurai harus mengirim putra-putri mereka ke ibukota kecamatan dengan resiko beban biaya akomodasi dan biaya lainnya yang lebih besar.

Tingkat pendapatan penduduk Desa Katurai umumnya sangat rendah. Mayoritas rumah tangga di desa ini berpendapatan di bawah Rp 500.000,- per bulan. Perolehan pendapatan tersebut sebagian besar ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan pangan yaitu berupa pembelian sembako yang semuanya harus dibeli di ibukota kecamatan dan berasal dari Kota Padang. Hampir sebagian besar (65 persen) penduduk di Desa Katurai hidup berada di bawah garis kemiskinan. Rata-rata pengeluaran pangan penduduk relatif lebih besar dibandingkan dengan rata-rata pengeluaran non pangan. Persentase pengeluran pangan terbesar adalah pembelian beras, sementara untuk non pangan adalah pengeluaran untuk membeli rokok dan pembiayaan pendidikan.

Teripang, lola dan ikan kerapu bakau adalah tiga jenis komoditi laut yang potensial dikembangkan di daerah ini. Ketiga jenis sumberdaya laut ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi dan prospek pengembangan yang cukup menjanjikan. Namun hingga saat ini pengelolaannya masih pada taraf tradisional dan hanya melibatkan sebagian kecil penduduk.

(5)

Pengolahan ketiga jenis SDL tersebut juga masih sangat sederhana dan umumnya ditujukan untuk penjualan langsung. Pemasaran ketiga produk SDL tersebut sebagian besar melibatkan pedagang pengumpul dari tingkat desa, kecamatan hingga tujuan akhir yaitu di Kota Padang.

Tingkat kerusakan terumbu karang di sekitar perairan laut Desa Katurai sudah dalam tahap memperihatinkan. Jumlah tutupan karang hidup di sekitar perairan Desa Katurai relatif sedikit dibandingkan dengan tutupan karang mati. Aktivitas penangkapan menggunakan

potasium sianida diduga menjadi salah satu penyebab utama kerusakan terumbu karang di daerah ini. Penduduk Desa Katurai mengklaim perusak karang umumnya adalah nelayan Sibolga yang menggunakan potas untuk menangkap ikan karang (kerapu). Selain penggunaan zat beracun, penggunaan bahan peledak (bom ikan) juga teridentifikasi sebagai sumber perusakan terumbu karang di perairan Desa Katurai. Sama halnya dengan penggunaan potas, penduduk di Desa Katurai juga mengklaim bahwa nelayan pengguna bom ikan sebagian besar berasal dari Sibolga.

Masalah kerusakan terumbu karang di daerah ini juga terkait dengan kebiasaan penduduk yang masih menggunakan karang mati sebagai material bahan bangunan. Umumnya bangunan tembok dan berpondasi di Desa Katurai menggunakan bahan baku dari karang mati. Begitu pula dalam proses pembangunan jalan desa yang seluruhnya menggunakan karang mati dan pasir laut sebagai material bahan baku. Kondisi ini menjadi dilematis, ketika tidak ada alternatif lain penggunaan bahan baku bangunan yang relatif ramah lingkungan (misalnya batu bata).

Berikut ini saran atau rekomendaasi yang dapat dilakukan berkaitan dengan upaya peningkatan kesejahteraan penduduk di Desa Katurai dan intervensi dalam pengelolaan sumberdaya laut yang berkelanjutan, yaitu (1) Pembentukan kelembagaan pasar dan peningkatan kegiatan pengolahan dan pemasaran produk sumberdaya alam dan sumberdaya laut; (2) Intervensi penggunaan teknologi tepat guna; (3) Meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan

ecotourism: (4) Peningkatan program sosialisasi pemahaman masyarakat terhadap keberadaan dan manfaat keberlanjutan sumberdaya laut; (5) Pengenalan alternatif penggunan media bahan bangunan yang ramah lingkungan; (6) Penguatan kelembagaan kelompok tani dan kelompok nelayan. (7) Peningkatan koordinasi kelembagaan penegak hukum dalam pengawasaan terhadap pengelolaan sumberdaya laut, baik di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan propinsi; (8) Formulasi kebijakan dan peraturan daerah yang dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya laut namun tidak

(6)

melupakan upaya pengawasan dan pelestarian; dan (9) Peningkatan keterlibatan seluruh stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya laut dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten hingga propinsi.

(7)

KATA PENGANTAR

Buku tentang Data Dasar Aspek Sosial Terumbu Karang di lokasi COREMAP fase II ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Kependudukan (PPK-LIPI) bekerja sama dengan COREMAP-LIPI. Penelitian dilakukan di 10 lokasi COREMAP di Provinsi Sumatera Barat, Provinsi Sumatera Utara dan Provinsi Kepulauan Riau.

Buku ini berisi data dasar dan kajian tentang kondisi demografi dan sosial ekonomi penduduk yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang di Desa Katurai Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat. Informasi dalam buku ini merupakan data dasar yang dapat didigunakan oleh para perencana, pengelola dan pelaksana dalam merancang, melaksanakan dan memantau program COREMAP. Data dasar ini juga dapat digunakan oleh stakeholders (users) sebagai bahan pembelajaran dalam pemanfaatan sumberdaya laut khususnya terumbu karang.

Terlaksananya kegiatan penelitian dan penulisan buku ini melibatkan berbagai pihak. Kepada para informan diantaranya masyarakat nelayan, pemimpin formal dan informal serta tokoh masyarakat di lokasi penelitian kami ucapkan terima kasih atas segala bantuannya. Kami juga memberikan penghargaan setinggi-tingginya kepada semua narasumber dari berbagai unsur, seperti dari pemerintah daerah Kabupaten Mentawai, Propinsi Sumatera Barat, LSM dan akademisi yang ada di daerah yang telah membantu memberikan data dan informasi.

Pada akhirnya, kami menyadari bahwa buku ini masih kurang sempurna meskipun tim penulis telah berusaha sebaik mungkin dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan demi penyempurnaan buku ini.

Jakarta, Februari 2006

Kepala PPK-LIPI,

(8)
(9)

DAFTAR ISI

Halaman

RINGKASAN ... iii

KATA PENGANTAR... v

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL... xiii

DAFTAR DIAGRAM... xvii

DAFTAR FOTO... xix

DAFTAR LAMPIRAN... xxi

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Pendahuluan... 1 1.2. Metode Penelitian ... 4 1.2.1. Lokasi Penelitian ... 4 1.2.2. Sumber Data ... 5 1.2.3. Analisis Data ... 7

1.3. Kesulitan dan Kemudahan... 7

1.4. Organisasi Penulisan ... 8

BAB II PROFIL DAERAH PENELITIAN... 11

2.1. Kondisi Geografis... 11

2.2. Potensi Sumberdaya Alam ... 17

2.2.1. Sumberdaya Darat ... 18

2.2.2. Sumberdaya Laut ... 20

2.2.3. Kegiatan Wisata ... 22

2.3. Kondisi Kependudukan ... 23

2.4. Sarana dan Prasarana... 24

2.4.1. Pendidikan ... 25

2.4.2. Kesehatan ... 27

2.4.3. Transportasi dan Komunikasi... 29

2.5. Kelembagaan Ekonomi dan Sosial ... 32

BAB III KONDISI DAN DINAMIKA PENDUDUK... 35

3.1. Jumlah dan Komposisi Umur Responden... 35

3.2. Kualitas Sumberdaya Manusia (SDM)... 37

3.2.1. Pendidikan dan Keterampilan ... 38

(10)

3.2.3. Kegiatan Utama dan Jenis

Pekerjaan ... 44

3.3. Tingkat Kesejahteraan ... 51

3.3.1. Pendapatan... 52

3.3.2. Pengeluaran... 57

3.3.3. Strategi Pengelolaan Keuangan ... 62

3.3.4. Pemilikan Aset Produksi dan RT... 66

3.3.5. Kondisi Perumahan dan Lingkungan 72 BAB IV PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAUT ... 77

4.1. Pengelolaan Terumbu Karang ... 77

4.1.1. Pengetahuan Terhadap Terumbu Karang... 78

4.1.2. Sikap Terhadap Pengambilan Terumbu Karang ... 81

4.1.3. Penggunaan Alat Tangkap Merusak Terumbu Karang ... 84

4.1.4. Pengetahuan dan Sikap Mengenai Larangan dan Sanksi Penggunaan Alat Tangkap Yang Merusak Terumbu Karang ... 86

4.1.5. Persepsi Terhadap Program COREMAP ... 89

4.2. Wilayah Penangkapan ... 92

4.3. Teknologi Penangkapan ... 94

4.4. Stakeholders yang Terlibat Dalam Pengelolaan SDL ... 97

4.5. Hubungan antar Stakeholder ... 99

BAB V PRODUKSI, PENGOLAHAN DAN PEMASARAN SDL ... 103

5.1. Produksi Sumber Daya Laut ... 104

5.1.1. Teripang ... 106

5.1.2. Lola ... 110

5.1.3. Ikan Kerapu Bakau... 111

5.2. Pengolahan Hasil Sumberdaya Laut ... 113

5.3. Pemasaran Sumberdaya Laut ... 116

5.3.1. Pemasaran Teripang... 116

5.3.2. Pemasaran Lola ... 119

(11)

BAB VI DEGRADASI SUMBERDAYA LAUT DAN

FAKTOR-FAKTOR YANG BERPENGARUH ... 125

6.1. Kerusakan Sumberdaya Laut ... 125

6.2. Faktor yang Berpengaruh terhadap Kerusakan Sumberdaya Laut ... 126

6.3. Konflik Kepentingan Antara Stakeholders .... 129

BAB VII KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ... 131

7.1. Kesimpulan ... 131

7.2. Rekomendasi ... 134

DAFTAR PUSTAKA ... 139

(12)
(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Luas Wilayah Kabupaten Mentawai

Menurut Kecamatan, 2002 13

Tabel 2.2. Jumla Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Per Km2 Menurut Kecamatan di Kabupaten Mentawai, 2002

13

Tabel 2.3. Luas Kecamatan Siberut Selatan Menurut Desa, 2002

16

Tabel 2.4. Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Desa, Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Mentawai, 2002

24

Tabel 2.5. Jumlah Sekolah, Kelas, Guru, dan Murid Menurut Tingkat Pendidikan Kecamatan Siberut Selatan, 2002

25

Tabel 2.6. Jumlah Sarana Kesehatan Menurut Desa

di Kecamatan Siberut Selatan, 2002 28

Tabel 2.7. Jadwal Transportasi Laut Mentawai – Padang-Mentawai

30

Tabel 3.1. Distribusi Responden Menurut Kelompom Umur dan Jenis Kelamin, Desa Katurai, 2005

38

Tabel 3.2. Distribusi Responden Berusia di Atas 7 Tahun Menurut Tingkat Pendidikan dan Jenis Kelamin Desa Katurai, 2005

39

Tabel 3.3. Jumlah Pasien yang Berkunjung Ke Puskesmas Menurut Jenis Penyakit, Kecamatan Siberut Selatan, 2002

(14)

Tabel 3.4. Distribusi Responden Berusia 10 Tahun ke Atas Menurut Jenis Kegiatan dan Jenis Kelamin, Desa Katurai, 2005

46

Tabel 3.5. Statistik Pendapatan Rumah Tangga

Terpilih, Desa Katurai, 2005 52

Tabel 3.6. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Tingkat Pendapatan, Desa Katurai, Juni 2005

53

Tabel 3.7. Pendapatan Rumah Tangga Terpilih

Menurut Lapangan Pekerjaan Utama, Desa Katurai, 2005

54

Tabel 3.8. Pendapatan Rumah Tangga Terpilih Dari Kegiatan Kenelayanan Menurut Musim, Desa Katurai, 2005

55

Tabel 3.9. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Tingkat Pendapatan dan Musim Ikan, Desa Katurai, 2005

56

Tabel 3.10. Distribusi Tingkat Pengeluran Rumah Tangga Terpilih Menurut Jenis Kebutuhan, Desa Katurai, Juni 2005

58

Tabel 3.11. Statistik Tingkat Pengeluran Rumah

Tangga Terpilih, Desa Katurai, Juni 2005 59

Tabel 3.12. Rata-rata Pengeluaran Pangan dan Non Pangan Rumah Tangga Terpilih Menurut Jenis, Desa Katurai, Juni 2005

65

Tabel 3.13. Distribusi Responden Menurut Kepemilikan Jenis Tabungan, Desa Katurai, 2005 63

Tabel 3.14. Persentase Jumlah Rumah Tangga Terpilih Menurut Jenis Kesulitan Keuangan Setahun Terakhir, Desa Katurai, 2005 65

(15)

Tabel 3.15. Distribusi Rumah Tangga Terpilih Menurut Upaya yang Dilakukan dalam Mengatasi Kesulitan Keuangan Setahun Terakhir, Desa Katurai, 2005

66

Tabel 3.16. Jumlah Rumah Tangga Terpilih Menurut Kepemilikan Alat Produksi Perikanan Tangkap, Desa Katurai, 2005

67

Tabel 3.17. Jumlah Rumah Tangga Terpilih Menurut Kepemilikan Alat Produksi Pertanian dan Lainnya, Desa Katurai, 2005

71

Tabel 3.18. Persentase Rumah Tangga Terpilih Menurut Jenis Penggunaan Sumber Air Bersih, Desa Katurai, 2005

74

Tabel 3.19. Persentase Rumah Tangga Terpilih

Menurut Penggunaan Tempat Pembuangan Sampah, Desa Katurai, 2005

75

Tabel 4.1.

Pengetahuan Responden Tentang Bahan Atau Alat Tangkap yang Dapat Merusak

Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005 81

Tabel 4.2. Persentase Pengakuan Responden Terhadap Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

85

Tabel 4.3. Persentase Pengetahuan Responden Terhadap Orang Lain yang Menggunakan Alat Tangkap Merusak Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

86

Tabel 4.4. Persentase Jawaban Responden Tentang Adanya Peraturan Larangan Penggunaan Alat Tangkap yang Merusak Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

(16)

Tabel 4.5. Persentase Jawaban Responden Tentang Adanya Sanksi Bagi yang Menggunakan Alat Tangkap Merusak Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

88

Tabel 5.1. Produksi Perikanan Tangkap Menurut Jenis Ikan di Kabupaten Mentawai, 2005 105

Tabel 5.2. Produksi Perikan Laut Menurut Kecamatan

di Kabupaten Mentawai, 2002 106

Tabel 5.3. Jenis Teripang dan Taksiran Harga Jual

Desa Katurai, 2005 109

Tabel 5.4. Variasi Harga Jual Beberapa Teripang di

Desa Katurai, 2005 118

Tabel 6.1 Keragaman Terumbu Karang di Perairan Pulau Siberut

(17)

DAFTAR DIAGRAM

Halaman

Diagram 3.1. Perbandingan Komposisi Umur Responden Menurut Klasifikasi Usia, Desa Katurai, 2005

37

Diagram 3.2. Persentase Tingkap Pendidikan

Responden, Desa Katurai, 2005 38

Diagram 3.3. Persentase Jenis Pekerjaan Utama

Responden, Desa Katurai, 2005 47

Diagram 3.4. Persentase Jenis Pekerjaan Tambahan

Responden, Desa Katurai, 2005 49

Diagram 3.5. Strategi Pekerjaan Penduduk Desa

Katurai, 2005

50

Diagram 4.1. Persentase Tingkat Pengetahuan Responden Tentang Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

78

Diagram 4.2. Persentase Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Manfaat Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

79

Diagram 4.3. Persentase Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Kondisi Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

80

Diagram 4.4. Persentase Pendapat Responden Tentang Pengambilan Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

82

Diagram 4.5. Persentase Jawaban Responden Dalam Pemanfaatan Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

(18)

Diagram 4.6 Persentase Pengetahuan dan Pendapat Responden Tentang Larangan dan Sanks Pengambilan Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

84

Diagram 4.7. Pengetahuan Responden Tentang Peraturan Adat Dalam Pengelolaan Sumberdaya Laut, Desa Katurai, 2005

89

Diagram 4.8. Persentase Jawaban Responden Tentang Program Penyelamatan Terumbu Karang, Desa Katurai, 2005

90

Diagram 4.9. Persentase Jawaban Responden Tentang Pengetahuan dan Tujuan Program

COREMAP, Desa Katurai, 2005 91

Diagram 4.10. Persentase Jawaban Responden Tentang Keinginan Terlibat dalam Kegiatan

COREMAP, Desa Katurai, 2005 92

Diagram 6.1. Kondisi Terumbu Karang Sekitar Desa Katurai, 2005

(19)

DAFTAR FOTO

Halaman

Foto 2.1. Suasana Pesisir Desa Katurai 15

Foto 2.2. Suasana Jalur Sungai Menuju Desa Katurai 17

Foto 2.3. Tanaman Nilam : Alternatif Sumber

Pendapatan Penduduk Desa Katurai 19

Foto 2.4. Teripang dan Lola : Primadona Hasil Laut

Nelayan Desa Katurai 21

Foto 2.5. Salah Satu Pemandangan Jalan Desa Di

Dusun Malilimok Desa Katurai 31

Foto 3.1. Berbagai Bentuk Rumah Penduduk di Desa Katurai

73

Foto 4.1. Jenis Jaring yang Biasa Digunakan Nelayan

Desa Katurai, 2005 96

Foto 5.1. Berbagai Jenis Teripang Hasil Tangkapan Desa Katurai

113

(20)
(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Peta Lokasi Desa Katurai 141

Lampiran 2 Peta Lokasi Penyebaran Hutan Mangrove

di Desa Katurai 142

Lampiran 3 Peta Lokasi Penyebaran Terumbu Karang

di Desa Katurai 143

Lampiran 4 Peta Lokasi Wilayah Penangkapan SDL di

(22)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam dua dekade terakhir degradasi sumberdaya laut di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang semakin meningkat. Keadaan tersebut terutama terjadi pada daerah yang dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi dan konsentrasi penduduk yang padat. Sebagai contoh, sebagian besar hutan mangrove di Indonesia telah rusak dan beralih fungsi akibat pembangunan yang mendahulukan kepentingan ekonomi (jangka pendek) daripada manfaat kelestarian lingkungan (jangka panjang). Keadaan yang sama juga terjadi pada terumbu karang Indonesia yang kian waktu semakin rusak akibat berbagai kegiatan penangkapan bersifat merusak, seperti penggunaan bahan peledak (bom ikan) dan bahan beracun (potasium cyanide). Studi yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI) menyimpulkan bahwa kerusakan yang terjadi pada terumbu karang Indonesia sudah sangat memperihatinkan. Berdasarkan hasil studi lembaga tersebut, hanya 5,46 persen terumbu karang yang berada di perairan Barat Indonesia dalam kondisi baik dan sekitar 40, 76 persen terumbu karang telah rusak dengan berbagai tingkatan (COREMAP-LIPI, 2002).

Banyak studi menunjukkan bahwa degradasi sumberdaya laut berkaitan dengan motivasi dari pelaku yang melakukan perusakan “The Actors of Destruction” (Hidayati dkk, 2002; Muchtar, 2002). Motivasi tersebut didorong oleh dua faktor utama yaitu karena keserakahan (greediness), kemiskinan dan rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat terhadap pengelolaan sumberdaya laut. Faktor pertama, yaitu keserakahan dan kemiskinan, berkaitan erat dengan motivasi ekonomi diantara berbagai kelompok kepentingan. Seringkali eksploitasi sumberdaya laut dilakukan untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dalam jangka pendek, tanpa memperhatikan dampak lingkungan yang terjadi dan kesinambungannya dalam jangka panjang. Keserakahan dan kemiskinan juga berkaitan erat dengan akibat dari keterbatasan akses ekonomi sehingga pilihan agar tetap bisa hidup dilakukan dengan berbagai cara dan cenderung tidak ramah lingkungan.

Kategori kedua, yaitu rendahnya pengetahuan dan pemahaman terhadap kelestarian lingkungan, berkaitan erat dengan rendahnya pengetahuan masyarakat terhadap dampak negatif dari kegiatan yang merusak sumberdaya laut. Kondisi tersebut salah satunya disebabkan

(23)

oleh terbatasnya informasi, pengetahuan dan kurangnya sosialisasi terhadap pentingnya pengelolaan dan rehabilitasi sumberdaya laut.

Dalam rangka pengelolaan dan pelestarian terhadap ekosistem sumberdaya laut di Indonesia yang berkelanjutan, khususnya terumbu karang, pemerintah Indonesia melalui dukungan dari beberapa lembaga internasional telah melaksanakan program yang dikenal dengan Coral Reefs Rehabilitation and Management Program (COREMAP). Pelaksanaan program COREMAP pada tahap awal (1998-2002) difokuskan di empat propinsi yaitu Propinsi Sulawesi Selatan (Taman Nasional Taka Bone Rate), Papua (Biak), Riau (Kepulauan Riau) dan Nusa Tenggara Timur (Kabupaten Sikka).

COREMAP merupakan program nasional yang bertujuan utama untuk pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya terumbu karang. Lima komponen yang menjadi kegiatan COREMAP adalah (1) Peningkatan Kesadaran dan Partisipasi Masyarakat; yaitu upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya peran terumbu karang dan mengajak masyarakat untuk berperan aktif dan bertanggung jawab dalam mengelola dan memanfaatkan terumbu karang secara lestari; (2)

Pengelolaan Berbasis Masyarakat; antara lain pembinaan masyarakat untuk melakukan kegiatan alternatif seperti budidaya dan usaha kerajinan yang akan meningkatkan pendapatan masyarakat; (3)

Pengembangan Kelembagaan, upaya ini mencakup penguatan koordinasi antar instansi yang berperan dalam penanganan terumbu karang dan peningkatkan kemampuan sumberdaya manusia melalui berbagai pelatihan yang berkaitan dengan pengelolaan dan teknik rehabilitasi terumbu karang. (4) Penelitian, Monitoring dan Evaluasi;

termasuk dalam komponen ini adalah memantau kegiatan masyarakat yang secara langsung berhubungan dengan terumbu karang, seperti pembentukan sistem jaringan pemantauan dan informasi terumbu karang. (5) Penegakan Hukum; kegiatan ini dipandang sangat penting sebagai salah satu komponen kunci yang harus dilaksanakan dalam usaha mencapai tujuan program rehabilitasi dan pengelolaan terumbu karang.

Sejalan dengan berakhirnya kegiatan COREMAP tahap I, program kegiatan tahap II sedang disiapkan. Dengan maksud tidak hanya melanjutkan apa yang telah dilaksanakan pada tahap sebelumnya maka perlu dilakukan perencanaan yang matang, terutama untuk penyesuaian terhadap perubahan yang terjadi. Perencanaan dan penyesuaian program yang tepat perlu dilakukan karena hal tersebut sangat penting dalam mendukung kelancaran pelaksanaan dan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, dalam proses mempersiapkan kegiatan pada tahap kedua, dukungan data atau

(24)

informasi dari berbagai sumber sangat penting sehingga kegiatan selanjutnya dapat ditetapkan secara efektif.

Berdasarkan hasil evaluasi dan lesson learned pelaksanaan COREMAP tahap I, Project Management Office (PMO) COREMAP telah menetapkan lokasi alternatif untuk pelaksanaan program tahap II di beberapa daerah Bagian Barat Indonesia, diantaranya adalah Propinsi Sumatera Utara (Tapanuli Tengah dan Nias), Sumatera Barat (Kabupaten Mentawai) dan Kepulauan Riau (Batam, Natuna dan Kepulauan Riau). Selanjutnya, agar persiapan perumusan program tersebut dapat dilakukan secara efektif, maka dilakukan kegiatan penelitian dengan tujuan untuk mengumpulkan data atau informasi yang dapat digunakan dalam penyusunan kegiatan. Dari aspek sosial diperlukan data dasar berkaitan dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi pilihan. Data tersebut dibutuhkan sebagai dasar penilaian penentuan kegiatan atau program yang tepat sasaran, serta untuk digunakan sebagai bahan evaluasi pelaksanaan program di masa datang.

Buku ini merupakan salah satu hasil dari kegiatan penelitian yang berkaitan dengan aspek sosial ekonomi pemanfaatan terumbu karang di Kabupaten Mentawai Propinsi Sumatera Barat. Penelitian lapangan telah dilaksanakan pada Bulan Juli tahun 2005 yang dilakukan oleh tim peneliti dari Pusat Penelitian Kependudukan LIPI (P2K-LIPI). Secara umum studi ini bertujuan untuk mengumpulkan dan menganalisa data dasar mengenai kondisi sosial ekonomi masyarakat di lokasi penelitian berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya laut, khususnya terumbu karang. Data dasar ini akan digunakan sebagai masukan dalam merancang, melaksanakan dan memantau pelaksanaan program COREMAP tahap II di lokasi penelitian. Secara khusus studi ini bertujuan untuk:

1. Mendeskripsikan kondisi geografis dan sosial ekonomi daerah penelitian, termasuk didalamnya potensi sumberdaya alam, sarana dan prasarana serta kelembagaan sosial dan budaya yang mendukung atau menghambat pengelolaan terumbu karang.

2. Mendeskripsikan kondisi sumberdaya manusia dan memotret tingkat kesejahteraan masyarakat yang dilihat dari tingkat pendidikan, pendapatan, pengeluaran, kepemilikan asset rumah tangga, kondisi perumahan, dan pengelolaan keuangan rumah tangga. Selain itu, studi ini juga mengidentifikasikan kegiatan mata pencaharian alternatif yang dilakukan oleh masyarakat sesuai dengan kondisi sumberdaya manusia dan sumberdaya alam yang tersedia.

(25)

3. Menggambarkan kondisi sumberdaya laut, khususnya terumbu karang dan ekosistemnya termasuk di dalamnya potensi, pola pemanfaatan, teknologi yang digunakan, permodalan, pemasaran serta pengetahuan dan perilaku masyarakat berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaannya.

4. Mengidentifikasi stakeholders dan menganalisa kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Disamping itu, studi ini juga bertujuan untuk mengidentifikasikan potensi konflik atau stakeholders yang dapat berpengaruh negatif terhadap pengelolaan terumbu karang secara berkelanjutan.

1.2. Metode Penelitian 1.2.1. Lokasi Penelitian

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa Propinsi Sumatera Barat merupakan salah satu daerah yang menjadi lokasi terpilih kegiatan COREMAP tahap II. Di daerah ini konsentrasi kegiatan berada di Kabupaten Mentawai. Pemilihan Kabupaten Mentawai sebagai lokasi COREMAP dinilai sangat tepat, mengingat daerah ini memiliki potensi sumberdaya laut yang besar, termasuk keanekaragaman terumbu karang, hutan bakau, berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Disamping itu, perairan laut di daerah ini telah lama menjadi tujuan lokasi penangkapan ikan dan biota laut lainnya oleh nelayan dari berbagai daerah, lintas propinsi dan bahkan nelayan luar negeri dengan berbagai jenis alat tangkap. Dengan demikian diperlukan perhatian dan upaya pengelolaan sumberdaya laut agar pemanfaatannya dapat berkesinambungan di masa datang.

Untuk keperluan studi dasar aspek sosial ekonomi terumbu karang di Kabupaten Mentawai, tepatnya di Kecamatan Siberut Selatan, dipilih salah satu desa yang penduduknya terlibat dalam kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut, yaitu Desa Katurai. Daerah ini merupakan bagian dari salah satu daerah in situ program COREMAP di Kabupaten Mentawai. Alasan dibalik pertimbangan pemilihan Desa Katurai sebagai studi kasus dalam peneilitian ini karena wilayah Desa Katurai merupakan salah satu desa terdekat dengan salah satu lokasi terumbu karang yang terdapat di Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Mentawai. Walaupun sebenarnya penduduk Desa Katurai belum optimal dalam pemanfaatan sumberdaya laut namun kecenderungan untuk pemanfaatan sumberdaya laut di masa datang terlihat semakin meningkat. Terutama karena semakin meningkatnya interaksi penduduk Desa Katurai dengan nelayan dan penduduk dari luar desa.

(26)

Pertimbangan lain adalah karena Desa Katurai memiliki jumlah penduduk, kegiatan ekonomi dan pembangunan yang semakin meningkat, serta memiliki gugusan kepulaun kecil sebagai lokasi wisata laut dan termasuk sebagai rangkaian fishing ground (wilayah penangkapan ikan) di Kecamatan Siberut Selatan. Daratan pantai daerah ini berada pada perairan teluk, sehingga desa ini juga menjadi tujuan kapal-kapal penangkap ikan dari luar daerah untuk bersandar atau sekedar beristirahat. Interaksi antara nelayan luar dan penduduk setempat kian waktu diperkirakan akan berdampak terhadap perubahan pola berpikir dan alternatif aktivitas penduduk lokal terhadap pemanfaatan sumberdaya laut.

1.2.2. Sumber Data

Sumber data yang dipakai dalam tulisan ini meliputi data primer dan sekunder. Data primer mencakup data kuantitatif dan kualitatif yang merupakan data empiris untuk menjelaskan kondisi sosial ekonomi masyarakat, tingkat pengetahuan dan pendapat terhadap pengelolaan terumbu karang di lokasi penelitian. Data kuantitaif diperoleh melalui survei atau pengisian daftar pertanyaan berstruktur (questioner) terhadap 100 rumah tangga terpilih dari sekitar 420 rumah tangga yang ada di Desa Katurai. Setiap rumah tangga diwakili oleh kepala rumah tangga atau anggota rumah tangga yang mengetahui kondisi rumah tangga. Selain itu, untuk masing-masing rumah tangga juga dipilih responden individu yang berusia di atas 15 tahun ke atas.

Data atau informasi yang dikumpulkan melalui questioner terdiri dari dua kategori, pertama adalah data sosial ekonomi rumah tangga dan kedua adalah data pengetahuan, pendapat dan pemahaman penduduk terhadap terumbu karang. Data sosial ekonomi meliputi karakteristik demografi dan kondisi ekonomi rumah tangga; antara lain jumlah, umur, jenis kelamin, pendidikan, jenis pekerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, dan kepemilikan aset rumah tangga; seperti kepemilikan alat produksi perikanan, perumahan, dan tabungan. Sementara data tentang pengetahuan, pendapat dan pemahaman penduduk terhadap terumbu karang merupakan pertanyaan individu yang diawakili oleh respoden anggota rumah tangga berusia di atas 15 tahun. Informasi yang dikumpulkan dalam kategori kedua ini bertujuan untuk menjaring pengetahuan dan sikap responden terhadap pemanfaatan sumberdaya laut di lokasi penelitian khususnya berkaitan dengan terumbu karang.

(27)

Proses penyebaran questioners melibatkan 10 tenaga pewancara yang berasal dari penduduk di lokasi penelitian. Sebelum melakukan survei, para tenaga pewancara ini mendapatkan pelatihan pengisian questioner dari tim peneliti. Kemudian dilakukan uji coba wawancara terhadap 1-2 rumah tangga, agar mereka memahami cara pengisian questioner yang benar, termasuk strategi bertanya menggunakan bahasa setempat (bahasa Mentawai). Setiap questioner

yang telah terisi langsung dikoreksi oleh tim peneliti untuk mengecek kebenaran pengisian dan kelengkapan data. Seorang pewawancara diharuskan melakukan survei ulang jika ditemukan adanya kesalahan dalam pengisian questioner atau diragukan akurasi jawaban dari responden. Pada tahap awal didapati kesalahan tersebut, namun seiring waktu dan pembelajaran, seluruh pewancara telah berhasil melakukan survei sesuai dengan pedoman yang sudah digariskan.

Data kualitatif dikumpulkan melalui berbagai teknik pengumpulan data, diantaranya wawancara mendalam (indpeth interview), diskusi kelompok terfokus (FGD) dan pengamatan (observasi). Wawancara mendalam dilakukan terhadap beberapa stakeholders atau informan kunci (key infoman) dari tingkat desa, kecamatan dan propinsi. Diskusi kelompok terfokus dilakukan di tingkat desa terhadap beberapa kelompok penduduk yang ditetapkan menjadi target group dalam penelitian ini. Selain itu, untuk memahami dan melakukan konfirmasi data, dilakukan juga pengamatan terhadap objek tertentu di lokasi penelitian, seperti pengamatan kondisi perumahan penduduk, kegiatan keseharian penduduk, pemanfaatan terumbu karang untuk pondasi rumah, sarana dan prasarana desa, kondisi pantai, hutan mangrove, hingga kunjungan ke dusun-dusun yang termasuk dalam wilayah desa.

Adapun stakeholders atau informan yang berhasil diwawancarai dalam penelitian ini antara lain adalah : Kepala Desa Katurai, Kepala Dusun Malilimok, Tolaulago dan Saraousow, anggota Badan Perwakilan Desa (BPD) Katurai, nelayan lola, nelayan teripang (sualo), nelayan jaring dan pancing, nelayan dari luar daerah (Sibolga), kelompok nelayan, pemiliki kedai (penampung), petani kopra, cengkeh, nilam, coklat dan keladi, tokoh adat, tokoh pemuda, tokoh gereja, pengurus PPK dan kegiatan keagamaan ibu-ibu, penduduk lokal dan penduduk pendatang, Jagawana Taman Nasional Siberut, unsur penegak hukum (Polairut dan TNI AL), dan Dinas Kelautan dan Perikanan (Pelaksana Proyek COREMAP di tingkat propinsi, Laboratorium Ikan, dan Bagian Perijinan Kegiatan Perikanan dan Kelautan).

Disamping data primer, digunakan juga data sekunder yang dikumpulkan melalui kegiatan desk review terhadap publikasi beberapa instansi atau lembaga yang terkait dengan substansi penelitian. Jenis

(28)

data sekunder yang dapat dikumpulkan diantaranya adalah data-data statistik sosial ekonomi dan perikanan dari Biro Pusat Statistik (BPS) dan statistik perikanan dari Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP). Adanya kendala waktu dan kurangnya kelengkapan data administrasi di tingkat desa dan kecamatan menyebabkan proses pengumpulan data sekunder dalam penelitian ini kurang optimal. Oleh karena itu, beberapa data yang tidak didapatkan baik terbitan BPS ataupun DKP diperoleh melalui konfimasi wawancara mendalam terhadap stakeholders terkait dan terbatas pada saat penelitian dilakukan.

1.2.3. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan cara deskriptif analisis terhadap data atau informasi dan isu-isu yang berkembang sesusai dengan apa yang hendak dicapai dalam tujuan penelitian ini. Deskripsi data kuantitatif dilakukan dengan melakukan tabulasi frekuensi dan tabulasi silang (cross tabulation) untuk melihat kecenderungan dan hubungan dari variabel penelitian yang digunakan. Sementara informasi yang bersifat kualitatif digunakan sebagai analisis penjelas (content analysis) terhadap berbagai kecenderungan dan isu serta permasalahan yang ditemukan di lokasi penelitian. Melalui pengabungan dua teknik analisis ini maka diharapkan uraian dalam buku ini merupakan pembahasan yang komprehensif, sehingga diperoleh gambaran yang utuh serta dilengkapi dengan nuansa dari temuan pokok penelitian.

1.3. Kemudahan dan Kesulitan

Penelitian ini dilakukan pada sekelompok masyarakat yang relatif homogen baik dari latar belakang sosial, strata dan aktivitas ekonomi serta pemahaman terhadap kegiatan pengelolaan sumberdaya laut. Hal ini memberikan kemudahan bagi peneliti dalam mencari, mengumpulkan dan memperdalam data dalam penelitian ini. Namun demikian dalam prosesnya penelitian ini dihadapkan pada kendala di lapangan, terutama yang bersifat teknis yang menyebabkan kegiatan penelitian tidak berjalan sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan. Kendala-kendala tersebut diantaranya:

• Minimnya sarana dan prasarana yang dapat menunjang kelancaran kegiatan penelitian lapangan. Permasalahan ini terutama berkaitan dengan ketidaktersediaan sarana komunikasi dan sarana transportasi yang cepat dan efektif. Hal ini menyebabkan koordinasi di tingkat lapangan mengalami kesulitan dan perjalanan untuk menuju ke lokasi penelitian menghabiskan waktu yang cukup lama

(29)

dan sangat melelahkan. Jadwal keberangkatan kapal penumpang munuju dan dari lokasi penelitian juga sangat tergantung dari kondisi alam (pasang surut air laut dan kemungkinan adanya badai), sehingga perencanaan yang sudah matang ditetapkan terpaksa diubah karena keterbatasan tersebut.

• Lokasi geografis desa yang sangat luas dan menyebar diantara empat dusun yang ada. Jarak antara satu dusun dengan dusun lainnya terbilang cukup jauh dipisahkan oleh daratan hutan, perairan laut dan sungai sehingga hanya dapat ditempuh menggunakan transportasi air (perahu).

• Terbatasnya ketersediaan data sekunder di lapangan (terutama di tingkat desa dan kecamatan) yang bersifat time series (beberapa tahun), lengkap dan up to date, sehingga menyulitkan dalam analisis secara komprehensif.

• Kondisi masyarakat yang masih diliputi trauma dan perasaan was-was akibat becana tsunami dan gempa bumi. Kondisi ini kemudian menjadi hal biasa yang ditemukan peneliti, karena informasi gempa selalu menjadi sumber pertanyaan atau informasi yang ingin didapatkan penduduk. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman yang jelas berkaitan isu gempa dan tsunami. Peneliti juga sulit untuk bertemu dengan aparatur pemerintahan di tingkat kecamatan, karena sebagian besar dari mereka sedang tinggal (mengungsi) di ibukota propinsi (Kota Padang). Umumnya mereka sedang menunggu kepastian/kejelasan tentang gempa yang masih sering terjadi di daerah ini walaupun dalam skala kecil.

1.4. Organisasi Penulisan

Pembahasan dalam buku ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang, tujuan penelitian dan metode penelitian. Bab II menjelaskan seting lokasi penelitian, meliputi keadaan geografis, kondisi sumberdaya alam, sarana dan prasarana dan kelembagaan sosial ekonomi. Bab III menganalisis kondisi dan dinamika penduduk di lokasi penelitian. Analisis dalam bab ini sebagian besar berasal dari data yang diperoleh melalui kegiatan survei.

Bab IV berisi analisis pengelolaan sumberdaya laut di lokasi penelitian. Dalam bagian ini diuraikan pengetahuan, kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap penyelamatan terumbu karang, pembahasan tentang wilayah penangkapan ikan, teknologi yang

(30)

digunakan serta penjelasan tentang stakeholders yang telibat dalam pengelolaan terumbu karang. Bab V berisi penjelasan tentang produksi dan pemanfaatan sumberdaya laut. Pada bagian ini diuraikan produksi, pengolahan dan pemasaran tiga sumberdaya laut dominan di lokasi penelitian.

Bab VI, menguraikan dan mengkaji permasalahan yang berkaitan dengan degradasi sumberdaya laut dilihat dari faktor-faktor yang mempengaruhi kerusakan sumberdaya laut dan kecenderungan konflik kepentingan diantara stakeholders. Laporan penelitian ini diakhiri dengan Bab VII yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi yang berisi temuan pokok penelitian dan beberapa saran dalam mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan pelestarian terumbu karang.

(31)
(32)

BAB II

PROFIL DAERAH PENELITIAN

2.1. Kondisi Geografis

Kabupaten Mentawai yang dikenal dengan sebutan "Bumi Sikerei" adalah satu dari sepuluh kabupaten/kota yang berada di Propinsi Sumatera Barat. Daerah ini ditetapkan menjadi daerah otonom pada tanggal 4 Oktober 1999 berdasarkan UU No.49 tahun 1999 tentang pembentukan Kabupaten Mentawai dan surat keputusan Mendagri No.131.23.1125 yang dimuat dalam lembaran Negara RI No.117 tahun 1999. Sebelum menjadi daerah otonom, Kabupaten Mentawai merupakan daerah kecamatan yang termasuk dalam wilayah administratif Kabupaten Padang Pariaman.

Secara geografis Kabupaten Mentawai berada pada posisi 000 55’ 00”- 30 20’ 00” LS dan 900 35’ 00”- 1000 32’ 00” BT dengan luas daratan mencapai sekitar 6.011,35 Km2. Sebagai daerah kepulauan, seluruh batas administratif daerah ini dengan kabupaten/kota lainnya adalah perairan laut. Bagian Utara Kabupaten Mentawai berbatasan dengan Kabupaten Nias (Propinsi Sumatera Utara) yang dipisahkan oleh Selat Nias. Bagian Selatan berbatasan dengan Kabupaten Pesisir Selatan, bagian Timur berbatasan dengan Kabupaten Padang Pariaman dan Kota Padang. Kedua batas administratif tersebut terpisahkan oleh Selat Mentawai dengan kedalaman laut sekitar 1500 meter dan jarak antar daratan sekitar 85-135 Km. Sedangkan sebelah Barat daerah ini berhadapan langsung dengan perairan Samudera Hindia.

Topografi lahan di kepulauan Mentawai terdiri dari dataran rendah dan perbukitan dengan ketinggian antara 0-275 meter di atas permukaan laut. Daratan di daerah ini diperkirakan terpisah dari Pulau Sumatera sejak jutaan tahun silam dan terbentuk dari proses sedimentasi yang didominasi oleh endapan lumpur (rawa) dan tanah liat bercampur kapur. Menurut catatan sejarah tentang terbentuknya daerah ini, pada zaman es sekitar satu juta hingga sepuluh ribu tahun yang silam, permukaan laut di daerah Asia Tenggara berada pada posisi 200 meter lebih rendah dari kondisi sekarang. Pulau Sumatera merupakan daratan yang menyatu dengan Pulau Jawa, Kalimantan dan Benua Asia. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya penyebaran berbagai jenis binatang di daerah tersebut. Namun Kepulauan Mentawai tetap merupakan daratan tersendiri terpisah oleh laut, dengan kedalaman sekitar 1500 meter, dari daratan Sumatera. Keadaan ini diperkirakan

(33)

terjadi sejak masa Middle Pleistocene (Data Bathymetric). Satu-satunya kemungkinan terjadinya keterkaitan daratan terjadi di bagian Utara Mentawai. Akan tetapi andaikan hubungan tersebut memang ada, keadaan tersebut sudah sejak lama lenyap. Dengan demikian daratan di Kepulauan Mentawai merupakan pulau-pulau asli sejak kira-kira lima ratus ribu tahun yang silam, dimana flora dan faunanya terperlihara dari perubahan evolusi secara dinamis (Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai, 2005:4).

Terdapat perbedaan yang jelas antara pantai di bagian Timur dan Barat. Di bagian Timur, keadaan pantai ditandai dengan garis pantai yang tidak rata, memiliki teluk, tanjung, pulau-pulau kecil, dan perairan dangkal yang dipenuhi dengan hamparan batu karang. Sedangkan pantai di bagian Barat berbentuk lebih lurus, berpasir, memiliki gelombang besar dan sedikit penyebaran terumbu karang. Secara keseluruhan garis pantai di Kabupaten Mentawai mencapai panjang sekitar 758 km.

Gugusan Kepulauan Mentawai terdiri dari empat kepulauan besar beserta ratusan pulau-pulau kecil (berjumlah sekitar 319 pulau) yang membentang dari Utara hingga Selatan bagian pantai Barat Pulau Sumatera. Keempat pulau besar tersebut yaitu Pulau Siberut, Sipora, Pagai Utara, dan Pagai Selatan. Ibukota administrasi Kabupaten Mentawai berada di Pulau Sipora tepatnya di Kota Tua Pejat. Secara administratif Kabupaten Mentawai terbagi dalam 4 wilayah kecamatan dan 41 desa. Keempat kecamatan tersebut adalah Kecamatan Pagai Utara/Selatan (Sikakap), Sipora (Sioban), Siberut Selatan (Muara Siberut), dan Siberut Utara (Muara Sikabaluan)1. Dilihat dari luas arealnya, Kecamatan Siberut Utara merupakan kecamatan yang memiliki luas wilayah terbesar yaitu 1.964,35 Km2 atau seluas 32 persen dari total luas daratan Kabupaten Mentawai. Sedangkan wilayah paling kecil adalah Kecamatan Sipora, yaitu 651,55 Km2 atau sekitar 11 persen dari luas wilayah Kabupaten Mentawai yang mencapai 6.011,35 Km2 (Tabel 2.I). Kecamatan Sipora sebagai ibukota kabupaten terbagi menjadi 11 desa sedangkan ketiga kecamatan lainnya masing-masing terbagi menjadi 10 desa.

1

Kata dalam kurung menunjukkan nama Ibukota Kecamatan.Pada saat penelitian lapangan ini dilakukan sedang berkembang wacana pemekaran beberapa daerah menjadi kecamatan baru (misalnya Kecamatan Siberut Selatan dan Pagai Utara Selatan yang masing-masing akan dipecah menjadi dua kecamatan)

(34)

Tabel 2.1.

Luas Wilayah Kabupaten Mentawai Menurut Kecamatan, 2002

No Kecamatan Luas (Km2) Persentase

1 2 3 4

Pagai Utara Selatan Sipora Siberut Selatan Siberut Utara 1.521,55 651,55 1.873,30 1.964,95 25,31 10,83 31,16 32,68 Jumlah 6.011,35 100,00

Sumber: Kabupaten Mentawai Dalam Angka, BPS, 2003

Kecamatan Siberut Selatan, sebagai lokasi studi ini, secara geografis berada pada posisi 0° - 35' 00" LS dan 100° 12' 00" BT. Wilayah Kecamatan Siberut Selatan terbagi menjadi 10 desa dengan jumlah penduduk pada tahun 2002 tercatat sekitar 16.086 jiwa, terdiri dari 8.489 laki-laki dan 7.579 perempuan dan tercakup dalam 3.255 rumah tangga. Tingkat kepadatan penduduk di daerah ini mencapai 8,59 orang/km2 atau 1,74 rumah tangga/Km2. Daerah ini merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Mentawai dengan tingkat kepadatan penduduk terendah kedua setelah Kecamatan Siberut Utara (Tabel 2.2).

Tabel 2.2.

Jumlah Penduduk dan Tingkat Kepadatan Penduduk Per Km2 Menurut Kecamatan di Kabupaten Mentawai, 2002

Kecamatan Jumlah Penduduk Jiwa/Km2

Pagai Utara Selatan Sipora Siberut Selatan Siberut Utara 23.864 13.121 16.086 12.694 15,68 20,14 8,59 6,46 Jumlah 65,765 10,94

Sumber: Kabupaten Mentawai Dalam Angka, BPS, 2003

Ibukota Kecamatan Siberut Selatan adalah Desa Muara Siberut. Sebagai ibukota kecamatan kegiatan pembangunan di desa ini relatif lebih maju dibandingkan dengan desa-desa lainnya yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Siberut Selatan. Seluruh kegiatan pelayanan

(35)

administratif pemerintahan setingkat kecamatan berada di Desa Muara Siberut. Demikian halnya dengan beberapa pelayanan kegiatan pembangunan seperti klinik kesehatan, pasar rakyat (perdagangan), pelelangan ikan, dermaga kapal, hotel, hingga jasa transportasi dan telekomunikasi. Mayoritas penduduk yang tinggal di Desa Muara Siberut adalah para pendatang yang berasal dari Sumatera Barat (etnis Minangkabau) dan umumnya mereka bekerja di bidang jasa perdagangan dan kenelayanan.

Untuk mencapai Desa Muara Siberut dapat ditempuh menggunakan berbagai transportasi laut, salah satunya adalah speed boad carteran dari Tua Pejat dengan waktu tempuh sekitar 2 jam2. Sedangkan jika dari Pelabuhan Muara di Kota Padang, waktu tempuh perjalanan mencapai sekitar 12 jam menggunakan kapal penumpang (KM Sumber Rejeki Baru dan KM Simasin) dan sekitar 6 jam dari

Pelabuhan Bungus Padang jika menggunakan kapal cepat (KM Mentawai Ekspress).

Desa Katurai yang merupakan lokasi studi kasus dalam penelitian ini adalah satu dari sepuluh desa yang ada di Kecamatan Siberut Selatan. Mayoritas penduduk yang tinggal di Desa Katurai adalah orang asli Mentawai yang terdiri dari berbagai suku Mentawai3. Umumnya mereka tinggal secara mengelompok dan menempati daerah di sepanjang pesisir pantai. Penduduk yang disebut pendatang terutama adalah para pedagang yang menetap di Desa Katurai dan umumnya mereka berasal dari etnis Minang atau Batak. Berbeda dengan orang asli Mentawai yang masih tinggal di pedalaman, kehidupan masyarakat di Desa Katurai relatif lebih maju, diantaranya telah mengenal kegiatan kenelayanan dan budidaya tanaman perkebunan.

Bahasa sehari-hari yang digunakan penduduk di desa ini adalah bahasa asli Mentawai dan hanya sebagian kecil penduduk yang lancar berbahasa Indonesia. Begitupula dengan kemampuan membaca dan menulis, hanya golongan penduduk tertentu yang dapat melakukannya, diantaranya adalah para staf desa, kaum muda, dan penduduk yang bekerja sebagai pedagang. Umumnya mereka yang tidak lancar berbahasa Indonesia adalah golongan penduduk yang berusia tua. Mayoritas penduduk Desa Katurai beragama Katolik dan hanya sedikit yang beragama Islam (diantaranya adalah pendatang dari etnis Minang).

2 Masyarakat di lokasi penelitian menyebut speed boat yang merupakan Perahu kayu

dengan panjang sekitar 8 meter, lebar 1,5 meter, mesin 15 PK.

3

Dalam struktur masyarakat asli Mentawi dikenal pembagian asal usul berdasarkan suku yang dicirikan dari pemberian nama, seperti halnya sebutan sebuah marga dalam komunitas masyarakat Suku Batak di Sumatera Utara.

(36)

Berdasarkan keterangan dari tokoh masyarakat setempat diketahui bahwa pada awalnya penduduk Desa Katurai tidak bertempat tinggal seperti sekarang. Mereka berasal dari salah satu daerah di pedalaman hutan Pulau Siberut yang sebagian besar kehidupannya tergantung dari hasil hutan dan berburu. Perpindahan awal penduduk ke Desa Katurai terjadi sekitar tahun 1940-an. Perpindahan tersebut terjadi akibat perang antar suku yang semakin meluas pada saat itu yang menyebabkan beberapa kelompok keluarga terpaksa keluar dari pedalaman hutan di Pulau Siberut. Kelompok keluarga tersebut mencari daerah baru yang masih aman dan belum ditempati oleh suku lainnya. Mereka yang keluar dari pedalaman kemudian tinggal menetap dan terus berkembang hingga menjadi kelompok besar yang saat ini mendiami Desa Katurai. Situs sejarah perkembangan kelompok penduduk pertama yang ada di Desa Katurai berada di Dusun Tiop dan hingga saat ini penduduk Dusun Tiop dikenal sebagai asal usul penduduk di Desa Katurai.

Foto 2.1.

Suasana Pesisir Desa Katurai Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Mentawai, 2005

Sumber: Dokumentasi COREMAP-PPK LIPI,2005

Secara geografis letak Desa Katurai berada pada posisi 010.74’. 808” LS dan 0990. 27’. 898” BT dengan luas daratan mencapai 160, 16 Km2 atau sebesar 8,5 persen dari total luas Kecamatan Siberut Selatan pada tahun 2002. Jarak Desa Katurai ke ibukota kecamatan mencapai 15 Km, ke ibukota kabupaten sekitar 55 Km sedangkan ke ibukota provinsi mencapai sekitar 161 Km. Secara administratif Desa Katurai terbagi menjadi 4 wilayah dusun yaitu Dusun Tiop, Sarousow, Taleulebo dan Malilimok (lihat peta). Jarak antara satu dusun dengan dusun lainnya sekitar 5-7 Km, terpisahkan oleh hutan dan perbukitan dan

(37)

hanya dapat dijangkau menggunakan transportasi air. Sebagai gambaran, dari pusat desa, yaitu Dusun Malilimok menuju Dusun Tiop diperlukan waktu tempuh sekitar 2 jam perjalanan menggunakan perahu kayu bermesin 15 PK. Sedangkan menuju Dusun Saraousow dan Taleulebo masing-masing membutuhkan waktu tempuh sekitar 1 dan 1,5 jam secara berturut-turut.

Tabel 2.3.

Luas Wilayah Kecamatan Siberut Selatan Menurut Desa, 2002

No Desa Luas (Km2) Persentase

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pasakiat Taleuleou Madobak Ugai Katurai Muara Siberut Malilepet Muntei Saliguma Sarareket Ulu Sagalubek Taileu Saibi Samukop 418,10 77,16 160,16 42,02 37,74 81,41 92,55 33,21 594,20 466,72 22,3 4,1 8,5 2,2 2,0 4,3 4,9 1,7 31,7 24,9 Jumlah 1.873 100,0

Sumber: Kabupaten Mentawai Dalam Angka, BPS, 2003

Tofografi lahan di Desa Katurai didominasi oleh wilayah perbukitan dan daratan hutan lebat. Sedangkan kondisi pantai di desa ini berbentuk landai didominasi oleh hamparan batu karang di perairan dangkal, pasir putih, dan tanah rawa hutan mangrove. Wilayah perairan Desa Katurai memiliki gugusan kepulauan kecil, diantaranya adalah Pulau Karamajat, Pulau Koroniki, Pulau Nyang-nyang, Pulau Mainu, Pulau Siloina, dan Pulau Botiek. Sebagian besar pulau-pulau tersebut tidak berpenghuni dan umumnya digunakan sebagai tempat singgah sementara (istirahat) ketika penduduk Desa Katurai mengelolala kebun kelapa atau cengkeh.

Pusat administratif pemerintahan Desa Katurai berada di Dusun Malilimok dan merupakan daerah terpadat penduduknya kedua setelah Dusun Tiop. Untuk mencapai Dusun Malilimok dari ibukota kecamatan dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu pertama dari Muara Siberut menggunakan jalur sungai, melewati Dusun Tiop dan Sarausow. Waktu tempuh perjalanan sekitar 3 jam jika menggunakan perahu bermesin 15 PK, menyusuri sungai Taileleu dan perairan hutan bakau yang sangat lebat sepanjang sekitar 5 km. Jalur pertama ini hanya dapat ditempuh

(38)

jika kondisi perairan di sekitar hutan bakau dalam keadaan air pasang. Sebagian besar penduduk di Desa Katurai memanfaatkan jalur ini jika ingin berpergian ke dan dari ibukota keacamatan.

Foto 2.2.

Suasana Jalur Sungai Menuju Desa Katurai Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Mentawai, 2005

Sumber : Dokumentasi COREMAP-PPK LIPI, 2005

Cara kedua adalah jalur alternative yaitu menggunakan jalur laut langsung menuju Dusun Malilimok, jika perjalanan melalui jalur pertama tidak dapat ditempuh (air surut/sore dan malam hari). Namun demikian untuk menggunakan jalur kedua ini diperlukan ukuran dan kemampuan kapal yang lebih besar. Perjalanan menggunakan jalur kedua ini menyusuri pantai selatan yang berbatasan langsung dengan perairan lepas Selat Mentawai. Ombak di daerah ini juga cukup besar dan pada waktu-waktu tertentu bisa mencapai 2-4 meter. Jika tidak berpengalaman melewati jalur ini maka resiko menabrak karang dan arus keras akan sangat besar. Oleh karena itu, sangat jarang penduduk di Desa Katurai yang menggunakan jalur ini, selain karena ketiadaan sarana transportasi yang memadai, jaminan keselamatan dalam perjalanan juga sangat riskan.

2.2. Potensi Sumberdaya Alam

Desa Katurai memiliki sumberdaya alam yang sangat melimpah dan beraneka ragam, baik sumberdaya lahan maupun sumberdaya laut. Belum lagi potensi lainnya seperti kehidupan tradisional masyarakat (sosial budaya) dan keindahan alam di daerah ini yang sangat potensial untuk kegiatan pariwisata. Namun demikian, pemanfaatan sumberdaya tersebut hingga saat ini terlihat belum optimal. Kondisi tersebut

(39)

terkendala oleh berbagai faktor terutama karena belum berkembangnya kegiatan ekonomi di daerah ini akibat minimnya sarana prasarana serta keterisolasian yang menyebabkan daerah ini tertinggal dalam proses pembangunan.

2.2.1. Sumberdaya Darat

Memasuki wilayah Desa Katurai, setelah menyusuri sungai Taileleu dengan lebatnya hutan bakau, maka akan terlihat bentangan luas perbukitan dan hutan di sepanjang perairan teluk desa ini. Sepanjang pesisir desa dan perbukitan terlihat pohon-pohon besar berusia puluhan tahun yang didominasi oleh berbagai jenis pohon kayu, tanaman buah musiman dan deretan pohon kelapa. Diantara berbagai jenis pohon kayu yang banyak tumbuh di daerah ini adalah jenis pohon kayu meranti, sengon, dan kruing. Sedangkan jenis pohon tanaman buah musiman adalah durian, mangga, dan rambutan. Sementara beberapa tanaman budidaya perkebunan diantaranya adalah kelapa, cengkeh dan coklat.

Kelapa dan cengkeh merupakan tanaman perkebunan yang sudah lama dikembangkan oleh masyarakat Desa Katurai. Pengelolaan perkebunan (khususnya kelapa dan cengkeh) dilakukan secara tradisional, yaitu tanpa pengaturan lahan pada hamparan tertentu (sistem acak) ataupun proses pemeliharaan yang reguler dan sistematis. Tanaman kelapa dan cengkeh yang dikembangkan di daerah ini tumbuh diberbagai tempat dan minim dalam pengelolaan, sebagaimana yang harus dilakukan dalam kegiatan budidaya perkebunan (seperti pemupukan, penyiangan dan pemberantasan hama). Menurut keterangan tokoh masyarakat setempat, tanaman kelapa yang diolah menjadi kopra sudah dikembangkan di daerah ini sejak tahun 1960-an sedangkan cengkeh dimulai sejak tahun 1980-an. Kedua jenis komoditas perkebunan tersebut saat ini menjadi salah satu sumber utama bagi pendapatan ekonomi masyarakat Desa Katurai. Selain itu, bagi masyarakat Desa Katurai kepemilikan lahan perkebunan tidak hanya sebagai sumber pendapatan tetapi juga merupakan prestise sosial. Artinya semakin luas kebun kelapa dan cengkeh yang dikelola, semakin tinggi status sosial seseorang di desa tersebut.

Selain kelapa dan cengkeh, masyarakat di Desa Katurai juga sedang mengembangkan tanaman coklat. Beberapa tanaman coklat yang ditanam penduduk setempat sudah ada yang menghasilkan seperti yang ditemukan di Dusun Sarousow. Namun demikian pengembangan tanaman coklat ini masih sangat terbatas dan umumnya masih berupa tanaman pekarangan. Penduduk di Desa Katurai juga sedang

(40)

mengembangkan tanaman nilam. Tanaman nilam adalah sejenis tanaman budidaya yang diambil daunnya untuk diolah menjadi minyak sebagai bahan dasar industri farmasi dan kosmetik. Menurut keterangan narasumber di lokasi penelitian, hasil minyak nilam dari Mentawai sebagian besar ditujukan untuk tujuan ekspor ke Singapura dan Jepang. Budidaya nilam memiliki prospek cerah dan diperkirakan akan semakin meningkat di masa mendatang. Selain karena kesesuaian kondisi lahan, harga jual hasil olahan minyak dari tanaman ini juga cukup tinggi. Budidaya nilam juga telah ditetapkan menjadi salah satu program unggulan Pemerintah Daerah Kabupaten Mentawai dan diharapkan menjadi alternatif baru sumber pendapatan masyarakat setempat.

Foto 2.3.

Budidaya Tanaman Nilam : Alternatif Sumber Pendapatan Penduduk

Sumber : Dokumentasi COREMAP-PPK LIPI, 2005.

Desa Katurai merupakan sentra tanaman hasil buah musiman seperti durian, rambutan dan mangga di Kecamatan Siberut Selatan. Berdasarkan data BPS tahun 2002, jumlah tanaman durian di Kecamatan Siberut Selatan mencapai sekitar 40.894 pohon atau 61 persen dari total 66.512 pohon durian yang ada di Kabupaten Mentawai, dengan total produksi mencapai 290,50 ton per tahun. Diperkirakan sekitar 40 persen pohon durian tersebut tumbuh di Desa Katurai. Sementara itu, untuk tanaman rambutan berjumlah 10.213 pohon atau sekitar 50 persen dari total 22.897 pohon yang terdapat di Kabupaten Mentawai. Setiap tahun produksi rambutan dari Kecamatan Siberut Selatan mencapai 76,25 ton atau 50 persen dari total produksi buah rambutan dari Kabupaten Mentawai yang berjumlah 150,50 ton per tahun (BPS,2002). Selain kedua jenis tanaman buah tersebut, Desa Katurai juga memproduksi tanaman buah musiman lainnya seperti duku,

(41)

nangka, manggis dan jambu biji. Namun volume produksinya masih terbilang rendah dan hanya untuk konsumsi penduduk lokal. Menurut keterangan penduduk setempat, setiap musim buah tertentu, selalu saja ada ‘pemborong’ yang datang ke Desa Katurai untuk ‘memborong’ buah-buhan yang siap panen dan selanjutnya dijual ke berbagai sentra pasar buah yang ada di Sumatera Barat.

2.2.2. Sumberdaya Laut

Desa Katurai memiliki kekayaan sumberdaya laut yang sangat besar dan beraneka ragam, namun ironis, pemanfaatan sumberdaya tersebut lebih banyak dimanfaatkan oleh penduduk dari luar desa ini. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh kemampuan permodalan (terutama peralatan tangkap) penduduk di Desa Katurai yang terbatas serta keterisolasian desa ini dari akses pasar dan kegiatan ekonomi yang lebih berkembang. Beberapa potensi SDL yang terdapat di sekitar Desa Katurai adalah berbagai jenis ikan, teripang, lola dan hewan bercangkang, ekosistem terumbu karang dan hutan mangrove/bakau. Berikut ini uraian mengenai masing-masing potensi tersebut.

Berbagai Jenis Ikan

Potensi ikan di Desa Katurai dapat dibedakan berdasarkan lokasi perairan yang ada di desa ini. Untuk perairan dangkal, seperti di sekitar pemukiman penduduk (terutama di dekat Dusun Tiop dan Sarousow) umumnya jenis ikan yang banyak ditemukan adalah ikan bandeng, sisik putih (tamban), kerapu bakau dan udang bakau. Ketiga jenis ikan ini merupakan jenis ikan yang banyak ditangkap oleh nelayan Desa Katurai. Jenis ikan yang menjadi primadona Desa Katurai adalah kerapu bakau, selain nilai ekonominya (harga) cukup tinggi, potensi bibit dan habitat jenis ikan ini masih sangat besar dan sangat menjanjikan untuk dikembangkan. Selain ketiga jenis ikan tersebut, di sekitar perairan dangkal desa ini juga banyak ditemukan kepiting bakau, terutama di sekitar areal hutan bakau yang banyak tumbuh di sepanjang pantai. Sejak tahun 2003 kepiting bakau telah menjadi sumber pendapatan baru bagi nelayan di Desa Katurai (khususnya nelayan di Dusun Tiop dan Saraousow), terutama setelah adanya agen penampung kepiting bakau di daerah ini.

Pada bagian perairan teluk dan perairan terbuka di Desa Katurai terdapat berbagai jenis ikan pelagis dan ikan karang. Beberapa jenis ikan laut yang dapat ditangkap di sekitar perairan tersebut antara lain adalah ikan cakalang, tuna, tongkol, tenggiri, kembung, layur, teri, kuwe, dan kakap. Sementara untuk jenis ikan karang diantaranya adalah

(42)

berbagai jenis ikan kerapu, napoleon (somay), udang karo (lobster) dan berbagai jenis udang. Berbagai jenis ikan laut dan karang tersebut umumnya ditangkap oleh nelayan dari luar Desa Katurai, diantaranya nelayan dari Desa Muara Siberut, Sipora, Pagai, Padang bahkan dari Nias.

Teripang dan Lola

Selain berbagai jenis ikan, perairan Desa Katurai juga kaya akan sumberdaya laut seperti teripang, lola, cumi-cumi dan hewan laut bercangkang lainnya. Khusus teripang dan lola, kedua jenis hasil laut ini merupakan primadona tangkapan nelayan Desa Katurai. Teripang oleh penduduk setempat dikenal dengan sebutan ‘sualo’. Sedangkan lola dalam sebutan lokal adalah ‘laklak’.

Foto 2.4.

Teripang dan Lola : Primadona Hasil Laut Nelayan Desa Katurai

Sumber : Dokumentasi COREMAP-PPK LIPI, 2005

Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang di Desa Katurai menyebar di beberapa titik lokasi, yaitu mulai dari perairan pantai di Dusun Malilimok dan Dusun Taleulebo, hingga sekitar perairan terluar di beberapa pulau kecil. Kondisi terumbu karang yang tersebar di perairan Desa Katurai bervariasi dari yang paling rusak (mati) hingga dalam kondisi sangat sehat (karang hidup). Pulau pulau kecil seperti pulau Pulau Karamajat dan Nyang-nyang merupakan salah satu contoh pulau kecil yang

(43)

memiliki kondisi terumbu karang cukup sehat. Mengutip hasil penelitian P2O LIPI (2004) tutupan karang hidup di sekitar perairan dua pulau tersebut mencapi 75-100 persen. Artinya kondisi terumbu karangnya tergolong masih baik. Maka tidak mengherankan jika perairan di kedua pulau tersebut menjadi salah satu daerah tujuan penangkapan ikan dan biota lautbagi penduduk setempat dan nelayan dari luar daerah.

Hutan Mangrove

Hutan mangrove di Desa Katurai banyak tumbuh di sepanjang pesisir perairan pantai terutama di bagian Utara yang berbatasan dengan Desa Muara Siberut. Kondisinya masih sangat baik dengan tingkat kerapatan pohon mencapai 473 batang /Ha dan 2.905 batang anak pohon/Ha serta tingkat pemanfaatan masih rendah. Ekosistem mangrove didominasi oleh jenis bakau api-api dan nipah. Rata-rata tinggi pohon bakau api di daerah ini mencapai 13,5 meter untuk pohon besar dan 4,93 meter untuk anak pohon, dengan diameter kayu mencapai 14,80 cm untuk pohon besar dan 5,07 cm untuk anak pohon (P20 LIPI, 2004). Penduduk lokal memanfaatkan jenis bakau api sebagai sumber kayu bakar dan bangunan rumah (penyangga atap). Berdasarkan pengamatan, aktivitas pemanfaatan bakau tersebut tidak termasuk sebagai kegiatan yang mengancam kelestarian hutan mangrove di daerah ini, karena pemanfaatannya masih dalam batas kewajaran dan tidak signifikan dengan luasan hutan mangrove yang ada di Desa Katurai.

2.2.3. Kegiatan Wisata

Selain sumberdaya laut berupa kekayan berbagai jenis ikan dan keragaman terumbu karang, Desa Katurai juga memiliki potensi kegiatan wisata laut. Salah satu kegiatan wisata laut yang saat ini sedang dikembangkan adalah wisata laut di Pulau Nyang-nyang dan Karamajat. Menurut catatan Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai, ketinggian ombak di Pulau Nyang-nyang adalah nomor tiga tertinggi di dunia yaitu mencapai 4 meter (Dinas Pariwisata Kabupaten Mentawai, 2004:19). Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika kawasan perairan di Pulau Nyang-nyang telah menjadi salah satu tujuan wisata selancar yang terkenal di Indonesia. Pada bulan tertentu, terutama pada musim ombak besar, banyak wisatawan mancanegara yang mengunjungi lokasi ini untuk kegiatan berselancar (surfing). Di Pulau Karamajat wisata laut sedang dikembangkan kegiatan snorkling. Wisatawan yang berkunjung ke pulau ini umumnya tertarik untuk melihat keindahan alam bawah laut terutama keindahan terumbu karang di daerah ini yang masih terjaga baik. Di tempat ini juga tersedia penginapan (homestay) di atas keramba

(44)

ikan atau dikenal dengan sebutan Homestay Terapung. Saat penelitian ini dilakukan, pemerintah daerah setempat sedang mengembangkan Pulau Karamajat untuk dijadikan sebagai salah satu tujuan wisata laut di Kabupaten Mentawai. Diperkirakan pada masa mendatang kegiatan wisata laut di daerah ini akan semakin berkembang seiring dengan komitmen besar Pemerintah Daerah Kabupaten Mentawai yang telah menetapkan sektor pariwisata laut sebagai andalan kegiatan pembangunan di daerah ini.

Desa Katurai juga memiliki potensi wisata di bidang wisata ilmiah (wisata penelitian), terutama terkait dengan keberadaan plasma nutfah atau tumbuhan langka yang banyak tumbuh di daerah ini. Disamping itu, kebiasaan pemanfaatan tumbuh-tumbuhan sebagai sumber pengobatan oleh penduduk asli Mentawai juga telah banyak menarik perhatian para ahli biologi tumbuhan, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk melakukan penelitian di daerah ini. Jika dilakukan secara serius kekayaan tumbuhan obat tersebut sangat mungkin untuk dikembangkan menjadi sumber bahan baku untuk industri pengobatan tradisional (herbal medicine).

2.3. Kondisi Kependudukan

Berdasarkan Data dari BPS Kabupaten Mentawai tahun 2002 jumlah penduduk di Kecamatan Siberut Selatan tercatat sebesar 16.086 jiwa, terdiri dari 8.489 jiwa laki-laki dan 7.597 jiwa perempuan yang tercakup dalam 3.225 rumah tangga (KK). Dibandingkan dengan tiga kecamatan lainnya yang termasuk dalam Kabupaten Mentawai, jumlah penduduk di Kecamatan Siberut Selatan adalah terbesar kedua setelah Kecamatan Pagai Utara Selatan yang berjumlah 23.864 jiwa, sementara jumlah penduduk terendah berada di Kecamatan Sipora yang hanya berjumlah 13.121 jiwa (20 persen).4

Dari 10 desa yang terdapat di Kecamatan Siberut Selatan, konsentrasi penduduk terbanyak berada di Desa Muara Siberut yaitu mencapai 2.471 jiwa (15,1 persen), sedangkan desa dengan jumlah penduduk paling sedikit adalah Desa Sagulubek Taileu dengan jumlah penduduk sebesar 1.168 atau hanya sekitar 7,1 persen dari total penduduk di Kecamatan Siberut Selatan. Pada kasus Desa Katurai, jumlah penduduk di desa ini berada pada urutan keempat dari 10 desa yang ada di Kecamatan Siberut Selatan. Pada tahun 2002, penduduk

4

Jika dibedakan berdasarkan empat pulau besar yang membentuk Kepulauan Mentawai, jumlah penduduk di Pulau Siberut adalah yang terbesar ( 40 persen) dibandingkan dengan ketiga pulau lainnya yaitu 28.172 jiwa (P. Siberut), 13.121 jiwa (P.Sipora), 12.532 jiwa (P.Pagai Utara) dan 11.322 jiwa (P. Pagai Selatan).

(45)

Desa Katurai berjumlah 1.874 jiwa terdiri dari 998 jiwa laki-laki dan 855 jiwa perempuan yang tercakup dalam 384 rumah tangga.

Tabel 2.4.

Jumlah Penduduk Menurut Jenis Kelamin dan Desa, Kecamatan Siberut Selatan Kabupaten Mentawai, 2002

Penduduk No Desa L P Jumlah 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Pasakiat Madobak Ugai Katurai Muara Siberut Maililipet Muntei Saliguma Sarareket Ulu Sagulubek Saibi Samuko 1278 988 998 1312 417 711 690 544 638 912 1147 923 855 1129 347 620 716 530 506 825 2.468 1.947 1.874 2.470 770 1.338 1.424 1.101 1.168 1.731 Jumlah 8489 7597 16.290

Sumber : Kabupaten Mentawai Dalam Angka, BPS, 2003

Wilayah Desa Katurai termasuk daerah jarang penduduk, terlihat dari tingkat kepadatan penduduk yang hanya mencapai 12 orang per km2. Bandingkan dengan kepadatan penduduk di ibukota kecamatan (Desa Muara Siberut) yang mencapi 58 orang per km2 atau di ibukota kabupaten (Tua Pejat) yang mencapai 98 orang per km2. Salah satu dampak dari masih rendahnya tingkat kepadatan penduduk di daerah ini adalah belum optimalnya pemanfaatan lahan daratan di Desa Katurai yang sebagian besar masih berupa hutan dan perbukitan tanpa penghuni

2.4. Sarana dan Prasarana

Kehidupan masyarakat dan proses pembangunan di Kabupaten Mentawai (juga di Desa Katurai) terlihat lebih berkembang sejak daerah ini menjadi wilayah kabupaten yang otonom. Menurut pendapat tokoh masyarakat setempat, ketika Mentawai masih menjadi bagian dari Kabupaten Padang Pariaman, kegiatan pembangunan di daerah ini berjalan lambat dan Mentawai jarang sekali ‘dilirik’ orang. Sebaliknya, selama empat tahun terakhir sejak tahun 2000, kegiatan pembangunan mulai terasa berkembang terutama setelah akses transportasi dari dan ke Mentawai relatif lancar. Hingga saat ini hampir setiap hari ada kapal

Referensi

Dokumen terkait

Larangan agama tidak berhubungan dengan kejadian unmet need karena dari hasil penelitianresponden yang menyatakan agamanya melarang pada kelompok unmet need (29,4 %) lebih

Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan

Adakah terdapat perhubungan secara langsung atau tidak langsung faktor lain iaitu perancangan dan pengalaman lampau terhadap sikap, norma subjektif dan tanggapan

Evaluasi Keterkaitan Penelitian Integratif dengan Sasaran Strategis Kemenhut. Evaluasi Pelaksanaan

Ustanavljali so jih tudi v drugih evropskih državah, med drugim tudi na ozemlju Avstro-Ogrske monarhije, prve na Dunaju leta 1849 (Batistič Zorec 2003, str. Zaradi

assurance sustainability report terhadap market value. Sampel perusahaan khususnya pada laporan berkelanjutannya akan dilihat laporan assurance. Apabila laporan assured

Rosasea adalah suatu penyakit peradangan yang bersifat kronik pada kulit, berbentuk seperti akne yang umumnya terjadi pada kelenjar pilosebaseus di wajah dan dapat

Tinjauan ini disimpulkan akan ada beberapa persamaan tentang analisis peran tokoh, hanya saja bedanya penelitian sebelumnya membahas peran tokoh dalam tangga