SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Citra Puspita Sari NIM : 068114155
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
ii
EVALUASIDRUG THERAPY PROBLEMS OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN GERIATRI PENDERITA DIABETES MELITUS
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SLEMAN PERIODE 2008
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh : Citra Puspita Sari NIM : 068114155
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
iii Skripsi
EVALUASIDRUG THERAPY PROBLEMS OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN GERIATRI PENDERITA DIABETES MELITUS
DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SLEMAN PERIODE 2008
Yang diajukan oleh: Citra Puspita Sari NIM : 068114155
Telah disetujui oleh :
Pembimbing
v
SELALU
ADA
JALAN
SAAT
SEAKAN TIADA JALAN
SEBAB
YESUS
DIDEPANKU
MEMBUAT DAN
MEMBUKA
J ALAN BAGI K U
KUPERSEMBAHAKAN KARYA INI UNTUK
JESUS CHRIST..untuk
segalanya..MAKASIH YESUS
PAPA MAMA DAN ADEK-ADEKKU
Kebahagianku adalah melihat orang-orang disekitarku bahagia dan bangga
terhadap apa yang aku capai dan berikan untuk mereka
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Citra Puspita Sari
Nomor Mahasiswa : 068114155
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
EVALUASI DRUG THERAPY PROBLEMS OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL PADA PASIEN GERIATRI PENDERITA DIABETES MELITUS DI INSTALASI RAWAT INAP RSUD SLEMAN PERIODE 2008
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal 20 Januari 2010 Yang menyatakan
vii PRAKATA
Puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas karya indah-Nya melalui penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Evaluasi
Drug Therapy Problems Obat Hipoglikemik Oral pada Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008”.
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata Satu Program Studi Ilmu Farmasi (S.Farm).
Penulisan skripsi ini tidak akan pernah lepas dari bantuan, dorongan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada :
1. Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan dosen penguji yang telah memberikan masukan dalam skripsi ini.
2. Maria Wisnu Donowati, M.Si., Apt selaku dosen pembimbing yang bersedia mengarahkan, membina, memotivasi, dan meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. 3. dr.Fenty, M.Kes., Sp.PK sebagai dosen penguji yang telah meluangkan
waktunya dalam menguji penulis dan memberikan saran bagi penulis. 4. Drs. P.Sunu Hadiyanta, M.Sc., SJ yang telah membimbing dan
memberikan sumber bagi penulis dalam menyelesaikan evaluasi dengan statistik dan saran yang memotivasi penulis.
5. dr. Sarjoko, M.Kes., selaku Direktur RSUD Sleman yang telah memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.
6. Unit penyakit dalam, instalasi rawat inap, bagian gudang obat atas kerja sama, kelancaran dan keramahan yang diberikan pada saat pengambilan data-data untuk penelitian.
viii
8. Apoteker RSUD Sleman, Wahyuni, Apt, yang memberikan waktunya untuk berdiskusi dengan penulis.
9. Papa dan mama, Agus Prabowo dan Endang Kusmawati yang selalu memberi dukungan doa, materi dan nasihat hingga terselesaikannya skripsi ini.
10.Adek-adekku, Panji dan Shinta yang selalu menemani dan memberi semangat dan keceriaan.
11.Andrian Erwinto, untuk waktu, motivasi, kasih sayang dan semangat selama penyusunan karya ini.
12.Cita, Citra, Fea, untuk kebersamaannya dan keceriaan serta rasa suka dan duka selama ini dan menjadi bagian dalam menempuh perkuliahan.
13.Iren untuk bantuannya dalam mengurus ujian tertutup dan terbuka.
14.Karyawan sekretariat Farmasi yang selalu menyediakan waktunya membantu kelancaran dalam pengurusan ijin.
15.Anak-anak praktikum kelompok F dan kelompok C(FKK), terima kasih untuk setiap praktikum yang selalu menyenangkan dan tidak membosankan.
16.Teman-teman gereja yang selalu mengingatkan untuk ibadah pemuda dan datang persekutuan sel.
17.Semua sahabat angkatan 2003-2008 yang penulis kenal.
18.Semua bagian dari perjalanan hidup yang menjadi inspirasi bagi penulis. Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, sumbangan pemikiran, saran dan kritik yang membangun akan sangat diharapkan. Akhir kata penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 21 Desember 2009 Penulis
x INTISARI
Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit kronik yang membutuhkan perawatan medis secara berkelanjutan dan edukasi bagi pasien untuk mengurangi resiko komplikasi jangka panjang. DM banyak diderita oleh masyarakat begitupula pada geriatri. Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral sering ditemukan dalam terapi DM, jika penggunaannya kurang tepat dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Ketepatan penatalaksanaan dan pengelolaan obat dapat di evaluasi dengan
Drug Therapy Problems (DTPs) ditinjau dari ada obat tanpa indikasi, terapi butuh tambahan obat, pemakaian obat yang tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reactions, dosis terlalu tinggi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi DTPs obat hipoglikemik oral pada pasien geriatri penderita DM di instalasi rawat inap RSUD Sleman periode 2008. Penelitian ini merupakan jenis penelitian non eksperimental dengan rancangan penelitian deskriptif evaluatif bersifat retrospektif. Kriteria inklusi subyek penelitian meliputi diagnosis DM, berusia 60 tahun keatas dan dalam penatalaksanaan DM menggunakan obat hipoglikemik oral tunggal maupun kombinasi.
Terdapat 22 kasus yang dianalisis, dimana jenis kelamin yang banyak ditemukan adalah wanita (68,2%). Didapatkan dua kategori DTPs yang teridentifikasi yaitu dosis terlalu rendah berjumlah 4,5% dan terdapat 27,3%
adverse drug reactions.
xi ABSTRACT
Diabetes Melitus (DM) is a chronic illness that requires continuing medical care and patient self management education to reduce the risk long term complications. Geriatric is the most population who suffer from DM. The use of Oral Hypoglycemic Drug is the most common drugs used for DM therapy, but if the use of the Oral Hypoglycemic Drug considered less proper then it can cause undesired effects on the patients.
The accuracy of treatment and drugs management can be evaluated from the presence of Drug Therapy Problems (DTPs) which can be seen from
unnecessary drug therapy, need for additional drug therapy, ineffective drug, dosage too low, adverse drug reactions, dosage too high, and compliance.
This study is a non experimental way research with descriptive evaluative research which have retrospective characteristics. The inclusion criteria for the subjects including positively DM diagnosed, above 60 years of age and undergo treatment DM using single or combination of Oral Hypoglycemic Drug
As much as 22 cases analyzed, where we found the biggest population is on female with 68,2%. We also identified two categories of DTPs which are 4,5% for dosage too low and adverse drug reactions for 27,3%.
xii DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN PERSEMBAHAN v
PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH vi
PRAKATA vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ix
INTISARI x
ABSTRACT xi
DAFTAR ISI xii
DAFTAR TABEL xvi
DAFTAR GAMBAR xix
DAFTAR LAMPIRAN xx
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
1. Perumusan Masalah 3
2. Keaslian Penelitian 4
3. Manfaat Penelitian 5
B. Tujuan Penelitian 5
1.Tujuan umum 5
xiii
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA 7
A. Drug Therapy Problems 7
B. Geriatri 9
C. Diabetes Melitus 10
1. Definisi 10
2. Klasifikasi 10
3. Patogenesis 12
4. Epidemiologi 16
5. Diagnosis Diabetes Melitus 17
6. Komplikasi Diabetes Melitus 17
7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus 19
D. Obat Hipoglikemik Oral 21
1. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral 21
2. Dosis Obat Hipoglikemik Oral 31
E. Insulin 32
1. Mekanisme insulin 32
2. Jenis Insulin Menurut Cara Kerja 33
3. Cara Pemberiaan Obat Hipoglikemik Oral dengan Insulin 34
F. Interaksi Obat Hipoglikemik Oral dan Insulin 34
G. Diabetes pada Geriatri 35
1. Terapi Farmakologi pada Diabetes pasien Geriatri 35
H. Keterangan Empiris 36
xiv
A. Jenis dan Rancangan Penelitian 37
B. Definisi Operasional 38
C. Subyek Penelititan 40
D. Bahan Penelitian 40
E. Tata Cara Penelitian 40
1. Analisis Situasi 40
2. Pengambilan Data 40
3. Pengolahan Data 42
F. Tata Cara Analisis Hasil 42
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 45
A. Karakteristik Subyek Penelitian 45
1. Berdasarkan Jenis Kelamin 45
2. Berdasarkan Lama Rawat Inap 46
3. Berdasarkan Status Keluar 46
4. Berdasarkan Komplikasi dan Penyakit Penyerta 48 5. Berdasarkan Golongan Obat yang Digunakan 50
B. Evaluasi Jenis Drug Therapy Problems 61
1. Dosis terlalu rendah(dosage too low) 61
2. Adverse drug reactions 63
C. Ringkasan Drug Therapy Problems 65
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 66
xv
B. Saran 66
DAFTAR PUSTAKA 68
LAMPIRAN 73
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel I. Kategori Drug Therapy Problems... ..7
Tabel II. Macam Obat Hipoglikemik Oral Beserta Dosis...31
Tabel III. Jenis Insulin Menurut Cara Kerja...33
Tabel IV. Interaksi Obat Hipoglikemik Oral...34
Tabel V. Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008 Berdasarkan Lama Rawat Inap...46
Tabel VI. Karakteristik Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman periode 2008 Berdasarkan Komplikasi...48
Tabel VII. Karaketristik Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus Instalasi Rawat Inap di RSUD Sleman periode 2008 Berdasarkan Penyakit Penyerta...49
Tabel VIII. Obat Hormonal yang Digunakan pada Terapi Diabetes Melitus Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...50
Tabel IX. Obat yang Bekerja pada Sistem Saluran Cerna yang Digunakan pada Terapi Diabetes Melitus Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...51 Tabel X. Obat yang Digunakan untuk Penyakit pada Sistem
xvii
Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...53 Tabel XI. Obat yang Digunakan untuk Pengobatan Infeksi yang Digunakan pada Terapi Diabetes Melitus Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...56 Tabel XII. Obat yang Bekerja pada Sistem Saraf Pusat yang Digunakan pada Terapi Diabetes Melitus Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...57 Tabel XIII. Obat yang Bekerja sebagai Analgesik yang Digunakan pada
Terapi Diabetes Melitus Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...58 Tabel XIV. Obat yang Mempengaruhi Darah dan Gizi yang Digunakan pada
Terapi Diabetes Melitus Pasien Geriatri di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...58 Tabel XV. Obat yang Bekerja pada Sistem Saluran Pernafasan yang
xviii
Tabel XVII. Evaluasi DTPs Obat hipoglikemik Oral pada Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...61 Tabel XVIII. Evaluasi DTPs kategori Adverse Drug Reactions Obat
xix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Organ Pankreas 12
Gambar 2. Mekanisme Hormon Insulin dan Glukagon 13 Gambar 3. Patogenesis Diabetes Melitus tipe 1 ...14 Gambar 4. Patogenesis Diabetes Melitus tipe 2 ...14 Gambar 5. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral beserta Tempat Aksi 21 Gambar 6. Mekanisme Aksi Golongan Sulfonilurea 22
Gambar 7. Mekanisme Aksi Golongan Biguanida 25
Gambar 8. Mekanisme Aksi Golongan Tiazolidindion 27 Gambar 9. Mekanisme Aksi Golongan Alfa Glukosidase 28 Gambar 10. Cara Pemberian Kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan
Insulin 34
Gambar 11. Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman
Periode 2008 Berdasarkan Jenis Kelamin 45 Gambar 12. Karakteristik Subyek Penelitian Pasien Geriatri Penderita
Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Data SOAP Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode
2008...73
Lampiran 2. Golongan Obat Beserta Nama Dagang yang Digunakan Pasien Geriatri Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap RSUD Sleman Periode 2008...95
Lampiran 3. Nilai Normal Pemeriksaan Laboratorium...100
Lampiran 4. Surat Izin Penelitian BAPPEDA...99
Lampiran 5. Surat Izin Penelitian RSUD Sleman...101
1 BAB I PENGANTAR
A. Latar Belakang
Drug Therapy Problems (DTPs) merupakan suatu permasalahan atau
kejadian yang tidak diharapkan yang dapat dialami oleh pasien selama proses
terapi obat. Farmasis bertanggung jawab dalam membantu pasien untuk mencegah
masalah yang dihadapi pasien dalam kejadian DTPs. DTPs tidak dapat
dipecahkan atau dicegah apabila penyebab dari masalah tersebut tidak diketahui.
Tujuan evaluasi DTPs adalah membantu pasien mencapai tujuan terapi dan
mewujudkan outcome yang terbaik dari penggunaan terapi obat. Kategori DTPs
antara lain adalah terapi obat tanpa indikasi, perlu tambahan terapi obat, obat yang
tidak efektif, dosis terlalu rendah, adverse drug reactions, dosis terlalu tinggi, dan
kepatuhan pasien (Strand, Cipole dan Morley, 2004).
Menurut IDF (International Diabetes Federation), Indonesia menempati
urutan keempat untuk prevalensinya terhadap penyakit DM (Anonim, 2009b) dan
dari data World Health Organization (WHO) diprediksi kenaikan pasien diabetes
di Indonesia dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun
2030 (Anonim, 2006a). Pada populasi di Amerika Serikat, lebih dari 15% geriatri
menderita DM dan setengah diantaranya menderita DM tipe 2.
Sensus yang dilakukan di Amerika Serikat memprediksi akan terjadi
peningkatan penderita diabetes geriatri sebesar 56% pada tahun 2020. Pada negara
berkembang, geriatri yang menderita DM berkembang. Secara global, jumlah
Pasien geriatri, yang berusia 60 tahun keatas (Anonim, 2008a),
membutuhkan terapi obat hipoglikemik oral (OHO) selain dengan terapi non
farmakologi untuk menjaga agar kadar glukosa mendekati normal serta mencegah
kemungkinan terjadinya komplikasi diabetes. Penggunaan terapi OHO pada
geriatri perlu dipantau agar tidak menimbulkan hal yang tidak diinginkan (efek
samping yang tidak diinginkan) karena pada pasien geriatri berisiko terjadi efek
samping dan interaksi obat yang merugikan disebabkan pada pasien ini lebih
banyak mengkonsumsi obat-obatan akibat kondisi patologi pada geriatri
cenderung membuat geriatri mengkonsumsi lebih banyak obat dibandingkan
dengan pasien yang lebih muda (Anonim, 2004).
Pada sebuah penelitian oleh Cardiovascular Heart Study (CHS) di
Amerika dari tahun 1996-1997 didapati hanya 12 % populasi lanjut usia dengan
DM yang mencapai kadar gula darah di bawah nilai acuan yang ditetapkan
American Diabetes Association (Elson dan Norris, 2004). Oleh karena itu,
pengobatan pada geriatri memerlukan perhatian khusus karena berbagai masalah
yang disebabkan oleh faktor fisiologis, penurunan daya tahan tubuh pada geriatri,
faktor farmakokinetik dan faktor farmakodinamik yang terkait dengan
bertambahnya usia dapat terjadi. Jika faktor- faktor tersebut tidak diperhatikan
dapat menyebabkan kegagalan dalam pengobatan karena terjadi perubahan efek
terapi obat (Rachmawati, 2009).
Sehingga dibutuhkan evaluasi DTPs pada penggunaan OHO untuk
pada pasien geriatri dapat lebih optimal sehingga mencapai target yang
diharapkan.
RSUD Sleman yang berlokasi di jalan Bhayangkara nomor 48 Sleman,
Yogyakarta merupakan Rumah Sakit Umum Daerah milik pemerintah Kabupaten
Sleman yang berupa lembaga pelayanan masyarakat di bidang kesehatan yang
memberikan pelayanan perawatan pada pasien Diabetes Melitus salah satunya
pada pasien geriatri.
RSUD Sleman dipilih sebagai tempat penelitian karena lokasinya yang
strategis dan belum pernah dilakukan penelitian mengenai evaluasi Drug Therapy
Problems obat hipoglikemik oralpada pasien geriatri penderita DM.
1. Perumusan Masalah
a. Seperti apakah profil pasien geriatri Diabetes Melitus di instalasi rawat inap
RSUD Sleman periode 2008 meliputi jenis kelamin, penyakit penyerta, lama
perawatan dan outcome pasien?
b. Seperti apakah profil pengobatan pasien geriatri Diabetes Melitus di instalasi
rawat inap RSUD Sleman periode 2008?
c. Apa saja jenis Drug Therapy Problems (DTPs) dan berapa persentase Drug
Therapy Problems (DTPs) Obat Hipoglikemik Oral yang terjadi pada pasien
geriatri Diabetes Melitus di instalasi rawat inap RSUD Sleman periode
2. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang didapatkan penulis, penelitian mengenai
“Evaluasi Drug Therapy Problems Obat Hipoglikemik Oral pada Pasien Geriatri
Penderita Diabetes Melitus di Instalasi Rawat Inap di RSUD Sleman Periode
2008” belum pernah dilakukan.
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan Diabetes Melitus pernah
dilakukan antara lain:
a. Gambaran Penatalaksanaan Diabetes Melitus pada Pasien Rawat Inap Rumah
Sakit Panti Rapih Yogyakarta Periode Bulan Juli- Desember 2003 (Utomo,
2005).
b. Pola Penggunaan Obat Antidiabetika Oral Penderita Diabetes Melitus Usia
Lanjut di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit dr.Sardjito Yogyakarta Tahun
2003 (Veronika, 2005).
c. Evaluasi Pengobatan Pasien Diabetes Melitus dengan Komplikasi
Ulkus/Gangen di Instalasi Rawat Inap Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta
Periode Juli-Desember 2005 (Susanti, 2007).
d. Evaluasi Drug Related Problems pada Peresepan Pasien Diabetes Melitus
Tipe 2 dengan Komplikasi Ischemic Heart Disease di Instalasi Rawat Inap
RS Panti Rapih Yogyakarta Periode Januari 2005-Desember 2007 (Larasati,
2008).
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dalam hal tujuan, subyek,
waktu penelitian dan tempat penelitian. Peneliti melakukan penelitian mengenai
penelitian adalah pasien geriatri penderita Diabetes Melitus pada periode 2008
yang berada di RSUD Sleman.
3. Manfaat Penelitian a. Manfaat Praktis
Secara praktis hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk
pengambilan keputusan oleh farmasis dalam mempraktekkan pharmaceutical care
salah satunya dalam mengevaluasi kejadian Drug Therapy Problems di RSUD
Sleman.
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum
Untuk mengevaluasi Drug Therapy Problems obat hipoglikemik oral pada
pasien Diabetes Melitus pada instalasi rawat inap RSUD Sleman periode 2008.
2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus penelitian:
a. mengetahui profil pasien geriatri Diabetes Melitus di instalasi rawat inap
RSUD Sleman periode 2008 meliputi jenis kelamin, penyakit penyerta,
lama perawatan dan outcome pasien,
b. mengetahui profil pengobatan pasien geriatri Diabetes Melitus di instalasi
c. mengetahui jenis Drug Therapy Problems (DTPs) dan berapa persentase
Drug Therapy Problems (DTPs) Obat Hipoglikemik Oral yang terjadi
pada pasien geriatri Diabetes Melitus di instalasi rawat inap RSUD
7 BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Drug Therapy Problems
Drug Therapy Problems (DTPs) merupakan peristiwa yang tidak
diharapkan yang dialami pasien yang memerlukan atau diduga memerlukan terapi
obat dan berkaitan dengan tercapainya tujuan terapi yang diinginkan. DTPs dapat
muncul di setiap tahap proses pengobatan. Ketika terjadi DTPs, prioritaskan
masalah dan mulai pecahkan pada masalah yang terpenting dan kritis bagi
kesehatan pasien sehingga harus ditegaskan bahwa peran praktisi pharmaceutical
care yang utama adalah mencegah terjadinya DTPs (Strand, Cipole dan Morley,
2004).
Diketahui ada tujuh kategori Drug Therapy Problems yang menjelaskan
sejumlah masalah yang dapat disebabkan oleh obat dan/atau yang dapat
diselesaikan dengan terapi obat dan menjadi tanggung jawab dari pharmaceutical
care (Strand, Cipole dan Morley, 2004). Penyebab umum terjadinya DTPs dapat
dilihat pada tabel I.
Tabel I. Kategori Drug Therapy Problems (Strand, Cipole dan Morley, 2004) Drug Therapy Problems Penyebab-penyebab Drug Therapy Problems Ada obat tanpa indikasi
(unnecessary drug therapy)
• Obat tidak diperlukan berkaitan dengan kondisi medis saat ini.
• Diberikan obat kombinasi padahal hanya satu obat yang diperlukan.
• Kondisinya akan lebih baik jika diberikan terapi non farmakologi.
• Obat digunakan untuk mengurangi efek merugikan dari penggunaan obat lain.
Drug Therapy Problems Penyebab-penyebab Drug Therapy Problems Butuh obat tambahan
(need for additional drug therapy)
• Kondisi medis yang memerlukan obat untuk terapi.
• Terapi pencegahan diperlukan untuk mengurangi risiko berkembangnya penyakit baru.
• Kondisi medisnya memerlukan terapi kombinasi untuk mendapatkan efek sinergisme atau aditif. Pemakaian obat yang tidak
efektif
(Ineffective drug)
• Obat yang digunakan bukan obat yang paling efektif untuk masalah medis yang dialami.
• Kondisinya sudah tidak dapat diterapi dengan obat yang dipakai.
• Produk obat tidak efektif berdasarkan kondisi medisnya.
• Dosis dan sediaan tidak sesuai. Dosis terlalu rendah
(dosage too low)
• Dosis terlalu rendah untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
• Interval pemakaian terlalu jarang.
• Interaksi obat menurunkan jumlah zat aktif yang tersedia.
• Durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan respon yang diinginkan.
Adverse drug reactions • Produk obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis.
• Produk obat yang aman diperlukan karena terkait dengan faktor risiko.
• Interaksi obat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis.
• Pengaturan dosis yang diberikan atau diganti dengan sangat cepat.
• Produk obat yang menyebabkan reaksi alergi.
• Produk obat yang kontraindikasi terhadap faktor risiko.
Dosis terlalu tinggi (dosage too high)
• Dosis terlalu tinggi
• Frekuensi pemakaian obat terlalu singkat
• Durasi obat terlalu lama
• Interaksi obat terjadi karena hasil reaksi toksik produk obat
• Dosis obat diberikan terlalu cepat Kepatuhan pasien
(compliance)
• Pasien tidak mengetahui instruksi pemakaian atau penggunaannya.
• Pasien memilih untuk tidak menggunakan obat.
• Pasien lupa untuk memakai obat.
• Harga obat yang terlalu mahal bagi pasien.
• Pasien tidak dapat menelan atau memakai sendiri obat secara tepat.
Masalah penggunaan obat diatas diharapkan tidak terjadi jika dalam
memilih obat mempertimbangkan efektivitas, keamanan, kecocokan, harga,
kinetika obat, dinamika dan ketersediaan obat.
B. Geriatri
Pasien geriatri merupakan pasien dengan usia 60 tahun keatas, yang
memiliki beberapa karakteristik yaitu menderita beberapa penyakit akibat
gangguan fungsi jasmani dan rohani, dan sering disertai masalah psikososial.
Menurut Undang-undang no. 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lansia Bab 1
pasal 1 ayat 2, lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 (enam puluh)
tahun keatas.
Pengobatan pada pasien geriatri dikenal dengan adanya polifarmasi,
dimana obat yang diberikan bagi pasien geriatri ini sangat banyak padahal pada
pasien ini fungsi tubuhnya sudah tidak terlalu baik. Dalam petunjuk khusus ISO
(Informasi Spesialite Obat) edisi ke 44 terdapat beberapa petunjuk bagaimana
memilihkan obat bagi pasien yang usia lanjut mengingat banyaknya obat dan
rumitnya rejimen pemberiaan obat dimana kemampuan kognitif dan fisiknya
sudah mengalami penurunan menjadi tidak patuh dengan pengobatan yang ada.
Pertimbangan pemberian terapi bagi pasien geriatri antara lain dengan:
1. membatasi jenis obat,
2. mengenali obat-obat yang akan diberikan baik dari sisi farmakodinamika
3. dosis awal umumnya dimulai dengan 50% dari dosis dewasa muda,
kemudian dosis ditingkatkan sesuai respon,
4. melakukan evaluasi secara berkala mengenai obat-obat yang digunakan
dalam jangka waktu yang lama, apakah perlu penyesuaian rejimen atau
menghentikan penggunaan obat tersebut,
5. tidak mengobati setiap gejala yang muncul,
6. menyederhanakan rejimen yaitu dengan memberikan obat sesuai dengan
indikasinya saja dan diusahakan dengan frekuensi penggunaan sekali atau
dua kali sehari,
7. memberi penandaan yang jelas pada label wadah obat dan hindari
singkatan yang tidak dimengerti,
8. memberikan informasi yang jelas dan dapat dipahami oleh pasien
(Anonim, 2009c).
C. Diabetes Melitus 1. Definisi
Menurut American Diabetes Association 2009, Diabetes adalah penyakit
kronik yang membutuhkan perawatan medis secara berkelanjutan dan edukasi
bagi pasien untuk mengurangi risiko komplikasi jangka panjang.
2.Klasifikasi
a. Diabetes Melitus Tipe 1 ini sering disebut dengan IDDM (Insulin Dependent
Diabetes Melitus) merupakan penyakit autoimun yang dikarakteristik dengan
rusaknya sel β-pankreas. Oleh karena itu, terjadi kekurangan insulin (Wens,
Sunaert, Nobels, 2005). Pada Diabetes tipe ini, lebih dari 90% terjadi
kerusakan autoimun pada sel beta pankreas dan 10% terjadi karena idiopatik
(Triplitt, Reasner, 2005).
b. Diabetes Melitus Tipe 2 merupakan tipe diabetes yang lebih umum, lebih
banyak penderitanya dibandingkan dengan DM Tipe 1. Penderita DM Tipe 2
mencapai 90-95% dari keseluruhan populasi penderita diabetes, umumnya
berusia di atas 45 tahun, tetapi akhir-akhir ini penderita DM Tipe 2 di
kalangan remaja dan anak-anak populasinya meningkat (Anonim, 2005b).
c. Diabetes Melitus Gestasional merupakan keadaan diabetes atau intoleransi
glukosa yang timbul selama masa kehamilan, dan biasanya berlangsung
hanya sementara.
d. Pra-Diabetes merupakan kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada
diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada normal tetapi tidak
cukup tinggi untuk dikategorikan ke dalam diabetes tipe 2 (Anonim 2005a).
Terdapat dua kondisi pasien pra-diabetes, yaitu IFG (Impaired Fasting
Glucose) dan IGT (Impaired Glucose Tolerance) atau disebut TGT (Toleransi
Glukosa Terganggu).
TGT merupakan keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang
pada uji toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi
gula darah puasa 100-125mg/dL, sedangkan IGT jika kadar glukosa darah
seseorang 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa per oral berada
diantara 140-199 mg/dl.
3. Patogenesis
Jika membicarakan patogenesis dari DM, tidak lepas dari organ pankreas.
Pankreas merupakan salah satu organ dalam sistem pencernaan. Pankreas
menempel pada duodenum (usus 12 jari), bagian atas dari usus halus. Pankreas
memiliki dua fungsi yaitu menghasilkan enzim pencernaan untuk memecah
makanan dan mengontrol hormon insulin dan glukagon untuk mengontrol gula
dalam tubuh (Anonim, 2003).
Gambar 2. Mekanisme Hormon Insulin dan Glukagon (DA, 2007)
Fungsi utama hormon insulin dalam menurunkan kadar gula darah secara
alami dengan cara meningkatkan jumlah gula yang disimpan di dalam hati,
merangsang sel-sel tubuh agar menyerap gula dan mencegah hati mengeluarkan
terlalu banyak gula (DA, 2007).
Ketika glukosa masuk kedalam darah, kadar glukosa darah yang
meningkat akan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan insulin. Insulin
menekan produksi glukosa di hepar dan meningkatkan ambilan glukosa di otot
dan jaringan lemak sehingga kadar glukosa didalam darah menurun.
Glukagon juga berperan mengatur glukosa darah, bila glukosa didalam
darah turun maka sel alfa pankreas akan melepaskan glukagon. Glukagon
merangsang produksi glukosa hati dan melepaskan kedalam sirkulasi sehingga
Pada Diabetes Melitus, kadar insulin yang rendah maupun tidak adanya
insulin membuat sel tidak mampu menyerap glukosa.
a. Diabetes Melitus Tipe 1, pada Diabetes tipe ini (Diabetes Melitus Tergantung
Insulin), tubuh hanya memproduksi sedikit sekali insulin atau tidak sama
sekali. Diabetes Tipe I disebabkan oleh adanya penyakit autoimun. Sistem
imun menyerang dan merusak sel-sel beta pada pankreas yang memproduksi
insulin.
Gambar 3. Patogenesis Diabetes Melitus Tipe 1 (Anonim, 2009a)
b. Diabetes Melitus Tipe 2 terjadi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tak
mampu merespon insulin secara normal.
Patogenesis timbulnya Diabetes Melitus Tipe 2 disebabkan karena:
1) predisposisi genetik, genetik mempunyai pengaruh dalam terjadinya DM tipe
2. Faktor genetik yang berpengaruh adalah masalah obesitas. Dalam
penelitian yang dilakukan terhadap mencit dan tikus, didapatkan hubungan
antara gen-gen yang bertanggung jawab terhadap obesitas dengan gen-gen
yang merupakan faktor predisposisi untuk DM tipe 2.
2) resistensi insulin, terjadinya DM Tipe 2 bukan disebabkan oleh kurangnya
sekresi insulin, tetapi karena sel-sel sasaran insulin gagal atau tidak mampu
merespon insulin secara normal. Salah satu penyebab resistensi insulin adalah
obesitas. Simpanan adiposa yang tinggi pada orang gemuk mengaktifkan
paling tidak salah satu enzim, yaitu lipoprotein lipase yang meningkatkan
konsentrasi asam lemak bebas dalam darah. Konsentrasi tinggi asam lemak
bebas menstimulasi pelepasan sitokin seperti TNF-α (tumor necrosis
factor-alpha) yang memicu resistensi insulin (Siswono, 2002).
3) gangguan sekresi insulin dan produksi glukosa hepatik yang berlebihan,
sel-sel β kelenjar pankreas mensekresi insulin dalam dua fase. Fase pertama
sekresi insulin terjadi segera setelah stimulus atau rangsangan glukosa yang
ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah, sedangkan sekresi fase
kedua terjadi sekitar 20 menit sesudahnya.
Awal perkembangan DM Tipe 2, sel-sel β menunjukkan gangguan pada sekresi
insulin fase pertama, artinya sekresi insulin gagal mengkompensasi resistensi
insulin. Apabila tidak ditangani dengan baik, pada perkembangan penyakit
yang terjadi secara progresif, yang seringkali akan mengakibatkan defisiensi
insulin, sehingga akhirnya penderita memerlukan insulin eksogen (Anonim,
2005a).
4. Epidemiologi
Pada tahun 2000 diperkirakan sekitar 150 juta orang di dunia mengidap
Diabetes Melitus (DM). Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi dua kali
lipat pada tahun 2005, dan sebagian besar peningkatan itu akan terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia. Dengan jumlah penduduk
sekitar 200 juta jiwa, berarti lebih kurang 3-5 juta penduduk Indonesia menderita
DM. Tercatat pada tahun 1995, jumlah penderita diabetes di Indonesia mencapai 5
juta jiwa. Pada tahun 2005 diperkirakan akan mencapai 12 juta penderita. Namun
berdasarkan survei WHO, jumlah pasien DM di Indonesia sekitar 17 juta orang
(8,6 persen dari jumlah penduduk) atau menduduki urutan keempat setelah Cina,
India dan Amerika Serikat.
International Diabetic Federation (IDF) mengestimasikan bahwa jumlah
penduduk Indonesia yang berusia 20 tahun keatas yang menderita DM sebanyak
5,6 juta orang pada tahun 2001 dan akan meningkat menjadi 8,2 juta pada 2020,
sedangkan survei Depkes 2001 terdapat 7,5 persen penduduk Jawa dan Bali
menderita DM. Data Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita DM
menjalani rawat inap dan jalan menduduki urutan ke-1 di rumah sakit dari
5. Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara, yaitu:
a. Pertama, jika terdapat keluhan polifagia, polidipsi dan poliuria serta kadar
glukosa puasa ≥126 mg/dl.
b. jika keluhan klasik (polifagia, poliuria, polidipsi) ditemukan, maka
pemeriksaan glukosa plasma sewaktu >200 mg/dL sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM.
c. Ketiga dengan TTGO. Kadar glukosa plasma 2 jam pada TTGO ≥200mg/dl.
TTGO dilakukan dengan standar WHO yaitu dengan menggunakan glukosa
yang setara dengan 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air
(ADA, 2009).
6. Komplikasi Diabetes Melitus
Terdapat dua jenis komplikasi dalam DM, yaitu komplikasi akut dan
menahun. Yang termasuk dalam komplikasi akut antara lain ketoasidosis diabetik,
hiperosmolar non ketotik, dan hipoglikemia
Komplikasi menahun terdiri atas makroangiopati, mikroangiopati dan
neuropati. Yang termasuk makroangiopati adalah pembuluh darah jantung,
pembuluh darah tepi, dan pembuluh darah otak. Pada mikroangiopati terdiri dari
nefropati dan retinopati diabetik (Anonim, 2006a).
Salah satu komplikasi pada DM adalah kardiovaskuler. Kardiovaskuler
dapat menyebabkan keparahan dan kematian pada pasien penderita DM. Faktor
penelitian menyatakan bahwa dengan mengontrol faktor risiko penyakit
kardiovaskuler dapat mencegah ataupun memperlambat terjadinya penyakit
kardiovaskuler pada penderita DM (ADA, 2009). Selain pengobatan terhadap
tingginya kadar glukosa darah, pengendalian berat badan, tekanan darah, profil
lipid dalam darah serta pemberian antiplatelet dapat menurunkan risiko timbulnya
kelainan kardiovaskular pada penyandang diabetes (Anonim, 2006a).
a. Hipertensi pada diabetes
Tekanan darah harus selalu diukur saat pasien datang untuk memeriksakan
diri. Indikasi pengobatan TD sistolik >130 mmHg dan/atau TD diastolik >80
mmHg. Penatalaksanaan dapat dilakukan secara farmakologi dan non
farmakologi. Secara non farmakologi antara lain dengan menurunkan berat badan,
meningkatkan aktivitas fisik, menghentikan merokok dan alkohol.
Penatalaksanaan secara farmakologi yang dapat digunakan antara lain
penghambat ACE, penyekat reseptor angiotensin II, penyekat reseptor beta
selektif, diuretik dosis rendah, penghambat reseptor alfa dan antagonis kalsium
b. Dislipidemia pada diabetes
Diperlukan pemeriksaan profil lipid pada saat diagnosis diabetes
ditegakkan. Pada pasien dewasa pemeriksaan profil lipid sedikitnya dilakukan
setahun sekali dan bila dianggap perlu dapat dilakukan lebih sering. Pasien yang
pemeriksaan profil lipid menunjukkan hasil yang baik (LDL<100mg/dL; HDL>50
mg/dL (laki-laki >40 mg/dL, wanita >50 mg/dL); trigliserida <150 mg/dL)
(Anonim, 2006a), pemeriksaan profil lipid dapat dilakukan 2 tahun sekali (ADA,
c. Gangguan koagulasi pada diabetes
Terapi aspirin 75-160 mg/hari digunakan sebagai strategi pencegahan
primer pada penyandang diabetes tipe 2 yang merupakan faktor risiko
kardiovaskular, termasuk pasien dengan usia >40 tahun yang memiliki riwayat
keluarga penyakit kardiovaskular dan kebiasaan merokok, menderita hipertensi,
dislipidemia, atau albuminuria (ADA, 2009). Untuk pasien yang alergi dengan
aspirin dapat menggunakan clopidogrel untuk terapi.
7. Penatalaksanaan Diabetes Melitus a. Outcome, tujuan dan sasaran terapi
Outcome: menghambat/ mencegah keparahan yang ditimbulkan oleh
Diabetes Melitus. Tujuan dari penatalaksanaan terapi antara lain mengurangi
progresivitas komplikasi makrovaskuler dan vaskuler, mengurangi mortalitas,
meningkatkan kualitas hidup dan menurunkan kadar glukosa darah pada kondisi
normal (Priyanto, 2009).
Sasaran terapi DM adalah keseimbangan kebutuhan dan suplai oksigen,
komplikasi, kadar gula darah, organ-organ darah, dan pola hidup (Triplitt,
Reasner, 2005).
b. Terapi
1) Non Farmakologi
a)Edukasi, dilakukan dengan tujuan untuk promosi hidup sehat. Edukasi perlu
selalu dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan
b)Pengaturan diet, diet yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi
yang seimbang dalam hal karbohidrat, protein dan lemak. Selain itu,
diperhatikan pula jumlah kalori yang disesuaikan dengan status gizi, umur,
stres akut dan kegiatan fisik dimana kegiatan ini bertujuan untuk mencapai
dan mempertahankan berat badan ideal.
Dalam “Pharmaceutical Care untuk penyakit Diabetes Melitus”,
dibuktikan bahwa penurunan berat badan dapat mengurangi resistensi insulin
dan memperbaiki respon sel-sel β terhadap stimulus glukosa. Dalam salah
satu penelitian dilaporkan bahwa penurunan 5% berat badan dapat
mengurangi kadar HbA1c sebanyak 0,6% (HbA1c adalah salah satu
parameter status DM), dan setiap kilogram penurunan berat badan
dihubungkan dengan 3-4 bulan tambahan waktu harapan hidup. Masukan
kolesterol diperlukan namun tidak boleh melebihi dari 300 mg per hari.
c) Aktivitas olahraga, olahraga yang diharapkan untuk penderita Diabetes
adalah olahraga yang ringan namun dilakukan dengan teratur. Olahraga yang
disarankan adalah yang bersifat CRIPE (Continuous, Rhytmical, Interval,
Progressive, Endurance Training). Olahraga yang diharapkan adalah jalan
atau lari pagi, bersepeda, berenang, dan lain sebagainya.
2) Farmakologi
Dalam menejemen terapi DM, digunakan OHO (Obat Hipoglikemik
D. Obat Hipoglikemik Oral 1. Penggolongan obat hipoglikemik oral
Gambar 5. Penggolongan Obat Hipoglikemik Oral Beserta Tempat Aksi (Anonim, 2007)
Berdasarkan mekanisme kerjanya, obat-obat hipoglikemik oral dapat dibagi
menjadi empat golongan, yaitu:
a. obat-obat yang meningkatkan sekresi insulin, meliputi obat hipoglikemik oral
golongan sulfonilurea dan glinida (meglitinida dan turunan fenilalanin),
b. sensitiser insulin yaitu obat-obat yang dapat meningkatkan sensitifitas sel
terhadap insulin sehingga dapat membantu tubuh untuk memanfaatkan insulin
secara lebih efektif, meliputi obat-obat hipoglikemik golongan biguanida dan
tiazolidindion,
c. penghambat glukoneogenesis, yaitu metformin golongan biguanida (Anonim,
d. penghambat absorbsi glukosa, antara lain inhibitor α -glukosidase yang
bekerja menghambat absorpsi glukosa (Anonim, 2005b).
a. Golongan sulfonilurea. Obat dengan golongan sulfonilurea digunakan dalam
meningkatkan sekresi insulin (Triplitt, Reasner, 2005), selain itu dapat
meningkatkan sensitivitas jaringan terhadap insulin dan menurunkan sekresi
glukagon (Priyanto, 2009). Dalam tubuh, sulfonilurea akan terikat pada
reseptor spesifik sulfonilurea pada sel beta pankreas. Ikatan tersebut
menyebabkan berkurangnya asupan kalsium sehingga terjadi depolarisasi
membran. Kemudian kanal Ca2+ terbuka dan memungkinkan ion-ion Ca2+
masuk sehingga terjadi peningkatan kadar Ca2+ di dalam sel. Peningkatan
tersebut menyebabkan translokasi sekresi insulin ke permukaan sel. Insulin
yang telah terbentuk akan diangkut dari pankreas melalui pembuluh vena untuk
beredar ke seluruh tubuh (Triplitt, Reasner, 2005).
Gambar 6. Mekanisme Aksi Golongan Sulfonilurea (Allan, 2008)
Pada geriatri, penggunaan obat golongan sulfonilurea harus
sangat rendah. Selain itu, golongan ini merupakan pilihan utama untuk pasien
dengan berat badan normal atau kurang serta tidak mengalami ketoasidosis
sebelumnya (Priyanto, 2006). Efek samping golongan sulfonilurea adalah
gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan saluran
cerna berupa mual, diare, sakit perut, hipersekresi asam lambung dan sakit
kepala. Gangguan susunan syaraf pusat berupa vertigo, bingung, ataksia dan
lain sebagainya (Anonim, 2005a).
Sulfonilurea mempunyai dua generasi yaitu generasi pertama dan
kedua. Pembagian tersebut didasarkan kekuatan daya kerja dan efek samping
yang ditimbulkan obat tersebut. Sulfonilurea generasi pertama meliputi
asetoheksamid, klorpropamid, tolazamid dan tolbutamid. Generasi kedua
meliputi glimepirid, glipizid dan glibenklamid. Generasi kedua berdaya kerja
lebih kuat daripada generasi pertama (Triplitt, Reasner, 2005).
Salah satu golongan sulfonilurea generasi kedua adalah glikazid.
Mekanisme obat ini dengan merangsang sekresi insulin dari sel-sel β
-Langerhans kelenjar pankreas dan meningkatkan sensitivitas sel-sel β
-Langerhans terhadap stimulus glukosa (Anonim, 2009d).
Obat yang masuk dalam golongan sulfonilurea ini mempunyai efek
hipoglikemik sedang sehingga tidak begitu sering menyebabkan efek
hipoglikemik. Selain itu, obat ini mempunyai efek agregasi trombosit yang
lebih poten. Glikazida dapat diberikan bagi penderita gangguan fungsi hati dan
Dosis awal 40-80 mg 1 kali sehari bersama sarapan, maksimal 240
mg/hari dalam 1-2 kali pemberian. Glikazid dosis rendah dapat diberikan 1 kali
sehari, sebelum atau bersama sarapan, dosis tinggi diberikan dalam dosis
terbagi (Anonim, 2009d).
b. Golongan glinid. Senyawa ini bekerja dengan menstimulasi sel-sel beta di
pankreas untuk memproduksi insulin. Termasuk golongan ini adalah
repaglinida, nateglinida, dan mitiglinida. Nateglinida cenderung bekerja lebih
cepat dan aksinya lebih pendek dibandingkan repaglinida. Obat-obat ini secara
khusus efektif bila dikombinasikan dengan metformin atau obat diabetes lain
(Anonim, 2006b).
Repaglinida merupakan turunan asam benzoat yang memiliki efek
hipoglikemik ringan sampai sedang. Diabsorpsi dengan cepat setelah
pemberian per oral, dan diekskresi secara cepat melalui ginjal (Anonim,
2005a). Nateglinida merupakan turunan fenilalanin. Ekskresi utama melalui
ginjal (Anonim, 2005a).
c. Golongan biguanida. Mekanisme kerja dari golongan biguanida yaitu dengan
meningkatkan penggunaan glukosa di jaringan perifer dan pengambilan
glukosa serta menghambat glukoneogenesis (Priyanto, 2009). Glukoneogenesis
adalah sintesis glukosa dari senyawa yang bukan karbohidrat, misalnya asam
Gambar 7. Mekanisme Aksi Golongan Biguanida (Cheng, Fantus, 2005)
Dari gambar diatas dapat dillihat mekanisme metformin yaitu dalam
keadaan normal enzim AMPK (Adenosin- monophosphate- activated- protein
kinase) akan diaktifkan oleh adenosin monofosfat (AMP) yang terbentuk dari
proses pemecahan adenosin trifosfat (ATP) menjadi adenosin monofosfat
(AMP) pada siklus pembentukan energi di dalam mitokondria. Aktivasi AMPK
oleh metformin akan menghambat enzim asetil-koenzime A carboxylase, yang
berfungsi pada proses metabolisme lemak. Proses ini akan menyebabkan
peningkatan oksidasi asam lemak dan menekan ekspresi enzim-enzim yang
berperan pada lipogenesis.
Selain itu, enzim AMPK di hati akan menurunkan expresi sterol
regulatory element-binding protein 1 (SREBP-1), suatu transcription factor
yang berperan pada patogenesis resistensi insulin, dislipidemia, dan steatosis
glucose transporter-1 (GLUT 1) dari dalam sel ke membran plasma, sehingga
dapat meningkatkan ambilan glukosa masuk ke dalam sel otot (Zhou, Myer, Li,
2001).
Salah satu contoh obat yang masuk dalam golongan biguanida dan
masih digunakan dalam pengobatan Diabetes Melitus saat ini adalah
metformin. Dalam Asian Pacific Type 2 Diabetes Policy Group edisi keempat
dengan judul Type 2 Diabetes practical and treatments tahun 2005, metformin
merupakan terapi awal pada pasien obesitas dan kelebihan berat badan dan
direkomendasikan pula bagi pasien yang pasien yang tidak obesitas pada
beberapa negara.
Metformin tidak direkomendasikan pada orang yang sudah tua (usia
>80 tahun) dan bagi seseorang yang mengalami disfungsi ginjal dimana nilai
kreatinin >1,5mg/dL pada pria dan 1,4mg/dL pada wanita (Lacy, Armstrong,
Goldman, Lance, 2006).
Metformin dieliminasi melalui sekresi tubular ginjal dan filtrasi
glomerular. Waktu paruh metformin yaitu 6 jam.
Efek samping dengan penggunaan metformin adalah mual, muntah,
terkadang diare dan dapat menyebabkan asidosis laktat (Anonim, 2005a).
Metformin mempunyai afinitas terhadap membaran mitokondria. Adanya
aktivitas ini, mempengaruhi transport elektron (konsentrasi NADH meningkat)
dan menghambat metabolism oksidatif. Ketika level metformin tinggi,
(Bruijstens, Luin, Jungerhans & Bosch, 2008). Dalam keadaan anaerob ini,
asam laktat terbentuk (Poedjiadi, 1994).
Metformin meningkatkan produksi laktat dalam splanchnic bed dan
sistem vena portal. oleh karena peningkatan laktat tersebut, aktivitas enzim
piruvat dehidrogenase menurun dengan demikian terjadi perubahan dalam
metabolism anaerob (Bosenberg dan Zyl, 2008). Dalam Drug information
handbook edisi ke-14, dosis untuk dewasa adalah 500 mg dua kali sehari
(Lacy, Armstrong, Goldman, Lance, 2008-2009).
d. Golongan tiazolidindion. Senyawa ini bekerja dengan meningkatkan kepekaan
tubuh terhadap insulin dengan jalan berikatan dengan PPAR-γ (Peroxisome
Proliferator Activated Receptor Gamma), suatu reseptor inti di sel otot dan sel
lemak.
Gambar 8. Mekanisme Aksi Golongan Tiazolidindion (Cheng, Fantus, 2005)
Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan
ambilan glukosa di perifer. Contoh obat dari golongan ini adalah rosiglitazon
dan pioglitazon. Pioglitazon menurunkan resistensi insulin dengan
meningkatkan jumlah protein transporter glukosa, sehingga meningkatkan
uptake glukosa di sel-sel jaringan perifer.
e. Penghambat α –glukosidase, mekanisme penghambatan dilakukan pada enzim
α-glukosidase yang terdapat pada dinding usus halus. Inhibisi kerja enzim ini
secara efektif dapat mengurangi pencernaan karbohidrat kompleks dan
absorbsinya sehingga dapat mengurangi peningkatan kadar glukosa post
prandial pada penderita DM.
Gambar 9. Mekanisme Aksi Golongan Penghambat Alfa Glukosidase (Allan, 2008)
Obat golongan ini hanya mempengaruhi kadar glukosa darah sewaktu
makan dan tidak mempengaruhi kadar glukosa darah setelah itu. Efek samping
obat ini adalah perut kurang enak, lebih banyak flatus dan kadang-kadang
diare, yang akan berkurang setelah pengobatan berlangsung lebih lama
Disamping obat hipoglikemik oral yang telah disebutkan sebelumnya,
terdapat obat yang mempunyai mekanisme berbeda yaitu dengan meningkatan
efek dari inkretin. Inkretin merupakan suatu hormon peptida yang disekresi
oleh epitel usus sebagai respon terhadap makanan yang dimakan dan berfungsi
mempertahankan homeostasis glukosa darah (Anonim,2009f).
Hormon inkretin meningkatkan sekresi insulin dari sel-sel β-pankreas
sebagai respon terhadap peningkatan kadar glukosa darah yang terjadi setelah
makan. Selain fungsi diatas, fungsi inkretin adalah menghambat pelepasan
glukagon dari sel α-pankreas dalam kondisi hiperglikemia (Aryono, 2009).
Contoh golongan obatnya yaitu golongan analog GLP-1 dan Dipeptydil
peptidase-4 (DPP-4) inhibitor.
a. analog GLP-1 (glucagon-like peptide-1). Mekanisme kerja golongan obat ini
menyerupai kerja dari GLP-1 endogen. Yang merupakan golongan ini adalah
exatinade. Exenatide juga merupakan anggota pertama dari kelas baru obat
antidiabetik. Exenatide menunjukkan kemampuan yang sama dengan GLP-1
manusia. Hormon inkretin GLP-1 dan GIP diproduksi oleh sel endokrin dari sel
β-pulau Langerhans pada pankreas. Hanya GLP-1 yang menyebabkan sekresi
insulin pada status diabetik. Namun GLP-1 itu sendiri tidak efektif untuk
pengobatan dibetes secara klinis karena memiliki waktu paruh yang sangat
singkat.
Exenatide mengandung sekitar 50% asam amino yang serupa (homolog)
dengan GLP-1 dan memmiliki waktu paruh yang lebih panjang. Exenatide
sehingga lebih kecil risikonya terjadi hipoglikemik. Selain itu risiko kenaikan
berat badan juga lebih kecil bila dibandingkan obat anti diabetes lainnya
(Arnita, 2007).
b. Dipeptydil peptidase-4 (DPP-4) inhibitor. Kurangnya inkretin disebabkan oleh
hadirnya protein DPP-4 yang bekerja memecah inkretin. Padahal, kurangnya
hormon inkretin ini dapat mengganggu keseimbangan antara glukagon dan
insulin. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penghambat untuk menghambat
DPP-4.
Mekanisme kerja dari golongan DPP-4 inhibitor adalah meningkatkan
kadar dan aksi dari GLP-1 dan GIP (GLP-1 reseptor agonis), meningkatkan
sekresi insulin sesuai dengan kadar glukosa darah, dan menekan sekresi
glukagon dari sel alfa pankreas (Anonim, 2009f). Obat yang termasuk dalam
DPP-4 (Dipeptydil peptidase-4) inhibitor adalah sitagliptin dan vildagliptin.
1) Sitagliptin, merupakan obat pertama dari golongan DPP-4. Obat ini bekerja
dengan menghambat inaktifasi inkretin GLP-1 dan GIP melalui inhibisi secara
kompetitif enzim oleh DPP-4 (Arnita, 2007). Pemberian bersamaan sitagliptin
dengan makanan kaya lemak tidak berefek terhadap farmakokinetikanya, maka
sitagliptin bisa diberikan dengan atau tanpa makanan.
2) Vildagliptin
Enzim DPP-4 dapat membuat hormon inkretin yang dihasilkan di
glucose-dependent insulinotropic peptide (GIP) secara cepat dibuat inaktif. GLP-1 dan
GIP dapat meningkatkan sekresi insulin dan menurunkan sekresi glukagon
untuk merespon kondisi hiperglikemia. Dengan menghambat enzim DPP-4,
maka kadar inkretin yang aktif dapat ditingkatkan dan aktivitasnya diperlama
hingga menjanjikan keuntungan yang lebih baik untuk para penderita diabetes
(Anonim, 2008b).
Vildagliptin memperpanjang waktu kerja GLP-1 sehingga terjadi
peningkatan insulin dan sekaligus menekan sekresi glukagon sehingga terjadi
kontrol glukosa darah yang diinginkan (Anonim, 2009b).
2. Dosis Obat Hipoglikemik Oral
Tabel II. Macam Obat Hipoglikemik Oral Beserta Dosis
Golongan Generik Nama dagang
mg/tab Dosis harian (mg)
glikazid Diamicron 80 80-320 10-20 1-2
Glucophage 500-850 250-3000 6-8 1-3
Glucovance 250/1,25 500/2,5
Amaryl-met 1mg/250mg 2mg/500mg - 2
Kombinasi 1. Mekanisme Insulin
Insulin membantu transport glukosa dari darah ke dalam sel. Kekurangan
insulin menyebabkan glukosa darah tidak dapat atau terhambat masuk ke dalam
sel. Akibatnya, glukosa darah akan meningkat, dan sebaliknya sel-sel tubuh
kekurangan bahan sumber energi sehingga tidak dapat memproduksi energi
sebagaimana seharusnya (Anonim, 2005a).
Insulin banyak digunakan jika obat hipoglikemik oral tidak mampu
mengontrol glukosa darah (Asia-Pacific Type 2 Diabetes Policy Group , 2005).
Insulin diberikan secara subkutan dengan tujuan untuk mempertahankan kadar
gula darah dalam batas normal sepanjang hari yaitu 80-120mg% saat puasa dan
80-160mg% setelah makan.pada pasien yang berusia 60 tahun keatas, batas ini
lebih tinggi dimana kadar gula darah puasa 150mg% dan 200mg% setelah makan
2.Jenis insulin menurut cara kerja
Insulin menurut lama kerja dapat dibagi menjadi kerja singkat, kerja
sedang dan kerja lama.
Tabel III. Jenis Insulin Menurut Cara Kerja
Sediaan Insulin Onset of Action
(Awal Kerja)
Peak Action (Puncak Kerja)
Lama kerja
Insulin short acting
Regular (Actrapid; Humulin R) Insulin analog rapid acting
Insulin lispro (Humalog) Insulin glulisine (Apidra) Insulin Aspart (NovoRapid)
30-60 menit Insulin Intermediate acting
NPH (Insulatard, Humulin N) Lente Insulin Long acting
Insulin glargine (Lantus) Ultralente
Insulin detemir (Levemir)
2-4 jam
(Short dan intermediate acting) 70%NPH/30%regular (Mixtard, Humulin 30/70)
75%insulin Lispro
protamine/25%insulin lispro injection (Humalog Mix25)
3. Cara pemberian kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan insulin
STT**:sasaran tidak tercapai
Gambar 10. Cara Pemberian Kombinasi Obat Hipoglikemik Oral dengan Insulin (Anonim, 2006a)
F. Interaksi Obat Hipoglikemik Oral dan Insulin
Interaksi obat, didefinisikan sebagai modifikasi efek satu obat akibat obat
lain yang diberikan pada awalnya atau diberikan bersamaan atau bila dua atau
lebih obat berinteraksi sedemikian rupa sehingga keefektifan atau toksisitas satu
obat atau lebih berubah (Aslam, 2003). Interaksi obat dilihat dalam drug
interaction fact dan AHFS.
Tabel IV. Interaksi Obat Hipoglikemik Oral
No. Obat hipoglikemik oral
Obat lain Interaksi yang terjadi
1. Metformin Furosemid Meningkatkan kadar metformin dalam darah. Simetidin
amiloride
digoxin prokainamid
No. Obat hipoglikemik oral
Obat lain Interaksi yang terjadi
Kuinin Meningkatkan kadar metformin dalam darah. obat diuretik Menurunkan kadar
metformin dalam darah (Lacy, Armstrong, Goldman, Lance, 2006).
kortikostroid calcium channel blocker
isoniasid
2. insulin aspirin Aspirin secara signifikan meningkatkan sekresi insulin basal (Tatro, 2007)
penghambat MAO insulin endogen dan menghambat
glukoneogenesis (Tatro, 2007).
β blocker non selektif (propanolol, timolol, penbutol)
β-blocker menumpulkan respon terhadap
hipoglikemik, dengan kata lain memperpanjang hipoglikemia dengan menyamarkan gejala hipoglikemia (Tatro, 2007)
G. Diabetes pada Geriatri 1. Terapi Farmakologi pada Diabetes pasien Geriatri
Menejemen terapi Diabetes pada pasien geriatri menggunakan guideline
yang sama pada menejemen terapi pasien dewasa. Beberapa perhatian diperlukan
dalam administrasi obat hipoglikemik oral pada pasien geriatri terutama pada
pasien yang selain menderita DM juga mempunyai penyakit ginjal, hati dan
Metformin, penghambat α-glukosidase, thiazolinediones, meglitinide dan
sulfonilurea dapat digunakan pada pasien geriatri. Pada pasien geriatri,
pengobatan yang diterima lebih dari satu macam sehingga perlu diperhatikan
adanya interaksi antara obat hipoglikemik oral dan obat lain yang digunakan
(Halapy, Henry, 2009).
H. Keterangan Empiris
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran evaluasi DTPs pada
pasien geriatri penderita Diabetes Melitus di instalasi rawat inap di RSUD Sleman
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian mengenai Evaluasi Drug Therapy Problems (DTPs) pada
Pengobatan Pasien geriatri penderita Diabetes Melitus di instalasi rawat inap
RSUD Sleman periode 2008 merupakan jenis penelitian non eksperimental
dengan rancangan deskriptif evaluatif yang bersifat retrospektif.
Penelitian non eksperimental merupakan penelitian yang observasinya
dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subyek menurut keadaan apa adanya
tanpa adanya intervensi peneliti (Pratiknya, 2001).
Rancangan penelitian deskriptif karena tujuan dari penelitian ini adalah
membuat gambaran atau deskripsi mengenai suatu keadaan secara objektif
(Notoatmodjo, 2005). Metode penelitian ini merupakan deskriptif evaluatif karena
data yang diperoleh dari lembar rekam medis dievaluasi berdasarkan standar yang
berlaku, dan dideskripsikan dengan memaparkan fenomena yang terjadi.
Kemudian ditampilkan dalam bentuk table dan diagram.
Penelitian ini bersifat retrospektif karena data yang digunakan dalam
penelitian ini diambil dengan melakukan penelusuran dokumen terdahulu, yaitu
pada lembar rekam medis pasien di instalasi rawat inap RSUD Sleman periode
B. Definisi Operasional
1. Pasien geriatri penderita Diabetes Melitus adalah pasien dengan usia 60 tahun
keatas yang memiliki kadar glukosa puasa ≥126mg/dL atau pada rekam
medis telah didiagnosis menderita DM serta pasien yang telah menerima
terapi obat hipoglikemik oral tunggal maupun dengan kombinasi (baik
kombinasi dengan OHO yang lain ataupun dengan insulin).
2. Karakteristik pasien DM adalah penggolongan pasien yang telah terdiagnosis
Diabetes Melitus berdasarkan umur, jenis kelamin, lama perawatan, data
seluruh obat yang digunakan oleh pasien pada saat pasien dirawat di instalasi
rawat inap RSUD Sleman periode 2008.
3. DTPs adalah peristiwa yang tidak diinginkan yang dialami pasien yang
memerlukan atau diduga memerlukan terapi obat dan berkaitan dengan
tercapainya tujuan terapi yang diinginkan.
a. Terapi obat tanpa indikasi, meliputi tidak adanya indikasi medis yang valid
untuk terapi obat yang digunakan saat itu, banyaknya pemakaian banyak
obat untuk kondisi tertentu padahal hanya memerlukan terapi obat tunggal,
kondisi medis lebih sesuai diobati tanpa terapi obat, terapi obat digunakan
untuk menghilangkan adverse reactions yang berhubungan dengan
pengobatan lain, penyalahgunaan obat, penggunaan alkohol, atau merokok
yang menyebabkan masalah.
b. Indikasi penyakit yang tidak diberikan terapi, meliputi kondisi terapi yang
memerlukan terapi inisiasi obat, kondisi yang memerlukan tambahan
c. Ketidakefektifan pemilihan obat, meliputi obat yang digunakan bukan obat
yang paling efektif terhadap masalah medis yang dialami, kondisi medis terbiaskan dengan adanya obat, bentuk sediaan obat tidak sesuai dan obat
tidak efektif terhadap indikasi yang dialami.
d. Dosis yang kurang, meliputi dosis terlalu rendah untuk menghasilkan
respon yang diinginkan, interval dosis terlalu rendah untuk dapat
menghasilkan respon yang diinginkan, interaksi obat menurunkan jumlah
zat aktif yang tersedia dan durasi obat terlalu singkat untuk menghasilkan
respon yang diinginkan.
e. Dosis yang berlebih, meliputi dosis terlalu tinggi, frekuensi pemakaian
obat terlalu singkat, durasi obat terlalu panjang, interaksi obat terjadi
karena hasil dari reaksi toksik dari obat dan dosis obat diberikan terlalu
cepat.
f. Adverse drug reactions, meliputi produk obat menyebabkan reaksi yang
tidak diinginkan yang tidak berhubungan dengan dosis, produk obat yang
aman diperlukan karena terkait dengan faktor risiko, interaksi obat
menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan yang tidak berhubungan
dengan dosis, pengaturan dosis yang diberikan atau diganti dengan sangat
cepat, produk obat yang menyebabkan reaksi alergi dan produk obat yang
C. Subyek Penelitian
Subyek penelitian ini adalah semua pasien geriatri penderita DM yang
dirawat di instalasi rawat inap RSUD Sleman periode 2008 kemudian diambil
sesuai kriteria inklusi yaitu: pasien dengan usia 60 tahun keatas yang memiliki
kadar glukosa puasa ≥126mg/dL atau pada rekam medis telah didiagnosis
menderita DM serta pasien yang telah menerima terapi obat hipoglikemik oral
tunggal maupun dengan kombinasi (baik kombinasi dengan OHO yang lain
ataupun dengan insulin).
D. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar
rekam medis pasien geriatri DM di instalasi rawat inap RSUD Sleman periode
2008.
E. Tata Cara Penelitian 1. Analisis situasi
Analisis situasi dimulai dengan melihat pola penyakit dan obat yang
digunakan pada pasien geriatri penderita DM yang ada di instalasi rawat inap
RSUD Sleman periode 2008 yang di peroleh dari instalasi catatan medik rumah
sakit.
2. Pengambilan data
Ditemukan 60 pasien yang berusia di atas 60 tahun pada saat itu.
yang ditetapkan oleh penulis dan didapatkan 22 kasus yang menggunakan obat
hipoglikemik oral dan akan dievaluasi dengan metode SOAP.
Tahap pengambilan data dilakukan beberapa proses, yaitu :
a. Penelusuran data, dilakukan dengan cara melihat data komputer di
bagian rekam medis yang memuat laporan jenis penyakit pasien geriatri rawat
inap. Berdasarkan laporan tersebut, didapatkan nomor rekam medis, umur,
jenis kelamin, lama rawat inap, keadaan pasien setelah menjalani rawat inap
penderita DM untuk pasien rawat inap.
b. Pengumpulan data, dilakukan dengan mencari pasien geriatri yang sesuai
dengan definisi operasional diatas berdasarkan nomor rekam medik yang
didapat. Selain itu, peneliti juga melakukan tanya jawab dengan farmasis yang
berada di RSUD Sleman dan melakukan kunjungan ke bangsal untuk
menanyakan data dari rekam medik yang kurang jelas serta melihat
Formularium RSUD Sleman tahun 2008.
c. Pencatatan data, dilakukan dengan mencatat data pasien geriatri penderita DM
yang mendapat terapi obat hipoglikemik oral tunggal maupun dengan
kombinasi obat hipoglikemik oral yang lain atau kombinasi bersama insulin
yang digunakan bersama dengan obat selain obat hipoglikemik oral dan insulin
pada periode 2008 yang disalin dari rekam medik.
Data yang dikumpulkan meliputi nomor rekam medik, umur, tanggal
penggunaan obat hipoglikemik oral, dosis, frekuensi, obat lain yang digunakan,
dialami pasien selama rawat inap, kadar glukosa darah pada awal masuk Rumah
Sakit dan keluar Rumah Sakit.
Informasi dari bagian rekam medis, terdapat 60 kasus Diabetes Melitus
pada pasien geriatri periode 2008, namun yang masuk dalam kriteria inklusi
peneliti ada 22 kasus, sehingga yang digunakan dalam penelitian adalah 22 pasien
yang masuk dalam kriteria inklusi.
3. Pengolahan data
Data yang diperoleh disajikan dalam bentuk tabel dan diagram dengan
beberapa keterangan yang meliputi data tentang profil penggunaan obat, golongan
dan jenis obat hipoglikemik oral yang digunakan, dosis, frekuensi, data
laboratorium,serta diagnosis penyakit.
F. Tata Cara Analisis Hasil
Data kualitatif dibahas dalam bentuk uraian dan data dibahas secara
deskriptif dalam bentuk tabel atau gambar diagram. Sebelumnya, data pasien
terlebih dahulu dikelompokkan berdasarkan kategori sebagai berikut ini :
1. Karakteristik pasien
a. Persentase jenis kelamin pasien geriatri penderita DM, dikelompokkan
menjadi laki-laki dan perempuan pada periode 2008 masing-masing dibagi
jumlah total kasus pada periode 2008 dikali 100%.
b. Persentase lama rawat inap
Lama perawatan disajikan menurut lama pasien geriatri penderita DM
ataupun belum sembuh dibagi jumlah total kasus pada periode 2008 dikali
100%.
c. Persentase jenis komplikasi penyerta pasien geriatri penderita DM dengan
cara menghitung jumlah pasien masing-masing jenis komplikasi penyerta
dibagi dengan total kasus kemudian dikali 100%.
d. Persentase jenis penyakit penyerta pasien geriatri penderita DM dengan
cara menghitung jumlah pasien masing-masing jenis komplikasi penyerta
dibagi dengan jumlah total kasus pasien kemudian dikali 100%.
e. Persentase lama perawatan pasien geriatri penderita Diabetes Melitus
dengan cara menghitung jumlah pasien yang terdapat pada range lama
perawatan tertentu dibagi dengan jumlah total kasus dan dikalikan 100%.
2. Pola pengobatan
a. Persentase jenis obat yang digunakan pada pasien geriatri penderita DM
dihitung dengan cara menghitung jumlah terapi yang digunakan pada
masing-masing golongan dibagi dengan total masing-masing jenis kelas
terapi dan dikalikan 100%.
3. Perhitungan identifikasi Drug Therapy Problems (DTPs)
Persentase jumlah Drug Therapy Problems (DTPs) pasien geriatri
penderita Diabetes Melitus dengan menghitung jumlah masing-masing kasus
Drug Therapy Problems (DTPs) dibagi dengan jumlah keseluruhan kasus
pasien dan dikalikan 100%.
Kemudian dilakukan evaluasi kerasionalan obat dengan acuan Drug
dengan referensi standar pertama yang digunakan adalah Drug information
handbook 14thedition (Lacy, Armstrong, Goldman, Lance, 2006) dan Drug Interaction Fact (Tatro, 2007), dan standar kedua AHFS drug information
2004 (McEvoy dkk, 2003). Untuk mengetahui kelas terapi yang digunakan
pasien geriatri, digunakan Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000
sebagai standard referensi yang pertama dan standard kedua digunakan