EVALUASI PENYE
i Kasus di perusahaan tekstil PT. Kusuma Muli
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi
Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ekonom
iv
!
vii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia kepada penulis dapat menyelesaikan skripsi
dengan judul Evaluasi Penyesuaian Fiskal Positif atau Penyesuaian Fiskal Negatif
PPh Badan : Studi kasus di perusahaan tekstil PT Kusuma Mulia.
Penulisan dan penyusunan skripsi ini disusun dalam rangka
melengkapi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Program Studi
Akuntansi, Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang telah membantu dalam menyusun skripsi, antaralain :
1. Romo Dr. Ir. Paulus Wiryono Priyotamtama, Sj, selaku Rektor
Universitas Sanata Dharma yang telah memberikan kesempatan untuk
belajar dan mengembangkan kepribadian kepada penulis.
2. Drs. YP. Supardiyono, M.Si.,Akt., QIA, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sanata Dharma.
3. Drs. Yusef Widya Karsana, M.Si.,Akt., QIA, selaku Ketua Program
Studi Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma.
4. Dra. YFM. Gien Agustinawansari, M.M., Akt, selaku dosen pembimbing
yang telah meluangkan waktu dan penuh kesabaran memberikan
ix
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ………. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ……….. ii
HALAMAN PENGESAHAN ……….. iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ……… iv
HALAMAN PUBLIKIASI KARYA TULIS ………... v
HALAMAN KEASLIAN KARYA TULIS ………. vi
KATA PENGANTAR ………... vii
F. Sistematika Penulisan ……….. 5
x
B. Pajak Penghasilan ……… 11
1. Pengertian Pajak Penghasilan ……… 11
2. Objek Pajak Penghasilan ………. 12
3. Penghasilan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak … 14 4. Biaya-biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto ………. 16
5. Biaya-biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto ……… 21
6. Penyusutan dan Amortisasi ………. 25
F. Teknik Pengumpulan Data ………. 53
G. Teknik Analisis Data ……….. 54
BAB IV GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN ………. 55
A. Sejarah Berdirinya Perusahaan ……… 55
B. Lokasi Perusahaan ……….. 56
C. Struktur Organisasi ………. 58
D. Pemasaran Produk ……… 62
xi
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN ……….. 68
A. Paparan Data ……… 68
B. Penyesuaian Fiskal oleh PT Kusuma Mulia ………. 74
C. Penyesuaian Fiskal Menurut Teori ……… 77
D. Pembahasan ……….. 81
BAB VI PENUTUP ……….. 82
A. Kesimpulan ……….. 82
B. Saran ……… 83
C. Keterbatasan Penulisan ……… 83
DAFTAR PUSTAKA ………. 84
xii
DAFTAR TABEL
Tabel 1.1 Tarif Penyusutan Harta Berwujud ……… 28
Tabel 1.2 Tarif Amortisasi Harta Tidak Berwujud ……….. 33
Tabel 5.1 Neraca PT Kusuma Mulia per 31 Desember 2008 dan 2009 … 71
Tabel 5.1 Laporan Laba Rugi PT Kusuma Mulia periode tahun 2008 dan
tahun 2009 ………. 73
Tabel 5.3 Perbandingan antara Penyesuaian Fiskal menurut
xiii
ABSTRAK
EVALUASI PENYESUAIAN FISKAL POSITIF ATAU PENYESUAIAN FISKAL NEGATIF PAJAK PENGHASILAN WAJIB PAJAK BADAN
Studi Kasus di perusahaan tekstil PT Kusuma Mulia
Feliana Cendya Kartika NIM : 052114020 Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2012
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah penyesuaian fiskal yang dilakukan oleh perusahaan pada tahun 2009 sudah tepat menurut perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan di PT Kusuma Mulia yang terletak di Jalan HOS Cokroaminoto No 47 Solo, dimana perusahaan ini bergerak dibidang usaha tekstil. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan dokumentasi sedangkan teknik analisis data yang diterapkan adalah teknik analisis deskriptif. Teknik analisis deskriptif ini dilakukan dengan cara membandingkan antara penyesuaian fiskal yang dilakukan oleh perusahaan dengan penyesuaian fiskal berdasarkan kajian teori.
xiv
ABSTRACT
AN EVALUATION OF POSITIVE FISCAL ADJUSTMENT OR NEGATIVE FISCAL ADJUSTMENT OF INSTITUTIONAL TAX PAYER’S INCOME
TAX A case study in the tekstile company of PT Kusuma Mulia
Feliana Cendya Kartika NIM : 052114020 Sanata Dharma University Yogyakarta
2012
This study aimed to evaluate whether the fiscal adjustment undertaken by the company in 2009 was appropriate according to the existing legislation. This research was conducted at PT KusumaMulia locating at HOS Cokroaminoto street number 47 Solo, where the company engaged in textile business. The data collection techniques used were interviews and documentation, while the data analysis technique applied was descriptive analysis technique. The descriptive analysis technique done by comparing the fiscal adjustment undertaken by the company and fiscal adjustment based on the theory.
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pajak adalah pungutan yang didasarkan pada pelaksanaan
perundang-undangan perpajakan secara benar dan bukan merupakan
kontribusi yang sifatnya sukarela. Pajak juga merupakan salah satu
penerimaan negara yang memegang peranan penting, karena merupakan
komponen terbesar dan sumber utama penerimaan dalam negeri untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan. Sesuai dengan definisi tersebut,
pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Meskipun demikian, tidak
semua orang rela mengeluarkan uangnya untuk dibayarkan pajak karena
menganggap pajak tersebut sebagai beban, sehingga timbul keinginan untuk
mengurangi pajak tersebut, sama halnya keinginan untuk mengurangi
beban-beban yang lain.
Ada dua wajib pajak yaitu wajib pajak orang pribadi dan wajib
pajak badan. Wajib Pajak Orang Pribadi adalah orang pribadi yang telah
memenuhi syarat perpajakan yang berlaku di Indonesia untuk menjadi wajib
pajak yang mempunyai kewajiban untuk menghitung, menyetor dan
melaporkan kewajiban pajaknya kepada Kantor Pelayanan Pajak (KKP)
terdekat. Sedangkan Wajib Pajak Badan adalah badan usaha yang telah
memenuhi syarat perpajakan yang berlaku di Indonesia untuk menjadi wajib
melaporkan kewajiban pajaknya kepada Kantor Pelayanan pajak (KKP)
terdekat.
Bagi suatu wajib pajak badan, pajak yang ditanggung merupakan
salah satu elemen biaya atau sebagai pengurang laba yang didapat oleh
perusahaan. Semakin tinggi pajak yang ditanggung semakin kecil laba
bersih yang secara riil didapatkan. Wajib pajak dengan pemerintah
mempunyai kepentingan berbeda dalam hal pembayaran pajak. Apabila
ditinjau dari wajib pajak seperti wajib pajak badan, pajak penghasilan dapat
dianggap sebagai beban yang mengurangi laba pemegang saham dan laba
perusahaan.
Penghasilan adalah setiap tambahan ekonomi yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik wajib pajak yang berasal dari Indonesia maupun
wajib pajak yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai atau
dikonsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan
dengan nama atau bentuk apapun. Maka pajak yang dikenakan atas
penghasilan wajib pajak disebut Pajak Penghasilan (PPh).
Dengan adanya Undang-undang Perpajakan maka diharapkan
kesadaran dan tanggung jawab bagi setiap perusahaan untuk melaksanakan
kewajibannya yaitu membayar pajak penghasilan yang berdasarkan
peraturan perpajakan, serta diharapkan aktif mulai dari menghitung,
menyetor, dan melaporkan sendiri pajak penghasilan dan pajak yang
Laporan yang disusun secara rapi dan teratur akan dapat
menghasilkan informasi mengenai pajak yang terutang dan dapat
mempermudah Wajib Pajak Badan untuk mengisi SPT dan menyajikan
informasi tentang posisi finansial dan hasil usaha.
Setiap badan usaha yang melakukan usaha atau pekerjaan bebas di
Indonesia wajib menyelenggarakan pembukuan. Dalam menghitung PPh
terutang, perusahaan atau orang pribadi yang mengadakan pembukuan tetap
mendasarkan diri dari laporan keuangan komersial. Dari laporan keuangan
komersial tersebut selanjutnya dilakukan penyesuaian fiskal.
Terdapat dua macam penyesuaian fiskal, yaitu: penyesuaian fiskal
positif dan penyesuaian fiskal negatif. Penyesuaian fiskal positif adalah
penyesuaian yang akan mengakibatkan meningkatnya laba kena pajak yang
pada akhirnya akan membuat PPh Badan terhutangnya juga akan
meningkat. Penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian yang akan
mengakibatkan menurunnya laba kena pajak. Adapun perhitungan laba
menurut akuntansi keuangan atau biasa disebut dengan laporan keuangan
komersial dan ada pula menurut perpajakan atau biasa disebut laporan
keuangan fiskal. Secara umum perhitungan menurut Laba Komersial
tentunya akan mengacu sepenuhnya pada SAK.
Berdasarkan latar belakang yang sudah dijelaskan diatas, maka
penulis tertarik untuk mengambil judul “Evaluasi Penyesuaian Fiskal Positif
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka diambil rumusan masalah yaitu
Apakah penyesuaian fiskal positif atau penyesuaian fiskal negatif PPh yang
dilakukan oleh PT Kusuma Mulia sebagai Wajib Pajak Badan yang
bergerak dibidang usaha tekstil sudah sesuai menurut Undang-undang yang
berlaku?
C. Batasan Masalah
Evaluasi ini terbatas pada kesesuaian penyesuaian fiskal yang dilakukan
oleh PT Kusuma Mulia dengan peraturan pajak yang berlaku.
D. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi penyesuaian fiskal positif atau
penyesuaian fiskal negatif PPh yang dilakukan oleh PT Kusuma Mulia
tahun 2009 apakah sudah sesuai dengan peraturan yang berlaku.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Perusahaan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan perusahaan sebagai
bahan informasi dan evaluasi terhadap penyesuaian fiskal positif atau
2. Bagi penulis
Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjelaskan tentang
penyesuaian fiskal positif atau penyesuaian fiskal negatif pajak
penghasilan yang dilakukan oleh PT Kusuma Mulia dan dapat
menambah pengalaman penulis di bidang perpajakan.
3. Bagi Universitas
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah reverensi di bidang
perpajakan.
F. Sistematika Penulisan
Bab I : Pendahuluan
Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, batasan masalah, tujuan masalah, manfaat
masalah, dan sistematika penulisan.
Bab II : Landasan Teori
Bab ini berisi tentang teori-teori yang digunakan sebagai
dasar untuk mengolah data yang berasal dari perusahaan.
Bab III : Metode Penelitian
Bab ini berisi tentang metode-metode pengumpulan data
serta teknik analisis data yang dilakukan untuk mengolah
Bab IV : Gambaran Umum Perusahaan
Bab ini menguraikan tentang sejarah berdirinya
perusahaan, struktur organisasi dan unit usaha perusahaan
PT Kusuma Mulia Surakarta.
Bab V : Analisis Dan Pembahasan
Bab ini menguraikan tentang data-data yang diperoleh,
dan analisis dari data-data yang diperoleh dari perusahaan.
Bab VI : Penutup
Bab ini berisi tentang kesimpulan yang diambil setelah
menganalisis data-data yang didapat dari perusahaan, dan
memberikan saran kepada PT Kusuma mulia untuk
7 BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pajak
1. Pengertian Pajak
Pengertian pajak menurut P.J.A Adriani yang telah diterjemahkan oleh
R. Santoso Brotodiharjo:
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.
Pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro, dalam bukunya
Dasar-dasar hukum pajak dan pajak pendapatan (1990:5):
Pajak adalah iuran rakyat ke kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal (kontra prestasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dari definisi-definisi tersebut diatas dapat ditarik kesimpulan:
a. Pajak dipungut oleh negara berdasarkan kekuatan
undang-undang serta aturan pelaksanaanya dan dapat dipaksakan.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontra
prestasi langsung kepada individu oleh pemerintah.
c. Pajak diperuntukkan dan digunakan untuk membayar
d. Pajak dipungut oleh negara baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
2. Fungsi Pajak
Menurut Siti Resmi, pajak memiliki 2 (dua) fungsi, yaitu :
a. Fungsi Budgetair ( Sumber keuangan Negara )
Fungsi budgetair artinya adalah pajak merupakan salah satu
sumber penerimaan negara untuk membiayai pengeluaran rutin
maupun pembangunan.
b. Fungsi Regulered ( Mengatur )
Fungsi regulered adalah pajak sebagai alat untuk mangatur atau
melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial
ekonomi dan untuk mencapai tujuan tertentu di luar bidang
keuangan. Contoh untuk fungsi regulered ( mengatur ) adalah
dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras.
3. Subjek Pajak
Subjek pajak diartikan sebagai orang yang dituju oleh
undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak Penghasilan dikenakan terhadap
Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang didapatkan dalam
Menurut pasal 2 Undang-undang nomor 36 Tahun 2008 yang
menjadi subjek pajak adalah orang pibadi, warisan yang belum dibagi
sebagai salah satu kesatuan menggatikan yang berhak, badan yang
terdiri dari Perseroan Terbatas, Perseroan Komanditer, Perseroan
lainnya, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, Persekutuan, Firma, Koperasi
Yayasan atau organisasi yang sejenis lembaga dana pensiunan, dan
bentuk usaha lainnya.
4. Jenis-jenis Pajak
a. Menurut Golongannya
1) Pajak langsung, adalah pajak yang pembebanannya tidak
dapat dilimpahkan kepada pihak lain, tetapi harus menjadi
beban langsung wajib pajak yang bersangkutan. Contoh
pajak langsung adalah Pajak Penghasilan.
2) Pajak tidak langsung, adalah pajak yang pembebanannya
dapat dilimpahkan kepada pihak lain. Contoh pajak tidak
langsung adalah Pajak Pertambahan Nilai.
b. Menurut Sifatnya
1) Pajak Subjektif, adalah pajak yang berpangkal atau
berdasarkan pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat
subjektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib
2) Pajak objektif, adalah pajak yang berpangkal atau
berdasarkan pajak objeknya, tanpa memperhatikan keadaan
diri wajib pajak. Contoh pajak objektif adalah Pajak
Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang
Mewah.
c. Menurut Pemungutnya
1) Pajak pusat, adalah pajak ang dipungut oleh pemerintah
pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
Negara. Contoh pajak pusat adalah Pajak Penghasilan,
Pajak Pertambahan Nilai, Pajak atas Penjualan Barang
Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan, dan Bea Materai.
2) Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah
daerah dan digunakan untuk membiayai rumah tangga
daerah. Contoh pajak daerah adalah pajak reklame dan
B. Pajak Penghasilan
1. Pengertian Pajak Penghasilan
Kata Pajak Penghasilan mengandung dua pengertian yang
disatukan satu sama lain. Pengertian pertama mengenai arti pajak itu
sendiri dan pengertian kedua mengenai arti penghasilan.
Pengertian penghasilan menurut Standar Akunansi Keuangan
mengenai penyajian Laporan Keuangan paragraph 70 yaitu :
Kenaikan manfaat ekonomi selama satu periode akuntansi dalam bentuk pemasukan atau penambahan aktiva atau penurunan kewajiban yang mengakibatkan kenaikkan atau penambahan aktiva, ekuitas yang tidak berasal dari kontribusi penambahan modal.
Dalam Undang-undang Perpajakan nomor 36 Tahun 2008 Pasal
4 ayat (1) penghasilan dapat diartikan sebagai :
Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesa maupun dari Luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Dengan demikan, pengertian Pajak Penghasilan (PPh) adalah
pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang
diterima atau diperolehnya dalam satu tahun pajak (Siti Resmi,
2. Objek Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-undang perpajakan Nomor 36 Tahun 2008
Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Pajak Penghasilan, objek pajak
penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia
maupun yang berasal dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun termasuk keuntungan :
a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan,
honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau
imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam
undang-undang.
b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan
penghargaan,
c. Laba Usaha
Menurut akuntansi, laba usaha merupakan penjualan dikurangi
dengan HPP dan biaya-biaya usaha, sedangkan sesuai acuan
pengisian Surat Pemberitahuan (SPT), laba bruto usaha
merupakan penjualan dikurangi dengan HPP. Laba bruto ini
setelah dikurangi dengan pengurangan atau biaya yang
d. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk :
1) Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham
atau penyertaan modal.
2) Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan
badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota.
3) Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, atau pengambil alihan usaha.
4) Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagai atau
seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam
pembiayaan.
e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan
sebagai biaya ;
f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena
jaminan pengembalian utang;
g. Deviden, dengan nama, dan dalam bentuk apapun, termasuk
deviden dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan
pembagian sisa hasil usaha koperasi;
h. Royalty;
i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
j. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
l. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
m. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah;
n. Premi asuransi;
o. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas;
p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang
belum kena pajak.
3. Penghasilan yang Dikecualikan Sebagai Objek Pajak
Pengecualian objek pajak diatur dalam Pasal 4 ayat (3)
Undang-undang PPh yaitu:
a. 1) Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang
dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan para penerima
zakat yang berhak.
2) Harta Hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus atau sederajat;
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dan Wajib Pajak
atau Pemerintah;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa;
f. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh
perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi,
yayasan atau organisasi yang sejenis, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, dari penyertaan modal pada
Badan Usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia dengan syarat :
1) Deviden berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) Bagi Perseroan Terbatas, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Usaha Milik Daerah yang menerima deviden paling
rendah 25% dari jumlah modal yang disetor dan harus
mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tesebut;
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang
pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, naik yang
h. Penghasilan dari modal yang ditanam oleh dana pensiun
sebagaimana yang dimaksudkan dalam huruf g, dalam
bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan keputusan Menteri
Keuangan;
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan,
perkumpulan, firma, kongsi;
j. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh peruahaan
resakdana selama 5 (lima) tahun pertama sejak pendirian
perusahaan atau pemberian ijin perusahaan.
4. Biaya-biaya yang Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Biaya-biaya yang boleh dikurangkan dalam rangka menghitung
penghasilan kena pajak diatur dalam Pasal 6 ayat (1) Undang-undang
PPh, terdiri dari :
a. Biaya yang secara langsung atau tidak lagsung berkaitan dengan
kegiatan usaha, antara lain :
1) biaya pembelian bahan;
2) biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah,
gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang
diberikan dalam bentuk uang;
3) bunga, sewa dan royalty;
5) biaya pengolahan limbah;
6) premi asuransi
7) biaya promosi dan penjualan yang diatur dengan atau
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
8) biaya administrasi; dan
9) pajak kecuali pajak penghasilan
Biaya-biaya diatas pada umumnya disebut juga biaya sehari-hari
yang boleh dibebankan pada tahun pengeluaran. Untuk dapat
dibebankan sebagai biaya, pengeluaran-pengeluaran tersebut
harus memiliki hubungan langsung atau tidak langsung dengan
kegiatan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
b. Penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud
dan amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atau
biaya lain yang memunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu)
tahun.
Untuk peneluaran-pengeluaran guna memperoleh harta
berwujud dan harta tidak berwujud serta pengeluaran lain yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun, maka
c. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan
oleh Menteri keuangan.
Untuk iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan boleh dibebankan sebagai
biaya, sedangkan untuk iuran kepada pensiun yang pendiriannya
belum disahkan oleh Menteri Keuangan maka belum boleh
dibebankan sebagai biaya.
d. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki
dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta menurut tujuan
yang semula tidak dimaksudkan untuk dijual atau dialihkan
yang dimiliki dan dipergunakan dalam perusahaan atau yang
dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto,
sedangkan kerugian karena penjualan atau pegalihan harta yang
dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang
dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, maka tidak boleh dikurangkan dari
e. Kerugian selisih kurs mata uang asing
Kerugian yang dikarenakan fluktuasi kurs mata uang asing
diakui berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan
dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar Akuntansi
Keuangan yang berlaku di Indonesia.
f. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia;
Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan yang dilakukan
di Indonesia dalam jumlah yang wajar untuk menemukan
teknologi atau sistem baru bagi pengembangan perusahaan
boleh dibebankan sebagai biaya perusahaan.
g. Biaya beasiswa, magang, dan pelatihan;
Biaya yang dikeluarkan perusahaan untuk keperluan beasiswa,
magang, dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas
Sumber Daya Manusia dapat dibebankan sebagai biaya
perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk
beasiswa yang dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa
yang diberikan kepada pelajar, mahasiswa, dan pihak lain.
h. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dengan syarat :
1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi
komersial;
2) Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak
3) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada
Pengadilan Negeri atau instansi pemerintah yang
menangani piutang Negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang pembebasan utang antara
kreditur dan debitur yang bersangkutan; atau telah
dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah
dihapuskan untuk jumlah utang tertentu
4) Syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku
untuk penghapusan piutang tak tertagih debitur kecil
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k
Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dapat dibebankan
sebagai biaya sepanjang Wajib Pajak telah mengakuinya sebagai
biaya dalam laporan Laba Rugi komersial dan telah melakukan
upaya-upaya penagihan yang maksimal atau terakhir.
i. Sumbangan dalam rangka penanggulangan bencana nasional
yang ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
j. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang
dilakukan di Indonesia yang ketentuannya diatur dengan
Peraturan Pemerintah
k. Biaya pembangunan infrastuktur sosial yang ketentuannya
l. Sumbangan fasilitas pendidikan yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Pemerintah
m. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Pemerintah
5. Biaya-biaya yang Tidak Boleh Dikurangkan dari Penghasilan Bruto
Biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan dalam rangka
menghitung Penghasilan Kena Pajak yang diatur pada Pasal 9 ayat (1)
Undang-Undang Pajak Penghasilan adalah :
a. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti
deviden, termasuk deviden yang dibayarkan oleh perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha
koperasi.
Pembagian laba dalam bentuk apapun termasuk pembagian
deviden oleh perusahaan asuransi kepada polis, pembayaran
deviden kepada pemilik modal tidak boleh dikurangkan dari
penghasilan badan yang membagikannya, karena pembagian
laba merupakan bagian dari penghasilan badan yang akan
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi pemegang saham, sekutu, atau anggota.
Biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan
untuk kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu, atau
anggota, seperti perbaikan rumah, biaya perjalanan, biaya premi
asuransi tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
perusahaan.
c. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan, kecuali
cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha
lainnya yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha, cadangan
untuk usaha asuransi termasuk cadangan bantuan sosial yang
dibentuk oleh Badan Penyelenggara Jaminan sosial, cadangan
penjaminan Lembaga Penjamin Simpanan, cadangan biaya
reklamasi untuk usaha pertambangan, cadangan biaya
penanaman kembali untuk usaha kehutanan, dan cadangan biaya
penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah
industri untuk usaha pengolahan limbah industri.
d. Premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa,
asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi, kecuali jika dibayar oleh pemberi
kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi
Untuk premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi
jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa yang dibayarkan
sendiri oleh Wajib Pajak Orang Pribadi tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto, dan jika premi asuransi tersebut dibayar
atau ditanggung oleh pemberi kerja, maka bagi pemberi kerja
pembayaran tersebut boleh dibebankan sebagai biaya dan bagi
pegawai yang bersangkutan merupakan penghasilan yang
merupakan objek pajak.
e. Penggantian atau imbalan sehubungan dengam pekerjaan atau
jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan,
kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh
pegawai serta penggantian atau imbalan dalam bentuk natura
atau kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan
pelaksanaan pekerjaan yang diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan.
Dari Pasal 4 ayat (3) huruf d, penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan dianggap bukan merupakan objek
pajak, dalam ketentuan ini penggantian atau imbalan dimaksud
dianggap bukan merupakan pengeluaran yang dapat dibebankan
f. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada
pemegang saham atau kepada pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang
dilakukan.
Pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan yang boleh dikurangkan dari penghasilan bruto
adalah pengeluaran yang jumlahnya wajar sesuai kelaziman
usaha, berdasarkan ketentuan tersebut jumlah yang melebihi
kewajaran tersebut tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
g. Harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf
b, kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 ayat
(1) huruf I sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima
oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk
atau disahkan oleh pemerintah atau sumbangan keagamaan yang
sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia,
yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan
Pemerintah.
h. Pajak Penghasilan.
Yang dimaksudkan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini
adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang
i. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi tanggungannya.
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang
menjadi tanggungan, pada hakekatnya merupakan penggunaan
penghasilan oleh Wajib Pajak yang bersangkutan, maka tida
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
j. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham.
Gaji yang diterima oleh anggota persekutuan, firma, atau
perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham,
bukan merupakan pembayaran yang boleh dikurangkan dari
penghasilan bruto badan tersebut.
k. Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta
sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
6. Penyusutan dan Amortisasi
Berdasarkan Pasal 9 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan
nomor 36 Tahun 2008 yang menyatakan bahwa pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan
penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 11
atau pasal 11 A, maka pasal 11 atau pasal 11 A berisi sebagai berikut :
a. Penyusutan
1) Penyusutan atas pengeluaran untuk pembelian, pendirian,
penambahan, perbaikan, atau perubahan harta beruwujud,
kecuali tanah yang berstatus hak milik, hak guna
bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai yang dimiliki
dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan dalam bagian-bagian
yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut.
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah hak
milik, termasuk tanah berstatus hak bangunan, hak guna
usaha, dan hak pakai yang pertama kali tidak boleh
disusutkan, kecuali apabila tanah tersebut dipergunakan
dalam perusahaan atau dimiliki untuk memperoleh
penghasilan dengan syarat nilai tanah tersebut berkurang
karena penggunaannya untuk memperoleh penghasilan,
misalnya adalah tanah yang dipergunakan untuk
perusahaan genteng, perusahaan keramik, dan perusahaan
2) Penyusutan atas pengeluaran harta berwujud sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) selain bangunan, dapat juga
dilakukan dalam bagian-bagian yang menurun selama
masa manfaat, yang dihitung dengan cara menerapkan
tarif penyusutan atas nilai sisa buku, dan pada akhir masa
manfaat nilai sisa buku disusutkan sekaligus, dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
Penggunaan metode penyusutan atas harta harus dilakukan
secara taat asas, untuk harta berwujud berupa bangunan
dapat disusutkan dengan metode garis lurus atau metode
saldo menurun.
3) Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan pengerjaan
harta tersebut.
Penyusutan dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran
atau pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta
sehingga penyusutan pada tahun pertama secara
pro-kontra.
4) Dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak
diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan
dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang
bersangkutan mulai menghasilkan.
Berdasarkan persetujuan Direktorat Jenderal Pajak, saat
mulainya penyusutan dapat dilakukan pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapat, menagih, dan
memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut
mulai menghasilkan.
5) Apabila Wajib Pajak melakukan penilaian kembali aktiva
berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal
19, maka dasar penyusutan atas harta adalah nilai setelah
dilakukan penilaian kembali aktiva tersebut.
6) Untuk menghitung penyusutan, masa manfaat dan tarif
penyusutan harta berwujud ditetapkan sebagai berikut :
Tabel 1.1 Tarif Penyusutan Harta Berwujud
Sumber : Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008
Tarif penyusutan diberikan untuk memberikan kepastian
atas pengeluaran harta berwujud, ketentuan ini mengatur
kelompok masa manfaat harta dan tarif penyusutan baik
menurut metode garis lurus maupun saldo menurun.
7) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusutan atas harta
berwujud yang dimiliki dan digunakan dalam bidang
usaha tertentu diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Dalam rangka menyesuaikan dengan bermacam-macam
bidang usaha tertentu, seperti perkebunan tanaman keras,
kehutanan, dan peternakan, perlu diberikan pengaturan
tersendiri untuk penyusutan harta berwujud yang
digunakan dalam bidang-bidang usaha tersebut yang
ketentuannya diatur pada Peraturan Menteri Keuangan.
8) Apabila terjadi pengalihan atau penarikan harta
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d atau
penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai
sisa buku harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dan
jumlah harga jual atau penggantian asuransinya yang
diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan
pada tahun terjadinya penarikan harta tersebut.
Pada dasarnya keuntungan atau kerugian karena
pengalihan harta dikenai pajak dalam tahun dilakukannya
pengalihan harta tersebut, dan apabila harta tersebut dijual
tersebut, yaitu selisih antara harga penjualan dan biaya
yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut
dan atau penggantian asuransinya, dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun terjadinya penjualan atau tahun
diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku
tersebur dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak
yang bersangkutan.
9) Apabila penggantian asuransi yang akan diterima
jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti di masa
kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal
Pajak jumlah sebesar kerugian sebagaimana dimaksud
pada ayat (8) dibukukan sebagai beban masa kemudian
hari.
Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya
baru dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian,
Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan kepada
Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar kerugian
tersebut dapat dibebaskan dalam tahun penggantian
asuransi tersebut.
10) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf q dan
sisa buku harta tersebut tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
Dalam hal pengalihan harta berwujud yang memenuhi
syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
a dan huruf b, nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan
sebagai kerugian oleh pihak yang mengalihkan.
11) Ketentuan lebih lanjut mengenai kelompok harta berwujud
sesuai dengan masa manfaat sebagaimana dimaksud pada
ayat (6) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Untuk memberikan keseragaman kepada Wajib Pajak
dalam melakukan penyusutan, Menteri Keuangan diberi
wewenang untuk menetapkan jenis-jenis harta yang
termasuk dalam setiap kelompok dan masa manfaat yang
harus diikuti oleh Wajib Pajak.
b. Amortisasi
1) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak
berwujud dan pengeluaran lainnya termasuk biaya
perpanjangan hak guna bangunan, hak guna usaha, hak
pakai, dan muhibah (goodwill) yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun yang dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan
dilakukan dalam bagian-bagian yang sama besar atau
yang dihitung dengan cara menerapkan tarif amortisasi
atas pengeluaran tersebut atau atas nilai sisa buku dan
pada akhir masa manfaat diamortisasi sekaligus dengan
syarat dilakukan secara taat asas.
Harga perolehan harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya termasuk biaya perpanjangan hak guna bangunan,
hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang
mempunyai manfaat lebih dari 1 (satu) tahun diamortisasi
dengan metode :
a. Dalam bagian-bagian yang sama setiap tahun selama
masa manfaat; atau
b. Dalam bagian-bagian yang menurun setiap tahun
dengan cara menerapkan tarif amortisasi atas nilai sisa
buku.
1a) amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran,
kecuali untuk bidang usaha tertentu yang diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Amortisasi dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran
sehingga amortisasi pada tahun pertama dihitung secara
2) Untuk menghitung amortisasi, masa manfaat dan tarif
amortisasi ditetapkan sebagai berikut :
Tabel I.2 Tarif Amortisasi Harta Tidak Berwujud
Sumber : Undang-undang PPh Nomor 36 Tahun 2008
Wajib Pajak dapat melakukan amortisasi sesuai dengan
metode yang dipilihnya sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berdasarkan masa manfaat yang sebenarnya dari setiap
harta yang tak berwujud. Tarif amortisasi yang diterapkan
didasarkan pada kelompok masa manfaat sebagaimana
yang diatur dalam ketentuan ini.
3) Pengeluaran untuk biaya pendirian dan biaya perluasan
modal suatu perusahaan dibebankan pada tahun terjadinya
pengeluaran atau diamortisasi sesuai dengan ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
4) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun di bidang penambangan minyak dan
gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan
Metode satuan produksi dilakukan dengan menerapkan
presentase tarif amortisasi yang besarnya setiap tahun
sama dengan presentase perbandingan antara realisasi
penambangan minyak dan gas bumi pada tahun yang
bersangkutan dengan taksiran jumlah seluruh kandungan
minyak dan gas bumi di lokasi tersebut yang dapat
diproduksi.
5) Amortisasi atas pengeluaran untuk memperoleh hak
penambangan selain yang dimaksud pada ayat (4), hak
pengusahaan hutan, dan hak pengusahaan sumber alam
serta hasil alam lainnya yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun, dilakukan dengan menggunakan
metode satuan produksi setinggi-tingginya 20% (dua
puluh persen) setahun.
Pengeluaran untuk memperoleh hak penambangan selain
minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan, dan hak
pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti
hak pengusahaan hasil laut diamortisasi berdasar metode
satuan produksi dengan jumlah paling tinggi 20% (dua
6) Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial
yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi sesuai dengan
ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (2).
Dalam pengertian pengeluaran yang dilakukan sebelum
operasi komersial, adalah biaya-biaya yang dikeluarkan
sebelum operasi komersial, misalnya, biaya studi
kelayakan dan biaya produksi percobaan tetapi tidak
termasuk biaya-biaya operasional yang bersifat rutin,
seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik.
7) Apabila terjadi pengalihan harta tak berwujud atau
hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4), dan
ayat (5), maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima
sebagai penggantian merupakan penghasilan pada tahun
terjadinya pengalihan tersebut.
8) Apabila terjadi pengalihan harta yang memenuhi syarat
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) huruf
q dan huruf b, yang berupa harta tak berwujud, maka
jumlah nilai sisa buku harta tersebut tidak boleh
dibebankan sebagai kerugian bagi pihak yang
7. Tarif Pajak Penghasilan
Berdasarkan Undang-undang Pajak Penghasilan Nomor 36
Tahun 2008 mengatur bahwa tarif pajak yang ditetapkan atas
penghasilan atau laba kena pajak bagi Wajib Pajak Badan dalam
negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan
persen). Dan untuk tahun 2010 tarif pajak bagi Wajib Pajak Badan
turun menjadi 25% (dua puluh lima persen).
Bagi Wajib Pajak Badan akan deberikan fasilitas berupa tarif
pajak khusus apabila Wajib Pajak Badan dalam negeri dengan
peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh
miliar rupiah) akan mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif
sebesar 50%.
C. Penyesuaian Fiskal
Penyesuaian fiskal positif adalah penyesuaian terhadap
penghasilan neto komersial (diluar unsur penghasilan yang dikenakan Pajak
Penghasilan Final dan tidak termasuk objek pajak) dalam rangka
menghitung penghasilan kena pajak berdasarkan Undang-undang PPh
beserta aturan pelaksanaannya, yang bersifat menambah penghasilan
dan/atau mengurangi biaya-biaya komersial tersebut pada penghasilan neto
Dalam buku pedoman pengisian SPT Wajib Pajak Badan
halaman 6 dan pada formulir 1771 Lampiran I, penyesuaian fiskal
dikelompokkan menjadi :
1. Penyesuaian Fiskal Positif
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan
pemegang saham, sekutu, anggota.
Menurut Pasal 9 ayat (1) huruf b Undang-undang PPh,
biaya-biaya yang dikeluarkan atau dibebankan oleh perusahaan untuk
kepentingan pribadi pemegang saham, sekutu atau angota,
seperti perbaikan rumah, premi asuransi, biaya perjalanan untuk
kepentingan pribadi para pemegang saham tidak dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
b. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan.
Menurut pasal 9 ayat (1) huruf c Undang-undang PPh,
pembentukan dana cadangan tidak dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan. Namun untuk jenis usaha tertentu yang secara
ekonomis memang diperlukan adanya cadangan untuk menutup
biaya atau beban perusahaan.
1) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 80/KMK.04/1995
Menurut keputusan Menteri Keuangan no
80/KMK.04/1995 pasal 1 ayat (2) besarnya dana cadangan
a) Bank maximal 3% dari rata-rata saldo awal dan
saldo akhir piutang.
b) Sewa guna usaha dengan hak opsi sebesar 2,5% dari
rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang.
2) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No.
SE-09/PJ.42/1999
Menurut surat edaran direktur jenderal pajak No.
SE-09/PJ.42/1999, dinyatakan bahwa besarnya dana cadangan
piutang tak tertagih yang diperkenankan untuk dibebankan
sebagai biaya untuk jenis usaha bank, yaitu sebagai
berikut:
a) Untuk kredit yang digolongkan lancer, dalam
perhatian khusus dan kurang lancer ditentukan
perhitungan secara bertahap.
b) Untuk kredit yang digolongkan diragukan adalah
50% setelah dikurangi nilai anggunan
c) Untuk kredit yang digolongkan macet adalah 100%
setelah dikurangi nilai anggunan.
Kerugian yang berasal dari piutang yang nyata-nyata tidak dapat
ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak
c. Penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk
natura atau kenikmatan.
Berdasarkan pasal 9 ayat (1) huruf e Undng-undang PPh ,
penggantian atau imbalan pekerjaan atau jasa dalam bentuk
natura atau kenikmatan bagi Wajib Pajak pemberi kerja tidak
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP
213/PJ/2001
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP
213/PJ/2001 Pasal 4 ayat (1) dan ayat (2) yang
mengatakan bahwa :
Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan
atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan
kenikmatan di daerah tertentu yang dapat dikurangkan dari
penghasilan bruto adalah sarana dan fasilitas di lokasi
pekerjaan untuk :
a) Tempat tinggal termasuk perumahan bagi pegawai
dan keluarganya, sepanjang dilokasi bekerja tersebut
tidak ada tempat tinggal yang dapat disewa;
b) Pelayanan kesehatan bagi pegawai, sepanjang
c) Pendidikan bagi pegawai dan keluarganya,
sepanjang dilokasi tidak ada sarana pendidikan yang
setara
d) Pengangkutan bagi pegawai di lokasi bekerja,
sedangkan pengangkutan bagi anggota keluarga dari
pegawai yang bersangkutan terbatas pada
pengangkutan sehubungan dengan kedatangan
pertama ke lokasi bekerja dan kepergian pegawai
dan keluarganya karena terhentinya hubungan kerja.
e) Olahraga bagi pegawai dan keluarganya tidak
termasuk golf, boating dan pacuan kuda, sepanjang
dilokasi bekerja tidak terdapat sarana yang
dimaksud.
Pengeluaran-pengeluaran dalam bentuk natura dan
kenikmatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bukan
merupakan penghasilan bagi pegawai dan dapat
dibebankan sebagai biaya bagi pemberi kerja pada tahun
pajak dibayarnya atau terutangnya pengeluaran tersebut.
2) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-220/PJ/2002
Menurut keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-220/PJ/2002 Pasal 2 mengatakan bahwa atas biaya
bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan
dipergunakan perusahaan untuk antar jemput pegawai,
dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan
melalui penyusutan aktiva tetap kelompok II dan atas
biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan bus,
minibus atau sejenis yang dimiliki dan dipergunakan oleh
perusahaan untuk antar jemput para pegawai, dapat
dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan dalam
tahun pajak yang bersangkutan.
d. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada
pemegang saham atau pihak yang mempunyai hubungan
istimewa sehubungan dengan pekerjaan.
Menurut Pasal 9 ayat (1) huruf f Undang-Undang PPh,
pembayaran gaji, honorarium. Dan imbalan lain sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan kepada pemegang
saham atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa
sebagimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4)
undang-undang PPh, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan
sepanjang jumlahnya tidak melebihi kewajaran.
e. Harta yang dihibahkan, bantuan, atau sumbangan.
Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf a Undang-undang PPh , bantuan
atau sumbangan dan harta hibaan yang diterima oleh badan
kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan, bukan merupakan penghasilan sepanjang tidak
terdapat hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan. Bagi Wajib
Pajak pemberi bantuan atau sumbangan dan harta hibahan
menurut Pasal 9 ayat (1) huruf g Undang-undang PPh tidak
dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan.
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor
245/PMK.03/2008 menyatakan bahwa :
1) Badan keagamaan sebagaimana dimaksud adalah badan
keagamaan yang kegiatannya semata-mata mengurus
tempat-tempat ibadah dan/atau menyelenggarakan,
kegiatan di bidang keagamaan, yang tidak mencari
keuntungan.
2) Badan pendidikan sebagaimana dimaksud adalah badan
pendidikan yang kegiatannya sernata-mata
menyelenggarakan pendidikan yang tidak mencari
keuntungan.
3) Badan sosial termasuk yayasan dan koperasi sebagaimana
dimaksud adalah badan sosial yang kegiatannya
semata-mata menyelenggarakan:
a. pemeliharaan kesehatan;
c. pemehharaan anak yatim-piatu, anak atau orang
terlantar, dan anak atau orang cacat;
d. santunan dan/atau pertolongan kepada korban
bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya;
e. pemberian beasiswa;
f. pelestarian lingkungan hidup; dan/atau
g. kegiatan sosial lainnya,
yang tidak mencari keuntungan.
4) Orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan usaha
kecil sebagaimana dimaksud adalah orang pribadi yang
menjalankan usaha mikro dan usaha, kecil yang memiliki
dan menjalankan usaha produktif yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. memiliki kekayaan bersih paling banyak
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak
termasuk tanah dan bangunan tempat usaha; atau
b. memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp2.500.000.000,00 (dua milyar lima ratus juta
rupiah).
f. Pajak Penghasilan.
Menurut Pasal 9 ayat (1) huruf h Undang-undang PPh, Pajak
Penghasilan serta kredit pajak bukan merupakan biaya
g. Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma atau
CV.
Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf I Undang-undang PPh, bagian
laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,
persekutuan, firma, dan kongsi bukan merupakan penghasilan,
bagi perseroan komanditer pembayaran gaji terhadap para
anggotanya tidak dapat dibebankan sebagi biaya perusahaan.
h. Sanksi administrasi
Sanksi yang diberikan menurut Pasal 9 ayat (1) huruf k
Undang-undang PPh berupa bunga, denda, dan kenaikan, serta sanksi
pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan
perundang-undangan.
i. Selisih penyusutan komersial di atas penyusutan fiskal
j. Selisih amortisasi komersial di atas amortisasi fiskal
k. Biaya yang ditangguhkan pengakuannya.
Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun
2000 menyatakan bahwa dengan keputusan Direktur Jenderral
Pajak dapat ditetapkan saat pengakuannya biaya dalam hal-hal
tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan kebijakan
Pemerintah.
1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
dimaksud dengan kredit non-performing adalah kredit
yang diberikan oleh Bank yang digolongkan sebagai kredit
kurang lancar, diragukan, dan macet
2) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-08/PJ.42/2002
Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, Bank
wajib menyerahkan daftar debitur yang kreditnya
digolongkan kurang lancar, diragukan, dan macet kepada
Kantor Pelayanan Pajak tempat bank terdaftar sebagai
Wajib Pajak sebagai lampiran SPT Tahunan Pajak
Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan.
l. Penyesuaian fiskal lainnya.
Berdasarkan ketentuan umum Pasal 4 dan Pasal 6
undang-undang PPh beserta peraturan pelaksanaanya, dalam hal :
1) Terdapat penghasilan yang tidak diakui secara komersial
akan tetapi termasuk Objek Pajak yang dikenakan Pajak
Penghasilan tidak bersifat final
2) Terdapat biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian
yang diakui secara komersial akan tetapi tidak diakui
3) Terdapat kerugian usaha di luar negeri baik melalui bentuk
usaha tetap (BUT) ataupun bukan BUT, setelah dilakukan
penyesuaian fiskal positif dan negatif.
Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-04/PJ/2002 dikatakan bahwa apabila pengajuan keberatan atau
permohonan banding diterima sebagian atau seluruhnya,
sepanjang utang pajak sebagaimana dimaksud dalam Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar dan/atau Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan telah dibayar yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak, maka kelebihan pembayaran
dikembalikan dengan ditambah imbalan bunga sebesar 2% (dua
persen) sebulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan
dihitung sejak tanggal pembayaran yang menyebabkan
kelebihan pembayaran pajak sampai dengan diterbitkannya
Keputusan Keberatan atau Putusan Banding.
Sedangkan menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak
Nomor SE-01/PJ.33/2005 menyatakan bahwa berdasarkan pasal
23 ayat (1) huruf a Undang-undang PPh, atas penghasilan
tersebut di bawah ini dengan nama dan dalam bentuk apapun
yang dibayarkan atau terutang oleh Badan Pemerintah, Subjek
Pajak badan dalam negeri, Penyelenggaraan kegiatan, Bentuk
Usaha Tetap kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk
sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah bruto atas deviden
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf g, bunga
sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat (1) huruf f, royalti,
hadiah dan penghargaan selain telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e.
2. Penyesuaian Fiskal Negatif
Yang dimaksud penyesuaian fiskal negatif adalah penyesuaian
terhadap penghasilan neto komersial (di luar unsur penghasilan yang
dikenakan PPh final dan yang tidak termasuk objek pajak) dalam
rangka menghitung Penghasilan Kena Pajak berdasarkan
Undang-Undang PPh beserta peraturan pelaksanaannya, yang bersifat
mengurangi penghasilan dan/atau menambah biaya-biaya komersial
tersebut pada penghasilan neto komersial dalam negeri.
Yang termasuk dalam penyesuaian fiskal negatif adalah sebagai
berikut :
a. Selisih penyusutan komersial di bawah penyusutan fiskal
b. Selisih amortisasi di bawah amortisasi fiskal
c. Penghasilan yang ditangguhkan pengakuannya
Berdasarkan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 138 Tahun
2000, menyatakan bahwa dengan Keputusan Direktur Jenderal
Pajak dapat ditetapkan saat pengakuan penghasilan dalam
hal-hal tertentu dan bagi Wajib Pajak tertentu sesuai dengan
1) Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-184/PJ/2002
Menurut Keputusan Direktur Jenderal Pajak ini, yang
dimaksud dengan kredit non-performing adalah kredit
yang diberikan oleh Bank yang digolongkan sebagai kredit
kurang lancar, diragukan, dan macet
2) Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-08/PJ.42/2002
Menurut Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak ini, Bank wajib
menyerahkan daftar debitur yang kreditnya digolongkan kurang
lancar, diragukan, dan macet kepada Kantor Pelayanan Pajak
tempat bank terdaftar sebagai Wajib Pajak sebagai lampiran
SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak yang bersangkutan
d. Penyesuaian fiskal negatif lainnya
Berdasarkan ketentuan umum Pasal 6 Undang-undang PPh
beserta peraturan pelaksanaannya, dalam hal terdapat
biaya-biaya perusahaan lainnya atau kerugian yang tidak diakui secara
komersial akan tetapi dapat diakui secara fiskal.
D. Sanksi Perpajakan
Bagi Wajib Pajak dengan sengaja tidak mendaftarkan diri, atau
menyalahgunakan atau dengan sengaja menggunakan hak tanpa NPWP,
atau menyampaikan Surat Pemberitahuan dan/atau dengan keterangan yang
dan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling sedikit 2 (dua) kali jumlah
restitusi yang dimohonkan.
Sanksi terhadap kewajiban Wajib Pajak dalam Undang-Undang
KUP dapat dibedakan menjadi sanksi administrasi dan sanksi pidana.
(Soemitro.2007:145).
Untuk sanksi administrasi itu sendiri terdiri dari :
1. Sanksi Bunga
Sanksi Bunga dikenakan karena Wajib Pajak terlambat untuk
membayar pajak secara tepat waktu. Sanksi bunga ini diberikan
melalui Surat Tagihan Pajak atau Surat Ketetapan Pajak yang
biasanya dikenakan sebesar 2% (dua persen) sebulan dan dalam
jangka waktu 24 bulan.
2. Sanksi Kenaikan
Sanksi kenaikan dikenakan oleh Wajib Pajak atau karena tindakan
pihak pajak itu sendiri. Sanksi kenaikan sebesar 50% (lima puluh
persen) dari jumlah pajak yang kurang bayar diberikan oleh Wajib
Pajak, jika Wajib Pajak mengungkapkan sendiri ketidakbenaran Surat
Pemberitahuan yang telah disampaikan setelah jangka waktu
pembetulan lewat.
3. Sanksi Denda
Sansksi denda dikenakan untuk Wajib Pajak karena Wajib Pajak
melakukan kesalahan atau tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan
Sansksi denda muncul karena Wajib Pajak melakukan :
a. Terlambat menyampaikan Surat Pemberitahuan, maka Wajib
Pajak dikenakan sanksi denda sebesar Rp 50.000,00 untuk SPT
Masa dan Rp 100.000,00 untuk SPT Tahunan.
b. Setelah Melakukan pemeriksaan pajak dan mengakui adanya
kesalahan dalam perhitungan pajak terutang yang dlaporkan
dalam SPT, maka sanksi denda dikenakan adalah 2 (dua) kali
51 BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah studi kasus, yaitu penelitian
terhadap objek dan subjek tertentu, sehingga kesimpulan yang diambil dari
penelitian hanya berlaku bagi objek yang diteliti.
B. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan Maret hingga bulan Mei 2010
C. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di PT. Kusuma Mulia yang bertempat di
Surakarta dan perusahaan ini bergerak di bidang usaha tekstil.
D. Subjek Pajak
1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah sesuatu, baik orang, benda ataupun
lembaga (organisasi), yang sifat-keadaannya (“attribut”-nya) akan
diteliti. Dengan kata lain subjek penelitian adalah sesuatu yang di
Subjek penelitian disini terdiri dari tiga bagian yaitu:
a. Bagian humas untuk mengetahui gambaran umum tentang
perusahaan
b. Bagian pajak untuk memperoleh data tentang laporan pajak
c. Bagian keuangan untuk mengetahui data tentang laporan
keuangan.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian adalah suatu atribut atau sifat atau nilai dari
orang, objek atau kegiatan yang mempunyai variasi tertentuyang
ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan yang kemudian ditarik
kesimpulannya. Dengan kata lain objek penelitian merupakan sesuatu
hal yang akan diteliti dengan mendapatkan data untuk tujuan tertentu
dan kemudian dapat ditarik kesimpulan.
Objek penelitian disini terdapat dua bagian yaitu:
a. Laporan pajak perusahaan yaitu Surat Pemberitahuan (SPT)
Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan pada tahun 2009
b. Laporan keuangan perusahaan yaitu laporan neraca dan laporan
E. Data Penelitian
Data yang digunakan pada penelitian ini adalah :
1. Data mengenai Laporan Keuangan PT Kusuma Mulia yaitu laporan
laba rugi dan laporan neraca pada tahun 2009
2. Data mengenai gambaran umum perusahaan tersebut
3. Data mengenai Laporan Pajak PT Kusuma Mulia tahun 2009
F. Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara, yaitu mengadakan tanya jawab dengan subjek penelitian
untuk memperoleh informasi mengenai gambaran umum perusahaan,
struktur organisasi, data-data laporan keuangan dan data-data laporan
pajak perusahaan
2. Dokumentasi, yaitu meminta data-data yang dimiliki perusahaan yang
berhubungan dengan objek yang akan diteliti seperti laporan keuangan
G. Teknik Analisis Data
Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan teknik analisis
deskriptif.
Langkah-langkah yang digunakan dalam penelitian ini adalah :
1. Menganalisis data-data perusahaan khususnya penyesuaian fiskal yang
dilakukan perusahaan tahun 2009 berdasar teori
2. Menghitung penyesuaian fiskal tahun 2009
3. Melakukan perbandingan antara penyesuaian fiskal yang dilakukan
oleh perusahaan dengan penyesuaian fiskal berdasarkan teori menurut
peraturn perundang-undangan yang berlaku.
4. Menarik kesimpulan apakah penyesuaian fiskal yang dilakukan oleh