1.1 Latar Belakang Masalah
Penelitian ini secara garis besar mendeskripsikan bagaimana Pengaruh antara status kelas sosial terhadap pola kebertahanan konsumsi film-film Indie di tengah terjangan produksi film-film industri, studi kasus Kineforum Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Penelitian ini menunjukan bagaimana mengukur secara umum tingkat kelas sosial seseorang berpengaruh terhadap pola konsumsi film-film indie. Kelas sosial merupakan pembagian atau tipologi tatanan masyarakat luas dan merupakan sebuah stratifikasi dalam pembagian dalam tatanan sosial di masyarakat. Kelas sosial memiliki definis atau pemikiran yang berbeda-beda dari para tokoh. Definisi Lenin tentang kelas sosial yang ditulis oleh Franz Magnis Suseno adalah kelas sosial dianggap sebagai “golongan sosial dalam tatanan masyarakat yang ditentukan oleh posisi tertentu dalam proses produksi.”1 Sedangkan menurut Pierre Bourdieu penilaian selera seseorang itu berhubungan dengan posisi sosial seseorang. Dapat dikatakan bahwa setiap konsumsi selera seseorang menandakan kelas sosial itu sendiri. Seperti selera seseorang terhadap musik klasik, musik klasik diidentifikasikan sebagai musik kelas atas di mana para penikmat musik klasik adalah golongan-golongan atas yang memiliki power kuat dalam kehidupannya. Bukan hanya itu saja,
1 Franz Magnis-Suseno, “Pemikiran Karl Marx :Dari Sosialisme Utopis Ke Perselisihan Revisionisme”, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama,1999, hlm. 111.
bourdieu menjelaskan bagaimana kelas sosial dapat definisikan dalam modal atau
capital, yaitu economic capital, cultur capital dan social capital untuk mengukur tingkat kelas sosial seseorang. Berbeda dengan Karl Marx menurut Marx kelas sosial ditentukan oleh satu hal yaitu alat produksi dan menjadikannya hanya dua kelas, yakni kelas bourjuis (memiliki alat produksi) dan kelas proletar (tidak memiliki alat produksi atau buruh). Kelas dalam arti Marxisme senantiasa berada dalam pertentangan untuk berebutan kekuasaan.
Di dalam uraian tentang teori stratifikasi senantiasa dijumpai istilah kelas (social class). Seperti yang sering terjadi dengan beberapa istilah lain dalam sosiologi, maka istilah kelas, juga tidak selalu mempunyai arti yang sama. Walaupun pada hakikatnya mewujudkan sistem kedudukan-kedudukan yang pokok dalam masyarakat. Menurut Soejono Soekanto pengertian kelas adalah “pararel dengan pengertian lapisan tanpa membedakan apakah dasar lapisan itu faktor uang, tanah, kekuasaan atau dasar lainnya.”2
Pembagian kelas dalam masyarakat digambarkan dalam bentuk piramida segitiga yang mendeskripsikan gambaran keadaan pembagian kelas sosial di masyarakat. Dalam pembagian tersebut dibagi menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu kelas atas, kelas menengah, dan kelas bawah. Terlihat dalam Skema 1.1 terlihat bagaimana kelas atas tidak teralu banyak dibandingkan dengan lapisan menengah dan lapisan bawah. Di
sini juga menunjukan bagaimana posisi dari keadaan masyarakat dari segi kelas sosial.
Skema 1.1
Lapisan Kelas Masyarakat
Sumber : Buku Dictionary of Sociology (2005)
David Jary dan Julia mengklasifikasikan bagaimana kelas dibagi menjadi tiga bagian atau tiga stratifikasi, yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. David Jary dan Julia berpendapat “any particular position within a social stratification system or class system, for example middle class, working class, etc.”3Bagaimana
mendefinisikan perbedaan antara kelas sosial atas, menengah dan bawah. Para ahli sosiologi lebih sering menganggap kekuasaan dan kelas sosial sebagai dimensi
ketimpangan yang terpisah satu sama lain dan mereka membedakan pelapisan sosial ke dalam pembagian unsur ekonomis (materil) dan status sosial (kedudukan). Bourdieu melihat capital sebagai alat untuk melihat tingkat kelas sosial, dan membagi capital dalam 3 bagian, yaitu economic capital (modal economi), cultur capital (modal kebudayaan) dan social capital (modal sosial), yaitu bagaimana definisi kelas sosial dapat dijabarkan ke dalam 3 jenis pembagian tersebut dan diukur seberapa tinggi tingkat kelas sosial seseorang ke dalam kehidupan mereka.
Industri perfilman merupakan suatu industri yang telah tumbuh dan berkembang sejak lama seiring ditemukan kamera yang dapat merekam benda bergerak, hasil rekaman ini disebut dengan motion picture atau gambar bergerak. Definisi film dijelaskan dalam undang-undang perfilman dalam definisi pemerintah film itu adalah
“Film sebagai karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar, pembinaan dan pengembangannya diarahkan untuk mampu menetapkan nilai-nilai budaya bangsa, menggelorakan semangat pengabdian dan perjuangan bangsa, memperkokoh kesatuan dan persatuan, mempertebal kepribadian dan mencerdaskan bangsa, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia, yang pada gilirannya akan memantapkan ketahanan nasional. Film merupakan suatu kebudayaan yang harus dilestarikan, dalam undang-undang no.8 tahun 1992 pasal 1 tentang perfilman disebutkan bahwa yang dimaksud dengan film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi dengan direkam pada pita seluloid, pita video, piringan video atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam segala bentuk, jenis dan ukuran melalui proses kimiawi, proses elektronika, atau proses lainnya, dengan atau tanpa suara, yang dapat dipertunjukan dan atau ditayangkan dengan sistem mekanik, elektronik dan/atau lainnya.”4
Dalam pasal 4 di undang-undang perfilman berbunyi “perfilman di Indonesia dilaksanakan dalam rangka memelihara dan mengembangkan budaya bangsa dengan tujuan menunjang terwujudnya tujuan pembangunan nasional”, dengan kata lain film ada suatu kebudayaan yang menjadi industri yang dikembangkan untuk sebagai
identitas bangsa yang harus dimaknai dan dihargai sebagai aset bangsa yang berharga.5
Dari perkembangan-perkembangan komunitas dan perkumpulan-perkumpulan film tersebut, banyak muncul film-film alternatif (film pendek, film dokumenter dan film independent) yang diproduksi secara “murah” dan tidak teralu rumit dalam pembuatannya. Bukan hanya itu saja impactnya, sekarang banyak sekali muncul perlombaan-perlombaan festival-festival film baik nasional maupun festival film kampus. Bisa dilihat bagaimana belakangan ini banyak bermunculan festival-festival film indie yang disponsori oleh perusahaan-perusahaan terkemuka di Indonesia, yang menandakan kebangkitan film indie di Indonesia bukan hanya sebagai hiasan pelengkap di dunia film itu sendiri.
Pembuat film independen memang mencakup berbagai latar belakang dan profesi (tidak hanya anak-anak kuliah film). Kemudahan perangkat, baik software maupun
hardware didapat membuat gejolak film indie di Indonesia bergeliat. Sebagai buktinya, terlihat dari peserta Festival Film Independen Indonesia (FFII) SCTV mendapatkan pembuat film yang berusia 9 tahun hingga pembuat film yang berusia 70 tahun. Gatot Prakoso dalam bukunya film pendek independen mengungkapkan “dari data temuan mereka pada saat festival film pendek Indonesia ditemukan berbagai macam penggemar film indie di festival tersebut dari yang pelajar Sekolah
Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Pegawai Negeri, Ibu Rumah Tangga, Wartawan, hingga perwira polisi ini menggambarkan bahwa film menjadi miliki masyarakat.”6
Film independent atau yang biasa disebut dengan film indie adalah film yang berdiri pada gagasan atau idealisme sendiri tanpa ada titipan dari pemangku kepentingan guna mendapatkan keuntungan dalam film tersebut. Film indie sama seperti halnya musik indie yang berdiri sendiri dalam label guna memproduksi film-filmnya. Banyak orang yang berpendapat bahwa film indie merupakan film murni yang merupakan tanpa campur tangan kepentingan di dalamnya. Film indie mendapatkan perhatian khusus, di mana film indie sedang sangat berkembang belakangan ini. Terbukti dengan banyak festival-festival indie movie sebagai kategorinya. Film indie memiliki gendre yang sama dengan film-film industri lainnya (action, komedi, romantis-drama, mistery-horor, dll)
Kineforum Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang bertempat di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM) “merupakan bioskop bagi penggemar-penggemar film untuk dapat menyaksikan film-film yang bukan merupakan arus utama di tengah kurangnya alternatif.”7 Kineforum sendiri adalah bagian dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), yang merupakan sebagian besar dana kineforum berasal dari Anggaran Dana Pemerintah Daerah (APBD) DKI Jakarta melalui anggaran Dewan Kesenian Jakarta. Kineforum merupakan jawaban dari penggemar film indie akan kehausan konsumsi
6 Gatot Prakosa, “Film Pendek Independen dalam Penilaian : Sebuah Catatan dan Berbagai Festival”, Jakarta, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, 2005, hlm. 56.
film indie di tengah terjangan film-film arus utama yang beredar luas di biokop-bioskop besar di Indonesia.
Kineforum DKJ adalah ruang publik bagi masyarakat dalam menikmati film-film non-arus utama (film pendek, film dokumenter, film klasik, dll). Kineforum DKJ merupakan lembaga yang tidak mencari untung atau nirlaba. Lembaga ini dibiayai oleh Pemerintah daerah DKI Jakarta, namun sempat terhenti pembiayaannya pada tahun 2008 sehingga menyebabkan Kineforum DKJ berhenti beroprasi namum sekarang dana tersebut sudah kembali normal. Dengan pengalaman seperti itu pengurus Kineforum DKJ mencoba mandiri dengan berbagai cara salah satunya dengan donasi yang diberikan kepada para pengunjung. Bagja Maluta dalam bukunya sosiologi menyelami fenomena masyarakat mengungkapkan bagaimana “organisasi yang bersifat nirlaba, kegiatan organisasi ini ditandai oleh sumbangan masyarakat dan usaha-usaha lain yang tidak mengikat.”8
Di Indonesia ruang publik untuk menyaksikan film-film non komersil memang masih sangat jarang. Bahkan jika kita ingin menyaksikan film-film indie kita harus menunggu event tertentu untuk melihat film-film tersebut. Kineforum DKJ adalah bioskop pertama di Jakarta yang menjadi kantong-kantong bagi penikmat film-film arus bawah (termaksud film indie) untuk dapat memuaskan penggemarnya. Semakin banyak ruang publik pencinta film untuk memutar film-film non komersilnya semakin kuat idealisme para pembuat film indie untuk di mengerti oleh masyarakat
luas. Dalam buku sejarah sosial media penulis Asa Briggs dan Peter Burke mengutip pendapat habermas tentang ruang publik, yaitu “Ruang publik berfungsi sebagai timbulnya argumentasi rasional dan kritis.”9 Dengan kata lain semakin banyaknya arumentasi rasional dan kritis atau semakin tingginya pemikiran kritis dan argumentasi disebabkan oleh banyaknya ruang publik dalam suatu bangsa tersebut untuk masyarakatnya.
1.2 Permasalahan Penelitian
Berdasarkan penjelasan di atas bagaimana stratifikasi kelas sosial dari kelas atas sampai kelas bawah mempunyai selera, gaya hidup dan konsumsi yang berbeda-beda. Tetapi apakah kelas sosial dapat ditipologikan dalam seseorang mengkonsumsi film-film indie. Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat bagaimanana mencoba membuat statifikasi penggemar konsumsi film-film indie, tepatnya di Kineforum sebagai subjek sample atau contoh penelitian ini. Karena menurut peneliti eksistensi keberadaan film indie yang menjamur di kota-kota besar bahkan kota-kota kecil sekalipun mempunyai para penggemar yang masih belum jelas, dengan penelitian ini berharap dapat membuka bagaimana tipologi penggemar film indie menurut pembagian stratifikasi kelas sosial. Penelitian ini mencari tempat wadah pemutaran film-film yang merupakan non arus utama dan tempat yang cocok dengan penelitian ini adalah Kineforum DKJ, yang bertempat di lingkungan Taman Ismail Marzuki (TIM) yang sebagai wadah ruang publik dalam ibu kota Jakarta yang menyajikan
tontonan-tontonan arus bawah. Tempat ini sangat cocok dijadikan penelitian ini dikarenakan ruang publik menonton film-film arus bawah atau non-mainstream ini sebagai salah satu ruang publik terbesar yang ada di Indonesia dan memiliki bioskop mini sebanyak 50 bangku tempat duduk untuk para penggemar film yang ingin menyaksikan film-film tersebut.
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :
Mendeskripsikan hubungan antara kelas sosial seseorang terhadap pola konsumsi film-film indie di Kineforum DKJ.
Mengukur seberapa kuat pengaruh kelas sosial seseorang terhadap pola konsumsi film-film indie di Kineforum DKJ.
Mendeskripsikan kondisi kelas sosial dan bentuk pola konsumsi penggemar film-film indie.
1.4 Signifikasi Penelitian
Secara akademis dan praktis, penelitian ini memiliki beberapa signifikasi,
penelitian ini memiliki signifikasi sebagai gambaran apakah hubungan antara kelas sosial dan pola konsumsi film indie memiliki kaitan yang kuat atau tidak. Mendeskripsikan seberapa kuat hubungan antara kelas sosial terhadap pola konsumsi film-film indie.
1.5 Tinjauan Penelitian Sejenis
Studi penelitian yang sejenis tetapi mempunyai makna berbeda, guna untuk membantu penelitian ini mempunyai reverensi sebagai bahan tambahan. Studi sejenis yang pertama adalah skripsi yang berjudul “hubungan Status Sosial Ekonomi dengan Pola Konsumsi (studi Korelasi : Tentang Pekerja Mebel di Kelurahan Duren Sawit,
No. JT 53, Jakarta Timur.” Nama peneliti adalah Noviantie Mirlana Irvani, dalam skripsi kuantitatif ini Novi menjelaskan bagaimana adakah hubungan antara hubungan status sosial ekonomi seseorang terhadap pola konsumsi. Dalam penelitian ini terdapat dua variabel yaitu status sosial ekonomi dan pola konsumsi. Jenis penelitian ini menggunakan metode survey, yaitu penelitian yang mengumpulkan informasi melalui kuesioner yang diberikan kepada responden. “Hasil akhir penelitian ini adalah tidak ada hubungan yang signifikan antara hubungan status sosial ekonomi dengan pola konsumsi di daerah penelitian tersebut.”10
Studi sejenis yang kedua adalah skripsi dengan judul “pengaruh Antara Intensitas Menonton Film Kekerasan di Televisi Dengan Sikap Agresif Siswa di SMA
Negeri 36 Jakarta.” Nama peneliti ini adalah Puspita Cahyaningsih, dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan atara intensitas menonton film kekerasan di televisi dengan sikap agresif siswa SMA Negeri 36 jakarta. Teknik analisis yang digunakan untuk menguji hipotesis adalah korelasi product moment
dengan terlebih dahulu dilakukan uji prasyarat data yang meliputi uji normalitas dan uji linieritas regresi. Hasil dalam penelitian tersebut terbukti secara signifikan bahwa semakin sering seseorang menonton film kekerasan semakin juga agresif orang tersebut.”11
Studi sejenis yang ketiga adalah skripsi dari Ita Paramita Said dari Universitas Indonesia, jurusan psikologi. Dengan Judul “ pengaruh Power Distance Konsumen dan Kelas Sosial Konsumen Lain Terhadap Evaluasi dan Intensi Membeli Produk
yang Telah Dicoba Oleh Konsumen Lain.” “Dari hasil penelitian tersebut ditemukan bahwa rasa jijik dalam produk memang muncul pada seluruh partisipan, namun rasa jijik tersebut tidak berbeda pada kelompok yang diberikan tampilan kelas sosial tinggi dengan kelas sosial rendah.”12
Tabel 1.1
Perbedaan dan Persamaan Tinjauan Penelitian Sejenis
11 Puspita Cahyaningsih, “Pengaruh Antara Intensitas Menonton Film Kekerasan di Televisi Dengan Sikap Agresif Siswa SMA Negeri 36 Jakarta”, Skripsi, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, 2004.
No Nama
Penulis PublikasiTahun Judul Penulisan dengan StudiPerbedaan Peneliti
Sumber : Diolah Dari Tinjauan Penelitian Sejenis
1.6 Kerangka Konsep
kebudayaan, dan modal sosial. Selain konsep kelas sosial, konsep pola konsumsi yang merupakan variabel Y1 (variabel terikat) dalam penelitian ini peneliti juga menggunakan konsep utama dari Pierre Bourdieu, konsep-konsep dari tokoh-tokoh yang lain , seperti Karl Marx, Max Weber, Georg Simmel, dan Mike Featherstone, namun peneliti menggunakan Pierre Bourdieu sebagai konsep utama dalam penelitian ini yang juga merupakan tokoh sosiolog yang menjelaskan mengenai pola konsumsi. Haryanto Soedjatmiko mengutip pendapat Bourdieu tentang kebutuhan “manusia termotivasi oleh kebutuhan mereproduksi sebuah acuan kolektif yang didasarkan pada demarkasi kelas”.13 Maka kelas yang dominan akan menunjukan superioritas melalui akses kepada budaya dan konsumsi yang “tinggi”. Bourdieu melihat bagaimana intensitas atau frekuensi seseorang dalam mengkonsumsi akses budaya mempengaruhi stratifikasi kelas dalam masyarakat.
Skema 1.2
Kerangka Konsep Penelitian
13 Haryanto Soedjatmiko, “Saya Berbelanja, maka Saya Ada: Ketika Konsumsi dan Design Menjadi Gaya Hidup Konsumeri”, Jakarta, Jalansutra, 2008, hlm. 15
Sumber : Modifikasi Kerangka Konsep yang Dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan Maletzke (2007)
1.7 Konsep Kunci
Dalam penelitian ini menggunakan beberapa konsep sebagai alat analisis penelitian. Konsep tersebut adalah kelas sosial, pola konsumsi, dan film independent.
1.7.1 Kelas Sosial
Banyak para tokoh-tokoh mendefinisikan kelas sosial dalam pemikiran konsep masing-masing dari Karl Marx, Max Weber, Ralf Dahrendorf dan Pierre Bourdieu. Setiap tokoh memberikan pengertian yang berbeda-beda tentang konsep kelas sosial yang dijabarkan. Tetapi secara umum kelas sosial merupakan tatanan stratifikasi dalam masyarakat yang meliputi berbagai macam aspek bagian dalam kehidupan. Definisi kelas sosial memiliki pandangan yang berbeda-beda, baik tokoh sosiologi maupun tokoh-tokoh di luar kajian sosiologi dalam penelitian ini, yaitu Karl Marx, Max Weber, Ralf Dahrendorf dan konsep utama dalam penelitian ini adalah Pierre Bourdieu.
membuang agen, dalam hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruksian objek.”14 Bourdieu secara formal mendefinisikan habitus sebagai:
“sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dipindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan berfungsi sebagai penstrukturan struktur-struktur, yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik-praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya ‘teratur’ dan ‘berkala’ secara objektif, tetapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tindakan pengorganisasian selaku pelaku.”15
Habitus itu sendiri merupakan hasil dari proses panjang pencekokan individu (proses of inculcation), dimulai sejak masa kanak-kanak, yang kemudian menjadi semacam ‘pengindraan kedua’ (second sense) atau hakikat alami kedua (second nature). Dengan kata lain disposisi-disposisi yang dipresentasikan oleh habitus bersifat ‘struktur yang distrukturkan’ dalam arti mengikutsertakan kondisi-kondisi sosial objektif pembentukannya ; inilah yang menyebabkan terjadinya kemiripan habitus pada diri agen-agen kelas sosial yang sama dan menjadi justifikasi bagi pembicaraan tentang habitus sebuah kelas, contohnya “Bourdieu menunjuk secara statistik bagaimana habitus kelas pekerja melahirkan preferesi-preferensi yang hampir semuanya analog di sejumlah besar praktik kultural mereka di kota atau wilayah manapun mereka tinggal.”16
Habitus mencerminkan pembagian obyektif dalam struktur kelas, seperti menurut umur, jenis kelamin, jenis pekerjaan, dan kelas sosial. Ia terbentuk sebagai
14 Pierre Bourdieu, “The Genesis of the Concepts of Habitus and Field”, Socio-Criticism, 1985, hlm. 8 15 Pierre Bourdieu, “The Logic of Practice”, Stanford University Press, 1990hlm. 53
akibat dari lamanya posisi seseorang dalam kehidupan sosialnya. Dengan demikian habitus akan berbeda-beda, tergantung pada wujud posisi agen dalam kehidupan sosial karena tidak semua orang sama kebiasaannya. Orang yang menduduki posisi yang sama dalam kehidupan sosial, cendrung mempunyai kebiasaan yang sama. Dalam kelas sosial mempunyai stratifikasi kelas berbeda-beda, yaitu kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah dan dalam stratifikasi tersebut terlihat bagaimana setiap kelas memiliki perbedaan-perbedaan habitus dan menciptakan differensiasi sosial dan menciptakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Bagaimana Bourdieu melihat habitus mempunyai pengaruh dalam menentukan kelas seseorang, sistem habitus yang berlangsung lama dan memiliki proses di dalamnya sehingga menciptakan keterlekatan dalam diri seseorang dan secara sadar atau tidak menjadikan habits
kepada aktor tersebut karena dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus.
“social class is not defined by a property (not even the most determinant one, such as the volume and composition of capital) nor by a collection of properties (of sex, age, social origin, ethnic origin-proportion of blacks and whites, for examples, or native and immigrants-income, educational level etc.), nor even by a chain of properties strung out from a fundamental property (position in the relation of production) in a reation of cause and effect, conditioner and conditioned; but by the structure of relation between all the pertinent properties which gives its specific value to each of them and to the effects they exert on practices.”17
Bourdieu melihat kelas bukan dari praktik-praktik kumpulan sifat seperti jenis kelamin, umur dan etnis seseorang, tetapi Bourdieu melihat kelas sosial dari struktur hubungan semua sifat-sifat yang bersangkutan yang memberikan nilai spesifik untuk masing-masing kelas tersebut. Konsep kelas sosial yang dijabarkan oleh bourdieu melihat bagaimana pengelompokan kelas berdasarkan kesamaan isi dan selera.
Lingkungan kelas sosial memiliki pengaruh besar terhadap kemampuan seseorang untuk memainkan permainan, kelas sosial yang dominan memiliki kemampuan yang lebih besar untuk mempertahankan selera mereka sendiri dan menentang selera orang-orang yang berada pada kelas yang lebih rendah.
Sedangkan dalam konsep ranah atau field adalah sebagai suatu yang saling berhubungan antara agen dengan dunia sosial. Agen tidak hidup di ranah kosong dan ia selalu terlibat dalam dunia sosial. Field adalah pengaturan di mana agen dan posisi sosial berada. Posisi masing-masing agen di ranah tersebut merupakan hasil dari interaksi agen yang membentuk suatu habitus dan menciptakan kelas sosial dengan dimensi agent’s capital. Ranah merupakan arena kontestasi yang menggunakan dan menyebarkan berbagai jenis modal baik modal ekonomi, budaya dan sosial. Agen berinteraksi satu sama lain dalam ranah dan menciptakan hubungan hirarkis, yang tentunya terbentuknya hubungan antar kelas. Bourdieu menggunakan konsep ranah sebagai arena sosial di mana para agen bermanuver dalam memperjuangkan dan mengejar sumber daya atau resources yang diinginkan.
atas saja yang mengkonsumsi cerutu sebagai rokoknya. Menurut Bourdieu tentang keterlekatan konsumsi adalah “seseorang yang memiliki keterlekatan dalam dirinya untuk mengkonsumsi sesuatu menunjukan kelas seseorang tersebut.”18 Atau dengan kata lain representasi yang diproyeksikan individu maupun kelompok melalui praktik dan properti-properti mereka adalah bagian integral dari realitas sosial. Itu berarti di mana kelas sosial seseorang dipengaruhi oleh konsumsi barang seseorang. Sebuah kelas ditentukan ditentukan oleh bagaimana ia dipresepsi dan bagaimana dia mempresepsi, oleh apa yang dikonsumsinya, yang tidak hanya selalu harus terlihat simbolis maupun oleh posisinya di dalam relasi-relasi produksi. Menurut Bourdieu aspek-aspek simbolis kehidupan sosial ini terkait erat dengan kondisi-kondisi material eksistensi (penghidupan ekonomi). Dalam arena produksi kultural yang di jabarkan oleh Bourdieu modal simbolis mengacu kepada “derajat akumulasi prestise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance).”19 Jadi menurut Bourdieu kelas sosial seseorang dipengaruhi terhadap seseorang tersebut mengkonsumsi (lifestyle) sebagai simbol dimana kelas orang tersebut.
Selain dari itu format kelas sosial yang dijabarkan bisa dilihat bagaimana dari konsumsi pembelanjaan terhadap jenis makanan seseorang. Seseorang yang memberi makanan yang murah dan di tempat yang murah menunjukan bahkan kelas sosial
18 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural : Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, Yogyakarta, 2010, hlm. 90
orang tersebut rendah dan sebaliknya. Melihat konsumsi belanja makanan yang dilakukan antara kelompok pekerja pabrik dengan kelompok eksekutif dan guru, dari pengamatan tersebut dismpulkan bahwa kelompok pekerja lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas, mereka lebih memilih untuk membeli jenis-jenis makanan yang berkualitas rendah dari pada membeli bahan makanan berkualitas tinggi seperti, seperti buah-buahan, sayuran dan daging segar. Sebaliknya kelas eksekutif lebih banyak membelanjakan uangnya untuk jenis-jenis makanan yang berkualitas. Sementara kelompok guru lebih memilih makanan non alkohol, meski mereka mengkonsumsi makanan yang tidak teralu berkualitas.
Dalam konsep capital (kapital atau modal) agen terlibat dalam suatu ranah untuk mengejar sumberdaya yang dihargai dan diperebutkan, ini yang disebut Bourdieu dengan capital, dan mendefinisikan kapital sebagai sekumpulan tenaga (dalam bentuk yang sudah termateraikan atau berwujud dalam bentuk tertentu) yang bila digunakan secara pribadi atau eksklusif (umpamanya dijadikan modal dasar oleh agen-agen maupun sekelompok agen) maka dia akan mungkin sekali menyediakan energi sosial dalam bentuk tenaga yang bernyawa dan nyata.
tidak di ranah matematika. Modal yang dimiliki seseorang menentukan posisi orang tersebut dalam stratifikasi field dan juga power yang dimiliknya.
Dalam konsep kapital ini Bourdieu tidak hanya melihat dari segi ekonomi saja yang langsung melihat segala sesuatu dari kaca mata material tetapi Bourdieu melihat konsep budaya dan konsep sosial juga masuk ke dalam jaringan konsep kapital ini. Pemikiran Bourdieu ini menunjukan adanya relasi yang kuat antara pengertian capital dalam perspektif sosiologis dengan relasi sosial yang terjadi dalam masyarakat. Di sini terlihat bagaimana kapital tidak hanya berbau hal-hal bersifat material tetapi juga bersifat non material, seperti hubungan sosial, struktur sosial dan lain-lain, ini terlihat bagaimana Bourdieu menggabunkan antara modal ekonomi, modal budaya dan modal sosial dipadukan ke dalam konsep capital.
Dalam konsep capital, meskipun merupakan khazanah ilmu ekonomi, dipakai Bourdieu karena mampu menjelaskan hubungan-hubungan kekuasaan, pertama
modal terakumulasi melalui investasi, kedua, modal dapat diberikan kepada yang lain melalui warisan, ketiga modal dapat memberi keuntungan sesuai dengan kesempatan yang dimiliki oleh pemiliknya untuk mengoprasikan penempatannya.
pengganti terbaik bagi hasil penjualan. Modal ekonomi juga menyediakan jaminan yang bisa menjadi dasar kepercayaan diri, keberanian melakukan terobosan dan ketidakpedulian terhadap laba. Secara general atau keselurahan modal ekonomi adalah modal yang bersifat material dan dapat dikonversi menjadi uang. Jadi dalam dimensi modal ekonomi atau economic capital dapat ditarik kesimpulan bahwa kekayaan, modal (uang), dan penghasilan merupakan indikator yang cocok diturunkan dalam konsep modal ekonomi yang dimaksud oleh Bourdieu.
Modal kebudayaanmenurut Bourdieu adalah “the embodied state (pewujudan negara), the objectified state (negara yang objektifikasi), dan the institutionalized state (negara yang dilembagakan).”20 Dalam the embodied state modal budaya diperoleh melalui proses bertumbuh yang memerlukan waktu untuk memiliki kemampuan atau skill untuk menyatu dalam habitus agen. Contohnya, seseorang yang dibesarkan dalam atmosfir keluarga yang memiliki bioskop mini dan akses yang kuat terhadap film-film yang berkembang dan juga suka menonton film akan menginternalisasi kegemarannya itu dengan menonton film. Disposisi ini pada gilirannya akan menjadi modal di ranah pergaulan dengan teman-teman (banyak teman-teman yang memiliki kegemaran yang sama). Dalam kondisi objektifikasi, modal budaya berupa wujud dalam benda-benda budaya seperti koleksi film-film. Dalam kondisi terlembagakan, modal jenis ini mewujudkan dalam bentuk khas, yaitu keikutsertaan dan pengakuan dari lembaga pendidikan dalam bentuk gelar akademis
dan ijazah. Dalam dimensi modal kebudayaan ini dapat disimpulkan bahwa indikator yang dapat dimunculkan dalam dimensi modal kebudayaan ini adalah pendidikan dan selera seseorang.
Modal sosial adalah gabungan dari potensi sumber daya yang terkait dengan kepemilikan dari jaringan sosial yang kuat dan sudah memiliki keterlekatan dalam satu sama lain, mereka juga memiliki kesamaan (kelas, keluarga, sekolah, suku, dan lain-lain) selanjutnya mereka membentuk suatu organisasi atau melembagakan kesamaan mereka dan menjadikan kesatuan yang kuat dalam membentuk suatu lembaga yang kuat. Mereka yang memiliki kedekatan baik dari segi ekonomi, kebudayaan geografis dan ruang sosial untuk menciptkan keamanan bagi satu sama lain. Lebih lanjut lagi Bourdieu menjelaskan bahwa “modal sosial sangat tergantung pada luasnya jaringan koneksi yang dapat dimobilisasi dengan efektif dan juga kapital (ekonomi, kultural, simbolik) yang dimiliki suatu masyrakat.“21 Penjelasan Bourdieu ini hampir sama dengan konsep teori yang dijelaskan oleh Francis Fukuyama, menurut Fukuyama modal sosial adalah trust, believe dan vetrauen, yang memiliki arti pentingnya kepercayaan yang mengakar dalam faktor kultural seperti etika dan moral. “Dalam dimensi modal sosial dapat didefinisikan indikatornya adalah pergaulan dan jaringan sosial sebagai variabel yang dapat dipakai dalam modal sosial ini.”22
21 Pierre Bourdieu, op. cit., hlm. 67
Sedangkan menurut konsep Karl Marx menenai kelas sosial ditentukan oleh satu hal yaitu alat produksi dan menjadikannya hanya dua kelas, yakni kelas bourjuis (memiliki alat produksi) dan kelas proletar (tidak memiliki alat produksi atau buruh). Kelas dalam arti Marxisme senantiasa berada dalam pertentangan untuk berebutan kekuasaan. “Teori Marx meramalkan akan terbentuknya suatu masyarakat di mana semua kelas dalam arti Marxistis akan lenyap dengan sendirinya sehingga terjadilah suatu classless society.”23 Marx melihat perbedaan kelas menyebabkan konflik fisik ,
berbeda dengan Bourdieu yang melihat konflik dalam kelas hanya terjadi dalam konflik dialektika tanpa ada kekerasan fisik di dalamnya. Marx hanya juga melihat kelas dari sisi alat produksi saja, siapa yang mempunyai alat produksi dia menguasai kelas atas atau bourjuis dan yang tidak mempunyai alat produksi tidak menjadi kelas bawah atau proletar. Korelasi kelas sosial yang dijabarkan Marx dengan penelitian ini adalah kelas sosial dipengaruhi oleh alat produksi (Modal atau Materi). Setiap kelas memiliki relasinya sendiri terhadap alat-alat produksi. Sebagai dasar pembeda dapat ditarik garis antara kelas-kelas dan kelompok-kelompok sosial lainnya di luar kelas. Antonia Yermakova dan Valentine Ratnikov mengemukakan tentang relasi sosial yang dijabarkan Marx, “relasi dimana kelas-kelas menempati posisi atas alat produksi menentukan peran mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab dalam masyarakat antargonistis, beberapa kelas mengatur produksi”, misalnya mereka yang memiliki keunggulan dalam kerja mental24. Dalam pembagian kelas yang diungkapkan Marx
23 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta, CV Rajawali, 1982, hlm. 229.
dapat dilihat bagaimana kelas yang memiliki dominasi dalam ; alat produksi, kontrol terhadap alat produksi, akses hukum terhadap alat produksi dan tenaga produksi itulah yang memiliki akses besar dalam mengakses kebudayaan.
Sedangkan menurut Max Weber kelas sosial dibedakan antara dasar-dasar ekonomis dengan dasar-dasar kedudukan sosial. Adanya kelas yang bersifat ekonomis dibaginya lagi ke dalam sub kelas yang bergerak di bidang ekonomis dengan menggunakan kecakapannya. Di samping itu Max Weber masih menyebutkan adanya golongan yang mendapat kehormatan khusus dari masyarakat dan dinamakan stand. Disini Weber melihat bahwa kelas sosial ditentukan oleh materi ekonomi seseorang dan kedudukan sosial seseorang. Yang dimaksud kedudukan sosial seseorang adalah di mana posisi orang tersebut dalam masyarakat, apakah orang tersebut merupakan orang memiliki latar belakang keluarga dihormati. Weber juga mengidentifikasikan kelas sosial di mana situasi mobilitas individu dan generasi muda berada. Berikut adalah identifikasi dari Weber adalah kelas buruh, bourjuis kecil, kaum intelektual dan kelas istimewa dengan harta atau kekayaan.
Skema 1.3
Sumber : Konsep Kapital atau modal dari yang dikemukakan Pierre Bourdieu (2000)
Menurut Ralf Dahrendorf kelas sosial merupakan ada dasar baru bagi pembentukan kelas, sebagai pengganti konsepsi pemilikan sarana produksi sebagai dasar perbedaan kelas itu. Menurut Dahrendorf hubungan- hubungan kekuasaan yang menyangkut bawahan dan atasan menyediakan unsur bagi kelahiran kelas. Dahrendorf mengakui terdapat perbedaan di antara dirinya dengan Marx yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dominasi itu dapat terjadi secara drastis. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua kelas sosial yaitu, mereka yang berkuasa dan yang dikuasai.
“Menurut Ralf Dahrendorf hanya konflik kelaslah yang dapat mengubah secara struktur kehidupan masyarakat dan setiap kelas yang berkonflik selalu menunjukan hubungan dialektika dalam pengertian Hegelian”, yaitu suatu kelas menjadi tesis dan kelas lainnya menjadi antitesis25. Jadi pembentukan dan perubahan
25 Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Industrial Society, London: Routleadge and Kegal Paul, 1969, hlm. 20.
Capital
Econom
ic
Capital
Culture
Capital
kelas lahir lahir karena konflik itu sendiri. Dahrendorf memandang bahwa masyarakat atrau organisasi yang didasarkan pada kekuasaan dinamakan Imperratively Coordinate Associations. Menurut Dahrendorf kelas yang menguasai ingin mempertahankan posisi kelas tersebut, sedangkan pihak kelas yang dikuasai berusaha untuk mencapai kekuasaan untuk keluar dari tekanan kelas penguasa. Maka dalam asosiasi akan terjadi polarisasi dan konflik antar dua kelompok dan menghasilkan perubahan sosial atau perubahan kelas.
1.7.2 Pola Konsumsi
Manusia memiliki kebutuhan, dan pada bersamaan, ia juga adalah makluk yang tak cukup diri. Maka di dalam usaha untuk memenuhi kebutuhan tersebut, seseorang berinteraksi dengan alam sekitarnya. Alam, dalam arti menyediakan hal-hal guna memenuhi kebutuhan manusia. Akan tetapi, kendati alam menyediakan kebutuhan-kebutuhan bagi manusia, bukan berarti bahwa kebutuhan manusia itu telah terpenuhi secara utuh. identitas “ketidakpedulian “ itulah yang melandasi adanya kebutuhan-kebutuhan yang silih berganti. Dengan demikian, kehadiran alat-alat didasari sebagai sarana yang membantu manusia guna memuaskan kebutuhan hidupnya.
melalui perkembangan desain, tidak satu jenis barang saja yang ada. Dengan kata lain, kehadiran desain disesuaikan dengan kebutuhan manusia yang terus ada. Contohnya baju (lengan panjang-lengan pendek, musim panas-musim dingin, tidur-kantor, berkerah-oblong, dan seterusnya). “Yang terjadi kemudian adalah konsumsi sebagai bentuk identitas diri atau dengan kata lain, semakin aku mengkonsumsi semakin, semakin nyata diriku.”26
Konsumsi dalam kajian sosiologi tidak hanya berpandangan kepada makanan atau kebutuhan fisik dan biologis manusia, tetapi berhubungan juga dengan aspek-aspek sosial budaya dalam posisi seseorang memandang konsumsi tersebut. Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas atau gaya hidup. Dalam melihat selera dapat dilihat dari dua sudut pandang, yaitu pandangan Weber dan pandangan Veblen, meurut pandangan Weber selera merupakan pengikat kelompok dalam (in-group). Aktor-aktor kolektif atau kelompok status, berkompetisi dalam penggunaan barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber-sumber budaya, akan meningkatkan prestise
dan solidaritas kelompok dalam. Sedangkan Rafl Dahrendolf mengutip pendapat Thorstein Veblen tentang selera yang dianggap sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antarpribadi, antar seseorang dengan orang lain. “Jika dalam masyarakat tradisional, keperkasaan sangat dihargai; sedangkan dalam masyarakat modern, penghargaan diletakan atas dasar selera dengan mengkonsumsi
sesuatu yang merupakan refleksi pemikiran”27. Banyak tokoh-tokoh sosiologi klasik, modern dan post modern membahas tentang konsumsi. Berikut :
Kajian konsumsi dalam sosiologi bersifat multidimensi di mana bukan hanya sekedar pemenuhan kebutuhan yang bersifat fisik dan biologis saja, tetapi terkait pada aspek-aspek sosial budaya juga. Pierre Bourdieu mengungkapkan “produk konsumsi, merupakan simbol status dan kelas sosial seseorang.” Contonya, musik klasik misalnya, hanya dinikmati orang-orang tertentu (biasanya dari kelas atas) dan sama juga dengan rokok cerutu yang hanya dinikmati kalangan atas. Konsumsi dibentuk oleh ide, simbol, selera, yang kemudian secara tidak langsung maupun tidak menciptakan pembedaan dalam masyarakat (kelas-kelas sosial).28
Dalam konsumsi, selera, preferensi, gaya hidup, dan standar nilai ditentukan oleh kelas yang lebih superior. Dengan demikian bagaimana pola konsumsi setiap kelas di masyarakat mempunyai tipologi berbeda-beda, bagaimana dengan film indie, pasti juga mempunyai tipologi dalam penggemarnya. Menurut Bourdieu “kelas yang dominan akan menunjukan superioritanya melalui akses kepada budaya dan konsumsi yang tinggi, jadi setiap kelas yang memiliki akses kebudayaan yang tinggi, kelas tersebut merupakan kelas superioritas”29. Jadi menurut Bourdieu intensitas dan citra diri seseorang mengkonsumsi budaya mempunyai pengaruh terhadap kelas seseorang tersebut. Pandangan Bourdieu telah membangun sebuah konsep “habitus”, yakni
modal pengetahuan atau budaya sehari-hari yang merefleksikan pengalaman rutin dengan tingkah laku yang sesuai dengan budaya-budaya partikular. Habitus juga memiliki peranan penting dalam mengkontruksi gaya hidup, di mana produk sistematisnya menjadi sistem-sistem penanda kualifikasi sosial.
Haryanto Soejatmiko mengemukakan pendapat bahwa, “konsumsi adalah bagaimana kebutuhan-kebutuhan manusia dapat dibentuk atau disusun dalam aplikasi proses produksi.” 30 Objek kerja (produk) berperan krusial dalam mengkontruksikan keadaan hidup manusia secara personal. Marx mengkritik pemilik modal yang menggunakan kekuasaan dalam memproduksi barang yang dihasilkan untuk menyamarkan hubungan sosial dan hubungan kerja yang bersifat eksploitatif di dalam keseluruhan proses produksi. Maksudnya adalah pekerja “dipaksa” mengkonsumsi produk atau barang yang mereka hasilkan sendiri atau rekan kerjanya. Karl Marx menyatakan bahwa produksi dalam waktu yang bersamaan adalah konsumsi dan sebaliknya. Tanpa produksi, tidak ada objek untuk dikonsumsi dan tanpa konsumsi tidak akan ada subjek produk. Suatu produk tidak akan disebut ‘produk’ apabila belum dikonsumsi dan dikonsumsi ‘ada’ untuk menciptakan ‘kebutuhan’ akan produksi baru.
Max Weber memiliki pemahaman lebih jauh mengenai peran konsumerisme di masa sekarang. Lebih jauh lagi Weber membahas tentang konsumsi dalam
semangat kalvinisme. Dalam semangat kalvinisme yang membangkitkan etos kerja keras dan sikap saleh terhadap karya.
“… bekerjalah segiat-giatnya di dalam profesimu, namun yang paling penting adalah kesadaran yang melampaui itu. Yaitu tentang hari akhir kehidupan sebagaimana disampaikan Allah.’jika seseorang tidak mahu bekerja, janganlah ia makan.”31
Semangat kalvinisme ini menimbulkan paradigma atau pemikiran untuk mendorong pekerja tidak mengkonsumsi secara berlebihan melainkan menginvestasikannya. Dari sudut pandang ini kapitalisme makin tampak jelas oleh karena adanya etika kerja yang mengutamakan penanaman modal kembali dari pada mengkonsumsi. Weber melihat bahwa kapitalisme dicirikan dengan pengejaran keuntungan melalui cara mengembangkan kapital secara rasional dan berkelanjutan, yaitu pembaharuan keuntungan secara konstan. Pandangan Weber difokuskan kepada argumen bahwa revolusi industri telah menyebabkan pergolakan dunia besar-besaran dengan produk pabrik yang dihasilkan. Diskusi mengenai hakikat “semangat kapitalisme” yang pada dasarnya irasional dan semakin bertambahnya kehausan akan uang, yang diikuti penolakan aktual pada kenikmatan hidup spontan, yang menghasilkan generasi yang mengalami konsumsi sebagai hal yang dapat dinikmati dan menyenangkan pada masa sekarang.
Tokoh berikutnya adalah Georg Simmel, Simmel berpendapat bahwa uang dan pertukaran sebagai pusat pengalaman modernitas. Haryanto Soedjatmiko mengutip pendapat Simmel “konsumsi lebih sekedar minat insidental, dan secara
aktual memiliki beberapa peran dalam menstrukturisasi pengalaman modernitas seseorang.”32 Munculnya kota-kota yang menyediakan berbagai macam kebutuhan manusia, baik kebutuhan jasmani dan rohani tersedia di kota besar mengakibatkan meningkatnya keinginan atau hastrat manusia dalam mengkonsumsi. Pembangunan kota dinilai dapat memenuhi, memuaskan kebutuhan-kebutuhan sosial.
Tokoh lain yang berbicara mengenai konsumsi adalah Mike Featherstone, menurut Featherstone yang ditulis dalam oleh Haryanto Soedjatmiko, “konsumsi secara alami telah memberi identitas yang tidak melulu terbatas bagi kaum muda dan kaum kaya, melainkan secara potensial berdampak kepada setiap orang.”33 Maksudnya, dalam arti ini kita dapat menjadi siapa pun yang kita inginkan sejauh kita telah siap untuk mengkonsumsi. Terjadilah estetisisasi hidup sehari-hari, yakni proses di mana standar-standar yang “baik” (good stlye, good taste, good design) menjadi dasar setiap aspek dari hidup kita sehari-hari.
Lebih dari itu konsep konsumsi film indie juga dapat dilihat dari isi media dan citra media film indie. Untuk mengetahui bagaimana media film indie tersebut dalam menarik para penggemarnya, peneliti menggunakan model Maletzke dalam komunikasi massa. Bagaimana dijelaskan setiap media mempunyai pesan yang disampaikan kepada pemirsanya. Film indie yang mempunyai gambaran film bebas terlepas dari nilai-nilai komersil memiliki penggemar yang tidak sedikit, untuk
mengetahui di mana posisi penggemar film indie tersebut, peneliti menjabarkan dengan analisis model Maletzke, sebagai acuannya.
Skema 1.4
Model Komunikasi Maletzke
Sumber : Buku pengantar ilmu komunikasi34
Maletzke berpendapat “bahwa ada beberapa faktor individu yang mempengaruhi individu tersebut memilih suatu media dalam kehidupannya”, contohnya ; banyak sekali kategori-kategori majalah, film, musik, dan lain-lain tetapi tidak semua pribadi memilih kategori yang sama, ada pengelompokan-pengelompokan dalam masyarakat dalam memilih suatu media untuk dikonsumsinya, dengan kata lain kurang pantas seorang mahasiswa mengkonsumsi media koran “lampu hijau” dalam pemilihan media bacanya. Ada klasifikasi dalam pemilihan media dan klasifikasi tersebut mencerminkan di mana kelas sosial.35
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi individiu dalam memilih konsumsi medianya. Pertama adalah citra diri, yaitu bagaimana individu bercermin atau mengidentifikasikan dirinya sebagai pribadi yang layak mengkonsumsi media yang dianggapnya cocok dengan dirinya. Kedua adalah struktur kepribadian individu, yaitu individu tersebut berada dalam kelompok atau struktur dalam masyarakat. Ketiga
adalah individu sebagai anggota khalayak di mana konsumsi media dipengaruhi oleh dimana individu tersebut menjadi anggota di masyarakat. Keempat adalah lingkungan sosial di mana linkungan individu tersebut berada, contoh pekerjaan, keluarga, dan sebagainya. Dari keempat faktor tersebut dapat dilihat bagaimana individu memilih media dalam pemenuhan kebutuhannya. Selain itu pemilihan isi media,apa efek yang ada di dalam isi media tersebut, tekanan media, dan citra media. Faktor-faktor inilah yang menurut Maletzke menjadi faktor pendorong individu dalam mengkonsumsi media yang dipilihnya. Jika diimplikasikan ke dalam konsumsi film indie dapat dilihat dari responden apakah faktor-faktor di atas mempengaruhi pemilihan individu dalam mengkonsumsi media film indie.
Skema 1.5
Sumber : Modifikasi Kerangka Konsep Pola Konsumsi Pierre Boudieu dengan Maletzke (2003)
1.7.3 Film Indie
Film indie berasal dari kata independent dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa indonesia berarti bebas. Film indie memang dilihat dari bagaimana basis materi film tesebut dibentuk. Untuk membedakan antara film indie dan bukan film indie sangat mudah, yaitu dengan melihat bagaimana film tersebut diproduksi, apakah diproduksi secara mandiri atau oleh rumah produksi. Film indie dikenal bebas dari berbagai macam kepentingan di dalamnya, baik kepentingan sponsor, politik, dan lain-lain. Nilai bebas itulah yang membuat film indie, baik pembuat dan penikmat film indie menjadi sesuatu yang mahal, karena untuk mendapatkan hasil karya yang murni di jaman sekarang ini sulit didapat.
Indie label dewasa ini merupakan sebuah matra yang sangat populer di kalangan anak muda Indonesia. Menjadi indie seolah sebuah cara untuk selalu mengikuti gaya hidup yang sedang “ngepop”. Nyaris tidak ada bidang kebudayaan pop yang tidak lepas dari indie, sebut saja musik indie, majalah indie dan juga tidak
Pola Konsumsi
Frekuensi atau
Intensitas dan Citra
ketinggalan film indie. Kata “indie” menjadi tren di anak muda sekarang, karena kebebasan berekspresi dalam hasil karya seni itu sangat penting.
Penemuan teknologi digital telah memberi ruang baru bagi budaya pop dalam bentuk film indie. Biaya produksi yang jauh lebih murah jika dibandingkan membuat film dengan seluloid membuat gairah indie kemudian merebak di kalangan anak muda untuk membuat film. Biaya adalah sesuatu momok bagi pembuat film industri di mana para produser film yang bertugas untuk mengeksplor ide sebebas-bebasnya terganjal dengan dana yang besar. “Rata-rata dalam pembuatan film di Indonesia harus memiliki budget atau dana sebesar Rp. 150 juta rupiah yang diungkapkan oleh JB Kristianto seorang pemerhati film Indonesia”36.
Semenjak pemunculannya yang dianggap sangat fenomenal, film indie menjadi sebuah momentum bagi kaum muda sebagai sebuah ruang ekspresi yang membebaskan serta tidak dibelit dengan persoalan birokratis didalamnya sehingga kampus adalah bagian terbesar dari perjuangan pembangunan film indie di Indonesia. Film indie dianggap menjadi medium yang mewakili jatidiri kaum muda; bebas serta bersemangat Sebuah pergeseran wacana dari penonton, menjadi pembuat. Terlihatlah sebuah espektasi bahwa momentum tersebut dapat mengantarkan kembali kepada kebangkitan perfilman Indonesia. Lahirnya ratusan komunitas film di berbagai pelosok Indonesia menjadi salah satu parameternya. Kelompok-kelompok tersebut ramai berproduksi, gairah serta semangat yang mereka tunjukan menginspirasikan
banyak kaum muda lainnya untuk kemudian turut ikut serta ambil bagian dalam fenomena ini.
Saat ini situasi perfilman Indonesia bisa dikatakan dalam masa transisi. “Posisi mainstream perfilman Indonesia yang awalnya didominasi oleh film panjang untuk bioskop setidaknya hingga akhir tahun 1980-an produksi film cerita nasional rata-rata di atas 100 judul.” Saat ini, perhatian masyarakat Indonesia, terutama anak-anak muda bergeser pada dunia side-stream perfilman. “sistem industri” yang mulanya dikuasai oleh perusahaan bermodal dana dan berpandangan film sebagai barang dagangan dari para pedagang murni, bergeser ke pembuat film “independen” yang berpandangan berbeda dengan yang terdahulu tentang arti sebuah produksi film.37
Dalam sebuah artikel, Seno Gumira mengatakan bahwa film indie sebagai film alternatif disaksikan oleh penonton alternatif yang pada gilirannya penonton alternatif itulah yang akan melahirkan sineas alternatif . Berikut adalah data jumlah produksi film indie dalam berbagai festival ;
“Dengan jumlah produksi film alternatif yang besar dalam setahun (dalam FFII SCTV pertama tahun 2002, terkumpul sekitar 740 karya, dan 800an karya di FFII kedua):, tentunya kita bisa melihat dengan jelas bahwa kehadiran film-film alternatif ini bisa menjadi modal untuk menggodok visi serta misi pengembangan perfilman Indonesia. KONFIDEN (Komunitas Film Independen Indonesia) di Jakarta, pernah menyelenggarakan FFVII (Festival Film Video Independen Indonesia). Festival ini menjadi semacam tempat transit besar bagi pengkarya film indie untuk meng-eksebisikan karya-karya mereka sekali dalam setahun serta ajang silaturahmi antar pengkarya film dari berbagai kota di Indonesia. Bahkan dalam tahun 2011 ini di sebuah Festival Film Indonesia (FFI) kategori film pendek merupakan kategori yang sangat diminati oleh para pembuat film, terbukti dengan 98 film terdaftar di atas meja panitia, angka ini merupakan angka yang banyak karena pada tahun
2010 yang mendaftar untuk kategori film pendek ini hanya 72 film peserta. Sejalan dengan FFI di festival film lain, yaitu Festival Film Pendek Konfien (FFPK) juga mendapatkan respon yang baik dari masyarakat khususnya pecinta film indie, pada tahun 2006 ada sekitar 225 film pendek yang didaftarkan masyarakat dalam festival tersebut. Sedangkan tiga tahun berturut-turut (2007-2010) FFPK memiliki pendaftar sebanyak 181, 140 dan 128 peserta. Ada satu sejarah yang mencengangkan dalam Festival Film Independen Indonesia SCTV (FFII SCTV), pada tahun 2002 – 2003 tercatat 1700 film telah terkumpul di meja panitia dari seluruh provinsi di Indonesia.”38
Keberadaan komunitas film indie sebagai sesuatu yang non-mainstream
adalah sebuah usaha untuk membuka kemungkinan eksplorasi dengan kebebasan yang mereka miliki. Banyak wacana yang bergulir darinya. Film bukan lagi sekedar. Sekedar membuat, sekedar mempertontonkan, sekedar mengkoleksi. Artinya, komunitas ini memiliki banyak peran dan salah satu peran yang cukup vital adalah peran melahirkan wacana itu sendiri menjadikan film sebagai wacana intelektual yang menyangkut kebebasan berekspresi serta eksplorasi.
Sumber : Modifikasi Kerangka Konsep yang dikemukakan oleh Pierre Bourdieu dan Maletzke (2008)
Yang menjadi permasalahan adalah, belum adanya ruang (sebagai media komunikasi dan apresiasi bagi pengkarya dan penikmat film alternatif) yang memang khusus memfasilitasi karya film indie ini, sehingga menjadikan kita sulit untuk menilai sudah seberapa jauh perkembangannya, apalagi menilai akan menjadi seperti apa kedepannya. Persoalan ruang adalah persoalan krusial. Dalam bentuk harfiahnya, tidak ada ruang yang memang secara khusus memfasilitasi kehadiran karya-karya film indie serta kembali memunculkan wacana dari pengembangan serta perkembangannya itu sendiri.
Film independent atau yang sering dikenal dengan film indie adalah film yang memiliki basis materi sendiri tanpa ada pihak-pihak berkepentingan di dalamnya. Bagaimana secara keuangan film indie terbatas, karena tidak masuk dalam label apapun yang membuat para pembuatnya merasa terikat. Secara garis besar film indie sama seperti musik indie yang memiliki idealisme tinggi dengan tidak mau diatur-atur oleh label atau produksi dalam pembuatannya. Untuk produksi memang menjadi halangan bagi para pembuat film indie di mana karya-karya mereka masih hanya dalam lingkaran kantung-kantung keuangan dan kualitas film yang minim. Salah satu
Capital
CulturCapital
contoh adalah dengan harga kamera HD atau High Definition yang puluhan bahkan sampai ratusan juta, itu menjadi halangan utama dari para pembuat film indie.
Film indie menjadi sebuah momentum bagi kaum muda sebagai sebuah ruang ekspresi yang membebaskan serta tidak dibelit dengan persoalan birokratis didalamnya. Menjadi medium yang mewakili jati diri kaum muda; bebas serta bersemangat. Sebuah pergeseran wacana dari penonton, menjadi pembuat. Lahirnya sejumlah komunitas film di berbagai pelosok Indonesia merupakan salah satu parameter bahwa film Indonesia memang sedang menjadi wabah kreatif saat ini. Dana dan fasilitas yang terbatas bahkan pengetahuan yang kurang memadai berusaha diatasi sedemikian rupa demi sebuah produksi film. Banyak unit-unit kegiatan kampus yang membuka wadah bagi mahasiswanya dalam bidang film ini. Bahkan sekarang sedang trend mahasiswa komunikasi khususnya membuat film pendek untuk diproduksi dalam mengikuti kompetisi-kompetisi festival film indie.
1.8 Keterkaitan Antar Konsep dan Model Analisa
lapangan. Dalam penelitian ini memiliki 2 variabel, yaitu variabel bebas (X) dan variabel terikat (Y). Dalam variabel bebas (X) adalah kelas sosial, sedangkan variabel terikat adalah konsumsi film indie (Y). Variabel bebas konsep kelas sosial yang menjabarkan tentang capital, yaitu economic capital, cultur capital dan social capital
dalam lingkup economic capital peneliti memakai kekayaan dan modal. Sedangkan dalam lingkup cultur capital peneliti memakai pendidikan dan selera. Dan untuk lingkup social capital peneliti memakai pergaulan dan jaringan sosial. Lalu untuk variabel konsep terikat (Y) ini adalah konsumsi film indie, di mana tingkat intensitas atau frekuensi dan citra media seseorang dalam mengkonsumsi film indie.
1.9 Asumsi dan Pengembangan Hipotesis
Pengertian hipotesis yang dijabarkan Sofyan Siregar dalam buku statistika deskriptif untuk penelitian, “hipotesis adalah pernyataan sementara yang masih lemah kebenarannya dan perlu diuji kebenarannya atau dengan kata lain hipotesis adalah dugaan terhadap hubungan antara dua variabel atau lebih39. Berdasarkan konsep dan teori penelitian terdahulu maka hipotesis penelitian ini adalah :
H0 =Kelas sosial dan tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi seseorang dalam menonton film indie.
Ha =Kelas sosial dan tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pola konsumsi seseorang dalam menonton film indie.
1.10 Metode Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian sosial sering dibedakan antara penelitian kuantitatif dan kualitatif. Menurut Sugiono dalam buku metode penelitian administrasi, data kuantitatif adalah “data yang berupa angka atau kuantitatif yang diangkakan seperti yang terdapat dalam skala pengukuran, sedangkan data kualitatif adalah data yang berbentuk kata, kalimat, skema, dan gambar”40. Dalam penelitian ini terdapat 2
39 Syofian Siregar, Statistika deskriptif Untuk Penelitian, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2010, hlm. 152.
hubungan variabel memakai metode penelitian kuantitatif. Di mana dua variabel tersebut adalah variabel bebas kelas sosial (X) dengan variabel terikat pola konsumsi film-film indie (Y) diukur dalam menggunakan data-data yang dimasukan ke dalam pengolahan data untuk mengetahui kekuatan hubungan 2 variabel tersebut. Seorang peneliti yang ingin mengetahui hubungan antara 2 variabel bisa menerapkan analisis multivariat, yaitu hubungan analisis dua atau lebih gejala.
Skema 1.7
Desain Penelitian
Sumber : Hasil Pengamatan Motode Pendekatan Penelitian
1.10.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan metode survei (survey research), yaitu “suatu jenis penelitian yang di dalamnya hal yang hendak diketahui peneliti dituangkan ke dalam suatu pertanyaan daftar pertanyaan (questionnaire) baku”41. Jadi metode survei merupakan penelitian yang mengambil sampel dalam suatu populasi dan menggunakan kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Metode angket atau quesioner ini untuk mengetahui data tentang pengaruh kelas sosial terhadap film-film indie di Kineforum DKJ.
41 Sugiono, Ibid., hlm. 248.
Menurut Water L. Wallace dalam buku metode penelitian sosial, “penelitian survei digambarkan sebagai suatu proses untuk mentransformasikan lima komponen informasi ilmiah dengan menggunakan sekurang-kurangnya enam komponen metodologi yang disebut kontrol metodologi.” 42 Keenam komponen informasi tersebut adalah teori, hipotesis, observasi, generalisasi empiris, penolakan atau penerimaan hipotesis penelitian.
1.10.2 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah bagaimana peneliti dapat mencari sumber data yang di cari oleh peneliti. Penelitian ini menggunakan metode survey di mana penggunaan kuesioner atau angket sangat paling pokok. Menurut Suharsini Arikunto Kuesioner adalah “sejumlah pertanyaan secara tertulis yang digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti laporan tentang pribadinya atau hal-hal yang diketahui”43. Dengan demikian kekuatan dari kuesioner adalah kejujuran dari respondennya. Untuk membuat responden bisa santai dan tidak terburu-buru dalam mengisi angket tersebut peneliti memberikan waktu yang santai dan menemani kuesioner dalam mengisi angketnya agar reponden dapat menanyakan jika ada yang tidak dimengerti, dengan kata lain peneliti tidak menyebar kuesioner banyak kuesioner lalu dikumpulkan satu per satu, melainkan satu angket secara intensif. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan jenis kuesioner tertutup (
Close-ended-42 Bagong Suyanto dan Sutinah, Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekata, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2005, hlm. 45.
questions), yaitu pertanyaan-pertanyaan yang diberikan kepada responden sudah dalam bentuk pilihan ganda. Jadi kuesioner jenis ini responden tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapat, dengan arti pilihan jawaban telah disediakan di dalam kuesioner dan responden di minta untuk memilih jawaban yang telah disediakan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik cara menyebar kuesioner dengan dua cara, yaitu lebih intensif kepada responden saat menjawab pertayaan dari survey yang peneliti bagikan, jadi responden tidak dilepas begitu saja tetapi diberikan pengarahan dan pengawasan untuk menghindari jawaban yang tidak valid dalam responden tersebut. Untuk yang kedua peneliti lebih menaruh lembar kuesioner di tempat yang terbuka untuk responden melihat survey tersebut dan diisi secara mandiri oleh responden, dan memang cara kedua lebih beresiko jawaban responden tiidak sesuai dengan apa yang sebenarnya.
Tabel 1.2
Model Data Penelitian
Variabel Dimensi Indikator
1. Kelas Sosial Economic Capital Kekayaan
Modal
Cultur Capital Pendidikan
Selera
Jaringan Sosial
2.Pola Konsumsi Film Indie
Frekuensi atau Intensitas Konsumsi Film Indie dan Citra Media Film Indie
Tinggi Sedang Rendah
Sumber : Hasil Pengamatan Peneliti (2011)
Dalam mendapatkan data yang valid dari responden tentang penelitian ini, Pertanyaan dibatasi dengan keterkaitan-ketarkaitan antara dua variabel yang berhubungan, yaitu pengaruh kelas sosial terhadap pola konsumsi film-film indie. Untuk lebih jelasnya lihat tabel 1.2 model data penelitian di mana dalam setiap variabel dijelaskan bagaimana dimensi-dimensi dan indikator-indikator yang tercakup dalam satu variabel, yang kemudian dijabarkan ke dalam bentuk pertanyaan kuesioner dalam penelitian ini.
Data yang dikumpulkan pada saat penelitian meliputi data-data :
1. Data primer
dengan pengurus Kineforum terkait dengan penelitian ini guna menunjang data-data penting yang dibutuhkan peneliti.
2. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari lain pihak. Data sekunder untuk menambah kekuatan dari penelitian ini, data-data sekunder dapat diperoleh dari literatur-literatur, buku-buku, jurnal-jurnal, skripsi-skripsi yang berkaitan, institusi dan lembaga-lembaga yang terkait.
Pada pengambilan data primer melalui penyebaran kuesioner, peneliti akan menggunakan bentuk dasar dalam mendesain kuesioner, yaitu: Scaled –Response Questions, yaitu merupakan pertanyaan atau pernyataan yang menggunakan skala dalam instrumen pendapat responden terhadap pertanyaan-pertanyaan atau pernyataan-pernyataan yang diajukan dalam kuesioner. Untuk mengetahui instrumen pernyataan responden terhadap kelas sosial dan tingkat pendidikan terhadap konsumsi film indie, peneliti menggunakan skala likert yang terbagi atas lima tingkatan, yaitu:
Tabel 1.3
Skala Penilaian
1.
Sumber : Buku Statiska Deskriptif Untuk Penelitian44
1.10.3 Skala Pengukuran Instrumen
Instrumen merupakan alat yang digunakan sebagai pengumpulan data dalam suatu penelitian dapat berupa kuesioner, sehingga skala pengukuran instrumen adalah menentukan satuan yang diperbolehkan, sekaligus jenis data atau tingkatan data, apakah data tersebut berjenis nominal, ordinal, interval maupun rasio. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Skala Likert berjenis interval dalam pengukuran instrumen, Skala Likert adalah skala yang digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang tentang suatu objek atau fenomena tertentu.
1.10.4 Populasi dan Ukuran Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi berupa subjek atau objek yang diteliti untuk dipelajari dan diambil kesimpulannya. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang diteliti, dengan kata lain sampel merupakan sebagai perwakilan dari populasi sehingga hasil penelitian yang berhasil diperoleh dari sampel dapat
digeneralisasikan pada populasi. Pada penelitian ini yang menjadi populasi penelitian adalah populasi di dalam kineforum, dengan non-probability sampling – purposive sampling, yaitu teknik sampling yang memberi sudah ditetapkan respondennya dan
purposive sampling adalah teknik pengambilan sampel untuk tujuan tertentu, dalam penelitian ini peneliti mengambil sampling penggemar film indie di kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Untuk menentukan jumlah populasi dalam sampling tersebut peneliti melihat jumlah daftar mailing list atau yang biasa kita sebut milis kineforum45. Dalam jumlah anggota milis tersebut terdapat 125 member yang terdaftar sebagai member di milis tersebut. Dalam penelitian ini, peneliti menentukan besarnya sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah 95 orang responden, dalam penentuan jumlah responden ini didasarkan dalam teori atau rumus dari Slovin, yaitu besaran dalam jumlah sampel ini sangat tergantung dari besaran tingkat ketelitian atau kesalahan yang diinginkan oleh peneliti. Dalam tingkat kesalahan penelitian, khususnya penelitian sosial paling besar atau maksimal adalah 5% atau 0,05. Makin besar tingkat kesalahan makin kecil tingkat sampel. Berikut rumus Slovin :
N = n/N(d)2 + 1
n = sampel; N = populasi; d = nilai presisi 95% atau sig. = 0,05. N = 125 / 125 (0,05)2 + 1 = 95,23, dibulatkan 95
1.10.5 Teknik Analisis Data
Setelah data dari 95 responden terkumpul, peneliti mengcoding data tersebut kedalam program excel untuk membuat data yang bersifat hard menjadi data yang
bersifat soft agar mudah terlihat hasil dari pengumpulan 95 kuesioner tersebut. Setelah data semua masuk ke dalam program excel, peneliti memulai mengolah data untuk dilihat hasil dari penelitian ini dengan menggunakan SPSS 19.
1.10.5.1 Analisis Regresi (Regression Analysis)
Analisis regresi didefinisikan sebagai kajian terhadap hubungan satu variabel yang disebut sebagai variabel yang diterangkan (the explained variable) dengan satu atau dua variabel yang menerangkan (the explanatory). Analisis regresi merupakan teknik statistik yang digunakan untuk menganalisa hubungan antara variabel terikat (dependent) dengan variabel bebas (independent). Ketika hanya melibatkan satu variabel bebas (independent), maka disebut regresi sederhana (simple regression). Ketika melibatkan dua atau lebih variabel bebas (independent) maka disebut regresi berganda (multipleregression). Teknik analisis data dilakukan dengan uji regresi, uji regersi adalah statistika yang digunakan sebagai alat untuk meramalkan atau memprediksi pengaruh dari data (variabel bebas) terhadap data yang lain (variabel tak bebas).
1.10.5.2 Uji Statistik T
Uji T pada dasarnya menunjukan seberapa jauh pengaruh satu variabel bebas individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Formula hipotesis :
Ha : bi ≠ 0, artinya variabel bebas merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.
Untuk menguji hipotesis tersebut digunakan statistik t yang dihitung dengan
cara sebagai berikut : sb
b t
Di mana b adalah nilai parameter dan Sb adalah standart error dari b.
Standart error dari masing paramater dihitung dari akar varians masing-masing. Untuk mengtahui kebenaran hipotesis digunakan kriteria bila t hitung > t tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya ada pengaruh antar variabel bebas terhadap variabel terikat dengan derajat keyakinan yang digunakan sebesar α = 1 %, α = 5%, α = 10 %, begitu pula sebaliknya bila t hitung < t tabel maka menerima Ho dan menolak Ha artinya tidak ada pengaruh antara variabel bebas terhadap variabel terikat.
1.10.5.3 Uji Statistik F
Uji F dilakukan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Rumusan hipotesis yang diuji :
Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, berarti secara bersama-sama ada pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat.
Bila F hitung > F tabel maka Ho ditolak dan Ha diterima, artinya semua variabel bebas secara bersama-sama merupakan penjelas signifikan terhadap variabel terikat. Bila F hitung < F tabel maka Ho diterima dan Ha ditolak, artinya semua variabel bebas secara bersama-sama bukan merupakan variabel penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.
1.11 Operasional Konsep
Dalam penelitian skripsi ini memiliki dua variabel, yaitu variabel bebas (kelas sosial) dan variabel terikat (pola konsumsi film indie), untuk variabel kelas sosial memiliki tiga dimensi, yaitu economic capital, culture capital, dan social capital. Dalam economic capital memiliki dua indikator, yaitu kekayaan dan modal. Sedangkan untuk dimensi culture capital memiliki dua indikator, yaitu akses pendidikan dan selera. Untuk dimensi social capital memiliki dua indikator, yaitu pergaulan sosial dan jaringan sosial. Untuk variabel terikat atau variabel pola konsumsi film indie, peneliti menggunakan satu dimensi, yaitu konsumsi film indie dan menggunakan satu indikator, yaitu frekuensi atau intensitas dan citra media film indie.