• Tidak ada hasil yang ditemukan

CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN:"

Copied!
179
0
0

Teks penuh

(1)

i

TEO

CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN:

Studi Komparasi Makna Cinta Kasih Perkawinan dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia

TESIS

Oleh :

Yosef Purboyo Diaz NIM : 156312025

FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

2018

(2)

ii

TEO

CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN:

Studi Komparasi Makna Cinta Kasih Perkawinan dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia

TESIS

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Teologi

Program Studi Magister Teologi

Oleh :

Yosef Purboyo Diaz NIM : 156312025

FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM STUDI MAGISTER TEOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

201TESIS

(3)

iii

FAKULTAS TEOLOGI

PROGRAM MAGISTER TEOLOGI

CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: STUDI KOMPARASI MAKNA CINTA KASIH PERKAWINAN DALAM

FAMILIARIS CONSORTIO DAN AMORIS LAETITIA Yang dipersiapkan dan disusun oleh

Yosef Purboyo Diaz NPM : 156312025

Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji Pada tanggal 4 Juni 2018

Dan dinyatakan memenuhi syarat.

Dewan Penguji:

Pembimbing Utama Dr. Matheus Mali, CSsR.

………

Pembimbing Pendamping Dr. CB. Kusmaryanto, SCJ.

………

Anggota Dewan Penguji Dr.St. Suratman, Pr.

………

Yogyakarta,………..…

Universitas Sanata Dharma Fakultas Teologi

Dekan,

Dr. E. Pranawa Dhatu Martasudjita, Pr

(4)

iv

PERNYATAAN MENGENAI KEASLIAN TESIS

Dengan ini saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang berjudul :

CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN:

Studi Komparasi Makna Cinta Kasih Perkawinan dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia

Tidak memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 4 Juni 2018 Penulis

Yosef Purboyo Diaz NIM : 156312025

(5)

v

ABSTRAK

Dalam Kitab Suci dikatakan bahwa Allah menciptakan dan memanggil manusia untuk mengasihi dan mencintai, “Saudara-saudaraku yang kekasih, marilah kita saling mengasihi, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi lahir dari Allah dan mengenal Allah. Barangsiapa tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih…Saudara-saudaraku yang kekasih, jikalau Allah sedemikian mengasihi kita, maka haruslah kita juga saling mengasihi”1. Perintah untuk saling mengasihi ini sudah melekat dalam diri manusia karena manusia secitra dengan Allah yang adalah kasih itu sendiri. Hal ini ditegaskan pula dalam Familiaris Consortio, “Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya sendiri: dengan memanggil manusia menjadi ada melalui cinta kasih, Ia sekaligus memanggil manusia untuk cinta kasih.”2

Panggilan untuk mengasihi dan mencintai itu diwujudkan dalam hidup perkawinan. Cinta kasih pria dan wanita mendorong mereka untuk bersatu dan saling melengkapi. “Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya sehingga keduanya menjadi satu daging.”3 Lewat ikatan perkawinan, cinta kasih suami-isteri disatukan dan diberkati agar beranak cucu dan berkembang biak

1 Lih, 1 Yoh 4:7-8, 11

2 Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio, art 11

3 Lih, Kej 2:24

(6)

vi

seperti perintah Allah. Ikatan cinta kasih tersebut juga menjadi gambar dan lambang perjanjian yang menyatukan Allah dan umatNya.

Ajaran cinta kasih menjadi penting karena cinta kasih adalah dasar dalam perkawinan dan hidup keluarga. Tanpa cinta kasih, tidak mungkin seorang pria dan wanita dapat melanjutkan ke jenjang perkawinan dan membentuk keluarga. Selama masa pacaran, cinta kasih mereka terus diuji dan dimurnikan hingga sampai pada keputusan untuk menikah. Cinta kasih tidak hanya berhenti sampai disitu, cinta kasih pria dan wanita yang diikat dalam perkawinan harus diteruskan kepada anak-anak mereka karenanya anak merupakan buah cinta suami dan isteri. Dengan demikian, cinta kasih itu diwariskan dalam keluarga: cinta kasih antara suami dan isteri, cinta kasih antara orangtua dan anak, dan cinta kasih antar sesama saudara.

Keluarga yang digerakkan oleh cinta kasih menjadi suatu kesaksian bagi Gereja dan masyarakat.

(7)

vii ABSTRACT

In the Scriptures say that God created human beings and calling for love and love, “ Beloved, let us love one another, for love is of God; and everyone who loves is born of God and knows God. He who does not love does not know God, for God is love. Beloved, if God so loved us, we also ought to love one another “, command to love is already inherit in man because man configured to God who is love itself. This is confirmed also in Familiaris Consortio, “God created man in His own image and likeness: calling him to existence through love, He called him at the same time for love.

Call to love and love is embodied in marriage. The love of men and women to encourage them to come together and complement each other. “ Therefore a man shall leave his father and mother and be joined to his wife, and they shall become one flesh.” Through the bonds of marriage, love of husband and wife are united and blessed in order to multiply and proliferate like God’s command. The bond of love is also the image and symbol covenant that unites God and His people.

Teachings of love is important because love is the basis of marriage and family life. Without love, there may be a man and woman can continue to pursue a marriage and a family. During courtship, their love continues to be tested and purified to arrive at the decision to marry. Love does not stope there, the love of men and women bound in marriage should be passed on their children so the child is the fruit of love of husband and wife. Thus, love is passed down in the family:

(8)

viii

the love between husband and wife, love between parents and children, and love between brothers and sisters. Families were moved by love became a witness for the Church and society.

(9)

ix

KATA PENGANTAR

Cinta kasih adalah hal yang sangat penting dalam hidup manusia. Dalam Redemptor Hominis dikatakan “Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Tanpa cinta, manusia tidak dapat memahami dirinya dan hidupnya akan kehilangan makna”. Cinta kasih ini merupakan panggilan dasar manusia dan perintah Allah sendiri. Panggilan ini diwujudkan dalam hidup perkawinan dimana cinta kasih pria dan wanita diikat dan dipersatukan oleh Allah. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa banyak tantangan dan godaan dalam hidup perkawinan dan keluarga.

Kasus perceraian, anulasi, remarried dan berbagai kasus lainnya juga terjadi dalam keluarga-keluarga Katolik. Apakah cinta kasih mereka yang pernah diucapkan meluntur dan hilang begitu saja berhadapan dengan tantangan dan godaan tersebut. Hal ini menjadi sesuatu yang menarik bagi penulis sehingga penulis tertarik untuk menggali makna cinta kasih dalam hidup perkawinan dan keluarga dengan mengkomparasikan Anjuran Apostolik Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia. Selain itu juga tema cinta kasih dalam kaitannya dengan hidup perkawinan dan keluarga selalu menjadi topik yang aktual dan relevan untuk umat dan Gereja kedepannya nanti.

Dalam perjalanan tesis ini, penulis merasakan ada banyak tantangan yang dihadapi. Ada banyak keterbatasan dan kesulitan yang penulis alami selama menyusun tesis ini, namun berkat rahmat Tuhan yang begitu besar dalam berbagai rupa, maka terselesaikanlah tesis ini dengan baik. Berbagai dukungan, doa, dan semangat diberikan oleh banyak pihak untuk penyelesaian tesis ini. Oleh kerena

(10)

x

itu, dalam kesempatan ini penulis hendak menghaturkan banyak terimakasih kepada:

1. Mgr. Ignatius Suharyo Pr, Uskup Keuskupan Agung Jakarta yang memberikan kesempatan dan perutusan kepada penulis untuk menempuh studi S2 di Fakultas Teologi Wedabhakti Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dan memberikan dukungan dan doa untuk cepat menyelesaikan tesis ini.

2. Mgr. Robertus Rubiyatmoko Pr, Uskup Keuskupan Agung Semarang yang pada awal-awal pengerjaan tesis ini membantu memberikan data dan bahan yang dibutuhkan penulis.

3. Rm M. Mali, CSsR sebagai pembimbing pertama, dan Rm CB. Kusmaryanto, SCJ sebagai pembimbing kedua. Beliau berdua yang telah mendampingi, menuntun, membantu, dan memberikan masukan serta koreksian kepada penulis. Terimakasih atas pendampingannya, sehingga tesis ini dapat terselesaikan.

4. Rm Samuel Pangestu Pr, Vikjen Keuskupan Agung Jakarta yang senantiasa memberikan sapaan, dukungan dan doa kepada penulis sehingga memberikan semangat untuk menyelesaikan tesis ini.

5. Rektor Seminari Tinggi St Yohanes Paulus II dan Seminari Tinggi St. Paulus Kentungan beserta seluruh staff, yang selalu membantu dan menyemangati penulis dengan berbagai cara.

(11)

xi

6. Teman-teman angkatan KAJ: Rm Bernardus Dimas Indragraha Pr, Rm.

Ambrosius Lolong Pr, Rm. Bonifasius Lumintang Pr, Rm. Nemesius Pradipta Pr yang sama-sama berjuang dalam penulisan tesis ini dengan segala pergulatannya, serta teman-teman angkatan KAS.

7. Keluarga penulis: Bpk. Robertus Supardi, Ibu ME. Sri Rahayuningsih, Adriana Mayasari, Andreas Pandu Kurniawan, dan Maria Elisa, yang selalu mendukung, mendoakan, dan mengingatkan penulis dengan menanyakan kabar dan kapan terselesaikannya tesis ini.

8. Para Romo UNIO KAJ, Unio Kecil KAJ, Pak Wandi, seluruh petugas perpustakaan Kolsani, rekan komunitas, dan karyawan Seminari Tinggi St.

Paulus Yogyakarta yang selalu memberikan semangat, bantuan, dan informasi kepada penulis dengan berbagai macam cara.

Penulis mengakui bahwa karya ini masih ada banyak kekurangan di sana-sini.

Meskipun demikian. Penulis berharap bahwa karya tulis ini dapat memberikan sumbangan bagi Gereja dan umat Katolik untuk terus menerus memelihara, merawat, dan meneruskan cinta kasih, khususnya mereka yang mempersiapkan diri untuk menikah secara Katolik maupun semua pasangan suami isteri dan keluarga-keluarga Katolik, termasuk juga mereka yang sedang mengalami krisis dalam hidup perkawinan dan keluarga.

Penulis

(12)

xii

Daftar Singkatan

Dokumen Gereja :

FC : Familiaris Consortio AL : Amoris Laetitia GS : Gaudium et Spes LG : Lumen Gentium Kan : Kanon

KHK : Kitab Hukum Kanonik KGK : Katekismus Gereja Katolik

(13)

xiii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGAJUAN……… ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR SINGKATAN ... xi

DAFTAR ISI ... xii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang & Landasan Teori ... 1

1.2. Batasan Persoalan ... 9

1.3. Rumusan Masalah ... 10

1.4. Tujuan Penulisan ... 11

1.5. Metode Penulisan. ... 11

BAB II. CINTA KASIH DALAM PERKAWINAN ... 13

2.1. Antropologi Perkawinan ... 13

2.1.1. Pengertian Perkawinan secara umum ... 13

(14)

xiv

2.1.2. Dasar Perkawinan... 15

2.2. Dasar Biblis Perkawinan ... 16

2.2.1. Perkawinan dalam Perjanjian Lama ... 16

2.2.1.1. Perkawinan sebagai Panggilan Ilahi ... 16

2.2.1.2. Perkawinan di bawah Pengaruh Dosa ... 18

2.2.2. Perkawinan dalam Perjanjian Baru ... 21

2.2.2.1. Ajaran Yesus tentang Perkawinan ... 21

2.2.2.2. Tulisan Paulus ... 22

2.3. Ajaran Gereja Mengenai Perkawiann ... 23

2.3.1. Arti Perkawinan ... 23

2.3.2. Tujuan Perkawinan ... 25

2.3.3. Sifat Hakiki Perkawinan……… 26

2.4. Arti Cinta Kasih……… 27

2.4.1. Pengertian Umum Cinta Kasih……….. 27

2.4.2. Cinta Dalam Kitab Suci……….. 28

2.4.2.1. Seksualitas……… 28

(15)

xv

2.4.2.2. Cinta Allah sebagai Spiritualitas Perkawinan………... 31

2.5. Cinta menurut Bapa-Bapa Gereja……… 32

2.5.1. Zaman Skolastik……… 34

2.5.2. Konsili Trente………. 36

2.5.3.Abad XX……… ...38

2.6 Kesimpulan……… ..40

BAB III. CINTA KASIH PERKAWINAN DALAM FAMILIARIS CONSORTIO DAN AMORIS LAETITIA ... 41

3.1. Latar Belakang lahirnya Familiaris Consortio ... 42

3.1.1. Riwayat Singkat Paus Yohanes Paulus II ... 44

3.1.2. Garis Besar Isi Familiaris Consortio ... 48

3.2. Ajaran Familiaris Consortio tentang Cinta Kasih Perkawinan………. ... 50

3.2.1. Dipanggil untuk Mencinta ... 50

3.2.2. Cinta, Perkawinan dan Seksualitas ... 52

3.2.3. Cinta dan Sakramen Perkawinan ... 56

3.2.4. Cinta dan Keturunan ... 58

(16)

xvi

3.2.5. Cinta dan Keluarga………... 60

3.3. Rangkuman Familiaris Consortio ... 62

3.4. Latar Belakang Lahirnya Amoris Laetitia ... 64

3.4.1. Riwayat Singkat Paus Fransiskus ... 65

3.4.2. Garis Besar Isi Amoris Laetitia ... 69

3.5. Ajaran Amoris Laetitia tentang Cinta Kasih Perkawinan ... 73

3.5.1. Cinta dalam Perkawinan ... 73

3.5.2. Bertumbuh dalam Kasih Perkawinan ... 79

3.5.2.1. Berbagi Sepanjang Hayat ... 80

3.5.2.2. Menikah demi Kasih ... 83

3.5.2.3. Dialog ... 86

3.5.3. Kasih yang Bergairah ... 88

3.5.3.1. Dimensi Erotis dan Cinta………... 90

3.5.3.2. Kekerasan dan Manipulasi……….. 91

3.5.4. Transformasi Kasih………. 94

3.6. Rangkuman Amoris Laetitia……… 95

(17)

xvii

3.7. Kesimpulan……….. 97

BAB IV. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN CINTA KASIH PERKAWINAN FAMILIARIS CONSORTIO DALAM KOMPARASI DENGAN AMORIS LAETITIA ... …..100

4.1. Pengantar Umum ... 100

4.2. Persamaan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia ... 101

4.2.1. Panggilan untuk Mencinta ... 101

4.2.2. Cinta, Perkawinan dan Seksualitas ... 103

4.2.3. Cinta dan Keluarga ... 109

4.3. Perbedaan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia ... 112

4.3.1. Panggilan untuk Mencinta ... 112

4.3.2. Cinta Perkawinan dan Seksualitas ... 115

4.3.3. Cinta dan Keluarga ... 119

4.4. Paralelisasi Persamaan dan Perbedaan……… 122

4.5. Konsekuensi Persamaan dan Perbedaan……… ... 128

4.6. Rangkuman……….. 130

(18)

xviii

BAB V. PENUTUP ... 132

5.1. Refleksi Teologis Akan Cinta Kasih ... 132

5.2. Sumbangan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia ... 136

5.2.1. Sumbangan Familiaris Consortio ... 137

5.2.1.1. Peranan Cinta Kasih dalam Keluarga ... 137

5.2.1.2. Gereja Rumah Tangga ... 146

5.2.2. Sumbangan Amoris Laetitia ... 148

5.2.2.1. Merayakan Cinta Kasih dan Pengampunan ... 148

5.2.2.2. Pastoral Keluarga ... 150

5.3. Catatan Kritis ... 152

DAFTAR PUSTAKA ... 157

(19)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keluarga Kristiani dipanggil untuk membangun hidup sambil mencerminkan kasih karunia Allah dalam hidup bersama. Kasih itu nampak dalam persatuan mesra suami dan isteri yang telah diikat dalam perkawinan, dan cinta kasih tersebut mengalir juga pada saat suami-isteri dikaruniai anak dan membentuk keluarga. Nilai cinta kasih antara suami dengan isteri, orang tua dengan anak menjadi dasar karena keluarga adalah satuan terkecil Gereja (Ecclesia Domestica). Cinta kasih timbal balik dalam keluarga merupakan cermin dari kasih Allah sendiri yang lebih dahulu mencintai mereka. (bdk Ef 5:2, 1 Yoh 4:7-8)

Cinta kasih perkawinan diikat secara suci melalui sakramen perkawinan sehingga membentuk keluarga. Perkawinan dan keluarga inilah yang menjadi pokok perhatian Gereja. Dalam Gaudium et Spes (GS) artikel 46 dikatakan bahwa: “dari sekian banyak hal, yang sekarang ini menimbulkan keprihatinan semua orang, terutama pokok-pokok berikutlah yang seyogyanya diindahkan:

perkawinan dan keluarga, kebudayaan manusiawi, kehidupan sosial dan politik,

(20)

2

perserikatan keluarga besar pada bangsa dan perdamaian”.4

Pendapat GS diatas ingin menunjukan bahwa perkawinan dan keluarga menjadi salah satu keprihatinan Gereja. Perkawinan dan keluarga tidak dapat dipisahkan karena keluarga dibentuk atas dasar perkawinan. Dalam GS 48 dijelaskan bahwa perkawinan dibangun oleh janji pernikahan atau persetujuan pribadi yang tak dapat ditarik kembali. Lebih jelas ditegaskan dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1057 ξ 2: “Kesepakatan perkawinan adalah tindakan kehendak dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali.”5

Selanjutnya dalam GS 49 dikatakan: “Tuhan telah berkenan menyehatkan, menyempurnakan dan mengangkat cinta kasih itu dengan kurnia istimewa rahmat dan kasih sayang. Cinta seperti itu memadukan segi manusiawi dan ilahi, mengantar suami isteri kepada serah diri bebas dan timbal balik, yang dibuktikan dengan perasaan dan tindakan mesra serta meresapi seluruh hidup mereka”.6 Melalui sakramen perkawinan, cinta kasih yang total ini diangkat ke martabat yang lebih tinggi. Dengan demikian lembaga keluarga yang dibangun dalam ikatan perkawinan itu memiliki dasar tidak lain adalah cinta kasih itu sendiri.

Cinta kasih yang istimewa dari suami dan isteri diungkapkan lewat tindakan dan serah diri timbal balik.

Namun tidak dapat dipungkiri dalam dunia modern ini, banyak keluarga telah menjadi bimbang dan bingung mengenai peranan mereka atau bahkan ragu-

4 Bdk. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spess art. 46.

5 Kitab Hukum Kanonik, kan. 1057 ξ 2.

6 Bdk. Konsili Vatikan II, Gaudium et Spess, art. 49.

(21)

3

ragu dan hampir tak sadar akan makna hidup menikah dan berkeluarga. Adapula keluarga-keluarga lain yang menghadapi aral melintang dan berbagai macam permasalahan dalam hidup perkawinan dan keluarga.7 Namun masih banyak pula keluarga yang tetap setia berpegang pada nilai-nilai yang merupakan dasar landasan lembaga keluarga yakni cinta kasih.

Masalah yang timbul dalam keluarga sangat kompleks, mulai dari persoalan psikologis suami-istri yang bersifat internal sampai dengan masalah eksternal. Masalah internal misalnya kurangnya komunikasi, keterbukaan, kesetiaaan terhadap pasangannya, adanya dominasi atau bahkan kekerasan dalam rumah tangga. Sedangkan eksternal misalnya adanya PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain), praktek poligami bahkan sampai perceraian ketika sudah tidak harmonis. Masalah ekonomi-sosial juga seringkali menjadi sumber konflik yang biasa muncul dalam kehidupan berkeluarga. Permasalahan dan tantangan yang khas ditemui dalam keluarga Kristiani yakni kemerosotan penanaman dan penghayatan religiusitas dalam keluarga.8 Kendati Gereja Katolik tidak mengenal perceraian, namun tidak bisa dipungkiri bahwa perpisahan juga dialami oleh keluarga-keluarga Katolik.9 Hal inilah yang melatarbelakangi penulisan tesis dan menjadi keprihatinan penulis berkaitan dengan banyaknya kasus yang terjadi dalam hidup berkeluarga. Dalam perjumpaan penulis ketika

7 Komisi Pendampingan Keluarga KAS, Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern, (Yogyakarta:

Penerbit Kanisius, 1994), 13.

8 Kemajuan teknologi dan modernisasi membawa pengaruh negatif sehingga masing-masing sibuk dengan gadget, game, tv dan lainnya sehingga aktivitas rohani seperti doa pribadi, doa bersama, sharing dalam keluarga sering terabaikan.

9 Berdasarkan rekapitulasi data anulasi dari tahun 2002-2017 tercatat ada 264 kasus perkawinan yang masuk ke Tribunal KAS dengan berbagai macam caput nulitatis. Sedangkan kasus yang sudah terselesaikan sejak 1997-2017 terhitung sebanyak 134 perkawinan teranulasi.

(22)

4

berpastoral di Paroki maupun ketika membantu di Tribunal perkawinan, banyak masalah perkawinan dan keluarga yang terjadi. Dan sebagai seorang imam, haruslah membantu dan menyelesaikannya.

Keluarga-keluarga Kristiani hidup di dalam situasi budaya yang mengandung berbagai segi baik positif maupun negatif. Di satu sisi, ada kesadaran akan kebebasan pribadi yang hidup, perhatian yang lebih terhadap relasi interpersonal di dalam perkawinan, usaha-usaha mempromosikan martabat wanita, perhatian terhadap prokreasi yang bertanggung jawab serta pendidikan bagi anak-anak; kesadaran di dalam keluarga-keluarga akan kebutuhan untuk saling bekerja sama mengadakan sharing material maupun spiritual, penemuan kembali misi keluarga di dalam Gereja dan masyarakat.10

Namun di sisi lain, saat ini ada beberapa nilai fundamental kehidupan keluarga sedang dirusak oleh persoalan-persoalan atau masalah-masalah seperti:

adanya konsep salah yang berpendapat bahwa suami-istri masing-masing dapat hidup secara independen; adanya salah paham serius yang mengatakan bahwa orang tua tidak boleh campur tangan terhadap putra-putrinya; adanya orang tua yang mengalami kesulitan di dalam menanamkan nilai-nilai Kristiani kepada anak-anaknya; tumbuhnya banyak perceraian11, aborsi, sterilisasi, dan mentalitas kontraseptis.12

Kesulitan ini semakin dipertajam dengan adanya pandangan yang keliru mengenai cinta. Salah satu pandangan di zaman modern ini adalah kecenderungan

10 J. Hardiwiratno, MSF, Keluarga Bertanggung Jawab, (Jakarta: Penerbit Obor, 1994), 47.

11 Berdasarkan data Puslitbang Kementrian Agama, angka perceraian meningkat sebanyak 59-80

% dalam kurun waktu lima tahun terakhir dan Indonesia menduduki pertingkat tertinggi se-Asia Pasifik dalam kasus perceraian berdasarkan data BKKBN per 2015.

12 J. Hardiwiratno, MSF, 1994, Keluarga Bertanggung Jawab, 47.

(23)

5

untuk menghubungkan cinta dengan seks.13 Kata bercinta (making love) berarti

“melakukan hubungan seksual” sehingga mencintai mempunyai konotasi yang menjurus pada hubungan seksual. Cinta direduksi menjadi hubungan seks belaka.

Akibatnya jika hubungan seksual terganggu atau salah satu pihak tidak mau melayani, maka dianggap tidak mencintai pasangannya. Atau untuk membuktikan cintanya, orang harus berhubungan seksual lebih dulu. Cinta hanya dipandang sebagai suatu tindakan seksual saja. Pandangan lainnya tentang cinta yang juga sering menyesatkan adalah: cinta merupakan perasaan romantis saja.14 Perasaan romantis yang hanya didasari dari ketertarikan fisik semata ketika awal-awal jatuh cinta. Akibatnya jika sudah tidak menarik, maka perasaan itu pun bisa hilang seiring dengan waktu. Maka orang hanya jatuh pada perasaan eros saja, padahal cinta sejati harus melangkah lebih dalam dari perasaan romantis, yakni komitmen dan kesetiaan.

Hidup dalam keadaan dan pandangan yang keliru seperti itu tentunya dapat terjadi bahwa nilai-nilai keluarga dikaburkan. Hal itu terlihat dengan adanya banyak perceraian dan remarried. Pada umumnya dalam remarried, langkah yang ditempuh adalah menikah lagi namun hanya secara sipil saja karena Gereja Katolik tidak memperbolehkan perceraian.15

Landasan Teori

1.1.1. Ajaran Familiaris Consortio

Lahirnya Familiaris Consortio tidak bisa dilepaskan dari kepedulian pribadi Paus Yohanes Paulus II terhadap masalah keluarga. Sinode Para Uskup

13 PD. Widharsana, Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, (Malang: Penerbit Dioma, 1990), 21.

14 Ibid, 22.

15 J. Hardiwiratno, MSF, Keluarga Bertanggung Jawab, 48.

(24)

6

yang kelima yang dilaksanakan di Roma menjadi latar belakang Familiaris Consortio. Sinode itu dilaksanakan dari tanggal 26 September sampai 25 Oktober 1980.16 Sinode ini diikuti oleh 148 Uskup dari seluruh dunia dan 68 peserta yang diundang secara resmi. Dalam sinode ini dibicarakan tema yang diusulkan oleh Paus sendiri yakni “Peran Keluarga Kristiani dalam Dunia Modern”.

Familiaris Consortio merupakan dokumen paling panjang yang dikeluarkan oleh Paus Yohanes Paulus II yang membicarakan masalah perkawinan dan keluarga. Hal ini memperlihatkan betapa besarnya perhatian Gereja terhadap masalah ini. Keluarga adalah inti peradaban dan perkawinan adalah fondasi yang diatasnya semua dibangun karena itu kekuatan masyarakat terletak pada kekuatan kekuatan perkawinan dan keluarga. Namun juga disadari baik perkawinan maupun keluarga tidak kebal dari bahaya dan ancaman serius baik dari dalam maupun dari luar. Karena itu keluarga sebagai struktur vital harus betul-betul dijaga.

Dalam Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II menegaskan bahwa tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, tumbuh dan menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi.17 Dengan kata lain, Paus Yohanes Paulus II ingin mengatakan bahwa dalam keluarga, cinta menjadi dasar esensial bagi keluarga.

Maka pertama-tama harus didasarkan pada cinta kasih agar keluarga dapat hidup dan berkembang. Paus Yohanes Paulus II berharap agar keluarga-keluarga modern kembali pada hakekatnya untuk menjaga, mengungkapkan dan menyalurkan cinta kasih.

16 Familiaris Consortio, art. 2.

17 Familiaris Consortio, art. 18.

(25)

7

Pada bagian penutup Familiaris Consortio, Paus Yohanes Paulus II menyatakan “masa depan umat manusia terwujudkan melalui keluarga”18. Karenanya Paus Yohanes Paulus II menghimbau kepada setiap pribadi untuk berusaha menyelamatkan dan memupuk nilai-nilai keluarga. Selanjutnya Paus Yohanes Paulus II juga menghendaki agar kita semua memperlihatkan cinta kasih yang istimewa terhadap keluarga dengan tindakan-tindakan konkret, yakni mengenali bahaya yang mengancam keluarga dan menciptakan lingkungan yang mengembangkan hidup berkeluarga. Dengan begitu, keluarga-keluarga Kristiani diutus untuk mewartakan kabar baik tentang keluarga.

1.1.2. Ajaran Amoris Laetitia

Dalam Amoris Laetitia, Paus Fransiskus membahas berbagai persoalan perkawinan dan lebih dari itu, juga dibahas perspektif pastoral yang ditujukan untuk pembentukan keluarga yang kokoh dan berhasil berdasarkan rencana Tuhan. Bahasan ini menggunakan hasil akhir dari dua Sinode dan katekese Paus Fransiskus dan Paus Yohanes Paulus II. Paus Fransiskus menegaskan bahwa keluarga tidak hanya menerima Injil, tetapi juga harus memberitakan Injil dan Sukacita kasih yang dialami keluarga merupakan sukacita Gereja juga.19 Bagian yang juga baru dan penting adalah mengenai orang-orang yang ditinggalkan, terpisah dan cerai. Terhadap persoalan hidup macam itu, Paus Frasiskus menekankan cinta kasih sebagai dasar hidup berkeluarga. Cinta adalah pemberian dan penerimaan diri satu sama lain tanpa pamrih. Mendasarkan diri pada pendapat

18 Familiaris Consortio, art. 86.

19 Amoris Laetitia, art. 1.

(26)

8

Santo Paulus dalam 1 Kor 13, Paus Fransiskus mengarahkan keluarga-keluarga Kristen agar membangun hidup berkeluarganya dalam kasih yang mendewasakan.

Selain itu, Paus Fransiskus mengingatkan akan perlunya menumbuhkan sukacita kasih. Karena dengan sukacita kasih di dalam keluarga akan meningkatkan kesenangan dan membantu mengalami kepenuhan dalam banyak hal.20 Pun dalam di situasi yang sakit atau sedih, sukacita itu dapat dialami. Dan didalam keadaan seperti itulah sukacita kasih menjadi lebih besar ketika suami- isteri bersama-sama menghadapinya seperti yang diungkapkan dalam janji perkawinan, dalam suka dan duka, dalam untung dan malang, dalam sehat maupun sakit.

Mengapa sukacita kasih itu perlu ditumbuhkan, Paus Fransiskus mengatakan bahwa kita dibentuk untuk kasih. Lebih lanjut dijelaskan sukacita paling kuat dalam hidup timbul ketika mampu memunculkan sukacita pada sesama.21 Kasih yang dimaksud oleh Paus disini adalah kasih persahabatan, karena kasih persahabatan menyatukan seluruh aspek hidup perkawinan dan membantu anggota keluarga untuk bertumbuh terus menerus. Dan kasih ini haruslah diungkapkan dengan bebas dan murah hati dalam kata-kata dan tindakan.22

Dengan dua anjuran apostolik dari Paus ini ingin mengatakan bahwa keluarga menjadi perhatian Gereja dan langkah-langkah pastoral perlu dilakukan untuk pendampingan keluarga agar keluarga Katolik menghayati cinta kasih sebagai dasar persatuan mereka. Cita-cita luhur hidup berkeluarga harus

20 Amoris Laetitia, art. 126.

21 Amoris Laetitia, art. 129.

22 Amoris Laetitia, art. 133.

(27)

9

dipertahankan kendati berhadapan dengan banyak tantangan dan perkembangan dunia yang tentu berpengaruh dalam kehidupan berkeluarga.

1.2. Batasan Persoalan

Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia dipilih oleh penulis karena kedua anjuran apostolik ini yang secara khusus berbicara mengenai cinta kasih keluarga. Berbicara mengenai keluarga juga nanti terkait dengan perkawinan.

Maka sulit untuk dilepaskan karena cinta kasih, perkawinan dan keluarga memiliki saling keterkaitan. Memang ada dokumen-dokumen Gereja lain seperti Ensiklik Arcanum Divinae Sapientiae (1880) dan Ensiklik Castii Conubii (1930) yang juga membahas mengenai perkawinan dan cinta kasih suami isteri. Namun dokumen tersebut jauh lebih lama, sementara perkembangan dunia dan permasalahan perkawinan serta hidup keluarga juga terus berkembang sesuai konteks jamannya. Pendapat dalam kedua ensiklik tersebut akan disinggung sedikit dalam pembahasan mengenai perkembangan ajaran mengenai cinta kasih dalam teologi keluarga. Penulis memilih Familiaris Consortio (1981) dan Amoris Laetitia (2016) yang paling relevan dan lengkap untuk diangkat sesuai dengan konteks jaman ini. Penulis juga membatasi hanya pada soal cinta kasih keluarga yang ada dalam dua Anjuran Apostolik tersebut.

Kedua anjuran apostolik ini menjadi penting guna menanggapi tantangan hidup perkawinan dan keluarga agar keluarga-keluarga menyadari perkawinan itu sebagai sesuatu yang suci dan membutuhkan rahmat Allah untuk terus menghidupi kesetiaan hidup perkawinan dan keluarga. Kedua anjuran ini

(28)

10

memberikan pemahaman hidup perkawinan dan keluarga secara lebih mendalam tidak hanya bagi mereka yang akan dan sudah menikah, tetapi juga bagi pelayan pastoral dalam menghadapi situasi permasalahan hidup berkeluarga.

Selain itu juga Familiaris Consortio dipilih oleh penulis karena Familiaris Consortio merupakan suatu gambaran idealisme dalam hidup perkawinan dan keluarga. Sementara di Amoris Laetitia lebih banyak bicara mengenai kenyataan yang ada serta bagaimana pastoral dalam menghadapi kenyataan akan permasalahan yang muncul dalam perkawinan dan keluarga.

1.3. Rumusan Masalah

Dewasa ini permasalahan perkawinan dan keluarga sudah sangat sering dibicarakan. Masalah kesetiaan perkawinan, kecemburuan, kekerasan hingga perceraian terjadi dalam lingkup keluarga inti. Cinta kasih antara suami-isteri mulai luntur dan turut berimbas pada kehidupan keluarga termasuk anak-anak.

Perkawinan yang seharusnya didasari oleh cinta kasih mulai terkikis. Keluarga yang seharusnya menjadi tempat berkembangnya cinta kasih serta memiliki tugas untuk memupuk dan mewartakan cinta kasih mengalami berbagai tantangan.

Maka rumusan masalahnya adalah:

1. Apa itu cinta kasih dan mengapa cinta kasih penting dalam perkawinan dan hidup berkeluarga?

2. Apa yang diajarkan oleh Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia berkaitan dengan cinta kasih?

3. Apa persamaan dan perbedaan dari ajaran cinta kasih dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia?

(29)

11 1.4. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Menggali makna cinta kasih perkawinan dan keluarga serta menegaskan akan pentingnya cinta kasih dalam hidup perkawinan dalam keluarga Kristiani dengan menguraikan ajaran cinta kasih dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia.

2. Melihat persamaan serta perbedaan dari ajaran cinta kasih yang terdapat dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia

3. Tulisan ini juga bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Magister pada program Pasca Sarjana Teologi di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

1.5. Metodologi Penulisan

Penulis menggunakan studi kepustakaan dari berbagai macam sumber bacaan yang berkaitan dengan cinta kasih, keluarga dan perkawinan Katolik.

Sumber utama dari tesis ini adalah Anjuran Apostolik Paus Yohanes Paulus II, Familiaris Consortio (1981) dan Anjuran Apostolik Paus Fransiskus, Amoris Laetitia (2016). Metode yang penulis gunakan adalah dengan metode studi komparasi atau perbandingan antara kedua anjuran Apostolik tersebut.

Apa itu studi komparasi? Studi komparasi atau perbandingan adalah suatu metodologi dari dua atau lebih konsep yang memiliki hubungan logis. Tanpa adanya hubungan logis antarkonsep, tidak mungkin dapat membandingkannya.

Dalam tesis ini konsep yang ingin dikaji adalah konsep cinta kasih dalam

(30)

12

kaitannya dengan keluarga. Tugas pertama dari metode perbandingan ialah mengobservasi persamaan dan perbedaan. Kemudian tugas kedua ialah menanyakan mengapa terdapat persamaan ataupun perbedaan itu. Dan tugas ketiga ialah apa konsekuensi perbedaan yang di observasi itu.23

Maka studi komparasi Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia ini untuk melihat persamaan dan perbedaan mengenai ajaran Gereja secara khusus tentang cinta kasih dalam kaitannya dengan hidup perkawinan dan keluarga. Kemudian setelah melihat persamaan dan perbedaan, penulis mencoba merumuskan konsekuensi dari persamaan atau perbedaan tersebut. Lalu di bagian akhir, penulis member refleksi teologis, sumbangan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia serta catatan kritis.

BAB II

23 Bagong Suyanto dan Sutinah (Ed), Metode Penelitian Sosial: Berbagai Alternatif Pendekatan, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2005), 267.

(31)

13

CINTA KASIH DALAM PERKAWINAN

2.1. Antropologi Perkawinan

Hidup berkeluarga atau hidup perkawinan pertama-tama merupakan realitas sosial dan antropologis. Hidup berkeluarga terjadi dan berlangsung pada semua komunitas masyarakat pada segala bangsa dan budaya. Setiap komunitas masyarakat atau suku bangsa menerima dan mengakui keberadaan perkawinan atau hidup berkeluarga serta mengenakan padanya seperangkat norma, aturan atau hukum. Dengan demikian perkawinan bukanlah lagi sekedar urusan seorang pria dan wanita, tetapi urusan bersama komunitas masyarakat. Dengan kata lain, pada setiap komunitas masyarakat, perkawinan atau keluarga dilembagakan dan karenanya diakui sebagai suatu lembaga.

2.1.1. Pengertian Perkawinan secara umum

Secara umum perkawinan ialah hubungan yang kurang lebih mantap dan stabil antara pria dan wanita, justru sebagai pria dan wanita, jadi hubungan seksual yang oleh masyarakat yang bersangkutan sedikit banyak diatur, diakui,

(32)

14

dilegalisasikan.24 Dalam setiap masyarakat adat, perkawinan yang diterima pada umumnya adalah antara pria dan wanita, dengan demikian tidak ditolerir perkawinan sejenis. Dan hanya melalui perkawinan, pria dan wanita memperoleh status baru dalam masyarakat itu. Maka upacara peresmian perkawinan merupakan suatu upacara inisiasi ke dalam suatu status dan peranan sosial yang baru.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perkawinan di definisikan sebagai perihal (urusan dan sebagainya) atau perkawinan yang sungguh-sungguh dilakukan sesuai dengan cita-cita hidup berumah tangga yang bahagia.25 Sedangkan kata dasarnya sendiri yakni kawin yang berarti membentuk keluarga dengan lawan jenis, bersuami atau beristri. Definisi lain yakni melakukan hubungan seksual atau bersetubuh.

Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perkawinan selalu terkait dengan keluarga, antara pria dan wanita dan terjadi hubungan seksual yang sah26 serta memiliki cita-cita hidup berumah tangga yang bahagia. Setiap perkawinan antara pria dan wanita dalam membentuk rumah tangga atau membangun keluarga tentu memiliki cita-cita yang sama yakni kebahagiaan.

2.1.2. Dasar Perkawinan

24 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1993), 19.

25 Bdk. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka, Jakarta, 1988.

26 Hubungan seksual pria dan wanita yang tidak dalam perkawinan sah dan tidak diakui secara sosial sebagai perkawinan disebut “konkubinat”.

(33)

15

Perkawinan adalah persekutuan hidup antar manusia, pria dan wanita.

Karena itu perkawinan atau hidup berkeluarga itu khas manusia sebagai bagian integral dari keberadaannya sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial.

Perkawinan merupakan peristiwa manusiawi dan berlangsung sepanjang sejarah peradaban manusia. Antropologi budaya sosial melihat bahwa masyarakat menciptakan lembaga perkawinan terutama atas dasar dua pertimbangan berikut:27

 Institusional

Lembaga perkawinan mesti menjamin penerusan teratur seorang individu (biasanya laki-laki) sebagai anggota kelompok tertentu bersama kekayaan ekonomis dan kedudukan serta peranannya dalam masyarakat. Dalam dimensi institusional yang digaris-bawahi adalah segi sosial perkawinan dan seksualitas.

Perkawinan tidak hanya berkenaan dengan mereka yang kawin, tetapi juga dengan masyarakat (famili, marga, dan sebagainya) yang menjadi anggotanya.

 Personal

Sementara dalam segi personal menggaris-bawahi hal yang menyangkut subyeknya yakni mereka yang kawin dan seksualitasnya. Dalam pendekatan personal berperan apa yang dikatakan cinta (eros, amor) yang kemudian menjadi dasar perkawinan. Subyeknya yakni antara pria dan wanita yang saling mencintai.

Alasan inilah yang paling mendasar untuk menikah dimana pria dan wanita saling menyerahkan diri seutuhnya satu sama lain. Cinta tersebut kemudian disatukan/

27 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 28.

(34)

16

dilembagakan lewat ikatan perkawinan yang sah dan pemberian cinta diungkapkan secara khas dalam hubungan seksual.

2.2 Dasar Biblis Perkawinan

Dalam Kitab Suci dapat ditemukan teks-teks yang mendasari lembaga perkawinan baik dalam Kitab Perjanjian Lama maupun dalam Perjanjian Baru.

2.2.1 Perkawinan dalam Perjanjian Lama 2.2.1.1. Perkawinan sebagai Panggilan Ilahi

Dalam Perjanjian Lama, pertama-tama dasar Allah mencipta yakni karena cinta. Allah yang menciptakan manusia karena cinta juga memanggil manusia untuk mencinta.28 Hal ini pertama-tama nampak dalam kisah penciptaan manusia.

Dalam Kejadian dikatakan Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (Kej 1:27). Maka jika Allah adalah cinta (bdk. 1 Yoh 4:8,16), cinta pria dan wanita pun merupakan perwujudan dari hakekat kodrati manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Oleh karena itu pria dan wanita diberkati oleh Allah agar berbuah dan menjadikan mereka mampu menguasai dunia: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan diatas segala binatang merayap di bumi” (Kej 1:29). Dengan kata lain panggilan untuk

28 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 1.

(35)

17

mencintai sudah tertanam dalam hati manusia. Salah satu perwujudannya adalah cinta pria dan wanita dalam ikatan perkawinan.

Cinta pria dan wanita merupakan panggilan ilahi ditegaskan lebih lanjut dalam kisah penciptaan kedua (Kej 2:18-25). Pria dan wanita diciptakan untuk saling melengkapi dan menyempurnakan. Tuhan Allah memberikan manusia seorang penolong yang sepadan (Bdk Kej 2:18). Dan lebih lanjut seorang laki- laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga menjadi satu daging (Bdk Kej 2:24). Dengan ini ditegaskan bahwa cinta pria dan wanita yang tak terpisahkan dalam hidup mereka sebagai suami-isteri merupakan

“panggilan” Allah sejak awal mula dunia agar mereka saling melengkapi dan menyempurnakan.29

Realisasi keserupaan itu terutama dan pertama-tama terwujud dalam kasih (cinta kasih) karena Allah sendiri adalah kasih (1 Yoh.4:16). Jika seluruh eksistensi manusia bersumber pada Allah maka kasih merupakan dimensi esensial bagi hidup dan keberadaan manusia, mengingat manusia adalah “gambar dan rupa Allah”. Redemptor Hominis menegaskan hal itu: “Manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Tanpa cinta manusia tidak dapat memahami dirinya dan hidupnya akan kehilangan makna”30. Karena keserupaannya dengan Allah Pencipta maka mewujudkan kasih merupakan mandat dan panggilan dasar serta inheren pada

29 Ibid., 2.

30 Redemptor Hominis, art. 10.

(36)

18

setiap manusia yang mengalir dari dan bersumber pada keberadaannya sebagai

“gambar dan rupa Allah”31.

Karena panggilan untuk mengasihi itu termasuk dimensi fundamental dan integral dari keberadaan manusia, maka manusia tidak dapat tidak membentuk persekutuan dalam kasih. Mencintai atau mengasihi merupakan tindakan khas manusia, yang menghubungkan dan mempersatukan manusia atau pribadi-pribadi satu sama lain. Kekhasan manusia dibandingkan dengan makhluk ciptaan lain terletak dalam keserupaannya dengan Allah (gambar dan rupa) dan dalam hal mencinta. Martabat pribadi manusia terungkap dan terpenuhi dalam relasi cinta- kasih di mana tidak ada manipulasi serta eksploitasi yang memperalat partner cinta/sesama yang dicintai.

2.2.1.2. Perkawinan di bawah Pengaruh Dosa

Akibat dosa masuk dalam hidup manusia telah mengaburkan hakekat manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Manusia menjadi rapuh dan lemah.

Kemampuan dan kecenderungannya untuk mencintai orang lain dibayangi oleh kemampuan dan kecenderungan untuk mencintai diri sendiri. Oleh karena itu hubungan pria dan wanita ini sejak semula sudah terancam oleh keretakan,

31 “Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupa-Nya sendiri: dengan memanggil manusia menjadi ada melalui cinta kasih, Ia sekaligus memanggil manusia untuk cinta kasih. Allah adalah cinta kasih dan di dalam diri-Nya Ia menghayati misteri persatuan pribadi yang penuh kasih. Dengan menciptakan manusia menurut citra-Nya sendiri dan dengan senantiasa melangsungkan adanya, Allah menuliskan dalam manusia pria dan manusia wanita panggilan, dan dengan demikian kemampuan dan tanggungjawab, untuk mengasihi dan bersatu. Maka dari itu, cinta kasih merupakan panggilan yang asasi danada sejak lahir pada setiap manusia”, Surat Apostolik Familiaris Consortio, Yohanes Paulus II, 1981, No.11.

(37)

19

semangat untuk saling menguasai/ mendominasi, ketidaksetiaan, kecemburuan dan macam-macam perselisihan yang menjurus pada kebencian dan perpecahan.32

Dalam ajaran iman Katolik, kecenderungan tersebut merupakan akibat dari masuknya dosa dalam hidup manusia. Retaknya hubungan manusia dengan Allah (dosa pertama) mengakibatkan retaknya hubungan kodrati pria dan wanita.

Hubungan mereka dikaburkan oleh sikap saling menyalahkan (Kej 3:12), demikian halnya ketertarikan mereka satu sama lain yang merupakan anugerah ilahi (Kej 2:22) dikaburkan oleh kecenderungan mereka untuk saling menguasai dan memuaskan nafsu (Kej 3:16), kesatuan kerja yang dipercayakan Tuhan kepada mereka hancur dan terpecah belah (Kej 3:16-19).

Untuk menyembuhkan itu, pria dan wanita membutuhkan bantuan dan rahmat Allah. Tanpa bantuan ilahi ini, pria dan wanita tidak dapat mewujudkan kesatuan hidup mereka yang telah diciptakan sejak semula. Itulah sebabnya sejak kejatuhan manusia yang pertama itu, Allah telah menjanjikan penebusan bagi manusia. Janji itu adalah “Aku akan mengadakan permusuhan antara engkau dan perempuan ini, antara keturunanmu dan keturunannya… (Bdk Kej 3:15). Dari pernyataan ini jelas bahwa berkat perkawinan yang telah dianugerahkan Allah kepada manusia tidak hangus oleh dosa. Justru lewat perkawinan itulah orang belajar menjauhkan diri dari egoisme dan membuka hati bagi kepentingan orang lain.33

32 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 7.

33 Ibid., 2.

(38)

20

Maka dalam tulisan-tulisan Perjanjian Lama sangat menjunjung martabat perkawinan. Kitab Ruth dan Tobit misalnya memberikan kesaksian mengenai martabat luhur perkawinan dengan menunjuk pada kesetiaan dan kelembutan cinta suami-isteri. Lebih jelas lagi dalam tulisan para nabi yang melihat perjanjian nikah suami-isteri merupakan tipologi dalam perjanjian Allah dengan Israel.

Ketidaksetiaan Israel disebut sebagai “perzinahan” terhadap Yahwe yang selalu setia (Yer 31:3).34

Sedangkan Kidung Agung merupakan kidung cinta manusiawi dalam dimensi keagamaan. Cinta itulah yang harus menjadi landasan kesatuan suami- isteri (dua kekasih) dalam perkawinan; perkawinan lantas menjadi medium untuk menyempurnakan cinta dan menggembirakan/membahagiakan keduanya.

Kesatuan cinta pria dan wanita menjadi simbol kesatuan Allah dengan Israel; sebagaimana Israel adalah milik Allah dan Allah adalah milik Israel, demikian juga suami dan isteri saling memiliki, tanpa saling memanipulasi karena kesatuan itu dilandasi kasih timbal balik.

Perkawinan menurut Kidung Agung merupakan kesatuan pria-wanita atas dasar kasih timbal balik, saling memiliki dan menggembirakan atau membahagiakan keduanya, karena dalam perkawinan itulah kesatuan cinta mereka menjadi sempurna.

34 Ibid., 3.

(39)

21 2.2.2 Perkawinan dalam Perjanjian Baru

2.2.2.1. Ajaran Yesus tentang Perkawinan

Ajaran Yesus tentang perkawinan paling jelas diungkapkan dalam sikapnya terhadap perceraian (Mrk 10:1-12; Mat 19:1-12).

Dalam perikop itu dikisahkan Yesus dihadapkan pada pertanyaan orang- orang Farisi yang mencobainya yakni apakah seorang suami diperbolehkan menceraikan isterinya. Bila Yesus menjawab “boleh”, Ia bisa dituduh sebagai pengajar yang menganjurkan perceraian; namun bila Ia menjawab “tidak boleh”, Ia bisa dituduh melanggar hukum Taurat Musa (Bdk. Ul 24:1-4). Oleh karena itu jawaban Yesus bukan “boleh” atau “tidak boleh”, melainkan Yesus mengajak para pendengarnya untuk kembali kepada kehendak Allah sejak semula.35

Tentu Yesus juga melihat kelemahan manusia akibat dosa, sehingga nampaknya mustahil memenuhi kehendak itu. Akan tetapi kehadiranNya di tengah-tengah manusia memberikan jaminan akan terwujudnya manusia baru yang mendapatkan kekuatan baru untuk melaksanakan kembali kehendak Allah sejak semula itu. Dengan demikian perintah Yesus yang melarang perceraian itu dimengerti sebagai ungkapan Perjanjian Baru yang memungkinkan untuk mewujudkan makna terdalam dalam tata penciptaan dan penebusan, yang didasarkan pada cinta dan kesetiaan.36

35 Ibid., 4.

36 Ibid.

(40)

22

Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan Pencipta demi kebaikan manusia seperti halnya Sabath ditetapkan demi manusia dan bukan sebaliknya.

Larangan perceraian yang dikemukakan Yesus sejalan dengan kehendak Pencipta;

tidak dimaksudkan sebagai penentuan kebenaran hukum, sipil maupun gerejani.

Larangan perceraian adalah terutama melindungi wanita, yang tidak punya kekuatan hukum; perlindungan itu melampaui institusi legal, yang akhirnya memberikan kepada wanita hak menikah lagi. Jika larangan perceraian aslinya hanya tertuju kepada suami, maka Yesus berpihak pada isteri, yang tidak punya perlindungan hukum. Penafsiran Yesus yang ketat atas perkawinan kembali merupakan pernyataan yang melindungi wanita, yang tidak terlindungi dalam hukum perkawinan Yahudi.

2.2.2.2. Tulisan Paulus

Paulus menjabarkan lebih lanjut apa yang telah diajarkan Yesus itu.

Perkawinan mendapatkan wujud baru “dalam Kristus” lewat pembaptisan. Dalam keluargalah hidup Kristiani diuji, sebab disitulah perilaku pria dan wanita sehari- hari, cinta, kesetiaan, penyerahan diri, dan ketaatan kepada Kristus dibuktikan (Kol 3:18-19; 1 Tim 2:8-15; Tit 2:1-6; 1 Ptr 3:1-7). Penjelasan paling penting mengenai keluarga Kristiani terdapat dalam Surat Paulus kepada jemaat di Efesus.

Disitu digambarkan bahwa perjanjian pria dan wanita dalam perkawinan merupakan perwujudan dari perjanjian antara Kristus dan Gereja.37

37 Ibid., 5.

(41)

23

Memang di satu pihak tulisan tersebut menunjuk pada budaya patriarkal yang menempatkan wanita dibawah suami. Akan tetapi di pihak lain dengan jelas ditunjukkan pula pentingnya cinta dan penyerahan diri antara suami-isteri tanpa memperdulikan kedudukan masing-masing (Ef 5;33). Yang paling penting dari tulisan Paulus ini adalah cinta dan kesetiaan suami-isterilah yang merupakan tanda kehadiran cinta dan kesetiaan Kristus terhadap Gereja.

2.3 Ajaran Gereja mengenai Perkawinan

2.3.1 Arti Perkawinan

Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1055 yang merupakan kanon doktrinal mengartikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus) antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.

Definisi ini mempunyai latar belakang pada dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art 48 yang mengartikan perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebagai sebuah contractus (sebuah kontrak) seperti dalam KHK 1917.38

Pandangan ini mengalami pergeseran dari KHK 1917 yang menekankan institusional menuju pada dimensi personal perkawinan. Itulah sebabnya GS 48

38 Rumusan KHK 1917 memandang perkawinan sebagai suatu institusi yang sangat statis yaitu sebagai sebuah kontrak: persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau mengikrarkan sesuatu. Perkawinan merupakan kontrak karena memang merupakan persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita.

(42)

24

mengesampingkan istilah kontrak dan mengangkat istilah kesepakatan perjanjian atau kesepakatan (foedus) untuk mendefinisikan perkawinan:

“Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu….sudah jauh berakar di dalam janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali”.

Sementara arti perkawinan yang dirumuskan Gereja menurut Kitab Suci terutama surat Paulus kepada Efesus adalah perkawinan sebagai sakramen Gereja.

Dengan menyebut perkawinan sebagai sakramen Gereja menunjukkan bahwa perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis menghadirkan hubungan Kristus dengan Gereja, hubungan yang memberikan keselamatan bagi Gereja. Dengan kata lain perjanjian antara kedua mempelai menghadirkan perjanjian baru dan kekal antara Kristus dan Gereja yang ditandai dengan darah Kristus sendiri dan membawa keselamatan Gereja.

Seperti halnya sakramen lainnya, sakramen perkawinan membawa rahmat bagi mereka yang menjalaninya. Ada tiga hal yang bisa disebut sebagai rahmat perkawinan:39

- Pertama, lewat cinta dan kesetiaan mereka, kedua mempelai menghadirkan cinta dan kesetiaan Allah dalam Yesus Kristus

- Kedua, mereka ambil bagian dalam kehidupan ilahi; cinta perkawinan mereka dimasukkan dalam cinta ilahi dan diarahkan serta diperkaya oleh kuasa penebusan Kristus dan karya penyelamatan Gereja. Suami-isteri saling membantu

39 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 7.

(43)

25

untuk mencapai kesucian dalam hidup perkawinan mereka dan dalam membesarkan anak-anak. Apa yang dilakukan suami-isteri bagi pembangunan keluarga diberkati oleh Kristus sendiri.

- Ketiga, perkawinan Kristiani mengingatkan kita akan perkawinan surgawi (eskatologis) yang merupakan sukacita dan pemenuhan segala sesuatu dalam kasih Tuhan (Mrk 2:19-20; Mat 22:1-14; 25:1-13). Dengan kata lain bila suami-isteri sungguh-sungguh menghayati nilai-nilai sakramen perkawinan diberkati dengan kebahagiaan ilahi.

2.3.2 Tujuan Perkawinan

“…dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami- isteri serta kelahiran dan pendidikan anak”.

Kanon 1055§1 ini dengan sederhana menunjukkan adanya 3 tujuan utama perkawinan yakni kesejateraan suami-isteri, prokreasi, dan pendidikan anak.40 Pada dasarnya hubungan cinta suami-isteri yang diwujudkan dalam hubungan seksual mengarah pada kelahiran anak. Anak tidak datang dari luar sebagai suatu tambahan terhadap cinta suami-isteri, melainkan muncul dari jantungnya cinta suami-isteri. Anak merupakan perwujudan nyata dan pemenuhan cinta suami- isteri. Inilah berkat pertama yang diberikan Allah kepada manusia

“Berkembangbiaklah dan bertambah banyak” (Kej 1:28)

40 Bdk, R. Rubiyatmoko, Hukum Perkawinan Katolik, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 2001), 4.

(44)

26

Akan tetapi cinta suami-isteri tidak terbatas pada kelahiran, melainkan berlanjut pada pendidikan anak. Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Dalam arti inilah tugas utama suami-isteri dan keluarga adalah melayani kehidupan. Namun juga perlu disadari bahwa suami-isteri yang tidak dikaruniai anak tidak berarti kehilangan makna perkawinannya. Mereka tetap bisa menghayati hidup secara sungguh-sungguh manusiawi dan kristiani.41

2.3.3 Sifat Hakiki Perkawinan

Kanon 1056: Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

Yang disebut sifat hakiki ialah sifat-sifat esensial/ pokok yang pasti selalu ada dalam setiap perkawinan, termasuk perkawinan sakramen. Sifat-sifat hakiki yang menjadi ciri khas setiap perkawinan ini adalah monogam (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Yang dimaksud dengan monogam atau unitas adalah bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian poligami atau poliandri tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan. 42 Kesatuan suami-isteri ini mempunyai akar dalam kodrat pria dan wanita yang saling melengkapi dan dikembangkan lewat saling berbagi seluruh kehidupan mereka.

41 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 8.

42 Bdk, R. Rubiyatmoko, Hukum Perkawinan Katolik, 5.

(45)

27

Sedangkan yang dimaksudkan dengan “tak terceraikan” atau indissolubilitas adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian.43 Cinta suami-isteri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya, bukan coba-coba atau bersifat sementara.

Yesus sendiri memberi perintah “apa yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia” (Mrk 10:9). Dasar dari kesetiaan seumur hidup ini terletak pada kesetiaan Allah sendiri pada perjanjianNya. Khususnya dalam kesetiaan Kristus yang tak pernah pudar terhadap Gereja. Kesetiaan inilah yang diungkapkan oleh suami-isteri dalam sakramen perkawinan.

2.4. Arti Cinta Kasih

2.4.1. Pengertian umum Cinta Kasih

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali atau sayang benar atau sangat terpikat.44 Kata cinta seringkali di definisikan dengan beragam sehingga tidak ada pengertian yang pasti dan seragam. Dalam bahasa Yunani, terdapat lima istilah dalam mendefinisikan cinta yakni eros, philia, agape, storge, dan xenia. Eros diartikan sebagai cinta pada taraf fisik atau seksual; philia diartikan sebagai cinta pada teman, keluarga atau komunitas;

agape diartikan sebagai cinta yang murni; storge diartikan sebagai cinta alami

43 Ibid., 6.

44 Bdk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta, Balai Pustaka), 1988.

(46)

28

misalnya cinta orang tua kepada anak; dan xenia diartikan sebagai cinta pada keramahan.45

Lebih lanjut eros difinisikan sebagai suatu daya tarik hampir tak tertahan yang secara spontan tidak dicari-cari orang, dialami dan yang menarik diri orang kepada seseorang begitu rupa sehingga ingin menyatu dengannya. Adapun eros seksual adalah eros antara dua pribadi manusia yang jenis kelaminnya berbeda.

Cinta-berahi (eros) perlu dibedakan dengan kasih/ cinta yang murni (agape). Agape itu merupakan suatu daya (ilahi) pada diri orang sendiri (bukan daya tarik pihak obyek tertentu). Daya itu mendorong orang dari dalam untuk melepas dirinya, meskipun yang lain tidak menarik secara spontan. Maka agape itu dapat sepihak, sehingga pada dirinya hanya memberi dan tidak merebut sesuatu bagi dirinya. Meskipun cinta itu memang mau menyatu dengan yang dicinta, namun tidak memasang syarat bahwa yang lain pun mau menyatu.46

2.4.2. Cinta dalam Kitab Suci

2.4.2.1. Seksualitas

Seksualitas dari kata dasar seks berasal dari kata sexus (Latin) yang berarti jenis kelamin. Kata kerja secare yang berarti memotong. Kata ini menggambarkan

45 Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Love, diakses tanggal 12 Februari 2017.

46 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 29.

(47)

29

manusia yang utuh “dipotong” menjadi dua jenis yang saling melengkapi.47 Maka seksualitas mengacu pada kodrat laki-laki dan perempuan untuk bersatu dan saling melengkapi.

Seksualitas manusia dalam Kitab Suci diatur oleh dua macam penetapan.

Ada undang-undang yang mengatur seksualitas dalam rangka lembaga perkawinan. Undang-undang itu mempunyai ciri sosial dan hanya secara tak langsung mendapat ciri etis/ moral. Undang-undang ini menyangkut lembaga perkawinan dan apa yang bersangkutan dengannya. Kemudian ada undang- undang atau peraturan kultis berkaitan dengan ibadah, yakni mengenai tahir dan yang najis.48 Aturan ini tidak mempunyai ciri moral/ etis tetapi lebih pada religius.

Hal yang kultis ini berkaitan dengan seksualitas karena dalam banyak agama bangsa-bangsa, seksualitas mempunyai ciri ilahi dan dapat mengantar orang kepada alam dewata, biasanya dewa-dewi kesuburan. Karena itu seksualitas seringkali digunakan dalam ritual atau ibadah.

Pada dasarnya umat Israel menilai seksualitas secara positif. Dalam kitab kejadian dikatakan Allah menciptakan manusia (tunggal, ayat 26-27a)…laki-laki dan perempuan diciptakan mereka (jamak, ayat 27b). Dibelakang cara bicara itu ingin mengungkapkan pada dasarnya umat manusia adalah satu namun dwi- tunggal sebab ada manusia laki-laki dan manusia perempuan yang bersama-sama membentuk satu umat manusia. Seksualitas merupakan unsur hakiki manusia.49

47 Bdk. A. Heuken SJ, Ensiklopedia Gereja VII, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 260.

48 Undang-undang ini mengatur siapa dan kapan orang boleh atau tidak boleh ikut dalam ibadah.

49 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 53.

(48)

30

Kemudian dalam ayat 28 dikatakan bahwa manusia dwitunggal oleh Allah diberkati. Allah memberikan daya ilahi di dalam umat manusia. Berkat daya ilahi itulah manusia mampu mempertahankan diri dan memperbanyak diri dan dengan begitu menjamin kehadiran Allah Pencipta. Dengan kata lain seksualitas merupakan penyertaan dalam daya pencipta Allah. Maka dalam Kejadian I ini, umat manusia yang dwitunggal berkat seksualitasnya menjadi peserta dalam daya pencipta Allah. Seksualitas adalah suatu yang tidak hanya baik tetapi bahkan sesuatu yang ilahi.50

Dalam bab selanjutnya dalam kitab Kejadian dikisahkan bahwa laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga mereka menjadi satu daging (Kej 2:24). Jika dikatakan laki-laki dan perempuan menjadi

“satu daging”51 maka hal ini berkaitan dengan seksual. Hubungan seksual menghasilkan suatu kesatuan (manusia lahiriah) yang baru. Hal ini diartikan bahwa laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual membentuk suatu entitas baru dan kehilangan entitas individualnya. Seksualitas ini juga terarah pada pembiakan, keturunan.52

Memang Kitab Kejadian tidak secara eksplisit menampakkan unsur cinta.

Namun kesatuan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa cinta tersebut selalu dikaitkan dengan seksualitas.

50 Ibid., 54.

51 “Daging” dalam ideom Yunani berarti seluruh manusia dari segi lahiriahnya dan juga “kerabat”.

52 Ibid., 57.

(49)

31

2.4.2.2. Cinta Allah sebagai Spritualitas Perkawinan

Menurut pandangan Kristiani, cinta Allah yang melatarbelakangi dan mendasari hadirnya kehidupan di dunia. Allah mencipta karena cinta dan memanggil manusia untuk mencinta. Inilah dasar dari perkawinan dan hidup berkeluarga. Kesatuan cinta dalam hidup perkawinan yang melambangkan cinta Allah kepada manusia dan Kristus kepada GerejaNya.

Cinta dalam hidup perkawinan merupakan perwujudan dan penghayatan dari ajaran Kristus sendiri: “Cintailah satu sama lain, seperti Aku mencintaimu.

Kamu pun harus saling mencintai” (Yoh 13:34). Cinta menjadi spiritualitas dan dasar dari perkawinan dan hubungan seksual suami-isteri merupakan tali pengikat dan tanda yang unik untuk cinta mereka itu. Maka anak-anak merupakan buah cinta agar manusia ikut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Mereka dipanggil untuk membuahkan hidup baru di dunia.

Cinta Allah sebagai spritualitas perkawinan itu juga memiliki dua ciri yakni: setia pada satu partner dan setia seumur hidup. Hubungan cinta suami-isteri harus merupakan kesetiaan pada satu partner pertama-tama didasarkan pada nilai pribadi manusia. Sebagai citra Allah, pria dan wanita mempunyai martabat yang sama. Cinta yang sejati hanya terwujud bila orang menjunjung tinggi martabat ini.

Oleh karena itu bila cinta suami-isteri benar-benar dimaksudkan sebagai

Referensi

Dokumen terkait