• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rangkuman Amoris Laetitia

Dalam dokumen CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: (Halaman 113-0)

BAB III. CINTA KASIH PERKAWINAN DALAM FAMILIARIS

3.6. Rangkuman Amoris Laetitia

Amoris Laetitia pertama-tama mengajak untuk merefleksikan cinta kasih secara benar dengan mengacu pada Surat Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus (1 Kor 13:4-7). Dalam hymne Paulus tersebut memuat sifat-sifat cinta kasih sejati:

sabar, murah hati, tidak cemburu, tidak memegahkan diri, tidak pemarah, dst.

Masing-masing sifat cinta kasih sejati itu kemudian dijabarkan satu persatu-satu dengan lebih rinci agar makna cinta kasih yang sering disalahartikan itu dikembalikan pada asalnya.

164 Amoris Laetitia, art. 164.

96

Amoris Laetitia melanjutkan secara lebih khusus berkaitan dengan cinta kasih perkawinan. Cinta kasih perkawinan adalah cinta kasih suami dan isteri, yang disucikan, diperkaya dan diterangi oleh rahmat sakramen perkawinan. Kasih tersebut melambangkan janji yang tak terpatahkan dari Kristus kepada manusia dan sekaligus sebagai simbol kasih Allah kepada manusia.

Cinta kasih perkawinan disebutkan dalam Amoris Laetitia sebagai bentuk persahabatan tertinggi karena didalamnya terdapat sifat-sifat persahabatan yang baik seperti kepedulian, relasi timbal balik, keintiman, kehangatan, stabilitas, dll.

Dalam kasih persahabatan ini diungkapkan dalam janji perkawinan akan komitmen kesetiaan seumur hidup. Kasih persahabatan ini juga disebut sebagai

“nilai agung” karena melihat dan menghargai orang lain bukan dari daya tarik fisik atau psikologis. Inilah yang dalam Amoris Laetitia diajarkan sebagai tranformasi kasih dimana suami atau isteri dalam perjalanan waktu menyadari penampilan fisik akan berubah, namun bukan berarti cinta dan daya tarik terhadap pasangannya memudar. Suami dan isteri tetap mencintai pasangan apa adanya, bukan hanya karena penampilan fisik. Karenanya dibutuhkan usaha terus menerus untuk merawat dan memperbaharui kasih. Dan yang juga penting diajarakan dalam Amoris Laetitia adalah sukacita kasih yang perlu ditumbuhkan. Kendati dalam perjalanan perkawinan seringkali terdapat banyak tantangan dan kesulitan, namun perlu disadari pula bahwa sukacita kasih itu juga bertumbuh melalui rasa sakit dan kepedihan.

Kasih harus diungkapkan dalam kata-kata dan tindakan. Amoris Laetitia memberikan tiga kata penting agar kasih terus bertumbuh yakni, “Silahkan”,

97

“Terima Kasih”, dan “Maaf”. Tiga kata ini penting dalam keluarga agar tercipta damai dan pengampunan, antara suami dengan isteri, antara orangtua dan anak.

Dan yang juga penting ialah perlunya dialog dalam hidup perkawinan dan keluarga.

Sementara dalam tindakan, penyerahan diri timbal balik dan ekslusif serta hubungan seksual merupakan perwujudan kasih khas suami-isteri. Hubungan seksual suami-isteri senantiasa terbuka pada lahirnya anak, karenanya segala bentuk penolakan terhadap kehadiran anak bertentangan dengan ajaran Gereja.

Amoris Laetitia mengatakan seksualitas merupakan hadiah luar biasa untuk makhluk ciptaanNya dan anak adalah anugerah dari Allah. Dengan demikian seksualitas dipahami secara positif, dimana dimensi erotis dari cinta ini sebagai karunia Allah yang memperkaya hubungan suami-isteri. Seksualitas tidak oleh direduksi sebagai pemuas nafsu atau hiburan, melainkan sebagai bahasa interpersonal dan ekspresi cinta suami-isteri.

3.7. Kesimpulan

Ajaran cinta kasih yang termuat dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia memiliki kesamaan dan perbedaan. Namun keduanya merupakan tanggapan atas permasalahan perkawinan dan keluarga yang dihadapi di jaman ini. Permasalahan hidup perkawinan dan keluarga selalu aktual dan kontekstual untuk dibicarakan dan Gereja menanggapinya sebagai salah satu bentuk perhatian dan keprihatinan Gereja akan masalah yang timbul dalam hidup perkawinan dan hidup berkeluarga.

98

Cinta kasih yang ditekankan dalam kedua Anjuran Apostolik ini karena merupakan dasar dalam hidup perkawinan dan keluarga. Cinta kasih tersebut dijelaskan masing-masing dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia.

Kendati belum menyelesaikan semua permasalahan dalam perkawinan namun kiranya dua Anjuran Apostolik ini memberikan pedoman bagi para keluarga, suami-isteri dan calon pasangan yang mempersiapkan diri untuk hidup berkeluarga. Tidak hanya itu, kedua Anjuran Apostolik ini memberikan pedoman juga kepada para imam dalam pastoralnya mendampingi agar hidup perkawinan dan keluarga sesuai dengan kehendak Allah.

Secara singkat jika disimpulkan, cinta kasih menurut Familiaris Consortio adalah hubungan timbal balik antara suami-isteri dengan pemberian diri secara total sehingga membentuk kesatuan antarpribadi (communio personarum) yang bertujuan untuk saling mencintai, membahagiakan, berbagi suka dan duka, saling melengkapi dan menerima. Dengan kata lain kesejahteraan suami-isteri menjadi tujuannya selain kelahiran dan pendidikan anak.

Sementara menurut Amoris Laetitia cinta kasih yakni persatuan suami-isteri sebagai “kesatuan afektif”, rohaniah dan pengorbanan, yang menggabungkan kehangatan persahabatan dan erotis dan bertahan terus setelah perasaan dan gairah berkurang. Hubungan timbal balik antar pasangan menjadi tujuan dari cinta kasih, bukan hanya prokreasi. Disini unsur kasih persahabatan ditekankan sebagai nilai yang agung bahkan dikatakan bahwa perkawinan sendiri adalah bentuk persahabatan tertinggi. Dalam kasih tersebut terdapat sifat-sifat persahabatan yang baik: kepedulian terhadap kebaikan orang lain, sifat timbal

99

balik, keintiman, kehangatan, stabilitas dan kemiripan yang lahir dari kehidupan bersama. Dalam kasih persahabatan juga, suami-isteri melihat dan menghargai pasangannya bukan dengan penampilan fisik. Kendati fisik berubah, namun cinta kasih suami-isteri tidak memudar.

100

BAB IV

Persamaan dan Perbedaan Cinta Kasih Perkawinan Familiaris Consortio dalam Komparasi dengan Amoris Laetitia

4.1. Pengantar Umum

Dalam bab sebelumnya telah diuraikan perihal cinta kasih yang terdapat dalam Anjuran Apostolik Familiaris Consortio dan dilanjutkan dengan uraian cinta kasih dalam Anjuran Apostolik Amoris Laetitia. Paparan pada bab terdahulu tersebut menjadi acuan bagi penulis untuk membandingkan ajaran cinta kasih yang diangkat dalam kedua dokumen Gereja tersebut.

Komparasi ini bersifat terbuka artinya memberikan kebebasan untuk menafsirkan dan menyimpulkan sendiri. Dalam metode komparasi, pertama-tama penulis mencoba untuk memperlihatkan persamaan dari kedua ajaran Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia. Setelah itu mencoba menemukan perbedaannya dan kemudian membuatnya dalam bagan paralelisasi untuk mempermudah dalam menunjukkan persamaan serta perbedaan. Studi komparasi ini bukan bertujuan untuk mempertentangkan kedua Anjuran Apostolik tersebut, apalagi mempertentangkan kedua Paus yang mengeluarkannya. Studi komparasi ini untuk menggali makna cinta kasih serta memahami ajaran cinta kasih secara lebih baik

101

terutama dalam kaitan dengan perkawinan dan hidup berkeluarga. Tentu masing-masing memiliki kekhasan sendiri. Dengan memaparkan persamaan dan perbedaan dari kedua Anjuran Apostolik tersebut, kiranya memperkaya wawasan dan cakrawala akan ajaran cinta kasih yang termuat dalam Familiaris Consortio maupun Amoris Laetitia. Dengan demikian memberi pemahaman yang komprehensif bagi suami-isteri maupun mereka yang mempersiapkan untuk hidup perkawinan dan keluarga.

4.2. Persamaan Cinta Kasih Perkawinan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia

Studi komparatif antara lain berusaha menemukan kesamaan dalam hal yang dibandingkan. Tujuan pemaparan persamaan ini adalah untuk lebih memahami pemikiran masing-masing ajaran.

4.2.1. Panggilan untuk Mencinta

Dalam Kitab Kejadian dikisahkan Allah menciptakan semesta termasuk manusia. Kisah penciptaan manusia ini menjadi awal ajaran Paus Yohanes Paulus II mengenai perkawinan dan keluarga dalam Familiaris Consortio dengan menyatakan bahwa manusia dipanggil untuk mencinta. Dengan jelas Familiaris Consortio mengungkapkan:

“Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya sendiri:

dengan memanggil manusia menjadi ada melalui cinta kasih, Ia sekaligus memanggil manusia untuk cinta kasih. Allah adalah cinta kasih dan di dalam diriNya, Ia menghayati misteri persatuan pribadi yang penuh kasih.

Dengan menciptakan manusia seturut citraNya sendiri dan dengan senantiasa melangsungkan adanya, Allah melukiskan dalam manusia pria dan wanita panggilan dan dengan demikian kemampuan dan tanggung

102

jawab untuk mengasihi dan bersatu. Maka dari itu cinta kasih merupakan panggilan yang asasi dan ada sejak lahir pada setiap manusia.”165

Pernyataan ini ingin menggambarkan keseluruhan isi Familiaris Consortio yakni panggilan untuk cinta kasih, karena Allah sendiri adalah kasih dan manusia adalah citra Allah. Dengan demikian menjadi kodrat manusia yang inheren melekat pada setiap manusia yakni dibentuk karena cinta dan dipanggil untuk mencinta.

Panggilan tersebut dalam Gereja diwujudkan dengan dua cara yakni hidup menikah atau hidup selibat. Keduanya merupakan perwujudan nyata kebenaran yang terdalam tentang manusia, yakni bahwa ia diciptakan menurut gambar Allah.

Manusia bebas memilih cara hidup yang sesuai bagi dirinya sebagai jawaban atas panggilan tersebut. Namun manusia tidak bebas untuk tidak mengasihi dan mengungkung cinta itu untuk dirinya sendiri.166 Dalam Amoris Laetitia dikatakan, hidup selibater, demi kepentingan Gereja atau sesama tetap layak dipuji.167 Hidup selibater merupakan “tanda eskatologis” Kristus yang telah bangkit, sedangkan perkawinan merupakan “tanda historis” Kristus yang hidup di dunia. Baik selibat maupun perkawinan merupakan perwujudan kasih.168

Begitupula dalam Amoris Laetitia, Paus Fransiskus mengutip kembali Kitab Suci untuk menunjukkan bahwa Injil penuh dengan kisah tentang keluarga, kelahiran, cinta dan krisis keluarga.169 Hal ini terlihat diawali kisah Adam dan Hawa (Kej 1) sampai pada pesta perkawinan antara Mempelai wanita dan Anak

165 Familiaris Consortio, art. 11.

166 Bdk, R.F. Morneau, “Familiaris Consortio: Themes and Theses”. 486.

167 Bdk, Amoris Laetitia, art. 158.

168 Bdk, Amoris Laetitia, art. 161.

169 Bdk, Amoris Laetitia, art. 8.

103

Domba (Why 21:2). Dalam Kitab Kejadian Allah menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya. Gambaran Allah disini merujuk pada pasangan pria dan wanita yang saling melengkapi. Pria dan wanita tersebut kemudian bersatu dan mengungkapkan cintanya. Dalam Amoris Laetitia dikatakan demikian:

“Pasangan yang mencintai dan melahirkan kehidupan adalah tanda nyata yang hidup—bukan sekedar berhala seperti bebatuan atau emas yang dilarang dalam sepuluh perintah Allah—yang mampu menyingkapkan Allah Sang Pencipta dan Penyelamat. Atas alasan ini, cinta yang tumbuh subur menjadi simbol dari kehidupan sejati Allah.”170

Cinta menjadi simbol dari kehidupan sejati Allah dan Amoris Laetitia menggambarkan hubungan cinta pasangan seperti misteri Allah sendiri dalam hubungan Trinitas. Allah Tritunggal adalah persatuan cinta antara Bapa, Putera dan Roh Kudus dan keluarga adalah cerminan kehidupannya.

Amoris Laetitia mengutip Homili Paus Yohanes Paulus II dalam Perayaan Ekaristi yang mengatakan “Allah kita dalam misteriNya yang terdalam tidaklah sendiri, tetapi merupakan suatu keluarga karena di dalam diriNya sendiri terdapat sifat kebapakan, anak dan inti dari keluarga ilahi yaitu cinta. Cinta itu dalam keluarga ilahi adalah Roh Kudus.”171

4.2.2. Cinta, Perkawinan dan Seksualitas

Dalam Familiaris Consortio, Ikatan cinta kasih pria dan wanita selaku suami-isteri menjadi gambar dan lambang perjanjian yang menyatukan Allah dan umatNya. Ikatan itu hanya dapat terjadi melalui perkawinan. Dengan perkawinan,

170 Amoris Laetitia, art. 11

171 Homili pada Perayaan Ekaristi di Puebla de los Angeles pada 28 Januari 1979.

104

suami-isteri terikat satu sama lain dalam persekutuan dengan Kristus seumur hidup.

“Perjanjian perkawinan yang dengannya seorang pria dan seorang wanita membentuk persekutuan hidup dan cinta kasih yang mesra, diciptakan oleh Khalik dan dilengkapi dengan hukum tersendiri. Berdasarkan ciri kodratnya perjanjian ini diarahkan kepada kesejahteraan suami-isteri serta prokreasi dan pendidikan anak. Perjanjian antara umat yang telah dibaptis ditingkatkan oleh Kristus Tuhan ke martabat Sakramen”172

Konsekuensi dari persekutuan suami-isteri itu bahwa suami-isteri dari kodratnya menuntut kesatuan dan sifat yang tidak bisa diceraikan dari persekutuan mereka. “Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah tidak boleh diceraikan oleh manusia.” (Mat 19:6).

Mereka dituntut setia mutlak untuk hidup dengan pasangan yang satu dan sama seumur hidup. Melalui perkawinan inilah cinta kasih sejati suami-isteri ditampung dalam cinta ilahi, dibimbing serta diperkaya berkat daya penebusan Kristus serta kegiatan Gereja yang menyelamatkan, supaya suami-isteri diantar menuju Allah.173

Familiaris Consortio membahasakan persatuan suami-isteri sebagai kesatuan antar pribadi (communio personarum).174 Kesatuan antar pribadi ini bertujuan untuk saling mencintai, membahagiakan, berbagi suka dan duka, saling melengkapi dan menerima. Senada dengan Familiaris Consortio, hal yang sama juga terdapat dalam Amoris Laetitia. Amoris Laetitia juga menekankan kesatuan antar pribadi suami-isteri dengan kesatuan afektif dimana semua unsur yang ada

172 KGK 1660.

173 Bdk, Gaudium et Spess, art. 48.

174 Bdk, Familiaris Consortio, art. 18.

105

dalam masing-masing pribadi termuat di dalam kesatuan tersebut, totalitas dan tanpa syarat. Maka Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia sama-sama melihat perkawinan sebagai kesatuan suami-isteri dalam cinta yang timbal balik, eksklusif dan tanpa syarat.

Tujuannya perkawinan dalam Familiaris Consortio adalah prokreasi dan kesejahteraan suami-isteri (bonum coniugum). Kesejahteraan itu meliputi pelbagai aspek misalnya terpenuhinya kebutuhan ekonomi keluarga, kehidupan rumah tangga berjalan dengan baik, cinta kasih suami-isteri tetap terjaga, kebahagiaan dan kedamaian dalam rumah tangga, dan adanya hubungan timbal balik dalam segala hal. Begitupula dalam Amoris Laetitia dimana unsur timbal balik, kesejahteraan/ kebaikan juga menjadi bagian dalam cinta kasih suami isteri selain juga prokreasi.

Cinta kasih suami-isteri itu diikat dalam perkawinan dan perkawinan tidak lepas dari tindakan ekslusif dan khas suami-isteri dalam mengungkapkan cinta yakni hubungan seksual. Seksualitas baik dalam Familiaris Consortio maupun Amoris Laetitia sama-sama memandangnya sebagai suatu hal yang baik, berharga dan suci. Seksualitas merupakan upaya untuk saling menyerahkan diri melalui tindakan yang khas dan ekslusif dan merupakan unsur integral dalam cinta kasih bila pria dan wanita saling menyerahkan diri sepenuhnya seumur hidup. Dalam Familiaris Consortio dikatakan:

“Seksualitas yang menjadi sarana pria dan wanita saling memberikan diri dengan perbuatan yang khusus dan eksklusif untuk pasangan suami-isteri, sama sekali bukanlah sesuatu yang biologis semata-mata melainkan

106

sesuatu yang menyangkut inti pribadi manusia sebagai manusia.

Seksualitas terwujud secara manusiawi sungguh-sungguh jika merupakan bagian integral dari cinta kasih seorang pria dan wanita yang saling mengikat diri secara utuh-menyeluruh untuk hidup semati. Penyerahan diri menyeluruh secara jasmani hanyalah kebohongan belaka jika tidak merupakan tanda dan buah penyerahan diri menyeluruh secara pribadi yang menghadirkan atau melibatkan seluruh pribadi manusia termasuk mantra duniawinya: jikalau manusia itu menahan sesuatu atau tetap memiliki kemungkinan untuk mengambil keputusan lain pada masa yang akan datang, dengan berbuat demikian ia tidaklah memberi diri secara utuh”.175

Seksualitas dipahami sebagai sarana pria dan wanita untuk saling memberikan diri secara eksklusif. Karena menyangkut keseluruhan hidup manusia, maka Gereja sangat memperhatikan masalah seksualitas khususnya dalam perkawinan. Gereja menyadari bahwa penyalahgunaan seksualitas menghancurkan pribadi manusia yang bisa berakhir pada kematian. 176

Untuk menghayati seksualitas yang selaras dengan rencana Allah sebagai tanda cinta kasih Kristus kepada GerejaNya, suami dan isteri membutuhkan karunia Roh.177 Karunia roh ini adalah rahmat dari Sakramen Perkawinan. Namun rahmat ini juga butuh perjuangan dengan kegigihan, kesabaran, kerendahan hati dan kekuatan budi, kepercayaan sebagai anak kepada Allah dan rahmatNya, doa sesering mungkin dan penerimaan sakramen Ekaristi dan tobat.178

Selain itu, Familiaris Consortio juga mengingatkan akan pentingnya pendidikan seksual sejak dini bagi anak-anak. Orangtua mempunyai kewajiban untuk memberikan pendidikan seks yang jelas dan halus kepada anak-anak

175 Familiaris Consortio, art. 11.

176 Bdk. R.F. Morneau, “Familiaris Consortio: Themes and Theses”, 488.

177 Bdk, Familiaris Consortio, art. 33.

178 Bdk, Familiaris Consortio, art. 33.

107

mereka. Pendidikan seks yang dimaksud adalah yang benar-benar dan sepenuhnya bersifat pribadi yaitu seksualitas yang memperkaya seluruh pribadi manusia – tubuh, emosi, dan jiwa—dan memperlihatkan maknanya yang paling mendalam dalam membimbing pibadi itu kearah pemberian diri dalam cinta kasih.179

Orang tua harus memperhatikan dengan sungguh agar pendidikan seks membawa anak-anak menuju pengetahuan dan penghormatan pada kaidah-kaidah moral sebagai jaminan yang perlu dan sangat berharga untuk pertumbuhan pribadi yang bertanggung jawab dalam bidang seksualitas manusia.180 Karenanya orangtua juga harus menjauhkan anak-anak dari informasi seks yang tersebar luas baik media cetak maupun elektronik.

Hal yang sama juga ada pada Amoris Laetitia yang memandang seksualitas dengan positif yakni sebagai hadiah luar biasa untuk dari Allah untuk makhluk ciptaanNya.181 Keinginan seksual bukanlah sesuatu yang dipandang rendah, sebaliknya harus dilihat sebagai karunia Allah yang memperkaya hubungan suami-isteri. Amoris Laetitia merumuskan seksualitas demikian:

“Seksualitas itu bukan alat pemuasan atau hiburan; seksualitas adalah bahasa interpersonal (hubungan antar pribadi) dimana pihak lain ditanggapi dengan serius dalam martabatnya yang suci dan mulia.”182 Seksualitas disini dipahami sebagai bahasa interpersonal suami-isteri dalam perkawinan. Amoris Laetitia juga mengajarkan seks harus dibedakan dari kasih; karena hubungan seks tidaklah selalu merupakan ungkapan kasih. Hal ini

179 Bdk, Familiaris Consortio, art. 37.

180 Bdk, Familiaris Consortio, art. 37.

181 Bdk, Amoris Laetitia, art. 150.

182 Amoris Laetitia, art. 152.

108

nampak dengan adanya seks bebas, adanya PIL (Pria Idaman Lain) atau WIL (Wanita Idaman Lain), prostitusi yang melihat seks sebagai pemuasan dan hiburan. Amoris Laetitia melihat situasi sekarang ini, seksualitas beresiko diracuni oleh mentalitas “pakai dan buang”. Tubuh pihak lain sering dipandang sebagai obyek sejauh tubuh itu menawarkan kepuasan dan dibuang setelah tidak menarik.183

Perlu diingat juga bahwa dalam hubungan seksual juga tidak boleh merendahkan martabat manusia. Maka segala tindakan pemaksaan, dominasi, kekerasan seksual, penyimpangan seksual, pemerkosaan adalah bentuk perendahan martabat pasangan. Karena seks adalah suci dan merupakan bahasa interpersonal pasangan, hendaknya pasangan membicarakan dan menghargai keinginan dari pasangannya. Disini komunikasi antar pasangan dibutuhkan.

Pendidikan seks juga dibutuhkan untuk anak-anak tetapi porsi pengetahuan mereka hendaknya sesuai dengan usia mereka. Namun seringkali pendidikan seks terutama mengurusi “proteksi” melalui praktek “seks yang aman”. Ungkapan ini mencerminkan sikap yang negatif dari seksualitas, seolah-olah anak yang akan hadir merupakan musuh yang harus dicegah kedatangannya.184 Cara berpikir ini merupakan hal yang tidak bertanggungjawab dan akan berakhir pada dorongan untuk memperalat orang lain sebagai saran memuaskan keinginannya.

183 Bdk, Amoris Laetitia, art. 153.

184 Bdk, Amoris Laetitia, art. 283.

109

Pendidikan seks yang penting adalah mengajarkan kepada anak akan sensitifitas terhadap berbagai ekspresi berbeda dari cinta, perhatian, kepedulian timbal balik, rasa hormat penuh cinta dan komunikasi mendalam yang bermakna.

Semua hal ini mempersiapkan anak-anak untuk pemberian diri yang integral dan murah hati.185 Pendidikan seks juga hendaknya memuat sikap hormat terhadap perbedaan kelamin, menghargai seksnya sendiri dan seks orang lain.

4.2.3. Cinta dan Keluarga

Familiaris Consortio berkali-kali menekankan bahwa keluarga harus berdasarkan cinta kasih:

“Hakikat dan peranan keluarga akhirnya mempunyai kekhasan pada cinta kasih. Maka keluarga mempunyai perutusan untuk menjaga, menyatakan dan menyampaikan cinta kasih dan ini merupakan pencerminan hidup dari dan partisipasi nyata dalam kasih Allah kepada bangsa manusia dan kasih Kristus kepada Gereja, mempelainya.”186

“Keluarga yang didasarkan dan dijiwai oleh cinta kasih, merupakan persekutuan pribadi-pribadi: persatuan suami dan isteri, persatuan orangtua dan anak-anak, persatuan sanak saudara…tanpa cinta kasih keluarga tidak dapat hidup, tumbuh dan menyempurnakan diri sebagai persekutuan pribadi.”187

“Cinta kasih yang menjiwai hubungan-hubungan antarpribadi berbagai anggota merupakan kekuatan batin yang membangun dan menjiwai persatuan dan persekutuan keluarga.”188

“Mencintai keluarga berarti menghargai nilai-nilai dan kemampuan-kemampuannya, senantiasa mendukung semua itu. Mencintai keluarga berarti mengenali bahaya-bahaya kejahatan yang mengancamnya agar dapat mengatasinya. Mengasihi keluarga berarti berusaha menciptakan

185 Bdk, Amoris Laetitia, art. 283.

186 Familiaris Consortio, art. 17.

187 Familiaris Consortio, art. 18.

188 Familiaris Consortio, art. 21.

110

bagi keluarga suatu lingkungan hidup yang baik untuk perkembangannya.”189

Kutipan diatas ingin memperlihatkan bahwa keluarga-keluarga didasarkan pada cinta. Cinta menjadi sesuatu yang sangat penting dalam membangun hidup berkeluarga. Tanpa cinta, keluarga tidak akan bisa bertahan lama dan bahkan bisa hancur karena tidak memiliki pondasi yang kuat.

Cinta dalam keluarga antara orangtua dan anak, antar saudara tidak bisa dilepaskan dari cinta yang mendasarinya yakni cinta kasih suami dan isteri. Dalam Familiaris Consortio dikatakan persatuan suami-isteri merupakan landasan pembangunan persatuan keluarga yang lebih luas, persatuan orangtua dan anak-anak, persatuan saudara laki-laki dan saudara perempuan, persatuan sanak saudara dan anggota-anggota yang lain dalam rumah tangga.190 Cinta keluarga memiliki sifat saling meneguhkan. Cinta orangtua kepada anak meneguhkan persatuan diantara sanak saudara dan cinta anak kepada orangtua meneguhkan cinta suami-isteri. Bila cinta antara suami dan isteri mulai pudar dan hambar, cinta di dalam keluarga juga ikut pudar.

Hal yang sama juga termuat dalam Amoris Laetitia yang mengutip dalam beberapa dokumen Gereja untuk menegaskan akan pentingnya cinta kasih dalam perkawinan dan keluarga.

“Pernikahan sebagai sebuah komunitas kehidupan dan cinta, menempatkan cinta pada poros keluarga. Cinta sejati antara suami dan isteri melibatkan saling memberi diri, mencakup dan menyatukan dimensi seksual dan afeksi, sesuai dengan rencana Allah…Oleh RohNya, ia memberikan

189 Familiaris Consortio, art. 86.

190 Familiaris Consortio, art. 21.

111

kepada suami-isteri kemampuan untuk menghidupkan cinta itu, menembus

kepada suami-isteri kemampuan untuk menghidupkan cinta itu, menembus

Dalam dokumen CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: (Halaman 113-0)