• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rangkuman

Dalam dokumen CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: (Halaman 148-0)

BAB IV. PERSAMAAN DAN PERBEDAAN CINTA KASIH

4.6. Rangkuman

Cinta Kasih dalam Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia memiliki kesamaan dan perbedaan seperti telah diuraikan diatas. Dari persamaan dan perbedaan tersebut, ada benang merah yang sama yakni cinta kasih sebagai dasar hidup perkawinan dan keluarga. Dalam Familiaris Consortio dirumuskan persatuan keluarga dan pribadi-pribadi di dalamnya didasarkan pada cinta kasih.

Tanpa cinta tidak mungkin suami-isteri dapat bersatu. Tanpa cinta juga tidak mungkin seorang anak bisa tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Tanpa cinta, juga tidak mungkin pribadi-pribadi di dalamnya dapat hidup bersama dengan penuh kasih.

Senada dengan Familiaris Consortio, Amoris Laetitia juga mengajarkan akan cinta kasih yang menjadi dasar hidup keluarga. Amoris Laetitia mengatakan Pernikahan sebagai sebuah komunitas kehidupan dan cinta, menempatkan cinta pada poros keluarga. Dalam cinta tersebut melibatkan saling memberi diri, mencakup dan menyatukan dimensi seksual dan afeksi, sesuai dengan rencana Allah.

Cinta kasih tersebut terwujud sepenuhnya dalam hidup perkawinan suami-isteri, dalam pemberian diri timbal balik secara ekskusif—termasuk seksualitas sebagai salah satu ungkapan cinta—dan dalam hidup keluarga antara suami

131

dengan istri, antara orangtua dan anak, dan antar saudara. Cinta kasih suami-isteri (cinta kasih orangtua) merupakan sumber dan prinsip yang menjiwa cinta dalam keluarga. Cinta kasih juga yang mengarahkan orang tua mendidik anak dengan nilai-nilai keramahan, ketabahan, kebaikan hati, pengabdian, sikap tanpa pamrih, dan pengorbanan diri yang merupakan buah cinta yang paling berharga.

132

BAB V PENUTUP

5.1. Refleksi Teologis Akan Cinta Kasih Perkawinan

Cinta Kasih, salah satu hal yang tidak bisa lepas dari kehidupan manusia.

Mencintai dan dicintai adalah sebuah kebutuhan karena manusia tidak dapat hidup tanpa cinta. Cinta kasih menjadi dasar hubungan baik universal maupun cinta eksklusif dalam perkawinan suami-isteri. Perintah untuk saling mencintai dan mengasihi merupakan perintah Allah sendiri kepada manusia. Sedangkan cinta kasih yang ekslusif antara pria dan wanita diikat dalam perkawinan yang sah.

Tindakan khas sebagai perwujudan cinta kasih suami-isteri sebagai satu kesatuan dilambangkan dengan hubungan seksual dan anak yang dilahirkan merupakan buah cinta suami-isteri.

Kekuatan cinta tidak diragukan lagi, dimana kekuatannya diibaratkan seperti nyala api Tuhan (Kid 8:6c-7a), Cinta bertujuan untuk menyatukan seseorang dengan yang lainnya, bukan hanya tubuh/ jasmaniah tetapi jiwa dan pikiran. (Kej 2:23-24, 1 Sam 18:1). Cinta adalah suatu perasaan yang suci dan murni, tidak dapat dipaksakan (Kid 2:7; 3:5; 8:4), dan bukan pula barang yang bisa diperjual-belikan, baik dengan materi, jabatan, maupun status sosial (Kid 8:7b).

Dalam Teologi Kristiani kita mengetahui bahwa cinta Allah yang

133

melatarbelakangi dan mendasari hadirnya kehidupan di dunia. Allah mencipta karena cinta dan memanggil manusia juga untuk mencinta. Inilah dasar dari persatuan pria dan wanita dalam perkawinan dan membentuk hidup berkeluarga.

Kesatuan cinta dalam hidup perkawinan yang melambangkan cinta Allah kepada manusia dan Kristus kepada GerejaNya.

Dalam Perjanjian Lama, pertama-tama yang perlu digarisbawahi adalah dasar Allah mencipta yakni karena cinta. Allah yang menciptakan manusia karena cinta juga memanggil manusia untuk mencinta.223 Hal ini nampak jelas dalam kisah penciptaan manusia. Dalam Kitab Kejadian dikatakan Allah menciptakan manusia, Ia menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya (Kej 1:27). Cinta pria dan wanita pun merupakan perwujudan dari hakekat kodrati manusia sebagai gambar dan rupa Allah. Oleh karena itu pria dan wanita diberkati oleh Allah agar berbuah dan menjadikan mereka mampu menguasai dunia: “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan diatas segala binatang merayap di bumi” (Kej 1:29). Dengan kata lain panggilan untuk mencintai sudah tertanam dalam hati manusia.

Cinta dalam hidup perkawinan merupakan perwujudan dan penghayatan dari ajaran Kristus sendiri: “Cintailah satu sama lain, seperti Aku mencintaimu.

Kamu pun harus saling mencintai” (Yoh 13:34). Cinta menjadi spiritualitas dan dasar dari perkawinan dan hubungan seksual suami-isteri merupakan tali pengikat dan tanda yang unik untuk cinta mereka itu. Hubungan seksual menjadi

223 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, Malang: Penerbit Dioma, 1.

134

perwujudan cinta yang khas dan eksklusif cinta suami-isteri. Maka anak-anak merupakan buah cinta agar manusia ikut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Mereka dipanggil untuk membuahkan hidup baru di dunia.

Cinta Allah sebagai spritualitas perkawinan itu juga memiliki dua ciri yakni: setia pada satu partner dan setia seumur hidup. Hubungan cinta suami-isteri harus merupakan kesetiaan pada satu partner pertama-tama didasarkan pada nilai pribadi manusia. Sebagai citra Allah, pria dan wanita mempunyai martabat yang sama. Cinta yang sejati hanya terwujud bila orang menjunjung tinggi martabat ini.

Oleh karena itu bila cinta suami-isteri benar-benar dimaksudkan sebagai perwujudan cinta sejati ini, dimana suami-isteri saling menyerahkan diri seutuhnya, maka kesetiaan pada satu partner merupakan syarat mutlak. Maka sifat hakiki perkawinan Kristiani adalah monogam dan tak terceraikan.

Familiaris Consortio membahasakan cinta kasih sebagai hubungan timbal balik antara suami-isteri dengan pemberian diri secara total sehingga membentuk kesatuan antarpribadi (communio personarum) yang bertujuan untuk saling mencintai, membahagiakan, berbagi suka dan duka, saling melengkapi dan menerima. Dengan kata lain kesejahteraan suami-isteri menjadi tujuannya selain kelahiran dan pendidikan anak.

Amoris Laetitia membahasakan cinta kasih sebagai persatuan suami-isteri sebagai “kesatuan afektif”, rohaniah dan pengorbanan, yang menggabungkan kehangatan persahabatan dan erotis dan bertahan terus setelah perasaan dan gairah berkurang. Hubungan timbal balik antar pasangan menjadi tujuan dari cinta kasih, bukan hanya prokreasi. Disini unsur kasih persahabatan ditekankan sebagai nilai

135

yang agung bahkan dikatakan bahwa perkawinan sendiri adalah bentuk persahabatan tertinggi. Dalam kasih tersebut terdapat sifat-sifat persahabatan yang baik: kepedulian terhadap kebaikan orang lain, sifat timbal balik, keintiman, kehangatan, stabilitas dan kemiripan yang lahir dari kehidupan bersama. Dalam kasih persahabatan juga, suami-isteri melihat dan menghargai pasangannya bukan dengan penampilan fisik. Kendati fisik berubah, namun cinta kasih suami-isteri tidak memudar.

Penulis melihat dan merefleksikan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia memiliki satu benang merah yang sama yakni berbicara mengenai cinta kasih secara khusus dalam kaitannya dengan perkawinan dan keluarga. Cinta kasih menjadi penting dalam hidup perkawinan dan keluarga. Dalam Familiaris Consortio dirumuskan persatuan keluarga dan pribadi-pribadi di dalamnya didasarkan pada cinta kasih. Tanpa cinta tidak mungkin suami-isteri dapat bersatu.

Tanpa cinta juga tidak mungkin seorang anak bisa tumbuh dan berkembang dalam keluarga. Tanpa cinta, juga tidak mungkin pribadi-pribadi di dalamnya dapat hidup bersama dengan penuh kasih.

Begitupula Amoris Laetitia juga mengajarkan akan cinta kasih yang menjadi dasar hidup keluarga. Amoris Laetitia mengatakan pernikahan sebagai sebuah komunitas kehidupan dan cinta, menempatkan cinta pada poros keluarga.

Dalam cinta tersebut melibatkan saling memberi diri, mencakup dan menyatukan dimensi seksual dan afeksi, sesuai dengan rencana Allah.

Dari Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia bisa disimpulkan bahwa ajaran Gereja mengenai cinta kasih tidaklah berubah. Bersumber dari Kitab Suci

136

baik Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta ajaran-ajaran Gereja, cinta kasih adalah dasar hidup perkawinan dan keluarga. Karenanya cinta kasih itu perlu dirawat dan dipertahankan serta diteruskan kepada anak dalam keluarga.

Namun harus diakui pula bahwa tantangan hidup perkawinan dan keluarga di zaman ini tidaklah mudah. Kompleksitas hidup perkawinan dan keluarga kerapkali membuat cinta yang harusnya tumbuh subur namun malah sebaliknya layu atau bahkan mati. Perkawinan yang merupakan ikatan cinta suami-isteri mengalami banyak tantangan dan banyak pula yang kandas di tengah jalan.

Dengan demikian keluarga yang menjadi sarana untuk menyalurkan cinta kasih antara suami dengan isteri dan antara orangtua dan anak tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Kondisi inilah yang menjadi keprihatinan Gereja dan menjadi realitas yang disadari bahwa kendati cinta kasih menjadi dasar dan perkawinan adalah sesuatu yang suci, namun faktanya yang dicita-citakan itu tidak sesuai dengan yang diharapkan. Gereja menyadarinya dan peduli kepada hidup perkawinan dan keluarga. Dengan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia, Gereja berusaha untuk menanggapi masalah yang ada. Memang terdapat perbedaan persamaan di dalamnya. Namun secara umum, dari keduanya menyajikan inti ajaran yang sama berkaitan dengan perkawinan dan keluarga yakni cinta kasih yang menjadi dasar dan poros dalam kehidupan.

5.2. Sumbangan Familiaris Consortio dan Amoris Laetitia

Setelah melihat perbedaan dan persamaan Familiaris Consortio dan

137

Amoris Laetitia di bab sebelumnya, pada bab ini sebagai penutup akan membahas sumbangan kedua Anjuran Apostolik tersebut dalam kaitannya dengan hidup perkawinan dan keluarga. Familiaris Consortio memang berbicara mengenai peranan keluarga namun di dalamnya juga termuat ajaran cinta kasih dan perkawinan. Sementara Amoris Laetitia sangat jelas sesuai dengan judulnya membahas lebih panjang mengenai cinta kasih perkawinan, keluarga dan pastoral menghadapi berbagai macam persoalan keluarga.

5.2.1. Sumbangan Familiaris Consortio 5.2.1.1. Peranan Cinta Kasih dalam Keluarga

Familiaris Consortio berbicara mengenai peranan keluarga. Peranan keluarga tidak lain dan tidak bukan adalah panggilan yang datang dari Allah sendiri. Setiap keluarga hendaknya menyadari baik martabatnya maupun tanggung jawabnya sebagai keluarga. Karenanya, Paus Yohanes Paulus II menyerukan dalam Familiaris Consortio, Keluarga, jadilah sebagaimana seharusnya!224

Apa artinya menjadi sebagaimana seharusnya? Pertama-tama secara fundamental, keluarga adalah sebagai suatu komunitas hidup dan cinta. Misinya ialah untuk melindungi, menjaga, menyingkapkan dan mengkomunikasikan cinta.

Bilamana semua ini dilakukan di dalam keluarga, itu berarti mewujudkan dan mensharingkan cinta Allah kepada manusia dan cinta Kristus kepada GerejaNya.

Setiap tugas yang dilakukan sebagai suatu keluarga sebenarnya merupakan bagian misi untuk mengkomunikasikan cinta itu.

224 Familiaris Consortio, art. 17.

138

Secara umum, empat peranan keluarga dalam Familiaris Consortio yakni:

1. Membentuk komunitas antarpribadi225

Tugas pertama sebagai keluarga adalah membentuk suatu komunitas pribadi-pribadi: suami, isteri, ayah, ibu, anak-anak, anggota keluarga yang lain. Maka tugas selanjutnya adalah berusaha dan bekerja keras untuk membangun suatu komunitas yang otentik di dalam rumah. Tanpa cinta, keluarga bukanlah suatu komunitas antar pribadi yang real; tanpa cinta, keluarga tidak dapat hidup, tidak dapat tumbuh berkembang dan tidak dapat menyempurnakan diri sendiri sebagai suatu komunitas. Itulah cinta di antara suami-isteri, orangtua-anak, kakak-adik serta dengan anggota keluarga lainnya yang dapat membimbing keluarga kepada suatu communio yang lebih dalam dan intens, Familiaris Consortio membahasakannya dengan communio personarum. Inilah dasar (basis) dan jiwa komunitas keluarga dan perkawinan.

Cinta adalah dasar atau basis yang diatasnya dibangun relasi-relasi keluarga yakni ikatan-ikatan daging dan darah. Tetapi berkat Roh Kudus, ikatan-ikatan ini akan menjadi lebih kaya: cinta antara semua anggota keluarga dapat memberi kekuatan dan hidup yang mendalam sebagai keluarga. Dengan demikian semakin menghayati cinta Kristus kepada Gereja.

2. Mengabdi kehidupan226

225 Familiaris Consortio, art. 18-27.

139

Tugas kedua sebagai keluarga adalah mengabdi kehidupan.

Keluarga menjalankan tugas ini dengan merawat dan mendidik anak-anak. Memberikan hidup kepada individu-individu yang ada karena rencana Allah sendiri merupakan suatu berkat yang fundamental, sebagai suatu tanda cinta dan tanda pemberian diri dalam hidup perkawinan. Meskipun buah cinta suami-isteri bukan hanya kelahiran anak, mengabdi kepada kehidupan tidak hanya menurunkan anak saja melainkan juga membantu agar anak dapat berkembang sebagai anak bermoral dan berspiritual. Maka Familiaris Consortio juga mengajarkan bahwa peranan keluarga sebagai sekolah moral dan sekolah iman.

 Sekolah Iman/ spiritual

Familiaris Consortio mengajarkan tugas mendidik orangtua kepada anak berakar dalam panggilan utama suami-isteri untuk berperanserta dalam karya penciptaan Allah.227 Perutusan mendidik anak meminta orangtua untuk menyampaikan kepada anak-anak mereka semua pokok yang dibutuhkan, supaya anak tahap demi tahap menjadi dewasa kepribadiannya ditinjau sudut Kristen dan Gerejawi. Tidak hanya itu Familiaris Consortio juga meminta kepada para orang tua untuk berusaha menunjukkan kepada anak-anak berkaitan dengan iman dan

226 Familiaris Consortio, art. 28-41.

227 Familiaris Consortio, art. 36.

140

cinta kasih Kristus yang mendalam.228 Dengan demikian tugas orangtua jelas agar mendidik anak-anak mereka supaya semakin berakar dalam iman akan Yesus Kristus yang menciptakan dan menebus, baik dengan ajaran-ajaran maupun dengan tindakan.

Familiaris Consortio mengutip Konsili Vatikan II yang menguraikan isi pendidikan yang mengatakan “pendidikan itu tidak hanya bertujuan pendewasaan pribadi manusia melainkan terutama hendak mencapai kedalaman misteri keselamatan, dari hari ke hari semakin menyadari kurnia iman yang telah mereka terima supaya mereka belajar bersujud kepada Allah Bapa dalam Roh Kebenaran (Yoh 4:23) terutama dalam perayaan liturgi, supaya mereka dibina untuk menghayati hidup mereka sebagai manusia dalam kebenaran dan kekudusan yang sejati (Ef 4:13) dan ikut mengusahakan pertumbuhan Tubuh mistik.”229 Dengan demikian keluarga adalah sekolah Iman yang pertama dan “suatu pendidikan untuk memperkaya kemanusiaan”230 Berbekal pendidikan iman dalam keluarga dan didukung lingkungan yang mendukung, anak akan tetap setia dan bangga serta bersyukur boleh memiliki iman Katolik.

 Sekolah Moral

Tidak hanya mendidik dalam bidang iman/ spiritual, orangtua

228 Familiaris Consortio, art. 39.

229 Gravissiamum Educationis, art. 2.

230 Gaudium et Spes 52,1.

141

juga berperan untuk mendidik anak-anak mereka dalam bidang moral dan nilai-nilai martabat manusia. Penanaman nilai keadilan, kejujuran, cinta kasih pertama-tama tentu dalam keluarga. Familiaris Consortio mengatakan “ditengah aneka kesulitan karya mendidik—dan sekarang ini kesukaran itu sering lebih besar—orangtua harus penuh kepercayaan dan keberanian membina anak-anak mereka mengamalkan nilai-nilai hakiki kehidupan manusiawi.”231 Lebih lanjut dikatakan anak-anak perlu diperkaya bukan hanya kesadaran akan keadilan yang sejati, satu-satunya nilai yang memperbuahkan sikap hormat terhadap martabat pribadi setiap orang, melainkan juga cinta kasih yang sejati, dalam arti minat-perhatian yang tulus serta pengabdian tanpa pamrih terhadap sesama khususnya mereka yang miskin dan terlantar.232

Familiaris Consortio melihat pendidikan dalam keluarga sebagai usaha melestarikan dan menyempurnakan pengabdian kepada kehidupan. Dasar pendidikan dalam keluarga adalah cinta kasih yang menjadi prinsip dan nilai bagi orang tua dalam memberi orientasi, mengilhami dan mengarahkan anak. Orang tua adalah pendidik anak-anak yang pertama dan utama. Tugas orangtua adalah menciptakan atmosfir keluarga sedemikian dijiwai oleh cinta dan hormat kepada Tuhan dan kepada sesama, sehingga anak-anak hidup dan berkembang

231 Familiaris Consortio, art. 37.

232 Ibid.

142

di dalam kondisi atau lingkungan yang secara pribadi dan sosial baik.

Rumah menjadi sekolah pertama bagi anak-anak yang mengajaran nilai-nilai dan norma dalam masyarakat.

Orangtua mendidik anak-anak karena mencintai mereka. Dengan cinta yang sama inilah, orangtua menerima tanggung jawab dengan senang hati, terus menerus, penuh kebaikan, penuh pelayanan tanpa pamrih dan pengorbanan diri. Orangtua juga bertanggungjawab terhadap pendidikan seksualitas dan iman kepada anak-anak.

3. Berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat233

Tugas ketiga adalah ikut ambil bagian dalam membangun masyarakat. Pertama-tama dan secara fundamental, di dalam rumah orangtua mengajarkan kepada anak-anak untuk mensharingkan, dialog dan memberikan pelayanan kepada yang lain. Setelah mereka menjadi dewasa, mereka akan pergi ke dalam dunia dan dengan contoh dalam keluarga tentang respek, keadilan dan cinta bagi orang lain, mereka membantu menciptakan suatu masyarakat yang lebih manusiawi.

Fungsi lain keluarga dalam masyarakat adalah membantu yang miskin dan mereka yang membutuhkan, khususnya dengan mempraktekan keramahan, dengan membuka pintu rumah dan hati kepada orang lain.

Fungsi sosial yang ketiga adalah terlibat di bidang politik.

Keluarga harus menjadi yang pertama memperjuangkan agar

233 Familiaris Consortio, art. 42-48.

143

undang dan pelaku pemerintahan mendukung dan melindungi hak-hak keluarga. Keluarga juga bertanggungjawab atas transformasi masyarakat. Keluarga dan masyarakat hendaknya mempunyai hubungan yang saling mendukung.

Sementara peranan khusus keluarga di dalam masyarakat hendaknya menjadi suatu pelayanan, khususnya pelayanan kepada orang-orang miskin, orang sakit dan terabaikan. para hendaknya mengikuti Yesus Kristus dengan menunjukkan secara khusus kepedulian dan cinta kasih kepada mereka yang lapar, miskin, tua, sakit dan mereka yang tidak mempunyai keluarga.

4. Berpartisipasi dalam hidup dan misi Gereja234

Tugas keluarga yang keempat adalah terlibat di dalam kehidupan menggereja. Keluarga merupakan gambaran yang asali tentang Gereja.

Keluarga juga hendaknya menjadi komunitas yang percaya dan menginjil (artikel 49-54), komunitas di dalam dialog dengan Tuhan (artikel 55-62) dan komunitas di dalam pelayanan kepada umat (artikel 63-64).

Peranan keluarga sebagai komunitas yang percaya dan menginjil terlaksana melalui cara yang khas. Seperti Gereja, kita mendengar dan menerima Sabda Tuhan dan mewartakannya kepada orang lain.

Namun, sebagai pasangan dan orangtua Kristiani, secara khusus menerima kabar baik bahwa kehidupan keluarga dan perkawinan

234 Familiaris Consortio, art. 49-64.

144

diberkati oleh Kristus sendiri. Hanya di dalam iman, keluarga menyadari dengan sukacita bahwa mereka adalah tanda perjanjian cinta antara Tuhan dengan umat manusia dan antara Yesus Kristus dengan Gereja.

Peran dalam mewartakan rencana Tuhan untuk keluarga dimulai dari saat persiapan perkawinan dan dilanjutkan terus melalui seluruh kehidupan. Ketika pasangan mempersiapkan perkawinan, yang bagi mereka merupakan permulaan suatu perjalanan iman, kesempatan baru untuk memperdalam iman yang telah diterimanya dalam baptis.

Upacara perkawinan adalah momentum iman yang mendasar, merupakan pewartaan kabar baik mengenai cinta perkawinan: bahwa pasangan suami-isteri mencerminkan cara Tuhan mencintai kita.

Sesudah perkawinan dilanjutkan pengakuan iman melalui kejadian, problem dan tantangan hidup setiap hari. di dalam segala peristiwa itu, Tuhan menuntut agar cinta kasih suami-isteri merupakan sharing cinta pengorbanan Kristus dan GerejaNya.

Komunitas di dalam dialog dengan Tuhan dilaksanakan melalui sakramen-sakramen, melalui persembahan hidup dan melalui doa.

Pertumbuhan di dalam kesucian secara khusus terlaksana melalui sakramen perkawinan. Cinta perkawinan disucikan melalui dan dalam cinta pengorbanan Yesus Kristus dan rahmat-rahmat Sakramen perkawinan menyertai dalam seluruh hidup.

Para orangtua mempunyai tanggung jawab yang khas yaitu

145

mendidik anak di dalam doa. Contoh hidup orangtua sendiri merupakan cara mendasar untuk mengajar anak-anak. Berdoa dengan mereka akan memberikan kesan indah bagi anak dan pengalaman itu tidak akan pernah hilang di masa yang akan datang. Ada banyak kesempatan untuk bersatu dalam doa: pada saat ulang tahun, sebelum dan sesudah makan, pada saat berpergian, dll. Saat-saat itu merupakan saat dimana Tuhan menyentuh kehidupan keluarga dengan cara khusus. Saat-saat itu adalah untuk berterima kasih, mengucap syukur, memohon dan menyerahkan ke dalam tangan Bapa.

Sedangkan sebagai komunitas yang melayani, sebagai keluarga Kristiani ikut mensharingkan misi dengan melayani yang lain serta membawa mereka kepada Tuhan. Diinspirasikan oleh perintah untuk mencintai sesama, keluarga diminta untuk menerima, hormat dan melayani setiap individu, memandang setiap orang sebagai anak Allah.

Berkat cinta di dalam keluarga, Gereja dapat menampakkan dimensi kehidupan bersama lebih seperti kehidupan cinta kasih di dalam keluarga, membangun bentuk atau relasi lebih manusiawi dan penuh persaudaraan.

Cinta dalam keluarga hendaknya juga meluas keluar lingkup saudara-saudari seiman sehingga setiap orang adalah saudara dan saudari. Karenanya pada keluarga dihimbau agar tidak tertutup pada diri sendiri tetapi terbuka kepada masyarakat.

146 5.2.1.2. Gereja Rumah Tangga

Keluarga Kristiani lebih dari lembaga sosial paling kecil dan mendasar dalam masyarakat. Setiap keluarga Kristiani mendapat sebutan indah, yaitu Gereja rumah tangga (Ecclesia Domestica) atau kadang juga disebut Gereja mini atau kecil. Sebutan ini sudah ada sejak zaman Santo Yohanes Krisostomus pada abad IV. Ia meminta kepada umatnya agar setiap orang menjadikan rumah tangganya sebagai sebuah Gereja. Ajakan ini disambut oleh umatnya dengan gembira, terutama dengan melaksanakannya. Kemudian Konsili Vatikan II menghidupkan kembali gagasan Gereja Rumah Tangga ini (Bdk, LG 11) yang di dukung oleh Yohanes Paulus II dalam Familiaris Consortio (Bdk, FC 21).

Predikat ini tidak terpisahkan dari Sakramen Perkawinan dan Baptis.

Pasangan suami-isteri yang sudah dibaptis saling mengucapkan janji perkawinan, mereka terikat lebih dulu dalam persekutuan dalam Kristus. Cinta mereka sebagai pasangan suami-isteri bukan lagi persekutuan berdua tetapi bertiga bersama Kristus. Tiada perkawinan Kristiani terlepas dari Kristus. Jadi, perkawinan Kristiani yang sakramental itu menyatu dengan Kristus.

Peran keluarga sebagai Gereja rumah tangga memegang banyak peranan, khususnya dalam pendidikan anak. Pertama, keluarga sebagai sekolah beriman.

Dalam keluargalah untuk pertama kali anak belajar, mengenal dan mengalami hidup beriman.235

Orangtua dalam keluarga masing-masing adalah sepasang katekis, pewarta

Orangtua dalam keluarga masing-masing adalah sepasang katekis, pewarta

Dalam dokumen CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: (Halaman 148-0)