• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tulisan Paulus

Dalam dokumen CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: (Halaman 40-0)

BAB II. CINTA KASIH DALAM PERKAWINAN

2.2. Dasar Biblis Perkawinan

2.2.2. Perkawinan dalam Perjanjian Baru

2.2.2.2. Tulisan Paulus

Perkawinan adalah lembaga yang ditetapkan Pencipta demi kebaikan manusia seperti halnya Sabath ditetapkan demi manusia dan bukan sebaliknya.

Larangan perceraian yang dikemukakan Yesus sejalan dengan kehendak Pencipta;

tidak dimaksudkan sebagai penentuan kebenaran hukum, sipil maupun gerejani.

Larangan perceraian adalah terutama melindungi wanita, yang tidak punya kekuatan hukum; perlindungan itu melampaui institusi legal, yang akhirnya memberikan kepada wanita hak menikah lagi. Jika larangan perceraian aslinya hanya tertuju kepada suami, maka Yesus berpihak pada isteri, yang tidak punya perlindungan hukum. Penafsiran Yesus yang ketat atas perkawinan kembali merupakan pernyataan yang melindungi wanita, yang tidak terlindungi dalam hukum perkawinan Yahudi.

2.2.2.2. Tulisan Paulus

Paulus menjabarkan lebih lanjut apa yang telah diajarkan Yesus itu.

Perkawinan mendapatkan wujud baru “dalam Kristus” lewat pembaptisan. Dalam keluargalah hidup Kristiani diuji, sebab disitulah perilaku pria dan wanita sehari-hari, cinta, kesetiaan, penyerahan diri, dan ketaatan kepada Kristus dibuktikan (Kol 3:18-19; 1 Tim 2:8-15; Tit 2:1-6; 1 Ptr 3:1-7). Penjelasan paling penting mengenai keluarga Kristiani terdapat dalam Surat Paulus kepada jemaat di Efesus.

Disitu digambarkan bahwa perjanjian pria dan wanita dalam perkawinan merupakan perwujudan dari perjanjian antara Kristus dan Gereja.37

37 Ibid., 5.

23

Memang di satu pihak tulisan tersebut menunjuk pada budaya patriarkal yang menempatkan wanita dibawah suami. Akan tetapi di pihak lain dengan jelas ditunjukkan pula pentingnya cinta dan penyerahan diri antara suami-isteri tanpa memperdulikan kedudukan masing-masing (Ef 5;33). Yang paling penting dari tulisan Paulus ini adalah cinta dan kesetiaan suami-isterilah yang merupakan tanda kehadiran cinta dan kesetiaan Kristus terhadap Gereja.

2.3 Ajaran Gereja mengenai Perkawinan

2.3.1 Arti Perkawinan

Dalam Kitab Hukum Kanonik Kanon 1055 yang merupakan kanon doktrinal mengartikan perkawinan sebagai sebuah perjanjian (foedus) antara seorang pria dan seorang wanita untuk membentuk kebersamaan seluruh hidup.

Definisi ini mempunyai latar belakang pada dokumen Konsili Vatikan II, Gaudium et Spes art 48 yang mengartikan perkawinan sebagai suatu foedus coniugi (perjanjian nikah) dan bukan lagi sebagai sebuah contractus (sebuah kontrak) seperti dalam KHK 1917.38

Pandangan ini mengalami pergeseran dari KHK 1917 yang menekankan institusional menuju pada dimensi personal perkawinan. Itulah sebabnya GS 48

38 Rumusan KHK 1917 memandang perkawinan sebagai suatu institusi yang sangat statis yaitu sebagai sebuah kontrak: persetujuan antara dua atau beberapa orang yang saling mewajibkan diri untuk memberikan, melakukan atau mengikrarkan sesuatu. Perkawinan merupakan kontrak karena memang merupakan persetujuan bilateral antara seorang pria dan seorang wanita.

24

mengesampingkan istilah kontrak dan mengangkat istilah kesepakatan perjanjian atau kesepakatan (foedus) untuk mendefinisikan perkawinan:

“Persekutuan mesra hidup perkawinan dan cinta itu….sudah jauh berakar di dalam janji perkawinan dengan kesepakatan pribadi yang tidak dapat ditarik kembali”.

Sementara arti perkawinan yang dirumuskan Gereja menurut Kitab Suci terutama surat Paulus kepada Efesus adalah perkawinan sebagai sakramen Gereja.

Dengan menyebut perkawinan sebagai sakramen Gereja menunjukkan bahwa perkawinan antara dua orang yang sudah dibaptis menghadirkan hubungan Kristus dengan Gereja, hubungan yang memberikan keselamatan bagi Gereja. Dengan kata lain perjanjian antara kedua mempelai menghadirkan perjanjian baru dan kekal antara Kristus dan Gereja yang ditandai dengan darah Kristus sendiri dan membawa keselamatan Gereja.

Seperti halnya sakramen lainnya, sakramen perkawinan membawa rahmat bagi mereka yang menjalaninya. Ada tiga hal yang bisa disebut sebagai rahmat perkawinan:39

- Pertama, lewat cinta dan kesetiaan mereka, kedua mempelai menghadirkan cinta dan kesetiaan Allah dalam Yesus Kristus

- Kedua, mereka ambil bagian dalam kehidupan ilahi; cinta perkawinan mereka dimasukkan dalam cinta ilahi dan diarahkan serta diperkaya oleh kuasa penebusan Kristus dan karya penyelamatan Gereja. Suami-isteri saling membantu

39 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 7.

25

untuk mencapai kesucian dalam hidup perkawinan mereka dan dalam membesarkan anak-anak. Apa yang dilakukan suami-isteri bagi pembangunan keluarga diberkati oleh Kristus sendiri.

- Ketiga, perkawinan Kristiani mengingatkan kita akan perkawinan surgawi (eskatologis) yang merupakan sukacita dan pemenuhan segala sesuatu dalam kasih Tuhan (Mrk 2:19-20; Mat 22:1-14; 25:1-13). Dengan kata lain bila suami-isteri sungguh-sungguh menghayati nilai-nilai sakramen perkawinan diberkati dengan kebahagiaan ilahi.

2.3.2 Tujuan Perkawinan

“…dari sifat kodratinya perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-isteri serta kelahiran dan pendidikan anak”.

Kanon 1055§1 ini dengan sederhana menunjukkan adanya 3 tujuan utama perkawinan yakni kesejateraan suami-isteri, prokreasi, dan pendidikan anak.40 Pada dasarnya hubungan cinta suami-isteri yang diwujudkan dalam hubungan seksual mengarah pada kelahiran anak. Anak tidak datang dari luar sebagai suatu tambahan terhadap cinta suami-isteri, melainkan muncul dari jantungnya cinta isteri. Anak merupakan perwujudan nyata dan pemenuhan cinta suami-isteri. Inilah berkat pertama yang diberikan Allah kepada manusia

“Berkembangbiaklah dan bertambah banyak” (Kej 1:28)

40 Bdk, R. Rubiyatmoko, Hukum Perkawinan Katolik, (Yogyakarta: Fakultas Teologi Wedabhakti, 2001), 4.

26

Akan tetapi cinta suami-isteri tidak terbatas pada kelahiran, melainkan berlanjut pada pendidikan anak. Orangtua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak mereka. Dalam arti inilah tugas utama suami-isteri dan keluarga adalah melayani kehidupan. Namun juga perlu disadari bahwa suami-isteri yang tidak dikaruniai anak tidak berarti kehilangan makna perkawinannya. Mereka tetap bisa menghayati hidup secara sungguh-sungguh manusiawi dan kristiani.41

2.3.3 Sifat Hakiki Perkawinan

Kanon 1056: Sifat-sifat hakiki perkawinan ialah monogam dan tak terceraikan, yang dalam perkawinan Kristiani memperoleh kekukuhan khusus atas dasar sakramen.

Yang disebut sifat hakiki ialah sifat-sifat esensial/ pokok yang pasti selalu ada dalam setiap perkawinan, termasuk perkawinan sakramen. Sifat-sifat hakiki yang menjadi ciri khas setiap perkawinan ini adalah monogam (unitas) dan tak terceraikan (indissolubilitas). Yang dimaksud dengan monogam atau unitas adalah bahwa perkawinan hanya sah jika dilaksanakan hanya antara seorang pria dan seorang wanita. Dengan demikian poligami atau poliandri tidak dibenarkan dan tidak diperbolehkan. 42 Kesatuan suami-isteri ini mempunyai akar dalam kodrat pria dan wanita yang saling melengkapi dan dikembangkan lewat saling berbagi seluruh kehidupan mereka.

41 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 8.

42 Bdk, R. Rubiyatmoko, Hukum Perkawinan Katolik, 5.

27

Sedangkan yang dimaksudkan dengan “tak terceraikan” atau indissolubilitas adalah bahwa perkawinan yang telah dilangsungkan secara sah menurut tuntutan hukum, mempunyai akibat tetap dan tidak bisa diceraikan atau diputuskan oleh kuasa manapun kecuali oleh kematian.43 Cinta suami-isteri menuntut kesetiaan sejati dari keduanya, bukan coba-coba atau bersifat sementara.

Yesus sendiri memberi perintah “apa yang dipersatukan Allah, janganlah diceraikan oleh manusia” (Mrk 10:9). Dasar dari kesetiaan seumur hidup ini terletak pada kesetiaan Allah sendiri pada perjanjianNya. Khususnya dalam kesetiaan Kristus yang tak pernah pudar terhadap Gereja. Kesetiaan inilah yang diungkapkan oleh suami-isteri dalam sakramen perkawinan.

2.4. Arti Cinta Kasih

2.4.1. Pengertian umum Cinta Kasih

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta berarti suka sekali atau sayang benar atau sangat terpikat.44 Kata cinta seringkali di definisikan dengan beragam sehingga tidak ada pengertian yang pasti dan seragam. Dalam bahasa Yunani, terdapat lima istilah dalam mendefinisikan cinta yakni eros, philia, agape, storge, dan xenia. Eros diartikan sebagai cinta pada taraf fisik atau seksual; philia diartikan sebagai cinta pada teman, keluarga atau komunitas;

agape diartikan sebagai cinta yang murni; storge diartikan sebagai cinta alami

43 Ibid., 6.

44 Bdk, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, (Jakarta, Balai Pustaka), 1988.

28

misalnya cinta orang tua kepada anak; dan xenia diartikan sebagai cinta pada keramahan.45

Lebih lanjut eros difinisikan sebagai suatu daya tarik hampir tak tertahan yang secara spontan tidak dicari-cari orang, dialami dan yang menarik diri orang kepada seseorang begitu rupa sehingga ingin menyatu dengannya. Adapun eros seksual adalah eros antara dua pribadi manusia yang jenis kelaminnya berbeda.

Cinta-berahi (eros) perlu dibedakan dengan kasih/ cinta yang murni (agape). Agape itu merupakan suatu daya (ilahi) pada diri orang sendiri (bukan daya tarik pihak obyek tertentu). Daya itu mendorong orang dari dalam untuk melepas dirinya, meskipun yang lain tidak menarik secara spontan. Maka agape itu dapat sepihak, sehingga pada dirinya hanya memberi dan tidak merebut sesuatu bagi dirinya. Meskipun cinta itu memang mau menyatu dengan yang dicinta, namun tidak memasang syarat bahwa yang lain pun mau menyatu.46

2.4.2. Cinta dalam Kitab Suci

2.4.2.1. Seksualitas

Seksualitas dari kata dasar seks berasal dari kata sexus (Latin) yang berarti jenis kelamin. Kata kerja secare yang berarti memotong. Kata ini menggambarkan

45 Lih. http://en.wikipedia.org/wiki/Love, diakses tanggal 12 Februari 2017.

46 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 29.

29

manusia yang utuh “dipotong” menjadi dua jenis yang saling melengkapi.47 Maka seksualitas mengacu pada kodrat laki-laki dan perempuan untuk bersatu dan saling melengkapi.

Seksualitas manusia dalam Kitab Suci diatur oleh dua macam penetapan.

Ada undang-undang yang mengatur seksualitas dalam rangka lembaga perkawinan. Undang-undang itu mempunyai ciri sosial dan hanya secara tak langsung mendapat ciri etis/ moral. Undang-undang ini menyangkut lembaga perkawinan dan apa yang bersangkutan dengannya. Kemudian ada undang-undang atau peraturan kultis berkaitan dengan ibadah, yakni mengenai tahir dan yang najis.48 Aturan ini tidak mempunyai ciri moral/ etis tetapi lebih pada religius.

Hal yang kultis ini berkaitan dengan seksualitas karena dalam banyak agama bangsa-bangsa, seksualitas mempunyai ciri ilahi dan dapat mengantar orang kepada alam dewata, biasanya dewa-dewi kesuburan. Karena itu seksualitas seringkali digunakan dalam ritual atau ibadah.

Pada dasarnya umat Israel menilai seksualitas secara positif. Dalam kitab kejadian dikatakan Allah menciptakan manusia (tunggal, ayat 26-27a)…laki-laki dan perempuan diciptakan mereka (jamak, ayat 27b). Dibelakang cara bicara itu ingin mengungkapkan pada dasarnya umat manusia adalah satu namun dwi-tunggal sebab ada manusia laki-laki dan manusia perempuan yang bersama-sama membentuk satu umat manusia. Seksualitas merupakan unsur hakiki manusia.49

47 Bdk. A. Heuken SJ, Ensiklopedia Gereja VII, (Yogyakarta: Kanisius, 2005), 260.

48 Undang-undang ini mengatur siapa dan kapan orang boleh atau tidak boleh ikut dalam ibadah.

49 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 53.

30

Kemudian dalam ayat 28 dikatakan bahwa manusia dwitunggal oleh Allah diberkati. Allah memberikan daya ilahi di dalam umat manusia. Berkat daya ilahi itulah manusia mampu mempertahankan diri dan memperbanyak diri dan dengan begitu menjamin kehadiran Allah Pencipta. Dengan kata lain seksualitas merupakan penyertaan dalam daya pencipta Allah. Maka dalam Kejadian I ini, umat manusia yang dwitunggal berkat seksualitasnya menjadi peserta dalam daya pencipta Allah. Seksualitas adalah suatu yang tidak hanya baik tetapi bahkan sesuatu yang ilahi.50

Dalam bab selanjutnya dalam kitab Kejadian dikisahkan bahwa laki-laki meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan istrinya sehingga mereka menjadi satu daging (Kej 2:24). Jika dikatakan laki-laki dan perempuan menjadi

“satu daging”51 maka hal ini berkaitan dengan seksual. Hubungan seksual menghasilkan suatu kesatuan (manusia lahiriah) yang baru. Hal ini diartikan bahwa laki-laki dan perempuan dalam hubungan seksual membentuk suatu entitas baru dan kehilangan entitas individualnya. Seksualitas ini juga terarah pada pembiakan, keturunan.52

Memang Kitab Kejadian tidak secara eksplisit menampakkan unsur cinta.

Namun kesatuan antara laki-laki dan perempuan menunjukkan bahwa cinta tersebut selalu dikaitkan dengan seksualitas.

50 Ibid., 54.

51 “Daging” dalam ideom Yunani berarti seluruh manusia dari segi lahiriahnya dan juga “kerabat”.

52 Ibid., 57.

31

2.4.2.2. Cinta Allah sebagai Spritualitas Perkawinan

Menurut pandangan Kristiani, cinta Allah yang melatarbelakangi dan mendasari hadirnya kehidupan di dunia. Allah mencipta karena cinta dan memanggil manusia untuk mencinta. Inilah dasar dari perkawinan dan hidup berkeluarga. Kesatuan cinta dalam hidup perkawinan yang melambangkan cinta Allah kepada manusia dan Kristus kepada GerejaNya.

Cinta dalam hidup perkawinan merupakan perwujudan dan penghayatan dari ajaran Kristus sendiri: “Cintailah satu sama lain, seperti Aku mencintaimu.

Kamu pun harus saling mencintai” (Yoh 13:34). Cinta menjadi spiritualitas dan dasar dari perkawinan dan hubungan seksual suami-isteri merupakan tali pengikat dan tanda yang unik untuk cinta mereka itu. Maka anak-anak merupakan buah cinta agar manusia ikut ambil bagian dalam karya penciptaan Allah. Mereka dipanggil untuk membuahkan hidup baru di dunia.

Cinta Allah sebagai spritualitas perkawinan itu juga memiliki dua ciri yakni: setia pada satu partner dan setia seumur hidup. Hubungan cinta suami-isteri harus merupakan kesetiaan pada satu partner pertama-tama didasarkan pada nilai pribadi manusia. Sebagai citra Allah, pria dan wanita mempunyai martabat yang sama. Cinta yang sejati hanya terwujud bila orang menjunjung tinggi martabat ini.

Oleh karena itu bila cinta suami-isteri benar-benar dimaksudkan sebagai

32

perwujudan cinta sejati ini, dimana suami-isteri saling menyerahkan diri seutuhnya, maka kesetiaan pada satu partner merupakan syarat mutlak.53

Penyerahan diri memberi ciri eksklusif pada hubungan suami-isteri.

Suami-isteri membutuhkan rasa aman untuk berkembang dalam cinta eksklusif ini. Rasa aman hanya bisa dicapai bila kesetiaan mereka berdua sungguh-sungguh dijaga dan dilestarikan. Dengan begitu mereka saling membangun kepercayaan dan rasa kesatuan.54 Kiranya pendasaran yang bisa ditambahkan atas kesetiaan ini adalah ajaran Kristus sendiri yang mengandaikan perkawinan monogam, sakramentalitas perkawinan, dimana menunjukkan hubungan kasih Kristus dan GerejaNya.

2.5. Cinta menurut Bapa-Bapa Gereja

Bapa-bapa Gereja hidup dalam pengaruh budaya Yunani dan Romawi.

Pengaruh budaya saat itu menilai negatif berkaitan dengan perkawinan dan seksualitas. Tendensi di abad-abad awal bernada negatif dan termasuk juga Kristianitas saat itu terus sibuk dengan masalah yang sama: kawin atau tidak?

Adakah mereka yang kawin benar-benar orang Kristen.

Penilaian negatif itu juga ditemukan dalam berbagai karangan yang tersebar selama abad-abad awal yang kemudian disebut sebagai kitab apokrif.

Juga ada beberapa tokoh yang menyebarkan penilain negatif, salah satunya adalah

53 P.D. Widharsana Pr, Menghayati Sakramen Perkawinan, 19.

54 Ibid., 20.

33

Tertualianus yang setelah bergabung dengan aliran Montanisme55 menjadi semakin anti seksualitas dan anti perkawinan. Ia menilai perkawinan sebagai malum, jahat meskipun masih juga ditoleransi oleh Paus.56

Aliran Gnosis dalam masyarakat Yunani juga turut menyebar sehingga tendensi negatif terhadap seksualitas tidak pernah benar-benar hilang. Aliran gnosis bercirikan dualisme dan menilai kejasmanian sebagai jahat. Seksualitas dan perkawinan yang melegitimasikanya hanya meneruskan kejasmanian, badan manusia yang menjadi penjara dan belenggu bagi “jiwa”. Karena itu perkawinan paling-paling dapat ditoleransi sebagai minus malum.

Selain Gnosis juga ada mazhab Stoa, yang meluhurkan perkawinan tetapi sangat mencurigai seksualitas. Mazhab Stoa tersebut mengambil gagasan dari neoplatonisme yang cukup berpengaruh. Neoplatonisme menilai dunia jasmani secara agak negatif dan badan manusia termasuk dunia jasmani itu. Menurut pandangan ini yang sejati adalah roh. Kerohanian manusia bersifat ilahi tetapi tertangkap dalam kejasmanian, terjerat oleh nafsu badan. Maka penting untuk melepaskan diri dari badan khususnya dorongan seksual yang paling mengeruhkan roh manusia.

Gnosis, Stoa, Platonis melihat seksual sebagai daya destruktif yang merusak keutuhan manusia dan berlawanan dengan “yang ilahi” dalam manusia.

55 Aliran Montanisme muncul pada akhir abad ke-2 dengan Montanus sebagai pelopor gerakan ini yang mendaku diilhami Roh Kudus. Aliran ini tercerai berai abad ke-4 dan diperangi oleh Kaisar Arcadius (398).

56 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 152.

34

Sikap negatif terhadap seksualitas tampil juga dengan dihidupkannya kembali pendekatan kultis seperti ditemukan dalam Perjanjian Lama (Bdk Im 15). Semua gejala seksual, yang normal atau tidak normal “menajiskan” orang sehingga orang mesti ditahirkan dahulu sebelum mendekati “yang kudus”. Pada umat Kristen menjadi suatu adat yang dianggap kurang lebih wajib dan bertahan lama sekali bahwa suami-isteri yang bersenggama beberapa lamanya sebaiknya tidak menyambut komuni suci, ikut serta dalam perayaan liturgis besar, bahkan masuk Gereja dianggap kurang tepat. Pendekatan semacam ini sudah ditemukan pada tulisan bapa-bapa Gereja seperti Origenes (Hom 6 in Num 3), Agustinus (Sermo 116), Gregorius Agung (Dialogi I,10), Caesarius, Uskup Arles (Sermo 13,3; 73,4).

Dan diteruskan oleh Bonaventura (IV Sent 32,3,2), serta Thomas Aquinas (Sum.

Theol. Supplementum 64,7-8)57

2.5.1. Zaman Skolastik

Pada zaman skolastik ada dua aliran yang bergejolak yakni tradisional yang dipengaruhi oleh pemikiran Plato yang bersifat intuitif, holistik, mistik, simbolis dan kurang rasionalis. Sebaliknya aliran baru yang dipengaruhi oleh Aristoteles yang lebih rasionalis, analitis dan menjunjung tinggi otonomi daya pikir manusia. Karenanya pada masa itu filsafat dan teologi berkembang pesat.

Perkembangan ini turut mempengaruhi perkembangan pemahaman tentang

57 Ibid., 159.

35

perkawinan. Muncul tokoh skolastik yang sangat berpengaruh seperti Bonaventura dan Thomas Aquinas dengan karyanya Summa Theologica.

Bonaventura dan Thomas Aquinas tidak menyajikan banyak pikiran yang baru tentang perkawinan. Mereka menyaring dari berbagai macam tradisi lalu menggabungkannya. Bonaventura meneruskan Agustinus, tetapi terpengaruh oleh filsafat Aristoteles dan oleh “teologi baru” di zamannya. Sementara Thomas menggabungkan tradisi yang kurang lebih sama dengan filsafat Aristoteles.

Filsafat itu khususnya mempengaruhi pemikiran Thomas mengenai sakramen-sakramen termasuk perkawinan.

Thomas mengangkat kembali gagasan Hugo dari San Vittore mengenai perkawinan yang menguduskan. Kendati pada masa itu para teolog segan menyamakan sakramen perkawinan dengan sakramen-sakramen lain. Tetapi Thomas melanjutkan serta mengembangkan pemikiran Hugo dengan menganggap perkawinan sebagai sakramen sama dengan sakramen lainnya. Sakramen bagi Thomas tidak hanya tanda hal yang suci, tetapi juga sebab rahmat aktual yang berpancar dari hal yang suci yaitu penderitaan Kristus. Maka definisi sakramen mesti juga memuat bahwa menyebabkan rahmat. Oleh karena perkawinan sebuah sakramen, maka sakramen ini pun mesti menyebabkan rahmat. Thomas menolak pendapat bawa sakramen perkawinan terletak dalam pemberkatan oleh imam. Ia pun menolak pendapat yang menilai perkawinan sebagai “remedium concupiscentiae” (pengobatan syahwat yang tak terkendali). Perkawinan itu

36

membawa rahmat positif, yakni rahmat yang menolong orang untuk melakukan yang baik dalam perkawinan.58

Pada abad ini, perkawinan Kristen semakin mendapat arti penting.

Perlahan perkawinan dipandang sebagai sebuah sakramen yang memberi rahmat.

Hal penting lain yang berkembang pada masa ini adalah tujuan perkawinan.

Muncul pandangan tentang tujuan perkawinan antara lain keturunan, pendidikan anak, pengaturan nafsu seksual, pembentukan kesatuan jiwa suami-isteri dalam cinta kasih Allah yang saling membantu.

2.5.2. Konsili Trente

Pada masa ini muncul tokoh reformator yang mengkritik praktik Gereja termasuk juga masalah perkawinan. Praktiklah yang menjadi sasaran kritik, bukan pertama-tama pada ajaran. Menurut para reformator, pemimpin Gereja tidak mempunyai wewenang turun tangan dalam urusan perkawinan orang beriman, sebab perkawinan memang suatu perkara sekular, duniawi. Maka seluruh hukum gereja yang serba ketat mengenai perkawinan dinilai sebagai penyalahgunaan kuasa dan perebutan kuasa tanpa dasar.59

Para reformator berpandangan bahwa Alkitab dan tradisi selama beradab-abad lamanya tidak tahu menahu tentang sakramen perkawinan. Mereka juga berpendapat bahwa Ef 5:32 disalahartikan berdasarkan terjemahan latin (Vulgata)

58 C. Groenen OFM, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematik, Spiritualitas, Pastoral, 217.

59 Ibid., 239.

37

yang memakai kata sacramentum, padahal dalam naskah Yunani menggunakan mysterion yang berbeda artinya. Dari sekian banyak pelemik mengenai perkawinan, munculah pihak Kalvin yang dengan tegas menilai perkawinan sebagai urusan sekular tidak ubahnya dengan arsitektur atau pertanian. Bukan berarti pendekatan Kalvin dan reformator lain yang menggunakan istilah

“sekular” bukan berarti “tidak religius”. Menurut Kalvin, semua tugas, cara hidup, jabatan dan sebagainya merupakan suatu panggilan Allah. Maka perkawinan dinilai sebagai suatu panggilan Allah.60

Dalam polemik yang cukup lama mengenai perkawinan, Konsili Trente mengajarkan bahwa sejak awal mula umat manusia, perkawinan merupakan suatu ikatan (nexus) tetap (perpetuus) dan tak terputuskan (indisolubilis) yang disadarkan pada Kej 2:23-24.61 Selanjutnya konsili juga menegaskan dalam ikatan perkawinan dibutuhkan rahmat yang diperoleh dari Kristus. Pertama-tama rahmat itu menyempurnakan cinta suami-isteri. Menarik karena konsili melihatnya dari segi eksistensial-personal yakni cinta, bukan lagi perkara hukum gereja atau kelembagaan. Rahmat sakramen itu menurut konsili pertama-tama menyentuh cinta, yang karena itu tersentuh oleh kasih ilahi (caritas).

Selanjutnya rahmat itu menguatkan persatuan tak terputuskan. Seperti cinta disempurnakan oleh rahmat, demikian pun ikatan suami-isteri diperteguh oleh rahmat itu. Prinsip ini dikemukakan oleh Bellarminus, Gratia perficit, non destruit naturam (rahmat menyempurnakan, tidak meniadakan, merusakkan apa

60 Ibid., 242.

61 Ibid., 250.

38

yang wajar). Dan prinsip ini menurut konsili berlaku untuk perkawinan dimana rahmat menyempurnakan cinta dan memperteguh ikatan.62

Rahmat itu pun “menguduskan” suami-isteri. Maka rahmat perkawinan tidak hanya “rahmat pembantu” seperti dalam teologi skolastik apalagi rahmat negatif (mencegah dari berdosa), melainkan rahmat pengudus yang berpengaruh dalam perkawinan dan menyentuh suami-isteri.

2.5.3. Abad XX

Pada abad XX, muncul ensiklik pertama yang menyajikan teologi perkawinan yakni Ensiklik Arcanum Divinae yang ditulis ileh Paus Leo XIII.

Inilah sesuatu yang baru menjelang abad XX. Terjadi pergeseran dimana segi

Inilah sesuatu yang baru menjelang abad XX. Terjadi pergeseran dimana segi

Dalam dokumen CINTA KASIH SEBAGAI BASIS PERKAWINAN: (Halaman 40-0)