4
BAB II LANDASAN TEORI
2.1 Pemeliharaan (Maintenance)
Pemeliharaan menurut Soemarno (2008) adalah sebagai suatu hal yang sering bermasalah menurut divisi pemeliharaan dan divisi produksi. Dalam divisi pemeliharaan dianggap melakukan pemborosan biaya, sedangkan dalam divisi produksi yang merusak tetapi juga yang menghasilkan uang. Pemeliharaan dapat mengembalikan sistem yang memburuk, memperpanjang mesin seumur hidup, dan meningkatkan kualitas produk (Ertogral dan Ozturk, 2019). Menurut (Assauri, 2008) pemeliharaan diartikan kegiatan untuk memelihara fasilitas atau alat-alat pabrik. Kegiatan pemeliharaan juga mengadakan perbaikan, penyesuaian maupun penggantian yang diperlukan. Tujuannya supaya terdapat suatu keadaan operasi produksi yang memuaskan sesuai apa yang telah direncanakan. Stevenson dan Hojati (2002) mendefinisikan pemeliharaan adalah suatu hal yang mencakup semua kegiatan yang berkaitan dengan menjaga peralatan dan fasilitas dalam kondisi kerja yang baik. Maintenance diartikan lain sebuah fungsi staf yang tanggung jawab utamanya dalam memperbaiki ataupun merawat peralatan operasional perusahaan agar dapat menjalankan produksi secara efisien dan efektif.
Dalam melakukan pemeliharaan, diperlukan manajemen pemeliharaan yang tepat agar pemeliharaan dilakukan sesuai dengan kondisi yang dibutuhkan perusahaan. Menurut (Marquez, 2007) manajemen pemeliharaan didefinisikan sebagai segala kegiatan dalam menentukan strategi, tujuan, skala prioritas dan tanggung jawab secara manajerial. Implementasi kegiatan tersebut yaitu dalam bentuk perencanaan pemeliharaan, pengawasan, dan peningkatan metode dalam sebuah organisasi. Al-Najjar dan Alsyouf (2003) menjelaskan strategi maintenance melibatkan identifikasi, penelitian dan pelaksanaan yang berhubungan dengan penggantian, perbaikan, dan inspeksi peralatan. Dengan melakukan manajemen pemeliharaan dapat mencapai suatu tujuan dengan menggunakan sumber daya perusahaan agar tercapai tujuan yang efisien dan efektif. Kegiatan tersebut bertujuan agar tercipta kinerja pemeliharaan yang optimal dengan meningkatkan keandalan dan ketersediaan yang berasal dari peralatan atau mesin melalui pengawasan, perencanaan, dan pengorganisasian, serta evaluasi yang baik.
2.2 Tujuan Maintenance
Menurut Producti, North, dan Prokopenko (1996) tujuan maintenance secara umum adalah:
1. Mengoptimalkan keandalan peralatan dan infrastruktur
2. Memastikan bahwa peralatan dan infrastruktur selalu dalam kondisi baik 3. Melakukan perbaikan darurat yang cepat pada peralatan dan infrastruktur
untuk menjamin ketersediaan terbaik untuk produksi
4. Meningkatkan atau memodifikasi peralatan produktivitas yang ada 5. Memastikan pengoperasian peralatan untuk produksi
6. Meningkatkan keselamatan operasional
7. Melatih personal dalam keterampilan perawatan khusus 2.3 Jenis-jenis Maintenance
Kegiatan maintenance sebagai operasi produksi pada suatu perusahaan, baik perusahaan manufaktur maupun perusahaan jasa memiliki dua jenis. Jenis maintenance menurut (Corder, 1992) sebagai berikut :
2.3.1 PemeliharaanlTerencana (plannedhmaintenance)
Planned maintenance merupakan pemeliharaan rutin dengan melakukan pemeliharaan secara terorganisasi untuk mencegah kerusakan mesin atau peralatan sebelum peralatan atau mesin tersebut rusak. Planned maintenance dilakukan dengan mengendalikan dan mencatat sesuai dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya. Planned maintenance terbagi atas tiga bagian, yaitu:
1. Corretive Maintenance (Pemeliharaan Korektif)
Corretive maintenance dikenal sebagai pemeliharaan berbasis kegagalan, pemeliharaan darurat, pemeliharaan kerusakan karena konsep strategi corretive maintenance didasarkan pada perbaikan saat rusak (Marquez, 2007). Corretive maintenance merupakan strategi perawatan yang dilakukan dengan mengidentifikasi penyebab kerusakan dan memperbaiki mesin produksi agar dapat beroperasi secara normal. Corretive maintenance telah digunakan dalam operasi pemeliharaan karena kekurangan pengetahuan tentang perilaku kegagalan peralatan (Waeyenbergh dan Pintelon, 2002). Menurut Shahin, Pourjavad, dan Shirouyehzad (2012) Corretive maintenance dapat dilakukan segera atau ditangguhkan oleh teknisi pemeliharaan untuk menilai situasi dan
memperbaiki mesin. Dalam situasi dimana kegagalannya tidak kritis dan nilai aset tidak menjadi perhatian besar, corretive maintenance dapat menjadi pilihan.
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Puspawan, 2017) dengan mengidentifikasi mesin rolling terdapat kerusakan bantalan pada mesin Rolling. Karena memuat terlalu besar pada poros dan casing, pengoperasian mesin secara terus-menerus, dan kesalahan pemasangan. Dalam studi kasus tersebut, corrective maintenance digunakan untuk meningkatkan serta memperbaiki kondisi bantalan agar mencapai standar yang ditentukan.
2. Preventive Maintenance (Pemeliharaan Pencegahan)
Preventive Maintenance merupakan strategi maintenance yang dilakukan perusahaan dengan tujuan agar dapat mencegah terjadinya kerusakan pada peralatan atau mesin selama proses produksi berlangsung. Preventive Maintenance juga dapat diartikan sebuah kegiatan melakukan inspeksi secara rutin dan servis serta menjaga fasilitas agar tetap dalam kondisi baik (Heizer dan Render, 2006). Kegiatan-kegiatan tersebut dimaksudkan untuk membangun sistem yang dapat menemukan potensi kegagalan dan melakukan perbaikan atau membuat perubahan yang dapat mencegah kegagalan. Sebagai contoh menjadwalkan pengecekan dan melakukan pembersihan atau mengganti suku cadang secara rutin. Menurut Fouladgar, Yazdani-Chamzini, Lashgari, Zavadskas, dan Turskis (2012) preventive maintenance dilakukan berdasarkan kriteria yang ditentukan. Hal ini bertujuan agar dapat mengurangi probabilitas kegagalan fungsi suatu peralatan.
Tujuan preventive maintenance menurut Prawirosentono (2001) seperti yang terdapat dibawah ini:
1) Keamanan mesin
Perusahaan sudah memiliki tersendiri mengenai standar karakteristik mesin.
Misalnya oli, angin, air dan temperatur tidak boleh melebihi standar yang telah ditentukan. Maka dari itu seorang operator bertugas memperhatikan keamanan mesin.
2) Kelancaran mesin
Pemeriksaaan mesin, pemberian oli pelumas secara rutin agar dapat menjaga kelancaran mesin, sehingga proses produksi dapat berjalan secara normal.
3) Kualitas produk
Tujuan menjaga kualitas produk agar dapat memenuhi standar mutu perusahaan dengan cara menekan kerusakan produk serendah mungkin.
Menjaga kualitas produk dilakukan dengan memenuhi spesifikasi kerja yang telah ditentukan dan mempertahankan tingkat produktivitas kerja.
4) Kebersihan mesin dan lingkungan
Lantai produksi sekitar mesin harus bersih dari kotoran seperti misalnya berupa minyak pada waktu melaksanakan pelumasan. Tujuan dari kebersihan mesin adalah agar dapat menciptakan kenyamanan pada saat bekerja, menghindari terjadinya kecelakaan bagi operator.
Preventive Maintenance menurut Li dan Shaked (2003) dapat dibagi menjadi Time Based Maintenance (TBM) dan Conditional Based Maintenance (CBM).
A. Conditional Based Maintenance (CBM)
CBM merupakan metode pemeliharaan yang rekomendasi keputusan pemeliharaannya didasarkan pada sebuah usaha untuk mengurangi penjadwalan perawatan yang tidak terlalu diperlukan. CBM hanya dilakukan ketika terjadi hal yang tidak normal pada mesin sehingga dapat mengurangi biaya (Kumayasari, 2010). Tindakan pencegahan diambil ketika gejala kegagalan dikenali melalui pemantauan atau diagnosis. Karena itu, CBM memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan menyesuaikan keadaan yang tepat pada waktu yang tepat agar dapat mencegah kegagalan. Namun, CBM tidak selalu menjadi metode pemeliharaan terbaik, terutama dari perspektif efektivitas biaya (Al-Najjar dan Alsyouf, 2003). Dalam Koochaki, Bokhorst, Wortmann, dan Klingenberg (2012) ketika kegagalan mesin atau komponen tidak kritis, seseorang dapat melakukan Corrective Maintenance, tindakan dapat diambil setelah kegagalan terdeteksi. Lu dkk (2018) menggunakan metode CBM untuk mengurangi biaya perawatan dengan menghilangkan tindakan pemeliharaan yang tidak perlu.
Mereka juga menggunakan CBM untuk mengurangi downtime sistem, dan meminimalkan kegagalan.
B. Time Based Maintenance (TBM)
Pemeliharaan berbasis waktu, juga dikenal sebagai pemeliharaan berbasis periodik adalah teknik pemeliharaan tradisional. Di TBM, keputusan pemeliharaan ditentukan berdasarkan analisis waktu kegagalan (Ahmad, Kamaruddin, dan engineering, 2012). TBM didasarkan pada kurva bathtub. Laju kerusakan tidak hanya tergantung pada waktu yang telah berlalu tetapi juga pada berbagai faktor lain. Seperti kondisi operasional dan lingkungan, tingkat periode operasi mungkin tidak cukup memadai untuk mendiagnosis kondisi produk untuk pemeliharaan. Oleh karena itu, TBM kadang-kadang memaksakan perawatan yang tidak perlu, yang sering mengganggu operasi normal dan menyebabkan kegagalan fungsi karena operasi yang terlewat. Di bawah kebijakan pemeliharaan TBM, tindakan pemeliharaan diterapkan dengan interval waktu yang ditentukan secara konstan. Oleh karena itu, TBM yang optimal harus menemukan interval waktu perawatan yang meminimalkan total biaya siklus. Penelitian Manurung (2016) kegiatan TBM dilakukan berdasarkan variabel waktu. Pada Penelitian tersebut membuat perangkingan terhadap komponen-komponen yang mengalami kerusakan. Dengan begitu dapat diidentifikasi komponen kritis yang harus segera dilakukan penjadwalan pemeliharaan. Hasil analisa perhitungan downtime menggunakan jadwal pemeliharaan baru menyebabkan downtime menurun dan produktivitas meningkat.
3. Predictive Maintenance (Pemeliharaan Prediktif)
Predictive maintenance adalah jenis pemeliharaan yang dilakukan dengan memprediksi komponen tersebut apakah akan terjadi kerusakan mesin atau adanya indikasi untuk dilakukan penggantian komponen. Predictive Maintenance dilakukan berdasarkan kondisi terkini pada suatu mesin atau komponen mesin. Predictive Maintenance juga dapat berfungsi untuk mengoptimalkan keandalan dan menghemat spare part karena tidak semua spare part komponen harus disediakan. (Pardosi, 2018).
2.3.2 Pemeliharaan Tak Terencana (Unplanned Maintenance)
Unplanned Maintenance adalah sebuah pemeliharaan yang harus dilaksanakan penanganan pemeliharaan agar dapat mencegah dampak yang semakin memperparah keadaan. Sebagai contoh ketika terjadi kerusakan mesin, hilangnya produksi untuk alasan keselamatan kerja, maka unplanned maintenance dilakukan ketika sudah terjadi kerusakan pada mesin (Corder, 1992).
2.4 Keandalan (Reliability)
Keandalan merupakan kemampuan sebuah sistem untuk melakukan performansi sesuai dengan fungsi yang dikehendaki selama periode waktu hidup yang diharapkan (Stephens, 2010)
.
Keandalan merupakan probabilitas suatu komponen mesin atau sistem yang memberikan informasi pada suatu fungsi yang dibutuhkan dalam periode waktu tertentu ketika digunakan dalam kondisi operasi (Ebeling, 1997). Keandalan juga dapat diartikan probabilitas suatu unit yang memberikan kemampuan yang diharapkan utnuk suatu tujuan tertentu dalam waktu tertentu ketika dalam kondisi lingkungan tertentu. Keandalan dapat diartikan bahwa probabilitas yang dikaitkan dengan akumulasi waktu dimana ketika alat beroperasi tanpa mengalami kerusakan dalam kondisi tertentu. Dengan begitu sistem akan menunjukkan kemampuannya sesuai dengan fungsi yang diharapkan (Leemis, 1995). Terdapat metode yang berhubungan dengan keandalan, yaitu Reliability Centered Maintenance (RCM). RCM merupakan suatu metode yang digunakan untuk menentukan apa yang harus dilakukan untuk menjamin agar aset fisik dapat berkelanjutan dalam memenuhi fungsi yang diharapkan dalam operasinya saat ini.RCM bermanfaat dalam memastikan kondisi suatu sistem agar dapat berjalan sesuai dengan fungsinya dalam kurun periode waktu tertentu. Prinsip RCM berbasiskan pada keandalan yaitu kemampuan suatu sistem atau alat untuk terus beroperasi sesuai dengan fungsi yang diinginkan (Moubray, 1991).
Fungsi keandalan R(t) dapat dihubungkan dengan fungsi kepadatan probabilitas seperti yang terdapat pada persamaan berikut:
𝑅 (t)= ∫ 𝑓 𝑑𝑡𝛾𝜛 (1)
Sedangkan untuk fungsi keandalan memiliki distribusi yang berbeda-beda.
1. Distribusi Normal 𝑅 (t)=1 − 𝜑(𝑡−𝜇
𝜎 ) (2)
2. Distribusi Lognormal R(t) = 1 − 𝜑(1
𝑠𝑙𝑛 𝑡
𝑡𝑚𝑒𝑑) (3)
3. Distribusi Eksponensial
𝑅 (t)= 𝑒−𝜆𝛾 (4)
4. Distribusi Weibull
𝑅 (t)= 𝑒−(θ𝑡)𝛽 (5)
2.5 Ketersediaan (Availability)
Availability (Ebeling, 1997) adalah probabilitas suatu komponen atau sistem untuk melakukan fungsi yang diperlukan komponen atau sistem pada titik waktu tertentu ketika dioperasikan dan dipelihara dengan cara kondisi tertentu.
Availability beroperasi sesuai dengan fungsinya pada kondisi operasi normal saat tindakan pemeriksaan dan perawatan pencegahan dilakukan. Dalam Moubray (1991) availability dapat diartikan suatu ukuran waktu yang dibutuhkan bagi suatu sistem untuk benar-benar beroperasi. Availability total dapat dikatakan sebuah ketersediaan proporsi waktu teoritis untuk komponen atau sistem agar dapat beroperasi secara normal.
2.6 Mean Time To Failure (MTTF) dan Mean Time To Repair (MTTR)
Mean Time To Failure (MTTF) merupakan rata-rata jangka waktu kerusakan antara distribusi kerusakan dengan rata-rata waktu kerusakan pada unit yang beroperasi dalam keadaan normal. Sedangkan Mean Time To Repair (MTTR) merupakan waktu rata-rata perbaikan atau inspeksi saat komponen mesin atau mesin tersebut diperiksa sampai komponen mesin atau mesin tersebut dihidupkan atau digunakan kembali (Ebeling, 1997). Perhitungan MTTF dan MTTR memiliki rumus yang sama maka rumusnya sebagai berikut:
a. Distribusi Normal
MTTF /MTTR = 𝜇 (6)
b. Distribusi Lognormal MTTF /MTTR = tmed .exp(
𝑠2 2)
(7) c. Distribusi Eksponensial
MTTF /MTTR = 1
𝜆 (8)
dimana λ = laju perbaikan
d. Distribusi Weibull
MTTF /MTTR = θ . Γ (1+ 1
𝛽) (9)
Γ = diperoleh dari tabel Gamma Function Sumber: (Ebeling, 1997)
2.7 Risk Based Maintenance (RBM)
Menurut Khan dan Haddara (2003) RBM didefinisikan sebagai strategi yang memprioritaskan sumber daya pemeliharaan terhadap aset yang membawa risiko paling besar. Metodologi ini digunakan untuk menentukan penggunaan sumber daya pemeliharaan yang paling ekonomis. tersebut dilakukan agar upaya pemeliharaan di seluruh fasilitas dioptimalkan untuk meminimalkan risiko kegagalan. Arunraj dan Maiti (2007) menjelaskan metodologi RBM untuk merencanakan pemeliharaan dan pengambilan keputusan dalam mengurangi kemungkinan kegagalan peralatan dan konsekuensi kegagalan. Untuk membuat keputusan RBM yang tepat, diperlukan teknik dan metodologi yang sesuai agar analisis dan hasil dapat terperinci serta terstruktur. Arunraj dan Maiti (2010) menyajikan pendekatan pemilihan kebijakan RBM dengan Analytic hierarchy process (AHP). Dalam penelitian tersebut menghasilkan daftar komponen kritis yang perlu untuk dilakukan maintenance, kemudian dilakukan pemilihan strategi pemeliharaan menggunakan AHP. Hasilnya menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan risiko sebagai kriteria, CBM lebih relevan daripada TBM.
Karena CBM memiliki kemampuan pengurangan risiko yang lebih baik daripada TBM. Demikian juga dengan mempertimbangkan biaya sebagai kriteria, Corrective Maintenance lebih baik daripada TBM.
Dalam penelitian Nur (2020) menggunakan metode RBM untuk melakukan penggantian komponen kritis pada mesin Pompa sentrifugal. Hasilnya diperoleh dalam identifikasi komponen kritis, terdapat 7 komponen kritis, yang perlu dilakukan penggantian komponen kritis hanya 3 komponen, karena ketiga komponen tersebut yang memiliki presentase kerusakan terbesar, sehingga perlu dilakukan penggantian komponen. Menurut Golonka dan Brennan (1996) tantangan tersebut adalah mengimplementasikan strategi pemeliharaan, mengontrol laju kerusakan peralatan, memaksimalkan ketersediaan dan efisiensi peralatan.
Tantangan lainnya yaitu memastikan operasi yang aman dan ramah lingkungan, dan
meminimalkan total biaya operasi. Dalam Arunraj dan Maiti (2010) untuk mengembangkan pemeliharaan berencana, perlu memilih kebijakan perawatan yang tepat berdasarkan risiko serta biaya perawatan (Harnly, 1998; Reynolds dan Journal, 1995). Sehingga perkembangan seperti itu akan meminimalkan frekuensi dan konsekuensi kegagalan sistem. Dalam penelitian Bevilacqua dan Braglia (2000) metode pemilihan kebijakan pemeliharaan secara normal tergantung pada kebijakan biaya perawatan bersama dengan kriteria lain. Kriteria tersebut seperti menambah kualitas produk, ketersediaan suku cadang, dan pemeliharaan waktu.
2.8.1 Tujuan RBM
Tujuan utama RBM adalah untuk mengurangi keseluruhan risiko yang terjadi sebagai akibat dari kegagalan pada mesin atau komponen. Selain itu metode RBM digunakan untuk mengoptimalkan jadwal maintenance dan untuk meminimalkan risiko yang ditimbulkan akibat failure yang terjadi (Khan dan Haddara, 2004). Sehingga RBM digunakan sebagai strategi ketika kemungkinan kegagalan aset dapat memiliki konsekuensi yang parah. Dengan kata lain, aset yang membawa risiko tinggi perlu diprioritaskan dalam hal pemeliharaan. Menurut Arunraj dan Maiti (2007) RBM dirancang untuk mempelajari semua mode kegagalan dan menentukan risiko yang terkait dengan kegagalan. Selain itu, digunakan untuk mengembangkan strategi perawatan yang meminimalkan terjadinya mode kegagalan berisiko tinggi.
2.8.2 Langkah-langkah dalam penerapan RBM
Kerangka kerja RBM terdiri dari dua fase utama, yaitu penilaian risiko dan perencanaan. Berikut ini merupakan metode dalam penerapan RBM:
Mempertimbangkan mesin
Penilaian kemungkinan
Penilaian Konsekuensi
Evaluasi Risiko
Risiko Diterima
< 0,05%
Ya
Apakah ada komponen kritis
yang lain?
Tidak Stop Start
Perencanaan Pemeliharaan Tidak
Ya
Risk AssessmentPerencanaan Pemeliharaan
Perhitungan MTTF
& MTTR Identifikasi
kegagalan
(Sumber : Arunraj dan Maiti (2007)
Gambar 2.1 Metode Pendekatan RBM
1. Penilaian Risiko (Risk assessment)
Dalam Arunraj dan Maiti (2007) menurut Nieuwhof (1985) risiko didefinisikan sebagai kerugian atau kerusakan yang diperkirakan akan terjadi terkait dengan peristiwa yang tidak diinginkan. Penilian risiko terbagi dalam beberapa fase, yaitu:
a. Mempertimbangkan mesin
Tahap awal yaitu dengan melakukan pertimbangan mesin yang ada dalam sebuah perusahaan kemudian memilih satu mesin yang digunakan dalam metodologi RBM
b. Identifikasi Kegagalan
Identifikasi kegagalan dilakukan untuk mengidentifikasi skenario kegagalan. Bahaya yang terabaikan kemungkinan akan menyebabkan lebih banyak kesalahan dalam estimasi keseluruhan risiko. Sehingga tujuan dari identifikasi kegagalan adalah untuk menghasilkan daftar keseluruhan kegagalan pada komponen yang terpilih (Arunraj dan Maiti, 2007).
c. Perhitungan MTTF dan MTTR
Parameter MTTF dan MTTR digunakan untuk mendapatkan interval waktu perawatan. Dalam menghitung nilai MTTF & MTTR, terlebih dahulu harus menentukan distribusi dan parameter data Time To Failure (TTF) dan Time To Repair (TTR) dengan bantuan software Minitab
d. Penilaian Kemungkinan (Likelihood Assessment)
Penilaian kemungkinan bertujuan untuk menghitung probabilitas kejadian yang tidak diinginkan/kerusakan pada suatu komponen atau sistem. Pada penilaian kemungkinan menggunakan metode seperti metode probabilistic failure analysis yang terdapat pada penelitian Khan dan Haddara (2003).
e. Penilaian konsekuensi (Consequence assessment)
Tahap berikutnya tentang penilaian konsekuensi dengan tujuan menghitung konsekuensi potensial dari skenario kegagalan. Menurut Khan dan Haddara (2003) penilaian konsekuensi dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:
system performance loss (berhubungan dengan unit), financial loss (berhubungan dengan kerusakan aset), human health loss (berhubungan dengan kesehatan manusia), dan environment and / or ecological loss (berhubungan dengan kerusakan ekosistem). Sedangkan pada penelitian ini fokus pada penilaian konsekuensi yang berhubungan dengan unit. Penilaian konsekuensi menggunakan System performance loss, yaitu kerugian untuk
performansi sistem yang disebabkan oleh kegagalan komponen atau sistem.
Rumus yang digunakan adalah:
System performance loss = (Loss of Revenue x Downtime) + biaya material +
harga komponen (10)
(Khan dan Haddara, 2004) f. Evaluasi Risiko
Evaluasi risiko dengan mengalikan hasil antara penilaian konsekuensi (Consequence assessment) dan analisis probabilitas kegagalan (probabilistic failure analysis) dari komponen mesin yang telah ditentukan
Risk = Probability failure x Consequence assessment (11) (Khan dan Haddara, 2003)
g. Penerimaan risiko
Risiko yang dihitung dibandingkan dengan kriteria penerimaan risiko. Jika ada risiko unit atau komponen yang melebihi kriteria penerimaan, maka harus dilakukan perencanaan pemeliharaan untuk mengurangi risiko. Penentuan penerimaan risiko menggunakan hasil wawancara dengan operator dan Departemen Teknik pada Mesin DH2100.
2. Perencanaan Pemeliharaan (Maintenance Planning)
Perencanaan pemeliharaan digunakan untuk menurunkan risiko agar dapat memenuhi kriteria yang dapat diterima dan untuk mengurangi probabilitas kegagalan (Khan dan Haddara, 2004). Seperti dalam penelitian Arunraj dan Maiti (2010) melakukan perencanaan pemeliharaan berdasarkan RBM menggunakan AHP.
2.9 Interval Waktu Pemeliharaan
Interval Waktu Pemeliharaan digunakan untuk merencanakan penggantian komponen kritis. Dalam menghitung interval waktu perawatan menggunakan parameter keandalan MTTF dan MTTR dari setiap komponen kritis. Tujuan interval waktu perawatan adalah menentukan waktu yang optimal terhadap perawatan komponen mesin tertentu dari satu perawatan ke perawatan berikutnnya.
Interval waktu kegiatan pemeliharaan didapatkan dari rumus-rumus jenis maintenance task. Berikut merupakan jenis maintenance task:
a. Scheduled Restoration Task that are hat are
Aktivitas pemeliharaan Scheduled Restoration task merupakan jenis maintenance task yang digunakan untuk mengantisipasi penyebab kegagalan.
Aktivitas tersebut dilakukan dengan merekondisi komponen agar dapat mengembalikan pada kemampuan seperti semula. Strategi maintenance yang digunakan adalah preventive maintenance. Dengan menggunakan preventive maintenance, maka keandalan suatu komponen mesin dapat ditingkatkan.
b. Scheduled Discard Task what are you hat are
Aktivitas pemeliharaan scheduled discard task merupakan sebuah kebijakan untuk mengantisipasi penyebab kegagalan dengan mengganti suatu komponen kritis yang mengalami kegagalan. Rumus untuk menghitung biaya pergantian atau perbaikan akibat rusaknya komponen dengan menggunakan persamaan (Havard, 2000):
𝑇𝑀 = 𝜂( 𝐶𝑀
𝐶𝐹(𝛽−1))
1
𝛽 (12)
TM = Interval waktu perawatan optimal (hari)
CF = CR + MTTR (CO) (13)
CF = biaya perbaikan atau penggantian karena komponen rusak untuk setiap siklus perawatan (Rp)
CM = biaya yang dikeluarkan untuk perawatan (Rp) CR = Biaya penggantian kerusakan komponen (Rp) MTTR = lama waktu perbaikan (hari)
CO = Biaya kerugian produksi (hourly rate) (Rp) 2.10 Analytical Hierarchy Process (AHP)
2.10.1 Pengertian AHP
Menurut Wind dan Saaty (1980) AHP adalah sebuah metode dalam menyelesaikan masalah keputusan yang kompleks secara efektif. AHP juga memberikan alasan yang jelas untuk memberikan pilihan. Triantaphyllou dan Sanchez (1997) menyarankan penggunaan AHP untuk pemilihan strategi pemeliharaan dengan mempertimbangkan biaya, reparabilitas, keandalan, dan ketersediaan. Bevilacqua dan Braglia (2000) juga menggunakan AHP untuk memilih strategi perawatan untuk kilang minyak di Italia berdasarkan empat kriteria penting yaitu biaya, kerusakan, kemampuan aplikasi, dan nilai tambah. Dalam
penelitian yang lain, Bertolini dan Bevilacqua (2006) mempresentasikan proses hierarki analitik gabungan dan pendekatan pemrograman tujuan untuk memilih kebijakan perawatan terbaik untuk pemeliharaan pompa kritis di sebuah pabrik minyak, dengan mempertimbangkan anggaran dan waktu pemeliharaan sebagai kendala. AHP diterapkan untuk mendukung banyak jenis keputusan multi-kriteria.
Metode ini membantu orang untuk menetapkan prioritas antara alternatif dan kriteria di proses pengambilan keputusan. Menurut Velasquez dan Hester (2013) AHP juga membantu membuat keputusan yang lebih baik dengan mempertimbangkan aspek kualitatif dan kuantitatif.
Pada penelitian Arunraj dan Maiti (2010) melakukan pemilihan kebijakan pemeliharaan pengambilan keputusan dengan berbagai kriteria. Penelitian tersebut menyajikan pendekatan pemilihan kebijakan RBM dengan mempertimbangkan risiko kegagalan peralatan dan biaya pemeliharaan. Strategi pemeliharaan dioptimalkan dengan meminimalkan tingkat biaya perawatan jangka panjang.
Pendekatan ini diterapkan dalam dua tahap berikutnya: bagian pertama dari analisis memberikan tingkat prioritas untuk kebijakan pemeliharaan yang berbeda sehubungan dengan kontribusi risiko, dan kebijakan biaya pemeliharaan. Langkah kedua dengan perumusan AHP kemudian mengidentifikasi tipe pemeliharaan terbaik untuk peralatan yang dipertimbangkan.
2.10.2 Tahapan AHP
Menurut Saaty (1990), ada beberapa prinsip yang harus dipahami dalam menyelesaikan permasalahan dengan metode AHP:
a. Membuat hierarki
Cara pertama yaitu menetapkan masalah dan menentukan solusinya, kemudian membuat struktur hierarki kriteria dan alternatif.
G
CRITERION 1 CRITERION 2 CRITERION 3
A B
C1 C2 C3
GOAL
CRITERIA
ALTERNATIVES
(Sumber :(Büyükyazıcı dan Sucu, 2003))
Gambar 2.2 Struktur hierarki AHP
b. Menentukan prioritas
Penentuan prioritas kriteria dan alernatif yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan, skala 1 sampai 9 merupakan skala untuk mengekspresikan pendapat, nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan. Perbandingan berdasarkan pada penilaian decision maker dengan melihat seberapa penting antara elemen satu dibandingkan elemen lain.
Tabel 2.1 perbandingan berpasangan
A1 A2 A3 … An
A1 a11 a12 a13 … An
A2 a21 a22 a23 … An
A3 a31 a32 a33 … An
… … … … … …
Am Am Am Am … Am
Sumber: (Saaty, 1990)
Untuk mengisi matriks perbandingan berpasangan dapat diukur dengan menggunakan tabel 2.3 dibawah ini:
Tabel 2.2 Skala PenilaiansPerbandingan
Intensitas a
Kepentingan Penjelasan
1 Kedua elemen sama pentingnya
3 Elemen yang satu sedikit lebih penting dari elemen lainnya.
5 what Elemenayang satu lebih penting dari elemen lainnya.
7 Satu elemen lebih mutlak daripada elemen lainnya.
9 Satu elemen mutlak penting dari elemen lainnya
2,4,6,8 Nilai-nilai antara dua nilai pertimbangan yang berkaitan
Kebalikan Jika aktivitas i mendapat satu angka dibandingkan dengan aktivitas j, maka j memiliki nilai kebalikan dibandingkan dengan i
(Sumber :(Wind dan Saaty, 1980))
c. Sintesis
Perbandingan berpasangan pada setiap kriteria dan alternatif juga perlu dilakukan. Beberapa pertimbangan terhadap perbandingan berpasangan dilakukan
sintesis untuk mendapatkan prioritas secara keseluruhan. Berikut beberapa hal yang harus dilakukan:
1. Menjumlahkan nilai-nilai dari tiap kolom pada matriks
a11+ a21+ a31 + … + an1 (15) 2. Membagi setiap nilai dari kolom dengan total kolom bersangkutan untuk
memperoleh normalisasi matriks
𝑎11
∑𝑛𝑘 (16)
3. Menjumlahkan nilai-nilai dari setiap baris dan membaginya dengan jumlah elemen untuk mendapatkan nilai rata-rata
∑𝑛𝑏
𝑁 (17)
Keterangan:
a11 = nilai matriks pada kolom ke 1 dengan baris ke 1
∑𝑛𝑘 = jumlah nilai pada matriks setiap kolomnya N = jumlah elemen matriks
∑𝑛𝑏 = jumlah nilai pada matriks setiap barisnya d. Mengukur Konsistensi
Dalam pembuatan keputusan, diperlukan untuk mengetahui seberapa baik konsistensi yang ada. Maka beberapa hal yang dilakukan yaitu:
1. Dengan mengalikan setiap nilai pada kolom pertama dangan prioritas relatif elemen pertama, nilai pada kolom kedua dengan prioritas relatif elemen kedua, dan seterusnya.
2. Menjumlahkan setiap baris
3. Hasil dari perhitungan baris dibagi dengan elemen prioritas relatif yang bersangkutan
4. Menjumlahkan hasil bagi diatas dengan banyaknya elemen, yang disebut λ max
Setelah mendapatkan λ max, selanjutnya yaitu menghitung index konsistensi (CI) dengan rumus:
𝐶𝐼 =𝜆 𝑚𝑎𝑥 – 𝑛
𝑛−1 (18)
Keterangan : n = banyaknya elemen / kriteria
Kemudian menghitung rasio konsistensi / Consistency Ratio (CR) dengan rumus:
𝐶𝑅 = 𝐶𝐼
𝐼𝑅, dimana 𝐶𝑅 ≤ 0,1 (19)
Dimana:
CI = Consistency Index CR = Consistency Ratio
IR = Index Random Consistency 2.10.3 Kelebihan AHP
Kelebihan AHP (Syaifullah, 2010) adalah sebagai berikut :
1. Metode AHP mudah dipahami dan dapat mudah diaplikasikan secara fleksibel ke berbagai jenis masalah
2. Model AHP sangat mudah untuk berbagai macam permodelan masalah yang tidak terstruktur
3. AHP menggunakan rancangan berupa sistem dan deduktif untuk memecahkan permasalahan yang rumit.
4. karena dalam metode AHP akan dilakukan perhitungan tingkat konsistensi 5. AHP menyediakan metode untuk mendapatkan prioritas dan menggunakan
skala pengukuran.
Sedangkan kelebihan AHP menurut Wudjajakusuma (2008) adalah : 1. Memiliki tingkat kesahihan atau keakuratan yang tinggi berdasarkan
konsistensi logis.
2. Pendekatan yang sistematis sehingga lebih efisien
3. Memiliki skala penilaian khas, yang dapat menyelesaikan masalah terukur (kuantitatif) maupun pendapat (judgement)
2.10.4 Kelemahan AHP
Kelemahan AHP dalam mengambil keputusan adalah:
1. Proses yang berulang (repetition) dan memakan waktu membuat responden lelah dan membosankan
2. Tidak ada mekanisme umpan balik
3. Model AHP bergantung pada input utama. Metode AHP bergantung pada persepsi seorang ahli sehingga melibatkan subyektivitas seorang ahli.