• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN KESELAMATAN SCAFFOLDING UNTUK BEKERJA DI KETINGGIAN DI PT. SARI HUSADA UNIT 1 YOGYAKARTA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PELAKSANAAN KESELAMATAN SCAFFOLDING UNTUK BEKERJA DI KETINGGIAN DI PT. SARI HUSADA UNIT 1 YOGYAKARTA"

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

LAPORAN TUGAS AKHIR

PELAKSANAAN KESELAMATAN SCAFFOLDING UNTUK BEKERJA DI KETINGGIAN DI PT. SARI HUSADA UNIT 1

YOGYAKARTA

Gilang Ratna Pertiwi R.0009047

PROGRAM DIPLOMA III HIPERKES DAN KESELAMATAN KERJA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta 2012

(2)

commit to user ABSTRAK

PELAKSANAAN KESELAMATAN SCAFFOLDING UNTUK BEKERJA DI KETINGGIAN DI PT. SARI HUSADA UNIT 1 YOGYAKARTA.

Gilang Ratna Pertiwi*), Tarwaka*), dan Seviana Rinawati*) .

Tujuan: Aktivitas yang melibatkan faktor manusia, peralatan, serta lingkungan kerja mengandung potensi bahaya yang tinggi. Scaffolding untuk bekerja di ketinggian memungkinkan terjadinya kecelakaan kerja sehingga perlu diperhatikan keselamatan pelaksanaanya. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding di PT.

Sari Husada Unit 1 Yogyakarta.

Metode: Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode deskriptif yang memberikan gambaran sejelas-jelasnya mengenai pelaksanaan keselamatan scaffolding lalu dibahas dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-01/MEN/1980 tentang Keselamatan Kerja Konstruksi Bangunan.

Hasil: Scaffolding digunakan sebagai alat bantu untuk bekerja di ketinggian.

Pencegahan dan pengendalian risiko dilakukan mengikuti hirarki pengendalian (Hierarchy of Control). Pengamanan, pemasangan, perawatan, pembongkaran dan pengecekan scaffolding dilakukan berdasarkan prosedur pelaksanaan keselamatan scaffolding yang harus dijalankan oleh scaffolder.

Simpulan: Perusahaan telah melaksanakan pemasangan dan pembongkaran sesuai prosedur pelaksanaan keselamatan scaffolding, sedangkan untuk perawatan masih ada yang belum sesuai berkaitan dengan penyediaan tempat penyimpanan khusus scaffolding.

Kata Kunci : Scaffolding, Hierarchy of Control

__________________________________________________________________

*) Prodi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

(3)

commit to user v

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan rahmatnya yang telah melimpahkan petunjuk, kemudahan dan perlindungan-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan penelitian ini tepat pada waktunya.

Penelitian ini dilaksanakan untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan dari pendidikan yang penulis tempuh yaitu jurusan Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran UNS dan juga untuk menambah ilmu dan pengalaman kerja yang berhubungan dengan Keselamatandan Kesehatan Kerja. Sesuai pendidikan yang penulisan tempuh maka penulis mengambil judul “PELAKSANAAN KESELAMATAN SCAFFOLDING UNTUK BEKERJA DI KETINGGIAN DI PT. SARI HUSADA UNIT 1 YOGYAKARTA“.

Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini tidak akan berhasil tanpa dukungan dan bantuan dari semua pihak sehingga laporan ini dapat selesai pada waktunya.

Tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Zainal Arifin Adnan dr., SPD-KR-FINASIM selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta periode sekarang.

2. Bapak Sumardiyono, SKM., M.Kes selaku Ketua Program D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja, Fakultas Kedokteran, Universitas Sebelas Maret, Surakarta sekaligus penguji.

3. Bapak Tarwaka, PGDip, Sc, M.Erg selaku pembimbing I dalam penyusunan laporan ini.

4. Ibu Seviana Rinawati, SKM selaku pembimbing II dalam penyusunan laporan ini.

5. Ibu Alloysia L. Bandaransari selaku HRD Manager PT. Sari Husada Unit I Yogyakarta.

6. Bapak M. Sukaelan, Bapak Wardiyo dan Mas Amri Cahyono selaku HSE di PT. Sari Husada serta pembimbing selama kegiatan magang, terima kasih atas ilmu dan bimbingannya selama magang.

7. Seluruh karyawan PT. Sari Husada yang telah membantu dalam pelaksanaan magang.

8. Kedua Orang Tua tercinta,terima kasih atas doa, kasih sayang dengan ikhlas dan dukungan yang tiada henti serta motivasinya.

9. Kakak-kakakku dan adikku tercinta Cenindyah Dwi Pratiwi terima kasih atas doa dan dukungan semangatnya selama ini.

10. Sahabat superku , Cik, Ndhin, Unyun, Iyin, Mair, Vee terima kasih untuk semua semangat, dukungan, kebersamaannya.

11. Meris, Vitri, Ajenk, Chika, Evi, Tutik terima kasih untuk semangat dan kebersamaannya.

12. Teman-teman D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja tanpa terkecuali angkatan 2009, terima kasih motivasinya.

13. Keluarga baru Wisma Kinasih 1 terima kasih motivasi dan kebersamaannya.

14. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini.

(4)

commit to user

Akhir kata penulis berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca khususnya mahasiswa D.III Hiperkes dan Keselamatan Kerja Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret.

Surakarta, Juni 2012 Penulis

Gilang Ratna Pertiwi

(5)

commit to user vii DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PERUSAHAAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah... 3

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

BAB II LANDASAN TEORI ... 5

A. Tinjauan Pustaka... 5

B. Kerangka Pemikiran ... 29

BAB III METODE PENELITIAN ... 30

A. Metode Penelitian ... 30

B. Lokasi Penelitian ... 30

C. Objek dan Ruang Lingkup Penelitian ... 30

D. Sumber Data ... 31

E. Teknik Pengumpulan Data ... 31

F. Pelaksanaan ... 32

G. Analisis Data... 33

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 34

A. Hasil Penelitian ... 34

B. Pembahasan ... 52

BAB V SIMPULAN DAN SARAN ... 57

A. Simpulan ... 57

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59 LAMPIRAN

(6)

commit to user BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Masalah Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) secara umum di Indonesia masih sering terabaikan. Ditunjukkan dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja. Hal ini tentunya sangat memprihatinkan dikarenakan tingkat kepedulian dunia usaha terhadap K3 masih rendah. Padahal karyawan adalah aset penting perusahaan. Jumlah kecelakaan kerja yang tercatat juga diduga tidak menggambarkan kenyataan di lapangan yang sesungguhnya.

Menurut jurnal yang berjudul An investigation of managements commitment to construction safety yang ditulis oleh Osama Abudayyeh (2012) didapatkan hasil yang menunjukkan bahwa 3 faktor penyebab disuatu perusahaan sering terjadi kecelakaan dan cidera dikarenakan kurangnya kepemimpinan dan komitmen manajemen, kondisi bekerja yang aman, kebiasaan kerja yang aman. Terlihat komitmen manajemen menempati posisi paling atas sebagai faktor penyebab terbanyak atau utama.

Keselamatan bekerja diketinggian sampai saat ini belum mendapat perhatian sebagaimana mestinya. Menurut Asosiasi Ahli Keselamatan Kerja di Bangunan Tinggi (A2K2BT, 2012) saat ini Indonesia menempati peringkat kedua tertinggi di dunia mengenai kematian akibat jatuh dari ketinggian. Pada pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Sementara risiko tersebut

(7)

kurang dihayati oleh para pekerja dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi.

Banyak kejadian kecelakaan kerja di ketinggian lebih disebabkan karena para pekerja sama sekali tidak mempunyai pengetahuan dasar mengenai keselamatan kerja diketinggian selain itu aturan mengenai keselamatan kerja diketinggian yang ada masih sangat minim menyentuh mengenai keselamatan kerja diketinggian atau teknologi keselamatan yang diterapkan sudah tidak valid (A2K2BT, 2012).

Scaffolding merupakan alat bantu kerja sementara di ketinggian. PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta telah menggunakan scaffolding untuk membantu bekerja di ketinggian, dengan memperhatikan pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan aturan agar kecelakaan kerja dapat dihindari baik pada tahap pemasangan, penggunaan, perawatan dan pembongkaran scaffolding.

Pelaksanaan keselamatan scaffolding apabila tidak dilaksanakan dengan baik dan benar, maka hal ini dapat menimbulkan potensi hazards & risiko keselamatan dan kesehatan kerja para pekerja. Oleh karena itu, penulis tertarik dan ingin sekali mengkaji dan membahas pelaksanaan keselamatan scaffolding di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta.

(8)

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut :

Apakah cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding di PT.

Sari Husada Unit 1 Yogyakarta sesuai dengan Permenakertrans No. Per 01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan?

C. Tujuan

Tujuan dilaksanakan penelitian ini adalah :

Untuk mengetahui kesesuaian pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta dengan Permenakertrans No. Per 01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan.

D. Manfaat

1. Bagi Perusahaan

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dan masukan bagi PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta mengenai sistem implementasi, kebijakan, pengendalian tentang penggunaan scaffolding dan juga cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding.

(9)

2. Bagi Mahasiswa

Dapat menambah wawasan guna mengenal, mengetahui dan memahami tentang jenis scaffolding yang di pakai di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta beserta cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding.

3. Bagi Diploma III Hiperkes dan Keselamatan Kerja

Dapat menambah referensi kepustakaan dan memberikan pengetahuan wacana terkait materi informasi mengenai scaffolding beserta cara pemasangan,perawatan dan pembongkaran scaffolding dan diharapkan dapat meningkatkan kualitas pembekalan pengetahuan yang selama ini belum ada di bangku perkuliahan.

(10)

commit to user BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 1. Bekerja di Ketinggian

Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per. /Men/2011 tentang Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Bekerja pada Ketinggian, bekerja pada ketinggian adalah bekerja pada suatu tempat yang memiliki potensi pekerja terjatuh karena perbedaan ketinggian yang dapat menyebabkan cidera atau kematian. Tempat tersebut dapat berada di atas atau di bawah suatu level dasar atau pekerja untuk naik mau pun turun mendapatkan

“jalan-masuk-ke” (access to) atau “jalan-keluar-dari” (egress from) suatu tempat ketika bekerja, dengan tidak menggunakan tangga-jalan (staircase) yang ada pada bangunan permanen.

Bekerja pada ketinggian (working at height) mempunyai potensi bahaya yang besar. Ada berbagai macam metode kerja di ketinggian seperti menggunakan perancah (scaffolding) tangga, gondola dan sistem akses tali (Rope Access Systems). Masing–masing metode kerja memiliki kelebihan dan kekurangan serta risiko yang berbeda–beda. Oleh karenanya pengurus atau pun manajemen perlu mempertimbangkan pemakaian metode dengan memperhatikan aspek efektifitas dan risiko

(11)

baik yang bersifat financial dan non financial. Aspek risiko akan bahaya keselamatan dan kesehatan kerja harus menjadi perhatian utama semua pihak di tempat kerja. Hal ini selain untuk memberikan jaminan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja bagi tenaga kerja, juga sangat terkait dengan keselamatan asset produksi (Prosafe Global Energy, 2012).

2. Perancah (Scaffolding) a. Definisi

Dalam setiap pembangunan terutama pada bidang konstruksi, pastilah dibutuhkan suatu alat guna memperlancar dan bagi keselamatan setiap pekerja agar keselamatan lebih terjamin maka di perusahaan membutuhkan alat yang bisa digunakan bekerja di ketinggian dan mampu menjamin keselamatan para pekerjanya.

Untuk itu digunakan alat yang dinamakan scaffolding (Sari Husada, 2012).

Menurut Permenakertrans No. Per. 01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan, Perancah (scaffolding) ialah bangunan peralatan (platform) yang dibuat untuk sementara dan digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan- bahan serta alat-alat pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan termasuk pekerjaan pemeliharaan dan pembongkaran.

(12)

Menurut Tarwaka (2008), analisis pencegahan dan pengendalian bahaya mengikuti daripada hirarki pengendalian (Hirarcy Of Control), yaitu :

1) Eliminasi

Eliminasi adalah suatu upaya yang digunakan untuk menghilangkan metode, bahan, ataupun proses yang berbahaya yang ada secara keseluruhan. Eliminasi adalah cara pengendalian risiko yang paling baik karena risiko terjadinya kecelakaan dan sakit akibat potensi bahaya ditiadakan.

2) Substitusi

Substitusi merupakan upaya untuk mengganti bahan, material atau proses yang mempunyai potensi risiko tinggi dengan bahan, material atau proses yang mempunyai potensi risikonya rendah yang lebih aman.

3) Rekayasa Teknik (Engineering Revision)

Pengendalian atau rekayasa teknik termasuk merubah struktur objek kerja untuk mencegah seseorang terpapar pada potensi bahaya, seperti pemberian pengaman mesin, penutup ban berjalan, pembuatan struktur pondasi mesin dengan cor beton, pemberian alat bantu mekanik, pemberian peredam suara pada dinding ruang mesin yang menghasilkan kebisingan tinggi atau membuat / menciptakan desain baru.

(13)

4) Isolasi

Isolasi merupakan suatu upaya yang dilakukan untuk mencegah bahaya dengan cara memisahkan bahaya dari manusia agar tidak terjadi kontak langsung, dapat dilakukan dengan pemberian pagar atau ruangan sendiri.

5) Pengendalian Administratif

Pengendalian Administratif dilakukan dengan menyediakan suatu sistem kerja yang dapat mengurangi kemungkinan seseorang terpapar potensi bahaya. Pengendalian adminstratif dapat berhasil atau tidaknya tergantung dari perilaku tenaga kerja itu sendiri dan juga memerlukan pengawasan yang teratur untuk dipatuhinya pengendalian adminstratif ini.

6) Alat Pelindung Diri (APD)

Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan suatu upaya yang dilakukan jika bahaya-bahaya yang ada tidak dapat dikendalikan secara teknis. Alat pelindung diri merupakan alternatif terakhir. Penggunaan alat pelindung diri disesuaikan dengan sumber bahaya yang terdapat pada lingkungan. Hal ini dimaksudkan untuk mengurangi keparahan akibat bahaya yang ditimbulkan. Penggunaan alat pelindung diri merupakan alternative terakhir, karena mempunyai kelemahan antara lain : a) Alat Pelindung Diri (APD) tidak menghilangkan risiko

bahaya yang ada, tetapi hanya membatasi antara

(14)

terpaparnya tubuh dengan potensi bahaya yang diterima.

Bila penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) gagal, maka secara otomatis bahaya yang ada akan mengenai tubuh tenaga kerja.

b) Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dirasakan tidak nyaman, karena kekurangleluasaan gerak pada waktu kerja dan dirasakan ada beban tambahan karena harus dipakai selama bekerja.

b. Jenis – jenis scaffolding

Menurut Sari Husada (2012) ada banyak jenis scaffolding yang saat ini banyak digunakan pada pekerjaan konstruksi bangunan, antara lain :

1) Modular scaffold

Adalah scaffolding yang seluruh perlengkapannya dibuat melalui pabrikasi termasuk rangka yang menyilang.

2) Frame scaffold

Rangka scaffolding yang dibuat secara pabrikasi termasuk rangka menyilang dan perlengkapannya.

3) Independent scaffold

Scaffolding yang dilengkapi dengan tiang sebanyak dua atau lebih dihubungkan satu dengan yang lain secara melintang dan membujur.

(15)

4) Hanging scaffold

Scaffolding Independent yang digantunghkan pada salah satu struktur tetap dan tidak dapat diangkat dan diturunkan.

5) Mobile scaffold

Scaffolding yang berdiri sendiri dan dapat berpindah dan dilengkapi roda pada bagian bawah tiang.

6) Single pole scaffold

Scaffolding terdiri dari tiang satu deret yang disambung dengan ledger, putlog diikat pada ledger dan diperkuat pada salah satu dinding struktur tetap atau bangunan.

7) Tube scaffold

Scaffolding yang mempergunakan pipa sebagai tiang, rangka menyilang, pengikat dan lain-lain, yang disambung dengan klamp.

8) Scaffolding Over

Scaffolding yang dipasang disuatu ketinggian tertentu pada bagian luar suatu bangunan yang sifatnya dibangun ke atas atau ke bawah yang berdiri sendiri dengan bantuan batang penopang.

a) Spur scaffold

Scaffolding yang tidak dipasang dari landasan namun dimulai dari suatu ketinggian yang berada pada bagian luar dari bangunan yang dibantu oleh batang penopang dari bawah.

(16)

b) Cantilever scaffold

Scaffolding yang ditopang oleh struktur (cantilever), dengan prinsip kerja seperti tuas.

c) Drop scaffold

Scaffolding yang dibuat karena tidak memungkinkan membangun scaffolding jenis yang lain. Dirancang sebagai jenis scaffolding beban sedang yang dilengkapi 3 lift yang terpasang ke bawah.

c. Komponen – komponen dari scaffolding

Menurut Alkon (1997) dalam struktur pendirian scaffold ada banyak macam bagian-bagian yang tidak dipisahkan dari scaffold, komponen- komponen tersebut antara lain :

1) Tiang vertikal (standart)

Merupakan tiang utama dari konstruksi scaffolding. Tiang vertikal harus berdiri dengan dilandasi/ di atas Base plates atau Jack Base pada dasar yang tidak rata, pipa harus lurus dengan ukuran medium (22mm x 1 ½ x 6m)

2) Ledger (Gelegar memanjang)

Ledger berfungsi sebagai pengikat antara tiang vertikal dan untuk membentuk lift pada perancah dan sebagai tumpuan transom, antara standart dan ledger harus diikat dengan clamp mati (right angle coupler). Jarak standart dengan ledger 1,60 m.

(17)

3) Transom (Gelegar melintang)

Transom terpasang di atas ledger gunanya untuk penumpu platform/ pelataran kerja. Jarak standart dari transom adalah 3,4 feet (1m) pada ketebalan papan 38 mm, tidak diperbolehkan memasang transom di bawah ledger, dan harus menggunakan clamp mati (right angle coupler).

4) Bracing (pipa silang)

Adalah pipa silang yang harus disediakan pada setiap konstruksi perancah, yang berfungsi sebagai penguat / membuat kekakuan pada konstruksi perancah. Harus diikat dengan clamp hidup (Swivel Coupler).

5) Guardrail / Handrail (palang pengaman)

Handrail dipasang di atas midrail dan harus diikat dengan clamp mati (Right angle coupler), berfungsi sebagai palang pengaman agar orang tidak jatuh saat berada di atas pelataran.

6) Midrail (palang tengah)

Midrail terpasang pada guardrail post di bawah Handrail dan di atas toe board, fungsinya adalah untuk menjaga agar orang tidak jatuh pada saat berada di bawah handrail.

7) Toe board (papan kaki)

Toe Board ditempatkan di atas platform atau pelataran kerja di bawah midrail, minimum ketinggian toe board adalah 15 cm dari lantai kerja. Fungsinya adalah untuk menjaga agar peralatan atau

(18)

material yang berada di atas platform tidak jatuh apabila tidak sengaja tertendang.

8) Timber Sole / Sole plate (papan alas)

Timber sole ditempatkan di bawah dari tiang vertikal, di bawah base plates atau jack base. Fungsinya adalah untuk menahan agar tiang vertikal tidak ambles pada permukaan yang lembek, dan juga berfungsi untuk menyalurkan beban pada tiang vertikal, tersebar merata kelandasan yang lebih luas.

9) Base Plates (plat dasar)

Base plates dipasang di atas timber sole dan di bawah sebagai alas tiang vertikal. Fungsinya adalah untuk menjaga kerusakan pada ujung tiang vertikal dan menjaga agar tiang vertikal tidak bergeser dan dipakukan ke timber sole.

10) Jack Base (plat dasar yang bisa diajas)

Jack Base digunakan untuk landasan tiang vertikal apabila dasar dari perancah / scaffolding tidak rata, karena jack base bisa diajas untuk menaikkan dan menurunkan tiang vertikal.

11) Swivel Coupler (clamp hidup)

Swivel Coupler hanya digunakan untuk mengikat pipa silang atau menyambung pipa, tidak diperbolehkan untuk mengikat pipa horizontal dengan pipa vertikal.

(19)

12) Right Angle Coupler (clamp mati)

Right Angel Coupler hanya digunakan untuk mengikat pipa horizontal dengan pipa vertikal, tidak diperbolehkan untuk mengikat pipa silang.

13) Joint Pin (penyambung)

Joint Pin digunakan sebagai penyambung antara ujung pipa.

d. Penggunaan Scaffolding

Scaffolding dibuat dan digunakan sebagai alat untuk menjaga agar orang yang bekerja dan material-material / barang-barang yang berada di atas ketinggian tidak jatuh dan juga untuk mempermudah pekerjaan yang khususnya berada di atas ketinggian. Bisa juga digunakan sebagai penyangga suatu bangunan yang belum selesai (Sari Husada, 2012).

Menurut Alkon (1997) hal-hal terpenting yang harus dilakukan dalam penggunaan scaffolding / perancah, adalah :

1) Distribusi gaya muatan untuk perancah harus merata, untuk mencegah bahaya dan menjaga keseimbangan.

2) Dalam penggunaan perancah, harus dijaga bahwa beban / gaya muatan tidak boleh melebihi kapasitas yang ditentukan (over loaded).

3) Perancah tidak boleh dipakai untuk menyimpan bahan-bahan (material) kecuali bahan-bahan yang akan segera dipakai / dipasang.

4) Karyawan tidak boleh bekerja di dekat bangunan perancah sewaktu angin kecang.

(20)

5) Kejutan gaya yang besar tidak boleh dibebankan kepada perancah / scaffolding.

e. Menurut Sari Husada (2012) Rancang Bangun Scaffolding 1) Prinsip-prinsip umum

Rancang bangun scaffolding harus disesuaikan dengan : a) Kekuatan, stabilitas, dan kekokohan rangka penguat.

b) Penanganan pekerjaan secara normal dengan menggunakan scaffolding.

c) Keselamatan kerja personel dalam melaksanakan pekerjaan : (1) Pemasangan, perubahan dan pembongkaran scaffolding.

(2) Penggunaan scaffolding.

(3) Hal yang berkaitan dengan pekerjaan scaffolding.

2) Beban rancang bangun / desain, yaitu :

Australia Standart 1576-1 (1984) mengenalkan 3 (tiga) elemen beban dengan melibatkan perhitungan beban desain, yaitu :

a) Beban Mati ( Dead Loads)

Beban ini adalah berat scaffolding dan perlengkapannya, seperti :

Landasan / dek, pengaman tepi landasan, tali gantungan, pegangan tangan, tangga, jala pengaman, tali berjalan, komponen pengikat / kunci, hoist, kabel-kabel listrik dan lain- lain yang terkait.

(21)

b) Beban Tambahan ( Environmental Loads )

Beban yang timbul akibat pengaruh dari luar terhadap scaffolding, yaitu : kekencangan angin, beban hujan, beban salju dan lain-lain.

Dalam prakteknya beban tambahan ini dapat diperhitungkan seorang praktisi yang telah memiliki pengalaman yang luas.

c) Beban Hidup ( Live Loads )

Beban hidup yang dimaksudkan dalam penggunaan scaffolding adalah :

(1) Berat pelaksana / pekerja yang tidak boleh lebih dari 80kg setiap orang.

(2) Berat barang / material dan komponen yang diperlukan.

(3) Berat perkakas dan peralatan yang digunakan oleh pekerja.

(4) Berat beban tumbukan / benturan.

Adapun kategori berat beban hidup yang dapat ditanggung oleh scaffolding sesuai dengan schedule 6 AS 1575-1 (Australia Standart, 1984) adalah sebagai berikut :

(1) Scaffolding penggunaan ringan (Light duty) dengan beban maksimum 225 kg/bay.

(2) Scaffolding penggunaan sedang (medium duty) dengan beban maksimum 450kg/bay.

(3) Scaffolding penggunaan berat (heavy duty) dengan beban maksimum 675kg/bay.

(22)

3. Menurut Sari Husada (2012) potensi bahaya yang timbul pada saat bekerja di atas scaffolding yaitu :

a. Bahaya Terjatuh

Bahaya terjatuh bisa terjadi : 1) Saat memanjat scaffolding

2) Bekerja di platform scaffolding yang tidak berpagar.

3) Saat platform scaffolding terjatuh.

Jika pekerja bisa terjatuh dari ketinggian lebih dari 2 meter di scaffolding, lindungi mereka dengan menggunakan :

1) Guardrails dan

2) Sistem Fall Arrest Pribadi (SFAP)

Pekerja yang bekerja di scaffolding menghadapi risiko-risiko sebagai berikut :

a) Terjatuh dari ketinggian karena terpeleset, akses tidak aman, penutup papan yang tidak baik, dan ketiadaan perlindungan fall protection.

b) Terkena barang jatuh seperti peralatan dan perkakas.

c) Tersengat listrik dari power lines di atas kepala.

d) Scaffolding terjatuh karena tidak stabil dan melebihi beban yang diperbolehkan.

e) Berdekatan dengan sumber lain yang membahayakan.

f) Cuaca.

(23)

b. Barang Jatuh dari Ketinggian 1) Memakai helm

2) Barricade area si bawah scaffolding untuk menghindari orang lain masuk ke area kerja.

3) Papan atau jarring harus digunakan jika material yang disusun lebih tinggi dari toe-board.

4) Gunakan langit-langit atau jaring di bawah scaffolding yang bisa menahan atau mengamankan jika benda terjatuh dari ketinggian.

5) Pasang Catch Platforms.

c. Instalasi Listrik yang Tergantung

1) Kemingkinan untuk kesetrum harus dipertimbangkan jika bekerja berdekatan dengan instalasi listrik yang tergantung.

2) Periksa instalasi listrik bawah tanah dan tergantung sebelum membangun scaffolding.

3) Periksa semua instalasi bawah tanah.

4) Ketinggian harus 4,0 m atau 1,5 m dimana hanya material yang tidak bisa mengalirkan listrik seperti kayu dapat digunakan.

5) Jika kabel tidak bisa de-energised, harus dibalut dengan pembalut sepanjang scaffolding tambah 5,0 m lebih ke ujung kabel.

6) Harus lebih hati-hati jika cuaca lembab dan kondisi basah.

(24)

d. Scaffolding terjatuh

1) Pastikan scaffolding dibangun pada pelat dasar dan base plates, sole boards, dan lain-lain digunakan dengan benar.

2) Pastikan scaffolding diikat pada struktur dan mengait.

3) Mitigate against vehicle impact.

e. Cuaca

Scaffolding harus diperiksa setelah ada perubahan cuaca seperti : 1) Angin yang kencang

2) Hujan (periksa kemungkinan subsidence, erosi atau ponding di bawah pelat dasar.

3) Sheeted scaffolding akan menahan beban yang berat jika dihujani atau waktu angin yang kencang dan karena ini scaffolding harus dirancang oleh insinyur struktural.

4. Prosedur Keselamatan Kerja Scaffolding

Menurut Sari Husada (2012) prosedur-prosedur yang harus dilakukan guna menghindari adanya bahaya kecelakaan pada scaffolding harus dilaksanakan dengan semestinya, dan ditaati bagi setiap orang yang bekerja dengan menggunakan scaffolding, ataupun bagi scaffolder itu sendiri.

Agar proses pendirian dan pemakaian scaffolding aman dan tidak mengalami kecelakaan pada pekerja yang bekerja pada / di atas scaffolding, maka prosedur keselamatan kerja scaffolding harus

(25)

5. Pemasangan, Perawatan dan Pembongkaran Scaffolding

Proses pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding diperhatikan cara-cara atau prosedur pelaksanaan yang harus dijalankan seorang scaffolder (Sari Husada, 2012).

a. Pemasangan scaffolding

1) Sebelum memulai pendirian scaffolding pertama kali diperhatikan adalah kondisi dasar (ground), pastikan tidak longsor / tenggelam apabila kondisi dasar adalah tanah, apabila dasar konkret beton periksa ketebalannya.

2) Periksa semua kondisi material (pipa, clamp, papan, coupler dll) sebelum dibawa ke lapangan. Material kontrol juga ikut bertanggung jawab di dalam pemeriksaan kondisi material.

3) Sebelum mulai mendirikan scaffolding, pastikan kondisi sekitarnya aman, tidak ada kabel power di atasnya, tidak terlalu dekat dengan lobang-lobang galian, tidak ada pekerjaan- pekerjaan pengangkatan di sekitarnya (lifting) di sekitar lokasi pemasangan scaffolding.

4) Petugas keselamatan kerja/ safety bekerja sama dengan supervisor sebelumnya memberikan pengarahan-pengarahan tentang peraturan-peraturan dan cara-cara kerja yang aman juga memeriksa semua peralatan keselamatan kerja setiap scaffolder.

5) Lokasi sekitar pendirian scaffolding harus dibarricade dan tempatkan papan pemberitahuan (notice board).

(26)

6) Semua kunci-kunci scaffolding harus diberi tali pengaman.

7) Tidak dibenarkan melempar ke atas semua material scaffolding, di dalam pemasangannya harus menggunakan tambang untuk menurunkan dan menaikkan material.

Cara pemasangan scaffolding tergantung dari tempat dimana akan dibuat scaffolding tersebut. Cara di atas adalah untuk scaffolding yang standar (tiang utama) bertumpu pada tanah, misal independent scaffolding. Untuk scaffolding yang digantung atau di atas bangunan konstruksi, misal hanging scaffolding yang harus dilakukan adalah membuat penahan atau pengikat dulu dengan struktur konstruksi. Komponen dari scaffolding yang bisa digunakan sebagai pengikat bisa dari handrail, transom, ledger tergantung dari posisi scaffolding dengan bangunan induk.

b. Perawatan scaffolding

Perawatan scaffolding mutlak diperlukan guna menjaga kondisi scaffolding agar tidak mengalami kerusakan dan senantiasa dapat dipakai dalam kondisi aman. Perawatan scaffolding sebelum digunakan :

1) Scaffolding sebelumnya harus diperiksa oleh petugas yang berwenang/ ahli untuk memastikan scaffolding sudah layak pakai atau belum.

(27)

2) Scaffolding harus diperiksa ulang seminggu sekali atau sesudah angin kencang/ cuaca buruk. Agar dapat diketahui lebih dini jika mengalami kerusakan.

3) Scaffolding harus diperiksa pemakai setiap harinya untuk memastikan kondisi lantai kerja tetap terikat dan tidak lepas atau hilang.

4) Scaffolding yang sudah layak pakai harus dilengkapi dengan scaffold tag yang berwarna hijau (green tag) yang berarti aman untuk digunakan.

5) Scaffolding yang belum siap pakai harus dilengkapi dengan red tag yang berarti tidak aman untuk digunakan.

6) Scaffolding harus dilengkapi dengan papan pemberitahuan keselamatan.

7) Semua material scaffolding harus diberi tanda (dicat) untuk mempermudah pengawasan dan pencarian apabila hilang.

c. Pembongkaran scaffolding

Melakukan pembongkaran scaffolding tidak boleh asal melepas bagian-bagian scaffolding yang terpasang, karena bila dilakukan pembongkaran tanpa/ tidak sesuai dengan ketentuan maka dapat terjadi kecelakaan. Yang perlu dilakukan :

1) Sebelum memulai pembongkaran scaffolding lokasi sekitar pembongkaran harus diberi barricade dan papan-papan pemberitahuan.

(28)

2) Pembongkaran scaffolding harus dilakukan oleh orang yang memasangnya, dan harus dimulai dari atas.

3) Jangan sekali-kali membongkar scaffolding dimulai dari bawah atau tengah dari konstruksi scaffolding.

4) Scaffolding tidak boleh dibongkar salah satu dari konstruksinya, kecuali bila masih tetap menjamin keselamatan pemakainya, atau atas ijin dari pengawas yang berwenang.

5) Dalam menurunkan material scaffolding pada pembongkarannya harus menggunakan tambang satu persatu diturunkan.

6) Tidak dibenarkan melemparkan ke bawah semua material scaffolding pada pembongkarannya.

Semua material yang telah dibongkar harus disusun rapi tidak boleh dibiarkan berserakan.

6. Pelaksanaan Pekerjaan

Bekerja di ketinggian menggunakan scaffolding perlu diperhatikan keselamatan kerjanya. Apabila pekerjaan dilakukan secara aman dan sesuai dengan prosedur kerja dalam penggunaan scaffolding, maka tenaga kerja akan aman, terlindungi keselamatan kerjanya.

7. Syarat-syarat Scaffolder

Menurut Alkon (1997) scaffolder adalah seorang yang telah memiliki sertifikasi scaffolding, dan diijinkan untuk mendirikan scaffolding.

Seorang scaffolder harus memiliki persyaratan fisik yang sehat, mental

(29)

melaksanakan pekerjaannya tidak mudah grogi / gugup apabila berada di atas ketinggian dan tidak ceroboh.

a. Syarat-syarat yang harus dimiliki oleh scaffolder, adalah : 1) Fisik

a) Memiliki kesehatan normal, yang dinyatakan dengan surat keterangan dokter.

b) Tidak memiliki cacat fisik dan batin.

c) Dapat membedakan warna / penglihatan jelas (tidak buta warna).

d) Tidak penggugup dan ceroboh.

e) Mempunyai pendengaran yang baik.

2) Mental

a) Tidak mempunyai cacat jiwa.

b) Dapat membaca dan menulis.

c) Mempunyai persepsi yang baik.

d) Tidak mudah grogi (gugup) ketika berada di ketinggian.

e) Dapat berkonsentrasi dengan baik.

f) Sudah terbiasa di atas ketinggian.

g) Dapat bekerja sama dengan orang lain.

h) Mempunyai jiwa kepemimpinan yang tegas.

3) Sikap

a) Dapat mengontrol emosi.

b) Sabar dan tenang dalam kondisi apapun.

(30)

c) Tidak ceroboh dan mempunyai perhitungan.

d) Disiplin, rajin dan bertanggung jawab.

4) Akhlak

a) Berbudi pekerti, akhlah yang baik b) Panutan bagi rekan yang lain.

Dalam Occupational, Health, Safety & Welfare Regulation, pada : 1) Regulation 1003, Sertifikat kompetensi merupakan pegangan di

dalam melakukan pekerjaan scaffolding.

2) Regulation 1004, personil yang tidak memiliki sertifikat dapat melakukan pekerjaan scaffolding di bawah pengawasan seorang scaffolder bersertifikat, yang bersangkutan tidak boleh mengawasi personil yang tidak bersertifikat lebih dari 4 (empat) orang.

Perlengkapan seorang scaffolder : 1) Tagging scaffolding

2) Kunci scaffolding (rachet wrench) 3) Full body harness

4) Meteran

5) Level meter / water pas untuk menstabilkan scaffolding.

6) Tang

(31)

b. Tugas dari seorang scaffolder

Menurut Sari Husada (2012) seorang scaffolder memiliki tugas- tugas di lapangan yang harus dilaksanakan guna menghindari kecelakaan yang timbul dari scaffolding.

Tugas tersebut antara lain :

1) Memeriksa bahan atau material scaffolding dari kerusakan atau cacat yang tidak layak untuk digunakan.

2) Memeriksa kelengkapan peralatan scaffolding, alat-alat pengaman seperti : sabuk pengaman, jaring pengaman, dll 3) Melaksanakan metode dan prosedur kerja yang aman tenaga

kerja yang menggunakan scaffolding yang dibuat oleh ahli scaffolding (scaffolder).

4) Membantu memberikan pengarahan kepaada pekerja untuk menggunakan wajib kerja yang efisien, ruang lingkup dan menerapkan prosedur kerja yang telah ditetapkan khususnya untuk pekerjaan dengan menggunakan scaffolding.

5) Merawat scaffolding dan bagian-bagiannya agar tetap dapat dipakai, operator perancah hanya melaksanakan pemasangan, perawatan dan pembongkaran berdasarkan rancangan atau desain yang dibuat oleh pengawas / ahli di bidang scaffolding.

(32)

c. Kewajiban seorang scaffolder

Menurut Sari Husada (2012) hal-hal yang menjadi kewajiban seorang scaffolder didalam menjalankan tugasnya adalah :

1) Dilarang meninggalkan area selama scaffolding digunakan oleh pekerja.

2) Melakukan pemeriksaan dan pengamatan terhadap kondisi / kemampuan dukung serta merawat bagian-bagiab scaffolding seperti : standart, ledger, transom, base plate, plank dan join pin.

3) Operator harus mengisi buku laporan harian perawatan scaffolding.

4) Apabila scaffolding dan bagian-bagiannya tidak berfungsi dengan baik / rusak, operator harus segera melaporkan pada pengawas atau ahli yang berwenang, dalam hal ini inspector scaffolding.

d. Perundang-undangan

Banyak kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan konstruksi adalah karena penggunaan scaffolding yang tidak tepat. Dan di dalam peraturan pemerintah telah disahkan undang-undang yang mengatur tentang scaffolding, diantaranya adalah :

1) Permenakertrans No. PER-01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi Bangunan.

(33)

a) Pasal 1 (e) yang berbunyi “Perancah (scaffolding) adalah bangunan pelataran (platform) yang dibuat untuk sementara dan digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan- bahan, serta alat-alat pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan termasuk pekerjaan pemeliharaan dan pembongkaran”.

b) Bab II, pasal 12

“ perancah yang aman harus disediakan untuk semua pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dengan aman oleh seorang yang berdiri di atas konstruksi yang kuat dan permanen kecuali apabila pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan aman dengan mempergunakan tangga”.

c) Bab II, pasal 13

(1) Ayat 1) “perancah hars diberi lantai papan yang kuat dan rapat sehingga dapat menahan dengan aman tenaga kerja, alat-alat dan bahan-bahan yang dipergunakan”.

(2) Ayat 2) “lantai perancah harus diberi pagar pengaman apabila tinggi lantai lebih dari 2 meter”.

2) Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3) Occupational Health Safety & Welfare ACT 1984 (the ACT).

4) Occupational Health Safety & Welfare Regulation (standart Australia)

(34)

B. Kerangka Pemikiran

Bekerja di Ketinggian

Scaffolding

Pelaksanaan Pekerjaan Prosedur / SOP

Perawatan

Pemasangan Pembongkaran

Sesuai dengan Prosedur Kerja Scaffolding

Aman

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

(35)

commit to user 30 BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, yaitu memberikan gambaran secara jelas yang terbatas pada usaha mengungkapkan suatu masalah dan keadaan sebagaimana adanya sehingga hanya merupakan penyingkapan suatu fakta dan data yang diperoleh digunakan sebagai bahan penulisan laporan (Sari Husada, 2012).

Dalam laporan ini, penulis memaparkan hasil peninjauan, pengamatan dan penelitian terhadap penggunaan scaffolding dan cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta.

B. Lokasi Penelitian

Lokasi perusahaan tempat penulis melaksanakan kegiatan magang di PT.

Sari Husada Unit 1 Yogyakarta yang beralamatkan di Jalan Kusumanegara 173 Yogyakarta, telp (0274) 512990.

C. Objek dan Ruang Lingkup Penelitian

Objek penelitian ini adalah penggunaan scaffolding dan cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding di PT. Sari Husada Unit 1

(36)

Yogyakarta. Kegiatan yang dilakukan meliputi Safety talk, Review JSA, mengisi working permit.

D. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian berasal dari : 1. Data Primer

Mengadakan observasi langsung ke lapangan dan dengan melakukan peninjauan, pemeriksaan, dan pengujian terhadap penggunaan scaffolding dan cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding.

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari data pemeriksaan sebelumnya, dan digunakan sebagai data pendukung dalam penulisan laporan.

E. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi Lapangan

Observasi yang dilakukan adalah dengan melakukan pengamatan langsung terhadap penggunaan scaffolding di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta.

2. Wawancara

Wawancara dilakukan dengan cara melakukan tanya jawab dengan pembimbing lapangan serta pekerja yang menggunakan scaffolding.

(37)

3. Dokumentasi

Dokumentasi dilakukan dengan cara mempelajari dokumen-dokumen dan catatan-catatan serta literatur-literatur yang ada di perusahaan yang berhubungan dengan masalah penggunaan scaffolding dan juga cara pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding.

F. Pelaksanaan

Pelaksanaan magang efektif dilaksanakan selama 1(satu) bulan. Magang dimulai sejak tanggal 5 Maret sampai dengan tanggal 4 April 2012.

Tahap pelaksanaan kegiatan magang di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta meliputi :

1. Induksi oleh safety coordinator, sebelum dimulai kegiatan magang.

2. Orientasi lapangan di perusahaan tempat penulis melaksanakan magang.

3. Pengumpulan materi dan informasi tentang perusahaan dari pembimbing perusahaan maupun dari orang-orang yang berkompeten di bidangnya.

4. Wawancara dengan supervisor atau orang yang menangani bidang tertentu.

5. Pengamatan secara langsung yang didampingi oleh pembimbing lapangan (safety inspector).

6. Pengumpulan materi berdasarkan dokumen referensi yang diberikan oleh pembimbing perusahaan

G. Analisis Data

(38)

Data yang diperoleh akan dimasukkan dan disusun ke dalam hasil penelitian. Kemudian akan dibahas dengan cara membandingkan hasil dengan beberapa peraturan perundangan yang terkait, antara lain :

1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER- 01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Konstruksi.

2. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

3. Occupational Health Safety & Welfare ACT 1984 (the ACT).

4. Occupational Health Safety & Welfare Regulation (Standart Australia).

(39)

commit to user 34 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta menggunakan scaffolding sebagai alat bantu berupa rangka sementara yang dipasang khusus untuk mendukung pekerjaan di atas ketinggian seperti pekerjaan untuk pengelasan, isolasi, pengecatan, menggerinda, dan jenis pekerjaan lainnya.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan di PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta didapat hasil sebagai berikut :

1. Sistem Pengendalian Risiko Scaffolding

Analisis pencegahan dan pengendalian risiko mengikuti teori hirarki pengendalian (Hirarcy of Control), yaitu :

a. Eliminasi b. Substitusi

c. Rekayasa Teknik (Engineering Revision) d. Isolasi

e. Pengendalian Administratif f. Alat Pelindung Diri (APD)

(40)

2. Prosedur Bekerja di Ketinggian a. Sebelum Bekerja di Ketinggian

1) Melakukan identifikasi dan penilaian terhadap potensi risiko dan bahaya (HIRAC) jatuh di tempat kerja termasuk ketinggian di atas 2 meter.

2) Bahaya jatuh meliputi bahaya : a) Bahaya pekerja jatuh b) Bahaya obyek jatuh

c) Bahaya bekerja di atas atau di bawah pekerja lain

d) Bahaya bekerja di area yang memiliki struktur pijakan pada suatu alat dari atau di alat tersebut.

3) Melakukan peninjauan dan penilaian ulang kembali terhadap suatu perubahan dari aktivitas tersebut termasuk pengendalian operasionalnya.

4) Karyawan yang bekerja di ketinggian harus tersedia APD (Alat Pelindung Diri) yang sesuai dan memadai untuk menghindari dari bahaya jatuh dan kejatuhan benda.

5) Menjamin bahwa karyawan dan kontraktor yang bekerja di ketinggian dengan scaffolding sudah memahami standard dan prosedur bekerja di ketinggian menggunakan scaffolding.

6) Setiap area kerja harus memiliki minimal prosedur kerja sebagai berikut :

(41)

b) Konstruksi atap dan tepiannya.

c) Alat angkat dan angkut di ketinggian (gondola,hoist,dll) d) Penggunaan tangga

e) Penggunaan scaffolding.

b. Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam kondisi bekerja di ketinggian :

1) Frekuensi akses dan bahaya terkait, (misalnya tanah / kondisi atap, permukaan licin)

2) Pengkabelan dan bahaya listrik 3) Isolasi

4) Rapuh atap

5) Mempertimbangkan kemungkinan kecelakaan terjadi dan konsekuensi dari setiap kecelakaan. Ulangi penilaian risiko ketika ada perubahan personel atau kondisi.

6) Menyediakan pagar pengaman, handrails, palang dan overhead protection lainnya.

7) Menyediakan EWP (Elevating Work Platform) 8) Menyediakan scaffolding

9) Menyediakan sistem penahan jatuh (fall arrest system) dan safety netting (jala pengaman)

(42)

c. Saat bekerja di ketinggian

1) Personal yang bekerja di ketinggian di atas 2 meter harus menggunakan APD yang lengkap, sesuai dan sudah dilakukan pengecekan terlebih dahulu sebelum digunakan.

2) Personal yang bekerja di ketinggian harus menyiapkan guardrails (handrail & midrail) (pagar pembatas), catwalk (tempat berpijak), toeboard (penahan benda jatuh dari catwalk) dan hanger (tempat menggantungkan body harness)

3) Diharuskan melakukan inspeksi area terlebih dahulu, sebelum melakukan pekerjaan agar dapat menentukan di mana akan ditempatkan hanger untuk mencantolkan body harness

4) Area terbuka untuk bekerja di ketinggian harus bebas dari segala sesuatu minimal sejauh 1 m2.

3. Standar APD untuk bekerja di ketinggian

a. Standar peralatan pengaman dan APD yang harus digunakan bekerja di ketinggian kurang dari 2 meter :

1) Ladders (tangga yang dapat diperpanjang/ tangga lepas mekanik)

2) Safety Shoes

3) Safety Helmet yang bertali 4) Spectacles

5) Sarung tangan

(43)

b. Standar peralatan penggunaan dan APD yang harus digunakan bekerja di atas ketinggian 2 meter :

1) Safety Shoes

2) Safety Helmet yang bertali 3) Spectacles

4) Sarung tangan

5) Body Harness lengkap dengan 2 tali pengaman 6) Scaffolding yang lengkap sesuai standar

7) Safety Vest

8) Rambu-rambu K3

c. Alat pengaman tambahan (jika harus diperlukan) : 1) Tali dinamik

2) Tali statik 3) Karabiner 4) Pulley 5) Ascender 6) Descender 7) Anchor Strap

4. Prosedur Pengamanan Scaffolding

Scaffolding ditujukan untuk meminimalkan risiko atau mencegah potensi-potensi bahaya yang diakibatkan oleh pekerja (pada pekerjaan yang dilakukan di ketinggian) dan juga untuk mencegah kerusakan peralatan atau asset-aset perusahaan lainnya maupun lingkungan.

(44)

Penggunaan scaffolding secara aman harus dilakukan agar kecelakaan kerja yang tidak diinginkan tidak terjadi dan menimbulkan kerugian.

a. Platform yang terpasang pada scaffolding atau pada struktur bangunan harus dipasang dengan aman untuk mencegah agar pekerja tidak jatuh. Platform harus dibuat leluasa (cukup luas) dengan perlindungan yang cukup dilengkapi handrail ditambah alat pengaman kaki (Toe Board) dengan lantai yang aman.

b. Menggunakan scaffolding yang sudah diperiksa setelah pemasangan table tanda aman seperti :

1) Kode warna merah (red tag), berarti scaffolding tidak aman untuk digunakan dan tidak boleh digunakan.

2) Kode warna hijau (green tag), berarti scaffolding aman dan dapat digunakan.

3) Kode warna kuning (yellow tag), berarti scaffolding boleh digunakan dengan ijin scaffolding inspector.

c. Mengikat material untuk mencegah jatuh.

d. Membatasi jumlah beban untuk mencegah beban/ muatan jatuh dari platform.

e. Melarang meletakkan material atau membiasakan berserakan pada struktur bangunan.

f. Mengikatkan peralatan ke pinggang/ tubuh untuk mencegah jatuh pada saat yang tidak terduga.

(45)

g. Merapatkan celah-celah papan platform untuk mencegah atau menghindari alat-alat material jatuh ke bawah.

h. Menyingkirkan peralatan kerja untuk menghindari benturan di lantai kerja scaffolding.

i. Tempat untuk menahan scaffolding (pondasi tempat base plate) harus kuat (padat) untuk menghindari bahaya amblas. Gunakan papan alas (base plate) dan dongkrak perancah untuk menyangga scaffolding, ikatkan scaffolding yang tinggi pada struktur bangunan untuk keseimbangan.

j. Menyambungkan rangka scaffolding menjadi satu, pastikan klem- klemnya cukup kuat dan ikatlah untuk mencegah scaffolding ambruk.

k. Menyediakan tangga-tangga yang cukup guna sarana yang aman untuk naik turun dari dan ke tempat yang lebih tinggi.

l. Menggunakan kedua tangan pada saat naik/ memanjat (dilarang naik melalui cross brace) dan gunakan tali untuk menaikkan dan menurunkan peralatan atau material.

m. Melengkapi tempat berjalan dan tali pengaman agar para pekerja dapat aman pada saat bergerak pada struktur.

n. Memasang tanda pembatas pada lokasi dimana pekerja bekerja, agar orang lain yang tidak berkepentingan menjauh dari lokasi pekerjaan, serta memelihara pagar pembatas sampai pekerjaan selesai.

(46)

o. Scaffolding harus dipasang dengan jarak lebih dari 5 meter dari peralatan listrik atau mesin berputaran tinggi.

p. Bagian utama scaffolding dan fungsinya 1) Main frame

Struktur ini berfungsi sebagai struktur utama dari sebuah scaffolding.

2) Cross brace

Berfungsi sebagai pengikat dan pengaku pada suatu scaffolding agar scaffolding tidak mudah goyang dan tetap berdiri tegak.

3) Brace Lock (pen)

Berfungsi sebagai pengunci antara frame dan cross brace sehingga cross brace dapat terikat dengan baik. Terletak pada bahan frame.

4) Joint pin

Berfungsi sebagai penyambung antara bagian-bagian scaffolding, misalnya sebagai penyambung antar frame.

5) Jack base

Berfungsi sebagai kaki scaffolding yang dapat dinaik turunkan untuk menambah ketinggian scaffolding sesuai dengan ketinggian yang diinginkan.

(47)

6) U – head jack

Berfungsi sebagai penghubung antara scaffolding dengan kayu- kayu bekisting. Sama dengan jack base, U-head jack dapat dinaik turunkan sesuai dengan ketinggian yang diinginkan.

7) Catwalk/ Platform/ Deck

Berfungsi sebagai tempat berpijak yang dibentangkan di antara frame-frame scaffolding dengan kayu-kayu bekisting. Catwalk digunakan pada scaffolding yang berfungsi sebagai akses atau akomodasi untuk para pekerja bangunan.

8) Coupler

Berfungsi sebagai penyambung jika ingin menambahkan pipa penguat di luar bagian-bagian utama.

5. Sistem Pengecekan Scaffolding a. Kondisi landasan

1) Plat beton tidak miring, datar dan tidak boleh ada sisa sampah dari pecahan beton.

2) Tanah tidak miring, datar dan tidak boleh ada sampah proyek/

material disekitarnya. b. Kondisi karat

1) Kondisi karat stadium I

a) Warna cat pada pipa frame sangat jelas.

b) Karat hanya terjadi pada sebagian kecil saja.

c) Tidak terjadi pengeroposan atau lubang.

(48)

d) Kondisi ini sangat dianjurkan.

2) Kondisi karat stadium II

a) Warna cat masih terlihat namun tidak terlihat jelas karena mengelupas.

b) Karat terjadi pada sebagian besar pipa frame.

c) Tidak terjadi pengeroposan atau lubang.

d) Kondisi ini masih dianjurkan.

3) Kondisi karat stadium III

a) Warna cat sudah tidak terlihat lagi (mengelupas semua) b) Hamper seluruh badan frame tertutup oleh karat.

c) Tidak terjadi pengeroposan atau lubang.

d) Kondisi ini tidak dianjurkan, perlu rekondisi.

4) Kondisi karat stadium IV

a) Terjadi pengeroposan, patah atau lubang b) Kondisi ini tidak boleh dipakai.

c. Macam pemeriksaan item dari scaffolding dilakukan oleh safety professional PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta. Scaffolding tidak boleh digunakan jika belum mendapatkan persetujuan dari safety professional (safety inspector tidak akan menandatangani working permit).

(49)

Gambar 2. Scaffolding dan bagian-bagiannya.

Sumber: Standard of Working at Height, 2009 6. Cara Pemasangan, Perawatan dan Pembongkaran Scaffolding

Proses pemasangan, perawatan dan pembongkaran scaffolding diperhatikan cara-cara atau prosedur pelaksanaan yang harus dijalankan seorang scaffolder.

a. Pemasangan scaffolding

1) Sebelum memulai pendirian scaffolding pertama kali diperhatikan adalah kondisi dasar (ground), pastikan tidak longsor / tenggelam apabila kondisi dasar adalah tanah, apabila dasar konkret beton periksa ketebalannya.

2) Periksa semua kondisi material (pipa, clamp, papan, coupler) sebelum dibawa ke lapangan. Material kontrol juga ikut bertanggung jawab di dalam pemeriksaan kondisi material.

3) Sebelum mulai mendirikan scaffolding, pastikan kondisi sekitarnya aman, tidak ada kabel power di atasnya, tidak terlalu dekat dengan lubang-lubang galian, tidak ada pekerjaan-

(50)

pekerjaan pengangkatan di sekitarnya (lifting) di sekitar lokasi pemasangan scaffolding.

4) Petugas keselamatan kerja/ safety bekerja sama dengan supervisor sebelumnya memberikan pengarahan-pengarahan tentang peraturan-peraturan dan cara-cara kerja yang aman juga memeriksa semua peralatan keselamatan kerja setiap scaffolder.

5) Lokasi sekitar pendirian scaffolding harus dibarricade dan tempatkan papan pemberitahuan (notice board).

6) Semua kunci-kunci scaffolding harus diberi tali pengaman.

7) Tidak dibenarkan melempar ke atas semua material scaffolding, di dalam pemasangannya harus menggunakan tambang untuk menurunkan dan menaikkan material.

Cara pemasangan scaffolding tergantung dari tempat dimana akan dibuat scaffolding tersebut. Cara di atas adalah untuk scaffolding yang standar (tiang utama) bertumpu pada tanah, misal independent scaffolding. Untuk scaffolding yang digantung atau di atas bangunan konstruksi, misal hanging scaffolding yang harus dilakukan adalah membuat penahan atau pengikat dahulu dengan struktur konstruksi. Komponen dari scaffolding yang dapat digunakan sebagai pengikat bisa dari handrail, transom, ledger tergantung dari posisi scaffolding dengan bangunan induk.

(51)

b. Perawatan scaffolding

Perawatan scaffolding mutlak diperlukan guna menjaga kondisi scaffolding agar tidak mengalami kerusakan dan senantiasa dapat dipakai dalam kondisi aman. Perawatan scaffolding sebelum digunakan :

1) Scaffolding sebelumnya harus diperiksa oleh petugas yang berwenang/ ahli untuk memastikan scaffolding sudah layak pakai atau belum.

2) Scaffolding harus diperiksa ulang seminggu sekali atau sesudah angin kencang/ cuaca buruk. Agar dapat diketahui lebih dini jika mengalami kerusakan.

3) Scaffolding harus diperiksa pemakai setiap harinya untuk memastikan kondisi lantai kerja tetap terikat dan tidak lepas atau hilang.

4) Scaffolding yang sudah layak pakai harus dilengkapi dengan scaffold tag yang berwarna hijau (green tag) yang berarti aman untuk digunakan.

5) Scaffolding yang belum siap pakai harus dilengkapi dengan red tag yang berarti tidak aman untuk digunakan.

6) Scaffolding harus dilengkapi dengan papan pemberitahuan keselamatan.

7) Semua material scaffolding harus diberi tanda (dicat) untuk mempermudah pengawasan dan pencarian apabila hilang.

(52)

c. Pembongkaran scaffolding

Melakukan pembongkaran scaffolding tidak boleh asal melepas bagian-bagian scaffolding yang terpasang, karena bila dilakukan pembongkaran tanpa/ tidak sesuai dengan ketentuan maka dapat terjadi kecelakaan. Yang perlu dilakukan :

1) Sebelum memulai pembongkaran scaffolding lokasi sekitar pembongkaran harus diberi barricade dan papan-papan pemberitahuan.

2) Pembongkaran scaffolding harus dilakukan oleh orang yang memasangnya, dan harus dimulai dari atas.

3) Jangan sekali-kali membongkar scaffolding dimulai dari bawah atau tengah dari konstruksi scaffolding.

4) Scaffolding tidak boleh dibongkar salah satu dari konstruksinya, kecuali bila masih tetap menjamin keselamatan pemakainya, atau atas ijin dari pengawas yang berwenang.

5) Dalam menurunkan material scaffolding pada pembongkarannya harus menggunakan tambang satu persatu diturunkan.

6) Tidak dibenarkan melemparkan ke bawah semua material scaffolding pada pembongkarannya.

7) Semua material yang telah dibongkar harus disusun rapi tidak boleh dibiarkan berserakan.

(53)

7. Tangga (Ladder)

Pemasangan scaffolding perlu juga diperhatikan masalah penggunaan tangga (ladder). Tangga bukan merupakan tempat bekerja, tetapi merupakan salah satu temporary akses untuk survey, inspeksi atau pekerjaan-pekerjaan ringan lainnya. Pengecekan tangga yang bekerja di atas ketinggian 2 meter wajib memperoleh persetujuan safety professional PT. Sari Husada Unit 1 Yogyakarta.

a. Konstruksi tangga :

1) Jarak antar anak tangga tidak boleh kurang dari 25 cm dan tidak boleh lebih dari 35 cm.

2) Tangga kerja lepas yang portable tidak boleh lebih dari 6 m.

3) Lebar antara kaki ujung atas minimal 40 cm dan lebar di bawah minimal 50 cm dan pengikat harus terkunci dengan baik (maksimal untuk 3 meter, setiap kenaikan tinggi harus ditambah 5 cm).

4) Harus diberi alas agar tidak tergelincir.

5) Untuk safety dan kemudahan penggunaan, peletakkan kemiringan tangga seharusnya dibuat pada perbandingan sudut 4:1.

6) Lebar bagian atas tangga berkaki minimal 20 cm.

(54)

b. Jenis tangga portable : 1) Single Ladders

a) Single tangga terdiri dari dua sisi rel dan merata jarak anak tangga.

b) Tidak memiliki bagian yang bergerak, tidak mandiri dan tidak disesuaikan panjangnya.

c) Ukuran didefinisikan oleh panjang keseluruhan samping rel, tidak termasuk ujung kaki dan bagian atas.

d) Lebar anak tangga kurang lebih 12 in dan panjang tangga sampai 3 meter.

e) Tipe satu (tugas berat) 9 meter, tipe dua (tugas medium) 7,3 meter dan tipe tiga (tugas ringan) 5 meter.

2) Extension Ladders

a) Tangga portable non mandiri yang dapat disesuaikan panjangnya.

b) Terdiri 2 atau lebih bagian yang dapat diperpanjang.

c) Tipe 1 jumlah section 2, panjang maksimum tangga 18 m;

;jumlah section 3, panjang maksimum tangga 22 m (tugas berat).

d) Tipe 2 jumlah section 2, panjang maksimum tangga 15 m;

jumlah section 3, panjang maksimum tangga 18 m (tugas medium).

(55)

e) Tipe 3 jumlah section 2, panjang maksimum tangga 9,5 m (tugas ringan).

3) Stepladders

a) Portable tangga yang mandiri yang panjangnya tidak bisa disesuaikan.

b) Tangga datar yang berengsel.

c) Panjang tangga ditentukan dengan panjang sisi depan, termasuk bagian atas dan kaki.

d) Kemiringan stepladders dirancang sedemikian rupa sehingga saat dibuka kemiringan tidak lebih dari 75o.

c. Ketentuan penggunaan tangga portable pada scaffolding :

1) Tangga yang terbuat dari metal dengan batas ketinggian 9 meter dan 15 meter, tangga tunggal atau yang dapat diatur kepanjangannya.

2) Tidak dianjurkan penguat tangga dipasang pada lantai kerja.

3) Prinsip utama dalam penggunaan tangga diatur sebagai berikut : a) Tangga lipat dibuat hanya untuk tempat yang betul-betul

terbuka dan posisi tanggaa dikunci.

b) Tangga harus diperiksa sebelum dipakai. Perhatikan kondisi tiang samping, karet anti slip, anak tangga, tali pengikat,dll.

c) Semua tangga harus bersandar di bagian atas untuk menambah kestabilan. Seorang harus memegang tangga

(56)

pada waktu teman lain mengikat bagian atasnya sampai selesai. Jadi untuk mendirikan tangga harus dua orang.

d) Ujung tangga paling tidak harus tiga anak tangga dari titik penyangga di atas platform.

e) Menghadaplah ke arah tangga sewaktu naik atau turun, jangan membelakangi.

f) Dilarang keras untuk mempergunakan tangga yang terbuat dari logam di lingkungan suatu instalasi listrik. Gunakan tangga dari kayu.

g) Setiap tangga harus memiliki spesifikasi, jangan menggunakan tangga sembarangan untuk menjamin keselamatan pemakai.

h) Tangga hanya dipasang pada jalur masuk ke lantai scaffolding.

i) Hanya satu orang yang dianjurkan berada pada tangga dalam waktu menaiki atau menuruni.

j) Tangga yang sudah rusak tidak boleh digunakan lagi, dan keluarkan tangga yang rusak dari tempat kerja / lapangan.

(57)

B. Pembahasan

1. Dalam penggunaan scaffolding analisa pencegahan dan pengendalian risiko telah mengikuti hirarki pengendalian (Hirarcy of Control), yaitu, melakukan eliminasi terhadap scaffolding yang akan digunakan untuk bekerja di ketinggian. Eliminasi merupakan cara pengendaliaan risiko yang paling baik karena risiko terjadinya kecelakaan dan sakit akibat potensi bahaya ditiadakan. Bila terdapat komponen scaffolding yang rusak telah dilakukan substitusi dengan mengganti scaffolding yang mempunyai potensi risiko tinggi dengan yang mempunyai potensi risiko rendah yang lebih aman sehingga penggunaannya dalam batas yang masih dapat diterima. Pada landasan yang kurang kokoh serta untuk menghindari bahaya angin, telah dilakukan rekayasa teknik dengan diberi penyangga di setiap sudut scaffolding, atau menggunakan tali yang diikatkan pada setiap sisi dan ditarik di setiap arahnya agar dapat berdiri kokoh. Isolasi dilakukan untuk mencegah bahaya dengan cara memisahkan bahaya dari manusia agar tidak terjadi kontak langsung dengan pemberian pagar pengaman. Pengendalian administrasi yang telah dilakukan melalui training keahlian, pengaturan waktu kerja serta penerapan prosedur kerja. Untuk pengendalian risiko yang terakhir perusahaan telah menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) seperti safety belt, safety shoes, safety helmet yang bertali, body harness.

2. Prosedur bekerja di ketinggian berfungsi untuk mengatur pelaksanaan kerja di ketinggian. Bekerja di ketinggian mengikuti prosedur kerja mulai

(58)

dari sebelum bekerja dengan melakukan identifikasi dan penilaian terhadap risiko dan bahayanya, peninjauan dan penilaian ulang, penggunaan scaffolding yang sudah sesuai standar sampai dengan saat pelaksanaan pekerjaan di ketinggian. Hal ini telah sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER- 01/MEN/1980 tentang Keselamatan Kerja Konstruksi Bangunan.

3. Standar peralatan pengaman dan APD harus diperhatikan penggunaannya. Untuk bekerja di ketinggian kurang dari 2 meter dan di atas ketinggian 2 meter. Perusahaan memberikan standar untuk bekerja di ketinggian kurang dari 2 meter yaitu penggunaan ladders, safety shoes, safety helmet yang bertali, spectacles, sarung tangan, dan rambu-rambu K3. Sedangkan untuk ketinggian lebih dari 2 meter, standar ditambahkan body harness lengkap dengan 2 tali pengaman. Standar APD untuk Bekerja di Ketinggian telah sesuai dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-01/MEN/1980. Dan Peraturan menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER- 08/MEN/VII/2010 tentang Alat Pelindung Diri, pasal 1 yang berbunyi

“Pengusaha wajib menyediakan APD bagi pekerja/buruh di tempat kerja”, serta pasal 3 yang berbunyi “APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diberikan oleh pengusaha secara cuma-cuma”.

4. Prosedur pengamanan dilakukan agar kecelakaan kerja yang tidak diinginkan tidak terjadi dan menimbulkan kerugian. Dipasang platform

Referensi

Dokumen terkait

Bentuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini membantu masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap bidang pendidikan atas pemberlakuan PSBB salah satunya adalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka permasalahan yang muncul dan perlu mendapat jawaban dalam penelitian ini adalah terdapat ketidakselarasan hukum dalam

Masli (2009) dalam jurnal penelitiannya yang berjudul “Analisis Faktor- faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesenjangan Regional antarkabupaten/kota di Provinsi

Melihat kedua buku tersebut di atas, penulis merasa mempunyai kewajiban untuk melanjutkan kembali penelitian tentang permintaan dan penawaran Islam, serta memposisikan diri

11-10-2016 Ansietas berhubungan dengan Perubahan Status Kesehatan ditandai dengan Pasien mengatakan masih memikirkan keadaannya, merasa cemas akan penyakitnya dan tindakan

Mempunyai sifat ulet,elastis, tidak bereaksi dengan sebagian besar bahan kimia dan mempunyai dimensi yang lebih stabil. Dilihat dari struktur kimianya epoxy

Syukur Alhamdulillah saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkah, rahmat, dan karunianya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Analisis

Berdasarkan alur pemaparan di atas, diidentifikasi terdapat korelasi antara variabel dukungan sosial, persepsi risiko dan interaksi sosial terhadap kepercayaan dan