• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEHIDUPAN OJŌMAN DI JEPANG NIHON NI OJŌMAN NO SEIKATSU SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KEHIDUPAN OJŌMAN DI JEPANG NIHON NI OJŌMAN NO SEIKATSU SKRIPSI"

Copied!
75
0
0

Teks penuh

(1)

1

KEHIDUPAN OJŌMAN DI JEPANG NIHON NI OJŌMAN NO SEIKATSU

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat

Ujian Sarjana Ilmu Sastra Jepang

Oleh :

JURAIDA ALISYA 120708054

DEPARTEMEN SASTRA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN 2016

(2)

2

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan Karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam juga penulis sampaikan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, seorang panutan dan suri tauladan, yang telah membawa umat manusia dari zaman kebodohan menuju zaman yang berilmu pengetahuan.

Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sastra (S.S) pada Departemen Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara adalah membuat suatu karya Ilmiah yang berupa skripsi. Oleh karena itu untuk memenuhi syarat tersebut peneliti menyusun sebuah skripsi yang berjudul: Kehidupan Ojōman Di Jepang.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan ini mungkin terdapat kekurangan yang disebabkan kurangnya pengalaman penulis akan memahami dan menyampaikan sesuatu. Oleh karena itu penulis dengan sepenuh hati memohon saran dan kritik yang membangun dari semua pihak atas tulisan ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca maupun masyarakat pada umumnya yang ingin mendalami ilmu sastra Jepang.

Medan, Penulis

JuraidaAlisya (120708010)

(3)

3 DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR...i

DAFTAR ISI...iv

BAB I PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang Masalah...1

1.2 Perumasan Masalah...5

1.3 Ruang Lingkup Masalah...7

1.4 Tinjauan Pustaka dan Kerangka Teori...9 1.4.1 Tinjauan Pustaka...

1.4.2 Kerangka Teori...

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian...

1.5.1 Tujuan Penelitian...

1.5.2 Manfaat Penelitian...

1.6 Metode Penelitian...

BABII GAMBARAN UMUM OJŌMAN

2.1 Definisi Ojōman...

2.2 Sejarah Munculnya Ojōman...

(4)

4

2.2.1 Generasi Pasca Perang...

2.2.2 Generasi Ekonomi Gelembung...

2.2.3 Ekonomi Gelembung Meletus...

BAB III KEHIDUPAN OJŌMAN DAN USAHA PEMERINTAH JEPANG DALAM MENGATASI MASALAH SOSIAL OJŌMAN...

3.1 Kehidupan Ojōman...

3.1.1 Strukur Krluarga Batih Dalam Keluarga Ojōman…...

3.1.2 Mencintai Ibu...

3.1.3 Gaya Hidup Dan Penampilan...

3.1.4 Kehidupan Dan Karir...

3.2 Usaha Pemerintah Jepang Dalam Mengatasi Masalah Sosial

Ojōman………...

3.2.1 UU Cuti Mengurus Anak...

(5)

5

3.2.2 Mengubah Gaya Bekerja Orang...

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN...

4.1 Kesimpulan...

4.2 Saran...

DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Pada umumnya masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang terkenal memiliki etos kerja yang luar biasa, pekerja keras, disiplin dan setia karena tetap

(6)

6

memagang teguh budaya semangat bushido seiring dengan kemajuan Jepang diberbagai bidang IPTEK. Sehingga berkat adanya budaya semangat bushido, saat ini Jepang berhasil menjadi salah satu negara dari Asia yang tingkat perekonomiannya dapat sejajar dengan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat.

Semangat bushido telah tumbuh secara alami selama berpuluh-puluh tahun pada masyarakat Jepang. Dalam kesehariannya masyarakat Jepang kontemporer terutama para pegawai atau shakaijin menerapkan falsafah bushido sebagai etos kerja. Bushido ( 武 = bu yang artinya beladiri, 士 = shi yang artinya samurai atau

orang dan 道 = dō yang artinya jalan atau cara) sehingga secara harafiah dapat

diartikan menjadi tata cara berperilaku kesatria adalah sebuah kode etik kepahlawanan golongan para samurai. Adapun nilai-nilai kebajikan bushido dalam buku The Soul Of Japan An Exposition Of Japanese Thought yang dipaparkan oleh Inazo (2008: 2) :

(1) Gi (義) Keadilan atau kejujuran.

(2) Yu (勇) keberanian.

(3) Jin (仁) murah hati.

(4) Rei (礼) Kesopansantunan.

(5) Makato(誠) ketulusan hati.

(6) Meiyo (名誉) kehormatan.

(7)

7

(7) Chugi (忠義) kesetiaan Kehormatan samurai dilandasi perasaan malu kepada atasan.

Bagi masyarakat Jepang syakaijin merupakan pahlawan bushido di masa Jepang kontemporer dan sangat dihormati dan dijunjung tinggi dalam tatanan sosial masyarakat Jepang. Hal ini dikarenakan mereka dianggap sudah mencapai tingkat kemampuan untuk memahami dan menjalankan segala macam bentuk kewajiban dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Seseorang bisa disebut sebagai shakaijin apabila mereka telah memberi kontribusi melalui bekerja di institusi atau perusahaan yang kemudiaan menghasilkan produk berupa barang atau jasa bisa dinikmati oleh masyarakat Jepang (Pratama, 2013: 1).

Istilah syakaijin berasal dari kata shakai yang berarti sosial masyarakat dan jin yang berarti orang, sehingga secarah harafiah shakaijin dapat diartikan sebagai orang yang bersosial masyarakat. Peninggian derajat seorang shakaijin telah memberikan dampak positif bagi masyarakat Jepang, salah satunya adalah munculnya kesadaran yang tinggi dalam diri seseorang ketika ia bekerja, semangat bekerja tumbuh dengan etos kerja yang tinggi untuk memberikan yang terbaik kepada keluarga dan masyarakat. Walaupun tidak sedikit juga yang kemudian menjadikannya pekerjaan sebagai prioritas dan tujuan hidup atau mengabdikan dirinya kepada pekerjaan melebihi segalannya termasuk keluarga (Pratama, 2013:2- 4).

(8)

8

Shakaijin sangat identik dengan sararīman 「サラリーマン」. Sarariman berasal

dari turunan bahasa Inggris, yaitu ‘salaried employee’ atau dalam bahasa Indonesia adalah karyawan bergaji. Sararīman adalah sebutan untuk seseorang yang bekerja di institusi/perusahaan, berpendapatan gaji atau hidupnya hanya tergantung dengan gaji. Perusahaan berharap mutlak kepada sararīman agar berprilaku loyal pada perusahaan, berdedikasi tangguh dan rela berkorban demi perusahaan (Jackson, 2015:118).

Secara umumnya sararīman adalah sosok pria, sedangkan sebutan untuk para pekerja wanita ialah career women. Bagi sararīman bekerja adalah sebuah prioritas dan tujuan hidup atau mengabdikan dirinya kepada pekerjaan melebihi segalanya termaksud keluarga. Semangat dan pantang menyerah mereka disimbolkan dengan berbagai semboyan yaitu “Lebih baik mati dari pada berkalang malu” dan makoto yang artinya "bekerja dengan giat, semangat, jujur serta ketulusan" serta falsafah yang lain yang dapat memacu semangat kerja dan membentuk etos kerja yang baik bagi para pekerja di Jepang.

Namun, apakah sebagian pria Jepang dewasa ini masih sama dengan generasi sebelumnya yang mengikuti tradisi leluhur mereka yaitu semangat bushido? seperti yang dialami negara–negara industri lainnya, sebagai imbalan atas kemajuan, Jepang juga mengalami perubahan salah satunya di bidang sosial, yaitu bertolak belakangnya sifat pemuda Jepang sekarang dengan pemuda generasi sebelumnya.

Osamu Nakano (2001 :indomedia.com), mengatakan kebanyakan orang muda Jepang dewasa ini, beranggapan bahwa masa bekerja keras, bersakit-sakit, produktif, dan kreatif tampaknya sudah lewat. Mereka yang dikenal dengan sebutan

(9)

9

shinjinrui atau generation x itu barangkali menganggap sudah selayaknya mereka menikmati kemakmuran negara.

Hal ini nyata terjadi dengan munculnya berbagai masalah sosial di tengah- tengah kehidupan masyarakat Jepang kontemporer, salah satunya adalah munculnya kelompok sosial yang disebut ojōman 「お嬢マン」 atau soushokukei

danshi 「草食系男子」dalam bahasa inggris adalah herbivore man.

Menurut Fukusawa (2008) dalam Jackson (2015:118), kelompok sosial ojōman atau soushokukei danshi merupakan bentuk jenis baru laki-laki yang ada di Jepang. Kelompok sosial ini muncul pertama kali pada tahun 2006 melalui artikel yang ditulis oleh Maki Fukusawa seorang kolumnis, editor, sekaligus CEO dari Tact Planning. Dalam artikel tersebut topik yang dibahas mengenai, munculnya kelompok jenis laki-laki baru di Jepang yang tidak agresif dalam urusan romantisme bersama wanita, tidak ambisius, cenderung sensitif dan konsumtif dalam hal fashion atau penampilan, dan suka melakukan pekerjaan yang pada umumnya dilakukan oleh wanita seperti memasak, menjahit, merangkai bunga dan sebagainya.

Munculnya keberadaan ojōman atau soushokukei danshi untuk pertama kali dipekernalkan kepada masyarakat umum oleh seorang kolumnis, editor, sekaligus CEO dari Tact Planning, Maki Fukusawa pada tahun 2006 . Istilah ini semakin populer setelah terbitnya buku yang berjudul “草食系男子恋愛学” (Soushokukei Danshi No Ren’ai Gaku) yang ditulis oleh salah satu psikolog Jepang, yaitu Masahiro Morioka dan penelitian yang berjudul “草食系男子「お嬢マン」が日本を

(10)

10

変える” (Soushokukei Danshi 'Ojouman’ Ga Nippon Wo Kaeru) disusun oleh

Megumi Ushikubo yang terbit pada tahun

2008(Chavez,http://www.japantimes.co.jp/community/2011/12/17/ourlives/herbiv orous-men-wheres-the-beef/).

Istilah ‘ojōman’ dalam bahasa Jepang ditulis dengan menggunakan kanji 「お 嬢マン」 yang terdiri atas kata ojō「お嬢 」 dan katakana man「マン」. Ojō berdefinisi

gadis atau nona sedangkan man adalah pria. Kanji ini juga digunakan dalam kata ojōsan 「お嬢さん」dan ojōsama「お嬢さま」yang biasanya untuk menyebutkan sosok

putri atau nona muda yang manja dan sensitif terhadap penampilan dan menyukai fashion. Ojōman dianggap sebagai versi pria dari ojōsan dan ojōsama karena ketiganya memiliki minat dan kesukaan yang sama (Itoh, Maki.

http://maki.typepad.com/justhungry/2010/05/soushokudanshi-the-herbivore-man/).

Ojōman juga dikenal dengan sebutan herbivore man dalam bahasa inggris atau soushokukei danshi 「草食系男子」 dalam bahasa Jepang. Menurut Maki

Fukusawa, mengatakan istilah ojōman diambil dari penelitian yang disebut Nagoya Jō「名古屋嬢」mengenai Nagoya Josei「名古屋女性」atau wanita Nagoya. Ojōman

dianggap mirip dengan citra Nagoya Josei yang memiliki sifat dekat dengan keluarga terutama ibu serta berpembawaan lembut dan tenang. Para wanita ini gemar berbelanja tetapi tidak pernah lupa menabung. Sifat-sifat ini juga diiliki ojōman (Subakingkin, 2011:3).

(11)

11

Berbeda dengan sararīman yang kurang memperhatikan penampilan luar mereka. Ojōman sangat menaruh minat yang tinggi terhadap penampilan. Mereka peduli dan sadar untuk menjaga penampilannya. Menurut Ushikubo (2008:23-24) dalam Jackson (2015:122), ojōman menaruh perhatian yang lebih akan hal-hal yang terkait dengan penampilan seperti melakukan diet, mengikuti gaya trend rambut, menumbuhkan bulu mata, suka memakai kosmetik, peduli dengan trend fashion, memakai produk perawatan rambut, make-up, aksesoris dan manicures semual hal tersebut sudah menjadi konsumsi mereka sehari-hari.

Istilah Ojōman juga dikenal dengan Soushokukei danshi. Soushokukei danshi bila secara kanji nya yaitu sō 「草」 rumput, shoku 「食」makan dan danshi 「男子」

pria. Sehingga secara harafiah soushokukei danshi adalah sebagai pria pemakan rumput atau pria herbivora atau herbivore man dalam bahasa Inggris. Akan tetapi, yang dimaksud dengan herbivora bukanlah kaum vegetarian yang suka memakan sayur-sayuran, melainkan suatu sebutan bagi kelompok sosial soushokukei danshi yang kurang kompetitif dan cenderung pria yang pasif dalam segala hal (https://id.wikipedia.org/wiki/30/4/13/soushokukei-danshi/).

Dari hasil penelitian yang dilakukan Ushikubo pada november 2008, terhadap 100 pemuda usia sekitar 20 tahun sampai 30-an yang tinggal di kota Tokyo dan kota-kota besar di sekitarnya, diketahui bahwa 60% diantaranya mengakui bahwa diri mereka adalah soushokukei danshi. Selain itu, dari survei yang dilakukan Lifenet Seimei Life Insurance pada bulan maret 2009, sejumlah 378 orang dari 500 pria single usia 20-30 tahun mengakui dirinya sebagai herbivore man (Otake, Tomoko. http://www.japantimes.co.jp/life/2009/05/10/general/blurring-the- boundaries/).

(12)

12

Dari penelitian yang dilakukan tersebut, Ushikubo menyimpulkan bahwa anak laki-laki soshokukei danshi memiliki kombinasi karakteristik berikut:

 Mereka tidak kompetitif dan tidak ambisius dalam bekerja.

 Mereka sadar mode dan melakukan diet sehingga mereka bisa tetap kurus

 Mereka akrab dengan ibu mereka dan sering menghabiskan waktu bersama- sama.

 Mereka tidak tertarik untuk berkencan dan bahkan berhubungan seks

Mereka sangat ketat dengan uang mereka namun boros dalam hal-hal yang dapat menunjang penampilan.

Dengan munculnya Istilah soushokukei danshi yang merujuk pada “pria herbivora” ini juga telah melahirkan berbagai istilah jenis-jenis pria baru di masa Jepang kontemporer lainnya seperti yang telah ditulis oleh blogger Japan Times bernama Rebecca Milner di bawah ini (Rebecca, http://blog.japantimes.co.jp/23/01/13//fasting-guys-not-interested-in-women-at- all/) :

 Nikushokukei danshi 「 肉 食 系 男 子 」 adalah pria karnivora yang

digambarkan sebagai pria macho, maskulin, agresif dan memiliki jiwa kepemimpinan.

Soushokukei danshi 「草食系男子」adalah pria herbivore yang digambarkan

sebagai jenis pria yang pemalu, tidak melakukan pergerakan untuk mengejar wanita, takut dengan hal-hal yang beresiko.

(13)

13

Rorukyabetsu danshi 「ロールキャベツ男子」adalah pria gulungan kubis

yang digambarkan sebagai jenis pria yang terlihat seperti herbivora tetapi sebenarnya adalah karnivora sejati, mereka diberi nama seperti hidangan kubis yang diisi dengan daging.

Asupara bekonmaki danshi 「アスパラベーコン巻き男子」adalah pria

daging isi asparagus yang di gambarkan sebagai jenis pria yang terlihat seperti karnivora tetapi kemudian mengungkapkan diri sebagai herbivora.

Zasshokukei danshi 「雑食系男子」adalah pria omnivore yang digambarkan

sebagai jenis pria yang akan menjalin hubungan dengan siapapun.

Zesshokukei danshi 「絶食系男子」adalah pria yang puasa, disebut puasa

karena jenis pria ini sama sekali tidak tertarik pada wanita.

Jika dilihat dari sejarahnya, Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki budaya patriarkhi sejak dahulu, dimana laki-laki merupakan sebuah jenis kelamin yang lebih tinggi dari jenis kelamin lainnya (perempuan) dan memiliki tanggung jawab dan tugas yang “lebih berat” yang tidak dapat dilakukan oleh jenis kelamin lain. Seperti sebuah ungkapan di Jepang yang mengkonstruksikan streriotip gender seperti berikut:

“Otoko wa matsu, onna wa fuji” (A man is a pine tree, a woman is a wisteria; a woman depends on a man just like a wisteria, a climbing plant with white or purple flowers that winds around a pine tree); “Otoko wa dokyoo, onna wa aikyoo” (Men should be daring, women should be charming). (Luvita, para 2)

Dari dua ungkapan di atas dapat dilihat bahwa dari segi linguistik dan sejarahnya, ide mengenai gender di Jepang telah dikonstruksikan sebagai suatu

(14)

14

pihak yang “bergantung” bahkan secara kasar hanya merupakan “beban” bagi kaum laki-laki dan hanya perlu bersikap charming (cantik) dalam hidup (Luvita, para 2).

Sehingga dengan perubahan signifikan yang terjadi pada ojōman atau soushokukei danshi menggambarkan bahwa pria Jepang masa kini telah menolak mengikuti generasi sebelumnya yang memegang konsep steriotip pria tradisional.

Selain itu, Ojōman juga digambarkan sebagai pemuda sex less atau minatnya yang kurang terhadap hubungan percintaan dan seks dengan wanita.

Menurut penelitian Ushikubo (2008: 58-59) dalam Putri (2012: 3), 80% dihasilkan bahwa ojōman tidak memiliki kekasih dan 30% diantaranya malah merasa tidak membutuhkan kekasih. Ketidak minatan ojōman dalam menjalin hubungan dengan wanita disebabkan oleh salah satu karakter ojōman yaitu tidak berani mengambil resiko dan takut terhadap kegagalan.

Dalam urusan percintaan, mereka lebih berminat untuk berhubungan secara virtual dari pada berhubungan dengan wanita sungguhan. Mereka juga enggan untuk menikah apalagi berkeinginan untuk memiliki anak. Sehingga fenomena Ojōman merupakan salah satu faktor penyebab shoushika, yaitu menurunnya angka kelahiran atau shoushika di Jepang (Neiil, 2009).

Shoushika (少子化)merupakan masalah sosial yang terjadi di masyarakat

Jepang dewasa ini, ditandai dengan menurunya jumlah anak secara bertahap akibat menurunnya jumlah kelahiran. Pada tahun 2014, hanya 1.001.000 bayi yang lahir di Jepang dan itu merupakan jumlah yang rendah karena jumlah orang yang meninggal sebanyak 1.269.000 orang, sehingga membuat Jepang mengalami krisis populasi. Salah satu penyebabnya yang hingga kini diperdebatkan adalah munculnya “ojōman,” yang dalam bahasa Jepang disebut soushokukei danshi,

(15)

15

sebuah istilah yang diciptakan oleh seorang kolumnis bernama Maki Fukasawa pada tahun 2006 (Joy, http://japanesestation.com/fenomena-pria-herbivora-di- jepang-yang-tidak-tertarik-menjalin-hubungan-dengan-wanita/).

Dengan adanya masalah penurunan jumlah penduduk ini tentu akan memberikan pengaruh kepada perekonomian Jepang, dimana dampak dari penurunan jumlah penduduk ini akan mengurangi angkatan kerja produktif yang akan melakukan kegiatan produksi dimana kegiatan ekonomi berlangsung. Negara yang memiliki jumlah penduduk yang besar secara tidak langsung akan dapat membantu dalam meningkatkan perekonomiannya. Namun dengan kondisi Jepang pada saat ini, akan menambah kekhawatiran pihak perusahaan asing akan kesempatan mereka dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu memasarkan produk kedalam negeri Jepang itu sendiri, hal ini menjadi hal menakutkan bagi pemerintah Jepang.

Untuk mencegah agar kondisi tidak semakin menjadi parah, Pemerintah Jepang telah mencanangkan berbagai kebijakan, seperti mencanangkan pogram kekkon kadoshi yaitu pogram perjojdohan yang mengajak para pemuda-pemudi Jepang untuk menikah dan memiliki anak. Dalam pogram perjodohan ini, Pemerintah Jepang berharap adanya progres angka kelahiran anak di Jepang.

Selain itu ada juga kebijakan perubahan waktu jam kerja para pekerja dan mengeluarkan UU cuti untuk mengurus dan mengasuh anak. Dengan dikeluarkan berbagai kebijakan tersebut, pemerintah Jepang berharap agar para pekerja dapat meluangkan waktu untuk beristirahat dan berkumpul bersama keluarga sehingga

(16)

16

para pekerja di Jepang memiliki kualitas hidup yang seimbagan antara pekerjaan dan keluarga.

1.2 Perumusan Masalah

Fenomena Ojōman merupakan fenomena yang pertamakali dipopulerkan oleh seorang CEO dari Tact Planning, Maki Fukusawa pada tahun 2006 dan semakin booming setelah munculnya buku dari seorang psikolog Jepang Masahiro Morioka yang berjudul Soushokukei Danshi No Ren’ai Gaku (Lesson Of Love For Herbivore Man) yang ditulis pada tahun 2008. dan disusul dengan penelitian yang dilakukan oleh seorang penulis, yaitu Megumi Ushikubo.

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Megumi Ushikubo dalam bukunya yang berjudul Soushokukei Danshi 'Ojouman’ Ga Nippon Wo Kaeru dijelaskan bahwa ojōman merupakan jenis pria Jepang yang bersikap keperempuanan dan dipandang sebagai gambaran pria yang tidak maskulin karena dianggap sebagai pria yang tidak memiliki ambisius dalam hal pekerjaan, tidak agresif terhadap hubungan percintaan dan tidak berjiwa kepemimpinan.

Untuk membahas permasalahan ini penulis mengajukan dua pertanyaan yaitu : 1. Bagaimana kehidupan seorang ojōman di Jepang ?

2. Bagaimana usaha pemerintah dalam mengatasi masalah sosial ojōman?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Berdasarkan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya maka penulis menganggap perlu adanya pembatasan karena dalam setiap penelitian diperlukan adanya batasan masalah agar pembahasan tidak terlalu melebar sehingga penulis

(17)

17

dapat lebih fokus terhadap pembahasan dalam masalah tersebut dan agar tidak menyulitkan pembaca untuk memahami pokok permasalahan yang dibahas.

Dalam penelitian ini penulis membatasi permasalahan dan ruang lingkup penelitian pada generasi muda Jepang kontemporer dari sekitar umur 20-30 tahun dalam penelitian skripsi yang berjudul “KEHIDUPAN OJŌMAN DI JEPANG”.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori 1.4.1 Tinjauan Pustaka

Lajunya perubahan Jepang menjadi negara modern cenderung melahirkan perbedaan-perbedaan pandangan yang mencolok antara satu generasi dengan generasi lain. Perubahan-perubahan ini pada masa tertentu sangat nyata jika dibandingkan pemuda masa sebelum dan setelah perang. Salah satu perubahan Jepang kontemporer yang dirasakan ialah munculnya kelompok sosial yang bernama ojōman.

Ojōman merupakan citra baru pria Jepang yang berbeda dari sosok sararīman dan samurai. Mereka bersikap feminim bahkan jauh dari kata ‘maskulin’.

Jika berhadapan dengan wanita ojōman cenderung pasif tetapi bukan berarti mereka homo. Mereka memiliki pandangan yang berbeda dengan pria jepang sebelumnya dalam hal perkejaan dan percintaan.

Menurut Sugimoto (2015:74) ada tiga kelompok generasi Jepang yang setiap generasi memiliki perbedaan yang signifikan baik dari segi pandangan hidup dan karakteristiknya, yaitu dimulai dari masa pasca perang dunia II akhir tahun 1930an- awal 1950an, kemudian keadaan Jepang yang stabil dan nyaman akhir

(18)

18

tahun 1950 – awal 1970an, dan terakhir masa dimana Jepang masuk kedalam ekonomi global di pertengahan tahun 1970an hingga sekarang.

Generasi pasca perang, yang lahir antara tahun 1930-an dan awal 1950-an, adalah generasi yang kecilnya merasakan pemulihan bangsa dari kemiskinan dan kehancuran akibat pasca perang dengan upaya pemerintah dalam membangun kembali pertumbuhan perekonomian Jepang.

Kelompok kedua adalah generasi kemakmuran atau sering juga dijuluki generasi shinjinrui, lahir antara 1950-an dan awal 1970-an. Generasi ini tidak memiliki pengalaman tentang militer, perang dan kemiskinan yang pernah dialami Jepang pada masa pasca perang. Mereka tumbuh ketika Jepang mengalami gelembung ekonomi dimana pada saat itu pertumbuhan ekonomi Jepang sangat meningkat sehingga berhasil mencapai kemakmuran ekonomi dan mendapat pengakuan status yang tinggi dalam dunia internasional. Masa ini merupakan puncak dari kejayaan ekonomi Jepang sebelum ekonomi gelembung tersebut akhirnya meletus yang mengakibatkan krisis moneter di Jepang pada tahun

Kelompok termuda, disebut generasi global, lahir di pertengahan 1970-an dan sampai sekarang. Mereka yang lahir pada masa ini adalah generasi yang mengalami sendiri situasi ekonomi Jepang yang memburuk karena terjadinya krisis moneter yang disebabkan dari pecahnya ekonomi gelembung pada awal .

Muncul fenomena ojōman yang memiliki pandangan hidup berbeda dengan para generasi- generasi diatasnya membawa pengaruh bagi masyarakat Jepang, salah satunya adalah dalam hal perekomian dan menurunnya angka kelahiran anak di Jepang. Fenomena munculnya jenis pria Ojōman ini pun seperti halnya fenomena baru lainnya, dimana banyak berbagai pendapat pro maupun kontra dari masyarakat.

(19)

19

Pihak yang pro bisa menerima keberadaan ojōman karena mereka dianggap lebih lembut dalam berprilaku pada wanita, namun dilain sisi sebagian ada juga yang kontra karena menganggap pria jenis ojōman dianggap tidak kompetitif dan agresif dalam kehidupan karier maupun percintaan. Generasi diatas ojōman menganggap bahwa kelompok jenis pria ojōman sebagai sosok yang tidak bisa diandalkan.

Ushikubo (2008, p.11) dalam Subakingkin (2011:7) mencantumkan salah satu pandangan dari generasi diatas sebelum ojōman seperti yang tertuang dalam kalimat berikut ini:

「おじょう;嬢マン

ま んみたいにやしん;野心のない

わかもの

;若者に、

にほん

;日本の

しょうらい

;将来を

たく

;託して

だいじょうぶ

;大丈夫なのか。。。」

Terjemahan : apa tidak apa-apa ya, masa depan Jepang nantinya ditangan pemuda yang tidak punya ambisi seperti.

1.4.2 Kerangka Teori

Dalam setiap penelitian perlu adanya kerangka teori untuk mendukung penelitian tersebut, menurut Koentjaraningrat (1976: 1) kerangka teori berfungsi sebagai pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak kedalam bentuk yang nyata. Dalam penelitian ini penulis menggunakan beberapa teori untuk mengupas suatu permasalahan diantarannya yaitu :

Pertama, peneliti menggunakan pendekatan fenomenologis untuk meneliti masalah yang berkaitan dengan munculnya fenomena ojōman. Menurut Moleong (1994: 8) pendekatan fenomenologis menekankan rasionalitas dan realitas budaya

(20)

20

yang ada serta berusaha memahami budaya dari sudut pandang pelaku budaya tersebut.

Selanjutnya, untuk melihat steriotip gender dari sifat, perilaku dan peran gender seorang ojōman, penulis menggunakan teori gender dari Showalter (1989:

3) Menurutnya, ‘gender’ adalah pembedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial budaya

Lebih tegas lagi disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat Siti Musdah Mulia (2004: 4) dalam Marzuki (2008: 3).

Ketiga, teori psikologi perkembangan menurut Erik Erikson dalam Sujiono (2009:57) berkonsentrasi untuk memahami tentang perkembangan identitas anak sebagai cerminan dari hubungan dengan orangtua dan keluarga di dalam konteks yang lebih luas tentang masyarakat.

Melalui teori psikologi erikson yang telah dijelaskan, penulis dapat mengungkapkan perkembangan tentang dampak psikologi bagi anak yang dibesarkan tanpa figur seorang ayah karena sibuk bekerja sehingga menjadi salah satu penyebab timbulnya masalah sosial ojōman.

Bapak Psikoanalisa Sigmund Freud (2006), berpendapat bahwa anak laki-laki yang terlalu dekat dengan ibu, dan jauh dari ayah atau ayah yang terlalu keras, dan tidak ada sosok pria lainnya seperti paman dan kakek, akan menyebabkan anak meniru peran ibu dan akhirnya menerapkan peran tersebut ke dalam dirinya. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa penyebab berubah nya steriotip pria Jepang dewasa

(21)

21

ini karena sewaktu kecil mereka lebih banyak menghabiskan waktu bersama ibu sehingga secara tidak sadar membuat anak meniru sifat dan perilaku sosok ibunya.

1.5 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN 1.5.1 Tujuan

Tujuan penelitian yang dituliskan dalam skripsi ini adalah untuk mendeskripsikan kehidupan Ojōman di Jepang dan mendeskripsikan bagaimana kebijakan pemerintah Jepang dalam mengatasi masalah sosial Ojōman.

1.5.2 Manfaat

1. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi baru bagi masyarakat luas dan mahasiswa khususnya bagi mahasiswa Sastra Jepang yang mempelajari tentang Budaya Masyarakat Jepang di setiap universitas, yang kedepannya dapat memberikan masukan dan sumbangan bagi perkembangan ilmu sosial khususnya mengenai kehidupan ojōman di Jepang.

2. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis tentang kehidupan ojōman di Jepang.

3. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber pengetahuan ilmiah yang bermanfaat bagi para pembaca, khususnya bagi para pembaca yang tertarik ingin mengetahui lebih lanjut tentang kehidupan ojōman di Jepang.

4. Hasil penelitian ini dapat dijadikan bahan referensi bagi para akademisi dan peneliti berikutnya dalam penulisan karya ilmiah yang ingin mengkaji tentang ilmu sosial, kehidupan ojōman di Jepang.

(22)

22 1.6 METODE PENELITIAN

Dalam setiap penelitian sangat diperlukan metode-metode yang mendukung penelitian untuk menunjang keberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca. Maka dalam mengerjakan penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif.

Menurut Moleong (2005: 6) metode penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dll. Langkah pertama yang dilakukan dalam menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu mengumpulkan data melalui kepustakaan. Selanjutnya, memilih data yang sudah terkumpul yang nantinya akan digunakan lalu menganalisa data.

Selanjutnya menggunakan metode penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang menggambarkan peristiwa atau gejala apa adanya. Menurut Koentjaraningrat (1976: 30) penelitian yang bersifat deskriptif yaitu memberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu individu, keadaan, gejala, atau kelompok tertentu. Oleh karena itu, data-data yang diperoleh, dikumpulkan, disusun, diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudian diinterprestasikan dengan tetap mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

BAB II

GAMBARAN UMUM OJŌMAN

(23)

23

Ojōman merupakan citra baru pria Jepang yang berbeda dari sosok sararīman dan samurai. Mereka bersikap feminim, bahkan jauh dari gambaran pria maskulin pada umumnya. Jika berhadapan dengan wanita, ojōman cenderung pasif tetapi bukan berarti mereka homo. Mereka memiliki pandangan dan penilaian yang berbeda dengan pria Jepang generasi sebelumnya dalam hal pekerjaan, hubungan antara pria dan wanita, dan pernikahan.

Ojōman menunjukkan penampilan pria yang suka berdandan, berkebun, pintar memasak, sikap fisik yang lemah nan gemulai, , secara psikologis melankolis, sentimental dan memiliki gaya hidup yang sensitif dan konsumtif terhadap fashion.

Morioka (2013: 1), menjelaskan pengalamannya sebagai pengajar di Jepang dan melihat bahwa beberapa mahasiswa laki-laki menggunakan rok panjang dan mengecat rambut berwarna merah jambu. Morioka menegaskan bahwa laki- laki dewasa ini sudah mulai sensitif terhadap mode seperti halnya dengan perempuan. Selain itu, tampilan fisik laki-laki tidak lagi menonjolkan otot sebagai sisi mask ulin, sehingga mereduksi kesan kekerasan yang cenderung hadir pada laki-laki.

Perkebambangan fenomena ojōman pun semakin popular di kalangan masyarakat Jepang karena disukai sebagian wanita-wanita Jepang. Berbagai media massa seperti surat kabar, majalah dan acara televisi banyak mengangkat topik seputar ojōman. Topik yang banyak diangkat media masa umumnya adalah ciri-ciri umum ojōman, hubungan mereka dengan wanita, dan pengaruh mereka secara garis besar terhadap perekonomiman Jepang. Selain itu, ojōman juga menjadi topik yang banyak diangkat dalam bidang hiburan, seperti komik, serial drama, juga film yang bertemakan ojōman. Salah satunya komik dan serial drama otomen.

(24)

24

Nama serial drama Otomen「乙男」berasal dari dua kanji yaitu kanji 乙「お つ」 yang berarti asing atau ganjil, dan kanji 男「おとこ」yang berarti laki-laki.

Umumnya kanji 乙「おつ」biasa digabungkan dengan kanji 女「おんあ」, menjadi 乙 女「おとめ」yang berarti anak gadis atau perawan. Dalam serial drama ini kata 乙女

「おとめ」diplesetkan menjadi オトメン. Kata メン sendiri diambil dari bahasa inggris

“Men” yang berarti laki-laki. Maka Otomen merupakan bentuk kata plesetan dari laki-laki yang keperempuan-perempuanan atau pria Girly (lucianti, 2012: 6)

Tokoh utama dalam serial ini adalah Masamune Asuka, seorang siswa sekolah menengah atas yang tampan. Ia memimpin Kejuaraan Kendo Nasional, pandai dalam pelajaran sekolah, bertingkah laku sangat baik, dan sangat populer di antara rekan-rekan wanitanya, sekaligus dihormati oleh rekan-rekan prianya di sekolah. Di mata semua orang, Asuka adalah representasi dari pria Jepang jantan yang sempurna. Namun dibalik semua itu, sebenarnya Asuka adalah seorang Otomen. Cerita dalam serial drama otomen merepresentasikan fenomena Sōshokukei danshi yang sedang banyak diperbincangkan di Jepang (Lucianti, 2012:

7).

Morioka (2013: 2), menjelaskan asal muasal istilah ojōman yang dicetuskan Fukusawa (2008) terinspirasi oleh seorang penulis manga bernama Aya Kanno yang menggambarkan tokoh protagonis pria muda yang secara fisik maskulin, tetapi memiliki sifat dan perasaan yang sangat feminin. Karakter tokoh tersebut di dalam komik disebut dengan otomen nyang merupakan dua gabungan bahasa antara bahasa Jepang dan Inggris. Oto berarti perempuan dan men yang berarti laki-laki.

(25)

25 2.1 Definisi Ojōman

istilah ‘ojōman’ dalam bahasa Jepang ditulis dengan menggunakan kanji お 嬢マン yang terdiri atas kata ojō (お嬢)dan katakana マン. Ojō berdefinisi putri,

gadis dan nona. kanji ini juga digunakan dalam kata ojōsan (お嬢さん)dan

ojōsama (お嬢さま)yang biasanya untuk menyebut sosok putri nona muda yang

manja dan memiliki minat yang tinggi terhadap penampilan dan menyukai fashion.

Ojōman dianggap sebagai versi pria dari ojōsan(お嬢さん) karena keduanya

memiliki minat yang sama. (Itoh, Maki.

http://maki.typepad.com/justhungry/2010/05/soushokudanshi-the-herbivore-man/).

Ojōman juga dikenal dengan sebutan herbivore man dalam bahasa Inggris atau sōshoku danshi ( 草食系男子 ) dalam bahasa Jepang. Menurut Ushikubo (2008) dalam (Riechert, http://atokyotale.blogspot.co.id/2010/12/lipstick- rebellion.herbivore/man/), menyatakan sejumlah karakteristik Ojōman yang paling menonjol adalah:

 Hemat. Mereka sangat menyukai hal-hal yang berbau gratis dan rela mengantri panjang demi mendapatkannya.

 Kurang ambisi dalam dunia karir. Akibat terjadinya krisis moneter karena pecahnya ekonomi global yang terjadi pada awal dekade 1990-an dan PHK besar-besaran para pekerja di perusahaan-perusahaan Jepang, mengakibatkan

(26)

26

timbulnya rasa pesimis bagi kaum ojōman untuk menjalani hidup yang sukses seperti generasi –generasi sebelumnya.

 Memiliki keterkaitan yang tinggi terhadap penampilan seperti berdandan ,berpakaian berwana cerah, memakai kosmetik.

 Mencintai ibu dan teman karena dibesarkan dari keluarga batih yang hanya terdiri dari ayah, ibu dan anak. Ayah sibuk bekerja sehingga kehidupan karir dan keluarganya tidak seimbang, mengakibatkan ojōman menjadi pribadi yang dekat dengan ibu mereka.

 Bersifat tenang dan lembut. Karena jarang menghabiskan waktu bersama sosok ayah dan lebih sering berinteraksi dengan ibu selama 24 jam setiap hari, sehingga sifat dan pemikiran ibu yang tenang dan lembut secara tidak langsung menjadikan pedoman bagi para ojōman.

 Kurangnya minat untuk menjalin percintaan dengan wanita. Kaum ojōman tidak memiliki keberanian untuk menjalin hubungan dengan wanita karena mereka merasa khawatir tidak bisa memuaskan pasangan mereka secara financial atau dalam hubungan seksual.

2.2 Sejarah Munculnya Ojōman

Cepetnya pertumbuhan ekonomi Jepang, secara tidak langsung sekaligus telah merubah struktur sosial masyarakat di Jepang. Struktur sosial tersebut telah menghasilkan berbagai kelompok - kelompok generasi, yaitu dimulai dari generasi masa perang, generasi pascaperang, generasi ekonomi gelembung atau generasi kemakmuran dan generasi yang termuda adalah pascagenerasi global. Setiap generasi pasti sangat lah berbeda baik dinilai dari pandang hidup, tujuan hidup dan

(27)

27

karakteristiknya, karena setiap generasi pada umumnya mengalami berbagai situasi keadaan sosial, ekomi dan politik yang berbeda-beda di masa kanak-kanak, remaja, dan dewasanya.

Menurut Sugimoto (2015:74) ada tiga fase yang dialami Jepang sehingga menyebabkan perubahan yang dialami setiap generasi Jepang, yaitu dimulai dari generasi yang lahir pada masa pascaperang dunia II akhir tahun 1930an- awal 1950an, kemudian generasi yang lahir pada masa Jepang mengalami ekonomi gelembung akhir tahun 1950 – awal 1970an, dan terakhir generasi termuda yang lahir pada masa dimana Jepang masuk kedalam ekonomi global di pertengahan tahun 1970an hingga sekarang.

Generasi pascaperang, yang lahir antara akhir tahun 1930-an dan awal 1950-an, adalah generasi yang kecilnya merasakan pemulihan bangsa dari kemiskinan dan kehancuran akibat pascaperang dengan upaya pemerintah dalam membangun kembali pertumbuhan ekonomi Jepang. Kelompok kedua adalah generasi kemakmuran atau sering juga dijuluki generasi shinjinrui, lahir antara 1950-an dan awal 1970-an, yang tidak memiliki pengalaman tentang aktivitas militer perang dan kemiskinan pascaperang dan generasi ini tumbuh ketika Jepang berhasil mencapai kemakmuran ekonomi dan status yang tinggi dalam masyarakat internasional. Kelompok termuda, yang mungkin disebut generasi global, lahir di pertengahan 1970-an sampai sekarang (Sugimoto, 2015: 74).

(28)

28 Karakteristik Generasi

Masa Perang

Generasi Pascaperang

Generasi Kemakmuran

Generasi Global

Tahun lahir Awal 1930- an

Akhir 1930- an sampai awal 1950

Akhir 1950-an sampai 1970an

Pertengahan 1970-an dan seterusnya Aspirasi umum

Gaya hidup

Pramodern Modern Posmodern Global

Pengalaman pada masa pasca perang

Sebagai orang dewasa

Sebagai anak- anak

Belum lahir Belum lahir

Pengalaman yang

diterima dalam bidang pendidikan

Runtuhnya sistem nilai

Anarki sosial, penekanan demokrasi dan

liberalisme

Pertumbuhan kontrol dan peraturan

birokratisasi dan

komersialisasi

Kondisi ekonomi

Pemulihan dari kerusakan masaa perang

Pertumbuhan ekonomi

‘’Ekonomi gelembung’’

Resesi dan pertambahan jumlah

pengangguran

Etos kerja Tinggi Tinggi Rendah Rendah

Sumber: (sugimoto, 2015:74)

(29)

29

Kesimpulan dari tabel ini mengatakan bahwa generasi pascaperang merupakan orang tua dari generasi global yang didalamnya mencakup ojōman.

Dimana para orang tua pada masa pascaperang, rata-rata berprofesi sebagai sararīman yang sibuk dengan kehidupan pekerjaan dan meninggalkan peran dan sosok ayah dirumah sehingga kurangnya kebersamaan dan kedekatan antara sosok ayah dengan keluarga terutama dengan sang anak.

Kelompok sosial Ojōman yang mulai dikenal pada tahun 2006 melalui artikel koran yang ditulis oleh Maki Fukusawa ini, merupakan berasal dari Generasi global (yang lahir tahun 1970- sampai sekarang) generasi ini tidak memiliki pengalaman tentang penderitaan masa perang dan juga memiliki budaya sangat berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi ini juga telah memiliki pola pikir atau paradigma yang berbeda tentang tujuan hidup. Bagi mereka tujuan hidup merupakan hidup yang sesuai dengan selera pribadi atau berjuang melawan ketidak adilan dalam masyarakat dan menjalankan kehidupan yang teguh, murni dan jujur, sedangkan generasi sebelumnya lebih memilih untuk mengesampingkan hal pribadi dan mengabdi secara mutlak pada kepentingan negara dan perusahaan (Naka, 1977:25; Sugimoto, 2003).

2.2.1 Generasi Pascaperang

Ojōman merupakan salah satu kelompok sosial yang ada dalam masyarakat Jepang modern. Berasal dari generasi sebelum mereka, Generasi yang tertua adalah generasi era pascaperang (lahir tahun 1930-1950an). Pengalaman pascakekalahan dalam perang merubah tatanan penduduk serta perekonomian masyarakat Jepang pada masa itu. Jepang mengalami Periode yang disebut Periode setelah Perang

(30)

30

dimana terjadi penurunan penduduk yang drastis serta berbagai keganjilan pascaperang dunia ke II tersebut. Kekalahan Jepang dari Amerika Serikat membuat Jepang kehilangan berjuta penduduknya dalam penyerangan Bom di Hiroshima dan Nagasaki. Setelah perang dunia II kondisi ekonomi negara Jepang mulai membaik.

Karena perekonomian Jepang semakin stabil, hal tersebut memicu Pertumbuhan penduduk yang cenderung meningkat sebanyak 1% per tahunnya. Peristiwa ini disebut sebagai baby boom dimana ketika perekonomian berangsur membaik membuat peningkatan minat dalam memiliki keturunan (Nabilla, 2015: 1-2).

Generasi pascaperang adalah mereka yang lahir pada periode ledakan baby boom dari akhir 1940-an. Dilahirkan sebagai anggota dari kelompok ledakan angka kelahiran membuat generasi ini senantisa dihadapkan kepada persaingan yang ketat dalam setiap tahap kehidupan mereka, seperti ujian masuk ke sekolah-sekolah, universitas, pekerjaan (Sugimoto, 2015: 74).

Generasi pascaperang yang pada masa itu rata-rata berprofesi sebagai sararīman atau pegawai kantor, sangat dituntut untuk bekerja keras demi kemajuan perusahaan. Para pekerja Jepang memiliki loyalitas yang tinggi terhadap perusahaannya. Mereka akan mengerahkan seluruh kemampuannya untuk memajukan perusahaan tempat ia bekerja.

Citra sosial sararīman pada era ini adalah seorang eksekutif Jepang yang bekerja keras. Fokus utamanya adalah perusahaan yang akan menjaminnya seumur hidup. Bila tidak sedang bekerja, maka kepentingan mereka adalah golf, jam tangan bermerek, mobil mewah, dan menghabiskan malam di luar kota. Sebutan lain bagi Sararīman adalah oji-san yang secara harfiah berarti paman, namun sebutan tesebut

(31)

31

menyiratkan seseorang yang ketinggalan jaman, dan berbau tubuh tidak sedap (Lucianti, 2012: 2).

Pada masa tersebut, setiap perusahaan di Jepang mempunyai beberapa tradisi untuk dipatuhi oleh setiap sararīman , yaitu sistem kerja seumur hidup (shuushin koyou . 終身雇用), pemberian upah berdasarkan senioritas (nenkojyoretsu . 年功

序 列 ) (Insani, http://humancapital-sp.blogspot.co.id/4/10/11/hr-management-di-

jepang.html/).

Dengan etos kerja pekerja Jepang yang tinggi ini membuat mereka menjadi seorang hatarakibachi. Menurut nelson (2008: 162) dalam Ramzielah (2012:15) Hatarakibachi berasal dari kata 働き: hataraki yang berarti kerja dan 蜂: bachi

berarti lebah. Jadi, hatarakibachi berarti lebah pekerja. Hatarakibachi adalah istilah yang diberikan kepada orang yang kecanduan pekerjaan. Hatarakibachi ini dapat diartikan sama dengan workaholic. Bentuk hatrakibachi ini dapat berupa bekerja lembur setiap hari, membawa pekerjaan kantor ke rumah, atau tidak pernah mengambil cuti selama bekerja (DeMente, 1994: 162) dalam (Ramzielah, 2012:15).

Fenomena hatarakibachi ini menimbulkan dampak negatif, yaitu dapat mengganggu kesehatan pekerja, tidak seimbangnya antara pekerjaan dan hidup pekerja, kurangnya waktu bersama keluarga, hingga dampak negatif yang paling parah adalah karoshi. Karoshi adalah istilah untuk orang yang meninggal karena pekerjaan atau bunuh diri akibat stress tekanan pekerjaan. Semua ini dilakukan sararīman demi kemajuan perusahaan dan menghidupi keluarganya (Goldman, leah. http://www.businessinsider.com/countrieswith-the-most-workaholics-2011- 2).

(32)

32

Sebagai seorang sararīman, para ayah – ayah pada generasi ini, hampir tidak memiliki waktu untuk berinteraksi dengan keluarga, terutama dengan anak-anak mereka. Menurut penelitian berjudul Nihon No Chichi-Oya To Kodomo (Japanese Children And Their Fathers) yang diterbitkan pada tahun 1988 oleh Badan Koordinasi dan Manajemen Administrasi Urusan Pemuda mengatakan bahwa kerenggangan hubungan anak dengan ayah dan banyaknya jumlah interaksi dengan ibu inilah yang mengakibatkan anak-anak pada generasi tersebut lebih dekat dengan ibu mereka. Dengan demikian, hal ini menjadi salah satu penyebab munculnya

fenomena ojōman (Kuntz et al,

https://www.questia.com/library/journal/8/14japanese-fathers-of-preschoolers- and-their-involvement, diakses agustus 2014, p.2).

Menurut Lifina Dewi, M.Psi, psikolog dari Universitas Indonesia mengatakan bahwa seorang anak laki-laki membutuhkan figur seorang ayah untuk mempelajari hal-hal yang tidak dia dapatkan dari ibunya, begitu pun dengan anak perempuan, ada sesuatu yang anak butuhkan dari kehadiran figur ayah, misalnya bagaimana interpersonal pria dan wanita (Wirofm, https://wirofm.wordpress.com/dampak- psikologis-anak-yang-dibesarkan-tanpa-figur-ayah, diakses tahun juli 2013 p.1).

Kemudian menurut Bapak Psikoanalisa Sigmund Freud (2002) berpendapat bahwa anak laki-laki yang terlalu dekat dengan ibu, dan jauh dari ayah atau ayah yang terlalu keras, dan tidak ada sosok pria lainnya seperti paman dan kakek, akan menyebabkan anak meniru peran ibu dan akhirnya menerapkan peran tersebut ke dalam dirinya. Sehingga ini lah salah satu penyebab munculnya fenomena ojōman di kalangan pria-pria Jepang kontemporer.

(33)

33 2.2.2 Generasi Ekonomi Gelembung

Perekonomian Jepang mulai menjadi sorotan dunia sejak tahun 1970an, dimana pertambahan nilai ekonominya mencapai 5% per tahun. Pada tahun 1980an, seiring dengan menguatnya indeks mata uang Yen, Jepang mulai mendominasi perekonomian dunia. Periode ini dikenal dengan istilah Baburu Keizai 「バブル経済」

atau “bubble economy” – gelembung ekonomi

(https://en.wikipedia.org/23/02/1016/wiki/Economy_of_Japan/).

Baburu Keizai merujuk pada periode pertumbuhan perekonomian Jepang di awal Tahun 1960-an. Gelembung ini kian bertambah besar ketika ekspor Jepang mencapai puncak dan menyebar hampir keseluruh dunia. Hal ini disebabkan oleh terjadinya gelombang ekspor kendaraan bermotor dan elektronik bermodal kecil ke hampir penjuru seluruh dunia. Perusahaan-perusahaan Jepang membangun pabrik dengan jumlah yang bertubi-tubi, membeli banyak perusahaan dan properti, dan berinvestasi dalam berbagai macam jenis proyek pembangunan. Hal ini berpengaruh pada gaya hidup para pebisnis Jepang yang memiliki “gudang uang”.

Mereka dapat menghambur-hamburkan uang rata-rata sebesar $30,000 dalam semalam dan $300,000 untuk pesta di setiap minggunya. Orang-orang terbang dengan pesawat dari Tokyo ke Sapporo hanya untuk membeli semangkuk ramen dan mengeluarkan ¥10,000 hanya untuk ongkos taksi (Lucianti, 2012: 2).

Generasi kemakmuran yang muncul dalam lingkungan ekonomi ini telah menjadi semakin terbuka dalam mengekspresikan kepentingan diri sendiri dan membela kehidupan pribadi. Generasi ini telah dibesarkan dalam konteks tiga tren yang dihasilkan dari keberhasilan ekonomi Jepang, yaitu revolusi informasi, konsumerisme, dan orientasi nilai pascamodern.

(34)

34

Pertama, generasi kemakmuran telah tumbuh dalam fase awal dari revolusi informasi. Dewasa ini, Jepang hidup di lingkungan informasi yang sangat canggih, yang didominasi oleh perangkat elektronik seperti telepon, mobil, mesin penjual makanan dan tiket, satelit dan jaringan televisi kabel, stereo compact disk, internet, mesin fax, dll. Dengan perusahaan elektronik Jepang mendominasi pasar internasional dan domestik, gaya hidup dari Jepang semakin otomatis, hubungan sosial mereka menjadi dipengaruhi oleh media elektronik, dan budaya massa mereka yang disajikan melalui media perangkat elektronik (Sugimoto, 2015: 77).

Geneasi yang hidup pada masa-masa ini disebut dengan generasi ekonomi gelembung yang lahir tahun 1950-1970. Disebut sebagai generasi ekonomi gelembung karena pada masa itu kondisi perekonomian di Jepang berkembang dengat pesat dimana harga aset di Jepang melambung tinggi akibat pertumbuhan ekonomi yang kuat, inflasi yang rendah, dan ekspansi luar biasa atas suplai uang dan kredit. Masa ini merupakan masa puncak kejayaan ekonomi Jepang sebelum gelembung ekonomi tersebut akhirnya meletus pada tahun 1990-an yang mengakibatkan krisis moneter di Jepang (Akbarwati, https://www.selasar.com/ekonomi/memahami-bahaya-gelembung-aset-bagi- ekonomi/25/5/2005/).

Kehidupan sosial pada era Baburu Keizai tidak lepas dari figur Sararīman

「サラリーマン」 . Sararīman merupakan kata serapan dari bahasa Inggris Salaryman -

orang bergaji, yang merujuk kepada seseorang yang memiliki pendapatan atau gaji, khususnya mereka yang bekerja untuk perusahaan. Segera setelah Perang Dunia II, menjadi seorang Sararīman dipandang sebagai pintu gerbang ke gaya hidup kelas menengah yang stabil. Istilah Sararīman secara eksklusif merujuk kepada pria,

(35)

35

sedangkan bagi wanita digunakan istilah career woman. Citra sosial Sararīman mungkin berbeda-beda sesuai dengan periode waktu dan situasi ekonomi yang ada di Jepang. Stereotype Sararīman pada era ini adalah seorang eksekutif Jepang yang bekerja keras. Fokus utamanya adalah perusahaan yang akan menjaminnya seumur hidup. Bila tidak sedang bekerja, maka kepentingan mereka adalah golf, jam tangan bermerek, mobil mewah, dan menghabiskan malam di luar kota. Sebutan lain bagi Sararīman adalah oji-san yang secara harfiah berarti paman, namun sebutan tesebut menyiratkan seseorang yang ketinggalan jaman, dan berbau tubuh tidak sedap.

Namun, Bersamaan dengan kemajuan yang dirasakan masyarakat Jepang pada masa ekonomi gelembung ini, muncul pula perubahan dan gejolak yang radikal di dalam kehidupan sosial masyarakat terutama terjadi dikalangan kaum muda Jepang, yaitu lahirnya generasi shinjinrui. Di Jepang, generasi kelahiran tahun 1960-an disebut generasi Shinjinrui (Generation X) yaitu generasi yang memiliki pandangan dan tujuan hidup yang baru. Generasi ini dianggap berbeda karena dinilai rapuhnya mentalitas dan sikap kaum muda.

Para shinjinrui ini biasanya adalah anak muda yang masih kuliah atau yang berada di awal umur 20an pada masa tersebut. Karakter Shinjinrui sangat menekankan pada penampilan luar yang gemerlap, dan menghabiskan uang mereka untuk penampilan.

Mereka biasanya ingin mendapatkan pekerjaan sebagai model atau di bidang periklanan, yang memungkinkan mereka untuk mendapatkan cukup uang dan cukup waktu sehingga bisa melakukan hobi utama mereka, sepeti memamerkan barang-barang dan mobil-mobil mewah. Trend terakhir mereka adalah memiliki kulit kecoklatan di lengan kiri, karena itu adalah tanda bahwa dia mengendarai

(36)

36

mobil import dengan setir di sebelah kiri (sehingga lengan kiri merekalah yang terkena dan terbakar oleh sinar matahari) (Grassmuck, 1990:6).

Shinjinrui juga dipanggil dengan sebutan 'anak-anak kristal'. Istilah ini diambil dari buku best-seller karya Tanaka Yasuo, Nantonaku, Kuristaru (Tokyo, 1980. Terjemahan harafiahnya adalah "Kristal, Entah Bagaimana") (Grassmuck, 1990: 6).

Menurut Sugimoto (2003: 77), perubahan-perubahan nilai yang dimulai oleh generasi ekonomi gelembung inilah yang lalu diwarisi oleh generasi global yang di dalamnya mencakup Ojōman atau soushokudanshi.

2.2.3 Generasi Global

Generasi global adalah generasi yang banyak mewarisi dan mempertahankan karakteristik dari generasi kemakmuran sebelumnya, mengasah dan mengembangkan mereka dalam tiga bidang utama. Pertama, generasi global tumbuh setelah revolusi informasi telah dimulai dan ekonomi Jepang telah diintegrasikan ke dalam pasar global. Oleh karena itu, mereka mengambil begitu saja bahwa kehidupan sehari-hari mereka terhubung dengan orang lain di berbagai belahan dunia. Beberapa telah bepergian secara luas di luar negeri. Sejak masa remaja mereka, generasi ini telah membuatnya menjadi rutinitas sehari-hari untuk mengirim dan menerima informasi melalui internet, ponsel, dan menonton televisi kabel. Untuk mengisi kekosongan, generasi global menghabiskan waktu dalam kegiatan di dunia maya, di mana garis antara realitas dan fiksi yang sangat berbeda.

Hal ini mengakibatkan penurunan rasa jarak geografis dan peningkatan penerimaan mereka dan apresiasi terhadap gagasan tentang dunia tanpa batas.

(37)

37

Namun kondisi Memasuki awal tahun 1990-an, kondisi ekonomi gelembung yang sebelumnya memakmurkan negara Jepang secara tiba-tiba meletus.

Dimana harga saham Jepang sebelumnya kelewat mahal karena mengalami gelembung pecah, harga saham di Jepang anjlok hingga mencapai level yang paling rendah pada tahun 2003. Sehingga, situasi ekonomi Jepang mengalami krisis moneter dan resesi berkepanjangan, serta peningkatan jumlah pengangguran karena adanya PHK besar-besaran di perusahaan jepang dan karena situasi inilah yang membuat para ojōman menjadi pesimis dalam menata hidup kedepannya.

Ushikubo (2008:30) melontarkan pernyataan yang sama, yaitu sebagai berikut:

だい

;第1次

つ ぎの 氷河期ひ ょ う が きに 当たった世代せ だ い(現げ ん37 歳と し)より、車前くるままえの心構こころがま

ができていた。「いそ;急ぐにこんなことになちゃって」「ああ、お先真

さきまこと

つ暗あ んだ」とたじろぐ先輩せ ん ぱ い を見 て、「でも世の中、こんなモンかな」といい意味い み で聞 き直な おった。そして、こう考かんがえる よ うになった。「まあ、なんとかなるでしょう」

Terjemahan :

“Dibanding generasi yang terkena zaman es pertama (kini berusia 37 tahun), mereka telah melakukan persiapan sebelumnya. Melihat senior yang menjadi gentar dan berpikir ‘tiba-tiba keadaan menjadi seperti ini’, ‘Ah, tidak ada harapan di masa depan’, maka mereka bertanya ulang dalam artian baik ‘tapi dalam dunia ini, mungkin memang seperti ini. ‘ Yah, yang terjadi terjadilah.’”

Ungkapan ‘まあ、なんとかなるでしょう’menunjukkan bahwa mereka pesimis dalam menjalani kehidupan mereka kedepannya.

(38)

38 BAB III

KEHIDUPAN OJOMAN DAN USAHA PEMERINTAH MENGATASI MASALAH SOSIAL OJOMAN

3.1 Kehidupan Ojōman

3.1.1 Struktur Keluarga Batih Pada Keluarga Ojōman

Bermula dari bertansformasinya Jepang menjadi negara modern akibat pertumbuhan ekonomi yang pesat, ternyata tidak menjadikan Jepang terhindar dari masalah-masalah sosial. Tidak bisa dipungkiri bahwa perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Jepang kontemporer saat ini terjadi karena pesatnya perkembangan ekonomi di Jepang. Masa pasca Perang Dunia II, perkembangan ekonomi secara tidak langsung menuntut adanya penduduk desa berbondong-bondong untuk pindah ke kota yang kemudian menggeser sistem Ie sebagai struktur keluarga Jepang tradisional menjadi sistem keluarga industrilisasi yaitu keluarga batih.

Sistem Ie merupakan sistem yang mengatur aturan kehidupan keluarga di Jepang tradisional. Secara harafiah, Ie berarti keluarga, tetapi konsep keluarga di sini tidak hanya sebatas hubungan darah saja tetapi termaksud pula kerabat dekat bahkan seorang pengikut (pembantu) yang setia dan telah lama mengabdi di keluarga dapat termasuk ke dalam sistem Ie.

Adanya faktor yang melahirkan sistem Ie bagi struktur keluarga Jepang tradisional, yaitu kesatuan shinzoku yang berpusat pada suami dan istri. Shinzoku adalah hubungan kekerabatan yang terjadi dalam keluarga Jepang antara ego dengan kerabat lainnya, baik bersifat ketsuzoku (hubungan darah yang sama) dan

(39)

39

hubungan inzoku (hubungan darah yang terjadi antara ego dengan kerabat pasangannya).

Menurut Satoshi Sakata dalam Azani (2014:2), sistem Ie adalah kerangka sosial yang dirancang untuk meneruskan generasi ke generasi, di mana sebuah tempat tinggal keluarga, nama keluarga, dan bisnis keluarga diwariskan dari ayah ke anak tertua sepanjang garis paternal yang dapat meluas untuk generasi selanjutnya. Anak tertua (laki-laki) akan menjadi pemimpin keluarga yang dikenal dengan sebutan kachou. Dengan begitu, segala warisan akan jatuh ke tangannya termasuk sistem kepemimpinan yang akan diteruskan.

Sistem Ie menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan. Salah satu yang mengikat aturan tersebut adalah struktur chokkei kazoku. Struktur chokkei kazoku yaitu keluarga tiga generasi yang tinggal bersama di bawah satu atap menjadikan nilai Ie bersifat family oriented. Sehingga di masa ini, keturunan dianggap sebagai hal yang sangat dinanti karena bertujuan untuk meneruskan keluarga.

Namun Pasca Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1947, diberlakukan undang-Undang Showa (Shin Minpo) untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Meiji yang berlaku sebelumnya dan dampak dari pergantian undang-undang ini adalah dihapuskannya sistem Ie sebagai struktur keluarga Jepang tradisional.

Penghapusan sistem Ie ini kemudian mengubah struktur chokkei kazoku menjadi kaku kazoku atau keluarga batih yaitu keluarga inti yang hanya terdiri dari ayah, ibu, anak-anak (yang belum menikah).

Adanya beberapa faktor yang menyebabkan perubahan struktur keluarga dari chokkei kazoku menjadi kaku kazoku, yaitu penghapusan sistem Ie oleh undang-undang, sudah mulainya perubahan masyarakat Jepang dari agraris menjadi

(40)

40

industrialis, urbanisasi, terbukanya kesempatan untuk mengenyam pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat terutama perempuan.

Keluarga batih yang anggotanya hanya terdiri dari satu generasi, yaitu suami, istri, dan anak-anak yang belum menikah, tidak terikat oleh peraturan sebagaimana keluarga tradisional dan hubungan diantara sesama anggota keluarga berdasarkan persamaan dan keadilan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila kemudian masing masing anggota keluarga dapat memilih dan menentukan jalan hidup mereka sendiri seperti menikah atau melajang seumur hidup, memiliki anak atau hanya hidup berdua sebagai suami istri secara sah ataupun hidup bersama di luar pernikahan dan sebagainya. Tanpa disadari, kondisi masyarakat Jepang yang seperti ini telah memicu terjadinya penyusutan jumlah anggota keluarga, penyusutan jumlah kelahiran, dan peningkatan jumlah lansia.

Dalam keluarga batih Jepang, yang hanya terdiri dari orang tua dan anak- anak (yang belum menikah), peran seorang ayah adalah sebagai pencari nafkah sedangkan ibu berperan dalam mengurus anak-anak. Namun karena pada umumnya para ayah-ayah di perkotaan Jepang berprofesi sebagai sararīman yang terlalu sibuk dalam bekerja dan lebih banyak menghabiskan waktu dengan berkumpul brersama rekan-rekan kerja membuat sosok ayah-ayah ini tidak memiliki waktu untuk berkumpul bersama keluarga terutama dengan anak-anak mereka. Sehingga membuat sosok ibu lebih banyak menghabiskan waktu bersama anak dari pada sosok ayah. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Badan Koordinasi dan Manajemen Administrasi Urusan Pemuda Jepang mengatakan bahwa anak yang terlalu banyak menghabiskan waktu bersama dengan sosok ibu akan membuat kepribadian anak menjadi seperti ibunya, baik anak perempuan maupun laki-laki.

(41)

41

Sehingga hal ini merupakan salah satu penyebab kenapa generasi pria Jepang kontemporer berubah menjadi tidak lagi seperti lelaki Jepang pada umumnya yang maskulin, berjiwa pemimpin, pekerja keras dan tidak mempenting urusan penampilan.

Ojōman adalah generasi yang tumbuh dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga batih yang umumnya hanya memiliki satu anak atau dua anak saja. karena hanya memiliki anak sedikit, membuat orang tua sangat mempehatikan perkembangan si anak baik anak perempuan maupun anak laki-laki, sehingga para anak-anak ini terbiasa dengan perhatian dan intensif dari orang tua. Mereka juga diarahkan ke dalam lingkungan pendidikan yang teratur dan terkendali, sehingga secara tidak langsung hal ini telah mempengaruhi pembentukan diri ojōman menjadi pribadi yang kurang mandiri, manja dan kurang mampu untuk mengekspresikan diri atau menyampaikan pendapat mereka secara tegas.

3.1.2 Mencintai Ibu

Menurut Davies (2002: 136) dalam Ramzielah (2012: 16), Ibu merupakan pihak yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak-anaknya. Pengasuhan anak di Jepang dikenal dengan istilah ikuji. Dalam konsep ikuji, ibu berkewajiban mengasuh dan mendidik anak. Konsep ikuji ini masih melekat kuat dalam masyarakat Jepang.

Peran besar seorang ibu ini juga mucul karena adanya pembagian peran berdasarkan gender yang telah lama berakar di Jepang. Dimana pembagian peran tersebut memegang asas otoko wa shigoto, onna wa kaji to ikuji yang mengandung arti pria bekerja, wanita mengurus rumah dan mengasuh anak. Sehingga dengan

(42)

42

adanya konsep dan asas ini memperkuat alasan kenapa ojōman memiliki kedekatan yang sangat dengan ibu mereka.

Selain itu, alasan lain adalah dikarenakan ojōman dibesarkan di dalam struktur keluarga batih yang hanya bersisikan ibu dan ayah, dimana sosok ayah yang sangat sibuk bekerja sampai lembur membuat kedekatan ayah dengan anak menjadi kurang. Hal ini menyebabkan sang ibu lah yang banyak berperan dan menghabiskan waktu bersama anak. Bahkan beberapa dari mereka masih tinggal di rumah bersama ibu padahal mereka sudah bekerja dan berpenghasilan, mereka menganggap bahwa tempat yang paling nyaman adalah rumah karena bisa bersama dengan ibu. Karena banyak juga yang memilih untuk tinggal dirumah disaat mereka sudah seharusnya mandiri, muncul lah fenomena yang bernama parasito single, dimana beberapa dari ojōman yang masih bergantung dengan orang tua dan masih tinggal bersama orang tua tidak mengeluarkan biaya untuk membayar uang sewah rumah dan biaya hidup.

Menurut (Ushikubo, 2008) dalam Putri (2012: 24), ojōman menganggap tak ada tempat yang lebih aman dari pada rumah mereka. Sebagian dari ojōman masih tinggal dengan orangtuanya. Saat ini 70-80% yang masih tinggal dengan keluarga 40% diantaranya bahkan tidak mengeluarkan 1 yen pun untuk keperluan sewa rumah dan biayah hidup. Para ojōman sering mengadakan parti bersama dengan keluarga dan teman secara bersamaan. Ada sekitar 80% yang mengadakan homeparty sekali dalam 2 atau 3 bulan.

(43)

43 3.1.3 Gaya Hi dup danPenampilan

Dewasa ini Ojōman sering juga disebut girlyman karena perilaku mereka yang juga menyukai hal-hal yang wanita sukai pula. Salah satunya adalah dalam hal penampilan fisik. Ojōman sangat peduli dan sadar untuk menjaga penampilannya. Penampilan yang dimaksud disini ialah berdandan, memakai kosmetik serta sampai memakai bra yang umumnya hanya dipakai bagi kaum wanita saja. Tetapi pada saat memakai bra mereka mengatakan bahwa merasa terlindung dan nyaman pada saat memakai bra. Tidak jarang juga beberapa dari ojōman memilih untuk operasi pelastik untuk menghilangkan kerutan di bawah mata yang menggangu penampilan mereka. Soal penampilan, Ushikubo mewawancarai salah satu ojōman:

“Many of the boys i’ve met told me they cannot go out of their house if their hair doesn’t look perfect,” she said. “they have also told me that their self- esteem goes up when their nails look nice.” (Otake, http://www.japantimes.co.jp/life/2009/05/10/general/blurring-the-

boundaries/#.v8ebslsltiu) Terjemahan :

"Banyak anak-anak yang saya temui mengatakan kepada saya mereka tidak bisa keluar dari rumah mereka jika rambut mereka tidak terlihat sempurna,"

katanya. "Mereka juga telah mengatakan kepada saya bahwa harga diri mereka naik ketika kuku mereka terlihat bagus."

Pendapat Ushikubo mengenai pria ojōman:

“These men are mainly in their 20s. They have no aspirations for love or material wealth or professional promotion. They like spoiling themselves with things like men's cosmetics. They're not interested in sex at all.’’ (Otake, http://www.japantimes.co.jp/life/2009/05/10/general/blurring-the-

boundaries/#.v8ebslsltiu).

Terjemahan:

“Orang-orang ini terutama berusia 20-an. Mereka tidak memiliki aspirasi untuk cinta atau kekayaan materi atau promosi profesional. Mereka suka

(44)

44

memanjakan diri dengan hal-hal seperti kosmetik pria. Mereka tidak tertarik pada seks sama sekali.”

Wawancara juga dilakukan oleh mark mellacy dari Presenter Australian Broudcasting Corporation mewawancarai Kohei Takizawa (ojōman), dia mengatakan:

“I look after my hair and my clothes. It's part of my daily routine. It's natural for me. I like to take care of my appearance.’’(Willacy, http://www.abc.net.au/7.30/content/2010/Japanese-men-embrace-their feminine-side/)

Terjemahan :

“Saya menjaga rambut saya dan pakaian saya. Itu bagian dari rutinitas sehari-hari saya. Itu wajar bagi saya. Saya ingin menjaga penampilan saya.’’

Dari pernyataan, tanggapan dan wawancara diaatas bisa dilihat bahwa pria Jepang dewasa ini secara terang-terangan telah menunjukkan bahwa dirinya adalah sosok pria yang memilki kepedulian terhadap penampilan yang termaksud dari katagori ciri-ciri seorang ojōman.

Karena minatnya terhadap penampilan sangat tinggi, ojōman banyak menghabiskan uang mereka untuk membeli peralatan make up, rambut, krim pemutih, pelembab, dan busana. Krim pemutih dan pelembab tidak bisa lepas dari mereka. Uang ribuan Yen rela mereka keluarkan demi sebuah penampilan yang sempurna. Mereka juga menggunakan pelembab supaya kelembapan kulit mereka terjaga.

Dewasa ini, peningkatan penjualan kosmetik sangan meningkat, sehingga karena moment seperti ini lah perusahaan- perusahaan kosmetik di Jepang mengeluarkan produk terbaru yang di khususnya bagi kaum pria. Pasar untuk kosmetik pria di Jepang meningkat menjadi 70% antara tahun 1980 pertengahan dan 1990-an dan mencapai tanda tahun $ 2 milyar pada awal 2000-an (Subakingkin, 2011: 16).

(45)

45

Banyak para perusahaan-perusahaan kosmetik dan busaana Jepang mengambil kesempatan ini, dengan mengeluarkan produk-produk khusus pria, seperti krim, lip balm, skin care, krim pemutih, sedangkan busana banyak pula busana pria yang pada umumnya kaku, berwarna gelap tetapi sekarang banyak di pasaran yang menjual busana pria yang beraksen banyak, berwarna cerah sampai yang paling ekstrimnya muncul pula pakaian dalam bra dan celana dalam untuk pria yang berwarna cerah.

Adapun kosmetik untuk pria termasuk lotion kulit, zat pemutih dan anti- penuaan krim kecantikan yang dibuat khusus untuk mereka. Selain itu ada juga sisir, gunting, pinset dan alis pensil kecil. Salah satu perusahaan kosmetik yang menyediakan produk para pria adalah Shiseido. Shiseido dan perusahaan kosmetik Jepang lainnya telah merilis sejumlah produk mobil kulit seperti mencuci muka dan lotion dan barang harga tinggi seperti pelembab dan krim anti-penuaan untuk pria.

Beberapa pria juga mulai berjalan-jalan dengan payung di pertengahan musim panas untuk melindungi kulit mereka dari sinar matahari.

Sebuah survei yang dilakukan oleh Shisedo menemukan bahwa 85 persen dari orang-orang yang digunakan pembersihan krim wajah, 54 digunakan deodorant spray, 32 persen digunakan masker lumpur. Sekitar 30 persen dari sekolah tinggi dan laki-laki usia universitas membentuk alis mereka. Beberapa menggunakan foundation untuk menutupi jerawat mereka. Perusahaan kosmetik Shiseido menyimpulkan bahwa pria Jepang yang lahir antara tahun 1971 dan 1974 "memiliki kecenderungan yang kuat terhadap narsisme." Sekitar 58 persen dari pria yang disurvei mengatakan mereka ingin terlihat baik untuk kepuasan pribadi dan hanya 16 persen mengatakan mereka melakukannya untuk menarik perempuan. Tidak

Referensi

Dokumen terkait

Seiring dengan panjangnya usia hidup orang Jepang, waktu yang dibutuhkan lansia dalam perawatan di masa tuanya juga semakin panjang, meningkatnya keluarga

Pada masa ini, tidak ada lagi perbedaan antara pria maupun wanita dalam mengenyam pendidikan akibat dari dibuatnya kebijakan “Bunmei Kaika” yang adalah kebijakan yang

Karakteristik utama dalam pola pengasuhan anak di Jepang antara lain adalah (1) besarnya peran ibu, (2) ayah tidak terlalu banyak terlibat dalam mengasuh

Peran pemerintah dalam menciptakan disiplin pada masyarakat Jepang adalah membangun infrastruktur dan membuat peraturan, peran sekolah adalah mengajarkan anak-anak disiplin sejak

[r]

Jepang adalah negara maju yang terkenal dengan perkembangan teknologi yang sangat cepat, namun tidak begitu saja meninggalkan budaya lama yang sudah lama melekat di kalangan

Mobil-mobil tersebut kemudian menarik hati para otaku sehingga mereka mulai mengikuti menghias mobil-mobil mereka menjadi itasha meski kebanyakan mereka tidak menggunakan

Yanagawa dalam Situmorang (2013: 32) mengatakan ciri beragama masyarakat Jepang adalah shinkou no nai shukyou (agama yang tidak mempunyai kepercayaan), Yanagawa menjelaskan