• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAMBARAN FUNGSIONAL PENDERITA FRAKTUR KOLUM FEMUR YANG TIDAK DIOPERASI DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "GAMBARAN FUNGSIONAL PENDERITA FRAKTUR KOLUM FEMUR YANG TIDAK DIOPERASI DI RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN SKRIPSI"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

GAMBARAN FUNGSIONAL PENDERITA FRAKTUR KOLUM FEMUR YANG TIDAK DIOPERASI DI RSUP HAJI

ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2014 – 2016

SKRIPSI

Oleh :

YULIA ADRIANA SIANTURI 140100097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(2)

GAMBARAN FUNGSIONAL PENDERITA FRAKTUR KOLUM FEMUR YANG TIDAK DIOPERASI DI RSUP HAJI

ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2014 – 2016

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

YULIA ADRIANA SIANTURI 140100097

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2017

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan yang Maha Esa yang telah memberikan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan sarjana kedokteran Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Adapun tujuan penulisan karya tulis ilmiah ini adalah untuk memaparkan landasan pemikiran dan segala konsep menyangkut penelitian yang akan dilaksanakan. Penelitian yang akan dilaksanakan ini berjudul “Gambaran Fungsional Penderita Fraktur Kolum Femur yang Tidak Dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan”.

Penulis menyadari bahwa sangatlah sulit untuk menyelesaikan skripsi ini tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu, dengan segala rasa hormat, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada :

1. Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S (K), selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. dr. Nino Nasution, Sp.OT (K), selaku Dosen Pembimbing yang telah memberi banyak arahan dan masukan kepada saya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.

3. dr. Rita Evalina, M.Ked (Ped), Sp.A (K), selaku Dosen Penguji 1 yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

4. Ibu Sri Lestari, SP. M.Kes, selaku Dosen Penguji II yang telah memberikan petunjuk-petunjuk serta nasihat-nasihat dalam penyempurnaan penulisan skripsi ini.

5. Terima kasih sebanyak-banyaknya saya persembahkan kepada kedua orang tua saya, Ayah tercinta, dr. Goldfried P. Sianturi, Sp.S dan juga Ibu tercinta, Kristina Turnip, S.E, yang telah memberi dukungan penuh dan semangat tiada henti kepada saya dalam menyelesaikan tahap-tahap pendidikan, khususnya dalam penyelesaian skripsi ini.

(5)

6. Kakak saya, Hana Maria Sianturi, S.T dan adik saya Samuel Erwin Sianturi yang selalu mendukung dan menyemangati dalam proses pengerjaan skripsi ini.

7. Senior dan teman-teman terdekat saya yang selalu ada disaat saya membutuhkan dan selalu memberi dorongan dalam mengerjakan skripsi ini.

8. Semua pihak yang telah mendukung, membantu dan mendoakan penulis dalam penyusunan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan karya tulis hasil penelitian ini.

Akhir kata, semoga tulisan ini dapat benar-benar bermanfaat bagi para pembaca umumnya serta bagi penulis sendiri pada khususnya.

Medan, 10 Desember 2017 Penulis

Yulia Adriana Sianturi

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi... iv

Daftar Gambar ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Singkatan... viii

Daftar Lampiran ... x

Abstrak ... xi

Abstract ... xii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1 Tujuan Umum ... 3

1.3.2 Tujuan Khusus... 3

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Anatomi Panggul ... 5

2.2 Fraktur Kolum Femur ... 8

2.2.1 Definisi ... 8

2.2.2 Etiologi ... 8

2.2.3 Klasifikasi Fraktur ... 9

2.2.4 Patofisiologi ... 13

2.2.5 Manifestasi Klinis ... 13

2.2.6 Penyembuhan Fraktur ... 15

2.2.7 Tatalaksana ... 17

2.3 Status Fungsional ... 20

2.3.1 Instrumen Status Fungsional ... 20

2.5 Kerangka Teori Penelitian ... 23

2.6 Kerangka Konsep Penelitian ... 24

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian ... 25

3.2 Lokasi Penelitian ... 25

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

3.3.1 Populasi Penelitian ... 25

3.3.2 Sampel Penelitian ... 25

3.4 Metode Pengumpulan data ... 26

3.5 Metode Analisis data ... 26

3.6 Definisi Operasional ... 26

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN... 28 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

(7)

5.1 Kesimpulan ... 35

5.2 Saran ... 35

DAFTAR PUSTAKA ... 37

LAMPIRAN ... 40

(8)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6 2.7 2.8 2.9 2.10

Anatomi Panggul...

Anterior Sendi Panggul...

Klasifikasi Fraktur Terbuka Menurut Gustilo dan Anderson...

Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Berdasarkan Letak Anatomi....

Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Menurut Pauwels...

Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Menurut Garden...

Penyembuhan Fraktur...

Sliding Traction...

Kerangka Teori Penelitian...

Kerangka Populasi Penderita Fraktur Kolum Femur yang Tidak Dioperasi...

5 6 10 12 12 13 17 19 23 29

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1 4.1 4.2 4.3

Modified Scoring for Barthel Index...

Karakteristik sampel penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi...

Karakteristik pasien berdasarkan alasan tidak dilakukan operasi...

Status fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi...

22 30 32 33

(10)

DAFTAR SINGKATAN

ADL BI CT FIM IADL

: : : : :

Activity Daily Living Barthel Index

Computed Tomography

Functional Independence Measure Instrumental Activity Daily Living IOF : International Osteoporosis Foundation MBI : Modified Barthel Index

PRC : Packed Red Cells RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat

SAHFE : Standardised Audit of Hip Fractures in Europe SIAS : Spina Illiaca Anterior Superior

SIRS : Sistem Informasi Rumah Sakit THA : Total Hip Arthroplasty

WHO : World Health Organization

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Daftar Riwayat Hidup ... 40

2. Ethical Clearence ... 42

3. Surat Izin Penelitian ... 43

4. Surat Pernyataan Orisinilitas ... 44

5. Lembar Penjelasan Penelitian ... 45

6. Lembar Pernyataan Persetujuan ... 46

7. Data Responden ... 47

8. Analisis Data Statistik SPSS ... 48

9. Kuesioner Modified Barthe Index ... 50

(12)

ABSTRAK

Latar Belakang. Fraktur kolum femur merupakan salah satu jenis fraktur panggul yang sering terjadi dan sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia. Fraktur kolum femur dapat di tatalaksana secara operatif dan non-operatif. Namun, tatalaksana non-operatif dilaporkan gagal pada banyak pasien dan dapat mempengaruhi status fungsional. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan. Metode. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain penelitian cross-sectional. Pengambilan data dilakukan secara total sampling pada penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi tahun 2014 – 2016. Status fungsional diukur melalui wawancara langsung dengan kuesioner Modified Barthel Index. Hasil. Dari 15 pasien yang diteliti ditemukan status fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi didapati paling banyak berada pada derajat ketergantungan ringan (40%), diikuti dengan derajat ketergantungan sedang (33,3%), kemudian derajat ketergantungan berat dan mandiri masing- masing 13,3%. Kesimpulan. Didapati mayoritas penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi berada pada derajat ketergantungan ringan.

Kata kunci : fraktur kolum femur, non-operatif, status fungsional

(13)

ABSTRACT

Background. Femoral neck fracture is one type of hip fracture that often occurs and greatly affects the quality of human life. Fracture of the femoral neck can be treated operatively and non- operatively. However, non-operative management is reported to fail in many patients and may affect functional status. Aim. This research aimed to find out the functional status of femoral neck fractures that are not operated in RSUP Haji Adam Malik Medan. Method. This was a descriptive research with cross-sectional study design. The data were collected in total sampling on femoral neck fracture patients non-operated from 2014 to 2016. Functional status was measured through direct interviews using the Modified Barthel Index questionnaire. Results. Out of 15 patients, the functional status of femoral neck fracture patients non-operated was found to be in the slight dependence (40%), followed by the moderate dependence (33.3%), then the severe dependence and independent each 13.3%. Conclusion. The majority of femoral neck fracture patients who were not operated were slight dependence.

Keywords : femoral neck fracture, non-operative, functional status

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fraktur yang didefinisikan sebagai terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa memiliki insiden yang terus meningkat di dunia. Insiden fraktur pada tahun 2009 sampai 2011 adalah 11%

lebih besar daripada tahun 1989 sampai 1991 (Mansjoer, 2000 ; Amin dan Achenbach, 2014). Di Indonesia angka kejadian fraktur adalah sebesar 1,3 juta setiap tahun dengan jumlah penduduk 238 juta yang merupakan terbesar di Asia Tenggara (Wrong 2017). Menurut data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia pada tahun 2010, kasus fraktur mengalami peningkatan setiap tahun sejak 2007. Pada 2007 terdata 22.815 insiden fraktur, yang terus meningkat sampai pada tahun 2010 terdapat 43.003 kasus. Di Sumatera Utara sendiri berdasarkan data dari Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 memiliki proporsi kejadian fraktur sebesar 5.1% (RISKESDAS, 2013).

Fraktur panggul merupakan fraktur ekstremitas bawah yang sering terjadi dan seringkali memberikan dampak buruk bagi populasi lansia (Lakstein et al., 2013). Di seluruh dunia sekitar 1,6 juta fraktur panggul terjadi setiap tahunnya, pada tahun 2050 jumlah ini bias mencapai antara 4,5 juta dan 6,3 juta. Fraktur panggul merupakan penyebab morbiditas paling tinggi dengan tingkat kematian yang dilaporkan hingga 20-24% di tahun pertama setelah fraktur, dan risiko kematian yang lebih besar dapat terjadi setidaknya 5 tahun sesudahnya.

Kehilangan fungsi dan kemandirian di antara korban selamat sangat besar dengan 40% tidak dapat berjalan secara mandiri dan 60% membutuhkan bantuan setahun kemudian. Karena kehilangan fungsi dan kemandirian ini, 33% sepenuhnya bergantung pada orang lain atau berada di panti jompo di tahun berikutnya setelah fraktur panggul (IOF, 2017).

Swedish National Hip Fracture Register yang terkait dengan SAHFE (Standardised Audit of Hip Fractures in Europe) menyatakan bahwa fraktur kolum femur yang merupakan fraktur panggul merupakan 53% dari semua fraktur

(15)

2

panggul yang terjadi (Thorngren et al., 2002). Fraktur kolum femur adalah salah satu jenis fraktur yang dapat sangat mempengaruhi kualitas hidup manusia (Sutanto dan Sjarwani, 2015). Koval dan Zuckerman mencatat kejadian fraktur kolum femur yang disesuaikan dengan usia di Amerika Serikat adalah 63,3 kasus per 100.000 orang-tahun untuk wanita dan 27,7 kasus per 100.000 orang-tahun untuk pria (Koval dan Zuckerman, 1994). Fraktur kolum femur juga dilaporkan sebagai salah satu jenis fraktur dengan prognosis yang tidak terlalu baik, disebabkan oleh anatomi kolum femur itu sendiri, yaitu vaskularisasinya yang cenderung ikut mengalami cedera pada cedera kolum femur, serta letaknya yang intrakapsular menyebabkan gangguan pada proses penyembuhan tulang (Sutanto dan Sjarwani, 2015).

The British Orthopaedic Association baru-baru ini mempublikasikan pedoman tentang perawatan pada penderita fraktur. Pedoman tersebut menyatakan bahwa tatalaksana yang lazim untuk semua jenis fraktur panggul adalah pembedahan dan tatalaksana konservatif jarang diindikasikan di Negara berkembang. Gregory et al. melakukan penelitian yang menunjukkan bahwa tatalaksana operatif adalah tatalaksana yang optimal untuk kebanyakan pasien dan studi sebelumnya juga menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa tatalaksana non- operatif secara umum memberikan hasil yang buruk. Namun, pada pasien dengan komorbiditas medis yang mengancam jiwa, tatalaksana non-operatif yang disertai dengan mobilisasi dini dapat memberikan hasil yang baik (Gregory et al., 2010).

Pada pasien fraktur kolum femur lanjut usia yang memerlukan tatalaksana non- operatif, perawatan medis intensif diberikan untuk mengurangi rasa sakit dan memungkinkan kembalinya status fungsionalnya mendekati status sebelum terjadinya fraktur (Faraj, 2008).

Penderita fraktur kolum femur umumnya dapat berjalan, namun pincang dan selalu terdapat beberapa gangguan fungsional (Duckworth dan Blundell, 2010).

Pada follow-up 1 tahun dari 11 orang yang selamat, 6 orang dapat bergerak namun menggunakan alat bantu (3 dengan tongkat, 3 dengan Zimmer frame) dan 5 pasien menggunakan kursi roda setelah tatalaksana non-operasi. Dikarenakan perubahan tingkat mobilitas, status fungsional dari pasien fraktur kolum femur yang tidak

(16)

3

dioperasi mengalami perubahan, dimana dari 11 pasien, 2 mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik, 4 dapat melakukan aktivitas sederhana kehidupan sehari-hari tanpa bantuan, dan 5 membutuhkan bantuan untuk aktivitas sehari-hari (Gregory et al., 2010). Namun penelitian mengenai gambaran fungsional pada penderita fraktur kolum femur belum dilaksanakan sebelumnya di RSUP Haji Adam Malik Medan.

Berdasarkan latar belakang tersebut, peneliti tertarik untuk melihat gambaran fungsional pada penderita fraktur kolum femur di RSUP Haji Adam Malik yang tidak dioperasi.

1.2. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan

1.3.2. Tujuan Khusus

Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui jumlah kasus fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014-2016

2. Untuk mengetahui karakteristik sampel penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014-2016

3. Untuk mengetahui alasan tidak dilakukannya operasi

4. Untuk mengetahui gambaran fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2014-2016

(17)

4

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk : 1. Bagi penderita fraktur

Penelitian ini dapat menjadi pertimbangan bagi pasien dalam memilih tatalaksana secara operatif atau non-operatif

2. Bagi Rumah Sakit

Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi bagi RSUP H. Adam Malik Medan agar dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan 3. Bagi peneliti

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan menambah wawasan serta kemampuan peneliti dalam melakukan penelitian

4. Bagi peneliti selanjutnya

Hasil penelitian ini dapat menjadi masukan atau referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Panggul

Panggul adalah sendi terbesar di tubuh yang merupakan sendi ball-and- socket klasik yang memenuhi empat karakteristik sendi sinovial atau diarthrodial, yaitu: memiliki rongga bersama, permukaan sendi ditutupi olehkartilago artikular, memiliki membran sinovial yang memproduksi cairan sinovial, dan dikelilingi oleh kapsul ligamen (Byrd, 2004 ; Ellis, 2006).

Gambar 1. Anatomi panggul

Tulang-tulang panggul terdiri atas :

1. Os. Coxae : yang dibentuk oleh tulang innominate terdiri dari os. ilium (40%), os. iskium (40%) dan os. pubis (20%) (Rasjad, 2003). Ketiga tulang ini dipisahkan oleh kartilago ypsiloformis, dimanapenggabungan

(19)

6

dari ketiga tulang ini mulai terjadi pada usia 14 - 16 tahun dan selesai biasanya pada usia 23 tahun (Moore dan Ed, 1999).

2. Os. Sacrum 3. Os. Koksigeus

Tulang-tulang ini satu dengan yang lainnya saling berhubungan. Pada bagian anterior terdapat hubungan antara kedua os.pubis kanan dan kiri yang disebut dengan simfisis pubis. Sementara pada bagian posterior terdapat artikulasio sakro iliaka yang menghubungkan os.sakrum dengan os.ilium (Winkjosastro et al., 2002).

Pada bagian proksimal kapsul panggul melekat di tepi asetabulum dan ligamentum asetabular transversal. Sementara pada bagian distal, kapsul panggulmelekat di sepanjang linea trochanter. Jarak basis trokanter mayor dan minor ke kolum femur adalah sekitar setengah (12 mm) dari puncak trokanter. Dari bagian distal, serat kapsul berada juga pada kolum femur sebagai retinakula dan menyediakan satu jalur untuk suplai darah ke kaput femur (Ellis, 2006).

Gambar 2. Anterior sendi panggul

(20)

7

Terdapat tiga ligamen yang memperkuat kapsul panggul:

1. Ligamentum iliofemoral (ligamentum Y dari Bigelow)

Berasal dari tulang belakang iliaka inferior anterior, bercabang, dan kemudian ke setiap ujung linea trokanter (gambar 2)

2. Ligamentum pubofemoral

Berasal dari iliopubic junction ke daerah medial kapsul 3. Ligamentum ischiofemoral

Berasal dari ischium ke basis trokanter mayor.

Dari ketiganya, iliofemoral adalah ligamentum terkuat yang dapat menahan hiperekstensi pada panggul (Ellis, 2006).

Panggul mampu melakukan berbagai gerakan seperti fleksi, ekstensi, abduksi, adduksi, rotasi medial dan lateral dan sirkumduksi.

Otot utama yang bekerja pada sendi adalah (Ellis, 2006) :

 Fleksor : iliaka dan psoas mayor

 Ekstensor : musculus gluteus maximus, dan tiga otot paha belakang (hamstring)

 Adduktor : musculus adduktor longus, brevis dan magnus yang dibantu oleh m. gracilis dan m. pectineus

 Abduktor : gluteus medius dan minimus, tensor fasciae latae

 Rotator lateral : terutama gluteus maximus dibantu oleh obturator, gemelli dan quadratus femoris

 Rotator medial : tensor fasciae latae dan anterior gluteus medius dan minimus

Kaput femur menerima pasokan darah arterinya dari tiga sumber yaitu : 1) pembuluh intraosea yang mengalir pada kolum femur, yang pasti rusak bila terjadi dislokasi atau fraktur kolum femur 2) pembuluh dalam retinakulum yang melengkung dari kapsul ke kolum femur, yang dapat rusak karena

(21)

8

fraktur dan 3) pembuluh dalam ligamentum teres.Pasokan saraf pada panggul lebih banyak dari pasokan darah. Serabut sensorik yang menyampaikan proprioseptif maupun nyeri banyak terdapat pada kapsul dan ligamentum (Apley dan Solomon, 1995).

2.2 Fraktur Kolum Femur 2.2.1 Definisi

Fraktur kolum femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa yang dapat terjadi di pangkal, di bagian tengah, di pertemuan kaput dan kolum, atau melalui kolum ke kaput femur yang terjadi pada area dengan periosteum yang tipis atau tanpa periosteum yang merupakan fraktur intrakapsular (Woolf dan Akesson, 2001 ; Sivananthan et al., 2012).

2.2.2 Etiologi

Terjadi jika tulang terkena tekanan yang lebih besar dari kemampuan yang dapat diabsorpsi. Tekanan dapat berupa pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot berlebihan (Smeltzer, 2008). Tulang yang patah akan mempengaruhi jaringan sekitar sehingga dapat mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan pada otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendon, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cedera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau fragmen tulang (William dan Hopper, 2009).

Berdasarkan Muttaqin tahun 2008, fraktur juga disebabkan oleh (Muttaqin, 2008) :

a. Trauma langsung

Trauma langsung dapat menyebabkan tekanan langsung pada tulang sehingga menyebabkan terjadinya fraktur pada tulang yang terkena tekanan.

Jaringan lunak di sekitar trauma, biasanya juga akan mengalami kerusakan.

Fraktur yang dapat terjadi akibat trauma langsung ini yaitu fraktur komunitif.

(22)

9

b. Trauma tidak langsung

Trauma tidak langsung yaitu trauma yang terjadi di daerah lain yang jauh dari tulang yang fraktur.

Cedera biasanya terjadi pada saat yang tidak disangka, seperti terjadi saat berjalan biasa. Fraktur dapat terjadi seiring dengan langkah turun tak terduga atau ketika tersandung. Fraktur kolum femur jarang terjadi akibat jatuh; lebih sering subjek jatuh saat terjadi fraktur. Terkadang terdapat kista atau tumor pada kolum femur atau osteoporosis, yang merupakan predisposisi patah tulang (Raaymakers dan Marti, 1991).

2.2.3 Klasifikasi Fraktur

Klasifikasi fraktur secara umum berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain (Mansjoer, 2000) :

1. Fraktur tertutup (closed)

Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:

a. Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak sekitarnya.

b. Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.

c. Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam dan pembengkakan.

d. Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman sindroma kompartemen.

2. Fraktur terbuka (open/compound fracture)

Dikatakan terbuka bila tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan atau berpotensial untuk terjadi infeksi dimana patogen dari luar dapat masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah.

(23)

10

Gustilo dan Anderson kemudian mengklasifikasikan fraktur terbuka ke dalam tiga kategori yaitu berdasarkan ukuran luka, tingkat kontaminasi, dan cedera tulang, sebagai berikut (Rasjad, 2003) :

a. Tipe I = fraktur terbuka dengan luka kurang dari 1 cm dan bersih b. Tipe II = fraktur terbuka dengan laserasi lebih besar dari 1 cm tanpa

kerusakan jaringan lunak, flaps, atau avulsi jaringan lunak c. Tipe III = baik fraktur segmental terbuka, fraktur terbuka dengan

kerusakan jaringan lunak yang luas, atau amputasi traumatik.

Tipe III dibagi lagi kedalam sub tipe :

 Tipe IIIA = fraktur terbuka mencakup jaringan lunak pada tulang yang fraktur

 Tipe IIIB = fraktur terbuka dengan kehilangan jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan dan kerusakan periosteum.

Ini biasanya terkait dengan kontaminasi masif

 Tipe IIIC = fraktur terbuka yang berhubungan dengan cedera arteri besar yang memerlukan perbaikan

Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Terbuka Menurut Gustilo dan Anderson

Menurut Price dan Wilson, kekuatan dan sudut dari tenaga fisik, keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh

(24)

11

tulang patah, sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh ketebalan tulang (Price dan Wilson, 2006).

Berdasarkan derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2, yaitu:

a. Patah tulang lengkap (Complete fracture)

Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.

b. Patah tulang tidak lengkap (Incomplete fracture)

Bila antara patahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering disebut green stick.

Menurut Mansjoer bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu (Mansjoer, 2000) :

1.Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.

2.Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang

3. Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya spiral di sebabkan oleh trauma rotasi.

4. Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang kearah permukaan lain.

5. Fraktur Avulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada insersinya pada tulang.

Fraktur kolum femur pada awalnya diklasifikasikan tergantung pada lokasi anatominya, yaitu : a) Subcapital, b) transcervical, dan c) basicervical

(25)

12

Gambar 4. Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Berdasarkan Letak Anatomi

Pauwels mengklasifikasikan fraktur kolum femur menjadi tiga jenis tergantung pada sudut yang dibuat garis fraktur dengan garis horizontal (Gambar 5). Klasifikasi ini didasarkan pada dasar biomekanis bahwa sudut yang meningkat menyebabkan meningkatnya kekuatan pergeseran fraktur, yang menyebabkan meningkatnya kejadian non-union dan ketidakstabilan (Sivananthan et al., 2012).

Gambar 5. Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Menurut Pauwels

Garden mengklasifikasikan fraktur berdasarkan derajat pergeseran tulang dan pengaruhnya terhadap kestabilan dan angka kejadian nekrosis avaskular (Sivananthan et al., 2012).

Klasifikasi fraktur kolum femur menurut Garden : 1. Tipe I : Tidak komplit

2. Tipe II : Komplit, tanpa pergeseran pada foto anteroposterior dan lateral

(26)

13

3. Tipe III : Komplit, pergeseran parsial 4. Tipe IV : Pergeseran komplit

Gambar 6. Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Menurut Garden

2.2.4 Patofisiologi

Jatuh pada satu sisi atau ke samping menghasilkan transmisi paksa melalui trokanter mayor femur ke kolum femur. Mekanisme lain adalah rotasi eksternal kaki yang mengakibatkan ketegangan pada anterior kolum femur dan struktur kapsul ligamen anterior. Mekanisme ini mungkin juga terjadi pada kominusi kolum femur posterior yang sering ditemui pada fraktur ini (Limb, 2009).

2.2.5 Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur kolum femur biasanya tidak dapat dipindahkan, memiliki ekstremitas bawah yang biasanya memendek dan mengalami rotasi eksternal.

Namun, pasien dengan fraktur yang tidak bergeser tidak memiliki deformitas dan dapat mengangkat beban. Panggul depan terdapat nyeri tekan dan nyeri pada saat penekanan daerah trokanter dan saat pergerakan panggul (Sivananthan et al., 2012).

Gejala klinis klasik dari fraktur mungkin atau mungkin tidak ada (Duckworth dan Blundell, 2010) :

- Nyeri tekan hampir selalu terjadi pada fraktur yang baru terjadi, dengan asumsi pasien sadar.

- Deformitas. Tungkai bisa memendek atau bengkok

(27)

14

- Bengkak biasanya terjadi pada fraktur yang cukup dangkal.

Pembengkakan yang terlihat biasanya menandakan ada ruptur vaskular.

Pembengkakan biasanya muncul dalam beberapa waktu dan dapatsemakin membengkakdalam 12-24 jam pertama. Pembengkakan sebagian disebabkan oleh hematoma, sebagian karena inflamasi eksudat. Memar dapat terlihat dengan jelas. Sendi yang retak dapat terisi dengan darah (haemarthrosis).

- Peningkatan suhu lokal pada dasarnya adalah bagian dari respon inflamasi yang dengan cepat terjadi setelah cedera dan dapat ditemukan bahkan jika kerusakan hanya pada jaringan lunak.

- Mobilitas abnormal atau krepitus. Usaha keras untuk menemukan gerakan abnormal dan krepitasi harus dihindari.

- Hilangnya fungsi hampir selalu ditemukan sampai batas tertentu. Pasien biasanya mengalami kesulitan dalam menggerakkan sendi yang berdekatan.

Pemeriksaan X-Ray adalah diagnosis pasti fraktur dan dilakukan untuk memberikan informasi tambahan (Duckworth dan Blundell, 2010).

Pemeriksaan X-Ray menggunakan rules of two (Apley dan Solomon, 1995) :

 Dua pandangan : Harus dilakukan dua sudut pandang (antero- posterior dan lateral)

 Dua sendi : Sendi di atas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan pada foto sinar X-ray

 Dua tungkai : Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat

 Dua cedera : Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari satu tingkat. Bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur, perlu juga diambil foto X- ray pada pelvis dan tulang belakang

 Dua kesempatan : Pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosis

(28)

15

Computed tomography (CT) scan sudah menjadi alat bantu yang berguna dalam mendiagnosis cedera yang lebih sulit di lihat dengan X-Ray, seperti pada fraktur pelvis dan tulang belakang. CT-scan dapat membantu menentukan indikasi prosedur operasi (Duckworth dan Blundell, 2010).

2.2.6 Penyembuhan Fraktur

Biasanya dikira bahwa, agar menyatu, fraktur harus diimobilisasi.

Bukan demikian halnya karena dengan beberapa pengecualian, fraktur akan menyatu baik di bebat atau tidak; sesungguhnya, tanpa suatu mekanisme alami untuk menyatu, hewan darat hampir tidak mungkin muncul dalam evolusi. Tetapi pada beberapa tahap tulang harus relatif diistirahatkan dibandingkan yang lain (McRae dan Esser, 2008).

Proses perbaikan fraktur beragam sesuai dengan jenis tulang yang terkena dan jumlah gerakan di tempat fraktur. Pada tulang tubuler, dan bila tak ada fiksasi yang kaku, penyembuhan dimulai dalam lima tahap, yaitu (Apley dan Solomon, 1995) :

A. Kerusakan Jaringan Dan Pembentukan Hematoma

Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar dalam fraktur. Tulang pada permukaan fraktur, yang tidak mendapat persediaan darah akan mati sepanjang satu atau dua milimeter.

B. Radang Dan Proliferasi Selluler

Dalam 8 jam setelah fraktur terdapat reaksi radang akut disertai proliferasi sel di bawah periosteum dan di dalam saluran medula yang tertembus. Ujung fragmen dikelilingi oleh jaringan sel, yang menghubungkan tempat fraktur. Hematoma yang membeku perlahan - lahan di absorbsi dan kapiler baru yang halus berkembang ke dalam daerah itu.

C. Pembentukan Kalus

Sel yang berkembangbiak memiliki potensi kondrogenik dan osteogenik: bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan dalam beberapa keadaan, juga kartilago.

(29)

16

Populasi sel sekarang juga mencakup osteoklas (mungkin dihasilkan dari pembuluh darah baru) yang mulai membersihkan tulang yang mati. Massa sel yang tebal, dengan pulau-pulau tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada permukaan periosteal dan endosteal. Sementara tulang fibrosa yang imatur (atau anyaman tulang) menjadi lebih padat, gerakan pada tempat fraktur semakin berkurang dan pada empat minggu setelah cedera fraktur menyatu.

D. Konsolidasi

Bila aktivitas osteoklastik dan osteoblastik berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi tulang lamelar. Sistem itu sekarang cukup kaku untuk memungkinkan osteoklas menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan dekat di belakangnya osteoblas mengisi celah - celah yang tersisa di antara fragmen dengan tulang yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum tulang cukup kuat membawa beban yang normal.

E. Remodelling

Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat.

Selama beberapa bulan, atau bahkan beberapa tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh resorpsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamela yang lebih tebal diletakkan pada tempat yang tekanannya tinggi: dinding-dinding yang tak dikehendaki dibuang;

rongga sumsum dibentuk. Akhirnya, terutama pada anak-anak, tulang akan memperoleh bentuk yang mirip bentuk normalnya.

(30)

17

(a) hematoma (b) radang (c) kalus (d) konsolidasi (e) remodelling

Gambar 7. Penyembuhan Fraktur

Proses penyembuhan tulang biasanya dipengaruhi oleh beberapa faktor.

Penyembuhan tulang secara umum semakin lambat seiring dengan meningkatnya usia. Pada kolum femur yang merupakan tulang cancellous penyembuhan tulang umumnya terjadi dalam waktu 6 minggu setelah terjadinya cedera. Vaskularisasi kolum femur yang berkurang dengan adanya fraktur dapat mempengaruhi proses penyembuhan tulang, sehingga fenomena nekrosis avaskular sering ditemukan (McRae dan Esser, 2008).

2.2.7 Tatalaksana

Prinsip terapi fraktur kolum femur adalah reduksi, fiksasi dan rehabilitasi.

Reduksi yang tepat diperlukan pada pasien fraktur dengan stadium III dan IV menurut klasifikasi Garden. Pada fraktur stadium III dan IV yang tidak dapat direduksi secara tertutup dan pada pasien berumur di bawah 60 tahun, tatalaksana yang dilakukan adalah reduksi terbuka melalui pendekatan anterolateral. Namun reduksi terbuka tidak dilakukan pada pasien tua yang berusia lebih dari 70 tahun (Apley dan Solomon, 1995).

Fiksasi dilakukan dengan menempelkan pen atau sekrup berkanula, atau dengan sekrup kompresi geser (sekrup panggul yang dinamis) pada batang femur. Insisi lateral dilakukan untuk membuka proksimal femur. Kawat pemandu yang disisipkan digunakan untuk memastikan penempatan alat fiksasi

(31)

18

telah tepat. Dua sekrup berkanula harus terletak sejajar dan memanjang sampai plat tulang subkondrial dipantau melalui foto lateral terlihat keduanya berada di tengah-tengah antara kaput dan kolum femur, namun pada foto anteroposterior sekrup terletak distal dengan korteks inferior kolum femur (Apley dan Solomon, 1995).

Pengganti prostetik memiliki prognosis lebih baik pada pasien fraktur stadium III dan IV. Namun angka morbiditas pengganti prostetik lebih tinggi dari fiksasi. Sehingga reduksi dan fiksasi dilakukan pada pasien berumur di bawah 75 tahun, sementara pengganti prostetik diindikasikan pada pasien yang sangat tua dan lemah, serta pada pasien yang gagal menjalani reduksi tertutup.

Total Hip Arthroplasty (THA) baik dilakukan bila terapi telah tertunda selama beberapa minggu dan curiga adanya kerusakan asetabulum, atau pada pasien dengan penyakit metastatik atau penyakit Paget (Apley dan Solomon, 1995).

Tatalaksana Umum Non-Operatif (McRae dan Esser, 2008) :

1. Traksi kulit (skin traction) awal dapat membantu mengurangi rasa sakit awal namun kemampuannya untuk meminimalkan pergeseran fraktur lebih lanjut belum dibuktikan.

2. Pemberian analgetik yang tepat sesuai dengan tingkat nyeri pasien harus diulang. Penenang mungkin juga diperlukan namun diberikan dengan hati- hati.

3. Cairan intravena harus dilanjutkan, dengan pertimbangan diberikan pada pasien dengan masalah respirasi atau kardiovaskular bersamaan. Whole blood atau packed red cells (PRC) mungkin diperlukan pada pasien anemia dengan Hb sangat rendah.

4. Fisioterapis bisa memberikan bantuan dalam pengelolaan nyeri dada.

5. Keperawatan dengan standar tertinggi diperlukan yaitu untuk menghindari nyeri tekan, terutama pada pasien berat yang takut bergerak karena sakit.

6. Antibiotik dapat diresepkan pada pasien dengan infeksi saluran kemih.

Walaupun pengobatan bisa segera dimulai, konfirmasi bakteriologis harus diupayakan.

(32)

19

REDUKSI

Traksi adalah tatalaksana non-operatif untuk mereduksi dan menahan fraktur yang dilakukan dengan menarik tulang secara langsung atau tidak langsung.

Traksi jarang digunakan sekarang dengan meningkatnya penggunaan fiksasi internal. Dimana biaya rawat inap rumah sakit tinggi, traksi, yang seringkali mengharuskan pasien tinggal di rumah sakit, kurang digunakan (Davison et al., 2005).

Metode pengaplikasian traksi (Sivananthan et al., 2012) : a) Traksi kulit (Skin Traction)

Gaya diberikan di sepanjang kulit dengan menggunakan tali perekat untuk menempelkan tali dan beratnya. Ini cukup memuaskan, namun gaya yang dapat diterapkan dibatasi oleh kerusakan yang mungkin terjadi pada kulit dari waktu ke waktu. Pada beberapa orang, kulit menjadi sensitif terhadap perekat.

b) Traksi Tulang (Skeletal Traction)

Metode ini diterapkan dengan menggunakan pin atau alat serupa yang diterapkan secara langsung melalui tulang. Metode ini dapat menggunakan gaya yang lebih besar, namun memungkinkan infeksi ke dalam tulang.

Gambar 8. Sliding Traction

(33)

20

2.3 Status Fungsional

Status fungsional memiliki beberapa istilah yang berbeda dengan beragam definisi dan alat ukur dari yang terbatas sampai luas. Status fungsional mengarah dalam domain fungsi sebagai konsep multidimensi dimana karakteristik kemampuan individu untuk memenui kebutuhan hidup, termasuk kebutuhan dasar, berperan secara penuh, memelihara kesehatan, serta kesejateraan (Ridge dan Goodson, 2000)

Status fungsional adalah suatu konsep mengenai kemampuan melakukan self-care, self-maintenance, dan aktivitas fisik (Ropyanto, 2011). Status fungsional didefinisikan juga sebagai konsep multidimensi karakteristik kemampuan individu untuk menunjang kebutuhan hidup, dimana sebagai jalan untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup dengan normal (Dahlen et al., 2006). Menurut Saltzman, status fungsional dilihat dari dua aspek yaitu tujuan dari pengkajian fungsional dan komponen pengkajian fungsional.

Tujuan pengkajian fungsional adalah sebagai gambaran indikasi keparahan suatu penyakit, mengukur kebutuhan individu akan perawatan, memonitor perubahan sepanjang waktu, serta pemeliharaan untuk optimalisasi cost effectivenes operasi klinik. (Ropyanto, 2011)

2.3.1 Instrumen Status Fungsional

Komponen pengkajian fungsional meliputi penglihatan dan pendengaran, mobilitas, kontinensia, nutrisi, status mental (kognisi dan afektif), lingkungan rumah, dukungan sosial, serta ADL (Activities Day Living) dan IADL (Instrumental ADL). ADL dilihat dari aktivitas dasar seperti berpindah, ambulasi, mandi, toileting, nutrisi, dll. IADL merupakan kebutuhan lebih komplek merupakan kombinasi fungsi mental dan fisik seperti penggunaan telepon, mempersiapkan makan, mengatur transportasi, serta mengatur pengeluaran. Instrumen pengukuran status fungsional sangat beragam antara lain : The Barthel Index, Index of Independent in Activities of Daily Living (ADL), The Physical Self-Maintenance Scale, A Rapid Disability Rating

(34)

21

Scale, Stanford Health Assesment Quistionaire, dan The Functional Independence Measure (FIM) (Wilkinson, 2011 ; Loretz, 2005).

Dari keseluruhan instrumen status fungsional yang ada, Barthel Index dianggap sebagai skala pengukuran ADL terbaik. Namun, ada beberapa alat ukur yang lebih sensitif terhadap perubahan kecil dalam status fungsional daripada Barthel Index. Sensitivitas Barthel Index dapat ditingkatkan dengan memperluas jumlah kategori yang digunakan untuk mencatat perbaikan pada setiap fungsi ADL. Perubahan yang disarankan pada penilaian Barthel Index, dan pedoman untuk menentukan tingkat independensi kemudian disajikan.

Modifikasi dan pedoman ini diterapkan dalam penilaian 258 pasien stroke pertama yang merujuk rehabilitasi rawat inap di Brisbane, Australia selama tahun 1984. Penilaian Modified Barthel Index (MBI) mencapai sensitivitas dan reabilitas yang lebih baik daripada versi aslinya (Barthel Index), tanpa menimbulkan perbedaan atau mempengaruhi waktu pelaksanaan. Koefisien reliabilitas konsistensi internal untuk penilaian Modified Barthel Index adalah 0.90, dibandingkan dengan 0.87 untuk skor awal pada Barthel Index.

MODIFIED BARTHEL INDEX

Sementara Barthel Index (BI) pada umumnya terdiri dari tiga kategori, yaitu mereka yang bergantung total, mereka yang membutuhkan bantuan, dan yang benar-benar mandiri. Peningkatan jumlah kategori untuk membedakan kuantitas dan kualitas bantuan itu dibutuhkan dan akan dapat meningkatkan sensitivitas BI. Hal ini penting agar walau daya diskriminatif BI meningkat, total waktu yang diperlukan untuk melakukan tanya jawab dengan BI tidak terlalu terpengaruh, dan tugas tidak dibuat terlalu rumit untuk memungkinkan penerapan berkelanjutan oleh bukan ahli, dan reabilitas yang tinggi dari BI dipertahankan. Dalam modifikasi awal, pengenalan kategori keempat merupakan penambahan atas terbatasnya diskriminasi terhadap BI asli, namun tidak memberikan diskriminasi yang secara signifikan lebih tajam.

Oleh karena itu, penilaian lima kategori dibuat, tidak hanya untuk memenuhi persyaratan pragmatik di atas, tetapi juga karena kinerja mudah dinilai pada

(35)

22

skala lima poin. Dalam skala lima titik, mereka yang benar-benar bergantung, dan mereka yang sepenuhnya mandiri, memiliki nilai yang sama seperti pada konsepsi asli. Berbeda dengan BI asli, semua item dalam versi modifikasi memiliki jumlah kategori yang sama. Skor untuk masing-masing kategori mencerminkan bobot keseluruhan untuk item tersebut dalam hal skor total (Tabel 2.1). Jumlah kategori yang sama memfasilitasi kemudahan dan ketepatan pengkodean karena asesor hanya perlu mencatat kategori atau kode yang sesuai untuk setiap pasien. Total nilai BI dapat dihitung secara otomatis oleh komputer di lain waktu. (Shah et al., 1989)

Tabel 2.1. Modified Scoring for Barthel Index

Items

Code 1

Unable to perform

task

2 Attempts

task but unsafe

3 Moderate

help required

4 Minimal

help required

5 Fully independent

Personal hygiene 0 1 3 4 5

Bathing self 0 1 3 4 5

Feeding 0 2 5 8 10

Toilet 0 2 5 8 10

Stair climbing 0 2 5 8 10

Dressing 0 2 5 8 10

Bowel control 0 2 5 8 10

Bladder control 0 2 5 8 10

Ambulation 0 3 8 12 15

Wheelchair* 0 1 3 4 5

Chair/bed transfers

0 3 8 12 15

Range 0 ... 100

(36)

23

2.4 Kerangka Teori

Kerangka teori menggambarkan seluruh tinjauan pustaka dalam bentuk skema sehingga seluruh landasan penelitian dapat tergambar dengan jelas.

Berdasarkan landasan teori di atas maka kerangka teori dari penelitian ini adalah :

Gambar 9. Kerangka Teori Penelitian

Gejala Klinis : 1. Nyeri Panggul 2. Krepitasi 3. Pincang

4. Kelemahan Otot

5. Gambaran Fraktur pada X-Ray Non-Operatif Operatif

Tatalaksana Alternatif Traksi

Bidai

Status Fungsional Fraktur Kolum Femur

Modified Barthel Index

(37)

24

2.5 Kerangka Konsep

Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :

Kecacatan Penderita Fraktur Kolum Femur

yang Tidak Dioperasi

(38)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Rancangan Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif dengan desain studi cross sectional untuk mendeskripsikan bagaimana gambaran fungsional pada penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dengan pertimbangan pada rumah sakit ini tersedia data pasien fraktur kolum femur yang tidak dioperasi.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian 3.3.1. Populasi

Populasi yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah seluruh pasien fraktur kolum femur di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang tidak dioperasi periode tahun 2014 – 2016.

3.3.2. Sampel

Pengambilan sampel pada penelitian ini berdasarkan teknik total sampling yaitu seluruh populasi digunakan sebagai sampel penelitian.

3.3.3. Kriteria Inklusi

a. Pasien yang telah didiagnosis fraktur kolum femur minimal 6 bulan lalu b. Pasien yang tidak dioperasi

c. Pasien yang ditatalaksana non-operatif seperti traksi d. Pasien yang pernah dirawat di RSUP Haji Adam Malik 3.3.4. Kriteria Eksklusi

a. Pasien yang tidak dapat dihubungi b. Pasien yang tidak bersedia diwawancarai

(39)

26

3.4. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer yang didapat dari hasil wawancara langsung dengan menggunakan kuesioner Modified Barthel Index (MBI) dan data sekunder yang didapat dari status rekam medik pasien fraktur kolum femur di RSUP Haji Adam Malik Medan. Selanjutnya seluruh status rekam medik dikumpulkan kemudian dilakukan pencatatan sesuai variabel yang diteliti.

3.5. Metode Analisis Data

Data yang diperlukan dalam penelitian ini akan diambil dari data primer dan data sekunder yang selanjutnya diolah dengan menggunakan program komputer. Dalam penelitian ini, data tersebut akan dianalisis dengan cara deskriptif. Data tersebut akan ditampilkan dalam bentuk yang lebih mudah dipelajari.

3.6. Definisi Operasional

3.6.1. Penderita Fraktur Kolum Femur

Penderita fraktur kolum femur adalah pasien yang dinyatakan menderita fraktur kolum femur berdasarkan hasil diagnosa dokter sesuai yang tercatat dalam kartu status.

- Cara ukur : Penilaian tenaga kesehatan berdasarkan gejala klinis dan gambaran radiologi

- Alat ukur : Data rekam medik - Skala pengukuran : Skala Nominal

3.6.2. Status Fungsional

Status fungsional adalah kemampuan pasien melakukan aktivitas sehari- hari sebagai makhluk sosial.

- Cara ukur : Penilaian subjektif melalui kegiatan wawancara - Alat ukur : Kuesioner Modified Barthel Index (MBI) - Hasil ukur :

(40)

27

 Ketergantungan Penuh = 00 – 20

 Ketergantungan Berat = 21 – 60

 Ketergantungan Sedang = 61 – 90

 Ketergantungan Ringan = 91 – 99

 Mandiri = 100 - Skala pengukuran : Skala Ordinal

(41)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan dan kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai pasien baik secara langsung maupun melalui telepon dengan pasien dan keluarga di tempat tinggal pasien. Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan berlokasi di JL.

Bunga Lau No. 17, Kecamatan Medan Tuntungan. Sesuai SK Menkes No.

335/Menkes/SK/VII/1990 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan merupakan rumah sakit kelas A dan sesuai SK Menkes No.

502/Menkes/SK/IX/1991 Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan ditetapkan menjadi rumah sakit pendidikan. Penelitian ini sendiri dilakukan di bagian rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada penelitian ini, peneliti melakukan sendiri pengambilan data pasien dengan melihat rekam medik di RSUP Haji Adam Malik Medan periode tahun 2014 – 2016 yang dilakukan pada bulan September 2017 yang kemudian dilanjutkan dengan mewawancarai pasien. Penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik Medan berjumlah sebanyak 56 orang, namun yang termasuk dalam kriteria inklusi peneliti adalah sebanyak 15 orang.

Penelitian tidak dapat dilaksanakan pada 41 orang lainnya karena berbagai hal.

Sebanyak 11 orang pasien fraktur kolum femur yang dihubungi telah meninggal dunia, pada 6 orang terdapat permasalahan data pribadi setelah dilakukan wawancara jenis trauma yang dialami bukan fraktur kolum femur seperti yang tercantum di rekam medik, 22 orang tidak dapat dihubungi karena tidak tercantum nomor telepon pada rekam medis dan alamat yang tertera berada di luar jangkauan peneliti, 1 orang menolak untuk diwawancarai, dan pada 1 orang fraktur kolum femur yang dialami telah dioperasi. Informasi mengenai hal ini dapat dilihat secara skematis pada gambar 10.

(42)

29

Gambar 10. Kerangka Populasi Penderita Fraktur Kolum Femur yang Tidak Dioperasi

Populasi (56 orang)

Meninggal (11 orang)

Bersedia diwawancarai

(15 orang) Lain-lain

(30 orang)

Masalah data pribadi (6 orang)

Tidak bersedia diwawancarai

(1 orang)

Sudah dioperasi (1 orang) Tidak dapat

dihubungi (22 orang)

(43)

30

Tabel 4.1. Karakteristik sampel penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi

No Karakteristik n Persentase (%)

a. Jenis Kelamin 1. Laki-laki 2. Perempuan

6 9

40 60

Total 15 100

b. Kelompok Usia (tahun) 1. <40

2. 40-49 3. 50-59 4. >60

3 0 3 9

20 0 20 60

Total 15 100

c. Pendidikan 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. S1

6 1 5 3

40 6,7 33,3 20

Total 15 100

d. Pekerjaan 1. Pelajar 2. Petani

3. Pegawai Swasta 4. Ibu Rumah Tangga 5. Pensiunan

2 2 1 6 4

13,3 13,3 6,7 40 26,7

Total 15 100

Dari tabel 4.1 diatas dapat dilihat bahwa distribusi frekuensi penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi berdasarkan jenis kelamin didapati frekuensi pada perempuan yaitu sebanyak 9 orang (60%), sedangkan frekuensi penderita pada laki-laki yakni sebanyak 6 orang (40%). Dari hasil ini dapat dilihat penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi lebih banyak berjenis kelamin perempuan dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini sesuai dengan penelitian yang

(44)

31

dilakukan Taha et al (2015) dimana dari 61 sampel, dijumpai mayoritas sampel berjenis kelamin perempuan sebanyak 48 orang (78,6%) dan laki-laki berjumlah 13 orang (21,4%). Selain itu pada penelitian yang lain, yang dilakukan oleh Gregory et al di Shropshire pada tahun 2010 menyebutkan dari 22 total sampel, didapatkan rasio jenis kelamin perempuan : laki-laki adalah 2 : 1.

Berdasarkan usia, penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi terbanyak pada kelompok usia >60 tahun yakni sebanyak 9 orang (60%).

Selanjutnya pada kelompok usia <40 tahun dan 50-59 tahun masing-masing berjumlah 3 orang (20%). Hal ini sesuai dengan beberapa laporan penelitian yang serupa dilakukan oleh Taha et al (2015), Shuqiang et al (2006) dan Verheyen et al (2005) yang menemukan hasil yang serupa yaitu penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi paling banyak berada pada kelompok usia tua (eldery person) pada usia diatas 60 tahun berdasarkan klasifikasi WHO.

Berdasarkan pendidikan, dapat dilihat bahwa dari 15 penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi, paling banyak memiliki pendidikan terakhir SD sebanyak 6 orang (40%), diikuti dengan pendidikan terakhir SLTA sebanyak 5 orang (33,3%), kemudian dengan pendidikan terakhir S1 berjumlah 3 orang (20%), dan paling sedikit dengan pendidikan terakhir SLTP berjumlah 1 orang (6,7%). Mayoritas pasien berpendidikan terakhir SD memutuskan untuk tidak dioperasi, hal ini dapat disebabkan oleh kurangnya pengetahuan. Hasil ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wahyudiputra et al (2015), yang menyatakan bahwa kurangnya pengetahuan menyebabkan sebagian besar masyarakat Indonesia masih memilih dukun patah tulang sebagai pilihan pertama dalam mengobati patah tulang daripada tindakan medis. Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin mudah pula ia menerima informasi. Jika tingkat pendidikan seseorang rendah, hal ini akan menghambat perkembangan perilakunya terhadap pengetahuan baru seperti penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh petugas kesehatan (Mandias, 2012)

Berdasarkan pekerjaan, penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi paling banyak bekerja sebagai ibu rumah tangga yaitu sebanyak 6 orang (40%), diikuti dengan pensiunan sebanyak 4 orang (26,7%), kemudian bekerja sebagai

(45)

32

petani dan pelajar masing-masing berjumlah 2 orang (13,3%) dan paling sedikit dengan pekerjaan pegawai swasta sebanyak 1 orang (6,7%).

Tabel 4.2. Karakteristik pasien berdasarkan alasan tidak dilakukan operasi

No Alasan Frekuensi(Orang) Persentase(%)

1 Pilihan Pribadi 5 33,3

2 3 4 5

Traksi

Berobat Alternatif Faktor Mekanis Administrasi

1 7 1 1

6,7 46,7 6,7 6,7

Jumlah 15 100

Dari tabel 4.2 diatas menunujukkan alasan terbanyak pasien memilih tidak dilakukan operasi adalah karena berobat alternatif yang berjumlah 7 orang (46,6%). Pengobatan alternatif yang dimaksud seperti dukun patah tulang dan alternatif cina. Kemudian alasan terbanyak kedua adalah karena pilihan pribadi pasien yaitu sebanyak 5 orang (33,3%). Pilihan pribadi yang dimaksud adalah pasien merasa takut, pasien sendiri tidak mau, dan keluarga yang tidak mengijinkan. Sementara itu alasan karena dilakukan traksi, faktor mekanis, dan manajemen rumah sakit masing-masing berjumlah 1 orang (6,7%). Faktor mekanis yang dimaksud adalah pen/screw/canula yang akan digunakan untuk operasi tidak sesuai ukurannya dengan tulang pasien. Administrasi yang dimaksud adalah pasien terlalu lama tidak dihubungi oleh rumah sakit untuk melanjutkan pengobatan.

Alasan terbanyak yang didapatkan sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Handayani et al (2001) yang menyatakan bahwa di Indonesia, pasien trauma muskuloskeletal, terutama fraktur, kebanyakan masih memilih pengobatan patah tulang tradisional. Hal ini dapat terjadi karena pengobatan alternatif dianggap lebih terjangkau dalam hal biaya dan jarak, dan menghindari tindakan bedah yang invasif. Hal ini juga dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan pasien yang mayoritas rendah dan juga memiliki status ekonomi rendah, sehingga menyebabkan pasien cenderung memilih menggunakan terapi

(46)

33

yang mudah dicapai, murah, dan tidak invasif, yaitu berobat ke dukun patah tulang (Wahyudiputra et al, 2015).

Tabel 4.3. Status fungsional penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi

No Status Fungsional Frekuensi(Orang) Persentase(%)

1 Mandiri 2 13,3

2 3 4 5

Ketergantungan Ringan Ketergantungan Sedang Ketergantungan Berat Ketergantungan Total

6 5 2 0

40 33,3 13,3 0

Jumlah 15 100

Pada tabel 4.3 diatas menunjukkan bahwa paling banyak penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi berada pada derajat ketergantungan ringan yaitu berjumlah 6 orang (40%), diikuti dengan derajat ketergantungan sedang berjumlah 5 orang (33,3%), kemudian derajat ketergantungan berat dan mandiri berjumlah masing-masing 2 orang (13,3%).

Seseorang dengan derajat ketergantungan total tidak dapat melakukan tugas atau aktivitas sehari-hari sama sekali. Pada ketergantungan berat pasien dapat melakukan tugas namun tidak aman tanpa kehadiran seseorang. Pasien dengan derajat ketergantungan sedang memerlukan bantuan dan pengawasan yang sedang. Ketergantungan ringan memerlukan minimal bantuan dan pengawasan.

Sementara pasien yang mandiri dapat melakukan tugas sepenuhnya sendiri tanpa bantuan orang lain (Shah et al, 1989)

Gregory et al (2010) melakukan penelitian yang sama dimana dari hasil penelitian ditemukan dari 11 pasien, 2 mampu melakukan aktivitas sehari-hari dengan baik, 4 dapat melakukan aktivitas sederhana kehidupan sehari-hari tanpa bantuan, dan 5 membutuhkan bantuan untuk aktivitas sehari-hari. Penelitian lain yang dilakukan Faraj (2008) menyatakan bahwa setelah dilakukan uji fungsional, mayoritas sampel yang masih hidup dapat menjaga diri mereka sendiri dengan beberapa kesulitan.

(47)

34

Hal ini disebabkan oleh anatomi kolum femur itu sendiri, yaitu vaskularisasinya yang cenderung ikut mengalami cedera pada cedera kolum femur, serta letaknya yang intrakapsular menyebabkan gangguan pada proses penyembuhan tulang, sehingga penderita umumnya dapat berjalan, namun pincang dan selalu terdapat beberapa gangguan fungsional (Sutanto dan Sjarwani, 2015; Duckworth dan Blundell, 2010).

(48)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dipaparkan sebelumnya, maka dalam penelitian ini dapat diambil beberapa kesimpulan yaitu:

1. Jumlah kasus fraktur kolum femur yang tidak dioperasi di RSUP Haji Adam Malik tahun 2014-2016 sebanyak 56 orang.

2. Karakteristik sampel pada penelitian ini terbanyak berjenis kelamin perempuan 60%, berusia >60 tahun 60%, berpendidikan terakhir SD 40%, dan bekerja sebagai ibu rumah tangga 40%

3. Distribusi frekuensi status fungsional terbanyak penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi berada pada derajat ketergantungan ringan (40%) 4. Alasan terbanyak pasien memilih tidak dilakukan operasi adalah karena

berobat alternatif (46,6%)

5.2. Saran

Dari penelitian ini, peneliti dapat memberi saran sebagai berikut:

1. Diharapkan kepada pihak rumah sakit, khususnya pihak rekam medis, paramedis dan dokter untuk lebih melengkapi data-data yang berkaitan dengan penyakit pasien khususnya pada penyakit fraktur kolum femur di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik sehingga dapat membantu penelitian dari segi kuantitas sampel hingga kuantitas dan kualitas variabel.

2. Melihat dari penelitian ini dan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, dapat dilihat bahwa penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi memiliki status fungsional yang tidak terlalu baik. Sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pasien mengingat penyakit ini berdampak buruk sehingga dapat membantu untuk mempertimbangkan tindakan operasi.

3. Pada penelitian ini peneliti banyak melihat gambaran fungsional pada penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi melalui data yang

(49)

36

diperoleh dari wawancara yang dilakukan melalui telepon. Pada penelitian selanjutnya diharapkan dapat melakukan wawancara secara langsung.

4. Penelitian ini hanya dilakukan di satu rumah sakit saja yaitu Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik, sehingga peneliti hanya mendapatkan sedikit sampel. Diharapkan pada penelitian selanjutnya dapat dilakukan di lebih dari satu rumah sakit sehingga jumlah sampel lebih banyak agar dapat memperoleh spektrum penderita fraktur kolum femur yang tidak dioperasi lebih baik.

5. Untuk penelitian selanjutnya semoga dapat membantu untuk mengembangkan penelitian-penelitian khususnya mengenai fraktur kolum femur yang tidak dioperasi sehingga dapat menjadi sumber pengetahuan dan pembelajaran yang lebih baik lagi.

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Amin S, Achenbach SJ. 2014. Trends in Fracture Incidence: A Population-Based Study Over 20 Years, J Bone Miner Res, vol. 29, no. 3, pp. 581–589.

Apley AG, Solomon L. 1995, Buku Ajar Ortopedi dan Fraktur Sistem Apley, Ed.

7, Widya Medika, Jakarta.

Brenneman SK, Barrett-Connor E, Sajjan S, Markson LE, Siris ES. 2006, Impact of recent fracture on health-related quality of life in postmenopausal women. J Bone Miner Res, vol. 2, pp. 809–16.

Byrd JWT. 2004, Operative Hip Arthroscopy, 2nd ed, Springer Science + Business Media Inc., New York, pp. 100-9.

Dahlen L, Zimmerman L, Barron C. 2006. Pain perception and its relation to functional status post total knee arthroplasty : a pilot study. Orthopaedic Nursing, vol. 25, no. 4

Davison J, Bond J, Dawson P, Steen N, Kenny RS. 2005, Patients with recurrent falls attending accident & emergency benefit from multifactorial intervention a randomised controlled trial. Age Ageing, vol. 34, pp. 162–8.

Duckworth T, Blundell CM. 2010, Lectures Notes Orthopaedics and Fractures, Fourth Ed.,Blackwell Publishing,Singapore.

Ellis H. 2006, Clinical Anatomy A Revision and Applied Anatomy for Clinical Students, 11th Edition, Blackwell Publishing Ltd,Oxford.

Faraj A. 2008, Non-operative treatment of elderly patients with femoral neck fracture, Acta Orthop. Belg., vol. 74, pp. 627-629

Gill TM, Allore HG, Holford TR, Guo Z. 2004, Hospitalization, restricted activity, and the development of disability among older persons, JAMA,vol.

292, no. 17, pp. 2115–24.

Gregory JJ, Kostakopoulou K, Cool WP, Ford DJ. 2010, One-year outcome for elderly patients with displaced intracapsular fractures of the femoral neck managed non-operatively, Injury, vol. 41, no. 12, pp. 1273-1276.

Handayani L, Siawanto, Ma’ruf NA, Hapsari D, 2003. Pola Pencarian Pengobatan di Indonesia (Analisis Data Susenas 2001). Puslitbang Pelayanan dan Teknologi Kesehatan, Badan Litbangkes. Jakarta

International Osteoporosis Foundation. Hip fracture incidence map. Available from : http://www.iofbonehealth.org/facts-and-statistics/hip- fracture- incidence-map . Accessed on April 2017

Koval KJ, Zuckerman JD. 1994, Hip Fractures: I Overview and Evaluation and Treatment of Femoral-Neck Fractures,J Am Acad Orthop Surg, vol. 2, no.

3, pp. 141-149.

Lakstein D, Hendel D, Haimovich Y, Feldbrin Z. 2013, Changes in the Pattern of Fractures of the Hip in Patients 60 Years of Age and Older between 2001 and 2010, Bone Joint J, vol. 95-B, no. 9, pp. 1250-4.

Limb D. 2009, Orthopaedics and Trauma, Elsevier, Leeds.

Loretz L. 2005, Primary Care Tools for Clinicians : A compendium of forms, quistionnares, and rating scales for everyday Practice. Mosby-Elseviers, Philadelphia

Mansjoer A. 2000, Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2, Media Aesculapius,

Gambar

Gambar 1. Anatomi panggul
Gambar 2. Anterior sendi panggul
Gambar 3. Klasifikasi Fraktur Terbuka Menurut Gustilo dan Anderson
Gambar 4. Klasifikasi Fraktur Kolum Femur Berdasarkan Letak Anatomi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Judul Penelitian: Karakteristik Penderita Yang Menjalani Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) di Departemen THT-KL RSUP. a) Bedah Sinus Endoskopik Fungsional

Hasil Penelitian: Didapatkan 111 penderita, dimana distribusi frekuensi penderita rinosinusitis kronik yang menjalani tindakan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional terbanyak

Kesimpulan dan Saran : Pada penelitian ini, gambaran klinis terbanyak pada penderita kanker payudara adalah skin ulcer berjumlah 12 orang1. Didapatkan penderita datang sudah

Untuk mengetahui gambaran sindrom depresif pada penderita Diabetes Melitus. Tipe 2 di RSUP Haji

Karya tulis ilmiah yang dilaksanakan ini berjudul ” Gambaran Penyakit Vitiligo di RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2012-2014 ” yang merupakan salah satu syarat

Berdasarkan uraian di atas peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran karakteristik penderita, prosedur tindakan dan temuan operasi pada penderita RSK yang

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas karunia-Nya yang luar biasa sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul kesejahteraan psikologis pada penderita

Pada penelitian Aida (2011) di RSUP Haji Adam Malik Medan juga menyebutkan hasil yang serupa, bahwa penderita kanker serviks terbanyak berdasarkan stadium adalah pada stadium III