• Tidak ada hasil yang ditemukan

KATA PENGANTAR. Banjarmasin, Januari 2013 Penulis,

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "KATA PENGANTAR. Banjarmasin, Januari 2013 Penulis,"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Buku yang berjudul Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi ini disusun sebagai salah satu bahan ajar dan rujukan pelaksanaan pendidikan bahasa Indonesia bagi mahasiswa di perguruan tinggi baik negeri maupun swasta. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhan bagi mahasiswa yang bukan jurusan bahasa Indonesia.

Sesuai dengan kurikulum bahasa Indonesia di perguruan tinggi, mata kuliah bahasa Indonesia sebagai mata kuliah pengembang kepribadian (MPK) dititikberatkan pada kemampuan berbahasa Indonesia para mahasiswa.

Kemampuan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar sangat diperlukan oleh mahasiswa dalam rangka penulisan makalah atau tugas akhir dan skripsi sebagai salah satu syarat untuk mencapai sebuah gelar sarjana pada perguruan tinggi.

Dalam era globalisasi bahasa Indonesia bukan hanya sebagai bahasa pengantar dalam pelaksanaan pendidikan saja tetapi bahasa Indonesia merupakan bahasa yang sangat berperan penting bagi kehidupan manusia. Bahasa Indonesia tidak hanya digunakan dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga diperlukan untuk menjalankan segala pemberitaan bahkan untuk menyampaikan pikiran, pandangan serta perasaan. Dengan kata lain bahasa Indonesia bisa disebut sebagai alat komunikasi terpenting bagi manusia, sehingga mempelajarinya dengan lebih mendalam akan memudahkan dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Buku ini berisikan delapan bab, kedelapan bab tersebut adalah: bab I sejarah, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, bab II ragam bahasa, bab III diksi atau pilihan kata, bab IV kalimat efektif, bab V paragraf, bab VI penalaran, bab VII ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan, bab VIII ketentuan pembentukan istilah.

Bahan penyusnan buku ini telah diujicobakan dan diterapkan sebagai bahan kuliah yang diberikan di beberapa perguruan tinggi di Banjarmasin, antara lain (1) di Universitas Lambung Mangkurat, (2) di Universitas Achmad Yani, (3) di Universitas Muhammad Arsyad Al-Banjari, (4) di IAIN Antasari, (5) di STKIP PGRI (6) di STKIP Paris Barantai (7) di STIKES Husada Borneo

Akhirnya, kami mengucapkan rasa syukur yang tiada terhingga kepada Allah SWT, yang telah memberikan nikmat kesehatan sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan buku dengan judul Bahasa Indonesia di Perguruan Tinggi ini. Kami juga menyadari bahwa buku ini belum sempurna, baik dari segi teknik penyajian maupun dari segi materi,, oleh karena itu, untuk kesempurnaan buku ini, kritik dan saran dari para pembaca dan pemakai sangat kami harapkan.

Mudah-mudahan buku ini bermanfaat bagi kita semua.

Banjarmasin, Januari 2013 Penulis,

(5)

DAFTAR ISI

BAB I SEJARAH, KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA 1. Sejarah Bahasa Indonesia

2. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Negara 3. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Persatuan

4. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Seni 5. Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa dalam Pembangunan

6. Fungsi Bahasa Indonesia BAB II RAGAM BAHASA

1. Penggunaan Bahasa 2. Ragam Daerah atau Dialek 3. Ragam Bahasa Terpelajar

4. Ragam Bahasa Resmi dan Ragam Bahasa Tak Resmi 5. Ragam Bahasa Berdasarkan Pokok Persoalan

6. Ragam Bahasa Lisan dan Ragam Bahasa Tulis 7. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

BAB III DIKSI ATAU PILIHAN KATA 1. Pengertian Diksi

2. Makna Denotatif dan Konotatif 3. Kata Umum dan Kata Khusus 4. Kata Kongkret dan Abstrak 5. Sinonim

6. Pembentukan Kata

7. Kesalahan Pembentukan dan Pemilihan Kata 8. Ungkapan Idiomatik

BAB IV KALIMAT EFEKTIF 1. Kalimat Efektif

2. Transformasi Kalimat 3. Kalimat Topik

BAB V PARAGRAF 1. Pengertian Paragraf 2. Kegunaan Paragraf 3. Macam-Macam Paragraf

4. Syarat-Syarat Pembentukan Paragraf 5. Letak Kalimat Utama

6. Pengembangan Paragraf BAB VI PENALARAN

1. Beberapa pengertian 2. Penalaran Dedukatif 3. Penalaran Indukatif

(6)

4. Salah Nalar

BAB VII EJAAN BAHASA INDONESIA YANG DISEMPURNAKAN 1. Pemakaian Huruf

2. Pemakaian Huruf Kapital dan Huruf Miring 3. Penulisan Kata

4. Penulisan Unsur Serapan 5. Pemakaian Tanda Baca

BAB VIII KETENTUAN PEMBENTUKAN ISTILAH

1. Pedoman Pembentukan Istilah 2. Proses Pembentukan Istilah 3. Aspek Tata Bahasa Peristilahan 4. Aspek Semantik Peristilahan

(7)

BAB I

SEJARAH, KEDUDUKAN DAN FUNGSI BAHASA INDONESIA

1. SEJARAH BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu termasuk rumpun bahasa Austronesia yang telah digunakan sebagai lingua franca di Nusantara sejak abad-abad awal penanggalan modern, paling tidak dalam bentuk informalnya.

Bentuk bahasa sehari-hari ini sering dinamai dengan istilah Melayu pasar. Jenis ini sangat lentur sebab sangat mudah dimengerti dan ekspresif, dengan toleransi kesalahan sangat besar dan mudah menyerap istilah-istilah lain dari berbagai bahasa yang digunakan para penggunanya.

Selain Melayu pasar terdapat pula istilah Melayu tinggi. Pada masa lalu bahasa Melayu tinggi digunakan kalangan keluarga kerajaan di sekitar Sumatera, Malaya, dan Jawa. Bentuk bahasa ini lebih sulit karena penggunaannya sangat halus, penuh sindiran, dan tidak seekspresif bahasa Melayu pasar. Pemerintah kolonial Belanda yang menganggap kelenturan Melayu pasar mengancam keberadaan bahasa dan budaya. Belanda berusaha meredamnya dengan mempromosikan bahasa Melayu tinggi, di antaranya dengan penerbitan karya sastra dalam bahasa Melayu tinggi oleh Balai Pustaka. Tetapi bahasa Melayu pasar sudah terlanjur diambil oleh banyak pedagang yang melewati Indonesia.

Penamaan istilah “bahasa Melayu” telah dilakukan pada masa sekitar 683-686 M., yaitu angka tahun yang tercantum pada beberapa prasasti berbahasa Melayu kuno dari Palembang dan Bangka. Prasasti-prasasti ini ditulis dengan aksara Pallawa atas perintah raja Kerajaan Sriwijaya, kerajaan maritim yang berjaya pada abad ke-7 dan ke-8. Wangsa Syailendra juga meninggalkan beberapa prasasti Melayu kuno di Jawa Tengah. Keping Tembaga Laguna yang ditemukan di dekat Manila juga menunjukkan keterkaitan wilayah itu dengan Sriwijaya.

Awal penamaan bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa bermula dari Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Di sana, pada Kongres Nasional Kedua di Jakarta, di canangkanlah penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa untuk negara Indonesia pasca-kemerdekaan. Soekarno tidak memilih bahasanya sendiri, Jawa (yang sebenarnya juga bahasa mayoritas pada saat itu), namun beliau memilih bahasa Indonesia yang beliau dasarkan dari bahasa Melayu yang dituturkan di Riau.

Bahasa Melayu Riau dipilih sebagai bahasa persatuan negara Republik Indonesia atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Jika bahasa Jawa digunakan, suku-suku bangsa atau puak lain di Republik Indonesia akan merasa dijajah oleh suku Jawa yang merupakan puak (golongan) mayoritas di Republik Indonesia.

2. Bahasa Jawa jauh lebih sukar dipelajari dibandingkan dengan bahasa Melayu Riau. Ada tingkatan bahasa halus, biasa, dan kasar yang digunakan untuk orang yang berbeda dari segi usia, derajat, ataupun pangkat. Bila pengguna kurang memahami budaya Jawa, ia dapat me- nimbulkan kesan negatif yang lebih besar.

(8)

3. Bahasa Melayu Riau yang dipilih, dan bukan bahasa Melayu Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Maluku, Jakarta (Betawi), ataupun Kutai, dengan pertimbangan: Pertama, suku Melayu berasal dari Riau, Sultan Malaka yang terakhir pun lari ke Riau selepas Malaka direbut oleh Portugis. Kedua, sebagai lingua franca, bahasa Melayu Riau yang paling sedikit terkena pengaruh misalnya dari bahasa Tionghoa Hokkien, Tio Ciu, Ke, ataupun dari bahasa lainnya.

4. Pengguna bahasa Melayu bukan hanya terbatas di Republik Indonesia.

Pada 1945, pengguna bahasa Melayu selain Republik Indonesia yaitu Malaysia, Brunei, dan Singapura. Pada saat itu, dengan menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, diharapkan di nega ra- negara kawasan seperti Malaysia, Brunei, dan Singapura bisa ditumbuhkan semangat patriotik dan nasionalisme negara-negara jiran di Asia Tenggara.

Dengan memilih bahasa Melayu Riau, para pejuang kemerdekaan bersatu seperti pada masa Islam berkembang di Indonesia, namun kali ini dengan tujuan persatuan dan kebangsaan. Bahasa Indonesia yang telah dipilih ini kemudian dibakukan lagi dengan nahu (tata bahasa), dan kamus baku juga diciptakan. Hal ini telah dilakukan pada zaman penjajahan Jepang.

Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II 1954 di Medan, antara lain menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa melayu. Bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dahulu sudah digunakan sebagai bahasa perhubungan (lingua franca) bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia Tenggara

Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7. Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit, berangka 683 M. (Palembang); Talang Tuwo, berangka 684 M. (Palembang); Kota Kapur, berangka 686 M. (Bangka Barat); dan Karang Brahi, berangka 688 M. (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pranagari berbahasa Melayu kuno. Bahasa Melayu kuno itu tidak hanya dipakai pada zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti berangka tahun 832 M. dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M. yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuna.

Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan, yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Bahasa Melayu juga dipakai sebagai bahasa perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.

Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang bernama Koen-luen (I-Tsing, 63: 159), Kou-luen (I-Tsing, 183), Koen- luen (Ferrand, 1919), Kw'enlun (Alisjahbana, 1971: 1089), Kun’lun (Parnikel, 1977: 91), Kun’ lun (Prentice, 1078: 19), yang berdampingan dengan Sanskerta. Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.

(9)

Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis seperti tulisan pada batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka 1380 M., maupun hasil susastra (abad ke- 16 dan ke- 17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai, Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku, antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak mengenal tingkat tutur.

Bahasa Melayu dipakai di mana-mana di wilayah Nusantara serta makin berkembang dan bertambah kukuh keberadaannya. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta, Persia, Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.

Perkembangan bahasa Melayu di wilayah Nusantara memengaruhi dan mendorong tumbuhnya rasa persaudaraan dan persatuan bangsa Indonesia.

Komunikasi antar-perkumpulan yang bangkit pada masa itu menggunakan bahasa Melayu. Pemuda Indonesia yang tergabung dalam perkurnpulan pergerakan secara sadar mengangkat bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan untuk seluruh bangsa Indonesia. (Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928)

Peristiwa-peristiwa penting berkaitan dengan perkembangan bahasa Indonesia di antaranya:

1. Pada tahun 1901, disusunlah ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch. A. van Ophuijsen dan dimuat dalam Kitab Logat Melayu.

2. Pada tahun 1908, pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku- buku bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaan Rakyat), yang kemudian pada tahun 1917 ia diubah menjadi Balai Pustaka. Balai itu menerbitkan buku-buku novel seperti Siti Nurbaya dan Salah Asuhan, buku-buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan, yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan masyarakat luas.

3. Pada 28 Oktober 1928 merupakan saat-saat yang paling menentukan dalam perkembangan bahasa Indonesia karena pada tanggal itulah para pemuda pilihan mamancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa Indonesia.

4. Pada tahun 1933, secara resmi berdirilah sebuah angkatan sastrawan muda yang menamakan dirinya sebagai Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir Alisyahbana dan kawan-kawan.

5. Pada tarikh 25-28 Juni 1938, dilangsungkanlah Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Dari hasil kongres itu dapat disimpulkan bahwa usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan Indonesia saat itu.

6. Pada 18 Agustus 1945, ditandatanganilah Undang-Undang Dasar RI 1945, yang salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara.

7. Pada 19 Maret 1947, diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan

(10)

Soewandi) sebagai pengganti Ejaan van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.

8. Kongres Bahasa Indonesia II di Medan pada tarikh 28 Oktober-2 November 1954 juga salah satu perwujudan tekad bangsa Indonesia untuk terus-menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa kebangsaan dan ditetapkan sebagai bahasa negara.

9. Pada 16 Agustus 1972, H.M. Soeharto, Presiden Republik Indonesia, meresmikan penggunaan Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD) melalui pidato kenegaraan di hadapan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan Keputusan Presiden No. 57 Tahun 1972.

10. Pada 31 Agustus 1972, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh wilayah Indonesia (Wawasan Nusantara).

11. Kongres Bahasa Indonesia III yang diselenggarakan di Jakarta pada 28 Oktober-2 November 1978 merupakan peristiwa penting bagi kehidupan bahasa Indonesia. Kongres yang diadakan dalam rangka memperingati Sumpah Pemuda yang ke-50 ini selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan bahasa Indonesia sejak 1928, juga berusaha memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.

12. Kongres Bahasa Indonesia IV diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 21-6 November 1983. la diselenggarakan dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda yang ke-55. Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum di dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.

13. Kongres Bahasa Indonesia V diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28 Oktober-3 November 1988. la dihadiri oleh kira-kira 700 pakar bahasa Indonesia dari seluruh Nusantara dan peserta tamu dari negara sahabat seperti Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura, Belanda, Jerman, dan Australia. Kongres itu ditandatangani dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa kepada pencinta bahasa di Nusantara, yakni Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia.

14. Kongres Bahasa Indonesia VI diselenggarakan di Jakarta pada tarikh 28 Oktober-2 November 1993. Pesertanya sebanyak 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu dari mancanegara meliputi Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hong Kong, India, Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Kongres mengusulkan agar Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa ditingkatkan statusnya menjadi Lembaga Bahasa Indonesia, serta mengusulkan disusunnya Undang-Undang Bahasa Indonesia.

15. Kongres Bahasa Indonesia VII diselenggarakan di Hotel Indonesia, Jakarta pada 26-30 Oktober 1998. Kongres itu mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa dengan ketentuan sebagai berikut:

a. Keanggotaannya terdiri dari tokoh masyarakat dan pakar yang

(11)

mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra.

b. Tugasnya memberikan nasihat kepada Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa serta mengupayakan peningkatan status kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.16. Kongres Bahasa Indonesia VIII diselenggarakan di Jakarta pada 14-17 Oktober 2005.

16. Kongres IX Bahasa Indonesia. Kongres ini akan membahas tiga persoalan utama: 1) bahasa Indonesia; 2) bahasa daerah; dan 3) penggunaan bahasa asing. Tempat kongres di Jakarta, pada 28 Oktober-1 November 2008 di Hotel Bumi Karsa, Kompleks Bidakara, Jalan M.T. Haryono, Jakarta Selatan. Secara umum, Kongres IX Bahasa Indonesia ini bertujuan meningkatkan peran bahasa dan sastra Indonesia dalam mewujudkan insan Indonesia cerdas kompetitif menuju Indonesia yang bermartabat, berkepribadian, dan berperadaban unggul.

2. BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA NEGARA

Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada 18 Agustus 1945, karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945 disahkan sebagai UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa Indonesia. (Bab XV, Pasal 36)

Dengan berlakunya Undang-Undang Dasar 1945, bertambah pula kedudukan bahasa Indonesia, yaitu sebagai ba hasa negara dan bahasa resmi.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia dipakai dalam segala upacara, peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik secara lisan maupun tulis.

Dokumen-dokumen, undang-undang, peraturan-peraturan, dan surat-menyurat yang dikeluarkan oleh pemerintah dan instansi kenegaraan lainnya ditulis dalam bahasa Indonesia. Pidato-pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa Indonesia. Hanya dalam kondisi tertentu saja, demi komunikasi internasional (antarbangsa dan antarnegara), kadang-kadang pidato kenegaraan ditulis dan diucapkan dengan bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Warga masyarakat pun dalam kegiatan yang berhubungan dengan upacara dan peristiwa kenegaraan harus menggunakan bahasa Indonesia. Untuk melaksanakan fungsi sebagai bahasa negara, bahasa perlu senantiasa dibina dan dikembangkan.

Penguasaan bahasa Indonesia perlu dijadikan salah satu faktor yang menentukan dalam pengembangan ketenagaan, baik dalam penerimaan karyawan atau pegawai baru, kenaikan pangkat, maupun pemberian tugas atau jabatan tertentu pada seseorang. Fungsi ini harus diperjelas dalam pelaksanaannya sehingga dapat menambah kewibawaan bahasa Indonesia.

Dalam kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia bukan saja dipakai sebagai alat komunikasi timbal balik antara pemerintah dan masyarakat luas, dan bukan saja dipakai sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, tetapi juga dipakai sebagai alat perhubungan formal pemerintahan dan kegiatan atau peristiwa formal lainnya.

Misalnya, surat menyurat antar-instansi pemerintahan, penataran para pegawai pemerintahan, loka karya masalah pembangunan nasional, dan surat dari kar- yawan atau pegawai ke instansi pemerintah.

Dengan kata lain, apabila pokok persoalan yang dibicarakan menyangkut masalah nasional dan dalam situasi formal, berkecenderungan menggunakan

(12)

bahasa Indonesi. Apalagi, di antara pelaku komunikasi tersebut terdapat jarak sosial yang cukup jauh, misalnya antara bawahan-atasan, mahasiswa-dosen, kepala dinas-bupati atau wali kota, dan kepala desa-camat.

Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persuratkabaran, dan majalah sangat besar dalam memodernkan bahasa Indonesia. Proklamasi kemer- dekaan Republik Indonesia, 17 Agustus 1945, telah mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional sebagai bahasa negara. Kini, bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.

Sejarah bahasa Indonesia cukup jelas menyebutkan apa fungsi dan bagaimana kedudukan bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia. Fungsi bahasa Indonesia bagi bangsa Indonesia ialah sebagai pemersatu suku-suku bangsa di Republik Indonesia yang beraneka ragam. Setiap suku bangsa yang begitu menjunjung nilai adat dan bahasa daerahnya masing-masing disatukan dan disamakan derajatnya dalam sebuah bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia, dan memandang akan pentingnya persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, maka setiap suku bangsa di Indonesia bersedia menerima bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Selain itu, fungsi dari bahasa Indonesia ialah sebagai bahasa ibu yang dapat digunakan sebagai alat komunikasi bagi yang tidak bisa berbahasa daerah. Seiring perkembangan zaman, sebagian besar warga negara Indonesia melakukan transmigrasi atau pindah dari daerah dia berasal ke daerah lain di Indonesia, sehingga di sinilah peran dan fungsi bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi antarsuku bangsa yang berbeda, agar mereka tetap dapat saling berinteraksi.

Kedudukan bahasa Indonesia di negara Republik Indonesia selain sebagai- bahasa persatuan juga sebagai bahasa negara atau bahasa nasional dan sebagai budaya. Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, maksudnya telah jelas karena fungsi bahasa Indonesia itu sendiri ialah sebagai pemersatu suku bangsa yang beraneka ragam yang ada di Indonesia.

Bahasa Indonesia sebagai bahasa negara atau bahasa Nasional, maksudnya bahasa Indonesia itu ialah bahasa yang sudah diresmikan menjadi bahasa bagi seluruh bangsa Indonesia. Adapun bahasa Indonesia sebagai budaya, maksudnya bahasa Indonesia itu merupakan bagian dari budaya Indonesia dan merupakan ciri khas atau pembeda dari bangsabangsa lain di dunia.

3. BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA PERSATUAN

Unsur yang ketiga dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa Indonesia. Pada 1928 itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.

Pengangkatan status ini ternyata bukan hanya isapan jempol. Bahasa Indonesia bisa menjalankan fungsi sebagai pemersatu bangsa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa Indonesia, rasa kesatuan dan persatuan bangsa yang berbagai etnis terpupuk Kehadiran bahasa Indonesia di tengah-tengah ratusan bahasa daerah tidak menimbulkan sentimen negatif bagi etnis yang menggunakannya. Sebaliknya, justru kehadiran bahasa Indonesia dianggap sebagai pelindung sentimen kedaerahan dan sebagai penengah ego kesukuan.

(13)

Dalam hubungannya sebagai alat untuk menyatukan berbagai suku yang mempunyai latar belakang budaya dan bahasa masing-masing, bahasa Indonesia justru dapat menyerasikan hidup sebagai bangsa yang bersatu tanpa meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-nilai sosial-budaya serta latar belakang bahasa etnik yang bersangkutan. Bahkan, lebih dari itu, dengan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan, kepentingan nasional diletakkan jauh di atas kepentingan daerah dan golongan.

Latar belakang budaya dan bahasa yang berbeda-beda berpotensi untuk menghambat perhubungan antardaerah antarbudaya. Tetapi, berkat bahasa Indonesia, etnis yang satu bisa berhubungan dengan etnis yang lain sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman. Setiap orang Indonesia apa pun latar belakang etnisnya dapat bepergian ke pelosok Tanah Air dengan memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi. Kenyataan ini membuat adanya peningkatan dalam penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia dalam fungsinya sebagai alat perhubungan antardaerah antarbudaya. Semuanya terjadi karena bertambah baiknya sarana perhubungan, luasnya pernakaian alat perhubungan umum, banyaknya jumlah perkawinan antarsuku, dan banyaknya perpindahan pegawai negeri atau karyawan swasta dari daerah satu ke daerah yang lain karena mutasi tugas atau inisiatif sendiri.

4. BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI, dan SENI

Perjalanan panjang sejarah bangsa Indonesia itu telah menempatkan bahasa Indonesia dalam dua kedudukan penting, yakni sebagai bahasa nasional dan bahasa negara. Sejak diikrarkan sebagai bahasa nasional dan ditetapkan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia telah mengalami perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan itu telah mengantarkan bahasa Indonesia sebagai lambang jati diri bangsa dan sebagai alat pemersatu berbagai suku bangsa yang berbeda-beda latar belakang sosial, budaya, agama, dan bahasa daerahnya. Di samping itu, bahasa Indonesia juga telah mampu mengemban fungsinya sebagai sarana komunikasi modern dalam penyelenggaraan pemerintahan, pendidikan, pengembangan ilmu, dan teknologi, serta seni.

Pencantuman bahasa Indonesia dalam Bab XV, Pasal 36 UUD 1945, bahasa Indonesia berkedudukan juga sebagai bahasa budaya dan bahasa ilmu. Di samping sebagai bahasa negara dan bahasa resmi. Dalam hubungannya sebagai bahasa budaya, bahasa Indonesia merupakan satu-satunya alat yang memungkinkan untuk membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian rupa karena bahasa Indonesia memiliki ciri-ciri dan identitas sendiri, yang membedakannya dengan kebudayaan daerah. Saat ini, bahasa Indonesia digunakan sebagai alat untuk menyatakan semua nilai sosial-budaya nasional pada situasi inilah bahasa Indonesia telah menjalankan kedudukannya sebagai bahasa budaya.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa ilmu, bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa pendukung ilmu pengetahuna dan teknologi untuk kepentingan pembangunan nasional. Penyebarluasan IPTEK dan pemanfaatannya kepada perencanaan dan pelaksanaan pembangunan negara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia. Penulisan dan penerjemahan buku-buku teks

(14)

serta penyajian pelajaran atau perkuliahan di lembaga-lembaga pendidikan untuk masyarakat umum dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia.

Dengan demikian, masyarakat Indonesia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada bahasa-bahasa asing dalam usaha mengikuti perkembangan dan penerapan IPTEK. Dengan demikian, bahasa Indonesia mempunyai peran sebagai bahasa pengembang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bahasa Indonesia dipakai pula sebagai alat untuk mengantar dan menyampaian ilmu pengetahuan kepada berbagai kalangan dan tingkat pendidikan. Semua jenjang pendidikan dalam penyampaiannya tentu menggunakan bahasa Indonesia sebagai pengantarnya. Karena itu, bahasa Indonesia jelas mempunyai peran penting sebagai bahasa ilmu pengetahuan dan teknologi dalam penyebarannya dalam dunia pendidikan.

5. BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA DALAM PEMBANGUNAN Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi Republik Indonesia. Pada saat ini, bahasa Indonesia digunakan oleh hampir seluruh rakyat Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan bahasa resmi, dan bahasa pertama yang digunakan, selain bahasa daerah. Sebagai bahasa resmi negara, bahasa Indonesia digunakan dalam berbagai kesempatan dan kegiatan. Sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia mempunyai fungsi sebagai alat perhubungan pada tingkat nasional dalam berbagai kepentingan nasional. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sebagai kepentingan nasional tentu akan menggunakan bahasa Indonesia.

Karena itulah, bahasa Indonesia akan digunakan dalam hal kepentingan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan.

Bahasa Indonesia memiliki peran penting di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Perannya tampak di dalam kehidupan bermasyarakat di berbagai wilayah tanah tumpah darah. Indonesia.

Komunikasi perhubungan pada berbagai kegiatan masyarakat telah memanfaatkan bahasa Indonesia di samping bahasa daerah sebagai wahana dan peranti untuk membangun kesepahaman, kesepakatan, dan persepsi yang memungkinkan terjadinya kelancaran pembangunan masyarakat di berbagai bidang.

Bahasa Indonesia sebagai milik bangsa, dalam perkembangan dari waktu ke waktu telah teruji keberadaannya, baik sebagai bahasa persatuan maupun sebagai bahasa resmi negara. Adanya gejolak dan kerawanan yang mengancam kerukunan dan kesatuan bangsa Indonesia bukanlah bersumber dari bahasa persatuannya, bahasa Indonesia yang dimilikinya, melainkan bersumber dari krisis multidimensional terutama krisis ekonomi, hukum, politik, dan pengaruh globalisasi. Justru, bahasa Indonesia hingga kini menjadi perisai pemersatu yang belum pernah dijadikan sumber permasalahan oleh masyarakat pemakainya yang berasal dari berbagai ragam suku dan daerah. Hal ini dapat terjadi, karena bahasa Indonesia dapat menempatkan dirinya sebagai sarana komunikasi efektif, berdampingan dan bersama-sama dengan bahasa daerah yang ada di Nusantara dalam mengembangkan dan melancarkan berbagai aspek kehidupan dan kebudayaan, termasuk pengembangan bahasa-bahasa daerah. Dengan demikian, bahasa Indonesia dan juga bahasa daerah memiliki peran penting dalam memajukan pembangunan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan.

(15)

6. FUNGSI BAHASA INDONESIA

Bahasa Indonesia di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai:

1. Lambang kebanggaan kebangsaan

Sebagai lambang kebanggaan kebangsaan, bahasa Indonesia mencerminkan nilai-nilai sosial budaya yang mendasari rasa kebangsaan kita.

Atas dasar kebangsaan ini, bahasa indonesia kita pelihara dan kita kembangkan serta rasa kebanggaan pemakainya senantiasa kita bina.

2. Lambang identitas nasional

Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia kita junjung disamping bendera dan lambang bendera kita. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia tentulah harus memiliki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila masyarakat pemakainya membina dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga bersih dari unsur-unsur bahasa lain.

3. Alat perhubungan antarwarga, antardaerah dan antarbudaya

Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat perhubungan antarwarga, antardaerah, antarsuku bangsa ini adalah sebagai bahasa nasional. Berkat adanya bahasa nasional kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di Tanah Air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat komunikasi.

4. Alat yang memungkinkan penyatuan berbagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan bahasanya masing masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia

Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bahasa ini mencapai keserasian hidup sebagai bahasa yang bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan da kesetiaan kepada nilai-nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang bersangkutan. Lebih dari itu, dengan bahasa nasional itu kita dapat meletakan kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.

(16)

BAB II RAGAM BAHASA

1. PENGGUNAAN BAHASA

Sehubungan dengan pemakaian bahasa Indonesia itu, timbul dua masalah pokok, yaitu masalah penggunaan bahasa baku dan takbaku. Pemakaian bahasa baku dan takbaku berkaitan dengan situasi resmi dan takresmi. Dalam situasi resmi, seperti di sekolah, di kantor, atau dalam pertemuan-pertemuan resmi digunakan bahasa baku. Sebaliknya, dalam situasi takresmi, seperti di rumah, di taman, di pasar, kita tidak dituntut menggunakan bahasa baku. Penggunaaan bahasa yang dibedakan oleh faktor-faktor tertentu, seperti situasi resmi dan takresmi itulah yang akan dibicarakan di bawah ini supaya kita dapat membeda- bedakan pemakaian bahasa sesuai dengan tuntutan ragamnya. Dengan demikian, kita tidak akan merampatkan pemakaian bahasa bahwa pengguanaan bahasa Indonesia dengan baik dan benar tidak ditafsirkan sebagai pengguanaan bahasa baku dalam segala situasi.

Ada tiga kriteria penting yang perlu diperhatikan jika kita berbicara tentang ragam bahasa. Ketiga kriteria itu adalah:

(1) media yang digunakan, (2) latar belakang penutur, dan

(3) pokok persoalan yang dibicarakan.

Berdasarkan media yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, ragam bahasa dapat dibedakan atas ragam bahas lisan dan ragam bahasa tulis. Di bagian lain, kedua ragam itu dibicakan secara tersendiri. Dilihat dari segi penuturnya, ragam bahasa dibedakan menjadi:

(1) ragam daerah (dialek), (2) ragam bahasa terpelajar, (3) ragam bahasa resmi, dan (4) ragam bahasa takresmi.

Berdasarkan pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahasa dapat dibedakan atas bidang-bidang ilmu dan teknologi serta seni, misalnya ragam

(17)

bahasa ilmu, ragam bahasa hukum, ragam bahasa niaga, ragam bahasa jurnalistik dan ragam bahasa sastra. Macam-macam ragam bahasa itu tampak pada bagan di halaman berikut

2. RAGAM DAERAH

Sebagaimana kita ketahui, bahasa Indonesia tersebar luas ke seluruh Nusantara. Luasnya wilayah pemakaian bahasa itu menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan di suatu daerah berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di daerah lain. Misalnya, bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang Jayapura berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang Medan, bahasa Indonesia yang dipakai orang Denpasar berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan orang Jakarta, dan sebagainya.

RAGAM BAHASA

Penggunaan bahasa yang berbeda-beda karena perbedaan daerah seperti itu disebut ragam daerah disebut logat. Logat yang paling tampak yang mudah diamati ialah lafal. Logat bahasa Indonesia orang Jawa tampak dalam pelafalan /b/

pada posisi awal nama-nama kota seperti mBandung, mBanyuwangi, mBangkalan, mBogor, dan mBesuki, atau realisasi pelafalan kata, seperti pendidi’an, tabra’an, kenai’an, dan gera’an. Logat bahasa orang Bali dan Aceh akan tampak dalam realisasi pelafalan /t/ sebagai retrofleks, seperti tampak pada kata thethapi,

RAGAM BAHASA LISAN

DIALEK TULIS

SASTRA RAGAM

BAHASA PENUTURNYA

TERPELAJAR

RESMI

JURNALISTIK ILMU

HUKUM

NIAGA

TAKRESMI

POKOK PERSOALAN

(18)

canthik, dan kitha. Logat orang Tapanuli tampak realisasi pelafalan /e/ dengan tekanan kata yang amat jelas, seperti yang tampak dalam kata-kata sementara, sewenang-wenang, lebaran, dan gelang, ciri-ciri tekanan, turun naiknya nada, dan panjang pendeknya bunyi bahasa membentuk aksen yang berbeda-beda.

Perbedaan kosakata atau sistem tata bahasa juga menandai perbedaan logat, tetapi tidak sejelas lafal. Bahasa ibu atau bahasa yang dikuasai pertama, erat hubungannya dengan logat atau ragam daerah/dialek. Perbedaan logat bahasa Indonesia antara daerah yang satu dan daerah yang lain biasanya dapat diterima atau tidak dipermasalahkan selama bahasa yang digunakan itu dapat dipahami dan tidak mengganggu kelancaran komunikasi. Tidak jarang kita menemukan perbedaan ragam daerah/logat di antara suku-suku bangsa di Nusanatara ini dijadikan bahan humor.

3. RAGAM BAHASA TERPELAJAR

Tingkat pendidikan penutur bahasa Indonesia turut mewarnai penggunaan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan tampak jelas perbedaannya dengan yang digunakan oleh kelompok penutur yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya pidio (video), pilem (film), komplek (kompleks), pajar (fajar), dan pitamin (vitamin). Perbedaan ragam bahasa penutur yang berpendidikan dan yang tidak berpendidikan juga tampak dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa (membawa), nyari (mencari). Hal itu menunjukkan penuturnya kurang dapat memelihara bahasanya. Ragam bahasa yang dituturkan oleh kelompok penutur berpendidikan memiliki ciri keterpeliharaan. Ragam bahasa itulah yang digunakan dalam dunia pendidikan, lembaga pemerintahan, media massa, ilmu, dan teknologi. Ragam bahasa itu memiliki prestise yang tinggi.

4. RAGAM BAHASA RESMI DAN RAGAM BAHASA TAKRESMI

Ragam bahasa dipengaruhi pula oleh sikap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembaca (jika dituliskan). Sikap itu antara lain resmi, akrab, dingin, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis turut mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasan atau pimpinannya, bahasa perintah atasan kepada bawahan, bahasa seorang ibu yang membujuk anaknya, bahsa orang tua yang sedang memarahi anaknya, atau bahasa anak-anak muda yang sedang berbincang secara santai. Tentu kita juga dapat mengamati bahasa surat lamaran/permohonan pekerjaan yang berbeda dengan surat cinta dua remaja. Perbedaan-perbedaan itu tampak dalam pilihan kata dan penerapan kaidah tata bahasa. Sering pula ragam ini disebut gaya. Pada dasarnya setiap penutur bahasa mempunyai kemampuan menggunakan bermacam ragam bahasa itu. Namun, keterampilan menggunakan bermacam ragam bahasa bukan merupakan warisan, melainkan dapat diperoleh melalui proses belajar, baik melalui pelatihan maupun pengalaman. Keterbatasan penguasaan ragam/gaya menimbulkan kesan bahwa penutur itu kurang luas pergaulannya. Misalnya, anak kecil yang hanya memiliki satu macam gaya, yaitu yang dilakukan dilingkungan keluarganya akan menggunakan gaya itu dalam segala situasi. Begitu juga, orang yang hanya menggunakan satu macam gaya, misalnya dalam perintah, untuk

(19)

berbagai situasi akan menimbulkan kesan bahwa orang itu tidak mau akrab dengan kawan bicara.

Jika terdapat jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan digunakan ragam bahasa resmi atau yang dikenal dengan bahasa baku. Makin formal jarak penutur dan kawan bicara, akan makin resmi dan berarti makin tinggi tingkat kebakuan bahasa yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makain rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.

5. RAGAM BAHASA BERDASARKAN POKOK PERSOALAN

Dilihat dari pokok persoalan yang dibicarakan, ragam bahsa dapat dibedakan menjadi beberapa jenis. Sehari-hari, kita bergerak didalam bermacam lingkungan masyarakat. Di lingkungan masyarakat yang berbeda terdapat penggunaan bahasa yang berbeda. Misalnya, bahasa yang digunakan dalam lingkungan ilmu dan teknologi berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan niaga serta berbeda pula dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan seni (kebudayaan). Demikian pula, bahasa yang digunakan dalam lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan olahraga, hukum, atau politik. Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah kata/istilah/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang-bidang tersebut. Misalnya, kata-kata zakat, kurban, ibadah digunakan dalam lingkungan agama; orbit, fosil, atmosfer digunakan dalam dunia ilmu;

kampanye, kontestan, demokrasi banyak digunakan dalam lingkungan politik;

kredit, kontan, laba digunakan dalam dunia niaga; amnesty, pidana, kasasi digunakan dalam lingkungan hukum.

Variasi dalam bidang tata bahasa sebenarnya juga tampak dalam ragam bahasa menurut pokok persoalan tersebut. Kita dapat mengenali kalimat-kalimat dalam khotbah/doa, kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam undang-undang, dan kalimat-kalimat dalam sastra.

6. RAGAM BAHASA LISAN dan RAGAM BAHASA TULIS

Ditinjau dari media atau sarana yang digunakan untuk menghasilkan bahasa, penggunaan bahasa dapat dibedakan dalam dua macam ragam bahasa, yaitu:

1) ragam bahasa lisan dan 2) ragam bahasa tulis.

Bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar dinamakan ragam bahasa lisan, sedangkan bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya dinamakan ragam bahasa tulis.

RAGAM BAHASA LISAN DAN RAGAM BAHASA TULISAN (Dilihat dari aspek kebahasaan)

RAGAM BAHASA

RAGAM LISAN

RAGAM TULIS

LAFAL

TATA BAHASA KOSA KATA

EJAAN

(20)

Kita harus hati-hati dengan pernyataan tersebut karena ada bahasa yang dihasilkan dengan menggunakan alat-alat ucap, tetapi sebelumnya telah dituliskan, seperti teks pidato yang dibacakan atau siaran berita radio atau televisi.

Sebaliknya, ada bahasa lisan yang dituliskan seperti transkripsi cerita rakyat (yang belum pernah dituliskan) atau pidato yang ditranskripsikan. Maka, pernyataan itu masih harus dilengkapi dengan penjelasan perbedaan kedua ragam itu yang dilihat dari segi struktur bahasa atau segi lain, seperti yang terlihat pada bagan di atas.

Pada bagan itu terlihat bahwa ragam bahasa lisan mencakup aspek lafal, tata bahasa (bentuk kata dan susunan kalimat), dan kosakata. Lafal merupakan aspek pembeda ragam bahasa lisan dari ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan lafal, dalam ragam bahasa tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan).

Selain itu, aspek tata bahasa dan kosakata dalam kedua jenis ragam itu memiliki cara yang berbeda walaupun bidangnya sama. Kedua ragam bahasa itu memiliki hubungan yang erat. Ragam bahasa tulis, yang unsur dasarnya huruf, melambangkan ragam bahasa lisan. Oleh karena itu, sering timbul kesan bahwa ragam bahasa lisan dan ragam bahasa tulis itu sama. Padahal, kedua jenis ragam bahasa itu telah berkembang menjadi dua sistem bahasa yang memiliki seperangkat kaidah yang tidak identik benar meskipun ada pula kesamaannya.

Sebagaimana terlihat dalam bagan, walaupun ada keberimpitan aspek tata bahasa dan kosakata, masing-masing memiliki seperangkat kaidah yang berbeda satu dari yang lain. Sebagai ilustrasi dapat dilihat pada bagan dan contoh di halaman berikutnya.

Hal-hal yang perlu diperhatikan ialah bahwa dalam ragam bahasa lisan, penutur dapat memanfaatkan peragaan, seperti gerak tangan, air muka, tinggi rendah suara atau tekanan, untuk membantu kepahaman pengungkapan diri, ide, gagasan, pengalaman, sikap, dan rasa, sedangkan dalam ragam bahasa tulis, peragaan seperti itu tidak dapat digambarkan/dilambangkan dengan tulisan. Oleh karena itu, dalam ragam bahasa tulis dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa, baik bentuk kata maupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, dan ketepatan penerapan kaidah ejaan, serta pungtuasi (tanda baca) untuk membantu kejelasan pengungkapan diri ke dalam bentuk ragam bahasa tulis.

PERBEDAAN RAGAM BAHASA LISAN DAN RAGAM BAHASA TULIS

(Segi Tata Bahasa)

TATA BAHASA BENTUK KATA

RAGAM BAHASA LISAN 1) Nia sedang baca surat kabar 2) Ari mau nulis surat.

3) Tapi kau tak boleh nolak lamaran itu

RAGAM BAHASA TULIS 1a) Nia sedang membaca surat kabar 2a) Ari mau menulis surat.

3a) Namun engkau tidak boleh menolak lamaran itu.

(21)

PERBEDAAN RAGAM BAHASA LISAN DAN RAGAM BAHASA TULIS

(Segi Kosakata)

Ragam bahasa itulah yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan dan yang digunakan sebagai bahasa pengantar pendidikan mulai dari pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi. Ragam bahasa itu itu pulalah yang digunakan dalam pemerintahan. Media massa, ilmu, teknologi, dan seni. Dalam hubungannya dengan ragam bahasa tulis baku, norma atau kaidahnya dinyatakan secara tertulis dalam bentuk buku tata bahasa, kamus, dan pedoman ejaan yang memberikan petunjuk atau kaidah penulisan, termasuk pungtuasi. Semua itu merupakan pedoman dalam penggunaan bahasa yang baku. Penggunaan bahasa baku dan

Kosa kata

RAGAM BAHASA LISAN (7) Ariani bilang kita harus belajar (8) Kita harus bikin karya tulis

(9) Rasanya masih terlalu pagi buat saya, pak.

RAGAM BAHASA TULIS

(7a) Ariani mengatakan bahwa kita harus belajar (8a) Kita harus membuat karya tulis

(9a) Rasanya masih terlalu muda bagi saya, pak.

(22)

takbaku ini bertalian dengan situasi. Penggunaan bahasa baku berkaitan dengan situasi resmi atau kedinasan (formal), sedangkan penggunaan bahasa takbaku berkaitan dengan penggunaan bahasa dalam situasi tidak resmi atau diluar kedinasan. Di samping itu, jarak antara penutur (pembicara) dan kawan bicara (pendengar) yang terlihat dari sikap, juga mewarnai penggunaan bahasa. Jarak antara penutur dan kawan bicara akan melahirkan penggunaan bahasa takbaku.

Sebaliknya, jarak jauh atau sikap resmi antara pembicara dan kawan bicara akan melahirkan penggunaan bahasa baku. Namun, kita harus berhati-hati bahwa bahasa dalam situasi resmi tidak mesti baku karena topik pembicaraan juga menentukan pilihan penggunaan bahasa. Dalam pemilihan penggunaan bahasa baku itu, selain situasi, perlu di perhatikan juga kawan bicara, latar (setting), topik, dan tujuan pembicaraan.

RAGAM BAHASA BAKU DAN RAGAM BAHASA TAKBAKU

Dalam hubungannya ragam bahasa tulis baku, ragam bahasa itu merupakan hasil penataan secara cermat oleh penggunanya (bukan ekspresi spontan seperti ragam bahasa lisan) sehingga ragam bahasa tulis itu memenuhi kriteria

1) jelas (bertalian dengan makna yang terkait dengan unsur-unsur gramatikal, seperti subjek, predikat, atau dan objek/keterangan),

2) tegas (bertalian dengan interpretasi, tidak rancu), 3) tepat (bertalian dengan pilihan kata/istilah),

4) lugas (tidak bermajas dan tidak berpanjang-panjang) 7. BAHASA INDONESIA YANG BAIK DAN BENAR

Selain bermacam ragam bahasa yang telah kita bicarakan, ada lagi ragam penggunaan bahasa yang khas, yaitu bahasa indonesia yang baik dan benar, seperti dikemukakan dibawah ini.

1. Bahasa Bukan Sekadar Alat Komunikasi

Bahasa bukan sekadar alat komunikasi, bahasa itu alat pikir dan alat ekspresi maka bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekadar berkomunikasi (asal mengerti/pokoknya mengerti); berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa yang berlaku. Kaidah bahasa ada yang tersirat dan ada yang tersurat. Kaidah bahasa yang tersirat berupa intuisi penutur bahasa. Kaidah ini diperoleh secara resmi sejak penutur belajar berbahasa Indonesia. Kaidah bahasa yang tersurat adalah sistem bahasa (aturan bahasa) yang dituangkan dalam berbagai terbitan yang dihasilkan oleh penutur bahasa yang berminat dan ahli dalam bidang bahasa, baik atas inisiatif sendiri (perseorangan) maupun atas dasar

RAGAM BAHASA

RAGAM BAHASA LISAN

RAGAM BAHASA TAKBAKU RAGAM BAHASA BAKU

RAGAM BAHASA TULIS

RAGAM BAHASA BAKU

RAGAM BAHASA TAKBAKU

(23)

tugas yang diberikan pemerintah, seperti buku-buku tata bahasa, kamus, dan berbagai buku pedoman (misalnya pedoman ejaan pedoman pembentuk istilah).

Namun, masalahnya apakah kaidah yang telah dituliskan itu sudah diterapkan secara benar? Jika kita sudah menerapkan kaidah secara benar, hal itu berarti bahwa kita telah menggunakan bahasa Indonesia dengan benar. Lalu, bagaimana penggunaan bahasa Indonesia yang baik? Berikut dikemukakan kriteria yang baik dan benar itu.

2. Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar

Ungkapan gunakanlah bahasa Indonesia yang baik dan benar telah menjadi slogan yang memasyarakat, baik melalui jasa guru dilingkungan sekolah, jasa media massa (media cetak, surat kabar, dan majalah ataupun media elektronik radio, televisi, dan internet) maupun melalui siaran pembinaan bahasa Indonesia.

Apakah sebenarnya makna ungkapan itu? Apakah yang dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang benar? Supaya tidak hanya mengucapkan slogan itu, tetapi dapat menerapkannya, marilah kita perhatikan kriteria bahasa yang baik dan benar dibawah ini.

Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah itu meliputi aspek:

1) tata bunyi (fonologi)

2) tata bahasa (kata dan kalimat) 3) kosakata (termasuk istilah) 4) ejaan, dan

5) makna.

Pada aspek tata bunyi , misalnya kita telah menerima bunyi /f/, /v/, dan /z/.

Oleh karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, fakir (miskin), motif, aktif, variabel, vitamin, devaulasi, zakat, zebra, dan izin, bukan pajar, pakir (miskin),motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, sebra, dan ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bunyi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, korps, transmigrasi,ekspor, bukan komplek, korp, tranmigrasi, dan ekspot.

Pada aspek tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah/robah/rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan, dan pertanggungan jawab. Dari segi kalimat, pernyaataan dibawah ini tidak benar karena mengandung subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat, atau dan objek/keterangan.

{10} pada tabel diatas memperlihatkan bahwa wanita lebih banyak daipada pria.

Jika kata pada ditiadakan, unsur tabel di atas menjadi subjek atau kata memperlihatkan diubah terlihat agar bahwa dan seterusnya menjadi subjek.

Dengan demikian, kalimat itu benar.

Pada aspek kosakata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar, dan udah, lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa indonesia yang benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar udara, keluaran (output), dan pajak

(24)

tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi.

Dari segi ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, hakikat, objek, jadwal, kualitas, dan hierarki. Dari segi makna, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntunan makna. Misalnya, dalam bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang bermakna konotatif (kiasan). Jadi, penggunaan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa.

Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan itu bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak bicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar. Dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita. Kalimat dibawah ini tidak sesuai dengan tata nilai masyarakat indonesia karena tidak cocok dengan logika penutur bahasa indonesia.

{11} gadis itu jalan-jalan disungai.

Bagi orang Afrika yang mengenal musim panas berkepanjangan (sungai kering) atau orang Eropa/Amerika yang mengenal musim dingin (air sungai membeku), kalimat tersebut dapat diterima. Tampaknya, maslah logika bertalian dengan iklim (alam), tradisi, dan pengalaman penutur bahasa. Jadi, kalimat tersebut tidak baik bagi penutur bahasa indonesia walaupun benar sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia. Selain itu, ukuran baik itu juga bertalian dengan tersampaikannya informasi yang dinyatakan. Kalimat (10) misalnya, dapat menyampaikan pesan/informasi, tetapi dilihat dari segi kaidah bahasa tidak memenuhi syarat sebagai kalimat yang benar. Sebaliknya, kalimat (11), misalnya, memenuhi kaidah bahasa (subjek, predikat, dan keterangan), tetapi tidak dapat menyampaikan pesan secara efektif karena orang akan bertanya-tanya tentang maksudnya. Jadi, penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosakata, istilah, dan ejaan. Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari penggunaan kalimat-kalimat yang efektif, yaitu kalimat- kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat

(25)

BAB III

DIKSI ATAU PILIHAN KATA

1. PENGERTIAN DIKSI

Diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia karang-mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari.

Dalam memilih kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, kita tidak dapat lari dari kamus. Kamus memberikan suatu kete patan kepada kita tentang pemakaian kata-kata. Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang diperlukan.

Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu

2. MAKNA DENOTATIF DAN KONOTATIF

Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna denotatif disebut makna konseptual. Kata makan, misalnya, bermakna

(26)

memasukkan sesuatu ke dalam mulut, dikunyah, dan ditelan. Makna kata makan seperti ini adalah makna denotatif.

Makna konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial, sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata makan dalam makna konotatif dapat berarti untung atau pukul

Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman. Ia tidak tetap. Kata kamar kecil mengacu kepada kamar yang kecil (denotatif), tetapi kamar kecil berarti juga jamban (konotatif). Dalam hal ini, kita kadang-kadang lupa apakah suatu makna kata itu adalah makna denotatif atau konotatif.

Kata rumah monyet mengandung makna konotatif. Akan tetapi, makna konotatif itu tidak dapat diganti dengan kata lain sebab nama lain untuk kata itu tidak ada yang tepat. Begitu juga dengan istilah rumah asap.

Makna-makna konotatif sifatnya lebih profesional dan operasional daripada makna denotatif. Makna denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif adalah makna yang dikaitkan dengan suatu kondisi dan situasi tertentu.

Misalnya:

rumah wisma, graha, gedung penonton pemerhati, pemirsa dibuat dirakit, dibikin, disulap sesuai Harmonis

tukang ahli, (menguasai kebisaan) pembantu Asisten

pekerja karyawan, pegawai

tengah Madia

bunting mengandung, bunting mati wafat, meninggal

Makna konotatif dan makna denotatif berhubungan erat dengan kebutuhan pemakaian bahasa. Makna denotatif ialah arti harfiah suatu kata tanpa ada satu makna yang menyertainya, sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran, perasaan, dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Dengan kata lain, makna denotatif adalah makna yang bersifat umum, sedangkan makna konotatif lebih bersifat pribadi dan khusus.

Kalimat di bawah ini menunjukkan hal itu.

Dia adalah wanita cantik (denotatif) Dia adalah wanita manis (konotatif)

Kata cantik lebih umum daripada kata manis. Kata cantik akan memberikan gambaran umum tentang seorang wanita. Akan tetapi, dalam kata manis terkandung suatu maksud yang lebih bersifat memukau perasaan kita.

Nilai kata-kata itu dapat bersifat baik dan dapat pula bersifat jelek. Kata-kata yang berkonotasi jelek dapat kita sebutkan seperti kata tolol (lebih jelek daripada bodoh), mampus (lebih jelek daripada mati), dan gubuk (lebih jelek daripada rumah). Di pihak lain, kata-kata itu dapat pula mengandung arti kiasan yang

(27)

terjadi dari makna denotatif referen lain. Makna yang dikenakan kepada kata itu dengan sendirinya akan ganda sehingga kontekslah yang lebih banyak berperan dalam hal ini.

Perhatikan kalimat di bawah ini.

Sejak dua tahun yang lalu ia membanting tulang untuk memperoleh kepercayaan masyarakat.

Kata membanting tulang (makna denotatif adalah pekerjaan membanting sebuah tulang) mengandung makna "bekerja keras" yang merupakan sebuah kata kiasan.

Kata membanting tulang dapat kita masukkan ke dalam golongan kata yang bermakna konotatif.

Kata-kata yang dipakai secara kiasan pada suatu kesempatan penyampaian seperti ini disebut idiom atau ungkapan. Semua bentuk idiom atau ungkapan tergolong dalam kata yang bermakna konotatif. Kata-kata idiom atau ungkapan adalah sebagai berikut:

kepala batu keras kepala, panjang tangan, ringan tangan

sakit hati, dan sebagainya.

3. KATA UMUM DAN KHUSUS

Kata ikan memiliki acuan yang lebih luas daripada kata nila atau mujair.

Ikan tidak hanya nila atau tidak hanya mujair, tetapi ikan terdiri atas beberapa macam, seperti gurame, lele, sepat, tuna, baronang, ikan koki, dan ikan mas.

Dalam hal ini, kata yang acuannya lebih luas disebut kata umum, seperti ikan, sedangkan kata yang acuannya lebih khusus disebut kata khusus, seperti gurame, lele, tawes, dan ikan mas.

Kata umum disebut superordinat, kata khusus disebut hiponim. Contoh kata bermakna umum yang lain adalah bunga. Kata bunga memiliki acuan yang lebih luas daripada mawar. Bukan hanya mawar, melainkan juga ros, melati, dahlia, anggrek, dan cempaka. Sebaliknya, melati pasti sejenis bunga; anggrek juga tergolong bunga, dahlia juga merupakan sejenis bunga. Kata bunga yang memiliki acuan yang lebih luas disebut kata umum, sedangkan kata dahlia, cempaka, melati, atau ros memiliki acuan yang lebih khusus darl disebut kata khusus.

Pasangan kata umum dan kata khusus harus dibedakan dalam pengacuan yang generik dan spesifik. Sapi, kerbau, kuda, dan keledai adalah hewan-hewan yang termasuk segolongan, yaitu golongan hewan mamalia. Dengan demikian, kata hewan mamalia bersifat umum (generik), sedangkan sapi, kerbau, kuda, keledai adalah kata khusus (spesifik).

4. KATA KONKRET DAN ABSTRAK

Kata yang acuannya semakin mudah dicerap pancaindra disebut kata konkret, seperti meja, rumah, mobil, air, cantik, hangat, wangi, suara. Jika acuan sebuah kata tidak mudah diserap pancaindra, kata itu disebut kata abstrak, seperti ide, gagasan, kesibukan, keinginan, angan-angan, kehendak dan perdamaian.

Kata abstrak digunakan untuk mengungkapkan gagasan rumit. Kata abstrak mampu

(28)

membedakan secara halus gagasan yang bersifat teknis dan khusus. Akan tetapi, jika kata abstrak terlalu diobral atau dihambur-hambtirkan dalam suatu karangan, karangan itu dapat menjadi samar dan tidak cermat.

5. SINONIM

Sinonim adalah dua kata atau lebih yang pada asasnya mempunyai makna yang sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau kemiripan.

Sinonim ini dipergunakan tultuk mengalih-alihkan pemakaian kata pada tempat tertentu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan mengonkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa itu) akan terwuj ud. Dalam hal ini pemakai bahasa dapat memilih bentuk kata mana yang paling tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapinya.

Kita ambil contoh kata cerdas dan cerdik. Kedua kata itu bersinonim, tetapi kedua kata tersebut tidak persis sama benar.

Kata-kata lain yang bersinonim ialah:

agung, besar, raya

mati, mangkat, wafat, meninggal cahaya, sinar

ilmu, pengetahuan penelitian, penyelidikan dan lain-lain.

Kesinoniman kata masih berhubungan dengan masalah makna denotatif dan makna konotatif suatu kata.

6. PEMBENTUKAN KATA

Ada dua cara pembentukan kata, yaitu dari dalam clan dari luar bahasa Indonesia. Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kosakata baru dengan dasar kata yang sudah ada, sedangkan dari luar terbenhik kata baru melalui tuzsur serapan.

Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kata baru, misalnya

tata daya serba

tata buku daya tahan serba putih tata bahasa daya pukul serba plastik tata rias daya tarik serba kuat tata cara daya serap serba tahu

hari tutup Lepas

hari sial tutup tahun lepas tangan han jadi tuhip buku lepas pantai hari besar tuhip usia lepas landas.

Dari luar bahasa Indonesia terbentuk kata-kata melalui pungutan kata, misalnya:

(29)

bank wisata kredit santai valuta nyeri

televisi candak kulak.

Kita sadar bahwa kosakata bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa asing. Kontak bahasa memang tidak dapat dielakkan karena kita berhubungan dengan bangsa lain. Oleh sebab itu, pengaruh-memengaruhi dalam hal kosakata pasti ada. Dalam hal ini perlu ditata kembali kaidah penyerapan kata- kata itu. Oleh sebab itu, Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang kini telah beredar di seluruh Nusantara sangat membantu upaya itu.

Kata-kata pungut adalah kata yang diambil dari katakata asing. Hal ini disebabkan oleh kebutuhan kita terhadap nama dan penamaan benda atau situasi tertentu yang belum dimiliki oleh bahasa Indonesia. Pemungutan kata-kata asing yang bersifat internasional sangat kita perlukan karena kita memerhikan suatu komunikasi dalam dunia dan teknologi modern, kita memerlukan komunikasi yang lancar dalam segala macam segi kehidupan.

Kata-kata pungut itu ada yang dipungut tanpa diubah, tetapi ada juga yang diubah. Kata-kata pungut yang sudah disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia disebut bentuk serapan.

Bentuk-bentuk serapan itu ada empat macam:

1 ) Kita mengambil kata yang sudah sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia.

Yang termasuk kata-kata itu ialah bank,

opnarne, golf.

2) Kita mengambil kata dan menyesuaikan kata itu dengan ejaan bahasa Indonesia. Yang termasuk kata-kata itu ialah

subject subjek,

apotheek apotek, standard standar, university universitas.

3) Kita menerjemahkan dan memadankan istilah-istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Yang tergolong ke dalam bentuk ini ialah

starting point titik tolak, meet the press jumpa pers, up to date mutakhir, briefing taklimat,

hearing dengar pendapat.

4) Kita mengambil istilah yang tetap seperti aslinya karena sifat keuniversalannya. Yang termasuk golongan ini ialah

de facto, status quo,

cum laude, dan ad hoc.

5) Kita dapat juga menyerap kata

6) Berikut didaftarkan beberapa kata serapan ambiguous taksa

(30)

supervision penyelia fulll time purnawaktu

drain salir

domain ranah

Dalam menggunakan kata, terutama dalam situasi resmi, kita perlu memerhatikan beberapa ukuran.

a) Kata yang lazim dipakai dalam bahasa tutur atau bahasa setempat dihindari.

Misalnya: nongkrong

raun

Kata-kata itu dapat dipakai kalau sudah menjadi milik umum.

Contoh:

ganyang anjangsana

lugas kelola

heboh pamrih santai

b) Kata-kata yang mengandtulg nilai rasa hendaknya dipakai secara cermat dan hati-hati agar sesuai dengan tempat dan suasana pembicaraan.

Contoh:

tunanetra buta

tuli tunawicara bisu

c) Kata yang tidak lazim dipakai dihindari, kecuali kalau sudah dipakai oleh masyarakat.

Contoh:

konon puspa

bayu lepau

laskar didaulat

Di bawah ini akan dibicarakan beberapa penerapan pilihan kata. Sebuah kata dikatakan baik kalau tepat arti dan tepat tempatnya, saksama dalam pengungkapan, lazim, dan sesuai dengan kaidah ejaan.

Beberapa contoh pemakaian kata di bawah ini dapat dilihat.

a) Kata raya tidak dapat disamakan dengan kata besar, agung. Kata-kata itu tidak selalu dapat dipertukarkan. Contoh: masjid raya, rumah besar, hakim agung.

b) Kata masing-masing dan tiap-tiap tidak sama dalam pemakaiannya.

Kata tiap-tiap harus diikuti oleh kata benda, sedangkan kata masing- masing tidak boleh diikuti oleh kata benda.

Contoh yang benar:

a) Tiap-tiap kelompok terdiri atas tiga puluh orang.

b) Berbagai gedung bertingkat di Jakarta memiliki gaya arsitektur masing-masing.

c) Masing-masing mengemukakan keberatannya.

d) Para pemimpin negara APEC yang hadir di Jakarta masing-masing dijaga ketat oleh pengawal kepresidenan Indonesia.

c) Pemakaian kata dan lain-lain harus dipertimbangkan secara cermat. Kata dan lain-lain sama kedudukannya dengan seperti, antara lain, misalnya.

d) Pemakaian kata pukul dan jam harus dilakukan secara tepat. Kata pukul

(31)

menunjukkan waktu, sedangkan kata jam menunjukkan jangka waktu.

Misalnya:

Seminar tentang kardiologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berlangsung selama 4 jam, yaitu dari jam 8.00 s.d. 12.00. (Salah)

Seminar tentang kardiologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia berlangsung selama 4 jam, yaitu dari pukul 8.00 s.d. pukul 12.00. (Benar)

e ) Kata sesuatu dan suatu harus dipakai secara tepat. Kata sesuatu tidak diikuti oleh kata benda, sedangkan kata suatu harus diikuti oleh kata benda.

Contoh:

a) la mencari sesuatu.

b) Pada suatu waktu ia datang dengan wajah berseri-seri.

f) Kata dari dan daripada tidak sama pemakaiannya. Kata dari dipakai untuk menunjukkan asal sesuatu, baik bahan maupun arah.

Contoh:

a) la mendapat tugas dari atasannya.

b) Cincin itu terbuat dari emas.

Kata daripada berfungsi membandingkan.

Contoh:

a) Duduk lebih baik daripada berdiri.

b) Indonesia lebih luas daripada Malaysia.

g) Kata di mana tidak dapat dipakai dalam kalimat pernyataan. Kata di mana tersebut harus diubah menjadi yang, bahwa, tempat dan sebagainya.

7. KESALAHAN PEMBENTUKAN DAN PEMILIHAN KATA

Pada bagian berikut akan diperlihatkan kesalahan pembentukan kata, yang sering kita temukan, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis.

Setelah diperlihatkan bentuk yang salah, diperlihatkan pula bentuk yang benar, yang merupakan perbaikannya.

a. Penanggalan Awalan meng-

Penanggalan awalan meng- pada judul berita dalam surat kabar diperbolehkan. Namun, dalam teks beritanya awalan meng- harus eksplisit. Di bawah ini diperlihatkan benhik yang salah dan bentuk yang benar.

1) Amerika Serikat luncurkan pesawat bolak-balik Columbia. (Salah) 1a) Amerika Serikat meluncurkan pesawat bolak-balik Columbia. (Benar) 2) Jaksa Agung, Hendarman Supandji, periksa mantan Presiden Soeharto.

(Salah)

2a) Jaksa Agung,` Hendarman Supandji, memeriksa mantan Presiden Soeharto.

(Benar)

b. Penanggalan Awalan ber-

Kata-kata Kata-kata yang berawalan ber- sering menanggalkan awalan ber-.

Padahal, awalan ber- harus dieksplisitkan secara jelas. Di bawah ini dapat dilihat bentuk salah dan benar dalam pemakaiannya.

1) Sampai jumpa lagi.- (Salah)

Referensi

Dokumen terkait

Mengenyam pendidikan dimulai dari SDN 1 Doloksanggul (lulus tahun 2009), melanjutkan ke SMPN 1 Doloksanggul (lulus tahun 2012), kemudian melanjutkan ke jenjang SMKN 1 Doloksanggul

Setelah itu, operator yang memegang remote control mengarahkan pesawat ke titik waypoint yang dituju, dan operator yang sebelumnya memegang pesawat, memantau

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat diperolah beberapa kesimpulan yaitu bahwa prevalensi obesitas pada anak SD Saraswati V Kota Denpasar tahun 2016

Peran penting tenaga kesehatan dalam upaya menanggulangi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA di rumah sakit khususnya upaya terapi dan rehabilitasi sering tidak

Dan tujuan dari makalah ini adalah untuk mengetahui pengertian fiqih siyasah (siyasah syar’iyyah) , hubungannya dengan lmu Fiqih , dan manfaat mempelajarinya, serta

Catatan: Nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata turunan tidak ditulis dengan huruf awal kapital.... pengindonesiaan kata asing

Puji syukur atas limpahan rahmat, hidayah, dan karunia Alloh SWT, sehingga penyusunan tesis dengan judul “Rule Based Reasoning untuk Monitoring Distribusi Bahan Bakar Minyak

Syukur Alhamdulillah kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat-Nya sehingga penelitian serta laporan penelitian tahun ke-2 yang berjudul Kcanekaragaman