• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pendeta terhadap Narapidana Hukuman Mati di Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan T2 752014012 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Pendeta terhadap Narapidana Hukuman Mati di Lembaga Permasyarakatan Nusakambangan T2 752014012 BAB II"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

20

BAB II

PENDETA DAN NARAPIDANA HUKUMAN MATI

Menurut Erikson ada 3 (tiga) pondasi yang digunakan Erikson untuk mengembangkan teori kepribadiannya. Adapun teori Erikson sebgai berikut :

1) Prinsip Epigenitik 2) Krisis

3) Ritualisasi dan Ritualisme

1) Prinsip Epigenetik

Prinsip yang ditentukan secara genetik bagi perkembangan kepribadian manusia adapun menurut Erikson mendeskrisikan prinsip ini sebagai berikut:

Kapanpun kita berusaha memahami pertumbuhan manusia, harus diingat kalau prinsip epigenetik yang mengaturnya sudah mulai beroperasi sejak organisme masih di dalam rahim. Secara umum bisa dikatakan, prinsip ini menegaskan bahwa apa pun yang bertumbuh memiliki suatu rancangan dasar, dari dalam rancangan inilah bagian-bagian pertumbuhan muncul, di mana setiap bagian memiliki asal tertentunya, sampai semua bagian itu akhirnya tampil penuh untuk mengerjakan suatu fungsi secara lengkap. (1968, hlm. 92).

(2)

21

muncul, dibangun dari yang sudah mendahuluinya, dan menjadi dasar bagi pembentukan yang akan muncul sesudahnya. Erikson (1985) menyatakan, “Kekuatan yang diperoleh di setiap tahap perkembangan dites oleh keniscayaannya untuk melapaui tahap berikutnya

mengembangkan kekuatan yang awalnya rapuh di tahap sebelumnya” (hlm. 263). Menurut

prinsip epigenitik, karakteristik kepribadian yang jadi mengemuka di suatu tahap perkembangan, sudah eksis sebelum tahap itu muncul, dan akan terus eksis setelah tahapan itu dilalui. Namun karena ada alasan-alasan sosial dan biologis, hanya satu perkembangan karakteristik kepribadian tertentu saja yang menjadi fokus di suatu tahap, lalu perkembangan karakteristik yang lain yang menjadi fokus di tahap lainnya.

2) Krisis

(3)

22

terselesaikan secara positif, perkembangan kepribadaian normal yang akan muncul. Jika satu atau lebih krisis terselesaikan secara negatif, perkembangan normal tersebut akan teerhambat. Dengan kata lain, setiap krisis di suatu tahap harus bisa diselesaikan secara positif di tahap tersebut sebelum individu sepenuhnya siap untuk mengatasi krisis lain yang akan mendominasi tahap berikutnya. Kendati factor biologis yang menentukan kapan delapan tahap perkembangan kepribadian ini muncul, yaitu karena proses pematangan fisiologis penentu kapan sebuah pengalaman jadi memungkinkan, namun lingkungan sosial yang menentukan benar atau tidaknya suatu krisis di sebuah tahap peekembangan dapat terselesaikan secara positif. Karena alasan inilah tahap perkembangan yang di usulkan Erikson dinamai tahap-tahap psikososial perkembangan, untuk mengontraskannya dengan tahap-tahap psikososial ’’ Freud.

3) Ritualisasi dan Ritualisme

(4)

23

Saling jalinan yang harmonis antara penyingkapan syarat-syarat kepribadian dan kondisi-kondisi sosial dan budaya yang ada ini dimungkinkan lewat ritualisasi. Menurut Erikson (1977), ritualisasi adalah pola-pola perilaku yang muncul berulang yang mencerminkan nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, kebiasaan-kebisaan dan perilaku-perilaku yang diatur dan diberi sanksi oleh masyarakat dan budaya tertentu. Meski ritualisasi-ritualisasi yang telah menjadikan hidup bermakna di masyarakat atau budaya tertentu, namun kebanyakan individu terlibat di dalam hal-hal tersebut tanpa tahu kenapa mereka berbuat demikian:

[Setiap anak harus] diyakinkan dan diwajibkan untuk menjadi ‘terspesieskan’selama masa

kanak-kanak yang panjang lewat beberapa bentuk keluarga: dia harus diakrabkan lewat ritualisasi dengan suatu versi eksistensi manusia. Karenanya ia mengembangkan perasaan yang berbeda bagi identitas berkelompoknya. Kita harus mengakui dari luar kalau ritualsasi adalah sebuah aspek dari hidup sehari-hari yang lebih jelas terlihat di budaya dan kelas berbeda, atau bahkan keluarga yang berbeda dari yang kita punya, di mana faktanya, ritualisasi lebih sering daripada tidak dialami sekedar sebagai satu-satunya cara yang tepat untuk melakukan hal-hal tertentu; sehingga pertanyaan yang kemudian muncul lalu kenapa tidak setiap orang melakukan seperti yang kita lakukan.

(5)

24

yang sama, mungkin diperbolehkan bagi seorang warnita mengenakan bikini di pantai, namun pakaian seperti ini jelas menyebabkan kegaduhan di tempat kerja atau di sekolah. Ritualisasi-ritualisasi memandu hampir setiap aspek perilaku sosial dan menjadi mekanisme-mekanisme di mana individu di budayanya masing-masing menjadi ‘tersosialisasikan’.

Erikson mendefinisikan budaya sebagai ‘versi tertentu tentang keberadaan manusia’,

(6)

25

hampa ini . tidak punya daya untuk mengikat individu-individu di sebuah budaya bersama-sama, karenanya menyimpangkan tujuan orisinil ritualisme.1

2.1. Tahapan Psikososial Erikson

1. Masa Bayi: Rasa Percaya Versus Rasa Tidak Percaya

Menurut dalam bukunya Mathew untuk teori Erikson Jika pengasuhan terhadap bayi-bayi ini dapat memuaskan kebutuhan mereka lewat cara-cara yang konsisten dan penuh cinta, bayi pun akan mengembangkan perasaan kepercayaan dasar. Namun jika orang tua menolak dan memuaskan kebutuhan mereka dengan cara yang tidak konsisten, yang muncul adalah ketidak percayaan dasar.

Jika pengasuhan dipenuhi rasa sayang dan diberikan secara konsisten, bayi belajar mereka tidak perlu khawatir terhadap orang tua yang penuh kasih dan bisa diandalkan, dan karenanya tidak begitu terganggu saat orang tua hilang dari pandangan mereka

Prestasi sosial pertama bayi, kalau begitu, adalah kesediaannya membiarkan ibu hilang dari pandangan tanpa menimbulkan rasa cemas atau marah, karena ibu telah menjadi sebuah kepastian batin yang sama besarnya dengan prediktibilitas dunia luar. Konsistensi, kontinuitas dan kesamaan pengalaan yang seperti ini menyediakan sebuah basis mentah bagi perasaan identita ego yang bergantung, saya kira, kepada kognisi bahwa terdapat sebuah populasi batin kenangan dan antisipasi sensasi dan imaji, yang berkorelasi erat dengan populasi diluar diri yaitu benda-benda dan orang-orang yang dikenal dan dapat diprediksi (Erikson, 1985, hlm.247)

1 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,

(7)

26

Krisis rasa percaya dasar lawan rasa tidak percaya dasar disebut terselesaikan secara positif ketika anak lebih banyak mengembangkan rasa percaya daripada tidak. Menurut Erikson, rasa tidak percaya tetap dialami anak yang pengasuhan orangtuanya penuh cinta dan konsisten bukan karena negatifnya pengasuhan itu, melainkan anak mulai belajar, bahwa jika dia memercayai setiap orang dan segala sesuatu sama besarnya seperti ia percaya orangtua mereka, kesulitan kadang muncul. Sejumlah kecil rasa tidak percaya sehat adanya, dan justru kondusif bagi upaya anak menjaga kelangsungan hidupnya. Namun, anak yang dominan dengan rasa percayalah yang memiliki keberanian untuk mengambil resiko dan tidak mudah dikalahkan rasa kecewa dan putus asa.

Erikson menyatakan bahwa ketika krisis yang mencirikan suatu tahap dapat terselesaikan secara positif, sebuah kebajikan akan muncul. Kebajikan ini menambahkan kekuatan bagi egonya. Ditahap ini, ketika anak memiliki rasa percaya lebih besar daripada rasa tidak percaya, kebajikan berupa harapan yang akan muncul. Erikson mendefinisikan

harapan sebagai “keyakinan yang bertahan lama tentang bisa diraihnya keinginan-keinginan

yang sangat didamba, tak peduli tekanan gelap dan kemarahan menandai awal

eksistensinya”2

Menurut John W. Santrock Kepercayaan vs. Ketidapercayaan Dasar menurut teori Erikson, menerima penekanan Freud pada pentingnya hubungan orangtua-bayi selama penyusuan, tapi dia memperluas dan memperkaya pandangan Freud ini. Hasil baik selama masa bayi, Erikson percaya, tidak bergantung pada jumlah makanan atau stimulasi oral yang ditawarkan, melainkan pada kualitas pengasuhan: mengurangi ketidaknyamanan dengan segera dan sepeka mungkin, menggendong bayi dengan lembut, menunggu dengan sabar

2Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,

(8)

27

sampai bayi cukup menyusu, dan menyapihnya bila bayi tampak tidak berminat pada ASI atau susu botol.

Menurut Erikson, mustahil orangtua bisa memenuhi semua kebutuhan bayi. Banyak faktor yang memengaruhi kebahagiaan pribadi, kondisi hidup saat ini (misalnya, bertambahnya anak kecil dalam keluarga), dan praktik budaya pengasuhan dari orang tua. Akan tetapi, bila keseimbangan pengasuhan sarat dengan perhatian dan kasih sayang, konflik psikologis di tahun pertama – kepercayaan dasar vs. ketidakpercayaan (basic trust versus mistrust) – bisa diatasi dengan baik. Bayi yang percaya berharap dunia itu baik dan menyenangkan, sehingga dia yakin untuk berpetualang dan melakukan eksplorasi di dalamnya. Bayi yang tidak percaya tidak mau mengandalkan kasih dan kebaikan hati orang lain, sehingga dia melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang dan sesuatu di sekitarnya.

Kepercayaan versus ketidakpercayaan (trust versus mistrust) adalah tahap pertama dari perkembangan psikososial menurut Erikson, yang dialami dalam satu tahun pertama dari kehidupan seseorang. Di masa bayi, kepercayaan akan menentukan landasan bagi ekspektasi seumur hidup bahwa dunia akan menjadi tempat tinggal yang baik dan menyenangkan.3

Rasa percayaMenurut Erik Erikson (1968), satu tahun pertama dalam kehidupan ditandai oleh tahap perkembangan rasa percaya versus rasa tidak percaya (trust-versus mistrust). Bayi tadinya merasakan adanya kehidupan yang teratur , hangat, dan terlindungi dalam kandungan ibu, kemudian sang bayi menghadapi sebuah dunia yang kurang aman. Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya jika mereka diasuh secara

(9)

28

konsisten dan hangat. Jika bayi tidak diberi makan dengan baik dan tidak ditempatkan dalam suasana hangat secara konsisten maka bayi cenderung mengembangkan rasa tidak percaya.

Rasa percaya versus rasa tidak percaya tidaklah sama sekalil berakhir dalam satu tahun pertama kehidupan. Rasa percaya versus rasa tidak percaya muncul lagi dalam tahap-tahap perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, anak-anak yang meninggalkan masa bayi dengan rasa percaya masih dapat memiliki rasa tidak percaya yang muncul pada tahap berikutnya, yang mungkin terjadi apabila orang tua mereka terpisah atau bercerai karena konflik berkepanjangan.4

Menurut Penney Upton usia bayi (lahir hingga 18 bulan) memiliki Konflik dasar kepercayaan versus ketidakpercayaan, peristiwa penting makannya, hasil anak-anak mengembangkan rasa percaya bila orang-orang yang mengasuhnya memberikan keandalan, perhatian, dan kasih sayang. Ketiadaan hal tersebut akan menimbulkan ketidakpercayaan5

Tabel . Pentahapan Freud dan Erikson

Usia Pentahapan

Freud Pentahapan Umum Erikson

Lahir – 1 tahun Oral Rasa percaya vs tidak percaya: Harapan 1 – 3 tahun Anal Otonomi vs rasa malu, ragu-ragu:

Kehendak

3 – 6 tahun Falik (Odipal) Inisiatif vs rasa bersalah: Tujuan 6 – 11 tahun Latensi Kegigihan/industri vs inferioritas:

Kompetensi

Masa remaja Genital Identitas vs kebingungan peran: Kesetiaan

Dewasa muda Keintiman vs isolasi: Cinta

Dewasa Semangat-berbagi vs penyerapan diri dan

(10)

29

Usia Pentahapan

Freud Pentahapan Umum Erikson

stagnasi : Perhatian

Usia senja Integritas ego vs rasa putus asa: Hikmat

Menurut William Crain Tahap paling umum: Kepercayaan vs ketidakpercayaan Mendasar merupakanTahap umum periode oral ini terdiri atas perkenalan umu ego anak yang sedang perkembang dengan dunia sosial. Di tahap pertama, ketika bayi berusaha memasukkan hal-hal yang mereka butuhkan, mereka berinteraksi dengan para pengasuhnya, mengikuti cara budaya bertindak pada dirinya yang terpenting dari interaksi-interaksi ini adalah bayi berusaha menemukan sejumlah konsistensi, prediksi dan reliabilitas di dalam tindakan-tindakan mengasuh mereka. Ketika memahami bahwa orang tua cukup konsisten dan bisa diandalkan, mereka mulai mengembangkan pemahaman tentang kepercayaan mendasar kepada orang tua. Bayi menjadi paham jika mereka merasa dingin, basah atau lapar, maka orang tua bisa diandalkan untuk membebaskan rasa sakit itu. Beberapa orang tua mungkin akan lebih sering datang menengok bayi mereka, sementara yang lain menengok sesuai jadwal tertentu, namun di kedua kasus ini bayi belajar bahwa orang tua bisa diandalkan dan karena itu bisa dipercaya. Kebalikan dari hal ini adalah rasa tidak percaya, perasaan bahwa orang tua tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dipercaya dan mungkin tidak akan pernah hadir jika dibutuhkan (1963,h.247).

(11)

30

tidak perlu khawatir akan digigit” (1963, h.248). Untuk ibu sendiri, Erikson menyarankan

agar mereka tidak menarik diri terlalu menyolok atau menyapih terlalu cepat bayinya. Karena jika hal ini terjadi, si bayi akan merasa perawatannya tidak bisa dipercaya karena tiba-tiba dihentikan begitu saja.

Setelah berhasil mengembangkan rasa percaya kepada pengasuh, bayi akan menunjukkannya di dalam tingkah laku, Erikson melihat tanda pertama kepercayaan pada ibu

ini muncul ketika bayi rela “membiarkan ibu menghilang dari pandangan matanya tanpa rasa

cemas atau marah yang tidak perlu” (1963, h.47). istilah ‘tidak perlu’ ini penting untuk

dijelaskan, karena kita melihat di dalam uraian Bowlby bahwa kebanyakan bayi mengalami kecemasan akan perpisahan. Namun jika orang tuanya bisa diandalkan, kata Erikson, maka bayi bisa belajar mentolerir ketidakhadiran mereka. Hanya jika orang tuanya tidak bisa diandalkan, barulah bayi tidak membiarkan mereka pergi, dan terserang paning bila memaksa pergi juga.6

Menurut Jest dan Feist Rasa Percaya Mendasar versus Rasa Tidak Percaya Mendasar merupakan Hubungan antarpribadi bayi yang paling signifikan adalah dengan pengasuh utama mereka, biasanya ibu. Ketika sadar bahwa ibu selalu menyediakan makanan secara teratur, mereka pun mulai belajar rasa percaya dasar. Jika mereka terus belajar mendengarkan secara konsisten suara ibu yang menyenangkan dan ritmis, mereka mengembangkan lebih banyak lagi rasa percaya mendasar. Ketika mereka dapat bersandar kepada lingkungan visual yang menyenangkan, mereka dapat memadatkan rasa percaya dasar mereka lebih kuat lagi. Dengan kata lain, jika pola mereka menerima hal-hal yang berkaitan dengan cara budaya memberikan hal-hal, maka bayi dapat belajar rasa percaya dasar. Sebaliknya, bayi

(12)

31

akan belajar rasa tidak percaya mendasar jika tidak menemukan kaitan antara kebutuhan-kebutuhan oral-pengindraan mereka dengan lingkungan tempat mereka tinggal.

Rasa percaya dasar biasanya bersifat sintonik, sedangkan rasa tidak percaya mendasar bersifat distonik. Meskipun begitu, bayi harus mengembangkan kedua sikap ini. Terlalu banyak rasa percaya membuat mereka naif dan rapuh terhaap tipu muslihat ddunia, semantara terlalu sedikit rasa percaya membawa kepada rasa frustasi, kemarahan, kebencian, sinisme, atau depresi.

Keduanya, rasa percaya an tidak percaya mendasar, merupakan pengalaman yang tidak terelakkan bagi bayi. Semua bayi yang bertahan hidup sudah mendapatkan makan dan perawatan yang baik sehingga mereka cukup memiliki alasan untuk percaya. Selain itu semua bayi yang sudah difrustasikan oleh sakit, lapar, dan tidak nyaman memiliki alasan yang cukup untuk tidak p Erikson yakin bahwa rasio percaya dan tidak percaya cukup kritis bagi kemampuan manusia untuk beradaptasi.

Dalam Masa Kanak-kanak Awal, Sekali lagi Erikson mengambil sebuah panangan yang lebih luas. Baginya, anak kecil menerima kesenangan bukan hanya dari menguasai otot-otot anus dan perut namun, juga dari menguasai fungsi-fungsi tubuh lainnya serpti buang air kecil, berjalan, melempar, memeluk, dan sebagainya. Selain itu, anak-anak mengembangkan perasaan kontrol atas lingkungan antarpribadi mereka, sama seperti mengukur kontrol diri mereka. Meskipun begitu, masa kanak-kanak awal juga merupakan waktu untuk mengalami keraguan dan rasa malu ketika anak belajar bahwa sebagian besar upaya mereka mencapai otonomi tidak berhasil.7

Menurut pendapat Erik H Erikson kepercayaan dasar vs ketidakpercayaan dasar ,Ibu menciptakan perasaan percaya pada diri anak-anaknya melalui administrasi yang kualitasnya

(13)

32

merupakan kombinasi antara perhatian yang sensitif terhadap kebutuhan-kebutuhan individual si bayi dan perasaan sebagai pribadi yang dapat dipercaya yang kuat di dalam kerangka gaya hidup budaya yang dapat dipercaya. Hal itu membentuk dasar untuk perasaan

identitas di dalam diri anak yang kelak akan mengombinasikan perasaan “baik-baik saja”,

perasaan menjadi diri sendiri, dan menjadi seperti apa dirinya kelak sebagaimana yang dipercaya oleh orang-orang lain. Jadi, (di dalam batas-batas tertentu yang sebelumnya didefinisikan sebagai hal-hal yang “harus” di dalam perawatan anak) ada beberapa frustrasi di tahap-tahap selanjutnya, yang tidak dapat dipikul oleh anak yang sedang tumbuh jika frustrasinya menghasilkan pengalaman kesamaan yang semakin besar dan kontinuitas perkembangan yang semakin kuat, yang terus menerus di perbarui, menuju ke arah integrasi siklus akhir kehidupan individual dengan rasa memiliki yang lebih luas dan bermakna. Orangtua tentu bukan hanya memiliki cara-cara tertentu untuk membimbing melalui larangan dan ijin; mereka juga harus mampu merepresentasikan kepada anak tentang sebuah keyakinan yang mendalam, yang nyaris somatis, bahwa ada makna untuk hal-hal yang sedang mereka lakukan. Akhirnya anak-anak menjadi neurotik bukan karena frustrasi, tetapi karena kurang atau hilangnya makna sosial untuk frustrasi-frustrasinya8.

Menurut pendapat dari Laura Berk kepercayaan vs. ketidapercayaan dasar erikson, erikson menerima penekanan Freud pada pentingnya hubungan orangtua-bayi selama penyusuan, tapi dia memperluas dan memperkaya pandangan Freud ini. Hasil baik selama masa bayi, Erikson percaya, tidak bergantung pada jumlah makanan atau stimulasi oral yang ditawarkan, melainkan pada kualitas pengasuhan: mengurangi ketidaknyamanan dengan segera dan sepeka mungkin, menggendong bayi dengan lembut, menunggu dengan sabar

(14)

33

sampai bayi cukup menyusu, dan menyapihnya bila bayi tampak tidak berminat pada ASI atau susu botol.

Menurut Erikson, mustahil orangtua bisa memenuhi semua kebutuhan bayi. Banyak faktor yang memengaruhi kebahagiaan pribadi, kondisi hidup saat ini (misalnya, bertambahnya anak kecil dalam keluarga), dan praktik budaya pengasuhan dari orang tua. Akan tetapi, bila keseimbangan pengasuhan sarat dengan perhatian dan kasih sayang, konflik psikologis di tahun pertama – kepercayaan dasar vs. ketidakpercayaan (basic trust versus mistrust) – bisa diatasi dengan baik. Bayi yang percaya berharap dunia itu baik dan menyenangkan, sehingga dia yakin untuk berpetualang dan melakukan eksplorasi di dalamnya. Bayi yang tidak percaya tidak mau mengandalkan kasih dan kebaikan hati orang lain, sehingga dia melindungi dirinya dengan menarik diri dari orang dan sesuatu di sekitarnya.9

Menurut pendapat John W. Santrock Rasa percayaMenurut Erik Erikson (1968), satu tahun pertama dalam kehidupan ditandai oleh tahap perkembangan rasa percaya versus rasa tidak percaya (trust-versus mistrust). Bayi tadinya merasakan adanya kehidupan yang teratur , hangat, dan terlindungi dalam kandungan ibu, kemudian sang bayi menghadapi sebuah dunia yang kurang aman. Erikson berpendapat bahwa bayi mempelajari rasa percaya jika mereka diasuh secara konsisten dan hangat. Jika bayi tidak diberi makan dengan baik dan tidak ditempatkan dalam suasana hangat secara konsisten maka bayi cenderung mengembangkan rasa tidak percaya.

Rasa percaya versus rasa tidak percaya tidaklah sama sekalil berakhir dalam satu tahun pertama kehidupan. Rasa percaya versus rasa tidak percaya muncul lagi dalam

9Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Dari Prenatal sampai remaja(Yogyakarta:

(15)

34

tahap perkembangan selanjutnya. Sebagai contoh, anak-anak yang meninggalkan masa bayi dengan rasa percaya masih dapat memiliki rasa tidak percaya yang muncul pada tahap berikutnya, yang mungkin terjadi apabila orang tua mereka terpisah atau bercerai karena konflik berkepanjangan.

Kemandirian

(16)

35

berpendapat bahwa tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi penting bagi perkembangan individu di masa depan.

Sampai sejauh ini, kita telah berdiskusi mengenai bagaiana emosi dan kompetensi emosi berubah seiring dengan perkembangan anak-anak. Kita juga telah mengkaji peran gaya emosional; sebagai dampaknya, kita telah melihat bagaimana emosi memberikan nada-nada pada pengalaman kita. Meskipun demikian, emosi juga menuliskan liriknya karena emosi terdapat dala inti relasi kita dengan orang lain.10

2. Kanak-kanak Awal: Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu

Menurut pendapat dalam bukunya Matthew, tahap ini mencul sejak akhir tahun pertama hidup manusia, kurang lebih, sampai akhir tahun ketiga, dan berkorelasi erat dengan tahap anal perkembangan psikoseksual Freud. Selama tahap ini, anak dengan cepat belajar banyak keterampilan. Mereka belajar berjalan, memanjat, menarik, mendorong dan bicara. Secara umum, mereka belajar bagaimana menahan dan melapas sesuatu. Bukan hanya diaplikasikan ke objek-objek fisik, namun menahan dan melepas juga berkaitan dengan feses

dan urine juga. Dengan kata lain, anak sekarang bisa memutuskan ‘dari dirinya’ untuk

melakukan sesuatu atau tidak. Kalau begitu anak menjadi terlibat di dalam peperangan kehendak dengan orangtuanya.

Tahap ini, kalau begitu, menjadi sangat menentukan bagi perbandingan cinta dan benci, kerjasama dan kesediaan, kebebasan mengekspresikan diri dan pensupresiannya. Dari rasa boleh mengendalikan diri tanpa harus kehilangan penghargaan diri, datanglah rasa kehendak baik dan kebanggaan yang akan berthan lama, dari hilangnya rasa boleh mengendalikan diri selain harus takluk pada kendali dari luar, datanglah rasa ragu dan rasa malu yang memberatkan. (Erikson, 1985, hlm.254).

(17)

36

Erikson mendefinisikan kehendak sebagai “kegigihan tak tertembus untuk menggunakan kehendak bebas selain juga pembatasan diri, tak peduli pengalaman rasa malu

dan ragu yang dirasakan dimasa bayi”. Sekali lagi penting untuk dicatat kalau resolusi yang

positif bagi krisis yang mencirikan di tahap ini tidak berarti anak tidak lagi mengalami rasa malu dan ragu. Sebaliknya, ego anak menjadi cukup kuat untuk menghadapi secara tepat pengalaman-pengalaman malu dan ragu yang tak terelakkan datangnya itu.

Perhatikan kalau kebajikan-kebajikan yang muncul sebagai hasil dari resolusi positif krisis-krisis ini bukan lain adalah fungsi-fungsi ego. Contohnya kebajikan harapan dan kehendak memiliki sejumlah pengaruh bagi kualitas hidup manusia namun kecil saja bagi kelangsungan hidup, artinya mereka mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan biologisnya(id), tetapi tidak sefleksibel, opyimis atau sebahagia mereka yang umumnya memiliki harapan dan kehendak.11

Otonomi vs. Rasa Malu dan Ragu menurut pandangan dari Laura berk merupakan peralihan menuju masa balita, Freud menganggap cara orangtua dalam mengajarkan buang air dengan benar (toilet training) sangat menentukan kesehatan psikologis. Akan tetapi bagi Erikson, pelatihan ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pengalaman yang berpengaruh. Penghindaran lazim oleh balita yang baru bisa berjalan dan bicara – “Tidak!”, “Akan

kulakukan sendiri” – memperlihatkan bahwa mereka telah memasuki periode munculnya rasa

percaya diri. Mereka mau melakukan sendiri bukan hanya di toilet, tetapi juga dalam situasi lain. Konflik pada diri balita, otonomi vs. rasa malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt), bisa diatasi dengan baik bila orangtua memberikan bimbingan tepat dan pilihan wajar pada anak-anak mereka. Seorang anak usia 2 tahun yang penuh percaya diri memiliki

11Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,

(18)

37

orangtua yang tidak suka mengkritik atau menyerang dia saat gagal dalam keterampilan baru

– menggunakan toilet, makan dengan sendok, atau membereskan mainan. Mereka memenuhi

tuntutan akan otonomi diri melalui toleransi dan pengertian – misalnya, memberikan tambahan waktu untuk menyelesaikan permainan sebelum berangkat ke toko grosir. Sebaliknya, bila orangtua berlebihan atau kurang dalam pengendalian, hasilnya adalah anak akan merasa terpaksa dan malu atau ragu akan kemampuannya untuk mengendalikan dorongannya dan bertindak sendiri dengan benar.

Pendek kata, kepercayaan dasar dan otonomi menumbuhkan pengasuhan hangat dan peka serta harapan wajar bagi pengendalian terhadap dorongan yang mulai muncul di tahun kedua. Bila anak memasuki beberapa tahun pertamanya tanpa rasa percaya yang cukup pada pengasuh dan perasaan positif mengenai individualitas, dia sama saja sedang menabur benih-benih masalah. Orang dewasa yang kesulitan membangun ikatan dekat, terlalu mengandalkan orang tercinta, atau terus-menerus ragu akan kemampuan diri untuk mengatasi tantangan baru, tidak akan bisa sepenuhnya menguasai tugas-tugas kepercayaan dan otonomi selama masa bayi dan balita.12

Menurut pendapat John W Shartok Otonomi versus rasa malu dan keragu-raguan (autonomy versus shame and doubt) adalah tahap kedua dari perkembangan menurut Erikson, yang berlangsung pada akhir masa bayi dan masa baru mulai berjalan (1 hingga 3 tahun). Setelah memperoleh kepercayaan dari pengasuhnya, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah keputusan mereka sendiri. Mereka mulai menyatakan rasa

12Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisis Menjelang Dewasa (Yogyakarta:

(19)

38

kemandirian atau otonominya. Jika bayi terlalu banyak dibatasi dan dihukum terlalu keras, mereka cenderung mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu.13

Kemandirian menurut John W. Santrock menurut teori Erik Erikson (1968) mengedapankan bahwa kemandirian merupakan isu yang penting pada pada tahun kedua kehidupan. Erikson menggambarkan tahap kedua perkembangan sebagai tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi dibangun seiring dengna berkembangnya kemampuan mental dan motorik. Pada tahap ini, bayi tidak hanya mampu berjalan, namun mereka juga mampu memanjat, membuka dan menutup, menjatuhkan, mendorong dan menarik, serta memegang dan melepaskan. Bayi merasa bangga dengan semua prestasi ini dan ingin melakukan segala sesuatunya sendiri, apakah itu menyiram toilet, membuka bungkusan paket, atau memutuskan apa yang hendak dimakan. Penting bagi orang tua untuk mengenali motivasi balita dalalm melakukan apa yang dapat dilakukan sesuai dengan kemampuan mereka. Mereka dapat belajar mengendalikan otot dan dorongan-dorongan mereka. Namun, ketika pengasuh tidak sabar dan melakukan hal-hal yang ebetulnya dapat dilakukan oleh balita itu sendiri maka yang berkembang adalah rasa malu dan ragu-ragu. Setiap orang tua membuat anaknya menjadi terburu-buru dari waktu ke waktu. Apabila orang tua selalu bersikap terlalu melindungi anaknya ataupun terlalu banyak mengkritik kecelakaan-kecelakaan kecil yang terjadi (misalnya, kencing di celana, bermain tanah, menumpahkan, atau memecahkan), anak tersebut akan mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu yang berlebihan mengenai kemampuan mereka untuk mengendalikan diri sendiri dan dunianya. Sebagaimana yang akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya, Erikson berpendapat bahwa tahap otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu memiliki implikasi penting bagi perkembangan individu di masa depan.

(20)

39

Sampai sejauh ini, kita telah berdiskusi mengenai bagaiana emosi dan kompetensi emosi berubah seiring dengan perkembangan anak-anak. Kita juga telah mengkaji peran gaya emosional; sebagai dampaknya, kita telah melihat bagaimana emosi memberikan nada-nada pada pengalaman kita. Meskipun demikian, emosi juga menuliskan liriknya karena emosi terdapat dala inti relasi kita dengan orang lain.14

Menurut penney upton Masa kanak-kanak awal (2 hingga 3 tahun) ini merupakan Konflik dasar otonomi versus rasa malu dan ragu, peristiwa penting latihan ke toilet, hasil anak-anak perlu mengembangkan rasa pengendalian pribadi atas keterampilan-keterampilan fisik dan rasa kemandirian. Keberhasilan tahap ini akan mendorong perasaan otonom; kegagalan menimbulkan perasaan malu dan ragu.15

Menurut William Crain Tahap umum: Otonomi vs Rasa Malu dan Ragu-ragu, Erikson mendefinisikan konflik di titik ini sebagai otonomi versus rasa malu dan ragu-ragu. Otonomi muncul dari dalam, sebuah pendewasaan biologis yang mengasuh kemampuan anak untuk melakukan segala hal dengan caranya sendiri – mengontrol otot perut mereka sendiri, berdiri di atas kaki sendiri, menggunakan tangannya sendiri, dan sebagainya. Rasa malu dan ragu-ragu, sebaliknya, datang dari kesadaran akan ekspektasi dan tekanan sosial. Contohnya, seorang gadis kecil yang mengompol di celana jadi sadar diri, khawatir kalau orang lain melihatnya dalam kondisi itu. Rasa ragu berasal dari kesadaran bahwa dirinya tidak begitu berkuasa, sehingga orang lain bisa mengontrol dia dan bertindak lebih baik daripada dia.

Harapan idealnya, anak bisa belajar menyesuaikan diri dengan aturan-aturan sosial tanpa banyak kehilangan pemahaman awal mereka mengenai otonomi. Orang tua di sejumlah budaya berusaha membantu anak mereka mengalami hal ini. Dengan lembut mereka

(21)

40

berusaha membantu anak belajar perilaku sosial tanpa menghancurkan independensinya. Namun sayang, orang tua lain tidak sesensitif ini, malah mempermalukan anak mereka secara berlebihan, contohnya saat mereka buang angin. Orang tua mematahkan hati anak dengan sikap bermusuhan, atau menertawakan upaya mereka melakukan hal-hal tertentu dengan caranya sendiri. Dalam kondisi yang demikian, anak bisa mengembangkan rasa malu dan ragu-ragu yang abadi, yang ujung-ujungnya malah menggiring impuls-impuls mereka kepada pembatasan diri sendiri.

Maka mereka akan mengembangkan kekuatan ego dalam bentuk kehendak yang

kokoh. “Kehendak”, kata Erikson, “merupakan kebulatan tekad yang tidak bisa dipatahkan

untuk melatih pilihan bebas dan pengendalikan diri” (1964, h.119). Erikson memasukkan

pengendalian-diri di dalam definisi ini karena percaya bahwa penting bagi anak untuk belajar mengontrol ipuls-impuls mereka sendiri, dan menentukan apa yang tidak pantas (tidak boleh) dilakukan. Jadi anaklah yang seharusnya berinisiatif demikian – bukannya kekuatan eksternal.16

Menurut Jess Feist dan georgry Otonomi versus Rasa Malu dan Ragu-Ragu menurut teori erikson, jika masa kanak-kanak awal adalah waktunya pengekspresian-diri dan otonomi, maka ini juga menjadi waktu bagi rasa malu dan ragu-ragu (shame and doubt) saat anak-anak gigih untuk mengekspresikan ode muskuler-uretra-anal, mereka tampaknya menemukan sebuah budaya yang berusaha melarang sejumlah pengekspresian-diri seperti itu. Orangtua mungkin mempermalukan anak ketika mereka mengotori celana dengan urin atau feses, atau ketika mereka mengacak-acak makanan mereka. Orangtua bisa juga menanamkan keraguan dengan mempertanyakan kemampuan anak-anak untuk memenuhi standar-standar orangtua.

(22)

41

Konflik antara otonomi dan rasa malu dan keraguan ini menjadi krisis psikososial utama masa kanak-kanak awal.

Idealnya, anak-anak harus mengembangkan sebuah proporsi yang tepat antara otonomi dan rasa malu dan keraguan, dan proporsi ini mestinya mendukung otonomi-kualitas sintonik masa kanak-kanak awal. Anak-anak yang terlalu sedikit mengembangkan otonomi akan mengalami kesulitan-kesulitan di tahap-tahap selanjutnya, kehilangan kesempatan untuk meraih kekuatan dasar tahap-tahap berikutnya.

Otonomi berkembang dari rasa percaya mendasar. Jika rasa percaya mendasar sudah terbangun pada masa bayi, anak-anak akan belajr untuk memiliki keyakinan pada diri mereka sendiri, dan dunia mereka akan tetap utuh sekalipun anak-anak mengalami krisis psikososial ringan. Jika mereka tidak dapat mengembangkan rasa percaya menasr selama masa bayi, maka upaya-upaya untuk meraih kendali atas organ-organ otot anal dan uretra selama masa kanak-kanak awal akan menemui perasaan malu dan ragu-ragu yang kuat, menyiapkan tahapan bagi sebuah krisis psikososial yang serius. Rasa disingkapkan. Rasa ragu, di sisi lain, adalah perasaan tidak pasti, perasaan bahwa sesuatu masih tetap tersembunyi dan tidak bisa dilihat. Rasa malu dan ragu-ragu adalah kualitas distonik, dan keduanya tumbuh dari rasa tidak percaya mendasar yang sudah terbentuk pada masa bayi.

Kehendak: Kekuatan Dasar Masa Kanak-Kanak Awal

(23)

42

Kehendak yang terlalu sedikit dan kompulsivitas yang terlalu banyak akan terbawa ke dalam usia bermain sebagai lemahnya tujuan, dan ke dalam usia sekolah sebagai kurangnya rasa percaya diri.17

Menurut bukunya Erik H erikson otonomi versus rasa malu dan ketidapercayaan. Tahap ini menjadi penentu bagi rasio antara cinta dan benci, kerja sama dan keras kepala, kebebasan untuk mengekspresikan diri dan menekannya. Dari perasaan pengendalian diri tanpa kehilangan penghargaan diri timbul perasaan kehilangan penghargaan diri timbul perasaan akan keinginan kontrol diri dan perasaan bangga yang abadi; dari perasaan kehilangan kontrol diri dan perasaan terlalu dikuasai orang lain timbul kecenderungan abadi untuk selalu ragu-ragu dan malu.

Jika, bagi sebagian pembaca, potensi-potensi “negatif” tahapan-tahapan kami tampak mendapat penekanan yang terlalu keras, kami harus mengingatkan bahwa hal itu bukan hanya akibat dari terpreokupasi dengan data klinis. Orang dewasa, yang tampaknya matang dan tidak neurotik, menunjukkan sensitivitas tentang kemungkinan timbulnya rasa malu

karena “kehilangan muka” dan ketakutan untuk “diserang dari belakang”, yang bukan hanya

tidak rasional dan berlawanan dengan pengetahuan yang mereka miliki, tetapi juga dapat menjadi makna yang menentukan bila sentimen-sentimen yang terkait memengaruhinya, misalnya kebijakan antarras dan internasional.

Perasaan memiliki martabat yang sah dan kebebasan yang sah secara hukum di pihak orang-orang dewasa di sekitarnya memberikan ekspektasi yang pasti kepada anak yang berkemauan baik bahwa jenis otonomi yang dibantu perkembangnya pada masa kanak-kanak tidak akan menghasilkan keragu-raguan atau rasa malu yang tidak semestinya di kehidupan dewasanya kelak. Jadi, perasaan otonomi yang dibantu perkembangannya pada anak dan

(24)

43

dimodifikasi sepanjang hidupnya akan membantu (dan dibantu oleh) terpeliharanya rasa keadilan di dalam kehidupan ekonoi maupun politik.18

3. Usia Prasekolah: Inisiatif versus Rasa Bersalah

Menurut Matthew dalam teori EriksonTahap ini muncul dari sekitar tahun keempat sampai tahun kelima, dan berkorelasi dengan tahap falik perkebangan psikoseksual Freud.

Menurut Ericson, anak ditahap ini “siap untuk mengembangkan sebuha keingintahuan yang

tidak kenal lelah tentang perbedaan-perbedaan ukuran pada umumnya, dan perbedaan jenis kelamin pada khususnya.. belajar sekarang semakin aktif dan detail; membawa dia menjauh dari keterbatasan dirinya menuju kemungkinan-kemungkinan di masa depan”(1959, hlm.76).

Ditahap ini batas-batas dites untuk dipelajari apa saja yang diperbolehkan dan apa saja yang tidak. Jika orangtua menguatkan perilaku dan fantasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rasa isnisiatif yang sehat. Namun, jika orang tua mengolok, mengejek, tidak memedulikan atau memarahi perilaku dan imajinasi yang diinisiatifkan sendiri oleh anak, mereka akan meninggalkan tahap ini dengan rendahnya rasa kemandirian. Bukannya bersemangat mengambil inisiatif, mereka cenderung mengalami rasa bersalah ketika melakukan perilaku-perilaku jenis itu dan karenanya, cenderung menjalani hidup dalam batas-batas sempit yang ditetapkan orang lain bagi mereka. Erikson mendefinisikan tujuan sebagai “keberanian untuk merancang dan mengejar tujuan-tujuan bernilai yang tidak akan bisa terhambat oleh dikalahkannya fantasi-fantasi

infantil, oleh rasa bersalah, dan oleh rasa takut yang teramat sangat akan penghukuman”

(25)

44

(1964, hlm. 122). Anak-anak yang secara positif menyelesaikan krisis-krisis di tiga tahap pertama ini akan memiliki kebajikan-kebajikan berupa harapan, kehendak dan tujuan.19

Dalam bukunya laura berk di dalam teori Erikson: Inisiatif vs. Rasa Bersalah, Erikson (1950) menguraikan masa kanak-kanak awal sebagai periode “penuh semangat”. Setelah anak-anak memiliki rasa otonomi, mereka menjadi sedikit lebih tenang dibanding ketika balita. Energi mereka tercurahkan untuk mengatasi konflik psikologis selama masa prasekolah: inisiatif vs. rasa bersalah (iniative versus guilt). Seperti bisa dilihat dari kata initiative versus guilt). Seperti bisa dilihat dari kata initiative, anak-anak memiliki rasa kebertujuan. Mereka ingin sekali melakukan tugas-tugas baru, mengikuti aktivitas teman sebaya, dan mencari tahu apa yang bisa mereka lakukan dengan bantuan orang dewasa. Mereka juga mengalami kemajuan dalam perkembangan kesadaran diri.

Erikson menganggap permainan sebagai cara anak-anak belajar tentang diri dan dunia sosial mereka. Permainan memberikan kesempatan pada anak-anak prasekolah untuk mencoba berbagai keterampilan baru dengan sedikit risiko gagal dan menerima kritik. Permainan juga menciptakan sebuah organisasi sosial kecil anak-anak yang harus bekerja sama demi mencapai peran keluarga dan pekerjaan yang sangat jelas – polisi, dokter, dan perawat dalam masyarakat Barat, pemburu kelinci dan pembuat tembikar dalam masyarakat Suku India Hopi, tukang bangunan dan pembuat tombak dalam masyarakat baka di Afrika Barat (Goncu, Patt, & Kouba, 2004).

Ingat bahwa teori Erikson dibangun di atas tahapan psikososial Freud (lihat Bab 1). Dalam konflik Oedipus dan Electra Freud, untuk menghindari hukuman dan memelihara kasih sayang orangtua, anak-anak membentuk superego (superego), atau hati nurani, melalui

19 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,

(26)

45

identifikasi dengan orangtua berjenis kelamin sama. Walhasil, mereka mengadopsi standar peran gender dan moral dari masyarakat mereka. Setiap kali anak melanggar standar hati nurani, dia akan merasa bersalah. Bagi Erikson, dampak negatif masa kanak-kanak awal adalah terlalu ketatnya superego sehingga anak-anak merasa sangat bersalah karena mereka terlalu sering ditekan, dikritik, dan dihukum oleh orang dewasa. Bila ini terjadi, permainan dan upaya anak-anak prasekolah untuk menguasai tugas-tugas baru menjadi berantakan.

Meskipun gagasan Freud tidak lagi diterima sebagai penjelasan yang memadai mengenai perkembangan hati nurani, gambaran Erikson tentang inisiatif mampu menangkap berbagai perubahan kehidupan emosional dan sosial pada diri anak-anak. Sejatinya, masa kanak-kanak awal adalah sebuah masa ketika anak-anak mengembangkan citra diri yang penuh dengan rasa percaya diri, pengendalian lebih efektif atas emosi mereka, keterampilan sosial baru, landasan moralitas, dan pemahaman jelas tenang diri sendiri sebagai seorang anak laki-laki atau perempuan.20

Menurut bukunya Laura berk diambil dalam Teori Erikson: Inisiatif vs Rasa Bersalah dalam bukunya perubahan kepribadian apa saja yang terjadi selama tahapan inisiatif vs. rasa bersalah Erikson?

Gambaran Erikson mengenai inisiatif vs rasa bersalah (initiative versus guilt) menangkap perubahan emosional dan sosial selama masa kanak-kanak awal. Pikiran sehat mengenai inisiatif bergantung pada eksplorasi dunia sosial melalui permainan, pembentukan nurani melalui identifikasi dengan orantua dari jenis kelamin yang sama, dan penerimaan terhadap pengasuhan yang mendukung.21

20Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2012) p.342-343

21Laura E. Berk. Development Through The Lifespan. Edisi Kelima Transisi Menjelang Dewasa (Yogyakarta:

(27)

46

Menurut John W santrock Prakarsa versus rasa bersalah (initiative versus guilt), yang merupakan tahap ketiga dari perkembangan menurut Erikson, berlangsung selama masa prasekolah. Ketika anak-anak prasekolah mulai memasuki dunia sosial yang luas, mereka dihadapkan pada tantangan-tantangan baru yang menuntut mereka untuk mengembangkan perilaku yang aktif dan bertujuan. Anak-anak diharapkan mampu bertanggung jawab terhadap tubuh, perilaku, mainan, dan hewan peliharaan mereka. Namun, perasaan bersalah dapat muncul apabila anak dianggap tidak bertanggung jawab dan menjadi sangat cemas.22

Menurut John W shartoc Inisiatif versus Rasa Bersalah dalam tahapan Erikson, menurut delapan tahap perkembangan Erik Erikson (1968) yang terjadi selama periode tertentu di masa hidup manusia. Dua tahap pertama erikson, percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust), dan autonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, menjelaskan apa yang Erikson sebut sebagai tugas perkembangan utama di masa bayi. Perkembangan psikososial Erik Erikson terkait dengan tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) di masa kanak-kanak awal. Mulai sekarang, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri mereka sendiri; selam amasa kanak-kanak awal, ereka mulai menemukan pribadi yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu terlihat kuat dan cantik; meskipun sering kali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki kelebihan energi yang memungkinkan mereka melupakan kegagalan-kegagalannya dengan cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik – bahkan meskipun area-area itu terlihat berbahaya – tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap ini dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia

(28)

47

sosial yang lebih luas. Inisiatif ini dipimpin oleh suara hati (conscience). Inisiatif dan antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan–diri.23

Menurut bukunya Penney upton Prasekolah (3 hingga 5 tahun), Konflik dasar inisiatif versus rasa bersalah, peristiwa penting eksplorasi, hasil anak-anak perlu mulai menunjukkan kendali dan kekuasaan atas lingkungan. Keberhasilan dalam tahap ini akan mendorong rasa bertujuan. Anak-anak yang berusaha menunjukkan kekuasaan berlebihan akan mengalami penolakan, yang menimbulkan rasa bersalah.24

Menurut bukunya William CarainTahap umum: Inisiatif vs Rasa BersalahInisiatif, seperti instrusi, berarti pergerakan ke depan. Lewat inisiatif , anak membuat rencana, menetapkan tujuan dan mempunyai semangat untuk mencapainya. Saya mencatat contohnya, sejumlah aktivitas salah satu putra kami waktu berusia 5 tahun. Suatu hari dia memutuskan untuk melihat seberapa tinggi bisa menyusun mainan baloknya, kemudian menemukan permainan lain untuk seberapa tinggi dia bisa melompat dari tempat tidur orang tuanya, dan akhirnya mendorong anggota keluarga yang lain untuk melihat sebuah film baru yang kebanyakan berisi aksi dan kekerasan. Tingkah laku ini dia lakukan berdasarkan tujuan, hasrat persaingan dan kualitas imajinatif tertentu.

Di titik ini, krisis datang ketika anak mulai menyadari bahwa rencana-rencana terbesar mereka dan harapan-harapan terdalamnya hancur berantakan. Ambisi-ambisi ini tentunya ambisi odipal – keinginan untuk memiliki salah satu orang dan bersaing dengan yang satunya. Lalu anak menemukan kalau harapan-harapan ini melanggar tabu sosial dan

(29)

48

amat berbahaya dari yang bisa dia bayangkan. Karena itu, anak mulai menginternalisasikan larangan-larangan sosial – sebuah rasa bersalah pembentuk superego – demi menjaga impuls dan fantasi berbaya tetap terkendali.

Namun Erikson tidak pesimis dengan hal ini. Di amalah mengamati kalau anak-anak yang berusia 3-6 tahun, lebih dari periode waktu mana pun, sudah siap untuk belajar dengan cepat dan gigih, dan bersedia mencari cara untuk menghubungkan ambisi mereka dengan tujuan-tujuan yang berguna secara sosial (1963, h.258). orang tua bisa membantu proses ini dengan mempelunak otoritas dan memperbolehkan anak berpartisipasi dengan setara untuk menghadapi proyek-proyek kehidupan yang menarik. Lewat cara inilah, orang tua bisa membantu anak keluar dari krisis tahapan ini dengan pengertian penuh mengenai tujuan –

“keberanian untuk memimpikan dan mengejar tujuan-tujuan yang bernilai” – yang tidak akan

bisa dirusak oleh rasa bersalah maupun larangan.25

Menurut Jeast dan greogry Inisiatif versus Rasa Bersalah insiatif tak terkekang bisa maengarah kepada khaos dan pelemahan prinsip-prinsip moral. Di sisi lain, jika rasa bersalah menjadi elemen dominan, anak bisa menjadi moralistik yang kompulsif atau terlalu banyak mereka dilarang. Pelarangan/penghambatan (inhibition), yang merupakan antipati tujuan, melandasi patologi inti paa usia bermain.

Tujuan: Kekuatan Dasar Usia Bermain

Konflik inisiatif versus rasa bersalah menghasilkan kekuatan dasar berupa tujuan (purpose). Anak-anak sekarang bermain dengan suatu tujuan, bersaing di setiap permainan untuk menang atua menjadi nomor satu ketertarikan genital mereka memiliki sebuah arah, dengan ibu atau ayah yang menjadi objek hasrat-hasrat seksual mereka. Anak-anak menetapkan sasaran-sasaran mereka. Anak-anak menetapkan sasaran-sasaran dan

(30)

49

mengejarnya dengan suatu tujuan. Usia bermain juga merupakan tahapan di mana anak-anak mengembangkan suara hati dan mulai melekatkan pelabelan seperti benar dan salah paa tindakan-tindakan mereka. Suara hati anak kecil inilah yang di kemudian hari menjadi “batu

penjuru moralitas” (Erikson, 1968, hlm. 199).26

Menurut Erik H erikson Inisiatif Versus Rasa Berasalah,pada setiap diri anak, di setiap tahapnya terdapat sebuah mukjizat baru dari pembentangan yang penuh semangat, yang berupa sebuah harapan baru dan sebuah tanggung jawab baru bagi semua orang. Itu adalah perasaan dan kualitas inisiatif yang menyebar. Kriteria untuk semua perasaan dan kualitas sama: sebuah krisis, yang sedikit banyak disertai dengan meraba-raba dan ketakutan, diatasi, dala arti bahwa kepribadian dan tubuh anak tiba-tiba tampak “tumbuh bersamaan”. Ia

tampak “lebih menjadi dirinya sendiri”, lebih penyayang, rileks dan lebih cerdas dalam

membuat penilaian, lebih aktif dan mengaktifkan. Ia dirasuki oleh surplus energi yang memungkinkannya untuk melupakan kegagalan dengan cepat dan mendekati hal-hal yang tampak diinginkan (meskipun hal itu tampak tidak pasti dan bahkan berbahaya) dengan arah yang tidak dikurangi dan lebih akurat. Inisiatif menambahkan pada otonomi kualitas

menjalankan, merencanakan dan “menyerbu” sebuah tugas demi menjadi aktif dan bergerak,

yang sebelumnya kemauan sendirilah yang lebih sering menginspirasi tindakan-tindakan menentang atau memprotes independensi.

“Inisiatif” memiliki konotasi Amerika dan industri. Namun, inisiatif adalah bagian

yang dibutuhkan pada setiap tindakan, dan orang membutuhkan perasaan inisiatif untuk apa pun yang dipelajari dan dikerjakannya, mulai dari masa mengumpulkan makanan sampai masa sistem perusahaan.

(31)

50

Bahaya di dalam tahap tersebut adalah perasaan bersalah atas tujuan-tujuan yang dipikirkan dan tindakan-tindakan yang dilakukan di tengah kegembiraan yang meluap-luap karena merasa memiliki kekuatan lokomotor dan mental baru: tindakan-tindakan yang berupa manipulasi agresif dan pemaksaan yang dengan cepat melampaui kapasitas eksekutif organisme dan pikiran, oleh karenanya membutuhkan penghentian yang harus dilakukan dengan banyak tenaga atas inisiatif yang dipikirkannya.27

Menurut John . W shartok Inisiatif versus Rasa Bersalahdalam mempelajari delapan tahap perkembangan Erik Erikson (1968) yang terjadi selama periode tertentu di masa hidup manusia. Dua tahap pertama erikson, percaya versus tidak percaya (trust versus mistrust), dan autonomi versus rasa malu dan ragu-ragu, menjelaskan apa yang Erikson sebut sebagai tugas perkembangan utama di masa bayi. Perkembangan psikososial Erik Erikson terkait dengan tahap inisiatif versus rasa bersalah (initiative versus guilt) di masa kanak-kanak awal. Mulai sekarang, anak-anak menjadi lebih yakin bahwa mereka adalah diri mereka sendiri; selam amasa kanak-kanak awal, ereka mulai menemukan pribadi yang diinginkan. Secara intensif mereka mengidentifikasi kepada orang tuanya, yang hampir selalu terlihat kuat dan cantik; meskipun sering kali tidak masuk akal, tidak sependapat, dan kadangkala membahayakan. Selama kanak-kanak awal, anak-anak menggunakan keterampilan perseptual, motorik, kognitif, dan bahasa untuk melakukan sesuatu. Mereka memiliki kelebihan energi yang memungkinkan mereka melupakan kegagalan-kegagalannya dengan cepat dan mendekati area-area baru yang terlihat menarik – bahkan meskipun area-area itu terlihat berbahaya – tanpa kekurangan energi dan rasa keterarahan yang meningkat. Pada tahap ini dengan inisiatifnya sendiri, anak-anak dengan gembira bergerak menuju dunia sosial yang lebih luas. Inisiatif ini dipimpin oleh suara hati (conscience). Inisiatif dan

(32)

51

antusias mereka tidak hanya memberi reward, namun juga rasa bersalah, yang dapat menurunkan penghargaan–diri.28

4. Usia Sekolah: Kegigihan versus Inferioritas

Menurut Matthew ,tahap ini berlangsung sejak usia 6 tahun hingga sekitar 11 tahunan, berkorelasi dengan tahap latensi perkembangan psikoseksual Freud. Umumnya sebagian besar anak sibuk bersekolah di usia-usia ini, dan di tahap ini anak belajar banyak keterampilan yang dibutuhkan bagi kelangsungan ekonomi, keterampilan-keterampilan teknologis yang akan memampukan mereka menjadi anggota yang produktif dalam budaya mereka:

Panggung batin seperti dipersiapkan bagi ‘pintu masuk menuju kehidupan’, kecuali

hidup itu pertama-tama haruslah berada di dalam kehidupan sekolah, entah sekolahnya di lapangan atau hutan atau ruang kelas. Anak harus melupakan harapan dan keinginan di masa lalu, sedangkan imajinasinya yang dinamis harus dijinakkan dan ditundukkan pada hukum-hukum tentang benda-benda yang tak bernyawa – bahkan ca-lis-tung. Karena sebelum anak secara psikologis siap menjadi orangtua beneran dapat menjadi orangtua biologis lebih dulu, namun dia tetap harus mulai menjadi seorang pekerja dan penyedia yang potensial. (Erikson, 1985, hlm. 258-259).

Sekolah adalah tempat anak dilatih bagi pekerjaan di masa depan dan penyesuaian dengan budayanya. Karena kelangsungan hidup mensyaratkan kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, keterampilan sosial termasuk di antara pelajaran yang penting diajarkan sekolah. Namun, pelajaran yang paling penting yang dipelajari anak di tahap ini

adalah “kesenangan menyelesaikan tugas lewat perhatian yang terus-menerus dan

memelihara kerajinan” (Erikson, 1985, hlm. 259). Dari pelajaran ini datanglah rasa

(33)

52

kegigihan, yang menyiapkan anak untuk mencari dengan penuh kepercayaan diri tempat-tempat yang produktif di dalam masyarakat di antara individu-individu lainnya.

Jika anak tidak mengembangkan rasa kegigihan, mereka akan mengembangkan perasaan inferioritas, menyebabkan mereka hilang keyakinan akan kemampuan diri mereka untuk bisa menjadi anggota masyarakat yang memberikan sebuah kontribusi. Anak-anak

yang seperti ini cenderung mengembangkan sebuah ‘identitas negatif’, sebuah konsep yang

akan dijelaskan di dalam diskusi kita terkait tahap berikutnya.

Bahaya lain yang muncul di tahap ini adalah anak di kemudian hari terlalu melebihkan nilai dari posisi mereka di tempat kerja. Untuk orang yang seperti ini, kerja disamakan dengan hidup, dan karenanya dibutakan dari banyak aspek penting lain eksistensi manusia. “Jika ia menerima kerja sebagai satu-satunya kewajibannya, dan ‘kerja apa’ sebagai satu-satunya kriterianya tentang keberhargaan, dia dapat menjadi seorang pendukung dan budak yang tidak berpikir jernih tentang teknologi yang dikuasainya dan mereka-mereka

yang berada suatu posisi yang mengeksploitasi dirinya” (Erikson, 1985, hlm. 261). Menurut

Erikson, keterampilan yang dibutuhkan bagi pekerjaan di masa depan memang harus diperkuat di tahap ini namun bukan dengan mengabaikan atribut-atribut lain yang penting dari manusia.

Jika rasa kegigihan anak lebih besar daripada rasa inferioritasnya, mereka akan

meninggalkan tahap ini dengan kebajikan berupa kompetensi. “Kopetensi ... adalah latihan

bebas ketahanan dan kecerdasan dalam menyelesaikan tugas-tugas, tidak terhalang oleh

(34)

53

olok-olok atau kurangnya perhatian dari individu-individu yang dianggap paling penting oleh anak-anak.29

Semangat versus rasa rendah diri (industry versus inferiority) adalah tahap keempat dari perkembangan menurut Erikson dan berlangsung di masa sekolah dasar. Prakarsa anak-anak membawa mereka terlibat dalam kontak dengan pengalaman-pengalaman baru yang kaya. Ketika mereka beralih ke masa kanak-kanak pertengahan dan akhir, mereka mengarahkan energinya untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan intelektual. Tidak ada saat lain yang lebih penuh semangat atau antusiasme untuk belajar dibandingkan pada akhir periode pengembangan imajinasi pada masa kanak-kanak awal. Bahaya yang dihadapi di masa sekolah dasar adalah anak dapat mengembangkan rasa rendah diri – merasa tidak kompeten dan tidak produktif.30

Industri versus Inferioritas menjelaskan delapan tahap perkembangan manusia milik Erik Erikson (1968). Tahap keempatnya, industri versus inferioritas, terjadi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Istilah industri menunjukkan tema dominan periode ini: Anak-anak tertarik pada asal mula sebuah benda dan cara kerjanya. Ketika anak-anak didorong untuk berusaha membuat, membangun, dan menjadikan benda itu bekerja – membuat pesawat mainan, membangun rumah pohon, memperbaiki sepeda, menyelesaikan masalah, atau memasak – perasaan mereka terhadap industri meningkat. Meskipun demikian, orang tua yang menganggap usaha anak mereka dalam menciptakan sesuatu itu sebagia

“kenakalan” atau “membuat kekacauan” akan memberikan rasa interioritas pada anak.

Dunia sosial anak di luar keluarga mereka pun berkontribusi terhadap rasa industri. Sekolah menjadi sangat penting dalam hal ini. Misalkan saja anak-anak yang kecerdasannya

29 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,

Yogyakarta: 2013), 296-297

(35)

54

sedikit di bawah rata-rata. Anak-anak tersebut terlalu pandai bagi sekolah luar biasa namun kurang cerdas untuk kelas anak-anak jenius. Anak-anak tersebut sering kali tidak bagus nilainya, sehingga menimbulkan rasa inferioritas. Sebaliknya, perhatikan anak-anak yang rasa industrinya diciutkan di rumah. Guru-guru yang sensitif dan berkomitmen mungkin akan membantu mengembalikan rasa industri tersebut di sekolah (Elkind, 1970).31

Menurut penney upton,usia sekolah (6 hingga 11 tahu) Konflik dasar indistri versus inferioritas, peristiwa penting sekolah, hasil anak-anak perlu mengatasi tuntutan-tuntutan sosial dan akaemik baru. Keberhasilan memunculkan rasa berkemampuan, sedang kegagalan memunculkan peraana inferioritas.32

Tahap Latensi menurut William Crain, bahaya di tahapan ini adalah perasaan berlebih-lebihan ketidaktepatan dan inferioritas. Kebanyakan dari kita mungkin masih ingat rasa sakit dari kegagalan di kelas atau diperolok-olok di taman bermain. Namun perasaan inferior yang terlalu mendalam memiliki akar yang sangat beragam. Bisa jadi anak menemui kesulitan di tahap ini karena tidak berhasil menyelesaikan konflik di tahap-tahap sebelumnya. Contohnya, di tahap kedua seorang gadis kecil mungkin lebih banyak mengembangkan keraguan daripada otonomi, sehingga dia tidak merasa pasti akan dirinya sendiri saat berusaha menguasai tugas-tugas baru. Namun bisa juga sikap sekolah dan komunitas menghalangi perkembangan anak untuk memahami kegigihan.

Erikson (1959, h.87) berulang kali menemukan bahwa di dalam kehidupan orang-orang yang penuh inspirasi besar dan bertalenta tinggi, ternyata gurulah yang dulu sudah membuat dia merasa berbeda dan unik, dengan mendukung talenta-talentanya sewaktu dia masih kecil. Dan keberhasilan memecahkan masalah di tahap ini akan membawa anak

(36)

55

kepada penguatan ego yang disebut Erikson kompetensi – sebuah latihan intelegensia dan kemampuan secara bebas dalam menyelesaikan tugas-tugas, tanpa diganggu perasaan inferioritas y ang berlebihan (1964, h.124).33

Produktivitas versus Inferioritas (Industry vs Inferiority)

Ketidakaekuatan di tahap-tahap sebelumnya juga dapat memberikan kontribusi bagi perasaan inferioritas anak anak. Contohnya, jika anak mendapatkan terlalu banyak rasa bersalah dan terlalu sedikit tujuan selama usia bermain, mereka tampaknya akan merasa inferior gitu, kegagalan tidak bisa dielakkan. Erikson cukup optimis bahwa setiap orang akan berhasil mengatasi krisis di tahap mana pun meskipun mereka belum berhasil penuh di tahap sebelumnya.

Proporsi antara produktivitas dan inferioritas mestinya lebih mendukung kepada produktivitas. Namun inferioritas, seperti kualitas-kualitas distonik lainnya, tidak bisa dihindari. Seperti yang dikatakan Alfred Adler (Bab 3), inferioritas bisa berfungsi sebagai motivasi untuk manusia melakukan yang terbaik. Sebaliknya, terlalu tenggelam dalam inferioritas dapat memblokir aktivitas produktif dan melemahkan perasaan kompetensi manusia.

Komptensi: Kekuatan Dasar Usia Sekolah

Dari konflik produktivitas versus inferioritas, anak-anak usia sekolah mengembangkan kekuatan dasar kompetensi-yaitu kepercayaan diri menggunakan kemampuan fisik dan kognitif untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di usia sekolah.

Jika perjuangan antara produktivitas dan inferioritas terlalu mengarah kepada inferioritas atas produktivitas yang berlebihan, anak-anak akan cenderung mudah menyerah

(37)

56

dan mundur ke tahap perkembangan sebelumnya. Mereka bisa jadi terlalu asyik dengan fantasi-fantasi genital dan Oedipal infantilnya, dan menghabiskan banyak waktu dalam permainan yang tidak produktif. Regresi ini disebut kelembaman/inersia (inertia), antitesis dari kompetensi dan menjadi patologi inti usia sekolah.34

Menurut pendapat Erik H Erikson produktivitas versus inferioritas, tahap batin ini

tampaknya semua merupakan persiapan untuk “memasuki kehidupan”, kecuali bahwa

kehidupan yang pertama haruslah kehidupan sekolah, terlepas apakah sekolah adalah sebuah ladang atau hutan atau ruang kelas. Anak harus melupakan harapan-harapan dan keinginan-keinginannya di masa lalu, sementara imajinasi mereka yang tumbuh subur dijinakkan dan diikatkan pada hukum benda-benda yagn bersifat umum – Three R’s (Tiga R, Reading, wRiting, aRithmetics, membaca, menulis, berhitung). Hal ini karena sebelum anak, yang secara psikologis sudah menjadi orangtua yang belum sempurna, dapat menjadi seorang orangtua biologis, ia harus mulai dengan menjadi seorang pekerja dan penyedia potensial.

Di semua budaya, anak-anak pada tahap ini menerima instruksi sistematik tertentu, meskipun, seperti yang kita lihat di bab tentang orang-orang Indian Amerika, belum tentu selalu dalam bentuk sekolah yang oleh orang-orang yang melek huruf harus diorganisasikan di seputar guru-guru khusus yang harus belajar tentang bagaimana cara mengajarkan melek huruf.

Bahaya anak, pada tahap ini, terletak pada perasaan tidak adekuat dan inferioritas. Kalau ia putus asa dengan alat-alat dan keterampilan-keterampilannya atau statusnya di antara partner-partner alatnya, ia mungkin kehilangan semangat untuk mengidentifikasikan diri dengan mereka dan dengan salah satu bagian dunia alat. Kehilangan harapan akan

asosiasi “industrial” seperti itu dapat mendorongnya kembali ke persaingan familiar yang

(38)

57

lebih terisolasi dan kurang sadar alat seperti masa oedipalnya dulu. Keputusasaan anak atas perlengkapannya di dunia alat dan di dalam anatomi, dan menganggap dirinya dijebloskan ke keadaan yang sedang-sedang saja atau tidak adekuat.

Di bagian sebelumnya kami telah menyebutkan tentang bahaya yang mengancam individu dan masyarakat ketika anak sekolah mulai merasa bahwa warna kulitnya, latar belakang orangtuanya, atau gaya pakaiannya, dan bukan keinginan dan kemauannya utnuk belajar, yang akan menentukan harga dirinya sebagai pelajar, perasaan identitas dirinya.35

Menurut John W. Sartock Industri versus Inferioritas, menjelaskan delapan tahap perkembangan manusia milik Erik Erikson (1968). Tahap keempatnya, industri versus inferioritas, terjadi selama masa kanak-kanak pertengahan dan akhir. Istilah industri menunjukkan tema dominan periode ini: Anak-anak tertarik pada asal mula sebuah benda dan cara kerjanya. Ketika anak-anak didorong untuk berusaha membuat, membangun, dan menjadikan benda itu bekerja – membuat pesawat mainan, membangun rumah pohon, memperbaiki sepeda, menyelesaikan masalah, atau memasak – perasaan mereka terhadap industri meningkat. Meskipun demikian, orang tua yang menganggap usaha anak mereka

dalam menciptakan sesuatu itu sebagia “kenakalan” atau “membuat kekacauan” akan

memberikan rasa interioritas pada anak.

Dunia sosial anak di luar keluarga mereka pun berkontribusi terhadap rasa industri. Sekolah menjadi sangat penting dalam hal ini. Misalkan saja anak-anak yang kecerdasannya sedikit di bawah rata-rata. Anak-anak tersebut terlalu pandai bagi sekolah luar biasa namun kurang cerdas untuk kelas anak-anak jenius. Anak-anak tersebut sering kali tidak bagus nilainya, sehingga menimbulkan rasa inferioritas. Sebaliknya, perhatikan anak-anak yang

(39)

58

rasa industrinya diciutkan di rumah. Guru-guru yang sensitif dan berkomitmen mungkin akan membantu mengembalikan rasa industri tersebut di sekolah (Elkind, 1970).36

5. Remaja: Identitas versus kebingungan Peran

Menurut Matthew dalam teori erikson,tahap ini muncul antara usia 12 sampai 20 tahun, berkorelasi dengan tahap genital perkembangan psikoseksual Freud. Erikson menjadi terkenal lantaran deskripsinya tentang tahap psikososial yang ini, persisnya karena di dalamnya mengandung konsepnya yang paling terkenal, krisis identitas.

Erikson yakin tahap ini merepresentasikan periode transisi antara masa kanak-kanak dan masa dewasa. Di tahap-tahap sebelumnya, anak belajar siapa diri mereka dan apa yang dapat mereka lakukan, yaitu berbagai peran yang tersedia bagi mereka. Di tahap ini anak harus hati-hati mempertimbangkan semua informasi yang sudah dikumpulkan tentang diri dan masyarakat mereka, dan akhirnya mengikatkan diri mereka pada komitmen sejumlah strategi untuk menjalani hidup. Meraih sebuah identitas namun bukan seperti yang sudah dimilikinya. Erikson menyebut interval antara remaja sampai dewasa ini moratorium psikososial. Erikson (1964) mendeskripsikan dengan gamblang apa persisnya periode antara kanak-kanak dan dewasa ini seperti berikut:

Seperti pemain trapeze, anak muda berada di tengah gerakan yang berisiko, melepaskan pegangannya terhadap kanak-kanak dan melompat untuk meraih suatu pegangan yang kukuh di masa dewasa, bergantung interval napasnya antara masa lalu dan masa depan, dan bergantung reliabilitas hal-hal yang harus dilepaskan dan orang-orang yang akan

‘menerima’ mereka di ujung sana. (hlm. 90).

Karena identigas adalah sebuah konsep yang sangat kompleks, ia menganggap memang harus didekati dari banyak sudut.

(40)

59

Jika seorang dewasa muda tidak meninggalkan tahap ini dengan sebuah identitas, mereka akan meninggalkannya dengan sebuah kebingungan peran, bahkan mungkin dengan sebuah identitas negatif. Kebingungan peran dicirikan oleh ketidakmampuan memilih suatu peran di dalam hidup, karenanya memperpanjang moratorium psikologis hingga waktu tak terhingga, atau melakukan sejumlah komitmen yang dibuat-buat yang segera ditinggalkannya untuk membuat komitmen lain yang juga direka-reka. Sedangkan Erikson mendefinisikan

identitas negatif sebagai “identitas yang dibelokkan dari semua identifikasi dan peran yang,

di tahap kritis perkembangan, sudah dinilainya tidak diinginkan atau berbahaya namun

menjadi yang paling nyata untuk dikejarnya” (1959, hlm. 131).

Jika anak-anak muda muncul dari tahap ini dengan identitas positif lebih daripada kebingungan peran atau identitas negatif, mereka juga akan muncul dengan kebajikan yang

disebut kesetiaan. Erikson mendefinisikan kesetiaan sebagai “kemampuan untuk

mempertahankan loyalitas dengan janji yang bebas diberikannya tak peduli kotnradiksi tak terelakkan dari sistem-sistem nilai tertentu” (1964, hlm. 125).

Tahap-tahap yang mendahului tahap ini menyediakan bagi anak kualitas-kualitas di mana sebuah identitas dapat diperoleh. Di tahap ini, seseorang harus mensintesis informasi ini. Berkembangnya sebuah identitas menandai akhir dari masa kanak-kanak dan dimulainya masa dewasa. Dari titik ini ke depan, hidup tak lebih dari bertindak sesuai identitas tersebut.

Sekarang karena seseorang ‘tahu siapa dirinya’, tugas di dalam hidup adalah

mengembangkan ‘diri’ itu seoptimal mungkin di sisa hidupnya.

(41)

60

permainan bagi hidup, ia memberikan makna hidupnya. Sebuah identitas tidak dapat muncul sampai sebuah ideologi memampukan integrasi yang seperti itu. Sebuah ideologi yang dipilih bisa bersifat religius, politis atau filosofis. Satu-satunya syarat adalah bertindak sesuai ideologi ini lebih jauh entah dalam tujuan pribadi maupun budayanya.

Ritualisasi yang berlebihan atas ideologi akan menghasilkan ritualisme totalisme. Totalisme melibatkan sebuah komitmen yang mutlak terhadap ideologi-ideologi yang terlalu simplistik. Contohnya, para remaja mungkin menerima nilai-nilai yang disuarakan oleh

berbagai ‘pahlawan’ di pemujaan religius, kelompok musik, kultur narkoba, para atlet, para

gangster, aktor film, atau kelompok-kelompok politik. Menurut Erikson, ketika para remaja terlalu mengidentifikasi diri dengan kelompok atau individu tersebut, ini karena sepertinya mereka bisa menyediakan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan hidup yang paling mereka rasakan sulit.

Penting untuk diingat bahwa menurut prinsip epigenetik, semua krisis muncul di semua tahap perkembangan. Contohnya, krisis identitas eksis pada anak muda seperti juga pada orang dewasa, namun yang membedakan adalah tingkat kematangannya mencari resolusi. Karena alasan-alasan biologis, psikologis dan sosial, hanya di masa remaja krisis identitas muncul di titik krisisnya.37

Menurut Laura Berk diambil dari teori Erikson: Identitas vs. Kegamangan Peran. Erikson (1950, 1968) adalah orang pertama yang menganggap identitas (identity) sebagai pencapaian pribadi utama di usia remaja dan sebagai langkah penting menuju sosok dewasa yang produktif dan berguna. Pembentukan identitas melibatkan pendefinisian tentang siapa diri Anda, apa yang Anda hargai, dan arah yang Anda pilihan dalam menjalani hidup.

37 Matthew H. Olson B.R. Hergenhahn, Pengantar Teori-Teori Kepribadian, Edisi Kedelapan (Pustaka Pelajar,

Gambar

Tabel . Pentahapan Freud dan Erikson

Referensi

Dokumen terkait

Permintaan virtual machine dalam jumlah yang lebih dari satu dengan spesifikasi yang berbeda dapat menghambat kinerja administrator jika dilakukan secara manual. Kebutuhan

13 Dalam masyarakat ini, perkembangan kemandirian yang diakibatkan oleh perkembangan pembagian kerja menimbulkan kesadaran-kesadaran individual yang lebih mandiri, akan

Pada stage ini pemain akan menghadapi musuh dengan tingkat kesulitan normal, stage ini lebih sulit dibandingkan dengan stage yang mudah.. Jika pemain tidak dapat

Jika ada proses pengisian maka di sudut kanan akan muncul sumber pengisian huruf “S” untu panel surya dan huruf “P” untuk listrik PLN 7. Proses akan berlangsung

kebersamaan (kebutuhan sosial), maka akan memberikan dampak yang positif bagi pendeta dalam bekerja, salah satunya. puas terhadap pekerjaan

Jadi, jika bilangan pertama bernilai negatif lebih besar dari penjumlahan bilangan kedua yang benilai positif maka hasil dari penjumlahan tersebut dikatakan

99 Individu dengan harga diri yang tinggi memiliki gaya hidup positif, memahami diri sendiri dan orang lain secara positif, memiliki prestasi. yang tinggi,

Faktor perencanaan supervisi akademik oleh kepala sekolah akan sangan berpengaruh terhadap keberhasilak supervisi akademik secara berkesinambungan, jika tanpa perencanaan supervisi