• Tidak ada hasil yang ditemukan

Formulasi dan Evaluasi Emulgel Tabir Surya dari Oksibenzon dan Oktilmetoksisinamat Menggunakan Kombinasi Tween 80 dan Span 80

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Formulasi dan Evaluasi Emulgel Tabir Surya dari Oksibenzon dan Oktilmetoksisinamat Menggunakan Kombinasi Tween 80 dan Span 80"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kulit

Kulit merupakan “selimut” yang menutupi permukaan tubuh dan memiliki

fungsi utama sebagai pelindung dari berbagai macam gangguan dan rangsangan luar. Fungsi perlindungan ini terjadi melalui sejumlah mekanisme biologis, seperti pembentukan lapisan tanduk secara terus-menerus (keratinasi dan pelepasan sel-sel yang sudah mati), respirasi dan pengaturan suhu tubuh, produksi sebum dan keringat, dan pembentukan pigmen melanin untuk melindungi kulit dari bahaya sinar ultraviolet matahari, sebagai peraba dan perasa, serta pertahanan terhadap tekanan dan infeksi dari luar (Tranggono dan Latifah, 2007).

Kulit terbagi atas dua lapisan utama, yaitu :

1. Epidermis (kulit ari), sebagai lapisan yang paling kuat 2. Dermis (korium, kutis, kulit jangat)

Dibawah dermis terdapat subkutis atau jaringan lemak di bawah kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

2.2 Tabir surya

Kosmetik tabir surya dianjurkan di negara-negara yang penuh sinar matahari. Fungsi tabir surya adalah untuk melindungi kulit dari radiasi ultraviolet dalam sinar matahari yang dapat menimbulkan berbagai kerusakan pada kulit, seperti penuaan dini, kekeringan, hiperpigmentasi, sampai kanker kulit (Tranggono dan Latifah, 2007).

(2)

daerah panjang gelombang ultraviolet sehingga dapat mencegah terjadinya gangguan kulit karena cahaya matahari (Ditjen, POM., 1985).

2.2.1 Sinar ultraviolet

Adapun pembagian sinar ultraviolet berdasarkan panjang gelombang adalah :

1. Ultraviolet A

Ultraviolet A adalah sinar dengan panjang gelombang antara 320 - 400 nm, dapat menyebabkan warna coklat pada kulit tanpa menimbulkan kemerahan sebelumnya disebabkan oleh adanya oksidasi melanin.

2. Ultarviolet B

Ultraviolet B adalah sinar dengan panjang gelombang antara 280 - 320 nm, dapat menimbulkan sengatan surya dan terjadi reaksi pembentukan melanin.

3. Ultraviolet C

Ultraviolet C adalah sinar dengan panjang gelombang di bawah 280 nm, dapat merusak jaringan kulit, tetapi sebagian besar telah tersaring lapisan ozon dalam atmosfer (Ditjen, POM., 1985).

2.2.2 Jenis tabir surya

Adapun jenis tabir surya meliputi :

(3)

menghalangi UVA penyebab direct tanning, kerusakan sel elastin, dan timbulnya kanker.

2. Tabir surya fisik, misalnya titanium dioksida, Mg silikat, seng oksida, dan kaolin, yang dapat memantulkan sinar ultraviolet. Tabir surya fisik dapat menahan UVA maupun UVB (Wasitaatmadja, 1997).

Tabel 2.1 Bahan aktif tabir surya yang diizinkan untuk digunakan

Bahan aktif tabir surya

Oktisalat (Oktil salisilat) 5 5

Oksibenzon 6 10

(trietanolamin salisilat) 12 -

Zink Oksida 25 -

(4)

Untuk mengoptimalkan kemampuan dari tabir surya sering dilakukan kombinasi antara tabir surya kimia dan tabir surya fisik, bahkan ada yang menggunakan beberapa macam tabir surya dalam satu sediaan kosmetika (Wasitaatmadja, 1997).

Kemampuan menahan sinar ultraviolet dari tabir surya dinilai dalam faktor proteksi sinar (Sun Protecting Factor/SPF) yaitu perbandingan antara dosis minimal yang diperlukan untuk menimbulkan eritema pada kulit yang diolesi oleh tabir surya dengan yang tidak. Nilai SPF ini berkisar antara 0 sampai 100. Pathak membagi tingkat kemampuan tabir surya sebagai berikut :

1. Minimal, bila SPF antara 2-4, contoh salisilat, antranilat 2. Sedang, bila SPF antara 4-6, contoh sinamat, benzofenon 3. Ekstra, bila SPF antara 6-8, contoh derivate PABA 4. Maksimal, bila SPF antara 8-15, contoh PABA

5. Ultra, bila SPF lebih dari 15, contoh kombinasi PABA, non-PABA, dan fisik (Wasitaatmadja, 1997).

2.3 SPF (Sun Protecting Factor)

Efektivitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah satunya adalah dengan nilai Sun Protecting Factor (SPF), yang didefenisikan sebagai jumlah energi UVB yang dibutuhkan untuk mencapai minimal erythema dose

(MED) pada kulit yang dilindungi oleh suatu tabir surya, dibagi dengan jumlah energi UVB yang dibutuhkan untuk mencapai MED pada kulit yang tidak diberikan perlindungan (Dutra, et al., 2004).

Secara sederhana SPF dapat dirumuskan sebagai berikut :

(5)

Minimal erythema dose (MED) didefenisikan sebagai jangka waktu terendah atau dosis radiasi sinar UV yang dibutuhkan untuk menyebabkan terjadinya erythema pada kulit yang tidak diberikan perlindungan (Dutra, et al., 2004).

Mansur et al (1986), mengembangkan suatu persamaan matematis untuk mengukur nilai SPF secara in vitro dengan menggunakan spektrofotometer. Persamaannya adalah sebagai berikut : Abs = Serapan produk tabir surya CF = Faktor koreksi

2.4 Efek Sinar Matahari Terhadap Kulit

(6)

cokelat kemerahan. Pada dasarnya timbulnya warna cokelat kemerahan merupakan reaksi perlindungan terhadap kerusakan akibat sinar matahari (Ditjen, POM., 1985).

Penyinaran matahari yang sedang, secara psikologi dan fisiologi akan menimbulkan rasa nyaman dan sehat, dapat merangsang peredaran darah serta meningkatkan pembentukan hemoglobin (Ditjen, POM., 1985).

Penyinaran matahari mempunyai efek yang merugikan, baik yang singkat maupun yang lanjut. Penyinaran matahari yang singkat pada kulit dapat menyebabkan kerusakan epidermis sementara, gejalanya biasa disebut sengatan surya. Sinar matahari dapat menyebabkan erythema ringan hingga luka bakar yang nyeri pada kasus yang lebih parah. Umumnya, erythema tersebut terjadi 2-3 jam setelah sengatan surya. Penyinaran yang lama akan mengakibatkan perubahan degeneratif pada jaringan pengikat dalam korium. Keadaan tersebut menyebabkan kulit akan menebal, kehilangan kekenyalan sehingga kulit terlihat keriput disebabkan karena kulit kehilangan kapasitas ikat-air (Ditjen, POM., 1985).

2.5 Oksibenzon

Gambar 2.1 Rumus bangun Oksibenzon (Sumber : USP 26-NF 21, 2003). Rumus Molekul : C14H12O3

Berat Molekul : 228,25 g/mol

(7)

Oksibenzon merupakan turunan dari benzofenon. Tabir surya benzofenon memiliki absorbansi pada panjang gelombang lebih besar dari 320 nm dan digolongkan sebagai tabir surya UVA. Oksibenzon ini banyak digunakan dengan konsentrasi mencapai 10% dengan dikombinasi dengan tabir surya UVB untuk memberikan spektrum perlindungan (Butler, 2000). Menurut FDA (American Standard) penggunaan oksibenzon mencapai konsentrasi maksimal hanya 6% (Barel, et al., 2001).

2.6 Oktilmetoksisinamat

Gambar 2.2 Rumus bangun Oktilmetoksisinamat (Sumber : Budavari, 2001).

Rumus Molekul : C18H26O3

Berat Molekul : 290,40 g/mol

Kelarutan : Larut dalam minyak (lipofilik) (Barel, et al., 2001). Oktilmetokisinamat adalah bahan yang paling banyak digunakan dalam sediaan tabir surya. Oktilmetoksisinamat tergolong dalam tabir surya kimia yang melindungi kulit dengan cara menyerap energi dari radiasi UVB (Barel, et al., 2001).

2.7 HPMC (Hydroxy Propyl Methyl Cellulose)

(8)

koloid, HPMC dapat mencegah droplet dan partikel dari koalesensi dan aglomerasi, dan juga menghambat terjadinya sedimentasi (Rowe, et al., 2009).

2.8 Tween 80

Gambar 2.3 Rumus bangun Tween 80 (Sumber : Rowe, et al., 2009). Rumus Molekul : C64H124O26

Berat Molekul : 1310

Nama Lain : Polioksietilen (20) sorbitan monooleat

pH : 6,0 – 8,0

Nilai HLB : 15,0

Tween 80 berupa cairan kental berwarna kuning dan agak pahit. Konsentrasi Tween 80 yang digunakan untuk emulsi minyak dalam air jika dikombinasikan dengan emulsifier hidrofobik adalah 1-10%. Tween 80 larut dalam air dan etanol (95%), namun tidak larut dalam mineral oil dan vegetable oil

(Rowe, et al., 2009).

2.9 Span 80

(9)

Berat Molekul : 429

Nama lain : Sorbitan monooleat

pH : < 8,0

Nilai HLB : 4,3

Span 80 merupakan ester sorbitan yang secara luas digunakan dalam kosmetik, produk makanan, dan formulasi sebagai surfaktan nonionik lipofilik. Ester sorbitan secara umum dalam formulasi berfungsi sebagai emulsifying agent

dalam pembuatan krim, emulsi, dan salep untuk penggunaan topikal. Ketika digunakan sebagai emulsifying tunggal, ester sorbitan menghasilkan emulsi air dalam minyak yang stabil dan mikroemulsi, namun ester sorbitan lebih sering digunakan dalam kombinasi bersama bermacam-macam proporsi polisorbate

untuk menghasilkan emulsi atau krim, baik tipe m/a atau a/m. Konsentrasi Span 80 yang digunakan untuk emulsi minyak dalam air jika dikombinasikan dengan

emulsifier hidrofilik adalah 1-10% (Rowe, et al., 2009).

2.10 Emulgel

Emulgel merupakan campuran emulsi dan gel. Pada kenyataannya keberadaan bahan pembentuk gel pada fase air mengubah emulsi sederhana menjadi emulgel. Sistem minyak dalam air dalam emulgel digunakan untuk menjerat obat lipofilik sedangkan obat hidrofilik dikemas pada sistem air dalam minyak (Haneefa, et al., 2013).

(10)

bisa berkisar dalam konsistensi dari suatu cairan sampai suatu massa setengah padat (semisolid). Diameter partikel dari fase terdispersi umumnya berkisar dari 0,1-10 µm, walaupun partikel sekecil 0,01 µm dan sebesar 100 µm bukan tidak biasa dalam beberapa sediaan (Martin, dkk., 1993).

Dibandingkan sediaan lain, emulgel memiliki beberapa kelebihan, yaitu : 1. Obat yang bersifat hidrofobik dapat dengan mudah digabungkan ke dalam

gel dengan adanya emulsi tipe m/a. Kebanyakan obat yang bersifat hidrofobik tidak dapat menyatu secara langsung ke dalam basis gel karena kelarutannya yang bertindak sebagai penghalang. Obat hidrofobik dilarutkan dalam fase minyak dan kemudian globul minyak didispersikan ke dalam fase air sehingga membentuk emulsi m/a yang kemudian emulsi ini akan dicampurkan ke dalam basis gel.

2. Stabilitas yang lebih baik. Sediaan transdermal/topikal lain memiliki stabilitas yang lebih rendah bila dibandingkan dengan emulgel. Misalnya salep dapat menjadi tengik karena menggunakan basis berminyak.

3. Kapasitas penyerapan obat lebih baik bila dibandingkan dengan sistem partikulat seperti niosom dan liposom. Niosom dan liposom yang berukuran nano dan merupakan struktur vesikular dapat menyebabkan kebocoran dan menyebabkan efisiensi penyerapan obat yang lebih rendah. Sedangkan gel yang merupakan konstituen dengan jaringan yang lebih luas dapat menyerap obat lebih baik.

(11)

memproduksi emulgel. Selain itu, bahan yang digunakan merupakan bahan yang mudah didapat dan ekonomis.

5. Tidak memerlukan proses sonikasi yang intensif. Dalam membuat molekul vesikular memerlukan sonikasi yang dapat menyebabkan kebocoran atau degradasi obat. Namun, permasalahan ini tidak ditemui ketika membuat emulgel karena tidak memerlukan sonikasi (Haneefa, et al., 2013).

2.11 HLB (Hydrophile-Lipophile Balance)

HLB pada emulsifier merupakan pernyataan keseimbangan ukuran dan kekuatan dari gugus hidrofilik (polar) dan gugus lipofilik (nonpolar) dari

emulsifier. Seluruh emulsifier terdiri dari molekul yang terdapat kombinasi keduanya yaitu gugus hidrofil dan lipofil. Emulsifier yang bersifat lipofilik ditandai dengan angka HLB yang rendah (dibawah 9) dan emulsifier yang bersifat hidrofilik ditandai dengan angka HLB yang tinggi (diatas 11) (ICI Americas, 1976).

Adapun fungsi surfaktan yang ditetapkan berdasarkan HLB dikelompokkan menjadi :

Tabel 2.3 Aktivitas dan harga HLB surfaktan

Aktivitas HLB

Antibusa 1 sampai 3

Pengemulsi (a/m) 3 sampai 6

Zat pembasah 7 sampai 9

Pengemulsi (m/a) 8 sampai 18

Pelarut 15 sampai 20

Detergen 13 sampai 15

(Sumber : Ansel, 2008).

(12)

penyiapan suatu emulsi, seseorang dapat memilih zat pengemulsi yang mempunyai harga HLB sama atau hampir sama sebagai fase minyak dari emulsi yang dimaksud.

2.12 Teori Emulsifkasi

Tidak ada teori emulsifikasi yang umum, karena emulsi dapat dibuat dengan menggunakan beberapa tipe zat pengemulsi yang masing-masing berbeda bergantung pada cara kerjanya dengan prinsip yang berbeda untuk mencapai suatu produk yang stabil (Martin, dkk., 1993).

Zat pengemulsi bisa dibagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :

1. Zat-zat yang aktif pada permukaan yang teradsorpsi pada antarmuka minyak/air membentuk lapisan monomolekuler dan mengurangi tegangan antarmuka.

2. Koloida hidrofilik, yang mempunyai suatu lapisan multimolekuler sekitar tetesan-tetesan terdispers dari minyak dalam suatu emulsi o/w. 3. Partikel-partikel padat yang terbagi halus, yang diadsorpsi pada batas

antarmuka dua fase cair yang tidak bercampur dan membentuk suatu lapisan partikel di sekitar bola-bola terdispers (Martin, dkk., 1993).

2.12.1 Adsorpsi monomolekular

(13)

ketika kedua tetesan tersebut saling mendekat. Idealnya, lapisan seperti itu harus fleksibel, sehingga ia sanggup terbentuk kembali dengan cepat jika pecah atau diganggu. Suatu efek tambahan yang mendorong terjadinya kestabilan adalah adanya suatu muatan permukaan yang akan menyebabkan tolak-menolak antar partikel yang berdekatan (Martin, dkk., 1993).

Tipe emulsi yang dihasilkan, o/w atau w/o, terutama bergantung pada sifat zat pengemulsi. Karakteristik ini dikenal sebagai keseimbangan hidrofil-lipofil (Hydrophile-Lipophile Balance) yakni sifat polar – nonpolar dari pengemulsi. Kenyataannya surfaktan adalah suatu pengemulsi, zat pembasah, detergen atau zat penstabil (Martin, dkk., 1993).

Gambar 2.5 Gambaran skematis dari tetesan minyak dalam suatu emulsi minyak-air menunjukkan orientasi molekul Tween dan Span pada antarmuka (Martin, dkk., 1993).

(14)

rupa sehingga menghasilkan emulsi o/w atau w/o yang diinginkan. Boyd et al membicarakan gabungan molekular dari Tween 40 dan Span 80 dalam menghasilkan emulsi. Dalam gambar 2.5, bagian hidrokarbon dari molekul Span 80 (sorbitan mono-oleat) berada dalam bola minyak dan radikal sorbitan berada dalam fase air. Bagian kepala sorbitan dari molekul-molekul Span mencegah ekor hidrokarbon dari penggabungan yang erat dalam fase minyak. Bila Tween 40 (polioksietilen (20) sorbitan monopalmitat) ditambahkan, ia mengarah pada batas sedemikian rupa sehingga sebagian dari ekor hidrokarbon ada dalam fase minyak., dan dari rantai tersebut bersama-sama dengan cincin sorbitan dan rantai hidrokarbon dari molekul Tween 40 berada dalam bola minyak antara rantai-rantai Span 80, dan penyusunan ini menghasilkan atraksi (gaya tarik-menarik) Van Der Waals yang efektif (Martin, dkk., 1993).

2.12.2 Adsorpsi molekular

(15)

2.12.3 Adsorpsi partikel padat

Partikel-partikel padat yang terbagi halus yang dibasahi sampai derajat tertentu oleh minyak dan air, dapat bekerja sebagai zat pengemulsi. Hal ini disebabkan partikel padat tersebut terkonsentrasi pada antarmuka tempat partikel tersebut menghasilkan suatu selaput partikulat di sekitar tetesan terdispersi sehingga dapat mencegah terjadinya penggabungan. Serbuk yang mudah dibasahi oleh air akan membentuk emulsi tipe o/w, sedangkan serbuk yang mudah dibasahi oleh minyak akan membentuk emulsi w/o (Martin, dkk., 1993).

2.13 Stabilitas Emulsi

Kestabilan dari emulsi farmasi berciri tidak adanya penggabungan fase dalam, tidak adanya creaming, dan memberikan penampilan, bau, warna dan sifat-sifat fisik lainnya yang baik (Martin, dkk., 1993).

Menurut persamaan Stokes, laju pemisahan dari fase terdispers dari suatu emulsi dapat dihubungkan dengan faktor-faktor seperti, ukuran partikel dari fase terdipers, perbedaan dalam kerapatan antarfase, dan viskositas fase luar. Perlu diingat bahwa laju pemisahan ditingkatkan oleh makin besarnya ukuran partikel fase dalam, makin besarnya perbedaan kerapatan antara kedua fase, dan berkurangnya viskositas dari fase luar, oleh karena itu untuk meningkatkan stabilitas suatu emulsi, bulatan atau ukuran partikel harus dibuat sehalus mungkin, perbedaan fase terdispers dan fase luar harus sekecil mungkin, dan viskositas fase luar harus cukup tinggi (Ansel, 2008).

2.14 Ketidakstabilan Emulsi

(16)

produk. Creaming yang diakibatkan oleh flokulasi dan konsentrasi bola-bola fase dalam, kadang tidak dipertimbangkan sebagai suatu tanda kestabilan. Dalam pertimbangan ini, ketidakstabilan dari emulsi farmasi digolongkan sebagai berikut:

a. Flokulasi dan creaming

Jika fase terdispersi kurang rapat dibandingkan fase kontinu, yang merupakan hal umum pada emulsi o/w, kecepatan sedimentasi menjadi negatif, yakni dihasilkannya creaming yang mengarah ke atas. Jika fase dalam lebih berat dari fase luar, bola-bola akan mengendap, fenomena ini sering terdapat pada emulsi tipe w/o dimana fase dalamnya lebih rapat dari pada fase kontinu minyak. Efek ini dikenal sebagai creaming yang mengarah ke bawah. Makin besar perbedaan antara kerapatan dari kedua fase tersebut, makin besar bola-bola minyak dan makin menurun viskositas dari fase luar, sehingga laju creaming

makin besar (Martin, dkk., 1993). b. Penggabungan dan Pemecahan

(17)

partikel-partikel tersebut telah dirusak dan minyak cenderung untuk bergabung (Martin, dkk., 1993).

c. Inversi fase

Jika dikontrol dengan baik selama pembuatan emulsi, inversi fase sering menghasilkan produk yang lebih bagus, tetapi jika tidak dapat dikontrol selama pembuatan atau karena faktor lain setelah emulsi terbentuk, inversi fase dapat menyebabkan masalah yang besar (Sinko, 2002).

Apabila konsentrasi fase terdispersi terletak antara 30 – 60% maka fase terdispersi terletak pada range stabil emulsi yang tidak menyebabkan inversi. Jika jumlah fase terdispersi meningkat sampai 74% dari total volume maka dapat terjadi inversi fase (Aulton, et al., 1990).

2.15 Analisa Ukuran Partikel

Mikromimetik adalah ilmu dan teknologi tentang partikel kecil, salah satunya adalah partikel. Dalam bidang kefarmasian terdapat beberapa informasi yang perlu diperoleh dari partikel, yaitu bentuk dan luas permukaan partikel serta ukuran partikel. Data tentang ukuran partikel diperoleh dalam diameter partikel dan distribusi diameter partikel, sedangkan bentuk partikel memberi gambaran tentang luas permukaan spesifik partikel dan teksturnya (Martin, dkk., 1993).

(18)

partikel agar mendapatkan suatu perkiraan yang baik dari distribusi, sehingga metode ini membutuhkan waktu dan ketelitian (Martin, dkk., 1993).

Menurut metode mikroskopik, suatu emulsi atau suspensi, diencerkan atau tidak diencerkan, diletakkan pada suatu kaca objek dan ditempatkan pada plat mekanik. Lensa mata mikroskop diatur sedemikian rupa dengan mikrometer sehingga ukuran partikel dapat diperkirakan. Medan pandang dapat diproyeksikan ke sebuah layar sehingga partikel-partikel dapat lebih mudah diukur, atau gambar dapat diambil dari kaca objek yang telah disiapkan dan diproyeksikan pada layar untuk pengukuran (Sinko, 2002).

Gambar

Tabel 2.1 Bahan aktif tabir surya yang diizinkan untuk digunakan
Tabel 2.2 Ketetapan nilai EE x I (Sayre, et al., 1979)
Gambar 2.2 Rumus bangun Oktilmetoksisinamat (Sumber : Budavari, 2001).
Gambar 2.3 Rumus bangun Tween 80 (Sumber : Rowe, et al., 2009).
+3

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengamatan stabilitas emulgel tabir surya formula 7 menggunakan Tween 20 dengan konsentrasi 3% menunjukkan emulgel yang paling stabil karena tidak mengalami

Atas dasar kelebihan dari emulsi yaitu terdapat fase minyak yang berfungsi sebagai emolien atau occlusive yang akan mencegah penguapan sehingga kandungan air di dalam kulit dapat

Hasil pengamatan stabilitas emulgel tabir surya formula 7 menggunakan Tween 20 dengan konsentrasi 3% menunjukkan emulgel yang paling stabil karena tidak mengalami

Hasil pengamatan stabilitas emulgel tabir surya formula 7 menggunakan Tween 20 dengan konsentrasi 3% menunjukkan emulgel yang paling stabil karena tidak mengalami

Efektivitas dari suatu sediaan tabir surya dapat ditunjukkan salah satunya adalah dengan nilai sun protecting factor (SPF), yang didefinisikan sebagai jumlah energi UVB

Jakarta: Jurusan Farmasi FMIPA, Universitas Islam Indonesia.. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan

Pada pembuatan krim tabir surya digun embuatan krim tabir surya digunakan akan dua bahan utama y dua bahan utama yaitu aitu ekstrak daun singkong dan asam

Dari uraian bahan-bahan tersebut dapat diketahui bahwa formula krim ekstrak etanol daun kersen tidak mengandung bahan yang bersifat iritatif sehingga dapat disimpulkan