• Tidak ada hasil yang ditemukan

KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KOMUNIKASI PARTISIPATIF DALAM PROGRAM PEMBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA"

Copied!
150
0
0

Teks penuh

(1)

Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)

ELLY SUSANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 25 Mei 2013

Elly Susanti

(4)
(5)

Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh). Dibimbing oleh DJUARA P. LUBIS dan TITIK SUMARTI.

Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif, semua pihak diundang untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Melihat dari strategi yang diterapkan, maka Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) ini merupakan salah satu contoh konsep pembangunan yang bersifat buttom-up

planning, di mana konsep pembangunan yang mengedepankan masyarakat

sebagai pemeran utama dalam proses pembangunan pada setiap tahap, tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi pembangunan. Tesis ini membahas komunikasi partisipatif yang dilakukan yakni bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dalam setiap tahapan program, faktor yang mempengaruhi, dan keberhasilan program yang dilihat melalui tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga menjadi menarik dan penting untuk dikaji dengan disiplin ilmu komunikasi pembangunan. Kajian dengan paradigma konstruktivis yang peneliti lakukan ini diharapkan dapat melengkapi dan mempertajam hasil-hasil penelitian sebelumnya dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan.

Realitas di lokasi penelitian menunjukkan bahwa bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dalam tahapan program berbeda-beda. Pada tahap sosialisasi bentuk komunikasi cenderung bersifat monolog karena hanya peserta yang berpendidikan tinggi yang berani mengeluarkan pendapat sedangkan peserta lain diam. Namun pada tahap selanjutnya setelah dilakukan pendekatan secara personal oleh pendamping lapang, mengikuti berbagai pelatihan dan menerima materi-materi mengenai pengembangan diri bagi perempuan kepala keluarga maka bentuk komunikasi sedikit demi sedikit cenderung berubah dari bersifat monolog menjadi monolog-dialog dan dialogis. Perubahan bentuk komunikasi tidak berubah pada perempuan kepala keluarga yang berusia lanjut karena mereka mengikuti program hanya untuk mrngisi waktu luang, berkumpul bersama serta memperoleh informasi bukan untuk merubah nasib atau kondisi mereka selama ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik individu, peran pendamping serta faktor sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif peempuan kepala keluarga dalam program. Perempuan kepala keluarga yang telah berusia lanjut jarang menyampaikan saran, pendapat ataupun pertanyaan dalam pertemuan. Meskipun hadir, mereka lebih sering diam dan mendengarkan. Perempuan kepala keluarga yang lebih muda diberikan kepercayaan oleh anggota lain untuk menjadi pengurus kelompok. Perempuan kepala keluarga yang berpendidikan rendah tidak berani menyampaikan pendapatnya pada awal pengenalan program karena mereka menganggap dirinya tidak memiliki kecakapan dalam berbicara. Perempuan kepala keluarga yang memiliki jumlah tanggungan lebih banyak mengaku sulit membagi waktu antara bekerja, mengurus anak dan menghadiri pertemuan sehingga ia sering tidak hadir.

(6)

karena tidak mendapat izin. Jenis pekerjaan perempuan kepala keluarga juga mempengaruhi komunikasi partisipatif, perempuan yang memiliki pekerjaan berdagang kue ke pasar kecamatan mengaku sering terlambat menghadiri pertemuan karena jaraknya yang jauh meskipun mereka sudah berusaha untuk pulang lebih cepat. Motivasi perempuan kepala keluarga yang lanjut usia mengikuti program hanya untuk mengisi waktu luang, berkumpul bersama dan memperoleh informasi serta pengetahuan, sedangkan anggota lainnya mengikuti program karena ingin meningkatkan kesejahteraan keluarga dan memperoleh pengetahuan, informasi yang dapat merubah kondisinya dalam masyarakat.

Peran pendamping sebagai fasilitatif dan pendidik sangat mendukung perempuan kepala keluarga dalam melakukan komunikasi partisipatif. Pada awal program PL berjenis kelamin laki-laki namun tidak menjadi penghalang dalam melakukan komunikasi dengan para perempuan kepala keluarga karena PL merupakan warga Desa Dayah Tanoh sehingga sudah saling kenal, mengetahui karakteristik perempuan kepala keluarga serta budaya yang berlaku dalam masyarakat setempat. Setelah terjadi pergantian, PL sekarang bukan lagi warga setempat namun komunikasi tetap bisa dilakukan karena PL sekarang berjenis kelamin perempuan sehingga mereka lebih leluasa dalam berkomunikasi. PL selalu memfasilitasi perempuan kepala keluarga baik dalam pertemuan maupun pelatihan.

Norma dan bahasa juga mempengaruhi komunikasi perempuan kepala keluarga. Hal tersebut terjadi pada pertemuan sosialisasi, mereka mengaku tidak berani bersuara dikarenakan adanya laki-laki yang turut hadir (kepala desa, tokoh masyarakat dan perwakilan PEKKA provinsi) sehingga mereka merasa tidak pantas bersuara karena menganggap dirinya lebih rendah dari laki-laki (budaya patriarkhi). Namun, sekarang dengan meningkatnya pengetahuan maka norma partiarkhi menjadi tersamarkan dalam kehidupan perempuan kepala keluarga khususnya dan dalam kehidupan masyarakat Desa Dayah Tanoh pada umumnya. Bahasa yang digunakan oleh PL adalah bahasa Aceh mengingat sebagian besar mereka tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, mereka merasa lebih leluasa dalam berbicara dan menyampaikan pendapat.

Tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga berbeda-beda. Perempuan kepala keluarga sebagai pendengar (usia lanjut) belum memiliki kesadaran kritis dan kontrol. Perempuan kepala keluarga yang kurang aktif sudah mencapai kesejahteraan, akses terhadap sumberdaya, partisipasi, kesadaran kritis yang masih difasilitasi oleh PL bukan dari inisiatif diri sendiri serta kontrol dalam lingkup keluarga dan kelompok saja. Keberdayaan paling tinggi sudah dicapai oleh perempuan kepala keluarga yang aktif dalam program.

(7)

Women Headed Household (A Case Study of Desa Dayah Tanoh, Kecamatan Mutiara Timur, Kabupaten Pidie, Aceh Province). Supervised by DJUARA P. LUBIS dan TITIK SUMARTI.

The emerging paradigm of participatory development communication emphasizes participation and involvement from planning to decision-making process. PEKKA promotes the concept trough bottom-up initiative including planning, implementation and project evaluation. This study aims to investigate process of participatory development communication by PEKKA and economic empowerment of women household. This thesis investigates the participatory communication process in terms of communication patterns of women headed households, determinant factors, including observing the program achievement from empowerment point of view through the development communication perspective. The study employs constructivist paradigm in the analysis.

The major finding of the study is the different communication pattern of women headed household in different stage of program activities. At the initial stage, the socialization was dominantly monologue, thus only well-educated participants whoconfident and had ability to response andexpress theirs commentsduring the meeting while others almost silence. In the other stages, meanwhile, the pattern gradually changed to monologue-dialogue and dialogic through interpersonal approach done by the field assistant, and participating the trainings especially self-development training done by PEKKA Center. However, the change was not arise to the aged women headed household because low motivation to the program.

The study also finds that personal characteristics of members, role of field assistant, and socio cultural factors determine the efficacy of participatory communication of women headed households. The aged member seldom and almost never delivered voice, expressed opinion, and asked questions during the meeting. Though they attended the meeting, they tended to quiet and listen to the other comments. The younger women headed household was more active and be trusted as group administrators and leader by the members. Low educated women headed households were less ability to show their voice and express their opinions at the initial stage of the program because they impressed themselvesless confident and ability to speak out in front of other. The women headed household with many dependents stressed that the difficulty to time management between working, caring family, and attending the group meetings.

Furthermore, the reason to be women headed household, occupation, and self-motivation also determine participatory communication. The women with sickly husband said that difficult to attend the meeting because not allowed by husband. Working as cookies seller that located relatively far from home at

kecamatan market stated that often late to come to the meetings. The motif of the

aged women headed household to join the program was to spare time, to gather with other women, and to obtain information and knowledge while other women said to improve welfare, to gain information and knowledge to change their socio economic condition.

(8)

was not a barrier for him to build effective communication with the women headed household. He is a native coming from that village, and experiencing and having well knowledge on local socio cultural. After the field assistant changed, coming from outsider but a woman, the members said they are more freely and confidently communicate with the assistant. She was and still facilitates the member in the group meetings and trainings.

The local norms and language also contribute to effective participatory communication of women headed household. The study finds that majority of women who participated at the initial activity said not able and confident to speak during the meeting because there were men and impressed unsuitable for them to speak in front of public/men (patriarchy). After participating the program, the awareness and knowledge of women headed household progressively changed and a patriarchy norm gradually obscured. The language used by field assistant significantly contributes to effective communication because many of women headed household not able to speak bahasa Indonesia. By using local (basa

Aceh), the women said more freely to speak and give impression and feedback.

Level of empowerment of women headed household varies. The type of monologue women headed household has less critical awareness and control. The monologue-dialogue women headed household has gradually achieved well-being, increased access to resources, participation, and critical awareness under facilitated by field assistant not self-initiative, and has increased control at the household and group only. The high level of empowerment has achieved by women headed household with dialogic type.

Keywords: participatory communication, empowerment, women headed household

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk laporan apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)

Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)

ELLY SUSANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

(12)
(13)

Nama : Elly Susanti NIM : I352100011 Disetujui oleh Komisi Pembimbing Dr Ir Djuara P Lubis, MS Ketua Dr Ir Titik Sumarti, MS Anggota Diketahui oleh

Ketua Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

Dr Ir Djuara P Lubis, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(14)
(15)

Puji syukur atas kehadirat Illahi Rabbi, Allah SWT yang atas rahmat dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis ini yang berjudul “Komunikasi Partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (Kasus di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur Kabupaten Pidie Provinsi Aceh)”, sebagai salahsatu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir untuk memperoleh gelar Magister Sains dalam bidang Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Selama penyusunan tesis ini penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak, untuk itu ucapan terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada:

1. Dr. Ir. Djuara P. Lubis, MS selaku ketua komisi pembimbing dan Koordinator Mayor KMP serta Dr. Ir. Titik Sumarti, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing atas segala bimbingan, arahan, motivasi dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian tesis ini.

2. Dr. Sarwititi, MS selaku dosen penguji luar komisi dan Dr. Ir. Amiruddin Saleh selaku Wakil Koordinator Mayor KMP dan dosen penguji perwakilan program studi pada ujian tesis.

3. Seluruh Staf Pengajar dan Staf Administrasi pada Program Studi Komunikasi Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.

4. Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Anak Kabupaten Pidie atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan data dan informasi yang diperlukan dalam penyusunan tesis ini.

5. Serikat PEKKA Kabupaten Pidie dan Pendamping Lapang.

6. Kepala Desa dan masyarakat serta perempuan kepala keluarga di Desa Dayah Tanoh.

7. Teman-teman seperjuangan sesama mahasiswa KMP 2010 yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas diskusi, masukan dan bantuan selama mengikuti pendidikan.

8. Penghormatan yang tinggi dan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua tercinta Ayahanda M.Yunus dan Ibunda Anidar, adikku satu-satunya Muhammad Iqbal serta keluarga besar yang telah memberikan doa dan dukungannya.

9. Ucapan terima kasih khusus disampaikan kepada suamiku tercinta Irfan Zikri serta anak-anakku tersayang Quinsha Nabila dan Qyouzard Nabil yang telah memberikan dukungan penuh dan menjadi motivasi terbesar bagi penulis untuk segera menyelesaikan pendidikan.

Bogor, 25 Mei 2013

(16)
(17)

DAFTAR GAMBAR xv DAFTAR LAMPIRAN xv 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1 1.2 Perumusan Masalah 4 1.3 Tujuan Penelitian 4 1.4 Manfaat Penelitian 5 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Komunikasi 7

2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan 7 2.3 Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif 12 2.4 Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan 19 2.5 Hasil Penelitian yang Relevan 23

3 KERANGKA PEMIKIRAN 25

4 METODE PENELITIAN

4.1 Paradigma Penelitian 27

4.2 Desain Penelitian 27

4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian 29 4.4 Penentuan Subyek Penelitian 29 4.5 Data dan Metode Pengumpulan Data 32

4.6 Teknik Analisis Data 35

4.7 Kredibilitas dan Dependabilitas (Reliabilitas) Penelitian 37 5 GAMBARAN UMUM

5.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian 39

5.1.1 Kondisi Geografis 39

5.1.2 Karakteristik Demografi 39 5.1.3 Alokasi Lahan dan Aktivitas Pertanian 39 5.1.4 Sarana dan Prasarana 40

5.1.5 Kelembagaan Desa 41

5.2 Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) 42 5.2.1 Pelaksanaan PEKKA Nasional 42 5.2.2 Pelaksanaan PEKKA di Aceh 46 5.2.3 Kegiatan- Kegiatan PEKKA Aceh 48 5.2.4 Pelaksanaan PEKKA di Desa Dayah Tanoh 50 5.2.5 Kegiatan-Kegiatan PEKKA di Desa Dayah Tanoh 52 6 KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA

KELUARGA DALAM PEKKA

6.1 Tahap Penumbuhan Ide 59

(18)

7 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI

KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA

7.1 Faktor Individu 79

7.2 Peran Pendamping 81

7.3 Faktor Sosial Budaya 90

7.4 Ikhtisar 94

8 KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA

8.1 Perempuan Kepala Keluarga Pendengar 96 8.2 Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif 97 8.3 Perempuan Kepala Keluarga Aktif 106 8.4 Manfaat PEKKA Berdasarkan Pandangan Masyarakat bukan

Anggota 110

8.5 Ikhtisar 112

9 SIMPULAN DAN SARAN

9.1 Simpulan 115

9.2 Saran 115

DAFTAR PUSTAKA 117

LAMPIRAN 123

(19)

2 Profil subyek kasus 31 3 Matriks jenis data, sumber dan metode pengumpulan data 33 4 Jumlah anggota PEKKA nasional per Maret 2012 46 5 Jumlah desa dan peserta kelompok belajar anak tahun 2012 49 6 Daftar simpan pinjam anggota kelompok, tahun 2012 52 7 Daftar pinjaman dana BLM kelompok Jeumpa Desa Dayah Tanoh 53 8 Produksi video komunitas Kelompok Jeumpa tahun 2008-2011 56 9 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penumbuhan ide 59 10 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap perencanaan program 62 11 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap pelaksanaan program 71 12 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penilaian program 75 13 Matriks keberdayaan perempuan kepala keluarga 112

DAFTAR GAMBAR

1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe 22

2 Kerangka pemikiran 26

3 Proses analisis data penelitian 36

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta administrasi Kabupaten Pidie 123 2 Peta administrasi Kecamatan Mutiara Timur 124

3 Jadwal penelitian 125

4 Daftar informan 126

(20)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan kaum perempuan merupakan bagian integral dari pembangunan nasional, karena sebagai sumber daya manusia, kemampuan perempuan yang berkualitas sangat diperlukan. Sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas merupakan kunci bagi produktivitas nasional dan bagi penguatan daya saing bangsa di bidang ekonomi maupun sosial di era globalisasi yang semakin kompetitif saat ini. Sumber daya manusia yang berkualitas diharapkan memahami dan mampu mengelola sumber daya alam secara bertanggung jawab serta mendayagunakan prasarana pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat.

Kondisi kualitas hidup dan peran perempuan di Indonesia masih rendah, terutama di bidang pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik yang menyebabkan kesenjangan gender dalam pembangunan. Berdasarkan Laporan Pencapaian Tujuan Pembangunan Millenium di Indonesia (BAPPENAS 2010) angka buta aksara perempuan sebesar 12.28 persen, sedangkan laki-laki 5.84 persen. Dalam bidang kesehatan, status gizi perempuan masih merupakan masalah utama, di mana angka kematian ibu juga masih sangat tinggi, yaitu sebesar 248 per 100 000 kelahiran hidup. Di bidang ekonomi, tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki jauh lebih tinggi 86.5 persen daripada perempuan 50.2 persen.

Berdasarkan data BPS (2010) angka Human Development Index (HDI) Indonesia 71.76, angka Gender-related Development Index (GDI) 59.2, dan angka

Gender Empowerment Measurement (GEM) 54.6. Tingginya angka HDI jika

dibandingkan dengan angka GDI, menunjukkan bahwa keberhasilan pembangunan SDM secara keseluruhan belum sepenuhnya diikuti dengan keberhasilan pembangunan gender atau masih terdapat kesenjangan gender, terutama di bidang kesehatan, pendidikan, dan ketenagakerjaan. Sementara itu, rendahnya angka GEM menunjukkan bahwa partisipasi dan kesempatan perempuan masih rendah di bidang politik, ekonomi, dan pengambilan keputusan.

Kesenjangan gender di berbagai bidang pembangunan disebabkan oleh masih rendahnya peluang yang dimiliki perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta rendahnya akses mereka terhadap sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit dan modal kerja. Menurut Fakih (2003) salah satu penyebab ketidakadilan gender dalam pembangunan adalah sosiologi ideologi di mana nilai gender sudah terisolasi sehingga pelaku percaya bahwa memang sudah kodrat.

Isu gender dalam pembangunan juga muncul karena kurang memperhatikan kenyataan bahwa masyarakat sebagai target pembangunan terdiri dari segmen-segmen yang berbeda khususnya perempuan dan laki-laki. Mereka mempunyai kebutuhan, kepedulian, kesulitan dan pengalaman yang berbeda. Mengabaikan kepentingan gender dapat memunculkan kesenjangan gender, kesenjangan terhadap perempuan atau bisa juga kesenjangan terhadap laki-laki (Kem PP dan PA 2010).

(21)

Kesenjangan gender juga terjadi dalam pembangunan ekonomi. Dalam membedah kemiskinan, permasalahan yang berat sesungguhnya dialami kaum perempuan. Bahkan, kemiskinan kerap identik dengan kehidupan perempuan. Data MDG‟s 2010 menunjukkan, dari sepertiga penduduk dunia yang hidup di bawah garis kemiskinan, sekitar 70 persennnya adalah perempuan. Di Indonesia dari jumlah penduduk miskin yang mencapai 32.53 juta jiwa (14.15 persen), 70 persen dari mereka adalah perempuan (BPS 2010). Berdasarkan data di atas, perempuan merupakan bagian dari masyarakat yang paling banyak memikul beban kemiskinan, terutama apabila perempuan berperan sebagai satu-satunya kepala rumah tangga yang harus menghidupi anak-anaknya.

Pada tahun 2010 BPS memperkirakan 14 persen atau sekitar 9 juta rumah tangga di Indonesia di kepalai oleh perempuan. Rumah tangga yang dikepalai perempuan umumnya miskin dan merupakan kelompok termiskin dalam strata sosial ekonomi di Indonesia. Hal ini sangat terkait dengan kualitas sumber daya perempuan kepala keluarga yang rendah, yang dicirikan dengan beberapa faktor, antara lain meliputi: usia mereka antara 20 sampai 60 tahun, lebih dari 38.8 persen buta huruf dan tidak pernah duduk di bangku sekolah dasar sekalipun, menghidupi antara satu sampai enam orang tanggungan, bekerja sebagai buruh tani dan sektor informal dengan pendapatan rata-rata kurang dari Rp10 000 per hari, sebagian mereka mengalami trauma karena tindak kekerasan dalam rumah tangga maupun negara (Seknas PEKKA 2010).

Sehubungan dengan masalah kemiskinan ini, pemerintah Indonesia telah banyak melaksanakan program untuk mengurangi jumlah penduduk miskin terutama perempuan dengan berbagai strategi dan pendekatan. Namun demikian, pada umumnya program tersebut berupa pemberian permodalan dan pembangunan infrastruktur yang padat karya dan cenderung pada pelaku ekonomi secara umum saja. Sebagai hasil dari strategi program yang cenderung sektoral, ternyata masih belum menyentuh akar permasalahan penyebab kemiskinan yang salah satunya bermuara ke masalah kesenjangan gender. Masalah rendahnya produktivitas perempuan dalam pengembangan ekonomi keluarga sama sekali belum disentuh secara mendetail dan berkesinambungan. Ketidakberhasilan program-program pembangunan tersebut juga dipengaruhi oleh model komunikasi yang diterapkan dalam proses pelaksanaannya.

Pendekatan komunikasi yang dijalankan pemerintah dalam program-program pembangunan selama ini dirasakan bersifat top down, komunikasi yang dilakukan bersifat searah/ linier di mana tidak ada mekanisme untuk memberikan umpan balik dari masyarakat. Masyarakat seringkali hanya dijadikan sebagai obyek bukan subyek dalam pembangunan. Masyarakat diwajibkan terhimpun dalam kelompok yang dibentuk dan dikontrol oleh pemerintah, sehingga kelompok sulit sekali mandiri karena pengelolaannya harus mengikuti petunjuk pemerintah. Akibatnya kelompok biasa bekerja dengan instruksi dari atas dan hampir tidak memiliki peluang terlibat pada proses pengambilan keputusan yang menyangkut kehidupan mereka.

Melihat dari kegagalan program-program pembangunan yang masih mengalami kesenjangan gender tersebut, maka pada era globalisasi ini pemerintah telah mencoba untuk merealisasikan program yang dapat menyentuh permasalahan

(22)

kesenjangan gender serta memberikan penekanan pada pengembangan ekonomi keluarga yang memerlukan suatu strategi dalam pemetaan tentang perkembangan gender dan cara yang arif dalam mensosialisasikan pada masyarakat. Apabila strategi penurunan tingkat kemiskinan perspektif gender dapat disusun dengan baik melalui pengembangan ekonomi keluarga berbasis kehidupan masyarakat, maka diharapkan hasilnya akan lebih baik dan memiliki peluang keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan strategi yang dilaksanakan sebelumnya.

Dalam era kemunculan paradigma baru komunikasi pembangunan yang partisipatif ini, semua pihak diundang untuk berpartisipasi dalam proses komunikasi sampai dengan pengambilan keputusan. Komunikasi pendukung pembangunan dilaksanakan dalam model komunikasi horizontal, interaksi komunikasi dilakukan secara lebih demokratis. Kegiatan komunikasi bukan kegiatan memberi dan menerima melainkan “berbagi” dan “berdialog.”

Pengembangan komunikasi pembangunan ini perlu dilakukan dengan mengubah paradigma komunikasi pembangunan dari yang berciri linier (searah) dari atas ke bawah ke komunikasi yang berciri konvergen, agar program yang dilaksanakan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Salah satu prinsip dari program pembangunan adalah partisipasi. Partisipasi aktif masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan memerlukan kesadaran warga masyarakat akan minat dan kepentingan yang sama.

Salah satu program pembangunan atau pemberdayaan yang melibatkan perempuan khususnya perempuan kepala rumahtangga adalah Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA). Program pemberdayaan ini bertujuan untuk memahami persoalan perempuan kepala keluarga yang komprehensif, sehingga program ini menerapkan strategi pengorganisasian masyarakat atau community organizing (CO) dengan menyoal ketidakadilan gender dan kelas yang ada dalam masyarakat. Untuk mendukung strategi tersebut maka ada lima prinsip dasar program yang diterapkan dalam pelaksanaan Program pemberdayaan PEKKA yaitu partisipatif, fleksibel, pendampingan dan fasilitasi, berkelanjutan, dan terdesentralisasi. Melihat dari strategi yang diterapkan, maka Program pemberdayaan ini merupakan salah satu contoh konsep pembangunan yang bersifat buttom-up planning. Konsep buttom-up planning merupakan sebuah konsep pembangunan yang mengedepankan masyarakat sebagai pemeran utama dalam proses pembangunan pada setiap tahap, tercakup di dalamnya proses perencanaan, pelaksanaan dan juga evaluasi pembangunan (Seknas PEKKA, 2010). Dengan pendekatan ini, maka partisipasi, potensi dan kreativitas perempuan kepala keluarga dapat lebih tergali, serta memiliki rasa tanggungjawab untuk keberlanjutan memberdayakan diri dan memasyarakatnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa partisipasi melalui komunikasi partisipatif diyakini akan mendorong keberhasilan penyelenggaraan program pembangunan. Oleh karena itu, maka penelitian mengenai komunikasi partisipatif dalam program pemberdayaan perempuan kepala keluarga (PEKKA) ini perlu dilakukan untuk melihat bagaimana bentuk komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga sehingga program tersebut dapat memcapai tujuan dan berhasil.

(23)

1.2 Perumusan Masalah

Salah satu masalah utama yang dihadapi bangsa Indonesia adalah masih relatif besarnya angka kemiskinan penduduk terutama kemiskinan yang dialami perempuan. Dalam usaha untuk mengurangi kemiskinan tersebut, salah satu program pemberdayaan yang dilakukan bagi perempuan adalah Program pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) yang difokuskan kepada perempuan kepala keluarga miskin. Secara umum program ini bertujuan untuk memperkuat perempuan kepala keluarga agar dapat berkontribusi pada proses membangun masyarakat yang sejahtera, demokratis, berkeadilan gender dan bermartabat.

Seiring dengan adanya perubahan model komunikasi dalam pelaksanaan program pembangunan sekarang ini dari yang bersifat linier ke arah yang parisipatif, maka pelaksanaan program pemberdayaan ini menerapkan metode partisipatif, di mana masyarakat penerima manfaat turut berpartisipasi secara aktif dan nyata dalam setiap tahapan program.

Penerapan model komunikasi partisipatif diharapkan mendukung terciptanya transformasi perempuan kepala keluarga marginal menjadi perempuan kepala keluarga mandiri sesuai dengan tujuan dari program pemberdayaan ini. Intinya penerapan komunikasi parisipatif ini dapat mendorong keberhasilan program pemberdayaan yang ditandai dengan tercapainya tujuan dari program yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan, meningkatkan akses terhadap sumber daya, meningkatkan kesadaran kritis, meningkatkan partisipasi dan meningkatkan kontrol terhadap pengambilan keputusan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini berusaha untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk komunikasi partisipatif dalam Program Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga (PEKKA) di Desa Dayah Tanoh Kecamatan Mutiara Timur?

2. Sejauhmana faktor karakteristik individu, peran pendamping dan sosial budaya mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam Program PEKKA tersebut?

3. Bagaimana tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Kajian ini dilakukan untuk melihat bentuk komunikasi dan perubahan yang terjadi pada perempuan kepala keluarga. Hal tersebut dapat dilihat pada tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program. Berkaitan dengan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji bentuk komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam program.

(24)

2. Menganalisis faktor-faktor karakteristik individu, peran pendamping dan sosial budaya yang mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam program.

3. Mengkaji tingkat keberhasilan program yang dilihat dari tingkat keberdayaan perempuan kepala keluarga setelah mengikuti program.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat mempunyai manfaat sebagai berikut:

1. Dalam aspek praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk memberikan masukan dan evaluasi kepada pemegang kebijakan program pemberdayaan perempuan.

2. Secara akademis, penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam memberikan kontribusi pada pengembangan ilmu komunikasi pembangunan pertanian dan pedesaan.

(25)
(26)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Komunikasi

Komunikasi adalah bentuk hubungan yang saling pengaruh mempengaruhi satu sama lainnya, sengaja atau tidak sengaja (Tubbs dan Moss 2000). Menurut Effendi (2003) komunikasi merupakan proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan agar orang tersebut mengerti dan tahu serta bersedia menerima suatu paham atau keyakinan sehingga mau melakukan sesuatu perbuatan atau kegiatan lain-lain.

Untuk lebih memahami komunikasi, ada tiga kerangka pemahaman yang dapat digunakan, yaitu komunikasi sebagai tindakan satu arah, komunikaasi sebagai interaksi dan komunikasi sebagai transaksi (Mulyana 2005). Sebagai tindakan satu arah, suatu pemahaman populer mengenai komunikasi manusia adalah komunikasi yang mengisyaratkan penyampaian pesan searah dari seseorang (atau suatu lembaga) kepada seseorang (atau sekelompok orang) lainnya, baik secara langsung (tatap muka) ataupun melalui media, seperti surat (selebaran), surat kabar, majalah, radio, atau televisi. Komunikasi dianggap suatu proses linear yang dimulai dengan sumber atau pengirim dan berakhir pada penerima, sasaran atau tujuannya. Komunikasi sebagai interaksi menyetarakan komunikasi dengan suatu proses sebab akibat atau aksi reaksi, yang arahnya bergantian. Seorang penerima beraksi dengan memberikan jawaban verbal atau menganggukkan kepala, kemudian orang pertama beraksi lagi setelah menerima respons atau umpan balik dari orang kedua dan begitu seterusnya. Komunikasi sebagai interaksi dipandang sedikit lebih dinamis daripada komunikasi sebagai tindakan satu arah. Salah satu unsur yang dapat ditambahkan dalam konseptualisasi kedua ini adalah umpan balik, yakni apa yang disampaikan penerima pesan kepada sumber pesan.

2.2 Komunikasi Partisipatif dalam Pembangunan

Konsep-konsep pembangunan saat ini pada dasarnya masih bersifat materialistis karena yang dipersoalkan masih terbatas pada persoalan materi yang mau dihasilkan dan yang mau dibagi. Hal tersebut disebabkan karena teori pembangunan masih sangat didominasi oleh para ahli ekonomi. Menurut Budiman (2000) pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok yaitu masalah materi yang mau dihasilkan serta dibagi dan masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif yang menjadi manusia pembangun. Para ahli ekonomi memang berbicara tentang sumber daya manusia (SDM), tetapi lebih menekankan aspek keterampilan sehingga manusia lebih dianggap sebagai faktor produksi dan lebih ditekankan pada peningkatan produksi saja. Sebaliknya proses-proses yang terjadi dalam diri individu serta bagaimana menciptakan kondisi lingkungan yang memungkinkan terjadinya manusia kreatif kurang diperhatikan dan dipermasalahkan.

(27)

Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produk dan distribusi barang material namun juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia bisa mengembangkan kreativitasnya sebagai subjek pembangunan dan tidak sekedar sebagai objek pembangunan. Pembangunan pada akhirnya harus ditujukan pada pembangunan manusia yang kreatif. Hanya manusia seperti inilah yang bisa menyelenggarakan pembangunan dan memecahkan masalah yang dihadapinya. Produktivitas dan distribusi hasil-hasil pembangunan yang digeluti oleh para ahli ekonomi hanya merupakan akibat dari pembangunan yang berhasil membangun manusia kreatif yaitu manusia pembangun. Untuk membentuk manusia pembangun, berbagai aspek seperti psikologi, sosiologi, politik, antropologi, dan budaya harus dilibatkan secara terpadu (Waskita 2005).

Dalam konteks komunikasi pembangunan, Melkote (2006) mengkategorikan pendekatan komunikasi pembangunan menjadi dua kelompok besar yaitu kelompok paradigma dominan (modernisasi) dan kelompok paradigma alternative (pemberdayaan). Teori-teori dan intervensi dalam paradigma dominandari modernisasi dikembangkan oleh Lerner (1958) dan Schramm (1964) dan studi-studi lainnya yang berkembang pada tahun 1950-an dan 1960-an. Daniel Lerner menekankan peran media massa dalam modernisasi. Lerner menemukan bahwa media massa merupakan agen modernisasi yang ampuh untuk menyebarkan informasidan pengaruhnya kepada individu-individu dalam menciptakan iklim modernisasi. Orang-orang yang terdedah oleh pesan-pesan media massa akan memiliki kemampuan berempati dengan kehidupan masyarakat yang dibaca atau ditontonnya. Kemampuan berempati ini penting agar orang bisa bersikap fleksibel dan efisien dalam menghadapi kehidupan yang berubah. Orang-orang yang mempunyai kemampuan berempati ini akan aktif sebagai warga negara yang menyalurkan aspirasinya melalui partisipasi politik. Oleh karena itu, kemampuan ini perlu dimiliki oleh orang yang ingin keluar dari situasi tradisional (Sarwititi 2005).

Partisipasi erat hubungannya dengan kegiatan pembangunan, namun tidak berarti bahwa partisipasi hanya sebatas keikutsertaan masyarakat dalam kegiatan-kegiatan pelaksanaan pembangunan. Swasono dalam Kurniawati (2010) menyatakan bahwa partisipasi tidaklah hanya pada tahap pelaksanaan pembangunan saja, tetapi meliputi seluruh spektrum pembangunan tersebut yang dimulai dari tahap menggegas rencana kegiatan hingga memberikan umpan balik terhadap gagasan rencana yang telah dilaksanakan.

Partisipasi masayarakat dalam pembangunan menurut Slamet (2003) adalah ikutsertanya masyarakat dalam perencanaan pembangunan, ikutserta dalam kegiatan-kegiatan pembangunan, ikutserta memanfaatkan dan menikmati hasil-hasil pembangunan. Menurut Sumodiningrat (2000) partisipasi adalah kemauan rakyat untuk mendukung secara mutlak program atau proyek pemerintah yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh pemerintah.

Menurut Cohen dan Uphoff dalam Manoppo (2009) partisipasi merupakan keterlibatan masyarakat mulai dari pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil dan evaluasi. Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya serta berupaya mencari jalan keluar yang dapat dipakai untuk mengatasi masalah mereka. Partisipasi juga membantu

(28)

masyarakat miskin untuk melihat realitas sosial ekonomi yang mengelilingi mereka. Analisis proses partisipasi atau peranserta masyarakat sangat penting untuk dilakukan karena dengan demikian usaha komunikasi program pembangunan dalam masyarakat akan memperoleh suatu hasil yang maksimal. Analisis proses partisipasi masyarakat dalam pembangunan telah dilakukan oleh Levis (1996) yaitu meliputi empat tahap, antara lain adah sebagai berikut:

1) Tahap penumbuhan ide untuk membangun dan perencanaan

Dalam pelaksanaan program tersebut dapat dilihat apakah pelaksanaan program tersebut didasarkan atas gagasan atau ide yang tumbuh dari kesadaran masyarakat sendiri atau diturunkan dari atas. Jika ide dan prakarsa untuk membangun datangnya dari masyarakat itu sendiri karena tuntutan situasi dan kondisi yang menghimpitnya pada saat itu, maka peran serta aktif masyarakat akan lebih baik. Jika masyarakat sudah ikut dilibatkan dari tahap awal program pembangunan, maka dapat dipastikan bahwa seluruh anggota masyarakat merasa dihargai sebagai manusia yang memiliki potensi atau kemampuan sehingga mereka lebih mudah berperan serta aktif atau berpartisipasi dalam melaksanakan, melestarikan program pembangunan itu sendiri.

2) Tahap pengambilan keputusan atau perencanaan

Landasan filosofis dalam tahap ini adalah bahwa setiap orang akan merasa dihargai jika mereka diajak untuk berkompromi, memberikan pemikiran dalam membuat suatu keputusan untuk membangun diri, keluarga, bangsa dan daerah dan negaranya. Keikutsertaan anggota atau seseorang di dalam pengambilan suatu keputusan secara psikososial telah memaksa anggota masyarakat yang bersangkutan untuk turut bertanggungjawab dalam melaksanakan, mengamankan setiap paket programyang dikomunikasikan. Mereka merasa ikut memiliki serta bertanggungjawab secara penuh atas keberhasilan program yang akan dilaksanakan. Dengan demikian dalam diri masyarakat akan tumbuh rasa tanggungjawab secara sadar kemudian berprakarsa untuk berpartisipasi secara positif dalam pembangunan. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud di sini yaitu pada perencanaan suatu kegiatan.

3) Tahap pelaksanaan

Untuk mewujudkan kondisi masyarakat agar berpartisipasi dalam melaksanakan program pembangunan yang telah dikomunikasikan, mereka harus dilibatkan dalam melaksanakan setiap pelaksanaan program pembangunan. Tujuan melibatkan masyarakat dalam tahap pelaksanaan adalah agar masyarakat dapat mengetahui secara baik tentang cara melaksanakan suatu program yang akan dilaksanakan sehingga nantinya mereka dapat secara mandiri dan mampu melanjutkan, meningkatkan serta melestarikan program pembangunan yang dilaksanakan. Tujuan lainnya adalah untuk menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap pihal luar dalam hal ini komunikator atau pendamping yang selama ini selalu terjadi dan akan menjamin bahwa program pembangunan itu sendiri tidak akan lenyap serta merta setelah kepergian para petugas lapang.

(29)

4) Tahap penilaian/evaluasi

Dalam tahap evaluasi masyarakat diharapkan mampu menilai diri sendiri, dengan mengungkapkan apa yang mereka tahu dan perlukan. Mereka diberi kebebasan untuk menilai sesuai dengan apa yang ada dalam benaknya, pengalaman, kelebihan atau keuntungan dari program, kelemahannya, manfaat, hambatan, faktor pelancar yang mereka hadapi dalam operasionalisasi program secara bersama-sama mencarikan alternatif terbaik sebagai bahan pertimbangan bagi pelaksanaan program.

Slamet (2003) menjelaskan ada tiga faktor yang berhubungan atau mendukung partisipasi yaitu: kesempatan, kemampuan dan kemauan. Keberadaan kesempatan, kemampuan dan kemauan bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor seputar kehidupan manusia yang saling berinteraksi satu sama lain, terutama faktor-faktor psikologis individu (needs, harapan, motif, reward), terpaan informasi, pendidikan (formal dan nonformal), keterampilan, kondisi permodalan yang dimiliki, teknologi (sarana dan prasarana), kelembagaan (formal dan informal, kepemimpinan (formal dan informal) dan struktur dan stratifikasi sosial, budaya lokal (norma, tradisi dan adat istiadat) serta pengaturan dan pelayanan pemerintah.

Upaya penumbuh dan pengembangan partisipasi masyarakat dalam program pembangunan dapat diupayakan melalui kegiatan pemberdayaan yang dalam prakteknya dilakukan melalui kegiatan komunikasi pembangunan yang partisipatif, di mana bentuk komunikasi yang mengkondisikan masyarakat bebas berpendapat, berekspresi dan mengungkapkan diri secara terbuka satu sama lainnya. Pendekatan komunikasi yang dibutuhkan adalah pendekatan model komunikasi yang memungkinkan adanya pertukaran informasi antar komponen dalam proses komunikasi dengan banyak dimensi. Pendekatan ini sering disebut dengan model partisipasi (participatory model) atau model interaksi (interaktif model). (Sulistyowati, et al 2005).Dengan demikian, di dalam model inti tidak hanya mencakup komunikasi dua tahap dan bahkan banyak tahap, tetapi juga banyak dimensi. Selain komunikasi dengan lingkungan komunikan masih ada juga unsur seberapa jauh lingkungan komunikator cocok dengan lingkungan komunikan.

Sumardjo (1999) menguraikan model komunikasi konvergen atau interaktif bersifat dua arah yakni partisipatif baik vertikal maupun horizontal. Artinya keputusan di tingkat perencanaan program pembangunan sangat memperhatikan kebutuhan dan kepentingan di tingkat “bawah” (yang biasa disebut sasaran pembangunan), tanpa harus mengabaikan arah dan percepatan pembangunan, dengan titik berat pembangunan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan rakyat dan memperhatikan hak-haknya sebagai manusia dan warga negara. Pendekatan ini lebih menempatkan martabat manusia secara lebih layak, keberadaan masyarakat dengan aspek kepentingan dan kemampuannya menjadi lebih dikenali dan dihargai, sehingga lebih mendorong terjadinya partisipasi masyarakat yang lebih luas.

Karakteristik mendasar dari komunikasi partisipatif adalah: (1) pertukaran informasi antar stakeholder yang terlibat dilakukan melalui dialog, dalam model ini tidak ada pengirim atau penerima, karena keduanya berlangsung dalam waktu bersamaan, kekuatan yang seimbang dan kesetaraan; (2) komunikasi partisipatif dianggap sebagai proses daripada sebagai model yang statis, sebagai proses sosial,

(30)

komunikasi partisipatif dimaksudkan untuk mencapai pengertian bersama di antara seluruh partisipan sebagai dasar bertindak untuk mencapai konsensus; (3) komunikasi partisipatif tidak bisa ditetapkan formula secara universal pada pesan, saluran dan model yang diikuti, tetapi sebuah pencarian yang disesuaikan dengan situasi dan budaya dalam sistem sosial, pencarian dilakukan oleh stakeholder utama (anggota masyarakat) (Mefalopulos 2003).

Menurut Servaes (2002) adapun prinsip-prinsip komunikasi partisipatif yang terdiri dari: (1) masyarakat biasa (bukan agen perubahan atau struktur kekuasaan formal) sebagai “agen utama” perubahan. Komunikasi diarahkan untuk mendorong kemandirian masyarakat; (2) tujuan pembangunan adalah pendidikan dan aktivitas orang terhadap perbaikan diri dan masyarakat, keterlibatan orang lokal dalam pengelolaan dan evaluasi program pembangunan, pendidikan penting untuk pemberdayaan bukan instruksi “know-how”, belajar bukan proses pasif; (3) pergeseran kembali fokus dari negara kepada masyarakat lokal; (4) partisipasi melibatkan pendistribusian kembali kekuasaan dari elit kepada masyarakat lokal dan (5) komunikasi partisipatif memerlukan pelaksanaan penelitian dalam tradisi baru yang disebut “penelitian partisipatif”. Maksudnya penelitian yang memungkinkan masyarakat melakukan sendiri bukan temuan akademisi atau “ahli”, karena masyarakat dipercaya dapat merefleksikan situasi yang menindas mereka dan mengubahnya, mereka lebih mengetahui kebutuhan dan realitasnya daripada “para ahli”.

Hamijoyo (2005) menyebutkan komunikasi partisipatif mengasumsikan adanya proses humanis yang menempatkan individu sebagai aktor aktif dalam merespons setiap stimulus yang muncul dalam lingkungan yang menjadi medan kehidupannya. Individu bukanlah wujud yang pasif yang hanya bergerak jika ada yang menggerakkan. Individu adalah wujud dinamis yang menjadi subyek dalam setiap perilaku yang diperankan termasuk perilaku komunikasi.

White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif sebagai dialog terbuka, sumber dan penerima berinteraksi secara kontinyu, memikirkan secara konstruktif situasi, mengidentifikasi kebutuhan dan permasalahan pembangunan, memutuskan apa yang yang dibutuhkan untuk meningkatkan situasi dan bertindak atas situasi tersebut. Sedangkan Singhal (2001) mengartikan komunikasi partisipatif adalah sebuah proses dinamis, interaktif dan transformasional, di mana orang terlibat dalam dialog, dengan individu dan kelompok masyarakat dalam rangka merealisasikan potensi secara penuh agar dapat meningkatkan kehidupan mereka.

Menurut Bordenave dalam White (2004) komunikasi partisipatif dapat diartikan sebagai proses komunikasi yang memberikan kebebasan, hak dan akses yang sama dalam memberikan pandangan, perasaan, keinginan, pengalaman dan menyampaikan informasi ke masyarakat untuk menyelesaikan sebuah masalah melalui dialog. Dialog adalah komunikasi transaksional dimana pengirim (sender) dan penerima (receiver) pesan saling berinteraksi dalam suatu periode waktu tertentu hingga sampai pada makna-makna yang saling berbagi. Esensi dari dialog adalah mengenal dan menghormati pembicara lain atau suara lain, sebagai subjek yang otonom, tidak lagi hanya sebagai objek komunikasi. Dalam dialog setiap orang

(31)

memiliki hak yang sama untuk bicara atau untuk didengar dan mengharap bahwa suaranya tidak akan ditekan oleh orang lain atau disatukan dengan suara orang lain.

Rahim dalam White (2004) mendefinisikan komunikasi partisipatif adalah suatu proses komunikasi dimana terjadi komunikasi dua arah atau dialogis, sehingga menghasilkan suatu pemahaman yang sama terhadap pesan yang disampaikan. Dalam konsep public sphere, dialog merupakan suatu aktivitas komunikasi yang terbuka dan dapat diakses oleh para peserta. Dalam konsep ini yang dicari bukan saja berorientasi pada keberhasilannya masing-masing, namun yang lebih penting adalah bagaimana situasi pemahaman bersama terhadap realitas menjadi dasar bagi pencapaian kepentingan mereka, tanpa mengabaikan kesesuaian antara rencana dan aksi (Habermas 1990).

Menurut Tufte dan Mefalopulos (2009) terdapat tiga cara untuk melakukan komunikasi dalam sebuah program yaitu: (1) komunikasi secara monologik, di mana komunikasi yang hanya berlangsung satu arah dari komunikator yang tidak memberikan kesempatan orang lain (komunikan) untuk berbicara atau menyampaikan reaksi; (2) komunikasi secara dialogik, di mana komunikasi yang berlangsung dua arah dari komunikator ke komunikan, komunikan diberi kesempatan bahkan diharapkan memberikan tanggapan atau feedback dan (3) komunikasi secara gabungan dari monologik dan dialogik atau multi tract.

Dapat disimpulkan bahwa dialog sebagai basis komunikasi dalam program pembagunan yang mengklaim sebagai partisipatif berarti masyarakat saling bertukar informasi dan bekerja sama dengan agent eksternal (birokrasi pembnagunan, penyedia program, fasilitator dan elit lokal) dalam proses pengambilan keputusan. Proses ini dilakukan untuk pemberdayaan masyarakat, agar masyarakat memiliki kemampuan untuk mengontrol tindakan dan aktivitas program yang membawa manfaat bagi meningkatnya kualitas hidup mereka.

2.3 Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif

Chitnis (2011) menyatakan dalam tataran filosofis, tiga kunci faktor penentu komunikasi partisipatif dapat ditelusuri melalui ranah politik, ranah epistemological, dan ranah organizational. Pertama ranah politik, komunikasi partisipatif adalah aktivitas politik didasarkan atas perubahan kekuasan yang setara. Berarti keterbatasan sumberdaya masyarakat dalam komunikasi dapat diatasi agar suara mereka dapat didengar. Dalam paradigma dominan, media massa sebagai distribusi sistem (logika kapitalis) berubah menjadi sistem komunikasi dua arah dan munculnya dialog.

Kedua ranah epistemological, komunikasi partisipatif didasarkan pada perubahan posisi dari teori dan praktek komunikasi yang menguatkan status quo, mempertahankan kelas, kasta dan ketidaksetaraan gender telah berubah dan didasarkan pada retorika dan praktek pembebasan yaitu kebebasan, emansipasi, perjuangan, pilihan opsi untuk kaum miskin, transformasi dan perubahan.

Ketiga ranah organizational, komunikasi partisipatif sukses diimplementasikan bila didasarkan atas perubahan etika dan metode operasional organisasi/ kelembagaan penyelenggara; mencakup antusiasme non hirarki, non

(32)

formal, membangun kerangka demokratis sebagai metode penting program partisipatif.

Rahim dalam White (2004) menyatakan bahwa penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang

heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi

detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta event-event yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Terutama informasi pada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dalam kondisi marjinal, ketidakberuntungan, terabaikan atau tertindas di bawah hegemoni sosial.

Penerapan komunikasi partisipatif dalam pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dengan penekanan pada dialog dalam program pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglassia sosial dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya (Mefalopulos 2003). Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995) dan dukungan kelembagaan (White 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan komunikasi partisipatif dapat dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi perempuan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan jenis pekerjaan), dan motivasi. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa.

1) Umur

Secara kronologis umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu (Salkind 1985). Suprayitno (2011) menemukan umur merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam partisipasi pengelolaan hutan. Menurut Suardiman (2001) menyatakan umur bagi seorang perempuan berperan dalam menghadapi kehidupan rumahtangganya, semakin tinggi usia seseorang akan diikuti oleh kedewasaan atau kematangan dalam menghadapi suatu masalah.

Umur juga berhubungan dengan tingkat penerimaan auatu inovasi atau teknologi baru. Robbins dalam Manoppo (2009) mengatakan bahwa para pekerja yang sudah berumur atau tua cenderung kurang luwes dan menolak teknologi baru. Selanjutnya dijelaskan bahwa umur juga berhubungan dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan semakin bertambahnya umur seseorang. Keterampilan individu terutama menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu dan kurangnya rangsangan intelektualitas, semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas.

(33)

2) Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Menurut Slamet (2003) pendidikan adalah usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka cakrawala/ pikiran dan dalam menerima hal-hal baru dan bagaimana cara berpikir secara ilmiah.

Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula cara berfikir dan cara bertindaknya. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) pendidikan merupakan sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula partisipasinya dalam mengajukan saran. Sedangkan menurut Plumer dalam Yulianti (2012) faktor pendidikan dan buta huruf sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada. Mengacu pada pendapat tersebut, diduga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan (baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal) yang cukup akan lebih mudah berpartisipasi dalam forum musyawarah melalui dialog.

3) Alokasi Waktu

Curahan waktu yang tersedia pada perempuan khususnya perempuan kepala keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi melalui kegiatan komunikasi partisipatif mereka dalam program. Besarnya curahan waktu yang tersedia bagi setiap perempuan kepala keluarga dalam program berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Evenson dalam Manoppo (2009) mengemukakan bahwa dalam kerangka ekonomi keluarga, waktu dan anggota keluarga merupakan sumber daya dan faktor produksi. Bagi keluarga miskin, waktu merupakan sumber daya yang sangat penting yang akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat meminimumkan biaya produksi kebutuhan keluarga. Makin rendah ekonomi keluarga petani, makin besar curahan waktu yang yang digunakan wanita untuk memperoleh penghasilan.

Menurut King dalam Suandi (2001) mengemukakan bahwa sesuai dengan peranannya, pembagian alokasi waktu wanita dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) waktu untuk bekerja produktif di pasar kerja atau mencari nafkah, (2) waktu untuk bekerja produktif di rumah tangga, dan (3) waktu untuk konsumsi lainnya, seperti: waktu untuk kebutuhan fisiologis dan rekreasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat alokasi waktu perempuan kepala keluarga dalam program yang dipengaruhi oleh faktor sebab mereka menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan.

(34)

a) Sebab menjadi Kepala Keluarga

Sebab menjadi kepala keluarga akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam berinteraksi. Seorang janda (perempuan kepala keluarga) akan berbeda tindakan atau perilakunya dalam masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang bukan janda. Menurut Seknas PEKKA (2010) perempuan kepala keluarga memiliki tanggungjawab yang besar dalam hal mencari nafkah dan mengurus rumahtangganya. Berdasarkan pendapat tersebut, diduga perempuan kepala keluarga memiliki keterbatasan waktu, akses dan partisipasinya dalam implementasi program pembangunan.

b) Jumlah Tanggungan Keluarga

Besar kecilnya jumlah keluarga mempunyai kaitan erat dengan upaya untuk memperoleh pendapatan dalam keluarga, sehingga dapat menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tersebut. Menurut Sajogyo (1984) menyatakan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perempuan yang bekerja sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya terlebih lagi bagi yang mempunyai jumlah tanggungan dan beban keluarga yang tidak sedikit. Hasil penelitian Surtiyah dalam Manoppo (2009) menyatakan bahwa bagi perempuan miskin yang mempunyai anggota keluarga yang besar umumnya mempunyai semangat kerja yang tinggi sehingga partisipasi dalam setiap program juga tinggi.

c) Pekerjaan

Status kerja atau jenis pekerjaan seseorang di sektor formal dan informal akan mempengaruhi pribadi dan lingkungan di sekitarnya terutama dalam hal bertindak. Menurut Brothers dalam Suardiman (2001) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal akan memiliki kepercayaan diri yang besar. Menurut Plumer

dalam Yulianti (2012) biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akandapat

lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi.

4) Motivasi

Motivasi terdiri dari kata „motif‟ berarti dorongan dan „asi‟ berarti usaha. Padmowiharjo dalam Manoppo (2009), motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Daya atau kekuatan tersebut dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makan, istirahat atau kebutuhan untuk berkuasa. Tingkah laku manusia disebabkan oleh adanya kebutuhan dan ditambah dengan adanya dorongan tertentu. Adanya kebutuhan dan dorongan ini seseorang akan merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Jika keadaan siap mengarah kepada suatu kegiatan konkrit disebut sebagai motif. Selanjutnya usaha untuk menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku konkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi.

(35)

Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.

Menurut Maslow (1993) motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia. Menurut teori ini, ada lima tingkatan kebutuhan dalam diri manusia (pokok) mulai dari yang paling dasar sampai ke yang paling tinggi, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kelima jenis kebutuhan itu merupakan jenjang yang saling terkait dan mendorong individu untuk melakukan berbagai tindakan.

5) Peran Pendamping

Menurut Ife (1995) keberhasilan komunikasi partisipatif dalam program pembangunan melalui proses dialogis sangat tergantung pada peran fasilitator sebagai inisiator dan perencana. Untuk itu fasilitator perlu memiliki sensitifitas dan kesadaran dampak pembangunan ekonomi terhadap kultur masyarakat. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh fasilitator sebagai perencana adalah pengetahuan tentang tentang: konsep-konsep manajemen, cara mengatasi masalah, dapat bertindak sebagai pengarah orchestra dinamika kelompok, sebagai komunikator yang mengetahui akses informasi (klarifikasi, sintesis, keterhubungan (link) dengan warga, mengembangkan diskusi dan memfasilitasi partisipasi).

Sejalan dengan pendapat di atas, Leuwis dalam Satriani (2011) menyatakan fungsi-fungsi komunikasi yang relevan dilakukan oleh aktor (fasilitator) melalui intervensi komunikatif dan partisipatif sebagai sarana pemberdayaan masyarakat meliputi: (1) fungsi meningkatkan kesadaran dan penyadaran isu-isu yang akan didefinisikan; (2) mengeksplorasi pandangan dan isu-isu; (3) penyediaan informasi, intervensi komunikatif berupa membuat informasi yang dapat diakses; (4) pelatihan, intervensi komunikatif berupa mentransfer dan mengembangkan pengetahuan khusus, ketrampilan dan kemampuan-kemampuan yang sesuai dengan masyarakat. Menurut Ife (1995) peranan dan keterampilan yang harus dimiliki pendamping/ fasilitator sebagai agen perubahan dalam program pembangunan di antaranya adalah:

a. Peranan fasilitatif

Proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri: bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas.

(36)

b. Peranan edukatif

Tantangan fasilitator adalah “mengajar” dengan cara seterbuka mungkin sambil menanggapi agenda partisipan, dari pada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas. Banyak dari keterampilan dasar yang berasosiasi dengan pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan memberikan suatu gagasan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dan fasilitator adalah menertibkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasikan), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Konteks seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia membutuhkan kesadaran (consciousness). Menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. c. Peranan sebagai peneliti

Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian, guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuesioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik.

d. Peranan teknikal

Proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assessment.” Peran teknik yang akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa.

(37)

6) Lembaga Kemasyarakatan/ Norma

Partisipasi dan kualitas komunikasi partisipatif masyarakat dalam program pembangunan juga ditentukan oleh peran kelembagaan masyarakat (termasuk norma). Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharausan, dianjurkan, dibolehkan atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control (Soekanto 2006).

Norma di masyarakat sangat berpengaruh menentukan penerapan komunikasi partisipatif dalam masyarakat. Muchlis (2009) menemukan norma yang berlaku di masyarakat desa sangat kental dengan budaya patriarkhi dan patron-client. Hal ini menyebabkan akses yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan dan antara golongan elit desa yaitu tokoh informal dan formal dengan masyarakat akar rumput (rumahtangga miskin) yang terlibat dalam even rapat dan musyawarah desa.

Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi, antara lain:

(a) Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

(b) Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.

(c) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial; artinya sistem pengawasan masyrakat terhadap tingkah laku anggotanya.

7) Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia baik secara lisan maupun tulisan.Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf dalam Rinawati 2012).

Gambar

Gambar 1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe
Gambar 2 Kerangka pemikiran
Tabel 1 Distribusi perempuan kepala keluarga berdasarkan jenis pekerjaan  Kategori Perempuan  Kepala Keluarga  Jenis pekerjaan Sektor formal  (orang)  Sektor informal (orang)  Tidak bekerja (orang)  1
Tabel 3 Matriks jenis data, sumber  dan metode pengumpulan data
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan pada tikus wistar hiperkolesterolemia dengan rerata kolesterol total 236 mg/dL yang diberi jus jeruk nipis

Maka, jika suatu perusahaan memiliki kemampuan untuk menggunakan dan melepaskan sumber daya manusia yang ada, atau dengan kata lain, perusahaan dapat mengendalikan akses pihak

Dalam hal ini Penulis meneliti strategi yang dilancarkan Humas LKP Batik Siger Yayasan Sari Teladan dalam melakukan sosialisasi Batik Siger dalam mempromosikan

Kuisioner post-test terdiri dari enam soal: (A) Ketertarikan peserta dalam mengetahui tanaman buah naga lebih banyak lagi setelah mengikuti penyuluhan (B) Ketertarikan

Biro umum akan mengecek barang yang diminta oleh biro yang mengajukan permintaan barang. Jika barang tersebut tersedia maka biro umum akan memberikan barang

 Dengan bantuan kerangka zachman, perencanaan sistem informasi suatu perusahaan dapat difokuskan pada artifak yang berguna ( artifact of value ), dan menghindari adanya artifact

 etelah berdiskui dan menggali informasi peserta didik akan dapat menelaskan fungsi panel etelah berdiskui dan menggali informasi peserta didik akan dapat menelaskan

Untuk memperoleh data tentang pengaruh model pembelajaran problem based learning terhadap hasil belajar kelas IV SDN Bandungrejosari 1 Malang diperoleh dari hasil pretest