• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.3 Faktor-Faktor Penentu Penerapan Komunikasi Partisipatif

Chitnis (2011) menyatakan dalam tataran filosofis, tiga kunci faktor penentu komunikasi partisipatif dapat ditelusuri melalui ranah politik, ranah epistemological, dan ranah organizational. Pertama ranah politik, komunikasi partisipatif adalah aktivitas politik didasarkan atas perubahan kekuasan yang setara. Berarti keterbatasan sumberdaya masyarakat dalam komunikasi dapat diatasi agar suara mereka dapat didengar. Dalam paradigma dominan, media massa sebagai distribusi sistem (logika kapitalis) berubah menjadi sistem komunikasi dua arah dan munculnya dialog.

Kedua ranah epistemological, komunikasi partisipatif didasarkan pada perubahan posisi dari teori dan praktek komunikasi yang menguatkan status quo, mempertahankan kelas, kasta dan ketidaksetaraan gender telah berubah dan didasarkan pada retorika dan praktek pembebasan yaitu kebebasan, emansipasi, perjuangan, pilihan opsi untuk kaum miskin, transformasi dan perubahan.

Ketiga ranah organizational, komunikasi partisipatif sukses diimplementasikan bila didasarkan atas perubahan etika dan metode operasional organisasi/ kelembagaan penyelenggara; mencakup antusiasme non hirarki, non

formal, membangun kerangka demokratis sebagai metode penting program partisipatif.

Rahim dalam White (2004) menyatakan bahwa penerapan komunikasi partisipatif melalui model dialogis menuntut adanya pengetahuan tentang

heteroglassia sosial dalam sistem pembangunan. Pengetahuan tentang informasi

detail dan signifikan tentang kelompok sosial dan masyarakat serta hubungan struktural yang mencakup aspek; ekonomi, sosial dan aktivitas budaya serta event-event yang merupakan pola kehidupan mereka yang normal; agen dan lembaga, melalui mana mereka dapat mewakilkan sudut pandang dan nilai-nilai. Terutama informasi pada kelompok masyarakat yang sampai saat ini masih dalam kondisi marjinal, ketidakberuntungan, terabaikan atau tertindas di bawah hegemoni sosial.

Penerapan komunikasi partisipatif dalam pengambilan keputusan dan pertukaran informasi dengan penekanan pada dialog dalam program pembangunan dipengaruhi oleh berbagai faktor baik internal maupun eksternal. Faktor internal yaitu karakteristik masyarakat sebagai sistem sosial dan heteroglassia sosial dalam usia, pendidikan, status perkawinan, jumlah tanggungan, jenis pekerjaan, motivasi dan faktor lainnya (Mefalopulos 2003). Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh dalam penerapan komunikasi partisipatif melalui dialog adalah peran pendamping sebagai agen eksternal (Ife 1995) dan dukungan kelembagaan (White 2004).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan komunikasi partisipatif dapat dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan komponen sosial budaya. Faktor individu terdiri dari umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi perempuan kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan jenis pekerjaan), dan motivasi. Sedangkan komponen sosial budaya meliputi kelembagaan kemasyarakatan/norma dan bahasa.

1) Umur

Secara kronologis umur dapat memberikan petunjuk untuk menentukan tingkat perkembangan individu (Salkind 1985). Suprayitno (2011) menemukan umur merupakan faktor dominan yang mempengaruhi kemampuan masyarakat dalam partisipasi pengelolaan hutan. Menurut Suardiman (2001) menyatakan umur bagi seorang perempuan berperan dalam menghadapi kehidupan rumahtangganya, semakin tinggi usia seseorang akan diikuti oleh kedewasaan atau kematangan dalam menghadapi suatu masalah.

Umur juga berhubungan dengan tingkat penerimaan auatu inovasi atau teknologi baru. Robbins dalam Manoppo (2009) mengatakan bahwa para pekerja yang sudah berumur atau tua cenderung kurang luwes dan menolak teknologi baru. Selanjutnya dijelaskan bahwa umur juga berhubungan dengan produktivitas. Produktivitas akan merosot dengan semakin bertambahnya umur seseorang. Keterampilan individu terutama menyangkut kecepatan, kecekatan, kekuatan dan koordinasi menurun seiring berjalannya waktu dan kurangnya rangsangan intelektualitas, semua berkontribusi terhadap menurunnya produktivitas.

2) Pendidikan

Pendidikan merupakan suatu faktor internal individu yang memungkinkan seseorang dapat memperoleh berbagai ilmu pengetahuan dan keterampilan. Menurut Slamet (2003) pendidikan adalah usaha untuk menghasilkan perubahan-perubahan pada perilaku manusia. Pendidikan memberikan nilai-nilai tertentu bagi manusia terutama dalam membuka cakrawala/ pikiran dan dalam menerima hal-hal baru dan bagaimana cara berpikir secara ilmiah.

Saharuddin (1987) mengatakan bahwa tingkat pendidikan seseorang mempengaruhi partisipasinya pada tingkat perencanaan, oleh karena itu semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang dapat diharapkan semakin baik pula cara berfikir dan cara bertindaknya. Menurut Van Den Ban dan Hawkins (1999) pendidikan merupakan sarana untuk membentuk pendapat dan keberanian dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian Herawati dan Pulungan (2006) menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi pula partisipasinya dalam mengajukan saran. Sedangkan menurut Plumer dalam Yulianti (2012) faktor pendidikan dan buta huruf sangat berpengaruh bagi keinginan dan kemampuan masyarakat untuk berpartisipasi serta untuk memahami dan melaksanakan tingkatan dan bentuk partisipasi yang ada. Mengacu pada pendapat tersebut, diduga masyarakat yang memiliki tingkat pendidikan (baik pendidikan formal maupun pendidikan non formal) yang cukup akan lebih mudah berpartisipasi dalam forum musyawarah melalui dialog.

3) Alokasi Waktu

Curahan waktu yang tersedia pada perempuan khususnya perempuan kepala keluarga merupakan faktor yang berhubungan dengan tingkat partisipasi melalui kegiatan komunikasi partisipatif mereka dalam program. Besarnya curahan waktu yang tersedia bagi setiap perempuan kepala keluarga dalam program berbeda-beda di tiap-tiap daerah. Evenson dalam Manoppo (2009) mengemukakan bahwa dalam kerangka ekonomi keluarga, waktu dan anggota keluarga merupakan sumber daya dan faktor produksi. Bagi keluarga miskin, waktu merupakan sumber daya yang sangat penting yang akan dialokasikan untuk berbagai kegiatan dengan cara sedemikian rupa sehingga dapat meminimumkan biaya produksi kebutuhan keluarga. Makin rendah ekonomi keluarga petani, makin besar curahan waktu yang yang digunakan wanita untuk memperoleh penghasilan.

Menurut King dalam Suandi (2001) mengemukakan bahwa sesuai dengan peranannya, pembagian alokasi waktu wanita dalam rumah tangga dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu (1) waktu untuk bekerja produktif di pasar kerja atau mencari nafkah, (2) waktu untuk bekerja produktif di rumah tangga, dan (3) waktu untuk konsumsi lainnya, seperti: waktu untuk kebutuhan fisiologis dan rekreasi.

Berdasarkan uraian di atas, maka penelitian ini diarahkan untuk melihat alokasi waktu perempuan kepala keluarga dalam program yang dipengaruhi oleh faktor sebab mereka menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan keluarga dan pekerjaan.

a) Sebab menjadi Kepala Keluarga

Sebab menjadi kepala keluarga akan mempengaruhi kehidupan mereka dalam berinteraksi. Seorang janda (perempuan kepala keluarga) akan berbeda tindakan atau perilakunya dalam masyarakat dibandingkan dengan perempuan yang bukan janda. Menurut Seknas PEKKA (2010) perempuan kepala keluarga memiliki tanggungjawab yang besar dalam hal mencari nafkah dan mengurus rumahtangganya. Berdasarkan pendapat tersebut, diduga perempuan kepala keluarga memiliki keterbatasan waktu, akses dan partisipasinya dalam implementasi program pembangunan.

b) Jumlah Tanggungan Keluarga

Besar kecilnya jumlah keluarga mempunyai kaitan erat dengan upaya untuk memperoleh pendapatan dalam keluarga, sehingga dapat menyebabkan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup keluarga tersebut. Menurut Sajogyo (1984) menyatakan peningkatan pendapatan yang diperoleh dari perempuan yang bekerja sangat diperlukan untuk meningkatkan kesejahteraan keluarganya terlebih lagi bagi yang mempunyai jumlah tanggungan dan beban keluarga yang tidak sedikit. Hasil penelitian Surtiyah dalam Manoppo (2009) menyatakan bahwa bagi perempuan miskin yang mempunyai anggota keluarga yang besar umumnya mempunyai semangat kerja yang tinggi sehingga partisipasi dalam setiap program juga tinggi.

c) Pekerjaan

Status kerja atau jenis pekerjaan seseorang di sektor formal dan informal akan mempengaruhi pribadi dan lingkungan di sekitarnya terutama dalam hal bertindak. Menurut Brothers dalam Suardiman (2001) menyatakan bahwa perempuan yang bekerja di sektor formal akan memiliki kepercayaan diri yang besar. Menurut Plumer

dalam Yulianti (2012) biasanya orang dengan tingkat pekerjaan tertentu akandapat

lebih meluangkan ataupun bahkan tidak meluangkan sedikitpun waktunya untuk berpartisipasi pada suatu proyek tertentu. Seringkali alasan yang mendasar pada masyarakat adalah adanya pertentangan antara komitmen terhadap pekerjaan dengan keinginan untuk berpartisipasi.

4) Motivasi

Motivasi terdiri dari kata „motif‟ berarti dorongan dan „asi‟ berarti usaha. Padmowiharjo dalam Manoppo (2009), motivasi adalah usaha yang dilakukan manusia untuk menimbulkan dorongan untuk berbuat atau melakukan suatu tindakan. Motivasi adalah segala daya yang mendorong seseorang untuk melaksanakan sesuatu. Daya atau kekuatan tersebut dapat berupa pemenuhan akan kebutuhan biologis, seperti kebutuhan makan, istirahat atau kebutuhan untuk berkuasa. Tingkah laku manusia disebabkan oleh adanya kebutuhan dan ditambah dengan adanya dorongan tertentu. Adanya kebutuhan dan dorongan ini seseorang akan merasa siap untuk melakukan suatu perilaku tertentu. Jika keadaan siap mengarah kepada suatu kegiatan konkrit disebut sebagai motif. Selanjutnya usaha untuk menggiatkan motif-motif tersebut menjadi tingkah laku konkrit disebut dengan tingkah laku bermotivasi.

Motivasi merupakan keadaan dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu guna mencapai tujuan.

Menurut Maslow (1993) motivasi erat kaitannya dengan kebutuhan manusia. Menurut teori ini, ada lima tingkatan kebutuhan dalam diri manusia (pokok) mulai dari yang paling dasar sampai ke yang paling tinggi, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan memperoleh rasa aman, kebutuhan rasa memiliki dan rasa cinta, kebutuhan harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri. Kelima jenis kebutuhan itu merupakan jenjang yang saling terkait dan mendorong individu untuk melakukan berbagai tindakan.

5) Peran Pendamping

Menurut Ife (1995) keberhasilan komunikasi partisipatif dalam program pembangunan melalui proses dialogis sangat tergantung pada peran fasilitator sebagai inisiator dan perencana. Untuk itu fasilitator perlu memiliki sensitifitas dan kesadaran dampak pembangunan ekonomi terhadap kultur masyarakat. Kompetensi yang perlu dimiliki oleh fasilitator sebagai perencana adalah pengetahuan tentang tentang: konsep-konsep manajemen, cara mengatasi masalah, dapat bertindak sebagai pengarah orchestra dinamika kelompok, sebagai komunikator yang mengetahui akses informasi (klarifikasi, sintesis, keterhubungan (link) dengan warga, mengembangkan diskusi dan memfasilitasi partisipasi).

Sejalan dengan pendapat di atas, Leuwis dalam Satriani (2011) menyatakan fungsi-fungsi komunikasi yang relevan dilakukan oleh aktor (fasilitator) melalui intervensi komunikatif dan partisipatif sebagai sarana pemberdayaan masyarakat meliputi: (1) fungsi meningkatkan kesadaran dan penyadaran isu-isu yang akan didefinisikan; (2) mengeksplorasi pandangan dan isu-isu; (3) penyediaan informasi, intervensi komunikatif berupa membuat informasi yang dapat diakses; (4) pelatihan, intervensi komunikatif berupa mentransfer dan mengembangkan pengetahuan khusus, ketrampilan dan kemampuan-kemampuan yang sesuai dengan masyarakat. Menurut Ife (1995) peranan dan keterampilan yang harus dimiliki pendamping/ fasilitator sebagai agen perubahan dalam program pembangunan di antaranya adalah:

a. Peranan fasilitatif

Proses fasilitatif, peranan yang dapat dilakukan oleh fasilitator antara lain: (a) membantu anggota komunitas agar mereka berpartisipasi dalam program pengembangan masyarakat dengan memberikan inspirasi, semangat, rangsangan, inisiatif, energi, dan motivasi sehingga mampu bertindak. Animator yang berhasil memiliki ciri-ciri: bersemangat, memiliki komitmen, memiliki integritas, mampu berkomunikasi dengan berbagai kalangan, mampu menganalisis dan mengambil langkah yang tepat, dan mudah bergaul dan terbuka; (b) mendengar dan memahami aspirasi anggota komunitas, bersikap netral, mampu mencari jalan keluar, dan mampu bernegosiasi (negosiator); (c) memberikan dukungan kepada orang-orang yang terlibat dalam struktur dan kegiatan komunitas; (d) membantu anggota komunitas untuk mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak; (e) memberikan fasilitas kepada anggota komunitas; dan (f) memanfaatkan sumberdaya dan keahlian yang ada dalam komunitas.

b. Peranan edukatif

Tantangan fasilitator adalah “mengajar” dengan cara seterbuka mungkin sambil menanggapi agenda partisipan, dari pada menguatkan struktur pengawasan dan dominasi dari agenda pemerintah, badan pembiayaan atau asosiasi professional. Ini dapat menjadi suatu tantangan yang berarti, dan menekankan pentingnya diskusi analisa struktural yang lebih luas. Banyak dari keterampilan dasar yang berasosiasi dengan pendidikan, seperti dengan kelompok dan interaksi interpersonal. Mereka memasukkan dan memberikan suatu gagasan dengan menggunakan bahasa rakyat yang jelas untuk dipahami, dapat mendengar dan menanggapi pertanyaan orang lain dan merasakannya. Peran pendidikan dan fasilitator adalah menertibkan kesadaran, menginformasikan, menghadapkan (mengkonfrontasikan), dan memberikan pelatihan kepada partisipan. Konteks seorang fasilitator mesti mampu menjawab bagaimana dia membutuhkan kesadaran (consciousness). Menyampaikan informasi, menciptakan dinamika internal dari suatu komunitas, dan memberikan pelatihan berdasarkan topik yang sesuai dengan kebutuhan anggota komunitas. Fasilitator dituntut berperan aktif dalam proses pendidikan guna merangsang dan mendukung kegiatan-kegiatan komunitas. Kegiatan itu tidak saja membantu, namun lebih-lebih harus punya input dan arahan-arahan positif dari hasil pengetahuan dan keterampilan yang dikuasai fasilitator. Pendidikan dalam artian ini adalah upaya berbagi pengetahuan dalam membangun suatu kesadaran bersama dalam memahami kenyataan sehari-hari. c. Peranan sebagai peneliti

Fasilitator juga mempunyai kepentingan untuk melakukan penelitian, guna mengumpulkan dan menginterpretasikan data baru yang terkait, sehingga dapat memperkaya wawasan dan memberikan sumbangan bagi pengembangan model pemberdayaan sejenis di masa mendatang. Pekerja masyarakat (fasilitator) tidak terelakkan terlibat di dalam proses-proses riset, dengan menggunakan bermacam metodologi riset ilmu sosial untuk mengumpulkan data yang relevan, meneliti dan menyajikan data. Hal ini termasuk dalam hal merancang dan melaksanakan survai sosial, meneliti dari survei-survei, menggunakan dan meneliti data sensus, mengumpulkan dan meneliti data tentang permintaan dan pemanfaatan berbagai jasa. Ini adalah satu bidang di mana pengetahuan teknis seperti sampling, membangun daftar pertanyaan/kuesioner dan analisis statistik diperlukan jika pekerjaan sosial ingin berjalan dengan baik.

d. Peranan teknikal

Proses pemberdayaan masyarakat perlu melibatkan keahlian dan teknik-teknik yang khas, terutama untuk melakukan “need assessment.” Peran teknik yang akan dilakukan oleh seorang fasilitator dalam pemberdayaan dapat terlaksana jika yang bersangkutan memiliki kualifikasi teknis untuk membantu masyarakat melakukan hal-hal teknis yang berkaitan dengan pembangunan prasarana desa.

6) Lembaga Kemasyarakatan/ Norma

Partisipasi dan kualitas komunikasi partisipatif masyarakat dalam program pembangunan juga ditentukan oleh peran kelembagaan masyarakat (termasuk norma). Uphoff (1986) mendefinisikan institusi atau kelembagaan sebagai sebuah kumpulan norma dan perilaku yang berlangsung lama dengan melayani tujuan yang bernilai sosial, sedangkan organisasi adalah struktur peranan yang dikenali dan diterima. Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Kekuatan mengikat sistem norma terbagi menjadi empat tingkatan dari yang paling ringan yaitu cara, kebiasaan, tata kelakuan, dan adat istiadat. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharausan, dianjurkan, dibolehkan atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap masyarakat diselenggarakan pengendalian sosial atau social control (Soekanto 2006).

Norma di masyarakat sangat berpengaruh menentukan penerapan komunikasi partisipatif dalam masyarakat. Muchlis (2009) menemukan norma yang berlaku di masyarakat desa sangat kental dengan budaya patriarkhi dan patron-client. Hal ini menyebabkan akses yang tidak sama antara laki-laki dan perempuan dan antara golongan elit desa yaitu tokoh informal dan formal dengan masyarakat akar rumput (rumahtangga miskin) yang terlibat dalam even rapat dan musyawarah desa.

Menurut Soekanto (2006) lembaga kemasyarakatan merupakan himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok dalam kebutuhan masyarakat. Lembaga kemasyarakatan memiliki fungsi, antara lain:

(a) Memberi pedoman berperilaku pada individu/masyarakat: bagaimana mereka harus bertingkah laku atau bersikap di dalam menghadapi masalah-masalah dalam masyarakat, terutama yang menyangkut kebutuhan-kebutuhan.

(b) Menjaga keutuhan: dengan adanya pedoman yang diterima bersama, maka kesatuan dalam masyarakat dapat dipelihara.

(c) Memberi pegangan kepada masyarakat untuk mengadakan kontrol sosial; artinya sistem pengawasan masyrakat terhadap tingkah laku anggotanya.

7) Bahasa

Bahasa adalah alat komunikasi antara anggota masyarakat berupa symbol bunyi yang di hasilkan oleh alat ucap manusia baik secara lisan maupun tulisan.Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf dalam Rinawati 2012).

Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati. Menurut hasil penelitian Rinawati (2012) sebagian besar perempuan menggunakan bahasa daerah (sunda) dalam kehidupan sehari-hari, demikian pula dalam kegiatan pemberdayaan. Namun demikian sebagian dari perempuan tersebut ada yang menggunakan bahasa Indonesia. Salah satu alasan penggunaan bahasa sunda dalam percakapan sehari-hari maupun dalam kegiatan pemberdayaan dikarenakan tradisi atau budaya para perempuan tersebut.