• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Sosial Budaya 1. Peran Lembaga Kemasyarakatan/Norma

7 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA

3. Alokasi Waktu

7.3 Faktor Sosial Budaya 1. Peran Lembaga Kemasyarakatan/Norma

Partisipasi anggota kelompok PEKKA dan kualitas komunikasi partisipatif merupakan sarana pemberdayaan perempuan kepala keluarga yang turut ditentukan oleh peran kelembagaan (termasuk norma) baik kelembagaan masyarakat, maupun kelembagaan eksternal (pemerintah dan non pemerintah). Norma merupakan aturan sosial, patokan berperilaku yang pantas, atau tingkah laku rata-rata yang diabstraksikan. Norma bersumber dari nilai dan merupakan wujud konkrit dari nilai. Dalam norma termuat hal-hal tentang keharusan, dianjurkan, dibolehkan, atau larangan. Norma mengontrol perilaku masyarakat. Dengan adanya norma-norma tersebut, dalam setiap kehidupan bermasyarakat diselenggarakan penegendalian sosial atau social control (Soekanto 2006).

Norma dalam masyarakat sangat berpengaruh menentukan kualitas komunikasi partisipatif di masyarakat. Norma yang berlaku dalam masyarakat desa Dayah Tanoh masih kental dengan budaya patriarki. Patriarki adalah sistem yang selama ini meletakkan perempuan terdominasi dan tersubordinasi. Di mana hubungan antara laki-laki dan perempuan bersifat hierarkis, yakni laki-laki berada pada kedudukan dominan sedangkan perempuan sebagai sub-ordinat, “laki-laki menentukan sementara perempuan ditentukan”. Kondisi ini juga terlihat dalam aktivitas keseharian mereka. Dalam pekerjaan sehari-hari misalnya umumnya laki-laki terlihat lebih dominan dalam mengontrol, menentukan serta melakukan pekerjaan utama dibandingkan perempuan. Umumnya perempuan hanya bekerja sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi pekerjaan domestik saja. Kondisi masyarakat ini tentu saja sangat tidak memihak kepada kehidupan perempuan kepala keluarga yang ada di Desa Dayah Tanoh, dimana mereka harus bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah dan sekaligus harus mengerjakan pekerjaan domestiknya, makanya kehidupan perempuan kepala keluarga di desa ini sebelum

mengikuti PEKKA berada pada tingkatan rendah. Dimana mereka tidak mendapatkan akses yang sama dengan laki-laki.

Kehidupan mereka terkekang oleh adanya norma tersebut. Karena mereka tidak bisa melakukan pekerjaan produktif yang biasanya dilakukan oleh laki-laki sementara mereka adalah sebagai pencari nafkah utama dalam keluarga. Mereka juga sering tidak diikutkan dalam kegiatan desa, misalnya dalam rapat desa mereka hanya sebagai pelengkap saja, mereka tidak pernah dimintai pendapat ataupun saran sehingga mereka sering tidak hadir dalam kegiatan di desa. Karena semua kegiatan hanya mendengar dan berdasarkan aspirasi kaum laki-laki saja. Seperti yang dituturkan Ibu Hmm:

“Di sini kan kedudukan perempuan dan laki-laki itu jauh berbeda ya. Perempuan dianggap menjadi nomor dua dalam berbagai hal apalagi kami janda-janda ini. Perempuan itu kerjaannya di rumah, ngasuh anak, masak, nyuci dan lain-lain. Kalau cari uang itu ya suami. Tapi gimana dengan kami janda ini, kalau gak kerja mau makan apa coba, orang saya jadi kepala keluarga anak saya mau makan apa, jadi saya harus tetap kerja jualan kue ke pasar walaupun banyak masyarakat lain yang cemoohin saya, saya gak peduli. Yang penting kerjaan saya halal dan tidak mengganggu orang lain. Tapi setelah ada program ini semuanya jadi berubah, saya menjadi lebih paham kedudukan dan hak saya sebagai kepala keluarga. Masyrakat disini juga udah berubah, udah banyak yang mengerti setelah melihat keberhasilan kami setelah mengikuti program ini. (Hmm)”

Pun demikian seperti juga diungkapkan Ibu NC:

“...Gak ya, kalau ada rapat di meunasah itu kan penguman atau undangan dengan cara diumumkan di mix (mikrofon yang dipakai untuk azan), agar semua warga disuruh hadir ada rapat. Ya saya malas ikut rapat karena kita disana gak pernah dimintai pendapat, kita perempuan hadir hanya sebagai pendengar saja dan biasanya ngurusin nyediain kue dan minum buat bapak-bapak. Keputusan rapat kan ditangan bapak-bapak. Jadi saya sering gak datang. Tapi sekarang ada sedikit perubahan setelah saya ikut program ini. Kalau di undang rapat, saya sengaja hadir dan jika kita-kita gak dimintai pendapat dan kalau hasil rapat tidak memuaskan perempuan, saya sudah berani untuk bersuara supaya pendapat dan kebutuhan perempuan juga didengarkan oleh bapak-bapak. Jadi sekarang kami ini sudah dianggap lah kedudukannya di desa ini. (BR)”

Budaya patriarkhi merupakan salah satu penyebab terhambatnya pelaksanaan kegiatan PEKKA pada awal program. Apalagi sasaran dari program ini adalah perempuan kepala keluarga yang selama ini kehidupan mereka jarang bahkan tidak pernah mendapat perhatian dari pihak manapun. Namun usaha PL

dalam melakukan pendekatan secara interpersonal dan dialogis, kesadaran dan minat masyarakat untuk berubah semakin tinggi. Lebih lanjut, keberhasilan anggota PEKKA dalam menjalankan usaha serta kehidupan sosial mereka membuat pemikiran masyarakat lain di sekitar mereka menjadi lebih terbuka dan budaya patriarki mulai perlahan-lahan tersamarkan. Sekarang perempuan di sini telah memiliki kesempatan untuk memenuhi kebutuhan dasar, ekonomi dan politik serta dapat mengakses aset-aset produktif sama dengan laki-laki.

Selain faktor norma, kelembagaan masyarakat juga memepengaruhi perilaku komunikasi partisipatif. Adapun Kelembagaan masyarakat tersebut seperti Pemerintahan Desa, Tuha Peut, PKK, Posyandu, dan kelompok pengajian. Namun yang memiliki peran dan dukungan besar dalam program PEKKA adalah Pemerintahan Desa dan Tuha Peut.

1) Pemerintahan Desa

Pemerintahan desa merupakan faktor pendorong percepatan keberhasilan pembangunan di tingkat desa. Perangkat desa Dayah Tanoh sangat mendukung program pemberdayaan PEKKA ini. Sosialisasi dan pengenalan program oleh pihak PEKKA difasilitasi oleh pihak aparat desa. Ini adalah bentuk dukungan pemerintahan desa dalam membangun kapasitas dan kesejahteraan masyarakatnya. Desa menyambut baik rencana dan kehadiran program serta siap membantu mensukseskannya. Meskipun pada awalnya ada sedikit salah paham mengingat saat masuknya program ini, kondisi Aceh dalam keadaan darurat militer sehingga pemerintah desa harus berhati-hati dalam menjalankan tugasnya agar tidak ada kecurigaan dari pihak-pihak yang sedang bertikai. Diterimanya kehadiran Program PEKKA di Desa Dayah Tanoh diperkuat oleh penuturan Kepala Desa:

“Saya sebagai geuchik (kepala desa) di desa ini sangat mendukung program PEKKA ini karena bisa memajukan para janda-janda di desa ini dan juga bisa membawa dampak baik untuk kemajuan desa kami. Meskipun dulu pada awal masuk saya sempat salah paham dengan PL, karena dulu masa konflik kan jadi saya sangat hati-hati dalam menerima orang apalagi ini program untuk janda kan sangat takut kita apa ini dari pihak GAM atau RI. Jadi setelah dijelaskan oleh PL saya ngerti dan memberi izin untuk pelaksanaan program ini. (MYH)”

Lebih lanjut diungkapkan:

“Peran aparat desa atau saya sebagai geuchik hanya memfasilitasi pelaksanaan program, memotivasi kepada anggota agar serius dalam mengikuti program karena program ini sangat bagus. Saya juga membantu PL memberi informasi mana-mana saja keluarga janda di desa ini. Saya juga memberi izin berupa tandatangan jika ada anggota yang mengikuti pelatihan ke luar desa dan saya juga memberi izin ketika mereka dulu mengajukan proposal untuk dapat dana usaha kan saya harus tanda tangan juga. Saya juga pernah diundang kalau

mereka buat rapat ya, ya saya hadir tapi saya tidak mencampuri keputusan mereka saya hanya mendengar dan memberi nasehat saja, sejauh ini saya melihat program ini sangat baik dan keputusan-keputusan mereka juga sangat saya dukung. (MYH)”

Sebelum melaksanakan program, pihak penyelenggara harus terlebih dahulu mendapatkan izin dari pemerintahan desa. Karena selanjutnya, kegiatan ini akan menjadi merupakan tanggung jawab dari desa ini. Tanggung jawab yang diberikan pihak aparat desa terhadap kegiatan di wilayahnya adalah dengan mengetahui kegiatan apa saja yang dilakukan, melakukan kontrol serta koordinasi terhadap kegiatan yang ada. Seperti penjelasan salah satu anggota kelompok berikut ini:

“Iya pak geuchik sangat mendukung program ini. Dia juga hadir ketika kami mengundangnya untuk rapat walaupun hanya sebagai penasehat, dia juga bersedia memberi izin dengan tanda tangan kalau kami butuh izin untuk ikut pelatihan, menandatangani proposal kami, mengizinkan kami untuk melakukan kegiatan di balai desa. (Am)”

2) Tokoh masyarakat

Tuha Peut (kelembagaan perwakilan masyarakat) adalah sebutan masyarakat

Aceh kepada tokoh masyarakat yang ada di desanya, terdiri dari empat orang tokoh masyarakat yang diangkat oleh masyarakat. Tokoh masyarakat adalah pengayom masyarakat, tempat berbagi cerita serta pengalamandan menjadi suri tauladan masyarakat. Tuha Peut adalah orang yang dituakan, disegani, dihormati, memiliki status sosial yang prestise di lingkungan masyarakat, berkepribadian baik serta merupakan orang terpandang di dalam masyarakatnya.

Dalam pelaksaan program PEKKA, tuha Peut berperan sebagai penasehat memberi masukan dan saran serta membantu menyelesaikan masalah yang terjadi dalam kegiatan pemberdayaan ini. Tuha peut juga berperan sebagai fasilitator pada saat sosialisasi program bersama-sama dengan PL. PL meminta mereka untuk membantu dirinya dalam memberikan penyadaran dan motivasi kepada perempuan kepala keluarga untuk dapat berpartisipasi aktif dan mau menerima program ini.

Tuha Peut juga kadang sering diundang dalam rapat anggota PEKKA serta dimintai

saran. Seperti yang diungkapkan salah seorang Tuha Peut berikut ini:

“Saya cuma memantau program ini. Saya beri nasehat kalau mereka minta nasehat kepada kita, saya mengingatkan jangan sampai kegiatan dalam program itu menyalahi aturan agama dan budaya aceh. Saya dulu juga pernah diminta bantu oleh PL untuk menjelaskan kepada janda-janda disini apa itu PEKKA dan memotivasi mereka supaya mau ikut program ini. Saya juga sering diundang rapat sama mereka, saya cuma jadi penasehat saja, itu saja. (Ib)”

Peran dari tokoh masyarakat ini hanya sebatas memberikan nasehat, pengarahan, dan saran. Sebagai tokoh masyarakat, kehadirannya dalam suatu

komunitas atau kegiatan yang dilaksanakan sangat memberikan manfaat, dikarenakan tokoh masyarakat telah melalui dan mengikuti berbagai macam kegiatan di sepanjang pengalaman hidupnya sehingga dapat saling berbagi.

2. Bahasa

Bahasa pengantar yang digunakan dalam program juga mempengaruhi komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga. Bahasa yang digunakan oleh PL adalah bahasa daerah yaitu bahasa Aceh mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan menggunakan bahasa daerah, mereka merasa lebih leluasa dalam berbicara dan menyampaikan pendapat. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Rh yang tidak bisa berbahasa Indonesia:

“Iya bahasa sangat mendukung ya, karena kami disini banyak gak bisa bahasa Indonesia. Jadi PL harus bisa bahasa Aceh sehingga kami cepat mengerti dan kalaupun ada yang mau kami tanyakan bisa langsung bertanya gak usah diterjemahkan. Jadi kami senang karena PL kami semuanya bisa bahasa Aceh jadi kami cepat tahu apa yang disampaikan. (Rh)”

7.4 Ikhtisar

Pennerapan komunikasi partisipatif perempuan kepala keluarga dalam PEKKA dipengaruhi oleh faktor individu, peran pendamping dan faktor sosial budaya. Adapun faktor individu meliputi umur, pendidikan, alokasi waktu (yang dipengaruhi oleh sebab menjadi kepala keluarga, jumlah tanggungan, dan jenis pekerjaan) dan motivasi mereka mengikuti program.

Peran pendamping sebagai fasilitator dan pendidik menyebabkan perubahan bentuk komunikasi perempuan kepala keluarga dari yang bersifat monolog menjadi cenderung dialog (kecuali anggota yang berusia lanjut). Kedudukan anggota dengan PL dalam program ini adalah sejajar sehingga tidak ada yang merasa “digurui” ataupun “menggurui.” Di mana proses belajar yang terjadi bersifat dialogis atau interaktif, kedudukan PL dengan anggota kelompok setara, dimana mereka menjadi sebagai pembelajar atau sama-sama menjadi subyek dalam proses belajar.

Dukungan aparat desa dan tokoh masyarakat terhadap pelaksanaan program membuat perempuan kepala keluarga lebih yakin dan serius dalam menjalankan program, sehingga budaya patriarkhi yang berkembang dalam masyarakat perlahan-lahan dapat tersamarkan. Selain itu, penggunaan bahasa daerah yaitu bahasa Aceh sebagai bahasa komunikasi antara PL dan perempuan kepala keluarga menyebabkan keakraban anatara keduanya sehingga pelaksanaan kegiatan program mudah dijalankan. Mengingat sebagian besar perempuan kepala keluarga tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga penggunaan bahasa Aceh merupakan pilihan yang tepat oleh PL.