• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4 Pemberdayaan Perempuan dalam Program Pembangunan

Pemberdayaan masyarakat (community emporwerment) merupakan perwujudan pengembangan kapasitas masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia agar dapat memahami hak dan kewajibannya sesuai dengan status dan perannya di masyarakat. Realisasi pemberdayaan masyarakat mencakup interaksi aktif dua pelaku, yaitu pihak pemberdaya dan pihak yang diberdaya. Pihak pemberdaya dapat berasal dari dalam dan dari luar sistem sosial masyarakat yang diberdaya. Akan tetapi, dalam kenyataan di lapangan yang sering ditemui adalah pihak pemberdaya selalu berasal dari luar sistem sosial. Hal ini terjadi sebagai akibat lemahnya posisi “pihak yang diberdaya” karena ketidakmampuan memberdayakan diri sendiri. Kejadian ini tidak selalu disebabkan oleh faktor internal sistem sosial yang bersangkutan, tetapi sering kali disebabkan oleh supra-infra struktur yang kurang memihak kepada mereka. Karena itu sangat penting dilaksanakan di tingkat lapangan untuk menempatkan pihak yang diberdaya sebagai mitra kerja pemberdaya dan bukan sebagai manusia yang bodoh. Karena itu, sikap arogansi dan perasaan “lebih” (lebih pintar, lebih tahu, lebih lain-lainnya) yang sering ditampilkan oleh pihak pemberdaya harus dihilangkan. Jika tidak maka yang terjadi adalah interaksi sepihak atau tidak berkomunikasi (Hubeis 2010).

Menurut Suharto (2005) secara konseptual pemberdayaan atau pemberkuasaan (empowerment) berasal dari kata power (kekuasaan atau keberdayaan. Pemberdayaan menunjuk pada kemampuan orang, khususnya kelompok rentan dan lemah sehingga mereka memiliki kekuatan atau kemampuan dalam: 1) memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga memiliki kebebasan dalam arti bebas mengemukakan pendapat, bebas dari kelaparan, bebas dari kebodohan, bebas dari kesakitan; 2) menjangkau sumber-sumber produktif yang memungkinkan mereka dapat meningkatkan pendapatannya dan memperoleh barang dan jasa yang diperlukan; dan 3) berpartisipasi dalam proses pembangunan dan keputusan-keputusan yang mempengaruhi mereka.

Beberapa ahli mengemukakan definisi pemberdayaan dilihat dari tujuan, proses dan cara-cara pemberdayaan:

1) Pemberdayaan bertujuan untuk meningkatkan kekuasaan orang-orang yang lemah atau tidak beruntung (Ife 1995).

2) Pemberdayaan adalah sebuah proses dengan mana orang menjadi cukup kuat untuk berpartisipasi dalam, berbagi pengontrolan atas dan mempengaruhi terhadap, kejadian-kejadian serta lembaga-lembaga yang mempengaruhi kehidupannya. Pemberdayaan menekankan bahwa orang memperoleh keterampilan, pengetahuan dan kekuasaan yang cukup untuk mempengaruhi kehidupannya dan kehidupan orang lain yang menjadi perhatiannya (Parsons et all

dalam Suharto 2005).

3) Pemberdayaan menunjuk pada usaha pengalokasian kembali kekuasaan melalui pengubahan struktur sosial (Swift dan Levin dalam Suharto 2005).

4) Pemberdayaan adalah suatu cara dengan mana rakyat, organisasi dan komunitas diarahkan agar mampu menguasai (berkuasa atas) kehidupannya (Rappaport

dalamSuharto 2005). Maksud pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan

kemampuan dan kemandirian masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya. White (2004) menyimpulkan bahwa pemberdayaan adalah penegasan martabat dan nilai identitas diri sendiri, serta mengevaluasi kembali kebudayaan lokal. Hal ini juga berarti lembaga kebudayaan yang menjadi modal budaya diberi bengakuan yang lebih besar dan lebih bernilai. Pengertian ini juga penting bahwa harga hubungan perubahan kekuasaan bukan merupakan identitas dirinya sendiri. Dengan premis bahwa seluruh identitas sosial yang menyumbang keadilan dan komunitas yang dihargai, dunia membutuhkan kekayaan identitas budaya yang beragam.

Pemberdayaan meyakinkan bahwa perempuan mampu membantu dirinya sendiri. Dalam teori posisioning pemberdayaan lebih diarahkan pada ”conversational” yaitu proses dialog dan dialektika (Raggat dalam Soetrisno, 2001). Melkote (2006) dalam bukunya yang berjudul Communication for Development in

the Third World, salah satu yang sangat luas digunakan saat ini adalah pemberdayaan

sebagai pusat pengorganisasian konsep. Mereka setuju bahwa ketidakadilan kekuasaan sebagai permasalahan sentral yang harus dipecahkan dalam pembangunan. Selanjutnya pemberdayaan didefinisikan sebagai sebuah proses dalam mana secara individual dan organisasional memperoleh pengawasan dan penguasaan kondisi sosial ekonomi yang lebih banyak, dengan partisipasi demokrasi yang lebih dalam komunitasnya dan kisah mereka sendiri.

Menurut Servaes (2002) bentuk-bentuk komunikasi pembangunan yang partisipatif berwawasan gender dalam konsep pemberdayaan adalah mencakup forum dialog akar rumput (grassroots dialog forum), fungsi baru komunikasi pada media partisipatif (participatory media), berbagi pengetahuan secara setara

(knowledge-sharing on a co-equal basis) dan model komunikator pendukung pembangunan

(development support communication). Dialog akar rumput didasarkan atas kaidah partisipasi untuk mempertemukan sumber dan agen perubahan langsung dengan masyarakat.Metode yang digunakan adalah penyadaran (conscientization) melalui dialog. Lebih jauh lagi masyarakat diajak untuk merumuskan permasalahan dan

menemukan pemecahannya sekaligus pelaksanaan kegiatan dalam upaya pemecahan permasalahan.

Dalam konteks pengembangan masyarakat, pemberdayaan perempuan merupakan suatu upaya meningkatkan partisipasi aktif perempuan dengan memberikan sumberdaya, kesempatan, pengetahuan dan keterampilan untuk meningkatkan kapasitas atau kemampuannya untuk menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi dalam mempengaruhi kehidupan komunitasnya. Baso dalam Burhanuddin (2003) menyatakan bahwa pemberdayaan perempuan adalah upaya sistematis untuk memastikan pencapaian kesejahteraan perempuan yang diukur berdasarkan upaya memberdayakan kelompok-kelompok perempuan, terutama di jenjang grass root.

Pendekatan pembangunan yang dipakai adalah pendekatan yang adil dan setara, sehingga ada jaminan terbukanya seluruh akses baik laki-laki maupun perempuan untuk ikut berperan aktif dalam seluruh kegiatan masyarakat, karena sebagai manusia laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Pendekatan yang sejajar dan setara memberi peluang kemitraan bagi laki-laki dan perempuan sehingaa akan saling melengkapi sesuai dengan potensi yang dimiliki masing-masing bukan untuk saling menguasai. Pada kenyataannya perempuan harus berjuang untuk melibatkan diri dalam proses pembangunan. Makin banyak pembangunan tersebut semakin memunculkan fenomena mensubordinasikan perempuan. Selama ini yang terjadi bukan pembangunan untuk perempuan akan tetapi perempuan untuk pembangunan. Upaya memberdayakan perempuan perlu terus dilakukan agar mereka tidak terlibat sebagai objek melainkan sebagai subjek dan memberikan seluruh potensinya untuk proses pembangunan.

Proses pembangunan seperti yang didefinisikan oleh sebagian besar agen-agen pembangunan, memerlukan keterlibatan aktif kelompok sasaran sebagai peserta dalam proses pembangunan itu, mereka tidak boleh hanya menjadi penerima bantuan proyek yang pasif, tetapi harus memperbaiki kapasitas mereka agar mampu mengenali dan mengatasi masalah-masalah mereka sendiri. Untuk sampai definisi ini, proses pembengunan perempuan harus mengkombinasikan konsep kesetaraan gender dan konsep pemberdayaan perempuan di mana perempuan dapat terlibat dalam semua proses pembangunan.

Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki merupakan tujuan hakiki pembangunan perempuan, maka wajar pemberdayaan perempuan menjadi alat utama untuk mengatasi hambatan-hambatan dalam mewujudkan kesetaraan.Upaya pemberdayaan perempuan dapat dilakukan melalui berbagai metode dan strategi, salah satunya teknik analisis Longwe (Sara Hlupekile Longwe) atau biasa disebut dengan kriteria pembangunan perempuan (Women‟s Empowerment Criteria atau

Women‟s Development Criteria), adalah suatu teknis analisis yang dikembangkan

sebagai metode pemberdayaan perempuan dengan lima kriteria analisis yang meliputi kesejahteraan, akses, kesadaran kritis, partisipasi, dan kontrol (Gambar 1) (Mosse 2002). Kelima dimensi ini adalah kategori analitis yang bersifat dinamis, satu sama lain saling berhubungan sinergis, saling menguatkan dan melengkapi, serta mempunyai hubungan hierarkhis. Di samping itu, kelima dimensi tersebut juga

merupakan tingkatan yang bergerak memutar seperti spiral, makin tinggi tingkat kesetaraan makin tinggi tingkat keberdayaan.

Gambar 1 Piramida lima kriteria analisis pemberdayaan perempuan Longwe

1) Dimensi kesejahteraan, dimensi ini merupakan tingkat kesejahteraan material yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar seperti makanan, penghasilan, perumahan dan kesehatan yang harus dinikmati oleh perempuan dan laki-laki. Pemberdayaan tidak dapat terjadi dengan sendirinya di tingkat ini, melainkan harus dikaitkan dengan peningkatan akses terhadap sumberdaya yang merupakan dimensi tingkat kedua. Level ini merupakan tingkat nihil dari pemberdayaan perempuan (zero level of women‟sempowerment). Padahal upaya untuk meperbaiki kesejahteraan perempuan diperlukan keterlibatan perempuan dalam proses

empowerment dan pada tingkat pemerataan yang lebih tinggi.

2) Dimensi akses, kesenjangan gender di sini terlihat dari adanya perbedaan akses antara laki-laki dan perempuan terhadap sumberdaya. Rendahnya akses mereka terhadap sumberdaya menyebabkan produktivitas perempuan cenderung lebih rendah daripada laki-laki. Selain itu, dalam banyak komunitas, perempuan diberi tanggung jawab melaksanakan hampir semua pekerjaan domestik sehingga tidak mempunyai cukup waktu untuk mengurusi dan meningkatkan kemampuan dirinya. Pembangunan perempuan tidak hanya cukup pada pemerataan akses karena hanya kurangnya akses perempuan bukan saja merupakan isu gender tetapi juga akibat dari diskriminasi gender. Oleh karena itu, akar penyebab kesenjangan akses atas sumberdaya adalah diskriminasi sistemik yang harus diatasi melalui penyadaran. 3) Dimensi penyadaran kritis, kesenjangan gender ditingkat ini disebabkan anggapan

bahwa posisi sosial ekonomi perempuan lebih rendah dari laki-laki dan pembagian kerja gender tradisional adalah bagian dari tatanan abadi. Pemberdayaan di tingkat ini berartimenumbuhkan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang di atas, bahwa subordinasi terhadap perempuan bukanlah pengaturan alamiah, tetapi hasil

Kontrol

Partisipasi

Penyadaran

Akses

diskriminatif dari tatanan sosial yang berlaku. Keyakinan bahwa kesetaraan gender adalah bagian dari tujuan perubahan merupakan inti dari kesadaran gender dan merupakan elemen ideologis dalam proses pemberdayaan yang menjadi landasan konseptual bagi perubahan kearah kesetaraan.

4) Dimensi partisipasi, partisipasi aktif perempuan diartikan bahwa pemerataan partisipasi perempuan dalam proses penetapan keputusan yaitu partisipasi dalam proses perencanaan penentuan kebijakan dan administrasi. Aspek ini sangat penting pada proyek pembangunan. Di sini partisipasi berarti keterlibatan atau keikutsertaan aktif sejak dalam penetapan kebutuhan, formulasi proyek, implementasi dan monitoring serta evaluasi. Di tingkat program, ini berarti dilibatkannya perempuan dan laki-laki secara setara dalam identifikasi masalah, perencanaan, pengelolaan, implementasi dan monitoring evaluasi. Meningkatnya peran serta perempuan merupakan hasil dari pemberdayaan sekaligus sumbangan penting bagi pemberdayaan yang lebih besar.

5) Dimensi kuasa atau kontrol, kesenjangan gender di tingkat ini terlihat dari adanya hubungan kuasa yang timpang antara laki-laki dan perempuan. Ini bisa terjadi di tingkat rumah tangga, komunitas, dan tingkatan yang lebih luas lagi. Kesetaraan dalam kuasa berarti adanya kuasa yang seimbang antara laki-laki dan perempuan atas lainnya. Artinya, perempuan mempunyai kekuasaan sebagaimana juga laki-laki, untuk mengubah kondisi posisi, masa depan diri dan komunitasnya. Kesetaraan dalam kuasa merupakan prasyarat bagi terwujudnya kesetaraan gender dan keberdayaan dalam masyarakat yang sejahtera. Teknik Longwe mendasarkan pada pentingnya pembangunan bagi perempuan, bagaimana menangani isu gender sebagai kendala pemberdayaan perempuan dalam memenuhi kebutuhan spesifik perempuan dan upaya mencapai kesetaraan gender.