• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA DALAM PEKKA

6.1 Tahap Penumbuhan Ide

Penumbuan ide merupakan suatu proses atau kegiatan dalam mensosialisasikan, memperkenalkan, dan memperoleh masukan dan keinginan serta dukungan perempuan kepala keluarga terhadap PEKKA (Tabel 9).

Tabel 9 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap penumbuhan ide Kegiatan Isi pesan

Bentuk komunikasi Partisipan yang berperan Akses Cara berkomunikasi 1. Pertemuan sosialisasi program Informasi mengenai maksud, tujuan, sasaran, pendekatan dan penerima manfaat Semua anggota diundang dan hadir Cenderung monolog PL, perwakilan PEKKA Provinsi, Ibu NT dan Am berpendidikan lebih tinggi 2. Kunjungan ke rumah, tempat berkumpul Informasi mengenai maksud, tujuan, sasaran, dan penerima manfaat PL mengunjungi perempuan kepala keluarga Komunikasi interpersonal (tatap muka) dengan cara berdialog PL dan semua anggota

Tahap sosialisasi merupakan kegiatan yang sangat sulit bagi PL karena mereka harus menghadapi dan membujuk perempuan kepala keluarga untuk mau bergabung dan menerima program pemberdayaan ini. PL harus menjelaskan secara detail maksud dan tujuan program dimanapun bertemu dengan sasaran. Karenanya dibutuhkan usaha keras dan kesabaran yang tinggi untuk membuat calon sasaran mengerti dan bersedia mengikuti program, apalagi individu-individu yang dihadapi adalah orang-orang dengan tingkat pendidikan rendah dan sebagian besar lanjut usia sehingga sulit dalam berkomunikasi.

“Pada awal masuk program ke desa ini, selain faktor keamanan, kesulitan lain adalah bagaimana saya mendekati dan menjelaskan kepada janda-janda tentang maksud dari program ini. Cara yang saya lakukan pertama adalah buat pertemuan di Meunasah dengan Ibu-ibu janda, saya datangi ke rumah mereka satu-satu untuk saya jelaskan maksud program, bertemu di warung-warung juga saya ajak ngobrol, pelan-pelan lah. Saya harus menjelaskan dengan bahasa saya supaya mereka mengerti, apalagi mereka banyak yang udah tua-tua, banyak gak sekolah jadi agak susah kita ngomong. Tetapi dengan kesabaran dan kerja keras saya, akhirnya mereka mau bergabung dalam program walaupun belum sepenuhnya mengerti tentang program tersebut. Saya pikir nanti kan bisa dijelaskan lagi dalam setiap pertemuan kelompok. Yang penting mereka udah mau dulu bergabung. (MD)”

Pertemuan pertama kegiatan sosialisasi dilaksanakan di meunasah yang dihadiri oleh perempuan kepala keluarga, PL, perwakilan PEKKA Provinsi, tuha peut dan aparat Desa Dayah Tanoh. Dalam pertemuan tersebut semua perempuan kepala keluarga 25 orang hadir. Pertemuan dimulai dan dibuka oleh kepala desa dengan memperkenalkan tamu-tamu perwakilan dari PEKKA, kemudian dilanjukan dengan penyampaian maksud, tujuan dan manfaat program oleh perwakilan PEKKA. Setelah itu, PL memberikan kesempatan kepada peserta yang hadir untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya mengenai program yang akan dilaksanakan. Dalam pertemuan tersebut belum semua perempuan kepala keluarga mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya, hanya beberapa orang saja yang bersedia bertanya.

“Pertemuan pertama sekali itu waktu sosialisasi program ya, kita undang semua perempuan kepala keluarga yang ada di desa ini ke meunasah. Waktu itu yang hadir kalau gak salah sekitar 25 orang. Waktu itu hadir perwakilan PEKKA dari provinsi untuk menjelaskan maksud, tujuan dan manfaat program kepada perempuan-perempuan ini. Ada pak Geuchik juga, ada tuha peut juga. Dalam pertemuan itu, terlihat perempuan kepala keluarga itu masih malu-malu ya, masih takut-takut. Waktu dipersilakan untuk bertanya atau kasih pendapat, mereka malu-malu hanya beberapa orang saja yang berani bertanya, kayak ibu NT, Am yang lain pada diam. (MD)”

Seperti Bapak MD, Ibu NC juga menyampaikan:

“Pada mula masuk program ini kan kami gak tau apa-apa, tujuannya apa, manfaat untuk kami apa kan gak tau. Jadi pertama kali dulu, kami yang janda-janda di kampung ini disuruh datang ke Meunasah ya oleh pak geuchik dipanggil melalui mix, katanya ada program untuk kami. Iya kami datang ya, di sana sudah hadir pak geuchik, pak MD selaku PL, ada orang dari Banda Aceh juga. Pertama-tama pak geuchik membuka rapat, cerita keinginan dan tujuan mereka datang ke kampung ini, kemudian pak MD bicara dan perwakilan dari Banda Aceh. Mereka menjelaskan tentang program PEKKA ini. Setelah mereka bicara kemudian mereka menyuruh kami untuk bicara, kalau ada yang bertanya silakan. Tapi waktu itu hanya dua orang dari kami yang bertanya kalau gak salah, mungkin gak berani ya, saya sendiri juga gak berani ya, takut salah ngomong, jadi kami hanya diam saja. Dan ketika ditanya mau ikut program ini, semua juga diam. Waktu itu yang hadir sekitar 20 orang ya lebih kurang lah buk...(NC)”

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, keengganan untuk mau bertanya atau menyampaikan pendapatnya pada saat pertemuan sosialisasi karena banyak dari mereka tidak berani dan malu, apalagi selama ini mereka tidak pernah menghadiri rapat-rapat desa dan berbicara di muka umum. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Ibu Rh:

“Iya pada saat pertama kali rapat dulu itu, kan dijelaskan apa itu program PEKKA, setelah itu kami disuruh bertanya, sampaikan pendapat atau sekedar bersuara tapi banyakan dari kami gak berani dan malu untuk ngomong apalagi saat itu banyak orang, ada PL, ada orang dari Banda Aceh, Pak Geuchik dan lain-lain. Selama ini aja kami gak pernah ikut rapat-rapat desa apalagi ngomong depan orang banyak ya gak berani lah. Ada yang bertanya cuma beberapa orang saja, kalau gak salah yang tanya itu Ibu Am yang sekretaris sekarang ama NT bendahara sekarang. (Rh)”

Menurut salah satu informan yang diam ketika rapat sosialisasi ketika ditanya kenapa tidak bertanya atau memberi pendapat adalah menganggap dirinya kurang cakap dalam berbicara karena tingkat pengetahuan yang rendah dan juga sungkan untuk berbicara langsung didepan orang laki-laki yang hadir saat itu karena masih berpegang pada budaya patriarkhi yang menganggap dirinya lebih rendah dari laki-laki. Seperti yang diutarakan Ibu Hmm yang tidak pernah bersekolah berikut ini:

“Pada pertama kali rapat program itu saya gak berani ngomong ya karena takut salah kan saya gak pernah sekolah jadi gak tau mau ngomong apa gimana caranya, apalagi di depan ada pak geuchik, tuha

peut, PL kan banyak laki- laki jadi saya gak berani ngomong biar mereka-mereka yang pintar- pintar saja yang ngomong. (Hmm)”

Berbeda dengan informan yang tingkat pendidikan yang lebih tinggi, mereka menganggap kesempatan yang diberikan kepada mereka untuk berbicara atau menyampaikan pendapat dalam rapat sosialisasi tersebut merupakan kesempatan yang berharga karena dengan berdiskusi mereka dapat memperoleh lebih banyak informasi mengenai program yang akan dilaksanakan. Mereka tidak merasa takut dan malu untuk bertanya dan menyampaikan pendapatnya. Seperti yang diungkap Ibu NT, satu-satunya anggota PEKKA lulusan perguruan tinggi:

”Pada rapat awal itu saya ikut sama-sama dengan yang lain juga. Ooo...saya ada berbicara, kalau gak salah saya bertanya waktu itu mengenai siapa saja yang boleh ikut program, saya berani kok bicara kan udah disuruh ngomong, saya tanyakan aja kan kita jadi lebih tau gimana itu program, saya gak malu walaupun ada hadir pak geuchik, tuha peut, dan yang lain kan saya udah biasa kalau ngomong-ngomong gitu, saling diskusi. (NT)”

Melihat kondisi perempuan kepala keluarga yang masih tertutup dan malu-malu dalam menyampaikan pendapat ketika pertemuan tersebut, PL mencoba pendekatan interpersonal dengan mendatangi rumah mereka satu persatu,tempat-tempat mereka sering berkumpul seperti persatu,tempat-tempat pengajian ibu-ibu dan ketika bertemu di warung. PL berkomunikasi secara langsung (tatap muka) untuk mendapatkan

feedback dari mereka. Dalam kunjungan ke rumah dan berdialog dengan perempuan

kepala keluarga, PL selalu ditemani oleh anggota keluarga perempuan dan dilakukan di teras rumah. Hal ini dilakukan untuk menghindari fitnah, karena dalam nilai-nilai budaya Aceh jika seorang laki-laki mengunjungi dan berbicara dengan seorang perempuan dianggap tidak pantas. Untuk kemudahan dan kelancaran proses komunikasi, bahasa lokal (bahasa Aceh) adalah bahasa utama yang digunakan karena umumnya mereka tidak paham dan fasih berbahasa Indonesia.

“Iya waktu kita buat rapat awal dulu di meunasah, cuma beberapa orang saja yang mau ngomong. Udah kita kasih kesempatan untuk bertanya tapi hanya berapa orang aja yang berani. Mungkin mereka masih malu atau takut ngomong karena rame orang. Jadi lihat kondisi gitu, saya coba datangi rumah mereka satu-satu atau datang ke tempat pengajian ibu-ibu, ternyata mereka lebih berani ngomong kalau di rumah, mereka mau bercerita, juga tanya-tanya tentang program. Ketika saya tanya kenapa waktu di rapat dulu gak mau ngomong, hampir semua mereka jawab gak berani, malu, takut salah ngomong kan rame orang. Tapi setiap berkunjung ke rumah saya selalu minta ditemani oleh anggota keluarga lain, baik itu anaknya, ibunya atau saudaranya agar tidak ada fitanh. (MD)”

Penjelasan di atas dipertegas oleh Ibu BR berikut ini:

“Iya dalam rapat pertama kami takut dan malu untuk ngomong karena banyak orang. Tapi ketika PL datang kerumah dan ngomong-ngomong dengan kami, kami lebih berani. Saya berani bercerita dan tanya-tanya masalah program itu. Sehingga saya bisa paham apa itu program PEKKA. (BR)”

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap penumbuhan ide terlihat bahwa semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama untuk menghadiri pertemuan sosialisasi melalui undangan yang disampaikan melalui pengeras suara di meunasah. Pada tahap ini bentuk komunikasi cenderung monolog, karenanya tidak semua perempuan kepala keluarga memberikan

feedback terhadap apa yang disampaikan oleh petugas, lebih banyak diam dan

mendengarkan. Melihat kondisi demikian, PL mencoba melakukan komunikasi dengan media interpersonal di mana pengirim pesan (PL) bertatap muka (face to face) dengan penerima pesan (perempuan kepala keluarga). Pendekatan ini lebih efektif karena terjadinya persamaan makna antara penyampai pesan dan penerima pesan sehingga muncul kesepahaman. Melalui tatap muka perempuan kepala keluarga lebih berani dan terbuka dalam menyampaikan pendapat.