• Tidak ada hasil yang ditemukan

8 KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA

8.3 Perempuan Kepala Keluarga Aktif

Perempuan kepala keluarga yang aktif dalam program adalah Ibu NT dan Ibu Am. Ibu-Ibu ini sudah memperlihatkan keaktifannya dari sejak dimulainya program hingga sekarang. Mereka sudah mulai aktif dalam pertemuan sosialisasi yang ditandai dengan adanya masukan, memberikan pendapat dan pertanyaan. Keduanya memiliki tingkat pendidikan yang lebih tinggi, berumur lebih muda sehingga dipercayai oleh anggota lain untuk menjadi pengurus kelompok yaitu sebagai sekretaris dan bendahara kelompok.

Tingkat keberdayaan mereka dilihat dari tingkat kesejahteraan yang ditandai dengan adanya peningkatan jumlah pendapatan yang diterima dari usaha yang mereka jalankan. Ibu NT memiliki usaha jualan kios yang dikelola oleh adiknya, karena Ibu NT memiliki pekerjaan lain sebagai pengajar sehingga tidak memiliki waktu untuk menjalankan usaha. Sedangkan Ibu Am memiliki usaha di bidang usahatani. Sebelum mengikuti program ini, Ibu Am menjadi buruhtani ketika musim ke sawah,

pendapatan rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha Ibu Am sudah berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil.

”..sekarang ada lah penambahan sedikit dibandingkan dulu sebelum dapat modal usaha. Dulu saya cuma jadi buruhtani cuma dapat dua puluh ribua rata-rata satu hari tapi sekarang udah bisa garap punya kakak sepupu saya, sehingga pendapatan jadi namabah. Saya bisa dapat untung lima juta sekali panen kalau padinya jadi. (Am)”

Sedangkan pendapatan yang diterima Ibu NT bertambah dari usahanya sekarang. Dalam usaha kiosnya Ibu NT mengaku mendapat keuntungan rata-rata Rp1 500 000 per bulan. Keuntungan tersebut dibagi dengan adiknya sebagai pengelola. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NT:

“Dari usaha kios itu saya dapat pendapat rata-rata sebulan satu juta setengah tapi saya bagi dua adek saya karena dia yang kelola, sebagian buat bayar pinjaman dan yang lain saya simpan di kas kelompok. (NT)”

Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan mereka di kelompok. Ibu NT yang memiliki jumlah simpanan kelompok sebesar Rp450 000 dan Ibu Am sebesar Rp95 000. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu NT, dia mengaku bahwa pendapatan yang diperoleh dari usaha kiosnya sebagiannya disimpan di kas kelompok, sedangkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya dia menggunakan pendapatan dari pekerjaannya sebagai pengajar. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu NT:

“Saya kan bendahara, jadi kalau saya ada uang lebih saya simpan saja ke kas kelompok. Biasanya keuntungan dari kios yang saya simpan, sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari saya pakai uang gaji saya. Saya kira dengan begitu saya bisa bantu anggota lain kalau ada yang perlu pinjaman. (NT)”

Selain itu, Ibu NT juga sudah melakukan peminjaman tahap kedua karena telah melunasi pinjaman sebelumnya. Jumlah peminjaman Ibu NT sekarang berjumlah Rp4 000 000, di mana pinjaman tahap pertama sebesar Rp2 500 000 dan tahap kedua sebesar Rp1 500 000, seperti penjelasan Ibu NT berikut ini:

“Saya udah pinjam kedua kali, pertama saya pinja dua juta setengah, dan udah lunas dan yang kedua saya pinjam satu juta setengah tapi belum lunas, sembilan ratus ribu lagi. Jadi, bagi anggota yang sudah melunasi pinjaman pertama baru boleh pinjam selanjutnya biar gak banyak tunggakannya. (NT)”

Berbeda halnya dengan Ibu Am yang memiliki jumlah simpanan hanya Rp95 000. Ibu Am mengaku jumlah simpanannya di kelompok masih rendah, karena beliau lebih memilih untuk terlebih dahulu melunasi dana pinjaman modal usaha sehingga bisa melakukan pinjaman selanjutnya.

“Simpanan saya di kas kelompok masih sedikit ya. Saya mau lunasi dulu pinjaman modal usaha saya kalau ada uang biar bisa pinjam lagi. Kan kalau simpanan bisa kapan aja. Kalau udah lunas kitapun gak kepikiran lagi. (Am)”

Peningkatan kesejahteraan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Kepemilikan aset mereka berbeda-beda tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha mereka masing-masing. Ibu Am sudah dapat membeli sepeda motor, sedangkan Ibu NT sudah dapat memperluas kios tempat usahanya. Seperti hasil wawancara dengan Ibu Am dan Ibu NT berikut ini:

“Dari hasil usaha saya selama ini saya udah bisa beli motor...(NT)” “..kalau saya ada keuntungan udah bisa perluas kios sedikit biar luas jadi barang-barangnya gak ditarok di rumah lagi. (NT)”

Ibu-Ibu ini memiliki akses terhadap dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM). Jumlah dana yang diperoleh bervariasi ada yang sesuai dengan proposal dan ada juga yang tidak sesuai (besar dana BLM masing-masing anggota dapat dilihat pada Tabel 8.). Ibu NT memperoleh dana pinjaman sebesar Rp4 000 000 dengan dua kali pinjaman, sedangkan Ibu Am memperoleh pinjaman sebesar Rp1 500 000. Akses lain yang dimiliki oleh perempuan kepala keluarga ini adalah layanan untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit sama dengan masyarakat lain.

Selain memiliki akses terhadap program-program PEKKA, kedua ibu ini juga memiliki akses terhadap program lain, misalnya mereka pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan yang diadakan pihak kecamatan melalui program PKK atau kegiatan-kegiatan desa lainnya. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NT:

“Saya pernah ikut pelatihan tentang peningkatan kapasitas pemudi tingkat kecamatan, saya dan Am disuruh mewakili desa ini oleh Ibu Geuchik. Kami juga pernah ikut kegiatan dari PNPM ya, mungkin karena kami belum nikah dan masih muda makanya sering disuruh ikut kegiatan. (NT)”

Kedua Ibu ini memiliki tingkat partisipasi yang cenderung tinggi dalam kegiatan program dan kelompok mengingat keduanya merupakan pengurus kelompok (Tingkat kehadiran dan keaktifan dalam kelompok telah dibahas pada bab 5). Selain itu, kedua Ibu ini juga aktif dalam kegiatan-kegiatan desa. Ibu NT selain menjabat bendahara dalam kelompok, juga menjabat bendahara dalam kegiatan PKK,

sedangkan Ibu Am sebagai ketua pemudi desa. Keduanya mengaku sering hadir dalam rapat desa baik rapat khusus perempuan maupun rapat yang melibatkan laki-laki. Mereka mengaku sering juga memberikan saran, pendapat atau pertanyaan dalam rapat tersebut, tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan semua diberikan hak dan akses yang sama, seperti yang disampaikan oleh Ibu NT:

“Saya selain bendahara kelompok, saya juga bendahara PKK jadi saya harus aktif dikedua kegiatan itu, saya juga sering hadir kalau ada rapat di desa. Saya juga sering bertanya atau kasih pendapat dalam rapat walaupun rapat itu dihadiri oleh laki-laki, semua boleh bicara. (Rh)”:

Selain aktif dalam kegiatan desa, Ibu NT dan Ibu Am juga pernah menjadi anggota KPPS ketika pemilu dan pemilukada yang lalu. Keberanian mereka mengikuti kegiatan ini merupakan hasil dari pelatihan dan pendampingan terus menurus yang dilakukan selama pelaksanaan program. Berikut kutipan wawancara dengan anggota kelompok:

“Manfaat yang saya rasakan banyak ya, dari yang dulu tidak mengerti politik sekarang jadi mengerti walaupun belum banyak. Saya juga udah berani ketika diminta menjadi anggota KPPS waktu Pemilu dan Pemilukada dulu. Saya udah berani tampil kalau ada kegiatan-kegiatan lah, kalau dulu saya gak berani takut salah, padahal gak apa-apa ya. (NT)”

Hal yang serupa juga disampaikan oleh Ibu Am berikut ini:

“Saya udah pernah jadi anggota KPPS waktu pemilu dulu. Dulunya saya gak berani tapi sekarang selama ikut program ini saya jadi lebih berani tampil di muka umum. (Am)”

Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini selain mengikuti training lokakarya membangun visi misi bersama anggota lainnya. Mereka juga pernah mengikuti beberapa pelatihan khusus pngurus kelompok mengenai kepemimpinan, manajemen, administrasi dan pembukuan. Mereka juga pernah mengikuti dialog dan pertemuan dengan aparat kepolisian bersama dengan anggota lainnya. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Am:

“Selain ikut lokakarya yang wajib untuk semua peserta untuk membangun visi, misi dan identifikasi masalah, saya, Ibu AA dan Ibu Am sebagai pengurus kelompok juga pernah mengikuti beberapa pelatihan menyangkut kepemimpinan, manajemen dan masalah pembukuan serta administrasi. Selain itu kita juga dapat materi pengembangan diri setiap pertemuan bulanan anggota. (Am)”

Kedua Ibu ini juga memiliki kontrol berkaitan dengan bagaimana mengelola penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkan. Mereka dapat memutuskan untuk menggunakan pinjaman modal dari program untuk membuka usaha dan mengembangkannya sendiri serta mampu mengembalikan dana pinjaman meskipun tidak secara teratur dan tepat waktu. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Am:

“Semuanya tergantung anggota masing-masing, gimana mengelola uang pinjamannya, untuk usaha apa, semuanya kita sendiri yang putuskan. Yang penting kita bisa menyicil setoran pinjaman kita. Setoran tergantung pada kita juga bayarnya tiap bulan dalam jumlah yang gak ditentukan, atau kapan aja kita punya uang bisa langsung setor ke bendahara. (Am)”

Selain memiliki kontrol dalam keluarga, perempuan kepala keluarga juga partisipasi aktif dalam mengawasi, mempertanyakan dan menentukan kegiatan kelompok karena keduanya merupakan pengurus kelompok. Mereka mengaku memiliki akses dan dapat berpartisipasi aktif dalam setiap tahapan program mulai dari tahap penumbuhan ide, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (telah diuraikan pada Bab 6).

Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga sudah mampu mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi, misalnya mereka sudah pernah melakukan dialog dengan aparat pemerintahan tingkat kecamatan sampai dengan kabupaten bersama dengan anggota dari desa lain. Berikut hasil waawancara dengan Ibu Am:

“Kalau masalah itu, dulu kita semua anggota ikut berdialog sama-sama dengan anggota dari desa lain di Center PEKKA, kita dialog dengan anggota DPRD, BPM, Bappeda dan PPK masalah yang dihadapi oleh perempuan kepala keluarga. Kita semua diberi kesempatan untuk menceritakan keluh kesah kita dan apa yang belum terpenuhi serta kendala-kendala yang dihadapi. Bagus lah jadi kita bisa mengerti dan merekapun menanggapi keluh kesah kita. (Am)”

8.4 Manfaat PEKKA Berdasarkan Pandangan Masyarakat bukan Anggota