• Tidak ada hasil yang ditemukan

6 KOMUNIKASI PARTISIPATIF PEREMPUAN KEPALA KELUARGA DALAM PEKKA

6.2 Tahap Perencanaan Program

Perencanaan program merupakan kegiatan komunikasi partisipatif dalam PEKKA untuk merancang, menentukan dan menyusun kegiatan yang akan dilakukan. Aspek perencanaan melibatkan perempuan kepala keluarga meliputi pembentukan kelompok, lokakarya, perencanaan kegiatan simpan pinjam kelompok dan dana bantuan langsung masyarakat. Pembentukan kelompok bertujuan mengefektifkan dan mengefisienkan kegiatan pemberdayaan perempuan kepala keluarga. Proses pembentukan kelompok dilakukan melalui pertemuan yang difasilitasi oleh PL di meunasah. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, mereka memiliki akses yang sama untuk berpartisipasi dalam pertemuan tersebut. Mereka mengaku selalu diundang untuk menghadiri pertemuan-pertemuan yakni pembentukan kelompok, pemilihan pengurus, penentuan visi misi kelompok, dan perencanaan kegiatan kelompok kedepan. Dalam rapat tersebut semua anggota diberikan kesempatan untuk berbicara dan menyampaikan pendapatnya mengenai siapa pantas dan memiliki kemampuan untuk menjadi ketua, sekretaris dan bendahara kelompok. Semua anggota juga diberi kesempatan dan peluang yang sama untuk menjadi pengurus. Melalui diskusi bersama, mereka memutuskan pengurus adalah orang-orang yang aktif, muda dan memiliki pendidikan lebih tinggi. Karena mereka percaya dengan demikian kelompok akan maju di kemudian hari. Matriks komunikasi pada tahap perencanaan program dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Matriks komunikasi partisipatif pada tahap perencanaan program Kegiatan Isi pesan

Bentuk komunikasi Partisipan yang berperan Akses Cara berkomunikasi 1. Pertemuan pembentukan kelompok Informasi mengenai maksud dan tujuan pembentukan kelompok, pemilihan pengurus dan nama

kelompok Semua perempuan kepala keluarga diundang dan hadir

Dialog PL dan Ibu NT, Am, AA yang berpendidikan tinggi, muda serta aktif 2. Lokakarya peningkatan kapasitas anggota Membangun visi, misi, mengidentifikasi masalah, posisi, status dan kondisi

mereka, potensi yang di miliki, membangun harapan bersama Semua anggota diundang dan hadir Monolog dan dialog Hampir semua anggota kecuali anggota yang berumur lanjut 3. Pertemuan perencaan kegiatan simpan pinjam Informasi mengenai besar simpanan pokok, wajib, sukarela, dan tatacara simpan pinjam Semua anggota diundang dan hadir

Dialog PL dan semua anggota kecuali anggota yang berumur lanjut 4. Pertemuan perencanaan usulan dana BLM Informasi mengenai cara mengakses, menyusun proposal dan cara pengembalian dana BLM Semua anggota diundang dan hadir Monolog dan dialog PL, bendahara dan semua anggota kecuali anggota yang berumur lanjut

Berikut pernyataan Ibu BR:

“Pada rapat pembentukan kelompok kami juga diundang. Dan saat itu kami sudah mulai berani ngomong ya, walaupun masih malu-malu. Tapi PL menyuruh kami untuk berbicara jangan takut katanya. Kita semuanya sama, sama-sama belajar kalau selalu malu dan tidak berani kapan bisa maju. Dari situ kami mulai ngomong dan berani kasih pendapat. (BR)”

Bapak MD juga menyatakan:

“Pada rapat bentuk kelompok, milih siapa ketua, sekretaris dan bendahara semua anggota disuruh bicara untuk kasih pendapat, pada saat itu sudah mulai ada yang mau ngomong walaupun masih agak malu-malu. Setelah diskusi dan persetujuan bersama terpilih lah Ibu AA sebagai ketua, Ibu AM sebagai sekretaris dan Ibu NT sebagai bendahara. Mereka mengangkat Ibu AA sebagai ketua karena dia seorang yang aktif dan berani di desa, Ibu AM karena dia masih muda paling muda dalam anggota dan pendidikannya yang lumayan tinggi SMA dan Ibu NT sebagai bendahara karena Ibu NT lulusan perguruan tinggi jadi dianggap lebih pintar dalam ngurusin masalah uang dan belum menikah. (MD)”

Setelah pembentukan kelompok dan terbangun visi dan misinya, kemudian PL juga memfasilatasi anggota untuk membuat kesepakatan bertemu secara rutin yaitu sebulan sekali yang bertempat di meunasah. Informasi pertemuan diumumkan melalui alat pengeras suara dari meunasah agar semua anggota bisa mendengar. Hal ini dinilai lebih efektif karena sebagian besaranggota adalah buta huruf sehingga jika dibuat undangan tertulis merekapun tidak dapat membacanya. Berikut kutipan wawancara dengan Ibu Hmm:

“Iya kami sepakat buat rapat anggota sebulan sekali, undangannya melalui mikrofon biar semua dengar. Materi yang dibahas akan ditentukan pada rapat bulan sebelumnya. Waktu rapat awal dulu kan kami setuju yang jadi ketua itu Ibu AA karena kami anggap dia aktif dan berani bicara, sekretaris AM karena dia masih muda, belum menikah dan tamatan SMA dan bendahara NT karena dia ada kuliah jadi kami anggap lebih pintar dari kami-kami yang tidak sekolah ini. Iya semua dikasih kesempatan untuk jadi pengurus tapi kami lebih percaya ke mereka, karena dengan mereka jadi pengurus bisa buat kelompok kami jadi maju nantinya. (Hmm)”

Aktivitas berikunya PL memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti lokakarya dan pelatihan baik di tingkat kecamatan maupun kabupaten. Salah satu lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Perempuan kepala keluarga difasilitasi untuk mengidentifikasi masalah, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang dimiliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Aktivitas diakhiri dengan membangun kesepakatan bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program. Hasilnya, perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin,

terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Melalui program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan untuk mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat.

“Waktu awal-awal setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kayak lokakarya untuk peningkatan kapasitas anggota. Disitu kita fasilitasi mereka untuk mengenal dirinya, kehidupannya dalam masyarakat, potensi yang mereka miliki. Setelah itu kita sama-sama bangun harapan untuk berubah dan menjadi lebih baik dengan mengikuti program pemberdayaan ini. Mereka menganggap dirinya miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak dihitung, trauma, akses terbatas dan korban kekerasan sebelum mengikuti program. Dan kemudian kita juga rumuskan harapan dan impian ke depannya dimana mereka harus lebih sejahtera, dihormati, setara dengan yang lainnya, jadi motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Dengan adanya harapan demikian, mereka akan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan program. (MD)”

Selain itu, anggota juga diberi berbagai topik materi yang berkaitan dengan pengembangan diri seperti yang diungkapkan ibu Rh:

“Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. (Rh)”

Seperti telah diungkapkan sebelumnya, kegiatan pemberdayaan ekonomi yang pertama dilaksanakan adalah kegiatan simpan pinjam. Perencanaan kegiatan simpan pinjam dilakukan melalui musyawarah bersama anggota. Dalam pertemuan tersebut, semua anggota kelompok memiliki akses yang sama untuk hadir dan memiliki kesempatan untuk berbicara dan mengemukakan pendapatnya. Semua anggota diundang dan hadir. Dalam pertemuan ini hampir semua anggota sudah aktif, berani berbicara, memberi pendapat, saran selama rapat berlangsung. Namun, masih ada

beberapa yang masih pasif terutama yang sudah berusia lanjut, mereka hanya hadir dan mendengarkan. Seperti yang diungkapkan Bapak MD:

“Iya pada musyawarah untuk kegiatan simpan pinjam, menentukan tata cara simpan pinjam, besar dana simpanan, itu semuanya mereka yang putuskan dalam rapat anggota. Saya hanya memfasilitasi saja. Semua keputusan mereka yang tentukan, karena kegiatan ini kan untuk mereka sendiri, saya paling mengarahkan saja. Tapi di sini udah terlihat semua anggota sudah mulai aktif untuk berpendapat, mereka serius dan melaksanakan rapat dengan bagus, kan mereka udah dapat banyak meteri dan pelatihan sehingga mereka udah lebih berani mengeluarkan pendapat. Tidak ada yang mendominasi, gak ada yang memaksakan pendapatnya, kalau ada yang berbicara yang lain mendengarkan ya. Yang masih banyak diam itu ibu-ibu yang sudah tua ya. Sudah mulai bagus lah. (MD)”

Menurut hasil wawancara Ibu Sb yang berusia lanjut:

“Saya lebih banyak diam, dengarkan saja biar mereka yang muda-muda yang berbicara menentukan. Kami yang sudah tua-tua ini ikut saja ama mereka, pasti keputusan mereka baik dan baik juga untuk kami. Kami senang bisa ikut program ini, walaupun kami sering banyak diam ya tapi kami senang bisa gabung sama mereka. (Sb)”

Sebagian besar informan menyatakan bahwa sudah ada perubahan ketika mengikuti pertemuan membahas tentang rencana kegiatan, mereka menjadi lebih berani dan aktif dalam mengeluarkan pendapat. Keberanian dan kemampuan untuk berbicara dan mengungkapkan pendapat di depan umum muncul setelah mereka mengikuti beberapa pelatihan, sehingga mereka pun sudah bisa mengemukakan pendapat dengan lebih baik. Hal ini seperti yang diungkapkan Ibu Hmm:

“Iya ketika rapat mengenai rencana kegiatan simpan pinjam, kami sudah berani untuk bicara ya, gak malu-malu lagi. Kan kami udah banyak dapat pelatihan, materi dari PL jadi pengetahuan kami jadi tambah, kami juga dilatih untuk bisa berbicara di depan orang banyak. Kan program ini untuk kebaikan kami jadi kami harus sungguh-sungguh biar program ini dapat berjalan dengan baik kedepannya. Lagian kegiatan simpan pinjam ini kan bagus, nanti bisa membantu kami dan keluarga jika ada keperluan mendadak kan bisa minjam. (Hmm)”

Ibu NT mengungkapkan:

“Penentuan besar simpanan wajib, simpanan pokok, dan sukarela anggota kita bahas bersama dalam rapat anggota, tata caranya juga. Dalam rapat itu semua dikasih kesempatan untuk bicara apa

keinginannya, apa pendapatnya pokoknya gak ada pemaksaan dari PL atau bendahara. Semua keputusan merupakan kesepakatan bersama anggota. (NT)”

Kemudian juga dipertegas oleh Ibu BR:

“Dalam menentukan kegiatan simpan pinjam, besar dana pokok, simpanan wajib dan sukarela kami tentukan bersama, cara-cara peminjaman juga kami yang tentukan, PL hanya memfasilitasi saja gak ada paksaan dari siapapun. Karena itu kan kegiatan kita anggota jadi semua kita yang putuskan, jadi dalam rapat itu semua berhak untuk kasih pendapat, ide. Setelah itu baru kita sama-sama putuskan mana yang terbaik. (BR)”

Melalui musyawarah tersebut dibicarakan beberapa hal, antara lain adalah besar simpanan pokok, simpanan wajib dan simpanan sukarela, tata cara peminjaman dan pengembalian, dan aturan-aturan lainnya. Pinjaman dan setoran dilakukan melalui bendahara tiap bulannya. Setiap anggota dapat meminjam sebesar Rp100 000 atau tergantung ketersediaan uang kas. Peminjam harus mengembalikan pinjaman dalam jangka waktu yang telah ditentukan, biasanya per bulan, jika tidak maka akan dikenakan denda berupa bunga pinjaman satu persen. Setoran dapat dilakukan setiap saat dengan jumlah yang tidak ditentukan.

Setelah kegiatan simpan pinjam kelompok berjalan, tahun 2004 anggota kelompok juga menerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) dari pemerintah sebagai program pemberdayaan ekonomi yang kedua. Semua anggota juga memiliki akses yang sama untuk mendapatkan bantuan dana ini dengan syarat pengajuan proposal usaha. Dalam perencanaannya, setiap anggota diberi kesempatan untuk menentukan jenis usaha dan jumlah dana yang akan diusulkan dalam proposal. Bagi anggota yang buta huruf, penyusunan proposal dibantu oleh PL dan bendahara kelompok. Dalam penyusunan proposal, anggota sering berdiskusi (interpersonal) dengan PL membahas mengenai jenis usaha yang cocok untuk diusulkan. PL bersedia berdiskusi dengan anggota kapan saja tidak hanya dalam pertemuan rutin kelompok.

“BLM itu diberikan kepada semua anggota kelompok. Setiap anggota diberi kesempatan untuk menentukan sendiri jenis usaha yang akan dijalankan dan besar dana yang diperlukan untuk usaha. Waktu program BLM itu kan harus buat proposal, jadi anggota yang buta huruf kita bantu membuat proposalnya, bendahara juga banyak membantu. Anggota banyak berdiskusi dengan saya jenis usaha yang cocok untuk mereka. Saya sarankan usaha yang sudah sering dijalankan, atau yang sedang dijalankan sehingga bantuan tersebut bisa untuk tambahan modal dan resiko gagal rendah karena mereka udah ada pengalaman, tapi keputusan tetap di tangan mereka. (MD)”

Tata cara mengakses, menyusun proposal dan cara pengembalian dana bantuan tersebut dibahas dalam pertemuan rutin anggota. Penjelasan mengenai program BLM diberikan oleh bendahara kelompok yang sebelumnya telah terlebih dahulu mendapatkan pelatihan administrasi dan manajemen BLM. Setelah bendahara menjelaskan, semua anggota diberi kesempatan untuk bertanya dan berdiskusi dengan bendahara dan PL. Setelah semua mengerti, setiap anggota mulai menyusun proposal berdasarkan jenis usaha dengan jumlah dana yang dibutuhkan untuk kemudian diusulkan.

“BLM itu kan syaratnya buat proposal. Jadi saya sebagai bendahara bertanggung jawab menyampaikan bagaimana manajemen BLM itu, karena hanya saya yang mendapatkan pelatihan tentang manajemen BLM jadi saya harus sampaikan ke anggota lain apa yang saya peroleh ketika pelatihan sehingga semua anggota mengerti. Saya juga selalu berkoordinasi dengan PL dan bersedia berdialog dengan anggota lain jika ada hal-hal yang ingin ditanyakan dan saya juga bersedia membantu membuat proposal ibu-ibu yang buta huruf. (NT)”

Pernyataan senada juga disampaikan oleh Ibu Am:

“Iya kita dikasih dana bantuan yang disebut kalau gak salah BLM. syaratnya buat proposal sesuai jenis usaha dan disitu kita usulkan jumlah dana yang kira-kira sesuai dengan usaha kita. Kita buat proposal banyak belajar dari bendahara karena yang ikut pelatihan BLM kan cuma bendahara kemudian baru dia sampaikan ke kita anggota. Saya juga diskusi dengan PL jenis usaha yang kira-kira cocok dengan saya. Saya disarankan usahatani saja bisa tambah modal karena selama ini saya emang kerja di sawah jadi sudah biasa. Anggota yang lain juga gitu banyak yang diskusi dengan PL atau bendahara. Ada yang usul usaha bertani, jualan kios dan jualan kue. (Am)”

Sebagian besar anggota kelompok berperan aktif dalam kegiatan perencanaan program BLM ini. Sebagian besar dari mereka mengusulkan usaha yang sudah mereka jalankan sebelumnya yaitu bertani dan berdagang. Selain itu, mereka menganggap sudah berpengalaman di bidang tersebut sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan usaha. Salah satu motivasi mereka mau terlibat aktif dalam perencanaan program ini adalah mereka menganggap program BLM ini bisa menambah modal usaha dan meningkatkan pendapatan mereka.

“Iya hampir semua anggota kelompok mengusulkan proposal dengan jenis usahanya masing-masing, kebanyakan sih usaha yang sudah dijalankan sekarang kayak saya usahatani ya saya usul untuk usahatani saja, gak berani usaha lain gak ada pengalaman jadi takut gak berhasil. Iya, sangat bagus kan bisa nambah modal ya, kalau berhasil bisa

nambah pendapatan, jadi semua kita itu sibuk waktu itu untuk buat proposal. (Rh)”

Namun demikian, ternyata tidak semua anggota ikut dalam kegiatan perencanaan ini. Sebanyak lima orang tidak ikut dan mereka semua telah berusia lanjut. Mereka tidak termotivasi untuk melakukan usaha apapun karena usia yang sudah tua. Seperti yang diungkapkan Ibu Sb:

“Saya gak ikut buat proposal. Saya kan udah tua udah gak tau mau usaha apalagi, saya udah gak kuat. Saya gak ada pendapatan, sekarang saya tinggal sama anaknya, saya dibiayai anak saya. Jadi kalau buat proposal yang ada beban saya gak tau mau balikin dana gimana gak ada uang. Jadi lebih baik saya gak ikut. (Sb)”

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam tahap perencanaan program, semua perempuan kepala keluarga memiliki akses yang sama baik dalam rapat pembentukan kelompok, perencanaan kegiatan simpan pinjam maupun kegiatan perencanaan usulan dana BLM. Seluruh informan mengaku diundang dan hadir dalam pertemuan tersebut. Bentuk komunikasi yang berlangsung adalah bersifat monolog dan dialog. Mereka juga sudah mulai terlibat aktif dalam menyampaikan pendapat, keiunginan dan mengajukan pertanyaan. Mereka juga memiliki kebebasan untuk memutuskan jenis usaha yang ingin diusulkan dalam proposal pengajuan dana BLM berdasarkan hasil konsultasi dengan PL. Aktivitas komunikasi antara sesama anggota dan dengan PL sudah lebih terbuka, mereka bisa saling berkomunikasi melalui pertemuan-pertemuan dan tatap muka (interpersonal).