• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif

8 KEBERDAYAAN PEREMPUAN KEPALA KELUARGA

8.2 Perempuan Kepala Keluarga Kurang Aktif

Perempuan kepala keluarga yang kurang aktif dalam program adalah Ibu Hmm, Ibu Rh, Ibu NC dan Ibu BR. Ibu-ibu ini pada awal masuknya program (tahap sosialisasi) mengaku tidak berani menyampaikan pendapat, saran atau pertanyaan dalam pertemuan, mereka lebih memilih diam dan mendengarkan. Namun, setelah dilakukan pendekatan secara interpersonal, mengikuti pelatihan-pelatihan dan menerima materi-materi pengembangan diri dari PL atau pakar dalam pertemuan

rutin anggota telah merubah pola fikir dan perilaku mereka dalam mengikuti program. Mereka menjadi berani dan aktif dalam pertemuan serta pelaksanaan kegiatan program, meskipun ada di antara mereka yang mengaku sering terlambat dan jarang mengikuti pertemuan anggota dikarenakan oleh beberapa alasan (Ibu NC, Ibu BR, dan Ibu Hmm).

Pelaksanaan program pemberdayaan ini memberi dampak positif bagi perempuan kepala keluarga tipologi ini. Mereka mengaku dengan adanya program simpan pinjam kelompok dan dana pinjaman modal usaha dapat meningkatkan pendapatan sehingga meningkatkan kesejahteraan diri serta keluarganya.

Sebelum mengikuti program ini, perempuan kepala keluargaini dapat dikatakan memiliki pendapatan yang rendah dibandingkan dengan rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki. Kehidupan PEKKA ini hanya memiliki usaha kecil-kecilan seperti jualan kue ke warung, jualan kue tradisional, tukang nyuci panggilan dan menjadi buruhtani pada musim ke sawah. Penghasilan yang mereka terima tidak menentu. Rata-rata mereka hanya mendapatkan uang sebesar Rp15 000 sampai Rp20 000 perhari dari perkerjaannya tersebut. Tetapi setelah mengikuti program pemberdayaan ini dan memiliki usaha masing-masing, kehidupan anggota jauh lebih sejahtera dan bahkan ada yang memiliki pendapatan melebihi rumahtangga yang kepala keluarga laki-laki.

Peningkatan pendapatan dapat dilihat dari adanya penerimaan penghasilan dari usaha yang telah dijalankan dengan modal pinjaman tersebut, seperti yang dialami oleh Ibu NC dan BR yang memiliki usaha jualan kue tradisional dengan pendapatan rata-rata sebesar satu juta lima ratus rupiah setiap bulan.

“Dari hasil jualan kue ini saya dapat lima puluh ribu lah satu hari, rata-ratanya ya, kadang-kadang juga tiga puluh, empat puluh gak tentu lah. Daripada dulu cuma dua puluh ribu sehari itupun kalau ada, karena dulu kue yang saya jual cuma sedikit dan titipan orang lain, kalau sekarang karena dah ada modal saya buat sendiri jadi agak banyak lah untungnya. Kalau dulu ya cukup buat beli kebutuhan sehari-hari lah, beli ikan, beras, minyak dan lain-lain lah. Pokoknya saya bersyukur aja berapa yang dapat yang penting keluarga saya tidak lapar, itu saja. Tapi kalau ada lebih ya saya simpan buat jajan anak sekolah, mudah-mudahan saya bisa sekolahkan anak saya sampai kuliah kalau sanggup, amiiinnn. (NC)”

Pun demikian dengan Ibu BR:

“Iya ada peningkatan ya, dulu saya jualan kue hanya dapat untung paling lima belas sehari tapi sekarang dengan ada modal dari PEKKA, saya bisa buat kue lebih banyak sehingga pendapatan bertambah, biasanya saya dapat untung empat puluh, lima puluh satu hari gak tentu lah. Sehingga kehidupan keluarga saya sekarang udah terbantu jadi lebih baik. Sekarang udah bisa tabung sedikit. (BR)”

Peningkatan pendapatan juga dialami oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh yang memiliki usaha di bidang pertanian. Sebelum mengikuti program ini, mereka hanya menjadi buruhtani pada musim ke sawah, pendapatan mereka rata-rata per hari sebesar Rp20 000. Namun, setelah mendapat bantuan modal usaha mereka sudah berani menggarap sawah orang lain dengan sistem bagi hasil. Dari usahanya tersebut mereka mendapat keuntungan rata-rata lima juta sampai enam juta per sekali panen (empat bulan sekali) jika hasil panennya tidak gagal.

“Iya dulu saya kan cuma jadi buruhtani kalau musim ke sawah gak punya sawah sendiri dan gak sanggup garap punya orang karena gak ada modal. Dulu hanya dapat paling dua puluh ribu sehari, kalau gak lagi ke sawah saya jadi tukang nyuci di rumah tetangga. Tapi sekarang dengan ada modal usaha saya sudah bisa garap punya Pak Ah tetangga saya itu dengan bagi hasil. Ya saya bisa dapat untung, biasanya sekali musim panen saya dapat lima juta kalau padinya bagus. (Hmm)”

Ibu Rh mengungkapkan:

“Iya ada peningkatan pendapatan buat saya, sekarang saya garap sawah Nyak Aj dengan bagi hasil. Dapat lah untung kalau padinya bagus sekitar empat setengah juta sekali panen. Daripada dulu saya cuma jadi buruhtani paling dapat dua puluh ribu sehari, itu kalau saya rajin ke sawah. (Rh)”

Tingkat kesejahteraan juga dapat dilihat dari tingkat simpanan di kelompok. Jumlah simpanan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini adalah Rp200 000 (Ibu BR), Rp210 000 (Ibu Rh), Rp76 000 (Ibu NC) dan Rp146 000 (Ibu Hmm) (dapat dilihat pada Tabel 8.). Jumlah simpanan Ibu-Ibu ini relatif besar, hanya Ibu NC saja yang memiliki jumlah simpanan paling sedikit. Menurut Ibu NC hal tersebut terjadi karena dia lebih memilih mengembalikan pinjaman modal usaha terlebih dahulu dibandingkan menyimpan di kas kelompok. Karena pengembalian modal usaha adalah suatu kewajiban, sedangkan simpanan bisa dilakukan kapan saja dalam jumlah yang tidak ditentukan. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC:

“Saya pikir kalau modal usaha itu kan kewajiban, jadi kalau ada uang saya bayar uang pinjaman dulu sampai lunas dan alhamdulillah sekarang saya sudah lunas. Kalau simpanan kelompok kan bisa kapan aja, yang penting simpanan pokok udah saya bayar. Kalau modal usaha belum lunas saya kepikiran terus, kalau sekarang saya udah tenang tinggal saya jalankan usaha saja. (NC)”

Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini belum melakukan peminjaman kedua untuk modal usaha mereka karena pinjaman sebelumnya belum dapat dilunaskan, begitu juga dengan Ibu NC meskipun beliau sudah melunasi pinjaman

modal usaha sebelumnya. Beliau mengaku belum membutuhkan dana tambahan untuk ussahanya sekarang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu-Ibu ini, mereka memiliki beberapa alasan tidak dapat melunasi pinjamannya, antara lain adalah karena gagal panen, memiliki kebutuhan lain yang lebih penting seperti untuk membeli kebutuhan sehari-hari, untuk biaya sekolah anak, biaya anggota keluarga yang sakit dan untuk tambahan modal usaha, seperti yang diungkapkan oleh Ibu Hmm dan Ibu Rh:

“Saya belum bisa melunasi pinjaman, dulu saya pinjam satu juta setengah, yang baru saya lunasi lima ratus sisanya satu juta. Kadang-kadang udah niat mau bayar ada keperluan lain misalnya untuk sekolah anak, atau kalau panen gagal jadi yang disimpan buat bayar pinjaman saya pakai lagi untuk modal kedepan, ya begitu lah. Tapi saya akan lunasi pelan-pelan semampu saya. (Hmm)”

“Saya belum lunas, saya dikasih pinjaman satu juta setengah udah lunas satu juta tiga ratus, tinggal dua ratus. Insyaallah panen depan ini saya lunasi. Mudah-mudahan padinya bagus ya. (Rh)”

Alasan yang serupa juga disampaikan oleh Ibu BR yang memiliki jumlah pinjaman sebesar Rp1 000 000 dan baru dapat mengembalikan sebesar Rp500 000.

“Saya belum lunas pinjaman dulu, saya pinjam satu juta baru saya lunasi lima ratus. Saya kadang pake uang bayar cicilan buat beli obat suami saya yang sakit, atau buat kebutuhan sehari-hari kalau dagangan lagi sepi, jadi sya ambil uang yang ada dulu. Tapi saya tetap nyicil sedikit-sedikit. (BR)”

Peningkatan kesejahteraan anggota kelompok juga dapat dilihat dari kepemilikan aset. Kepemilikan aset setiap perempuan kepala keluarga pada tipologi ini berbeda-beda tergantung kepada jumlah pendapatan yang diperoleh dari usaha mereka masing-masing. Misalnya Ibu BR telah dapat membeli televisi, Ibu Hmm telah dapat membeli sepeda untuk anaknya bersekolah, Ibu Rh sudah merenovasi rumahnya, sedangkan Ibu NC sudah dapat menambah peralatan membuat kue seperti

mixer, penggorengan dan lain-lain. Berikut hasil wawancara dengan Ibu Rh: “Dari hasil usaha saya itu saya udah bisa renovasi rumah sedikit ya, jadi ada keliatan lah hasilnya, pelan-pelan. Kan untung dari kita bersawah kan gak terlalu banyak, ya kalauada lebih ya kita buat lah biar bagus dikit rumahnya biar gak bocor lagi...(Rh)”

Hal yang senada juga disampaikan oleh Ibu Hmm berikut ini:

“Saya selama ikut program ini, ada banyak manfaatnya saya sudah sanggup beli sepeda buat anak saya sekolah. Ada lah hasilnya walaupun sedikit. (Hmm)”

Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga memiliki akses terhadap dana BLM yang disalurkan melalui program pemberdayaan ini. Jumlah dana yang diperoleh bervariasi ada yang sesuai dengan proposal dan ada juga yang tidak sesuai.Akses lain yang dimiliki oleh perempuan kepala keluarga ini adalah layanan untuk mendapatkan pengobatan gratis di puskesmas atau rumah sakit. Mereka mengaku hanya membawa KTP saja jika berobat dan tidak dikenakan biaya apapun, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Rh berikut ini:

“Kalau berobat kita gratis, hanya bawa KTP aja ke puskesmas. Kita gak bayar apa-apa. (Rh)”

Di samping itu, mereka juga difasilitasi untuk mengurus akte kelahiran, KK dan KTP, seperti yang dijelaskan oleh Ibu Hmm berikut ini:

“Kan dulu waktu anak-anak saya lahir gak buat akte kelahiran, jangan kan ngurus tau aja gak apa itu akte. Tapi setelah ikut program ini, ternyata akte kelahiran itu sangat penting ya untuk keperluan anak kita sekolah nantinya. Jadi melalui program ini, semua anggota dan keluarganya yang belum punya akte kelahiran semuanya diurus dan sekarang semua anak saya sudah ada akte kelahirannya. Begitu jugu kalau anggota yang belum punya KTP atau KK semua dibantu urus. Banyak memberi manfaat lah. (Hmm)”

Perempuan kepala keluarga yang buta huruf mereka memiliki kesempatan untuk mengikuti kelas KF. Seperti yang disampaikan Ibu Hmm yang buta huruf:

“Saya ikut kelas buta huruf karena saya gak pernah sekolah jadi gak bisa baca tulis. Ada beberapa orang anggota, kami diajarkan baca tulis, sekarang saya sudah mulai bisa dan baca tapi belum lancar...(Hmm)”

Manfaat dari pelaksanaan program pemberdayaan ini bukan hanya dirasakan oleh ibu-ibu ini tapi juga dirasakan oleh anak-anaknya terutama yang masih duduk di bangku sekolah. Anak-anak yang masih berusia sekolah mereka mendapatkan beasiswa. Sedangkan yang masih usia dini bisa mengikuti program PAUD secara gratis.

“Iya selain dapat manfaat ke saya, anak saya juga dapat manfaat dari program ini. Anak saya yang SMP dapat bea siswa berupa baju

sekolah, tas, buku-buku, sepatu ya. Kan itu sangat membantu saya dan keluarga. (Hmm)”

Selain memiliki akses terhadap program-program PEKKA, perempuan kepala keluarga juga memiliki akses terhadap program lain, misalnya Ibu NC dan Ibu BR pernah memiliki kesempatan untuk mengikuti pelatihan dan keterampilan membuat kue yang diadakan pihak kecamatan melalui PKK.

“Saya pernah ikut pelatihan yang dibuat oleh kecamatan, pelatihan keterampilan buat kue. Saya disuruh istri kepala desa perwakilan dari desa ini. Ya saya ikut, kan bisa nambah ilmu, apalagi masalah buat kue saya sangat tertarik karena sesuai dengan kerjaan saya...(NC)”

Keberdayaan perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga dapat dilihat dari tingkat partisipasi mereka pada kehadiran dalam kegiatan kelompok, tingkat keaktifan mereka dalam kegiatan untuk menyuarakan kebutuhannya dalam kelompok, tingkat kehadiran dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya.Tingkat kehadiran dan keaktifan anggota dalm kelompok telah dibahas pada Bab 6, sekarang akan dibahas mengenai partisipasi perempuan kepala keluarga dalam kegiatan yang diadakan pihak lain seperti rapat desa, musrenbang dan lainnya.

Partisipasi perempuan kepala keluarga pada tipologi ini dalam kegiatan desa tidak sama. Menurut hasil wawancara dengan informan, semuanya mengaku diundang setiap ada pertemuan/ rapat desa, namun tidak semuanya bisa menghadirinya karena berbagai alasan seperti tidak ada waktu karena harus menjalankan usahanya, tidak diizinkan oleh suami atau karena tidak dapat membagi waktu antara kegiatan desa dengan mengurus rumahtangga serta menjalankan usaha, seperti yang diutarakan oleh Ibu Hmm berikut ini:

“Iya kalau ada rapat atau kegiatan di desa, ada diundang tapi saya jarang datang ya apalagi kalau kegiatannya siang hari, kan saya ke sawah, ngurus anak. Jadi gak ada waktu untuk datang. Saya paling bisa datang kalau kegiatannya diadakan sedang tidak musimke sawah. Ya itu saya datang setelah beresin rumah. Sebenarnya saya senang bisa ikut kegiatan di desa juga. (Hmm)"

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ibu BR:

“Saya jarang hadir ya kalau ada kegiatan desa, karena saya kan kerja jualan di pasar. Belum lagi saya pulang harus ngurus suami, sama juga kayak ikut pertemuan anggota. Kadang-kadang dikasih izin kadang-kadang gak. Ya mau gimana, sebenarnya saya suka ikut-ikut kegiatan apalagi kegiatan PKK kan bisa nambah ilmu. Tapi kalau ada waktu dan ada izin saya ikut juga. (BR)”

Sedikit berbeda dengan Ibu NC dan Ibu Rh; Ibu NC mengaku pernah mengikuti pelatihan ketrampilan memasak yang diadakan di Kecamatan sebagai perwakilan dari PKK desa meskipun beliau jarang menghadiri pertemuan desa karena tidak memiliki waktu disebabkan harus melaksanakan usahanya sebagai pedagang. Berikut hasil wawancara dengan Ibu NC:

“Saya pernah ikut pelatihan yang dibuat oleh kecamatan, pelatihan keterampilan buat kue. Saya disuruh istri kepala desa perwakilan dari desa ini. Ya saya ikut, kan bisa nambah ilmu, apalagi masalah buat kue saya sangat tertarik karena sesuai dengan kerjaan saya. Tapi kalau rapat-rapat desa saya jarang ikut karena saya jualan jadi gak ada waktu, kecuali kalau rapatnya sangat penting, orang saya ikut pertemuan anggota program aja sering telat...(NC)”

Ibu Rh mengaku setelah mengikuti program pemberdayaan ini menjadi sedikit lebih aktif dalam kegiatan-kegiatan desa dan sekarang menjabat menjadi sekretaris PKK. Ibu ini mengaku sering hadir dalam rapat desa baik rapat khusus perempuan maupun rapat yang melibatkan laki-laki dan sering memberikan saran, pendapat atau pertanyaan dalam rapat tersebut, di mana menurutnya tidak ada perbedaan antara kaum laki-laki dan perempuan semua diberikan hak dan akses yang sama, seperti yang disampaikannya berikut ini:

“Saya sekarang diangkat jadi sekretaris PKK. Dulu sebelum ikut program saya gak mau karena gak berani tapi sekarang saya sudah berani kok kan udah banyak pengetahuan dan udah sering ngomong depan orang banyak, saya juga sering hadir kalau ada rapat di desa. Saya juga sering bertanya atau kasih pendapat dalam rapat walaupun rapat itu dihadiri oleh laki-laki, semua boleh bicara. (Rh)”

Tingkat keberdayaan juga tercermin dari tingkat kesadaran kritis yang mereka miliki setelah mengikuti program pemberdayaan ini. Pelaksanaan program pemberdayaan ini diawali dengan pendekatan interpersonal PL dengan perempuan kepala keluarga. PL mencoba mendekati dan memberi penjelasan serta memperkenalkan PEKKA secara tatap muka karena mengingat perempuan kepala keluarga ini merupakan kelompok masyarakat yang marginal dalam masyarakat. Setelah mereka mengenal dan mengetahui maksud dari PEKKA barulah mereka bersedia mengikuti program melalui pembentukan kelompok.

Tugas PL selanjutnya adalah memfasilitasi anggota kelompok untuk mengikuti berbagai pelatihan terkait dengan pengembangan diri dan memberikan materi-materi dalam pertemuan anggota menyangkut analisa sosial, motivasi bekerja dalam kelompok,kepemimpinan transformatif, hak kesehatan reproduksi,hukum dan hak perempuan, advokasi, dan kesadaran gender.

Salah satu training lokakarya yang wajib diikuti oleh semua anggota kelompok adalah training lokakarya peningkatan kapasitas anggota dengan membangun visi dan misi mereka. Proses ini dilakukan dimana perempuan kepala

keluarga difasilitasi oleh PL untuk mengidentifikasi masalah mereka, memahami posisi, status dan kondisi mereka dalam tataran masyarakat, mengidentifikasi potensi yang mereka miliki, lalu bersama membangun harapan dan impian yang ingin diraih. Setelah itu, proses ini diakhiri dengan membangun kesepakatan untuk meraih harapan dan impian dengan bekerja bersama dalam kelompok. Proses ini juga memberikan kesempatan pada mereka untuk berfikir secara kritis melihat posisi dan kondisi mereka serta membangun motivasi untuk berkembang. Dalam proses ini mereka merumuskan kondisi dan karakteristik perempuan kepala keluarga sebelum mengikuti program dan hasilnya perempuan kepala keluarga identik dengan: miskin, terkucilkan, terdiskriminasi, tidak diperhitungkan, mengalami trauma, akses terbatas dan korban kekerasan. Dengan adanya program pemberdayaan ini mereka memiliki harapan dapat mengubah kondisi tersebut. Kemudian mereka menyusun visi dan misi bahwa setelah mengikuti program ini mereka harus menjadi perempuan kepala keluarga yang kehudupannya lebih sejahtera, dihormati, setara dengan masyarakat lainnya, sebagai motivator, adanya akses dan sebagai kelompok kontrol sosial yang kuat. Semua perempuan kepala keluarga pada tipologi ini mengaku pernah mengikuti pelatihan lokakarya ini. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Rh:

“Iya dulu kita setelah bentuk kelompok, semua anggota wajib ikut pelatihan kalau gak salah untuk peningkatan kapasitas anggota namanya. Di situ kita difasilitasi oleh PL untuk mengenal diri kita sebelum mengikuti program saat itu, kita sama-sama susun. Tersusun lah kalau kami itu miskin, terkucilkan, mengalami trauma, tidak ada akses yang sama, dan lain-lain pokoknya yang gak baik. Kemudian kita merumuskan impian atau harapan setelah mengikuti program ini, kita harus menjadi lebih sejahtera, ada akses, sama kedudukan dengan yang lain. Jadi dengan adanya impian itu kita jadi serius dan bertanggungajawab dalam pelaksanaan program, kalo gak benar-benar kita ikuti berarti impian itu gak tercapai nantinya. Dan Alhamdulillah sekarang sudah ada perubahan ya jadi lebih baik sesuai dengan impian yang kita susun dulu meskipun belum seratus persen. (Rh)”

Perempuan kepala keluarga pada tipologi ini juga mengaku pernah bertemu dan berdialog dengan forum pemangku kepentingan hukum di Kabupaten Pidie, yaitu pertemuan dengan pihak kepolisian untuk saling bertukar informasi dan membuka jaringan hukum, sehingga bisa membantu pelaksanaan penyadaran hukum serta pelayanan hukum bagi mereka. Berikut hasil wawancara dengan Ibu BR:

“..dulu sebelum ikut PEKKA kami takut sekali kalo udah berhubungan dengan hukum, kami gak ngerti masalah hukum, dengar polisi aja dah takut apalagi harus berurusan dengan mereka. Tapi sekarang setelah ikut program dan dapat materi tentang hukum kita jadi mengerti dan kita juga dah pernah bertemu dan diskusi dengan bapak-bapak polisi kita jadi ngerti dan tidak takut lagi...(BR)”

Perempuan kepala kepala keluarga hanya memiliki kontrol dalam lingkup rumahtangganya dan kegiatan kelompok. Mereka belum memiliki kontrol yang berhubungan dengan mengusulkan dan mengawasi pembuatan kebijakan lokal yang berhubungan dengan persoalan ketidakadilan yang mereka hadapi.

Kontrol dalam lingkup keluarga yaitu kontrol yang berkaitan dengan bagaimana mengelola penggunaan pinjaman dan tabungan serta keuntungan yang dihasilkan. Para anggota dapat memutuskan untuk menggunakan pinjaman modal dari program untuk membuka usaha dan mengembangkannya sendiri serta mampu mengembalikan dana pinjaman meskipun tidak secara teratur dan tepat waktu. Berikut adalah hasil wawancara dengan Ibu Rh:

“Semuanya tergantung anggota masing-masing, gimana mengelola uang pinjamannya, untuk usaha apa, semuanya kita sendiri yang putuskan. Yang penting kita bisa menyicil setoran pinjaman kita. Setoran tergantung pada kita juga bayarnya tiap bulan dalam jumlah yang gak ditentukan, atau kapan aja kita punya uang bisa langsung setor ke bendahara. (Rh)”

Program pemberdayaan ini juga telah memberi perubahan bagi anggotanya dalam hal kontrol atas alokasi tenaga kerja keluarga. Mereka telah dapat mengontrol dan membagi alokasi waktu antara bekerja mencari nafkah (menjalankan usaha) dan bekerja mengurus rumahtangga (pekerjaan domestik) secara teratur dan tepat waktu. Mereka telah memiliki jadwal kegiatan sehari-hari yang mereka susun sendiri sehingga dapat secara teratur dalam mengontrol kegiatan rumahtangga seperti mengurus anak, mengurus suami (bagi yang masih memiliki suami yang menderita sakit), merapikan rumah, dan dalam menjalankan usahanya di luar rumah. Biasanya mereka memulai kegiatannya dari sebelum waktu Subuh hingga malam hari. Seperti yang dialami oleh Ibu BR yang memiliki usaha jualan kue kering di pasar kecamatan, beliau bangun jam empat pagi, kegiatan pertama adalah menyuci, memasak, merapikan rumah, menyiapkan dagangannya, mengurus suami yang sedang sakit, setelah semua selesai kira-kira pukul delapan pagi baru beliau berangkat ke pasar. Sedangkan jika ada pekerjaan rumah yang belum terselesaikan maka anak perempuannya yang masih SMA yang akan mengerjakannya. Beliau pulang sekitar pukul dua siang, karena harus mengurus suami terutama menyuapi makan suaminya. Berikut adalah penuturan Ibu BR mengenai kegiatannya