• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, DAN HIPOTESIS"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

6 1. Tinjauan Tentang Anak Tunagrahita

a. Pengertian Anak Tunagrahita

Banyak definisi atau pengertian yang dapat menjelaskan tentang anak dengan gangguan intelektual atau tunagrahita, para ahli mendefinisikan anak dengan gangguan intelektual menurut bidang mereka masing-masing. para dokter biasanya mendefinisikan ke arah medis, lain lagi untuk para guru yang lebih mendefinisikan kearah kondisi intelegensi.

Tunagrahita adalah kata lain dari retardasi mental,arti harfiahnya adalah dari kata tuna yaitu merugi sedangkan grahita adalah pikiran, ditandai oleh ciri utamanya adalah kelemahan dalam berfikir dan bernalar. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (Tim Penyusun, 2002) Tunagrahita berasal dari kata “tuna” (2002:1223) dan “grahita” (2002:371), tuna yang mempunyai Arti kurang; tidak memiliki, sedangkan grahita yang berarti memahami; mengerti. Akibat dari kelemahan tersebut anak tunagrahita memilki kemampuan belajar dan adaptasi sosialnya berada dibawah rata-rata. Tunagrahita menjelaskan tentang kondisi anak yang kecerdasannya dibawah rata-rata yang ditandai oleh keterbatasan intelegensi dan ketidakcakapan dalam interaksi sosial.

Munzayanah (2000:13) menyatakan bahwa “Anak tunagrahita sebagai anak yang mengalami gangguan atau hambatan dalam perkembangan daya pikir serta seluruh kepribadian, sehingga ia tidak mampu hidup dengan kekuatan sendiri dalam masyarakat meskipun dengan cara sederhana”. Disisi lain, Japan League for Mentally Retarded menyatakan bahwa tunagrahita atau retadasi mental dialami saat usia perkembangan sejak usia konsepsi sampai usia 18 tahun dan disertai dengan perilaku adaptif (Kosasih, 2012). Hal ini dapat dikaitkan dengan

(2)

pernyataan dua orang peneliti yang menyatakan, “Seseorang dinyatakan tunagrahita apabila; terhambatnya atau memiliki fungsi kecerdasan dibawah rata-rata, ketidakmampuan dalam perilaku adaptif, terjadi selama perkembangan sampai usia 18 tahun” (Choiri dan Yusuf, 2009:56).

Dari uraian mengenai anak tunagrahita diatas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah anak yang tingkat perkembangan sosial maupun intelek berada dibawah rata-rata serta memiliki kekurangan dalam adaptasi tingkah laku dalam masa perkembangan sebelum usia 18 tahun.

b. Penyebab Ketunagrahitaan

Terdapat berbagai faktor yang dapat menyebabkan seseorang menjadi tungrahita. Beberapa pendapat mengenai faktor-faktor penyebab anak tunagrahita dikemukakan menjadi beberapa kelompok, antara lain sebagai berikut:

Menurut Munzayanah (2000 : 14-16) penyebab retardasi mental digolongkan menjadi dua kelompok, seperti berikut:

1) Kelompok Biomedik yang meliputi:

a) Prenatal (sebelum kelahiran), dapat terjadi karena: (1) Infeksi ibu pada waktu mengandung.

(2) Gangguan metabolism.

(3) Iradiasi sewaktu umur kelahiran antara 2-6 minggu. (4) Kelainan kromosom.

(5) Malnutrisi.

b) Natal (saat kelahiran), antara lain berupa: (1) Anaxia (kekurangan oksigen)

(2) Asphysua (gangguan nafas). (3) Prematurias dan postmaturias. (4) Kerusakkan otak.

c) Post natal (setelah kelahiran), dapat terjadi karena: (1) Malnutrisi

(3)

(3) Trauma.

2) Kelompok sosio kultural: psikologik atau lingkungan.

Kelompok etiologi ini dipengaruhi oleh proses psiko sosial dalam keluarga.

Dalam hal ini ada tiga macam teori, seperti berikut: a) Teori Stimulasi

Pada umumnya adalah penderita tunagrahita (retardasi mental) yang tergolong ringan, disebabkan karena kekurangan rangsangan atau kekurangan kesempatan perhatian dari keluarga.

b) Teori Gangguan

Kegagalan keluarga dalam meberikan proteksi yang cukup terhadap stress pada masa kanak-kanak sehingga mengakibatkan gangguan pada proses mental.

c) Teori Keturunan

Teori ini mengemukakan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sangat lemah akan mengalami disorganisasi, sehingga bila anak mengalami stress akan bereaksi dengan cara yang bermacam-macam untuk dapat menyesuaikan diri. Atau dengan kata lain “Security System” sangat lemah di dalam keluarga.

Sedangkan menurut Efendi (2006: 91) “sebab terjadinya ketunagrahitaan pada seseorang menurut kurun waktu terjadinya, yaitu dibawa sejak lahir (faktor endogen) dan faktor dari luar seperti penyakit atau keadaan lainnya (faktor eksogen).” Faktor endogen adalah faktor ketidaksempurnaan psikobiologis dalam memindahkan gen, sedangkan faktor eksogen yaitu faktor yang terjadi akibat perubahan patologis dari perkembangan normal.

Melihat pendapat yang telah dikemukakan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor penyebab yang dapat mengakibatkan terjadinya ketunaan pada anak yaitu faktor keturunan, faktor makanan dan

(4)

minuman serta faktor lingkungan. Dalam hal ini faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi ketunagrahitaan baik pada saat prenatal, natal maupun postnatal.

c. Klasifikasi Anak Tunagrahita

Pengklasifikasian anak tunagrahita penting dilakukan karena anak tunagrahita memiliki kemampuan yang bervariasi. Somantri (2006:106), menggolongkan anak tunagrahita menjadi tiga golongan yaitu:

1. Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan memiliki IQ antara 68-52 pada skala Binet, memiliki IQ antara 69-55 menurut skala WISC. Mampu belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Mampu didik menjadi tenaga kerja semi-skilled seperti pekerja laundry, pertanian, peternakan, pekerjaan rumah tangga, dan pekerja pabrik dengan sedikit pengawasan. Pada umumnya tidak megalami gangguan fisik (tampak seperti anak normal).

2. Tunagrahita Sedang

Tunagrahita sedang, memiliki IQ antara 51-36 pada skala Binet, memiliki IQ antara 54-40 menurut skala WISC. Mampu mengurus diri sendiri, melindungi diri sendiri dari bahaya seperti menghindari kebakaran, berjalan di jalan raya, berlindung dari hujan, dan sebagainya. Sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Mampu menulis secara sosial, misalnya menulis nama sendiri dan alamat rumah.

3. Tunagrahita Berat

Tunagrahita berat memiliki IQ antara 32-20 menurut skala Binet, memiliki IQ 39-25 menurut skala WISC. Memerlukan perawatan secara total dalam kehidupan sehari-hari dan memerlukan perlindungan dari bahaya sepanjang hidupnya

Penggolongan tunagrahita menurut Skala Binet dan Skala Weschler (Kosasih, 2012) sebagai berikut:

a) Tunagrahita Ringan

Tunagrahita ringan disebut juga moron atau debil. Menurut Skala Binet, kelompok ini memiliki IQ antara 68-52, sedangkan menurut Skala Weschler (WISC) memiliki IQ antara 69-55. Anak tunagrahita masih dapat belajar membaca, menulis, dan berhitung sederhana. Dengan bimbingan dan didikan yang baik, anak

(5)

tunagrahita ringan akan mendapat memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri.

b) Tunagrahita Sedang

Tunagrahita sedang disebut juga imbesil. Kelompok ini memliliki IQ 51-36 pada Skala Binet dan 54-40 menurut Skala Weschler (WISC). Anak Tunagrahita sedang sangat sulit bahkan tidak dapat belajar secara akademik seperti belajar menulis, membaca, dan berhitung walaupun mereka bisa belajar menulis secara sosial. Misalnya menulis namanya sendiri (mandi, berpakaian, makan, minum) dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga (menyapu, membersihkan perabot rumah tangga, dan sebagainya). Dalam kehidupan sehari-hari anak tunagrahita sangat membutuhkan pengawasan yang terus-menerus.

c) Tunagrahita Berat

Kelompok tunagrahita ini sering disebut idiot. Kelompok ini dapat dibedakan lagi antara anak tunagrahita berat dan anak tunagrahita sangat berat. Tunagrahita berat (severe) memiliki IQ antara 32-20 menurut Skala Binet dan antara 39-52 menurut Skala Weschler (WISC). Tunagrahita sangat berat (profound) memiliki IQ di bawah 19 menurut Skala Binet dan IQ di bawah 24 menurut Skala Weschler (WISC). Anak tunagrahita berat memerlukan bantuan perawatan secara total, baik itu dalam hal berpakaian, mandi, ataupun makan. Bahkan, mereka memerlukan perlindungannya dari bahaya sepanjang hidupunya.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa ketunagrahitaan diklasifikasikan menjadi 3, yakni tunagrahita ringan, tunagrahita sedang, dan tunagrahita berat atau sangat berat. Tunagrahita ringan adalah mereka yang memiliki IQ kisaran 75 yang mana mereka masih mampu untuk melakukan pekerjaan yang bersifat akademis. Tunagrahita sedang adalah mereka yang memiliki daya kemampuan otak di bawah rerata IQ anak tunagrahita ringan yaitu kisaran IQ 55 yang mana mereka bisa melakukan

(6)

hal-hal yang bersifat terbimbing, sedangkan tunagrahita berat dan atau sangat berat adalah mereka yang mempunyai kemampuan otak di bawah tunagrahita sedang yaitu kisaran IQ 30 yang mana mereka benar-benar kesulitan untuk melakukan aktivitas sehingga memerlukan bantuan dari orang lain sepenuhnya.

d. Karakteristik Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita memiliki karakteristik tersendiri dari segi tingkah laku, emosi dan sosialnya, dan cara belajar. Anak tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan tingkat kekuranganya. Berdasarkan pengertian yang telah dipaparkan di atas, maka anak tunagrahita memiliki karakteristik tersendiri dari segi tingkah laku, emosi dan sosialnya, cara belajarnya dan kesehatannya pada fisiknya. Untuk karakteristik tersebut anak tunagrahita memiliki karakteristik yang berbeda sesuai dengan tingkat kekuranganya. Depdiknas (2003) dalam Nunung (2012:33) mengemukakan bahwa karakteristik anak tunagrahita yaitu penampilan fisik tidak seimbang tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai dengan usianya, perkembangan bicara/bahasanya terhambat, kurang perhatian pada lingkungan, koordinasi gerakannya kurang dan sering mengeluarkan ludah tanpa sadar.

Munzayanah (2000 : 22) menyebutkan karakteristik anak tunagrahita ringan adalah sebagai berikut:

1) Dapat dilatih untuk bermacam-macam tugas yang lebih tinggi atau kompleks.

2) Dapat dilatih dalam bidang sosial atau intelektual dalam batas-batas tertentu. Misalnya membaca, menulis, dan berhitung.

3) Dapat dilatih untuk pekerjaan-pekerjaan rutin maupun keterampilan.

Dengan berpijak dari beberapa pendapat di atas maka dapat disimpulkan bahwa karakteristik anak tunagrahita yaitu:

(7)

1) Masih dapat dilatih intelektualnya dalam batas-batas tertentu.

2) Masih dapat dilatih untuk pekerjaan sederhana. 3) Masih dapat bersosialisasi pada taraf tertentu.

e. Layanan Pendidikan Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita sangat memerlukan pendidikan dan layanan khusus yang berbeda dengan anak-anak pada umumnya. Seperti yang dikutip dari Ortopedagogik Anak Tunagrahita yaitu:

1) Kelas Transisi

Kelas transisi sedapat mungkin berada di kelas regular, sehingga pada saat tertentu anak dapat belajar dan bersosialisasi dengan anak lain, dengan modifikasi sesuai dengan kebutuhan si anak.

2) Sekolah Khusus

Dalam satu kelas maksimal 10 anak dengan pembimbing/ pengajar guru khusus dan teman sekelas yang dianggap sama kemampuannya (tunagrahita).

3) Sekolah Terpadu

Layanan pendidikan pada model ini diselenggarakan di sekolah regular. Untuk mata pelajaran tertentu jika anak mulai merasa kesulitan, anak tunagrahita akan mendapatkan bimbingan/ remedial dari Guru Pembimbing Khusus (GPK) dari SLB terdekat, pada ruang khusus atau ruang sumber.

4) Program sekolah di rumah

Program ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita yang tidak mampu mengikuti pendidikan di sekolah khusus karena keterbatasannya, misalnya: sakit. Program dilaksanakan di rumah dengan cara mendatangkan guru

(8)

PLB (GPK) atau terapis. Hal ini dilaksanakan atas kerja sama antara sekolah, orangtua, dan masyarakat.

5) Pendidikan inklusif

Model ini mengedepankan keterpaduan penuh, menghilangkan labelisasi anak dengan prinsip “Education for All”. Layanan pendidikan inklusif diselenggarakan pada sekolah regular. Anak tunagrahita belajar bersama-sama dengan anak regular, pada kelas dan guru pembimbing yang sama. Pada kelas inklusi, siswa dibimbing oleh dua orang guru, satu guru regular dan guru khusus. Semua anak diberlakukan dan diberi hak serta kewajiban yang sama.

6) Panti (Griya) Rehabilitasi

Panti ini diperuntukkan bagi anak tunagrahita pada tingkat berat. Program di panti terfokus pada perawatan. Perkembangan dalam panti terbatas dalam hal:

a) Pengenalan diri

b) Sensimotor dan persepsi

c) Motorik kasar dan ambulensi (pindah dari satu tempat ketempat yang lain)

d) Kemampuan berbahasa dan berkomunikasi

2. Tinjauan Tentang Pembelajaran Matematika Anak Tunagrahita a. Pembelajaran Matematika

Pembelajaran merupakan proses belajar yang dilakukan individu untuk mencapai suatu. Disebutkan dalam UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas Pasal 1 Ayat 20 bahwa pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar. Hermawan (2012:19) menyatakan bahwa belajar merupakan aktivitas perubahan tingkah laku melalui latihan-latihan dan pengalaman

(9)

secara terus-menerus dan berkesinambungan, untuk mencapai hasil belajar yang relatif konstan.

Dimyati dan Mudjiono dalam Mumpuniarti (2007: 35) program pembelajaran berisi urutan perilaku yang dikehendaki, penguatan, waktu mempelajari perilaku dan evaluasi. Sedangkan matematika menurut Abdurrahman (2002:252) adalah bahasa simbiolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoritisnya adalah untuk memudahkan berfikir.

Berdasarkan pengertian di atas peneliti berpendapat bahwa pembelajaran matematika anak tunagrahita dimaksudkan terjadi perubahan dalam pengetahuan, ketrampilan, sikap, tingkah laku setelah mengikuti proses pembelajaran. Perubahan yang diharapkan dalam penelitian ini adalah anak mampu menyelesaikan persoalan dengan konsep yang betul.

b. Materi Pelajaran Matematika Anak Tunagrahita

Materi pelajaran matematika anak tunagrahita memiliki kesamaan dengan materi pelajaran matematika untuk anak normal. Namun, karena adanya keterbatasan IQ maka materi yang diberikan untuk anak tunagrahita terbatas dan diperlukan adanya modifikasi. Menurut Moh. Amin (1995: 222) materi pelajaran matematika yang dapat diberikan kepada anak tunagrahita meliputi:

1) Pengenalan kuantitas (jumlah) dan simbol 0-10.

2) Pengenalan sistem decimal, penjumlahan, pengurangan, dan pembagian.

3) Pengenalan bilangan 1-9 dan 11-19.

4) Pengenalan nilai mata uang, konsep waktu, jam dan kalender.

5) Aplikasi matematika dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam penelitian ini, materi pembelajaran yang digunakan peeliti hanya terfokus pada pengenalan nilai mata uang. Berpedoman pada

(10)

standar kompetensi dan kompetensi dasar untuk siswa tunagrahita kelas VI, pengenalan nilai mata uang terbatas hingga sepuluh ribu rupiah.

c. Tujuan Pelajaran Matematika Anak Tunagrahita

Mengacu kurikulum yang digunakan sekolah Tunagrahita menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006 : 101), tujuan diberikannya mata pelajaran matematika peneliti kemukakan sebagai berikut:

1) Memahami yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.

2) Mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan dan masalah.

3) Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan.

Hal tersebut dimaksudkan agar nantinya anak tunagrahita dapat hidup lebih mandiri tidak selamanya bergantung pada orang lain serta mampu mengerjakan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya walaupun hanya berupa pekerjaan yang sederhana.

d. Pengertian dan Fungsi Uang

Terdapat materi mengenai uang didalam pembelajaran matematika untuk siswa tunagrahita. Uang adalah alat yang paling penting dalam segala aktivitas, terutama dalam aktivitas ekonomi.

Pengertian uang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:1092) adalah “alat penukar atau standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh pemerintahan suatu negara berupa kertas, emas, perak atau logam lain yang dicetak dengan bentuk gambar tertentu”. Iswardono (2008:4) mendefinisikan uang sebagai sesuatu yang

(11)

secara umum diterima di dalam pembayaran untuk pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta untuk pembayaran utang-utang.

Uang memiliki banyak fungsi, untuk itu perlu dibedakan fungsi yang satu dengan yang lain. Adapun 4 fungsi uang seperti yang dijelaskan oleh Iswardono (2008:6) yaitu:

1) Satuan Hitung

Satuan hitung dalam hyal ini dimaksud sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan nilai dari barang-barang dan jasa yang dijual (beli).

2) Alat Penukar

Dengan adanya uang, orang tidak harus menukar barang yang diinginkan dengan barang yang dimilikinya.

3) Penimbun kekayaan

Penyimpanan uang ini dimaksudkan untuk mempermudah pertukaran atau transaksi di saat ini maupun di masa yang akan datang.

4) Standar pencicilan uang

Dengan menggunakan uang, kita dapat melakukan pembayaran utang piutang secara tepat dan cepat, baik secara konstan atau angsuran.

Jika dikaitkan dengan anak tunagrahita, penelitian yang akan dilakukan hanya sebatas pengenalan nilai mata uang agar anak mampu secara mandiri melakukan proses pembayaran pada saat membeli sesuatu. Mengetahui berapa jumlah uang dan kembalian yang seharusnya, agar tidak tertipu. Contohnya ketika anak membeli makanan di kantin saat jam istirahat.

3. Tinjauan Tentang Pembelajaran Konstruktivistik a. Pengertian Pembelajaran Konstruktivistik

Pembelajaran konstruktivistik adalah pembelajaran yang lebih menekankan pada proses dan kebebasan dalam menggali pengetahuan

(12)

serta upaya dalam mengkonstruksi pengalaman. Menurut Cahyo (2013:34) belajar dalam konstruktivisme adalah suatu proses mengasimilasikan dan mengaitkan pengalaman atau pelajaran yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dimilikinya, sehingga pengetahuannya dapat dikembangkan.

Shymansky dalam Cahyo (2013:35) berpendapat bahwa makna belajar menurut konstruktivisme adalah aktivitas yang aktif, dimana peserta didik membina sendiri pengetahuannya, mencari arti dari apa yang mereka pelajari, mengekspresikan ide dan gagasan sehingga diperoleh konstruksi yang baru.

Dari kedua pengertian diatas, dapat dimengerti bahwa dalam pembelajaran konstruktivistik terdapat satu prinsip yang mendasar yaitu guru tidak hanya memberikan pengetahuan kepada siswa, namun siswa juga harus berperan aktif membangun sendiri pengetahuan di dalam memorinya. Dalam hal ini, guru dapat memberi kesempatan kepada siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri.

b. Prinsip – Prinsip Pembelajaran Konstruktivistik

Pembelajaran konstruktivistik memiliki beberapa prinsip dalam proses belajar. Prinsip-prinsip yang sering diambil dari konstruktivistik menurut Suparno dalam Trianto (2007:29), antara lain:

1) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif 2) Pengetahuan siswa yang sudah ada dapat menjadi

bagian dari pengetahuan baru.

3) Mengajar adalah membantu siswa belajar 4) Guru sebagai fasilitator

Secara umum, dalam proses belajar siswa adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Prinsip-prinsip tersebut berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaharuan, dan perencanaan pendidikan.

(13)

c. Ciri - Ciri Pembelajaran Konstruktivistik

Menurut pandangan teori ini, belajar adalah menyusun pengetahuan dari pengalaman konkrit, aktifitas kolaborasi dan refleksi serta interprestasi. Sedangkan mengajar menurut Yamin (2008:1) adalah menata lingkungan agar peserta didik termotivasi dalam menggali dari ketidakmenentuan. Sehingga teori ini menitikberatkan pada upaya penyusunan pengetahuan. Baharuddin dan Wahyuni (2015: 163) menyatakan bahwa guru tidak begitu saja memberikan pengetahuan kepada siswa, tetapi siswalah yang harus aktif membangun pengetahuan dalam pikiran mereka sendiri.

Dilihat dari bagaimana seseorang siswa menyusun pengetahuan maka dapat dikatakan bahwa belajar tersusun dari pengalaman satu dengan yang lain dimana saling berhubungan sehingga muncul pengetahuan yang kompleks dan dari satu pengalaman ke pengalaman selanjutnya siswa memahami dan memikirkan antara satu kejadian dengan kejadian selanjutnya. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Bruner dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015: 163) bahwa premis dasar dari pembelajaran konstruktivistik adalah bahwa individu harus secara aktif “membangun” pengetahuan dan keterampilannya. Oleh karena itu, Slavin dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015: 165) mengemukakan bahwa dalam proses belajar dan pembelajaran siswa harus terlibat aktif dan siswa menjadi pusat kegiatan belajar dan pembelajaran di kelas. Sehingga siswa akan memiliki pemahaman yang berbeda terhadap pengetahuan tergantung pada pengalamannya atau sudut pemikiran yang berbeda dalam menginterprestasikan pengetahuan tersebut.

d. Peranan Guru pada Pembelajaran Konstruktivistik

Belajar erat kaitannya dengan pengajar, siswa dan juga materi. Oleh karena itu, guru sebagai pengajar memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kemajuan peserta didiknya. Menurut Siregar dan Nara

(14)

(2010:41), peranan guru lebih sebagai mediator dan fasilitator bagi siswa, yang meliputi kegiatan-kegiatan berikut:

1) Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru.

2) Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan siswa dan membantu mereka untuk mengekspresikan gagasannya.

3) Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak.

e. Tujuan Pembelajaran Konstruktivistik

Dalam proses belajar siswa adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuannya. Hal tersebut ditujukan agar anak dapat belajar mandiri. Nurhadi dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015: 164) mengemukakan bahwa pemahaman manusia akan semakin mendalam dan kuat jika teruji dengan pengalaman-pengalaman baru. Baharuddin dan Wahyuni (2007:130) menyatakan tujuan dari pembelajaran konstruktivistik ini adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman baik dalam arti kemampuan berfikirnya), kemandirian (kemampuan menilai proses dan hasil berfikir sendiri), tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri yaitu suatu proses “learn to be” serta mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsanya.

f. Model - Model Pembelajaran Konstruktivistik

Pembelajaran konstruktivistik telah melahirkan berbagai macam model-model pembelajaran, dan dari berbagai macam model pembelajaran tersebut terdapat pandangan yang sama, bahwa dalam proses belajar siswa

(15)

adalah pelaku aktif kegiatan belajar dengan membangun sendiri pengetahuan berdasarkan pengalaman-pengalaman yang dimilikinya. Beberapa model pembelajaran yang didasarkan pada konstruktivistik adalah:

1) Discovery learning, Jerome Bruner menurut Slavin dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015:180) yaitu model pembelajaran dimana siswa didorong untuk belajar dengan diri mereka sendiri. Dalam pembelajaran ini siswa belajar untuk mandiri dalam memecahkan masalah dan memiliki keterampilan berpikir kritis, karena mereka harus menganalisis dan mengelola informasi.

2) Reception learning, merupakan bentuk kritikan yang dilayangkan oleh Ausabel terhadap discovery learning. Ausabel dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015:181) beragumen bahwa “siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting atau relevan. Dan beberapa siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajari apa yang diajarkan disekolah. Inri dari pendekatan reception learning adalah expository teaching, yaitu perencanaan pembelajaran yang sistematis terhadap informasi yang bermakna.

3) Assited learning, menurut Bruner dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015:185) lebih kepada menggunakan teknik scaffolding dalam belajar. Dimana membantu siswa pada awal belajar untuk mencapai pemahaman dan keterampilan siswa dan secara berlahan-lahan bantuan tersebut dikurangi sampai akhirnya siswa dapat belajar sendiri serta menemukan pemecahan bagi masalah atau tugas-tugas yang dihadapinya.

4) Active learning adalah pembelajaran aktif. Menurut Silberman dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015:186)

(16)

belajar membutuhkan keterlibatan mental dan tindakan sekaligus.

5) The acclerated learning adalah pembelajaran yang dipercepat. DePorter dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015:188) mengemukakan bahwa accelerated learning dapat memungkinkan siswa untuk belajar dengan kecepatan yang mengesankan dengan upaya yang normal. 6) Quantum learning menurut Baharuddin dan Wahyuni

(2015:188) mengasumsikan bahwa siswa, jika mampu menggunakan potensi nalar dan emosinya secara jitu, akan mampu membuat loncatan prestasi yang tidak bisa terduga sebelumnya.

7) Contextual teaching and learning menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015:191) dalam kelas kontekstual, tugas guru adalah membantu siswa mencapai tujuannya.

Berdasarkan penjelasan mengenai model-model pembelajaran konstruktivistik tersebut, dalam penelitian ini, peneliti menggunakan model pembelajaran reception learning. Menurut peneliti model pembelajaran ini cocok jika diterapkan utuk mengajarkan siswa tunagrahita mengingat keterbatasan serta hambatan yang dimiliki sehingga siswa tidak selalu mengetahui apa yang penting saat belajar sehingga mengakibatkan siswa membutuhkan motivasi eksternal untuk mempelajarei apa yang diajarkan disekolah.

g. Tahap Pembelajaran Konstruktivistik

Telah dijelaskan sebelumnya dalam pembahasan mengenai model-model pembelajaran konstruktivistik bahwa peneliti menggunakan model-model pembelajaran reception learning. Ausabel dalam Baharuddin dan Wahyuni (2015:182) menjelaskan sebuah alternatif model pembelajaran yang disebut reception learning. Inti dari pendekatan reception learning adalah expository teaching. Menurut Baharuddin dan Wahyuni (2015:182)

(17)

expository teaching, yaitu perencanaan yang sistematis terhadap informasi yang bermakna.

Pengajaran ekspositori (expository teaching) berisi tiga prinsip tahapan pembelajaran, yaitu:

1) Advance organizer. Tahap ini berupa memberi bimbingan

untuk memahami informasi yang baru. Siswa diberi arahan agar mengetahui apa yang terpenting dari materi yang dipelajari.

2) Menyampaikan tugas-tugas belajar. Untuk belajar sesuatu yang baru, siswa tidak harus melihat persamaan antara materi yang diajarkan dengan pengetahuan yang dimilikinya tetapi juga perlu melihat perbedaannya pula. Agar tidak terjadi kebingungan ketika siswa mempelajari materi yang baru dengan pengetahuan yang sudah ada maka peneliti menggunakan berbagai cara, antara lain ceramah, diskusi, tugas-tugas, bermain peran dan juga pengalaman langsung di lapangan.

3) Penguatan organisasi kognitif. Pada tahap ini, siswa diberikan kesempatan untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi apa yang baru mereka pelajari.

Dalam model pembelajaran ini, guru mempunyai tugas untuk menyusun situasi pembelajaran, memilih materi yang sesuai bagi siswa, kemudian mempresentasikan pelajaran dengan baik.

B. Kerangka Berpikir

Sudah tidak asing lagi, bahwa matematika menjadi salah satu mata pelajaran yang dianggap sulit bagi banyak orang, seperti halnya dalam pemahaman mengenai uang. Maka dari itu, perlunya meningkatkan kualitas pemmbelajaran dan meningkatkan minat serta keterlibatan siswa dalam pembelajaran dan meningkatkan minat dan aktifitas dalam mengatasi

(18)

permasalahnnya. Pengguaan pembelajaran konstruktivistik merupakan salah satu alternatif yang diharapkan dapat dijadikan solusi untuk meningkatkan prestasi belajar matematika dalam hal mengenal nilai mata uang.

Kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah efektivitas pembelajaran konstruktivistik dalam meningkatkan kemampuan mengenal nilai mata uang pada anak tunagrahita kelas VI SLB YPPCG Bhina Sejahtera Surakarta. Untuk mengarahkan menuju jawaban sementara dan berdasarakan teori di atas dapat dikemukakan beberapa urutan kerangka berpikir sebagai berikut:

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

C. Hipotesis

Hipotesis adalah sesuatu yang dianggap benar untuk alasan atau pengutaraan pendapat (teori, proposisi, dan sebagainya) meskipun kebenarannya masih harus dibuktikan; anggapan dasar; seperti yang telah disebutkan dalam

Pembelajaran matematika materi mengenal nilai mata uang anak tunagrahita kelas VI

SLB YPPCG Bhina Sejahtera Surakarta

Pembelajaran belum menerapkan konstruktivistik

Penerapan pembelajaran konstruktivistik.

Kemampuan mengenal nilai mata uang meningkat. Kemampuan mengenal nilai

(19)

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) (2002:404). Menurut Purwanto dan Sulistyastuti (2007:137), hipotesis adalah pernyataan atau dugaan yang bersifat sementara terhadap suatu masalah penelitian yang kebenarannya masih lemah (belum tentu kebenarannya) sehingga harus diuji.Oleh karena itu, berdasarkan teori diatas serta tinjauan pustaka dan kerangka berpikir, maka dapat diajukan hipotesis bahwa:

“Pembelajaran konstruktivistik efektif meningkatkan kemampuan mengenal nilai mata uang pada anak tunagrahita kelas VI SLB YPPCG Bhina Sejahtera tahun ajaran 2015/2016”.

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Referensi

Dokumen terkait

(2015: 4) menyebutkan beberapa kelebihan metode pembelajaran CRH antara lain: (a) Pembelajaran lebih menarik, yang berarti dengan menggunakan metode pembelajaran CRH ini

Sebagai strategi pembelajaran cooperative learning membutuhkan rancangan dan persiapan yang sistematis. Guru harus melakukan langkah- langkah pokok sebagaimana dalam

Menurut Buhler (Sobur, 2016: 118) anak pada rentang usia 9-11 tahun berada dalam fase keempat yaitu fase anak berada pada masa untuk mencoba, menyelidiki, dan

Model problem based learning bukan hanya menerapkan prinsip atau keterampilan akademik tertentu, pembelajaran yang diberikan dengan cara memberikan pertanyaan dan

Latihan renang menggunakan latihan interval kerja dan istirahat menurut Bruce Abernethy (2005:155). Bertujuan untuk meningkatkan kemampuan anaerob dan kapasitas

Desain pembelajaran guling belakang dengan menggunakan model Cooperative Learning Tipe TAI dalam penelitian ini adalah : (a) guru memberikan penjelasan klasikal mengenai

Menurut Susanto (2013: 186) pembelajaran matematika merupakan suatu proses belajar mengajar yang dibangun oleh guru untuk mengembangkan kreativitas berpikir siswa

Menurut Tayibnapis (Widoyoko, 2013) evaluasi produk bertujuan membantu pihak-pihak yang berkepentingan untuk membuat keputusan selanjutnya, baik mengenai hasil yang