• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN"

Copied!
203
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA

DAN

LOCUS OF CONTROL

PADA

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta

S K R I P S I

Disusun Oleh:

Christina Yuliastuti Pristiyani

NIM: 021334006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(2)

i

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA

DAN

LOCUS OF CONTROL

PADA

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL

DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta

S K R I P S I

Disusun Oleh:

Christina Yuliastuti Pristiyani

NIM: 021334006

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI

JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(3)
(4)
(5)

iv

MOTTO

J anganlah kau mint a pada Tuhanmu unt uk mer ingankan bebanmu, t api mint alah pada-Nya unt uk menguat kan punggungmu

Segala sesuat u selalu indah pada wakt unya...

Jangan buang har imu dengan per cuma, lakukan segalanya yang t er baik, sebab wakt u t ak kan per nah kembali lagi

Cint ailah or ang lain apa adanya bukan ada apanya

Janganlah hendaknya kamu kuat ir t ent ang apapun juga, t et api nyat akanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa

dan per mohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4 :6 )

Bar angsiapa set ia dalam per kar a-per kar a kecil, ia set ia juga dalam per kar a- per kar a besar . Dan bar angsiapa t idak benar dalam per kar a

kecil, ia t idak benar juga dalam per kar a-per kar a besar (Lukas 1 6 :1 0 )

(6)

v

HALAMAN PERSEMBAHAN

Dengan segala kerendahan hati, skripsi ini kupersembahkan untuk:

(7)

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak

memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam

kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 6 Agustus 2007

Penulis

(8)

vii

ABSTRAK

PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA

DAN

LOCUS OF CONTROL

PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN

KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN

Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Christina Yuliastuti Pristiyani Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta 2007

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan emosional dan kualitas pelayanan karyawan; (2) ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dan kualitas pelayanan karyawan.

Penelitian dilaksanakan di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sampel penelitian ini berjumlah 185 karyawan. Teknik pengambilan sampel

adalah purposive sampling. Teknik analisa data menggunakan regresi yang

dikembangkan oleh Chow.

(9)

viii

ABSTRACT

THE INFLUENCE OF CULTURE OF WORKING

ATMOSPHERE

AND LOCUS OF CONTROL ON THE RELATIONSHIP

BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND

SERVICE QUALITY OF EMPLOYEES

A Case Study on Administrative Staff of Sanata Dharma and Atma Jaya University Yogyakarta

Christina Yuliastuti Pristiyani Sanata Dharma University

Yogyakarta 2007

The aims of this research are to know whether (1) culture of working atmoshere has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees; (2) locus of control has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees. This research was carried out at Sanata Dharma University and Atma Jaya University Yogyakarta. The populations of the research were all administrative employees of those two universities. Samples of this research were 185 employees. The technique of samples drawing was purposive sampling technique. The technique of analiyzing the data was regression developed by Chow.

(10)

ix

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis pada saat ini dapat menyelesaikan

penulisan skripsi yang berjudul “PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN

KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA

KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN

KARYAWAN”. Penelitian ini merupakan studi kasus pada karyawan administrasi

Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Akuntansi, Jurusan

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan,

semangat, dan doa yang sangat mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi

ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya

kepada:

1. Yesus Kristus, Bunda Maria, dan segenap malaikat-Nya yang telah dan selalu

menyertai seluruh karya dan sepanjang perjalanan langkahku hingga skripsi

ini selesai dengan lancar.

2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

3. Bapak Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu

(11)

x

4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Kepala Program Studi

Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

5. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang

dengan sabar selalu memberikan arahan, bimbingan, dan semangat tiada henti.

6. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang

telah banyak membimbing dan mendampingi dengan penuh kesabaran.

7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi

Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mbak Aris, Pak Wawik atas

kesempatan belajar dan kerja sama yang pernah terjalin.

8. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya

Yogyakarta yang telah bersedia meluangkan waktu menjadi responden dalam

penyusunan skripsi ini.

9. Kedua orang tuaku tercinta Bapak F.X Mardiyono dan Ibu Valentina Indarti

untuk doa, keringat, air mata, biaya, dukungan dan semua kasih sayang serta

pengorbanan yang telah diberikan bagiku.

10.Adik-adikku tersayang Krisnanto, Esti, Wahyu buat semua keceriaan,

kejengkelan, dan keluguan kalian yang buatku semangat lagi.

11.Keluarga besar Simbah Cipto dan Simbah Marto di Kulon Progo, yang masih

dengan sabar menungguku pulang. Tetep sehat ya mbah ….

12.Mbak Mar dan Mbak Niek, buat segala doa, bimbingan, dan omelan yang

membuatku sadar dan bangkit lagi.

(12)

xi

14.Saudara-saudaraku, kawan berjuangku, aDjie, SiLa, Etha, Eko Titet, Dinot,

Adi PaLasara, Ayu, Mbak Tia, Moko, Fely, Thomas (brotherhood jr), Ebie,

Anton Burket, yuk mancing di dunk2 and turing2 lagi….kalian keluarga yang

buatku semakin betah hidup di djoGdja, makasih untuk segala lika- liku hidup

yang indah, still and always keep our brotherhood, bro!

15.AngeLina, Nita, Prast, MichaeL, iQira, Om Rudi, HaGe, Dwinda, kapan lagi

kita jelajahi wedank corro dan angkringan X’Code tengah malem….

16.Nina Febriana, akhirnya sarjana juga! ayo kita wujudkan impian kita AB 234

NF!

17.Seluruh teman-teman PAK angkatan 2002, tetep fighting kawan!

18.Mbak Tia, Elies, Nining, Santi, Emie, Murni, untuk kekompakan dan cerita

cinta kita di STM Pembangunan 16D Mrican.

19.Keluarga Besar SMAK Santo Paulus Jember yang memberiku pengalaman

baru, kesempatan belajar dan bekerja sama serta masih selalu memberi ijin ke

Jogja.

20.Semua pihak yang banyak membantu penyusunan skripsi ini hingga berjalan

baik dan lancar yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.

Yogyakarta, 6 Agustus 2007

(13)

xii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii

HALAMAN PENGESAHAN... iii

MOTTO... iv

PERSEMBAHAN... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi

ABSTRAK... vii

ABSTRACT... viii

KATA PENGANTAR... ix

DAFTAR ISI... xii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah... 1

B. Batasan Masalah ... 4

C. Rumusan Masalah... 4

D. Tujuan Penelitian ... 4

(14)

xiii

BAB II LANDASAN TEORI ... 6

A. Kultur Lingkungan Kerja ... 6

1. Ruang Lingkup Lingkungan Kerja... 6

2. Kultur Lingkungan Kerja ... 11

3. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja... 11

B. Locus of Control ... 15

1. Pengertian Locus of Control... 15

2. Dimensi Locus of Control... 16

3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Perkembangan Locus of Control... 17

4. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal... 18

C. Kecerdasan Emosional ... 19

1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 19

2. Dimensi Kecerdasan Emosional... 22

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosional... 23

4. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi ... 24

D. Kualitas Pelayanan Karyawan ... 25

1. Definisi dan Karakteristik Jasa ... 25

(15)

xiv

3. Dimensi Kualitas Jasa ... 29

E. Hubungan Antar Variabel ... 31

F. Kerangka Berpikir ... 35

G. Hipotesis ... 36

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37

A. Jenis Penelitian ... 37

B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37

C. Subyek dan Obyek Penelitian ... 37

D. Variabel Penelitian... 38

1. Kultur Lingkungan Kerja ... 38

2. Locus of Control... 39

3. Kecerdasan Emosional... 41

4. Kualitas Pelaya nan Karyawan ... 42

E. Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel ... 44

F. Teknik Pengumpulan Data ... 45

G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 45

H. Teknik Analisis Data ... 51

1. Analisis Deskriptif ... 51

2. Pengujian Normalitas dan Linieritas ... 51

(16)

xv

BAB IV GAMBARAN UMUM UNIVERSITAS ... 55

A. Universitas Sanata Dharma ... 55

1. Sejarah Universitas... 55

2. Visi dan Misi Universitas ... 58

3. Tujuan Universitas ... 59

4. Fakultas- fakultas ... 59

B. Universitas Atma Jaya Yogyakarta ... 60

1. Sejarah Universitas... 60

2. Visi dan Misi Universitas ... 61

3. Tujuan Universitas ... 62

4. Fakultas- fakultas ... 63

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 65

A. Deskripsi Data ... 65

1. Deskripsi Responden Penelitian ... 66

2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 67

B. Analisis Data ... 73

1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 73

2. Pengujian Hipotesis ... 75

(17)

xvi

BAB VI PENUTUP ... 93

A. Kesimpulan ... 93

B. Keterbatasan Penelitian ... 93

C. Saran ... 94

DAFTAR PUSTAKA

(18)

xvii

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja

... 3

9

Tabel 3.2 Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control

... 4

1

Tabel 3.3 Tabel Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional

... 4

2

Tabel 3.4 Tabel Operasionalisasi Variabel Kualitas Pelayanan Karyawan

... 4

4

Tabel 3.5 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kultur Lingk ungan Kerja

... 4 7

Tabel 3.6 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Locus of Control

... 4

8

Tabel 3.7 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kecerdasan Emosional

... 4

9

(19)

xviii Kualitas Pelayanan Karyawan

... 5 0

Tabel 3.9 Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas

... 5

1

Tabel 5.1 Sebaran Responden Penelitian

... 6

6

Tabel 5.2 Jenis Kelamin Responden

... 6

7

Tabel 5.3 Pendidikan Terakhir Responden

... 6

7

Tabel 5.4 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi

Power Distance

... 6

8

Tabel 5.5 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi

Collectivism vs Individualism

... 6

9

(20)

xix

Femininity vs Masculinity

... 7

0

Tabel 5.7 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi

Uncertainty Avoidance

... 7

1

Tabel 5.8 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan

... 7 2

Tabel 5.9 Locus of Control Karyawan

... 7

2

Tabel 5.10 Kecerdasan Emosional Karyawan

... 7

3

Tabel 5.11 Kualitas Pelayanan Karyawan

... 7

4

Tabel 5.12 Hasil Pengujian Normalitas

... 7

5

Tabel 5.13 Hasil Pengujian Linieritas

... 7

(21)
(22)

xxi

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran I Kuesioner Penelitian ... 100

Lampiran II Data Validitas dan Reliabilitas ... 114

Lampiran III Uji Validitas dan Reliabilitas ... 121

Lampiran IV Data Induk Penelitian ... 126

Lampiran V Distribusi Frekuensi Deskripsi Variabel Penelitian ... 144

Lampiran VI Uji Normalitas dan Linieritas ... 156

Lampiran VII Hasil Hipotesis ... 158

Lampiran VIII Tabel r dan Tabel F ... 173

(23)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagai salah satu lembaga pendidikan, perguruan tinggi tidak dapat

menghindarkan diri dari derasnya arus globalisasi. Perguruan tinggi harus siap

bersaing dengan lembaga pendidikan tinggi lain dalam menyediakan produk jasa

layanan yang unggul dan yang sesuai dengan harapan pengguna lulusan. Bila

tidak, dalam waktu cepat perguruan tinggi yang bersangkutan bisa kehilangan

mahasiswa dan dijauhi calon mahasiswa.

Pelayanan yang unggul merupakan suatu sikap atau cara karyawan dalam

melayani pelanggan secara memuaskan. Unsur penting dalam kualitas jasa

pelayanan yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat

unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh, artinya jika salah satu dari

keempat unsur itu kurang atau tidak ada, maka kualitas pelayanan menjadi tidak

unggul. Untuk mencapai tingkat kualitas pelayanan yang unggul, setiap

karyawan harus mempunyai keterampilan tertentu, antara lain berpenampilan

yang baik dan sopan, bersikap ramah, bergairah kerja, me nguasai tugas dan

pekerjaannya, dan mampu berkomunikasi dengan baik.

Tingkat kualitas pelayanan yang diberikan berhubungan dengan banyak

faktor. Salah satu faktor yang berhubungan adalah kecerdasan emosional.

Banyak orang beranggapan bahwa kecerdasan akademis adalah prestasi dominan

(24)

menjamin seorang karyawan akan dapat dengan mudah mencapai impian atau

cita-citanya (Harmoko, http://www.binuscareer.com). Dalam banyak kasus

justru kecerdasan emosional lebih dominan menentukan kesuksesan seseorang.

Semakin tinggi kecerdasan emosional kita, semakin besar kemungkinan kita

untuk sukses sebagai pekerja, orang tua, manajer, anak dewasa bagi orang tua

kita, mitra bagi pasangan hidup kita, atau calon untuk suatu posisi jabatan. Saat

ini, semakin banyak pengakuan tentang perlunya mengefektifkan peran EQ, baik

di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi. Membina hubungan baik dan

strategi penanggulangan masalah adalah kunci keberhasilan dalam setiap bidang

kehidupan manusia, dari membina hubungan sejak dini antara orang tua dan

anak, sampai kemampuan seorang manajer untuk membuat karyawannya

menampilkan kinerja mereka yang terbaik (Steven dan Howard, 2000:17).

Kinerja seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain keterampilan

kognitif, kemampuan teknis, kecerdasan emosional, dan kemampuan bekerja

sama dengan baik dalam tim dan masyarakat. Di antara

kemampuan-kemampuan tersebut hanya kecerdasan emosional yang tidak didapatkan dari

bangku pend idikan formal sehingga tidak semua orang yang mempunyai

keterampilan kognitif dan kemampuan teknis memiliki juga kecerdasan

emosional ini. Secara singkat, orang yang pandai atau berhasil dalam prestasi

akademik sewaktu pendidikan formal ternyata banyak yang gagal mencapai

puncak prestasi sewaktu menempuh karir profesional (Melianawati dkk,

(25)

Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan administrasi lebih

membutuhkan aspek kemampuan pemanfaatan proses kognitif secara konstruktif

dan realistis dibanding aspek yang lain walaupun pada dasarnya semua aspek

kecerdasan emosional dapat mendukung jenis pekerjaan ini. Pekerjaan-pekerjaan

yang membutuhkan kemampuan untuk menampilkan diri kepada orang lain baik

itu kepada rekan setingkat maupun kepada pihak luar lebih membutuhkan aspek

kualitas kemampuan-kemampuan di dalam diri (intrapersonal), kualitas

kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (interpersonal), dan

kemampuan untuk menjaga diri agar tetap tenang dan terkendali bekerja di

bawah tekanan dari luar dan dari dalam diri (stress management) (Melianawati

dkk, 2001:61).

Untuk melihat lebih jauh lagi bagaimana pengaruh kultur lingkungan

kerja dan locus of control terhadap hubungan antara tingkat kecerdasan

emosional dengan kualitas pelayanan karyawan, maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Kultur Lingkungan

Kerja dan Locus of Control pada Hubungan antara Kecerdasan Emosional

dengan Kualitas Pelayanan Karyawan”. Penelitian ini merupakan studi kasus

pada karyawan administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma

Jaya Yogyakarta.

B. Batasan Masalah

Ada banyak faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan, antara

(26)

Penelitian ini memfokuskan pada faktor kecerdasan emosional. Secara lebih

spesifik penelitian ini ingin menyelidiki apakah pada kultur lingkungan kerja

dan locus of control berbeda, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dan

kualitas pelayanan berbeda.

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian

ini adalah sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan?

2. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan?

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk

memperoleh bukti tentang:

1. Adanya pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

2. Adanya pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

E. Manfaat Penelitian

(27)

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan olehpihak universitas untuk

mengetahui tingkat kecerdasan emosional dalam memberikan pelayanan

sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan.

2. Bagi penelitian selanjutnya

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi

tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan dan

(28)

6

BAB II

LANDASAN TEORITIK

A. Kultur Lingkungan Kerja

1. Ruang Lingkup Lingkungan Kerja

Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat

berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Kondisi

lingkungan kerja yang nyaman, aman dan mendukung akan membuat

karyawan menjadi bersemangat dan bergairah dalam bekerja, sehingga

berdampak positif pada kinerjanya. Dengan semangat dalam bekerja

karyawan cenderung akan merasa puas dalam bekerja. Sebaliknya,

lingkungan kerja yang banyak menimbulkan resiko atau tidak aman, dan

tidak mendukung dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan akan

menyebabkan merosotnya semangat kerja, kemungkinan terjadi kesalahan

dalam tugas, dan menurunnya produktivitas kerja (Nitisemito, 1982:183).

Nitisemito (1982:184) menyatakan bahwa lingkungan kerja sebagai

segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi

dirinya dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan. Adapun faktor

lingkungan fisik yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam upaya

meningkatkan semangat dan gairah kerja, antara lain: pewarnaan, kebersihan,

pertukaran udara, penerangan, musik, keamanan, dan kebisingan. Menurut

(29)

tugas dan pekerjaannya. Lingkungan kerja karyawan dibagi menjadi 3

kelompok.

1. Fasilitas untuk pelayanan karyawan, yang meliputi pelayanan makan,

kesehatan, dan pengadaan kamar mandi/kamar kecil.

2. Kondisi kerja, yang meliputi pengaturan penerangan ruang kerja,

pengaturan suhu udara, pengaturan suara bising, pemilihan warna,

penerangan ruang gerak yang diperlukan serta keamanan karyawan.

3. Hubungan karyawan dengan karyawan lain yang sering disebut dengan

human relation.

Faktor lingkungan menurut Nitisemito (1982:216) adalah sebagai berikut:

1. Pewarnaan

Masalah pewarnaan perlu diperhatikan sebab faktor ini cukup

berpengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja karyawan. Misal,

penggunaan warna putih pada ruang kerja dapat memberi kesan ruang

yang sempit menjadi tampak luas dan bersih serta mendukung pekerjaan

yang memerlukan ketelitian.

2. Kebersihan

Lingkungan kerja yang bersih secara tidak langsung menimbulkan rasa

senang dan mempengaruhi semangat dan gairah kerja seseorang dalam

bekerja. Suatu ruangan yang penuh debu dan berbau tidak enak akan

mengganggu konsentrasi kerja.

(30)

Penerangan yang cukup sangat dibutuhkan jika pekerjaan yang dilakukan

menuntut ketelitian. Penerangan yang terlalu besar akan membuat rasa

panas sehingga dapat menimbulkan rasa gelisah. Sebaliknya, penerangan

yang kurang akan menyebabkan rasa mengantuk dan ada kemungkinan

terjadi kekeliruan dalam melakukan tugasnya (Nitisemito, 1982:192).

Penerangan yang baik untuk ruang kerja yaitu sinar yang cukup terang,

tidak menyilaukan, dan distribusi cahaya yang merata, sehingga tidak ada

kontras yang tajam. Manfaat yang diperoleh dari sistem penerangan yang

baik adalah:

§ meningkatkan produksi;

§ memperbaiki kualitas pekerjaan para karyawan;

§ mengurangi tingkat kecelakaan;

§ memudahkan pengarahan dan pengawasan;

§ meningkatkan gairah kerja;

§ mengurangi turn over (pindah kerja);

§ mengurangi kerusakan atau kesalahan dari barang/tugas yang

dikerjakan;

§ menurunkan biaya produksi. 4. Pertukaran udara (ventilasi)

Pertukaran udara yang cukup dalam ruang kerja sangat diperlukan

apalagi bila dalam ruangan tersebut penuh karyawan. Pertukaran udara

yang cukup akan menimbulkan kesegaran fisik dari bawahan.

(31)

dan menurunnya semangat kerja, serta berpengaruh pada tingkat

kesalahan dalam melaksanakan tugas.

5. Musik

Musik juga berpengaruh pada semangat dan gairah kerja seseorang. Bila

musik yang diperdengarkan menyenangkan maka dapat menimbulkan

suasana gembira dan sekaligus mengurangi kelelahan dalam bekerja.

Namun tidak selalu berarti tanpa musik semangat kerja menurun tetapi

dengan adanya musik yang merdu dan menyenangkan maka secara tidak

langsung semangat kerja bisa meningkat.

6. Keamanan

Adanya jaminan terhadap keamanan dapat menimbulkan ketenangan dan

sekaligus dapat mempengaruhi semangat dan gairah kerja. Contoh:

tempat parkir kendaraan yang tidak aman dan sering kecurian akan

menimbulkan kegelisahan dan terganggunya konsentrasi kerja karyawan

sewaktu menjalankan tugas.

7. Kebisingan

Kebisingan yang terus menerus dapat mengganggu konsentrasi dalam

bekerja sehingga akan menimbulkan kesalahan. Pengaturan dan

pengendalian suara harus diperhatikan untuk menjaga agar kepekaan

pendengaran karyawan tetap dalam kondisi baik. Kekurangpekaan

pendengaran karyawan dan suara bising dapat menyebabkan komunikasi

terhambat, sebab informasi yang diberi dan diterima karyawan menjadi

(32)

8. Hubungan dengan atasan

Hubungan kerjasama yang baik antara karyawan dengan atasan akan

mempengaruhi semangat kerja dan kepuasan kerja karyawan. Karyawan

cenderung senang dengan atasan yang perhatian, mau mendengarkan

pendapat bawahannya, bisa menghormati dan menghargai hasil kerja

karyawan, dan adanya pujian atas hasil kerja yang baik.

9. Hubungan dengan rekan kerja

Rekan kerja yang bisa diajak kerjasama dan mendukung dalam

pelaksanaan kerja cenderung berpengaruh pada meningkatnya semangat

kerja dan kepuasan kerja pada karyawan tersebut. Sebaliknya, rekan

kerja yang tidak bisa diajak kerjasama akan menimbulkan konflik dalam

kerja dan hal ini berdampak negatif pada kinerja maupun semangat kerja

karyawan.

10. Otonomi dalam merencanakan dan menjalankan pekerjaan

Bagi karyawan yang suka dengan tantangan dalam pekerjaannya

cenderung akan lebih puas dalam bekerja bila dia diberi otonomi atau

kebebasan dalam berpendapat dan berkreasi dalam menjalankan

tugasnya. Dengan adanya kebebasan tersebut karyawan akan memiliki

rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan merasa dihargai.

2. Kultur Lingkungan Kerja

Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai: “a collective

phenomenon, because it least partly shared with people who live or lived

(33)

collective programming of the mid which distinguishes the members of the

one group or category of people from another”.

Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif yang

membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya dalam pola

pikir, perasaan dan tindakan anggota satu kelompok. Dengan demikian kultur

lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan kebiasaan

yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang persoalan dan

pemecahannya. Kultur lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam

membentuk karyawan menjadi manusia yang optimis, berani tampil,

berperilaku kooperatif, kecakapan personal dan akademik (Hofstede,

1994:35).

3. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja

Empat dimensi kultur lingkungan kerja menurut Hofstede

(1994:35-125) yaitu power distance, individualism vs collectivism, femininity vs

masculinity, dan uncertainty avoidance. Dimensi power distance

menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap budaya mempertahankan

perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Masyarakat

yang memiliki budaya power distance tinggi cenderung mengembangkan

aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan

perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya dalam struktur organisasi

biasanya ditandai adanya struktur hirarki yang ketat dan kekuasaan yang

terpusat. Sementara masyarakat yang memiliki orientasi budaya power

(34)

mengutamakan kesejajaran, sehingga struktur organisasinya biasanya kurang

ketat dan kurang terdesentralisir. Organisasi dengan budaya yang

mempertahankan jarak sosial, manajer yang dianggap ideal adalah

paternalistik dan menjadi pusat dalam penga mbilan keputusan. Mereka

diharapkan memiliki pengetahuan, kemampuan, kebijakan yang lebih unggul

dibanding bawahannya, dan seminimal mingkin berkonsultasi dengan

bawahannya agar bawahan tidak kehilangan rasa hormat padanya. Sementara

manajer pada masyarakat yang memiliki budaya power distance rendah

diharapkan lebih banyak berkonsultasi dengan bawahannya dalam

mengambil keputusan, sehingga mereka harus memiliki kemampuan

berkomunikasi yang baik dengan bawahannya, menghargai kesetaraan, dan

dapat berkomunikasi dua arah (Dayakisni, 2003:277-278). Pada dimensi

power distance, indikator kultur lingkungan kerja mencakup: (a) perbedaan

diantara karyawan diminimalkan; (b) ada ketergantungan antara karyawan

yang lemah dan yang kuat; (c) perbedaan aturan di tiap tingkatan perusahaan;

(d) sistem manajemen di lingkungan kerja; (e) perbedaan gaji antara atasan

dan bawahan; (f) bawahan ikut serta dalam mengambil keputusan; dan (g)

persepsi terhadap hak istimewa dan simbol status.

Dayakisni (2003:280-281) menjelaskan bahwa dimensi individualism

vs collectivism mengacu pada sejauhmana suatu budaya mendukung

kemungkinan individualistik atau kolektivistik. Budaya individualistik

mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan

(35)

kepentingan dan tujuan individu lebih diutamakan daripada tujuan kelompok.

Mereka cenderung menganggap waktu pribadi adalah penting dan membuat

perbedaan yang jelas antara waktu untuk diri mereka pribadi dengan waktu

untuk perusahaan. Sementara budaya kolektif menekankan kewajiban pada

masyarakat atau kelompok daripada hak-hak pribadinya. Bahkan diharapkan

orang untuk mengorbankan kepentingan dan tujuan pribadinya demi tujuan

kelompok, sehingga karyawan diharapkan lebih patuh dan menyesuaikan diri

terhadap organisasi untuk menjaga keselarasan. Pada dimensi individualism

vs collectivism, indikator kultur lingkungan kerja mencakup: (a) basis

identitas dir i; (b) keharmonisan di tempat kerja; (c) hubungan komunikasi;

(d) penyala hgunaan kepemimpinan; (e) hubungan antar karyawan; (f) dasar

penggajian dan promosi; (g) sistem manajemen; dan (h) hubungan kerja.

Dimensi femininity vs masculinity menunjukkan tingkatan atau

sejauhmana suatu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau

nilai-nilai seksual yang tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis.

Masyarakat yang memiliki dimensi masculinity menekankan nilai asertivitas,

prestasi, dan performansi sehingga menganggap penting mengenai

pendapatan, pengakuan, kemajuan, dan tantangan, serta biasanya perbedaan

antara pria dan wanitamenjadi menonjol. Sementara pada masyarakat yang

memiliki dimensi femininity lebih mengutamakan hubungan interpersonal,

keharmonisan, dan kinerja kelompok. Mereka menganggap bahwa kerja yang

baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang

(36)

2003:282-283). Pada dimensi femininity vs masculinity, indikator kultur

lingkungan kerja mencakup: (a) cara penyelesaian masalah; (b) prinsip kerja;

(c) perbedaan jenis kelamin dalam lingkungan kerja; (d) prinsip pekerjaan

yang manusia wi; (e) tipe manajer; dan (f) sikap bersosial dalam lingkungan

kerja.

Menurut Dayakisni (2003:279-280), dimensi uncertainty avoidance

menunjukkan sejauhmana masyarakat dapat menghadapi situasi yang tidak

pasti. Masyarakat yang memiliki dimensi budaya uncertainty avoidance kuat

merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan

mekanisme untuk mengurangi resiko itu. Oleh karena itu diciptakan

aktivitas-aktivitas yang lebih terstruktur, aturan-aturan yang tertulis, dan pengaturan

yang baik dan lebih banyak spesialisasi pekerjaan. Sebaliknya pada

masyarakat yang memiliki orientasi budaya uncertainty avoidance lemah

biasanya bersikap lebih santai dan sedikit memiliki aturan dan penyampaian

instruksi kepada bawahannya. Bawahan lebih banyak diberi kesempatan

untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Pada dimensi

uncertainty avoidance, indikator lingkungan kerja mencakup (a) kebutuhan

akan peraturan dalam lingkungan kerja; (b) orientasi dalam bekerja; (c)

semangat bekerja; (d) sikap terhadap pencapaian ketelitian; (e) sikap terhadap

(37)

B. Locus of Control

1. Pengertian Locus of Control

Locus of control adalah suatu konsep yang memberikan gambaran

tentang keyakinan seseorang mengenai sumber penentu pribadinya (Rotter

dalam Pujiwati, 2004:30). Locus of control dibedakan menjadi dua yaitu

locus of control interna l dan locus of control eksternal. Individu dikatakan

memiliki locus of control internal jika memiliki keyakinan bahwa apa yang

terjadi pada dirinya karena pengaruh dirinya sendiri dan keberhasilan atau

kegagalan dipandang sebagai akibat perilakunya. Individu yang mempunyai

locus of control eksternalcenderung memiliki keyakinan bahwa faktor-faktor

di luar dirinya mempengaruhi perilakunya seperti nasib, faktor

keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena

kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya (Rotter dalam Pujiwati,

2004:32). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa locus of control

merupakan keyakinan individu tentang faktor- faktor yang mengatur

kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol (locus of control

internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control eksternal), serta

sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan antara usaha- usaha

yang telah dilakukannya dengan akibat-akibatnya.

2. Dimensi Locus of Control Rotter

Enam dimensi locus of control menurut Rotter (1964:58-59) yaitu

status-recognition (pengakuan status), dominance (dominasi), independence

(38)

(perlindungan-ketergantungan), love and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical

comfort (kenyamanan fisik). Pada dimensi status-recognition (pengakuan

status), indikator locus of control mencakup kebutuhan untuk dihargai, ingin

dianggap kompeten, dan kesuksesan dalam berkarya. Pada dimensi

dominance (dominasi), indikator locus of control mencakup kebutuhan untuk

mengontrol aktivitas orang lain dan kebutuhan untuk berkuasa. Pada dimensi

independence (ketidaktergantungan), indikator locus of control mencakup

keyakinan diri dan menggantungkan pada diri sendiri/usaha sendiri. Pada

dimensi protection-dependency (perlindungan-ketergantungan), indikator

locus of control mencakup menghindari frustasi dengan mencari perlindungan

dan keamanan serta menggantungkan diri pada orang lain. Pada dimensi love

and affection (cinta dan kasih sayang), indikator locus of control mencakup

kebutuhan untuk dicintai serta kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang.

Pada dimensi physical comfort (kenyamanan fisik), indikator locus of control

ialah kebutuhan akan kepuasan fisik (menghindari sakit, mencari kesenangan

jasmani).

3. Faktor-Faktor yang Berperan dalam Perkembangan Locus of Control

Ada 2 faktor yang mempengaruhi individu dalam mengembangkan

kecenderungan terhadap locus of control tertentu.

a. Keluarga

Orang tua yang menunjukkan dukungan yang hangat, protektif, positif

dan membimbing, serta adanya konsistensi memberlakuan disiplin pada

(39)

control internal. Hal-hal tersebut membangun kepercayaan diri,

penghargaan diri, serta kemandirian yang terkait erat dengan locus of

control internal.

b. Faktor sosial

Semakin rendah status sosial ekonomi individu, semakin eksternal pula

locus of control individu tersebut. Individu dengan status sosial ekonomi

tinggi mempunyai kendali yang relatif tinggi dalam dina mika sosial

ekonomi masyarakat dan sebaliknya. Mereka sering tidak punya banyak

pilihan selain menerima apa yang telah disediakan oleh sistem.

Kekurangberdayaan serupa juga dialami oleh kelompok etnis dan

minoritas dengan sedikit akses pada pengerakan sosial ekonomi.

Pengalaman demikian jika berlangsung secara terus-menerus akan

mendorong berkembangnya kepercayaan individu bahwa faktor-faktor

eksternal lebih berkuasa untuk mengendalikan hidupnya daripada dirinya

sendiri.

4. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal

Adanya perbedaan locus of control pada individu-individu ternyata

menimbulkan perbedaan sikap, sifat, dan lainnya. Lefcourt (Rosita, 2005:31)

mengatakan bahwa orang yang mempunyai kecenderungan locus of control

internal kurang konformis, dikarenakan rasa percaya diri yang dimilikinya

dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan

kemampuan dan keterampilan diri serta usaha-usaha yang dilakukan.

(40)

giat, rajin, ulet, mandiri, dan mempunyai daya tahan yang baik terhadap

pengaruh sosial, dan bertanggung jawab atas kegagalannya. Individu dengan

kecenderungan locus of control eksternal cenderung conform terhadap

pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan

disebabkan oleh faktor luar dirinya. Individu juga cenderung menunjukkan

sikap menyerah, merasa tidak berdaya, dan memiliki kecemasan yang tinggi

daripada individu yang mempunyai kecenderungan locus of control internal.

Individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal mempunyai

keyakinan yang besar untuk memperoleh keberhasilan, assertif, mempunyai

usaha untuk maju dan mampu menggunakan keterampilan sosial untuk

mempengaruhi lingkungan, sedangkan individu dengan kecenderungan locus

of control eksternal memiliki sifat pasif, tidak suka bersaing, lingkungan

mempengaruhi kehidupannya dan memiliki motivasi yang rendah untuk

berhasil (Findley dan Cooper dalam Rosita, 2005:31).

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang

mempunyai kecenderungan locus of control internal mempunyai rasa percaya

diri akan kemampuannya untuk dapat mengendalikan kehidupannya, mampu

menghadapi kegagalan, mandiri, bertanggung jawab. Orang yang memiliki

kecenderungan locus of control eksternal cenderung mudah menyerah,

mempunyai kecemasan yang tinggi, merasa tidak berdaya, rasa percaya diri

(41)

C. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang lebih dikenal

dengan istilah EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan

dorongan hati dan tidak melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati,

dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,

berempati dan berdoa (Goleman, 1999:45). John Mayer (Harmoko,

http://www.binuscareer.com/article) mendefinisikan kecerdasan emosional

sebagai suatu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara

mengendalikan emosi diri sendiri.

Cooper dan Sawaf (1998:xli) menawarkan kecerdasan emosional

sebagai sebuah titik awal “Model Empat Batu Penjuru”. Tawaran model ini

lebih ditujukan pada EQ eksekutif, yaitu penggunaan kecerdasan emosional

di tempat kerja. Model Empat Batu Penjuru terdiri dari (Cooper dan Sawaf,

1998:xli- xlii):

a. Kesadaran emosi (emotional literacy), yang bertujuan membangun rasa

percaya diri pribadi melalui pengenalan terhadap emosi yang dialami dan

kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang baik

terhadap diri sendiri dan orang lain, sekaligus kemampuan untuk

mengelola emosi yang sudah dikenalnya, membuat seseorang dapat

(42)

b. Kebugaran emosi (emotional fitness), bertujuan untuk mempertegas

antusiasme dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan dan perubahan.

Hal ini mencakup kemampuan untuk mempercayai orang lain dan

menampilkan diri apa adanya, menghargai ketidakpuasan diri sendiri dan

orang lain, serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan

cara yang paling konstruktif.

c. Kedalaman emosi (emotional depth), mencakup komitmen untuk

menyelaraskan hidup dari kerja dengan potensi serta bakat unik yang

dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini pada gilirannya

mempunyai potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu

menggunakan kewenangan untuk memaksakan otoritas.

d. Alkimia emosi (emotional alchemy), ialah kemampun kreatif untuk

mengalir bersama masalah- masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di

dalamnya. Hal ini mencakup keterampilan bersaing dengan lebih peka

terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang

masih terbuka, untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa kini, dan

menciptakan masa depan.

Apabila seseorang secara efektif memiliki keseluruhan aspek dalam

model uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa ia adalah pribadi yang tangguh,

yaitu pribadi yang dapat menggunakan emosinya secara cerdas (dalam artian

tepat waktu dan dalam porsi yang tepat, tanpa tergantung dari pengaruh jenis

(43)

Goleman (1999:57-59) memperluas kemampuan kecerdasan

emosional menjadi 5 (lima) wilayah utama yang memungkinkan seseorang

akan menguasai kebiasaan berpikir menuju produktivitas yang juga sangat

penting untuk diperlukan di dunia kerja.

a. Mengenali emosi diri

Kemampuan ini merupakan kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu

perasaan itu terjadi dan mengetahui apa yang dirasakan saat emosi

bergolak di dalam diri.

b. Mengelola emosi

Ialah menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat.

c. Memotivasi diri sendiri

Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat

penting dalam kaitannya untuk memotivasi diri. Kendali diri emosional

dan kemampuan menyesuaikan diri adalah landasan keberhasilan dalam

berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan tersebut

cenderung lebih produktif dan efektif dalam bekerja.

d. Mengenali emosi orang lain

Orang yang empatik akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial

yang tersembunyi dan dapat menangkap hal- hal yang dikehendaki orang

lain.

(44)

Membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola

emosi. Orang-orang yang sukses dalam berbagai bidang mengandalkan

pergaulan yang baik dengan orang lain.

2. Dimensi Kecerdasan Emosional

Lima dimensi kecerdasan emosional menurut Goleman (1999:57-59) yaitu:

mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi

orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Pada dimensi

mengenali emosi diri, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a)

mengetahui keterbatasan diri; (b) keyakinan akan kemampuan sendiri; (c)

mengetahui kekuatan; dan (d) mengenali emosi diri. Pada dimensi mengelola

emosi, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a) menahan emosi dan

dorongan negatif; (b) menjunjung norma kejujuran dan integritas; (c)

bertanggung jawab atas kinerja sendiri; (d) luwes terhadap perubahan; dan (e)

terbuka dengan ide- ide serta informasi baru. Pada dimensi memotivasi diri,

indikator kecerdasan emosional mencakup: (a) dorongan untuk menjadi lebih

baik; (b) menyesuaikan dengan sasaran kelompok dan organisasi; (c)

kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan; dan (d) kegigihan dalam

memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Pada dimensi mengenali emosi

orang lain, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a) memahami

perasaan orang lain; (b) tanggap terhadap kebutuhan orang lain; (c) mengerti

perasaan orang lain; dan (d) siap sedia melayani. Pada dimensi membina

(45)

kemampuan persuasi; (b) terbuka mendengarkan orang lain dan memberi

kesan yang jelas; (c) kemampuan menyesuaikan tanggung jawab; (d)

memiliki semangat leadership; (e) kolaborasi dan kooperasi; dan (f) ada

kemampuan untuk membangun tim.

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosi

Ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosi

dalam diri seseorang.

a. Faktor internal

Faktor internal ialah faktor yang berasal dari dalam diri individu untuk

menanggapi lingkungan sekitar yang dipengaruhi oleh keadaan otak

emosional seseorang (Goleman, 1999:23).

b. Faktor eksternal

Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar

individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah hidup. Pengaruh

luas yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok,

antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat

bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara, misal media massa.

Faktor lain dapat melalui lingkungan fisik tempat manusia berada ketika

berkomunikasi dengan pihak lain, melalui lingkungan sosial di mana

keberadaan manusia lain sebagai penerima komunikasi maupun hanya

hadir di sana, serta melalui keikutsertaan individu dalam berbagai

kegiatan seperti keaktifan di dalam mengikuti berbagai organisasi

(46)

4. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosi Tinggi

Menurut Goleman (1999:403-405) orang dengan kecerdasan emosi

yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.

a. Selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi dalam

hidupnya.

b. Terampil dalam membina emosi, mengenali kesadaran emosi diri dan

ekspresi emosi, dan kesadaran emosi terhadap orang lain.

c. Memiliki kecakapan kecerdasan emosi, meliputi intensionalitas,

kreatifitas, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif.

d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius

kepercayaan, daya pribadi, dan integritas.

e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship

quotient, dan kinerja optimal.

D. Kualitas Pelayanan Karyawan

1. Definisi dan Karakteristik Jasa

Kotler (1984:428) menyatakan bahwa “a service is any act

performance that one party can offer to another that is essentially intangible

and does not result in the ownership of anything its production may or not be

tied to a physical product”. Berdasarkan pengertian tersebut, jasa mempunyai

(47)

a. Intangibility

Jasa bersifat intangible, artinya jasa tidak dapat dilihat, diraba, dirasa,

dicium atau didengar sebelum dibeli. Konsep intangible ini sendiri

memiliki 2 pengertian, yaitu:

1) Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa.

2) Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau

dipahami secara rohaniah.

b. Inseparability

Jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi pada waktu bersamaan.

Interaksi antara perusahaan dan konsumen merupakan ciri khusus dalam

pemasaran jasa, kedua belah pihak mempengaruhi hasil dari jasa tersebut.

Dalam hubungan penyedia jasa dengan konsumen mempengaruhi hasil

dari jasa tersebut dan efektivitas individu yang menyampaikan jasa

merupakan unsur pokok.

c. Variability

Jasa sifatnya sangat variabel, artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan

jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan.

Para pembeli atau pengguna jasa sangat peduli terhadap variabilitas ini dan

sering kali mereka meminta pendapat orang lain sebelum memutuskan

untuk memilih atau menggunakan penyedia jasa.

(48)

Jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat

disimpan. Permintaan pelanggan akan jasa pada umumnya sangat

bervariasi dan dipengaruhi faktor musiman. Oleh karena itu, perusahaan

jasa harus mengevaluasi kapasitasnya guna menyeimbangkan penawaran

dan permintaan.

2. Kualitas Pelayanan Jasa

Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan

dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk

mengimbangi harapan pelanggan. Aspek yang sangat penting dan

menentukan kualitas jasa yang dihasilkan adalah pelayanan yang diberikan

pihak produsen pada konsumennya, dan sikap serta pelayanan contact

personel. Apabila aspek tersebut dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan,

dalam waktu yang tidak lama perusahaan yang bersangkutan bisa kehilangan

banyak pelanggan lama dan dijauhi calon pelanggan.

Sehubungan dengan peranan contact personel yang sangat penting

dalam mencetak kualitas jasa, setiap perusahaan memerlukan service

excellent (pelayanan yang unggul), yaitu sikap atau cara karyawan dalam

melayani pelanggan secara memuaskan (Tjiptono, 1996:58). Secara garis

besar ada 4 unsur pokok dalam konsep ini, yaitu:

a. kecepatan;

b. ketepatan;

c. keramahan;

(49)

Komponen-komponen di atas merupakan satu kesatuan yang

terintegrasi, jika ada komponen yang kurang dapat mengakibatkan pelayanan

atau jasa yang diberikan pada pelanggan tidak excellent. Untuk mencapai

tingkat excellent, setiap karyawan harus mempunyai keterampilan tertentu

diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan

gairah kerja dan sikap yang selalu siap untuk melayani, tenang dalam

bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaan

baik tugas yang berkaitan pada bagiannya maupun bagian lain, mampu

berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat pelanggan dan

memiliki kemampuan memahami keluhan pelanggan secara profesional.

Dalam bisnis jasa, kualitas pelayanan merupakan sesuatu hal yang

penting dan harus dikerjakan dengan baik sebab aplikasi kualitas sebagai sifat

dari penampilan produk atau kinerja merupakan bagian utama strategi

perusahaan dalam rangka meraih keunggulan yang berkesinambungan, baik

sebagai pemimpin ataupun sebagai strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan

suatu produk jasa adalah dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh

jasa tersebut apakah sudah sesuai harapan dan keinginan pelanggan atau

belum. Kotler (1984:37) membagi jasa menjadi beberapa macam.

a. Barang berwujud murni

Terdiri atas barang berwujud, seperti sabun, pasta gigi. Tidak ada jasa

yang menyertai produk tersebut.

(50)

Terdiri atas barang berwujud yang disertai satu atau lebih jasa untuk

mempertinggi daya tarik pelanggan. Contoh: produsen mobil tidak hanya

menjual mobil saja tetapi juga kualitas dan pelayanan kepada

pelanggannya (reparasi, pelayanan purna jual).

c. Campuran

Terdiri atas barang dan jasa dengan proporsi yang sama. Misal: restoran

yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya.

d. Jasa utama yang disertai barang dan jasa tambahan

Terdiri atas jasa utama dan jasa tambahan serta barang pelengkap.

Contoh: penumpang pesawat terbang membeli jasa transportasi. Mereka

sampai di tempat tujuan tanpa sesuatu hal berwujud yang memperlihatkan

pengeluaran mereka. Namun perjalanan tersebut meliputi barang-barang

berwujud seperti makanan dan minuman. Jasa tersebut membutuhkan

barang padat modal agar terealisasi, tetapi komponen utamanya adalah

jasa.

e. Jasa murni

Terdiri atas jasa murni seperti jasa dokter dan psikoterapi.

3. Dimensi Kualitas Jasa

Zeithaml dalam Hendroyono (http://www.lrckesehatan.net/)

merangkum dimensi kualitas jasa menjadi 5 dimensi pokok.

a. Bukti fisik (tangible) adalah kemampuan perusahaan untuk menampilkan

(51)

b. Keandalan (reliability) adalah kemampuan untuk melakukan jasa yang

dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.

c. Daya tanggap (responsive) adalah kemampuan untuk membantu

pelanggan dan memberikan jasa dengan tepat.

d. Jaminan (assurance) adalah kemampuan untuk menimbulkan

kepercayaan dan keyakinan serta pengetahuan dan kesopanan dari

karyawan.

e. Empati (empaty) adalah syarat untuk peduli atau memberi perhatian

pribadi bagi pelanggan.

Lima dimensi kualitas pelayanan karyawan yaitu: keandalan

(reliability), daya tanggap (responsive), jaminan (assurance), empati

(empaty), dan bukti fisik (tangible). Pada dimensi keandalan (reliability),

indikator kualitas pelayanan mencakup: (a) menyediakan jasa sesuai yang

dijanjikan; (b) dapat diandalkan dalam menangani masalah jasa pelanggan;

(c) menyampaikan jasa secara benar semenjak pertama kali; (d)

menyampaikan jasa sesuai dengan waktu yang dijanjikan; dan (e)

menyimpan catatan atau dokumen tanpa kesalahan. Pada dimensi daya

tanggap (responsive), indikator kualitas pelayanan mencakup: (a)

menginformasikan pelanggan tentang kepastian waktu penyampaian jasa;

(b) pelayanan yang segera/cepat bagi pelanggan; (c) kesediaan untuk

membantu pelanggan; dan (d) kesiapan untuk merespon permintaan

pelanggan. Pada dimensi jaminan (assurance), indikator kualitas pelayanan

(52)

(b) membuat pelanggan merasa aman sewaktu melakukan transaksi; (c)

karyawan yang secara konsisten bersikap sopan; dan (d) karyawan yang

mampu menjawab pertanyaan pelanggan. Pada dimensi empati (empaty),

indikator kualitas pelayanan mencakup: (a) memberikan perhatian

individual kepada para pelanggan; (b) karyawan yang memperlakukan

pelanggan secara penuh perhatian; (c) sungguh-sungguh mengutamakan

kepentingan pelanggan; (d) karyawan yang memahami kebutuhan

pelanggan; dan (e) waktu beroperasi (jam kantor) yang nyaman. Pada

dimensi bukti fisik (tangible), indikator kualitas pelayanan mencakup: (a)

peralatan modern; (b) fasilitas yang berdaya tarik visual; (c) karyawan yang

berpenampilan rapi dan profesional; dan (d) materi- materi berkaitan dengan

jasa yang berdaya tarik visual.

D. Hubungan Antar Variabel Penelitian

1. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

Derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas

pelayanan karyawan diduga kuat berbeda pada kultur lingkungan kerja yang

berbeda. Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup,

ritual dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara

memandang persoalan dan pemecahannya. Dengan demikian kultur

lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam membentuk karyawan

menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif,

(53)

bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional

karyawan dengan kualitas pelayanan karyawan akan lebih tinggi

dibandingkan pada power distance besar. Hal ini disebabkan pada power

distance kecil terdapat sistem desentralisasi, adanya ketergantungan antara

karyawan yang lemah dan yang kuat, karyawan tingkat bawah ikut serta

dalam mengambil keputusan, dan kepala karyawan yang ideal adalah yang

demokratis dan banyak ide. Kondisi demikian akan berdampak adanya rasa

saling menghargai dan saling membut uhkan antar karyawan, bawahan akan

merasa dihargai karena diikutkan dalam pengambilan keputusan, dan

karyawan dipimpin oleh pemimpin yang ideal dan demokratis, sehingga

para karyawan akan merasa segan kepada pemimpinnya dan melakukan

pekerjaannya sesuai dengan pembagian kerja. Pada power distance besar

akan berdampak adanya manajer supervisi yang banyak, struktur organisasi

yang merepotkan banyak orang, sistem penggajian yang sangat berbeda

pada karyawan atasan dan bawahan, karyawan relatif tidak berpendidikan

dan bekerja secara manual, dan terjadi persaingan antar karyawan.

Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan collectivism derajat

hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas pelayanan

karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan pada individualism. Hal ini

dikarenakan pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan collectivism

terdapat komunikasi yang lancar, adanya hubungan kekeluargaan antar

karyawan yang erat seperti hubungan dengan saudara, keharmonisan selalu

(54)

suasana dalam bekerja menjadi lebih nyaman dan kondusif, jauh dari

perselisihan antar karyawan karena karyawan akan menyadari bahwa

karyawan lain adalah rekan kerjanya bukan pesaing kerjanya, serta

terjadinya rasa saling menghargai dan saling membantu antar karyawan.

Sementara pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan individualism akan

berdampak adanya komunikasi rendah, hubungan antara karyawan hanya

berdasarkan keuntungan pribadi, dan manajemen yang berlaku adalah

invidualistis.

Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan femininity derajat

hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas pelayanan

karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan pada masculinity. Hal ini

disebabkan pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan femininity terdapat

hubungan yang hangat, cara menyelesaikan masalah dengan berunding, dan

manajer menggunakan perasaan serta kesepakatan bersama. Pada kultur

demikian terdapat kesempatan untuk saling menolong dan bekerja sama

sebab keputusan diambil bukan didasarkan pada manajer saja tetapi

berdasarkan keputusan bersama. Pada kultur lingkungan kerja yang

bercirikan masculinity akan berdampak adanya pengambilan keputusan

hanya terletak pada manajer, cara mengatasi konflik dengan mengeluarkan

karyawan, dan terjadinya persaingan antar karyawan.

Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan uncertainty avoidance

yang lemah derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan

(55)

uncertainty avoidance yang kuat. Pada kultur lingkungan kerja yang

bercirikan uncertainty avoidance yang lemah terdapat orientasi dalam

bekerja, adanya motivasi terhadap hasil dan penghargaan dan ketelitian

merupakan hal yang perlu dipelajari. Pada kultur demikian semangat kerja

karyawan meningkat dan ketika bekerja karyawan merasa tidak ada waktu

untuk menganggur sebab semua waktunya didedikasikan untuk bekerja, dan

adanya semangat belajar untuk mencapai hasil yang sempurna. Pada kultur

lingkungan kerja bercirikan uncertainty avoidance yang kuat akan

berdampak adanya penyerangan yang sering terjadi diantara karyawan tidak

membuang-buang waktu dan terburu-buru dalam bekerja, dan tidak ada

kemauan untuk belajar karena merasa sudah ahli di bidangnya.

2. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional

dengan kualitas pelayanan karyawan.

Derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas

pelayanan karyawan diduga kuat berbeda pada locus of control yang

berbeda. Pada locus of control internal derajat hubungan kecerdasan

emosional karyawan dengan kualitas pelayanan karyawan lebih tinggi

dibandingkan karyawan yang mempunyai keyakinan locus of control

eksternal. Locus of control ialah keyakinan seseorang tentang faktor-faktor

yang mengatur kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol

(locus of control internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control

eksternal), serta sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan

(56)

karyawan yang mempunyai kecenderungan locus of control internal tidak

mudah terpengaruh, aktif, mempunyai rasa percaya diri, dan mempunyai

motif berprestasi yang tinggi sehingga kualitas pelayanan yang diberikan

juga baik. Pada locus of control demikian muncul semangat karyawan dan

rasa percaya diri untuk bekerja sehingga berdampak pada kemudahan dan

kecepatan karyawan dalam bekerja. Pada locus of control eksternal,

karyawan berkeyakinan bahwa kegagalan dan keberhasilan dipengaruhi oleh

faktor di luar dirinya, sehingga berdampak pada sikap mudah menyerah,

kecemasan tinggi, merasa tidak berdaya, rasa percaya diri yang rendah, dan

penyesuaian diri yang kurang baik.

F. Kerangka Berpikir

1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan

bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak

melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar

beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.

Kualitas pelayanan karyawan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan

keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi

harapan pelanggan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Kultur

lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan kebiasaan

yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang persoalan dan

pemecahannya yang diduga berpengaruh pada hubungan kecerdasan

(57)

2. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan

bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak

melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar

beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.

Kualitas pelayanan karyawan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan

keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi

harapan pelanggan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Locus

of control adalah suatu konsep yang memberikan gambaran tentang

keyakinan seseorang mengenai sumber penentu pribadinya yang diduga

berpengaruh pada hubungan kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan

karyawan.

Model:

G. Hipotesis

1. Ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara

kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.

2. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan

emosional dengan kualitas pelayanan karyawan. kecerdasan

emosional

kultur lingkungan

kerja

kualitas pelayanan karyawan

(58)

36

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus pada karyawan

administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Kesimpulan penelitian hanya

berlaku pada karyawan administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas

Atma Jaya Yo gyakarta sebagai subyek penelitian ini.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

a. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma

Jaya Yogyakarta.

b. Waktu Penelitian

Waktu penelitian ini dilaksanakan pada Januari sampai Februari 2007.

C. Subyek dan Obyek Penelitian

a. Subyek Penelitian

Subyek penelitian yang digunakan adalah karyawan administrasi Universitas

(59)

b. Obyek Penelitian

Obyek penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosional, kualitas pelayanan

para karyawan, kultur lingkungan kerja dan locus of control.

D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya

1. Kultur Lingkungan Kerja

Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan

kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang

setiap permasalahan dan pemecahannya. Kultur lingkungan kerja merupakan

faktor penting dalam membentuk karyawan untuk menjadi manusia yang

optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif, dan mempunyai kecakapan

personal dan akademik. Empat dimensi kultur lingkungan kerja menurut

Hofstede (1994:35-125) yaitu power distance, individualism vs collectivism,

femininityvsmasculinity, dan uncertainty avoidance. Masing- masing dimensi

tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Berikut

ini disajikan tabel operasionalisasi variabel kultur lingkungan kerja:

Tabel 3.1

Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja

Dimensi Indikator No.Item

Power distance

a. Perbedaan diantara karyawan diminimalkan

b.Ada ketergant ungan antara karyawan yang lema h dan yang kuat

c. Tingkatan di lingkungan kerja berarti adanya perbedaan aturan

d.Sistem manajemen di lingkungan kerja e. Perbedaan gaji antara atasan dan bawahan

1

2

3

(60)

f. Bawahan ikut serta dalam mengambil keputusan

g. Persepsi terhadap hak istimewa dan simbol status 6 7 Individualism vs collectivism

a. Basis identitas diri

b. Keharmonisan di tempat kerja c. Hubungan komunikasi

d. Penyalahgunaan kepemimpinan e. Hubungan antar karyawan f. Dasar penggajian dan promosi g. Sistem manajemen

h. Hubungan kerja

8 9 10 11 12 13 14 15 Femininity vs masculinity

a. Cara penyelesaian masalah b.Prinsip kerja

c. Perbedaan jenis kelamin dalam lingkungan kerja

d.Prinsip pekerjaan yang manusiawi e. Tipe manajer

f. Sikap bersosial dalam lingkungan kerja

16 17 18 19 20 21 Uncertainty avoidance

a. Kebutuhan akan peraturan dalam lingkungan kerja.

b.Orientasi dalam bekerja c. Semangat bekerja

d.Sikap terhadap pencapaian ketelitian e. Sikap terhadap perilaku karyawan

f. Bentuk penilaian terhadap hasil pekerjaan

22 23 24 25 26 27

Pengukuran variabel kultur lingkungan kerja didasarkan pada

indikator-indikatornya. Masing- masing indikator dijabarkan dalam bentuk pernyataan

yang dinyatakan dalam empat skala sikap, yaitu sangat setuju (SS)=4; setuju

(S)=3; tidak setuju (TS)=2; dan sangat tidak setuju (STS)=1.

2. Locus of Control

Locus of control merupakan keyakinan individu tentang faktor- faktor

yang mengatur kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol

(locus of control internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control

(61)

antara usaha-usaha yang telah dilakukannya dengan akibat-akibatnya. Rotter

(1964:58-59) menyebutkan enam dimensi locus of control yaitu

status-recognition (pengakuan status), dominance (dominasi), independence

(ketidaktergantungan), protection-dependency

(perlindungan-ketergantungan), love and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical

comfort (kenyamanan fisik). Masing- masing dimensi tersebut selanjutnya

dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Berikut ini disajikan tabel

operasionalisasi variabel locus of control:

Tabel 3.2

Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control

Pertanyaan No

Dimensi Indikator

Internal Eksternal

1. Status-recognition

(pengakuan status)

• Kebutuhan untuk dihargai

• Ingin dianggap kompeten

• Kesuksesan dalam berkarya

4a,5a,10a, 14b, 23b 4b,5b, 10b,14b, 23a 2.Dominance (dominasi)

• Kebutuhan untuk

mengontrol aktifitas orang lain

• Kebutuhan untuk berkuasa

3a,12a,17b, 22a,24b 3b,12b, 17a,22b, 24a 3.Independence (ketidaktergantu ngan)

• Keyakinan diri

• Menggantungkan pada diri

sendiri/usaha sendiri 8a,9b,11a, 13a,15a,16b, 18b,21b,25b, 28a 8b,9a,11b, 13b,15b, 16a,18a, 21a,25a, 28b 4. Protection-dependency (perlindungan-ketergantungan)

• Menghindari frustasi dengan mencari perlindungan dan keamanan

• Menggantungkan diri pada

orang lain 1a,2b,6b, 7b,19a, 29b 1b,2a,6a, 7a,19b, 29a

5.Love and affection (cinta dan kasih sayang)

• Kebutuhan untuk dicintai • Kehangatan, perhatian, cinta

dan kasih sayang 20b,26a 20a,26b

6.Physical comfort

Gambar

Tabel 3.2 Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control
Tabel 5.1 Sebaran Responden Penelitian
Tabel 5.7 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi
Tabel r dan Tabel F .............................................................. 173
+7

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan yang diperoleh adalah mayoritas OMK Paroki Pandu, Bandung memiliki derajat happiness yang tinggi dengan penilaian kognitif atau kepuasan hidup OMK cenderung

[r]

Kepuasan kerja dari para karyawan di Politeknik “X” Bandung pada dasarnya. masih tergolong cukup hal tersebut untuk

Maka berdasarkan pengujian black box yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa sistem informasi pemetaan strata desa siaga aktif dengan metode AHP telah

Uji normalitas yang dimaksud dalam asumsi klasik pendekatan OLS adalah (data) residual yang dibentuk model regresi linier terdistribusi normal, bukan variabel

Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak telah memberikan perlindungan hukum bagi anak yang berkonflik sehingga anak sebagai generasi dan harapan

Selain masalah biaya masyarakat yang memiliki aktivitas kerja yang cukup padat juga tidak memiliki banyak waktu untuk melakukan konsultasi ke dokter kesehatan kulit maupun klinik

(1) Dari persamaan (1) menunjukkan samakin besar luas transfer panasnya (A) maka panas yang dipindahkan akan semakin besar.Seberapa besar manfaat pemasangan sirip ini bisa ditinjau