PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA
DAN
LOCUS OF CONTROL
PADA
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL
DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN
Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta
S K R I P S I
Disusun Oleh:
Christina Yuliastuti Pristiyani
NIM: 021334006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
i
PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA
DAN
LOCUS OF CONTROL
PADA
HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSIONAL
DENGAN KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN
Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta
S K R I P S I
Disusun Oleh:
Christina Yuliastuti Pristiyani
NIM: 021334006
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AKUNTANSI
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
MOTTO
J anganlah kau mint a pada Tuhanmu unt uk mer ingankan bebanmu, t api mint alah pada-Nya unt uk menguat kan punggungmu
Segala sesuat u selalu indah pada wakt unya...
Jangan buang har imu dengan per cuma, lakukan segalanya yang t er baik, sebab wakt u t ak kan per nah kembali lagi
Cint ailah or ang lain apa adanya bukan ada apanya
Janganlah hendaknya kamu kuat ir t ent ang apapun juga, t et api nyat akanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa
dan per mohonan dengan ucapan syukur (Filipi 4 :6 )
Bar angsiapa set ia dalam per kar a-per kar a kecil, ia set ia juga dalam per kar a- per kar a besar . Dan bar angsiapa t idak benar dalam per kar a
kecil, ia t idak benar juga dalam per kar a-per kar a besar (Lukas 1 6 :1 0 )
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati, skripsi ini kupersembahkan untuk:
vi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 6 Agustus 2007
Penulis
vii
ABSTRAK
PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN KERJA
DAN
LOCUS OF CONTROL
PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN
KUALITAS PELAYANAN KARYAWAN
Studi Kasus: Karyawan Administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta
Christina Yuliastuti Pristiyani Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta 2007
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah: (1) ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan emosional dan kualitas pelayanan karyawan; (2) ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional dan kualitas pelayanan karyawan.
Penelitian dilaksanakan di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta. Sampel penelitian ini berjumlah 185 karyawan. Teknik pengambilan sampel
adalah purposive sampling. Teknik analisa data menggunakan regresi yang
dikembangkan oleh Chow.
viii
ABSTRACT
THE INFLUENCE OF CULTURE OF WORKING
ATMOSPHERE
AND LOCUS OF CONTROL ON THE RELATIONSHIP
BETWEEN EMOTIONAL INTELLIGENCE AND
SERVICE QUALITY OF EMPLOYEES
A Case Study on Administrative Staff of Sanata Dharma and Atma Jaya University Yogyakarta
Christina Yuliastuti Pristiyani Sanata Dharma University
Yogyakarta 2007
The aims of this research are to know whether (1) culture of working atmoshere has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees; (2) locus of control has positive influence on the relationship between emotional intelligence and service quality of employees. This research was carried out at Sanata Dharma University and Atma Jaya University Yogyakarta. The populations of the research were all administrative employees of those two universities. Samples of this research were 185 employees. The technique of samples drawing was purposive sampling technique. The technique of analiyzing the data was regression developed by Chow.
ix
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis pada saat ini dapat menyelesaikan
penulisan skripsi yang berjudul “PENGARUH KULTUR LINGKUNGAN
KERJA DAN LOCUS OF CONTROL PADA HUBUNGAN ANTARA
KECERDASAN EMOSIONAL DENGAN KUALITAS PELAYANAN
KARYAWAN”. Penelitian ini merupakan studi kasus pada karyawan administrasi
Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Skripsi ini disusun guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Akuntansi, Jurusan
Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis memperoleh banyak bantuan,
semangat, dan doa yang sangat mendukung penulis dalam penyelesaian skripsi
ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih sebesar-besarnya
kepada:
1. Yesus Kristus, Bunda Maria, dan segenap malaikat-Nya yang telah dan selalu
menyertai seluruh karya dan sepanjang perjalanan langkahku hingga skripsi
ini selesai dengan lancar.
2. Bapak Drs. T. Sarkim, M.Ed., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
3. Bapak Yohanes Harsoyo, S.Pd., M.Si. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu
x
4. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Kepala Program Studi
Pendidikan Akuntansi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
5. Bapak Laurentius Saptono, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing I yang
dengan sabar selalu memberikan arahan, bimbingan, dan semangat tiada henti.
6. Bapak Ign. Bondan Suratno, S.Pd., M.Si. selaku Dosen Pembimbing II yang
telah banyak membimbing dan mendampingi dengan penuh kesabaran.
7. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Akuntansi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mbak Aris, Pak Wawik atas
kesempatan belajar dan kerja sama yang pernah terjalin.
8. Seluruh karyawan Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya
Yogyakarta yang telah bersedia meluangkan waktu menjadi responden dalam
penyusunan skripsi ini.
9. Kedua orang tuaku tercinta Bapak F.X Mardiyono dan Ibu Valentina Indarti
untuk doa, keringat, air mata, biaya, dukungan dan semua kasih sayang serta
pengorbanan yang telah diberikan bagiku.
10.Adik-adikku tersayang Krisnanto, Esti, Wahyu buat semua keceriaan,
kejengkelan, dan keluguan kalian yang buatku semangat lagi.
11.Keluarga besar Simbah Cipto dan Simbah Marto di Kulon Progo, yang masih
dengan sabar menungguku pulang. Tetep sehat ya mbah ….
12.Mbak Mar dan Mbak Niek, buat segala doa, bimbingan, dan omelan yang
membuatku sadar dan bangkit lagi.
xi
14.Saudara-saudaraku, kawan berjuangku, aDjie, SiLa, Etha, Eko Titet, Dinot,
Adi PaLasara, Ayu, Mbak Tia, Moko, Fely, Thomas (brotherhood jr), Ebie,
Anton Burket, yuk mancing di dunk2 and turing2 lagi….kalian keluarga yang
buatku semakin betah hidup di djoGdja, makasih untuk segala lika- liku hidup
yang indah, still and always keep our brotherhood, bro!
15.AngeLina, Nita, Prast, MichaeL, iQira, Om Rudi, HaGe, Dwinda, kapan lagi
kita jelajahi wedank corro dan angkringan X’Code tengah malem….
16.Nina Febriana, akhirnya sarjana juga! ayo kita wujudkan impian kita AB 234
NF!
17.Seluruh teman-teman PAK angkatan 2002, tetep fighting kawan!
18.Mbak Tia, Elies, Nining, Santi, Emie, Murni, untuk kekompakan dan cerita
cinta kita di STM Pembangunan 16D Mrican.
19.Keluarga Besar SMAK Santo Paulus Jember yang memberiku pengalaman
baru, kesempatan belajar dan bekerja sama serta masih selalu memberi ijin ke
Jogja.
20.Semua pihak yang banyak membantu penyusunan skripsi ini hingga berjalan
baik dan lancar yang tidak dapat disebutkan satu-persatu.
Yogyakarta, 6 Agustus 2007
xii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
MOTTO... iv
PERSEMBAHAN... v
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA... vi
ABSTRAK... vii
ABSTRACT... viii
KATA PENGANTAR... ix
DAFTAR ISI... xii
DAFTAR TABEL ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xix
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Batasan Masalah ... 4
C. Rumusan Masalah... 4
D. Tujuan Penelitian ... 4
xiii
BAB II LANDASAN TEORI ... 6
A. Kultur Lingkungan Kerja ... 6
1. Ruang Lingkup Lingkungan Kerja... 6
2. Kultur Lingkungan Kerja ... 11
3. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja... 11
B. Locus of Control ... 15
1. Pengertian Locus of Control... 15
2. Dimensi Locus of Control... 16
3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Perkembangan Locus of Control... 17
4. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal... 18
C. Kecerdasan Emosional ... 19
1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 19
2. Dimensi Kecerdasan Emosional... 22
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosional... 23
4. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosional Tinggi ... 24
D. Kualitas Pelayanan Karyawan ... 25
1. Definisi dan Karakteristik Jasa ... 25
xiv
3. Dimensi Kualitas Jasa ... 29
E. Hubungan Antar Variabel ... 31
F. Kerangka Berpikir ... 35
G. Hipotesis ... 36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 37
A. Jenis Penelitian ... 37
B. Tempat dan Waktu Penelitian ... 37
C. Subyek dan Obyek Penelitian ... 37
D. Variabel Penelitian... 38
1. Kultur Lingkungan Kerja ... 38
2. Locus of Control... 39
3. Kecerdasan Emosional... 41
4. Kualitas Pelaya nan Karyawan ... 42
E. Populasi, Sampel dan Teknik Penarikan Sampel ... 44
F. Teknik Pengumpulan Data ... 45
G. Pengujian Validitas dan Reliabilitas ... 45
H. Teknik Analisis Data ... 51
1. Analisis Deskriptif ... 51
2. Pengujian Normalitas dan Linieritas ... 51
xv
BAB IV GAMBARAN UMUM UNIVERSITAS ... 55
A. Universitas Sanata Dharma ... 55
1. Sejarah Universitas... 55
2. Visi dan Misi Universitas ... 58
3. Tujuan Universitas ... 59
4. Fakultas- fakultas ... 59
B. Universitas Atma Jaya Yogyakarta ... 60
1. Sejarah Universitas... 60
2. Visi dan Misi Universitas ... 61
3. Tujuan Universitas ... 62
4. Fakultas- fakultas ... 63
BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 65
A. Deskripsi Data ... 65
1. Deskripsi Responden Penelitian ... 66
2. Deskripsi Variabel Penelitian ... 67
B. Analisis Data ... 73
1. Pengujian Prasyarat Analisis Data ... 73
2. Pengujian Hipotesis ... 75
xvi
BAB VI PENUTUP ... 93
A. Kesimpulan ... 93
B. Keterbatasan Penelitian ... 93
C. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA
xvii
DAFTAR TABEL
halaman
Tabel 3.1 Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja
... 3
9
Tabel 3.2 Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control
... 4
1
Tabel 3.3 Tabel Operasionalisasi Variabel Kecerdasan Emosional
... 4
2
Tabel 3.4 Tabel Operasionalisasi Variabel Kualitas Pelayanan Karyawan
... 4
4
Tabel 3.5 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kultur Lingk ungan Kerja
... 4 7
Tabel 3.6 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Locus of Control
... 4
8
Tabel 3.7 Rangkuman Hasil Uji Validitas Variabel Kecerdasan Emosional
... 4
9
xviii Kualitas Pelayanan Karyawan
... 5 0
Tabel 3.9 Rangkuman Hasil Uji Reliabilitas
... 5
1
Tabel 5.1 Sebaran Responden Penelitian
... 6
6
Tabel 5.2 Jenis Kelamin Responden
... 6
7
Tabel 5.3 Pendidikan Terakhir Responden
... 6
7
Tabel 5.4 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi
Power Distance
... 6
8
Tabel 5.5 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi
Collectivism vs Individualism
... 6
9
xix
Femininity vs Masculinity
... 7
0
Tabel 5.7 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan pada Dimensi
Uncertainty Avoidance
... 7
1
Tabel 5.8 Kultur Lingkungan Kerja Karyawan
... 7 2
Tabel 5.9 Locus of Control Karyawan
... 7
2
Tabel 5.10 Kecerdasan Emosional Karyawan
... 7
3
Tabel 5.11 Kualitas Pelayanan Karyawan
... 7
4
Tabel 5.12 Hasil Pengujian Normalitas
... 7
5
Tabel 5.13 Hasil Pengujian Linieritas
... 7
xxi
DAFTAR LAMPIRAN
halaman
Lampiran I Kuesioner Penelitian ... 100
Lampiran II Data Validitas dan Reliabilitas ... 114
Lampiran III Uji Validitas dan Reliabilitas ... 121
Lampiran IV Data Induk Penelitian ... 126
Lampiran V Distribusi Frekuensi Deskripsi Variabel Penelitian ... 144
Lampiran VI Uji Normalitas dan Linieritas ... 156
Lampiran VII Hasil Hipotesis ... 158
Lampiran VIII Tabel r dan Tabel F ... 173
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sebagai salah satu lembaga pendidikan, perguruan tinggi tidak dapat
menghindarkan diri dari derasnya arus globalisasi. Perguruan tinggi harus siap
bersaing dengan lembaga pendidikan tinggi lain dalam menyediakan produk jasa
layanan yang unggul dan yang sesuai dengan harapan pengguna lulusan. Bila
tidak, dalam waktu cepat perguruan tinggi yang bersangkutan bisa kehilangan
mahasiswa dan dijauhi calon mahasiswa.
Pelayanan yang unggul merupakan suatu sikap atau cara karyawan dalam
melayani pelanggan secara memuaskan. Unsur penting dalam kualitas jasa
pelayanan yaitu kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat
unsur tersebut merupakan satu kesatuan utuh, artinya jika salah satu dari
keempat unsur itu kurang atau tidak ada, maka kualitas pelayanan menjadi tidak
unggul. Untuk mencapai tingkat kualitas pelayanan yang unggul, setiap
karyawan harus mempunyai keterampilan tertentu, antara lain berpenampilan
yang baik dan sopan, bersikap ramah, bergairah kerja, me nguasai tugas dan
pekerjaannya, dan mampu berkomunikasi dengan baik.
Tingkat kualitas pelayanan yang diberikan berhubungan dengan banyak
faktor. Salah satu faktor yang berhubungan adalah kecerdasan emosional.
Banyak orang beranggapan bahwa kecerdasan akademis adalah prestasi dominan
menjamin seorang karyawan akan dapat dengan mudah mencapai impian atau
cita-citanya (Harmoko, http://www.binuscareer.com). Dalam banyak kasus
justru kecerdasan emosional lebih dominan menentukan kesuksesan seseorang.
Semakin tinggi kecerdasan emosional kita, semakin besar kemungkinan kita
untuk sukses sebagai pekerja, orang tua, manajer, anak dewasa bagi orang tua
kita, mitra bagi pasangan hidup kita, atau calon untuk suatu posisi jabatan. Saat
ini, semakin banyak pengakuan tentang perlunya mengefektifkan peran EQ, baik
di tempat kerja maupun dalam kehidupan pribadi. Membina hubungan baik dan
strategi penanggulangan masalah adalah kunci keberhasilan dalam setiap bidang
kehidupan manusia, dari membina hubungan sejak dini antara orang tua dan
anak, sampai kemampuan seorang manajer untuk membuat karyawannya
menampilkan kinerja mereka yang terbaik (Steven dan Howard, 2000:17).
Kinerja seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal antara lain keterampilan
kognitif, kemampuan teknis, kecerdasan emosional, dan kemampuan bekerja
sama dengan baik dalam tim dan masyarakat. Di antara
kemampuan-kemampuan tersebut hanya kecerdasan emosional yang tidak didapatkan dari
bangku pend idikan formal sehingga tidak semua orang yang mempunyai
keterampilan kognitif dan kemampuan teknis memiliki juga kecerdasan
emosional ini. Secara singkat, orang yang pandai atau berhasil dalam prestasi
akademik sewaktu pendidikan formal ternyata banyak yang gagal mencapai
puncak prestasi sewaktu menempuh karir profesional (Melianawati dkk,
Pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan kemampuan administrasi lebih
membutuhkan aspek kemampuan pemanfaatan proses kognitif secara konstruktif
dan realistis dibanding aspek yang lain walaupun pada dasarnya semua aspek
kecerdasan emosional dapat mendukung jenis pekerjaan ini. Pekerjaan-pekerjaan
yang membutuhkan kemampuan untuk menampilkan diri kepada orang lain baik
itu kepada rekan setingkat maupun kepada pihak luar lebih membutuhkan aspek
kualitas kemampuan-kemampuan di dalam diri (intrapersonal), kualitas
kemampuan menjalin hubungan dengan orang lain (interpersonal), dan
kemampuan untuk menjaga diri agar tetap tenang dan terkendali bekerja di
bawah tekanan dari luar dan dari dalam diri (stress management) (Melianawati
dkk, 2001:61).
Untuk melihat lebih jauh lagi bagaimana pengaruh kultur lingkungan
kerja dan locus of control terhadap hubungan antara tingkat kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan, maka penulis tertarik untuk
melakukan penelitian dengan mengambil judul “Pengaruh Kultur Lingkungan
Kerja dan Locus of Control pada Hubungan antara Kecerdasan Emosional
dengan Kualitas Pelayanan Karyawan”. Penelitian ini merupakan studi kasus
pada karyawan administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
B. Batasan Masalah
Ada banyak faktor yang berhubungan dengan kualitas pelayanan, antara
Penelitian ini memfokuskan pada faktor kecerdasan emosional. Secara lebih
spesifik penelitian ini ingin menyelidiki apakah pada kultur lingkungan kerja
dan locus of control berbeda, derajat hubungan antara kecerdasan emosional dan
kualitas pelayanan berbeda.
C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan?
2. Apakah ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan?
D. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian adalah untuk
memperoleh bukti tentang:
1. Adanya pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
2. Adanya pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
E. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan olehpihak universitas untuk
mengetahui tingkat kecerdasan emosional dalam memberikan pelayanan
sehingga dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas pelayanan.
2. Bagi penelitian selanjutnya
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran dan informasi
tentang pengaruh kecerdasan emosional terhadap kualitas pelayanan dan
6
BAB II
LANDASAN TEORITIK
A. Kultur Lingkungan Kerja
1. Ruang Lingkup Lingkungan Kerja
Lingkungan kerja merupakan salah satu faktor yang sangat
berpengaruh terhadap pekerjaan yang dilakukan karyawan. Kondisi
lingkungan kerja yang nyaman, aman dan mendukung akan membuat
karyawan menjadi bersemangat dan bergairah dalam bekerja, sehingga
berdampak positif pada kinerjanya. Dengan semangat dalam bekerja
karyawan cenderung akan merasa puas dalam bekerja. Sebaliknya,
lingkungan kerja yang banyak menimbulkan resiko atau tidak aman, dan
tidak mendukung dalam pelaksanaan tugas yang dibebankan akan
menyebabkan merosotnya semangat kerja, kemungkinan terjadi kesalahan
dalam tugas, dan menurunnya produktivitas kerja (Nitisemito, 1982:183).
Nitisemito (1982:184) menyatakan bahwa lingkungan kerja sebagai
segala sesuatu yang ada di sekitar para pekerja dan yang dapat mempengaruhi
dirinya dalam melakukan tugas-tugas yang dibebankan. Adapun faktor
lingkungan fisik yang harus diperhatikan oleh perusahaan dalam upaya
meningkatkan semangat dan gairah kerja, antara lain: pewarnaan, kebersihan,
pertukaran udara, penerangan, musik, keamanan, dan kebisingan. Menurut
tugas dan pekerjaannya. Lingkungan kerja karyawan dibagi menjadi 3
kelompok.
1. Fasilitas untuk pelayanan karyawan, yang meliputi pelayanan makan,
kesehatan, dan pengadaan kamar mandi/kamar kecil.
2. Kondisi kerja, yang meliputi pengaturan penerangan ruang kerja,
pengaturan suhu udara, pengaturan suara bising, pemilihan warna,
penerangan ruang gerak yang diperlukan serta keamanan karyawan.
3. Hubungan karyawan dengan karyawan lain yang sering disebut dengan
human relation.
Faktor lingkungan menurut Nitisemito (1982:216) adalah sebagai berikut:
1. Pewarnaan
Masalah pewarnaan perlu diperhatikan sebab faktor ini cukup
berpengaruh terhadap semangat dan kegairahan kerja karyawan. Misal,
penggunaan warna putih pada ruang kerja dapat memberi kesan ruang
yang sempit menjadi tampak luas dan bersih serta mendukung pekerjaan
yang memerlukan ketelitian.
2. Kebersihan
Lingkungan kerja yang bersih secara tidak langsung menimbulkan rasa
senang dan mempengaruhi semangat dan gairah kerja seseorang dalam
bekerja. Suatu ruangan yang penuh debu dan berbau tidak enak akan
mengganggu konsentrasi kerja.
Penerangan yang cukup sangat dibutuhkan jika pekerjaan yang dilakukan
menuntut ketelitian. Penerangan yang terlalu besar akan membuat rasa
panas sehingga dapat menimbulkan rasa gelisah. Sebaliknya, penerangan
yang kurang akan menyebabkan rasa mengantuk dan ada kemungkinan
terjadi kekeliruan dalam melakukan tugasnya (Nitisemito, 1982:192).
Penerangan yang baik untuk ruang kerja yaitu sinar yang cukup terang,
tidak menyilaukan, dan distribusi cahaya yang merata, sehingga tidak ada
kontras yang tajam. Manfaat yang diperoleh dari sistem penerangan yang
baik adalah:
§ meningkatkan produksi;
§ memperbaiki kualitas pekerjaan para karyawan;
§ mengurangi tingkat kecelakaan;
§ memudahkan pengarahan dan pengawasan;
§ meningkatkan gairah kerja;
§ mengurangi turn over (pindah kerja);
§ mengurangi kerusakan atau kesalahan dari barang/tugas yang
dikerjakan;
§ menurunkan biaya produksi. 4. Pertukaran udara (ventilasi)
Pertukaran udara yang cukup dalam ruang kerja sangat diperlukan
apalagi bila dalam ruangan tersebut penuh karyawan. Pertukaran udara
yang cukup akan menimbulkan kesegaran fisik dari bawahan.
dan menurunnya semangat kerja, serta berpengaruh pada tingkat
kesalahan dalam melaksanakan tugas.
5. Musik
Musik juga berpengaruh pada semangat dan gairah kerja seseorang. Bila
musik yang diperdengarkan menyenangkan maka dapat menimbulkan
suasana gembira dan sekaligus mengurangi kelelahan dalam bekerja.
Namun tidak selalu berarti tanpa musik semangat kerja menurun tetapi
dengan adanya musik yang merdu dan menyenangkan maka secara tidak
langsung semangat kerja bisa meningkat.
6. Keamanan
Adanya jaminan terhadap keamanan dapat menimbulkan ketenangan dan
sekaligus dapat mempengaruhi semangat dan gairah kerja. Contoh:
tempat parkir kendaraan yang tidak aman dan sering kecurian akan
menimbulkan kegelisahan dan terganggunya konsentrasi kerja karyawan
sewaktu menjalankan tugas.
7. Kebisingan
Kebisingan yang terus menerus dapat mengganggu konsentrasi dalam
bekerja sehingga akan menimbulkan kesalahan. Pengaturan dan
pengendalian suara harus diperhatikan untuk menjaga agar kepekaan
pendengaran karyawan tetap dalam kondisi baik. Kekurangpekaan
pendengaran karyawan dan suara bising dapat menyebabkan komunikasi
terhambat, sebab informasi yang diberi dan diterima karyawan menjadi
8. Hubungan dengan atasan
Hubungan kerjasama yang baik antara karyawan dengan atasan akan
mempengaruhi semangat kerja dan kepuasan kerja karyawan. Karyawan
cenderung senang dengan atasan yang perhatian, mau mendengarkan
pendapat bawahannya, bisa menghormati dan menghargai hasil kerja
karyawan, dan adanya pujian atas hasil kerja yang baik.
9. Hubungan dengan rekan kerja
Rekan kerja yang bisa diajak kerjasama dan mendukung dalam
pelaksanaan kerja cenderung berpengaruh pada meningkatnya semangat
kerja dan kepuasan kerja pada karyawan tersebut. Sebaliknya, rekan
kerja yang tidak bisa diajak kerjasama akan menimbulkan konflik dalam
kerja dan hal ini berdampak negatif pada kinerja maupun semangat kerja
karyawan.
10. Otonomi dalam merencanakan dan menjalankan pekerjaan
Bagi karyawan yang suka dengan tantangan dalam pekerjaannya
cenderung akan lebih puas dalam bekerja bila dia diberi otonomi atau
kebebasan dalam berpendapat dan berkreasi dalam menjalankan
tugasnya. Dengan adanya kebebasan tersebut karyawan akan memiliki
rasa tanggung jawab terhadap pekerjaan dan merasa dihargai.
2. Kultur Lingkungan Kerja
Hofstede (1994:5) mengartikan kultur sebagai: “a collective
phenomenon, because it least partly shared with people who live or lived
collective programming of the mid which distinguishes the members of the
one group or category of people from another”.
Kultur merupakan bentuk pemrograman mental secara kolektif yang
membedakan anggota kelompok satu dengan kelompok lainnya dalam pola
pikir, perasaan dan tindakan anggota satu kelompok. Dengan demikian kultur
lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan kebiasaan
yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang persoalan dan
pemecahannya. Kultur lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam
membentuk karyawan menjadi manusia yang optimis, berani tampil,
berperilaku kooperatif, kecakapan personal dan akademik (Hofstede,
1994:35).
3. Dimensi Kultur Lingkungan Kerja
Empat dimensi kultur lingkungan kerja menurut Hofstede
(1994:35-125) yaitu power distance, individualism vs collectivism, femininity vs
masculinity, dan uncertainty avoidance. Dimensi power distance
menunjukkan tingkatan atau sejauhmana tiap budaya mempertahankan
perbedaan status atau kekuasaan diantara anggota-anggotanya. Masyarakat
yang memiliki budaya power distance tinggi cenderung mengembangkan
aturan, mekanisme atau kebiasaan-kebiasaan dalam mempertahankan
perbedaan status atau kekuasaan. Implikasinya dalam struktur organisasi
biasanya ditandai adanya struktur hirarki yang ketat dan kekuasaan yang
terpusat. Sementara masyarakat yang memiliki orientasi budaya power
mengutamakan kesejajaran, sehingga struktur organisasinya biasanya kurang
ketat dan kurang terdesentralisir. Organisasi dengan budaya yang
mempertahankan jarak sosial, manajer yang dianggap ideal adalah
paternalistik dan menjadi pusat dalam penga mbilan keputusan. Mereka
diharapkan memiliki pengetahuan, kemampuan, kebijakan yang lebih unggul
dibanding bawahannya, dan seminimal mingkin berkonsultasi dengan
bawahannya agar bawahan tidak kehilangan rasa hormat padanya. Sementara
manajer pada masyarakat yang memiliki budaya power distance rendah
diharapkan lebih banyak berkonsultasi dengan bawahannya dalam
mengambil keputusan, sehingga mereka harus memiliki kemampuan
berkomunikasi yang baik dengan bawahannya, menghargai kesetaraan, dan
dapat berkomunikasi dua arah (Dayakisni, 2003:277-278). Pada dimensi
power distance, indikator kultur lingkungan kerja mencakup: (a) perbedaan
diantara karyawan diminimalkan; (b) ada ketergantungan antara karyawan
yang lemah dan yang kuat; (c) perbedaan aturan di tiap tingkatan perusahaan;
(d) sistem manajemen di lingkungan kerja; (e) perbedaan gaji antara atasan
dan bawahan; (f) bawahan ikut serta dalam mengambil keputusan; dan (g)
persepsi terhadap hak istimewa dan simbol status.
Dayakisni (2003:280-281) menjelaskan bahwa dimensi individualism
vs collectivism mengacu pada sejauhmana suatu budaya mendukung
kemungkinan individualistik atau kolektivistik. Budaya individualistik
mendorong anggota-anggotanya agar mandiri (otonom), menekankan
kepentingan dan tujuan individu lebih diutamakan daripada tujuan kelompok.
Mereka cenderung menganggap waktu pribadi adalah penting dan membuat
perbedaan yang jelas antara waktu untuk diri mereka pribadi dengan waktu
untuk perusahaan. Sementara budaya kolektif menekankan kewajiban pada
masyarakat atau kelompok daripada hak-hak pribadinya. Bahkan diharapkan
orang untuk mengorbankan kepentingan dan tujuan pribadinya demi tujuan
kelompok, sehingga karyawan diharapkan lebih patuh dan menyesuaikan diri
terhadap organisasi untuk menjaga keselarasan. Pada dimensi individualism
vs collectivism, indikator kultur lingkungan kerja mencakup: (a) basis
identitas dir i; (b) keharmonisan di tempat kerja; (c) hubungan komunikasi;
(d) penyala hgunaan kepemimpinan; (e) hubungan antar karyawan; (f) dasar
penggajian dan promosi; (g) sistem manajemen; dan (h) hubungan kerja.
Dimensi femininity vs masculinity menunjukkan tingkatan atau
sejauhmana suatu masyarakat berpegang teguh pada peran gender atau
nilai-nilai seksual yang tradisional yang didasarkan pada perbedaan biologis.
Masyarakat yang memiliki dimensi masculinity menekankan nilai asertivitas,
prestasi, dan performansi sehingga menganggap penting mengenai
pendapatan, pengakuan, kemajuan, dan tantangan, serta biasanya perbedaan
antara pria dan wanitamenjadi menonjol. Sementara pada masyarakat yang
memiliki dimensi femininity lebih mengutamakan hubungan interpersonal,
keharmonisan, dan kinerja kelompok. Mereka menganggap bahwa kerja yang
baik menuntut kemampuan untuk lebih memperhatikan kesejahteraan orang
2003:282-283). Pada dimensi femininity vs masculinity, indikator kultur
lingkungan kerja mencakup: (a) cara penyelesaian masalah; (b) prinsip kerja;
(c) perbedaan jenis kelamin dalam lingkungan kerja; (d) prinsip pekerjaan
yang manusia wi; (e) tipe manajer; dan (f) sikap bersosial dalam lingkungan
kerja.
Menurut Dayakisni (2003:279-280), dimensi uncertainty avoidance
menunjukkan sejauhmana masyarakat dapat menghadapi situasi yang tidak
pasti. Masyarakat yang memiliki dimensi budaya uncertainty avoidance kuat
merasa terancam dengan ketidakpastian sehingga berusaha menciptakan
mekanisme untuk mengurangi resiko itu. Oleh karena itu diciptakan
aktivitas-aktivitas yang lebih terstruktur, aturan-aturan yang tertulis, dan pengaturan
yang baik dan lebih banyak spesialisasi pekerjaan. Sebaliknya pada
masyarakat yang memiliki orientasi budaya uncertainty avoidance lemah
biasanya bersikap lebih santai dan sedikit memiliki aturan dan penyampaian
instruksi kepada bawahannya. Bawahan lebih banyak diberi kesempatan
untuk mengambil inisiatif sendiri dalam menyelesaikan tugas. Pada dimensi
uncertainty avoidance, indikator lingkungan kerja mencakup (a) kebutuhan
akan peraturan dalam lingkungan kerja; (b) orientasi dalam bekerja; (c)
semangat bekerja; (d) sikap terhadap pencapaian ketelitian; (e) sikap terhadap
B. Locus of Control
1. Pengertian Locus of Control
Locus of control adalah suatu konsep yang memberikan gambaran
tentang keyakinan seseorang mengenai sumber penentu pribadinya (Rotter
dalam Pujiwati, 2004:30). Locus of control dibedakan menjadi dua yaitu
locus of control interna l dan locus of control eksternal. Individu dikatakan
memiliki locus of control internal jika memiliki keyakinan bahwa apa yang
terjadi pada dirinya karena pengaruh dirinya sendiri dan keberhasilan atau
kegagalan dipandang sebagai akibat perilakunya. Individu yang mempunyai
locus of control eksternalcenderung memiliki keyakinan bahwa faktor-faktor
di luar dirinya mempengaruhi perilakunya seperti nasib, faktor
keberuntungan, kesempatan karena kekuasaan orang lain atau karena
kondisi-kondisi yang tidak dapat dikuasainya (Rotter dalam Pujiwati,
2004:32). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa locus of control
merupakan keyakinan individu tentang faktor- faktor yang mengatur
kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol (locus of control
internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control eksternal), serta
sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan antara usaha- usaha
yang telah dilakukannya dengan akibat-akibatnya.
2. Dimensi Locus of Control Rotter
Enam dimensi locus of control menurut Rotter (1964:58-59) yaitu
status-recognition (pengakuan status), dominance (dominasi), independence
(perlindungan-ketergantungan), love and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical
comfort (kenyamanan fisik). Pada dimensi status-recognition (pengakuan
status), indikator locus of control mencakup kebutuhan untuk dihargai, ingin
dianggap kompeten, dan kesuksesan dalam berkarya. Pada dimensi
dominance (dominasi), indikator locus of control mencakup kebutuhan untuk
mengontrol aktivitas orang lain dan kebutuhan untuk berkuasa. Pada dimensi
independence (ketidaktergantungan), indikator locus of control mencakup
keyakinan diri dan menggantungkan pada diri sendiri/usaha sendiri. Pada
dimensi protection-dependency (perlindungan-ketergantungan), indikator
locus of control mencakup menghindari frustasi dengan mencari perlindungan
dan keamanan serta menggantungkan diri pada orang lain. Pada dimensi love
and affection (cinta dan kasih sayang), indikator locus of control mencakup
kebutuhan untuk dicintai serta kehangatan, perhatian, cinta dan kasih sayang.
Pada dimensi physical comfort (kenyamanan fisik), indikator locus of control
ialah kebutuhan akan kepuasan fisik (menghindari sakit, mencari kesenangan
jasmani).
3. Faktor-Faktor yang Berperan dalam Perkembangan Locus of Control
Ada 2 faktor yang mempengaruhi individu dalam mengembangkan
kecenderungan terhadap locus of control tertentu.
a. Keluarga
Orang tua yang menunjukkan dukungan yang hangat, protektif, positif
dan membimbing, serta adanya konsistensi memberlakuan disiplin pada
control internal. Hal-hal tersebut membangun kepercayaan diri,
penghargaan diri, serta kemandirian yang terkait erat dengan locus of
control internal.
b. Faktor sosial
Semakin rendah status sosial ekonomi individu, semakin eksternal pula
locus of control individu tersebut. Individu dengan status sosial ekonomi
tinggi mempunyai kendali yang relatif tinggi dalam dina mika sosial
ekonomi masyarakat dan sebaliknya. Mereka sering tidak punya banyak
pilihan selain menerima apa yang telah disediakan oleh sistem.
Kekurangberdayaan serupa juga dialami oleh kelompok etnis dan
minoritas dengan sedikit akses pada pengerakan sosial ekonomi.
Pengalaman demikian jika berlangsung secara terus-menerus akan
mendorong berkembangnya kepercayaan individu bahwa faktor-faktor
eksternal lebih berkuasa untuk mengendalikan hidupnya daripada dirinya
sendiri.
4. Perbedaan Orientasi Locus of Control Internal dan Eksternal
Adanya perbedaan locus of control pada individu-individu ternyata
menimbulkan perbedaan sikap, sifat, dan lainnya. Lefcourt (Rosita, 2005:31)
mengatakan bahwa orang yang mempunyai kecenderungan locus of control
internal kurang konformis, dikarenakan rasa percaya diri yang dimilikinya
dan dapat melakukan kontrol dengan kemampuannya sendiri, mengandalkan
kemampuan dan keterampilan diri serta usaha-usaha yang dilakukan.
giat, rajin, ulet, mandiri, dan mempunyai daya tahan yang baik terhadap
pengaruh sosial, dan bertanggung jawab atas kegagalannya. Individu dengan
kecenderungan locus of control eksternal cenderung conform terhadap
pengaruh-pengaruh dari luar, memiliki anggapan bahwa kegagalan
disebabkan oleh faktor luar dirinya. Individu juga cenderung menunjukkan
sikap menyerah, merasa tidak berdaya, dan memiliki kecemasan yang tinggi
daripada individu yang mempunyai kecenderungan locus of control internal.
Individu yang memiliki kecenderungan locus of control internal mempunyai
keyakinan yang besar untuk memperoleh keberhasilan, assertif, mempunyai
usaha untuk maju dan mampu menggunakan keterampilan sosial untuk
mempengaruhi lingkungan, sedangkan individu dengan kecenderungan locus
of control eksternal memiliki sifat pasif, tidak suka bersaing, lingkungan
mempengaruhi kehidupannya dan memiliki motivasi yang rendah untuk
berhasil (Findley dan Cooper dalam Rosita, 2005:31).
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa orang yang
mempunyai kecenderungan locus of control internal mempunyai rasa percaya
diri akan kemampuannya untuk dapat mengendalikan kehidupannya, mampu
menghadapi kegagalan, mandiri, bertanggung jawab. Orang yang memiliki
kecenderungan locus of control eksternal cenderung mudah menyerah,
mempunyai kecemasan yang tinggi, merasa tidak berdaya, rasa percaya diri
C. Kecerdasan Emosional
1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Kecerdasan emosional (emotional intelligence) yang lebih dikenal
dengan istilah EQ (Emotional Quotient) adalah kemampuan untuk
memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan
dorongan hati dan tidak melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati,
dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir,
berempati dan berdoa (Goleman, 1999:45). John Mayer (Harmoko,
http://www.binuscareer.com/article) mendefinisikan kecerdasan emosional
sebagai suatu kemampuan untuk memahami emosi orang lain dan cara
mengendalikan emosi diri sendiri.
Cooper dan Sawaf (1998:xli) menawarkan kecerdasan emosional
sebagai sebuah titik awal “Model Empat Batu Penjuru”. Tawaran model ini
lebih ditujukan pada EQ eksekutif, yaitu penggunaan kecerdasan emosional
di tempat kerja. Model Empat Batu Penjuru terdiri dari (Cooper dan Sawaf,
1998:xli- xlii):
a. Kesadaran emosi (emotional literacy), yang bertujuan membangun rasa
percaya diri pribadi melalui pengenalan terhadap emosi yang dialami dan
kejujuran terhadap emosi yang dirasakan. Kesadaran emosi yang baik
terhadap diri sendiri dan orang lain, sekaligus kemampuan untuk
mengelola emosi yang sudah dikenalnya, membuat seseorang dapat
b. Kebugaran emosi (emotional fitness), bertujuan untuk mempertegas
antusiasme dan ketangguhan dalam menghadapi tantangan dan perubahan.
Hal ini mencakup kemampuan untuk mempercayai orang lain dan
menampilkan diri apa adanya, menghargai ketidakpuasan diri sendiri dan
orang lain, serta mengelola konflik dan mengatasi kekecewaan dengan
cara yang paling konstruktif.
c. Kedalaman emosi (emotional depth), mencakup komitmen untuk
menyelaraskan hidup dari kerja dengan potensi serta bakat unik yang
dimiliki. Komitmen yang berupa rasa tanggung jawab ini pada gilirannya
mempunyai potensi untuk memperbesar pengaruh tanpa perlu
menggunakan kewenangan untuk memaksakan otoritas.
d. Alkimia emosi (emotional alchemy), ialah kemampun kreatif untuk
mengalir bersama masalah- masalah dan tekanan-tekanan tanpa larut di
dalamnya. Hal ini mencakup keterampilan bersaing dengan lebih peka
terhadap kemungkinan solusi yang masih tersembunyi dan peluang yang
masih terbuka, untuk mengevaluasi masa lalu, menghadapi masa kini, dan
menciptakan masa depan.
Apabila seseorang secara efektif memiliki keseluruhan aspek dalam
model uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa ia adalah pribadi yang tangguh,
yaitu pribadi yang dapat menggunakan emosinya secara cerdas (dalam artian
tepat waktu dan dalam porsi yang tepat, tanpa tergantung dari pengaruh jenis
Goleman (1999:57-59) memperluas kemampuan kecerdasan
emosional menjadi 5 (lima) wilayah utama yang memungkinkan seseorang
akan menguasai kebiasaan berpikir menuju produktivitas yang juga sangat
penting untuk diperlukan di dunia kerja.
a. Mengenali emosi diri
Kemampuan ini merupakan kesadaran diri mengenali perasaan sewaktu
perasaan itu terjadi dan mengetahui apa yang dirasakan saat emosi
bergolak di dalam diri.
b. Mengelola emosi
Ialah menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan tepat.
c. Memotivasi diri sendiri
Menata emosi sebagai alat untuk mencapai tujuan adalah hal yang sangat
penting dalam kaitannya untuk memotivasi diri. Kendali diri emosional
dan kemampuan menyesuaikan diri adalah landasan keberhasilan dalam
berbagai bidang. Orang-orang yang memiliki keterampilan tersebut
cenderung lebih produktif dan efektif dalam bekerja.
d. Mengenali emosi orang lain
Orang yang empatik akan lebih mampu menangkap sinyal-sinyal sosial
yang tersembunyi dan dapat menangkap hal- hal yang dikehendaki orang
lain.
Membina hubungan sebagian besar merupakan keterampilan mengelola
emosi. Orang-orang yang sukses dalam berbagai bidang mengandalkan
pergaulan yang baik dengan orang lain.
2. Dimensi Kecerdasan Emosional
Lima dimensi kecerdasan emosional menurut Goleman (1999:57-59) yaitu:
mengenali emosi diri, mengelola emosi, memotivasi diri, mengenali emosi
orang lain, dan membina hubungan dengan orang lain. Pada dimensi
mengenali emosi diri, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a)
mengetahui keterbatasan diri; (b) keyakinan akan kemampuan sendiri; (c)
mengetahui kekuatan; dan (d) mengenali emosi diri. Pada dimensi mengelola
emosi, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a) menahan emosi dan
dorongan negatif; (b) menjunjung norma kejujuran dan integritas; (c)
bertanggung jawab atas kinerja sendiri; (d) luwes terhadap perubahan; dan (e)
terbuka dengan ide- ide serta informasi baru. Pada dimensi memotivasi diri,
indikator kecerdasan emosional mencakup: (a) dorongan untuk menjadi lebih
baik; (b) menyesuaikan dengan sasaran kelompok dan organisasi; (c)
kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan; dan (d) kegigihan dalam
memperjuangkan kegagalan dan hambatan. Pada dimensi mengenali emosi
orang lain, indikator kecerdasan emosional mencakup: (a) memahami
perasaan orang lain; (b) tanggap terhadap kebutuhan orang lain; (c) mengerti
perasaan orang lain; dan (d) siap sedia melayani. Pada dimensi membina
kemampuan persuasi; (b) terbuka mendengarkan orang lain dan memberi
kesan yang jelas; (c) kemampuan menyesuaikan tanggung jawab; (d)
memiliki semangat leadership; (e) kolaborasi dan kooperasi; dan (f) ada
kemampuan untuk membangun tim.
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terbentuknya Kecerdasan Emosi
Ada dua faktor yang mempengaruhi terbentuknya kecerdasan emosi
dalam diri seseorang.
a. Faktor internal
Faktor internal ialah faktor yang berasal dari dalam diri individu untuk
menanggapi lingkungan sekitar yang dipengaruhi oleh keadaan otak
emosional seseorang (Goleman, 1999:23).
b. Faktor eksternal
Faktor eksternal dimaksudkan sebagai faktor yang datang dari luar
individu dan mempengaruhi individu untuk mengubah hidup. Pengaruh
luas yang bersifat individu dapat secara perorangan, secara kelompok,
antara individu mempengaruhi kelompok atau sebaliknya, juga dapat
bersifat tidak langsung yaitu melalui perantara, misal media massa.
Faktor lain dapat melalui lingkungan fisik tempat manusia berada ketika
berkomunikasi dengan pihak lain, melalui lingkungan sosial di mana
keberadaan manusia lain sebagai penerima komunikasi maupun hanya
hadir di sana, serta melalui keikutsertaan individu dalam berbagai
kegiatan seperti keaktifan di dalam mengikuti berbagai organisasi
4. Ciri-ciri Orang yang Memiliki Kecerdasan Emosi Tinggi
Menurut Goleman (1999:403-405) orang dengan kecerdasan emosi
yang tinggi mempunyai ciri-ciri sebagai berikut.
a. Selalu berpikir positif pada saat menangani situasi-situasi dalam
hidupnya.
b. Terampil dalam membina emosi, mengenali kesadaran emosi diri dan
ekspresi emosi, dan kesadaran emosi terhadap orang lain.
c. Memiliki kecakapan kecerdasan emosi, meliputi intensionalitas,
kreatifitas, hubungan antar pribadi dan ketidakpuasan konstruktif.
d. Optimal pada nilai-nilai belas kasihan atau empati, intuisi, radius
kepercayaan, daya pribadi, dan integritas.
e. Optimal pada kesehatan secara umum, kualitas hidup, relationship
quotient, dan kinerja optimal.
D. Kualitas Pelayanan Karyawan
1. Definisi dan Karakteristik Jasa
Kotler (1984:428) menyatakan bahwa “a service is any act
performance that one party can offer to another that is essentially intangible
and does not result in the ownership of anything its production may or not be
tied to a physical product”. Berdasarkan pengertian tersebut, jasa mempunyai
a. Intangibility
Jasa bersifat intangible, artinya jasa tidak dapat dilihat, diraba, dirasa,
dicium atau didengar sebelum dibeli. Konsep intangible ini sendiri
memiliki 2 pengertian, yaitu:
1) Sesuatu yang tidak dapat disentuh dan tidak dapat dirasa.
2) Sesuatu yang tidak mudah didefinisikan, diformulasikan, atau
dipahami secara rohaniah.
b. Inseparability
Jasa umumnya diproduksi dan dikonsumsi pada waktu bersamaan.
Interaksi antara perusahaan dan konsumen merupakan ciri khusus dalam
pemasaran jasa, kedua belah pihak mempengaruhi hasil dari jasa tersebut.
Dalam hubungan penyedia jasa dengan konsumen mempengaruhi hasil
dari jasa tersebut dan efektivitas individu yang menyampaikan jasa
merupakan unsur pokok.
c. Variability
Jasa sifatnya sangat variabel, artinya banyak variasi bentuk, kualitas, dan
jenis, tergantung pada siapa, kapan, dan di mana jasa tersebut dihasilkan.
Para pembeli atau pengguna jasa sangat peduli terhadap variabilitas ini dan
sering kali mereka meminta pendapat orang lain sebelum memutuskan
untuk memilih atau menggunakan penyedia jasa.
Jasa merupakan komoditas yang tidak tahan lama dan tidak dapat
disimpan. Permintaan pelanggan akan jasa pada umumnya sangat
bervariasi dan dipengaruhi faktor musiman. Oleh karena itu, perusahaan
jasa harus mengevaluasi kapasitasnya guna menyeimbangkan penawaran
dan permintaan.
2. Kualitas Pelayanan Jasa
Definisi kualitas jasa berpusat pada upaya pemenuhan kebutuhan
dan keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk
mengimbangi harapan pelanggan. Aspek yang sangat penting dan
menentukan kualitas jasa yang dihasilkan adalah pelayanan yang diberikan
pihak produsen pada konsumennya, dan sikap serta pelayanan contact
personel. Apabila aspek tersebut dilupakan atau bahkan sengaja dilupakan,
dalam waktu yang tidak lama perusahaan yang bersangkutan bisa kehilangan
banyak pelanggan lama dan dijauhi calon pelanggan.
Sehubungan dengan peranan contact personel yang sangat penting
dalam mencetak kualitas jasa, setiap perusahaan memerlukan service
excellent (pelayanan yang unggul), yaitu sikap atau cara karyawan dalam
melayani pelanggan secara memuaskan (Tjiptono, 1996:58). Secara garis
besar ada 4 unsur pokok dalam konsep ini, yaitu:
a. kecepatan;
b. ketepatan;
c. keramahan;
Komponen-komponen di atas merupakan satu kesatuan yang
terintegrasi, jika ada komponen yang kurang dapat mengakibatkan pelayanan
atau jasa yang diberikan pada pelanggan tidak excellent. Untuk mencapai
tingkat excellent, setiap karyawan harus mempunyai keterampilan tertentu
diantaranya berpenampilan baik dan rapi, bersikap ramah, memperlihatkan
gairah kerja dan sikap yang selalu siap untuk melayani, tenang dalam
bekerja, tidak tinggi hati karena merasa dibutuhkan, menguasai pekerjaan
baik tugas yang berkaitan pada bagiannya maupun bagian lain, mampu
berkomunikasi dengan baik, bisa memahami bahasa isyarat pelanggan dan
memiliki kemampuan memahami keluhan pelanggan secara profesional.
Dalam bisnis jasa, kualitas pelayanan merupakan sesuatu hal yang
penting dan harus dikerjakan dengan baik sebab aplikasi kualitas sebagai sifat
dari penampilan produk atau kinerja merupakan bagian utama strategi
perusahaan dalam rangka meraih keunggulan yang berkesinambungan, baik
sebagai pemimpin ataupun sebagai strategi untuk terus tumbuh. Keunggulan
suatu produk jasa adalah dari keunikan serta kualitas yang diperlihatkan oleh
jasa tersebut apakah sudah sesuai harapan dan keinginan pelanggan atau
belum. Kotler (1984:37) membagi jasa menjadi beberapa macam.
a. Barang berwujud murni
Terdiri atas barang berwujud, seperti sabun, pasta gigi. Tidak ada jasa
yang menyertai produk tersebut.
Terdiri atas barang berwujud yang disertai satu atau lebih jasa untuk
mempertinggi daya tarik pelanggan. Contoh: produsen mobil tidak hanya
menjual mobil saja tetapi juga kualitas dan pelayanan kepada
pelanggannya (reparasi, pelayanan purna jual).
c. Campuran
Terdiri atas barang dan jasa dengan proporsi yang sama. Misal: restoran
yang harus didukung oleh makanan dan pelayanannya.
d. Jasa utama yang disertai barang dan jasa tambahan
Terdiri atas jasa utama dan jasa tambahan serta barang pelengkap.
Contoh: penumpang pesawat terbang membeli jasa transportasi. Mereka
sampai di tempat tujuan tanpa sesuatu hal berwujud yang memperlihatkan
pengeluaran mereka. Namun perjalanan tersebut meliputi barang-barang
berwujud seperti makanan dan minuman. Jasa tersebut membutuhkan
barang padat modal agar terealisasi, tetapi komponen utamanya adalah
jasa.
e. Jasa murni
Terdiri atas jasa murni seperti jasa dokter dan psikoterapi.
3. Dimensi Kualitas Jasa
Zeithaml dalam Hendroyono (http://www.lrckesehatan.net/)
merangkum dimensi kualitas jasa menjadi 5 dimensi pokok.
a. Bukti fisik (tangible) adalah kemampuan perusahaan untuk menampilkan
b. Keandalan (reliability) adalah kemampuan untuk melakukan jasa yang
dijanjikan dengan tepat dan terpercaya.
c. Daya tanggap (responsive) adalah kemampuan untuk membantu
pelanggan dan memberikan jasa dengan tepat.
d. Jaminan (assurance) adalah kemampuan untuk menimbulkan
kepercayaan dan keyakinan serta pengetahuan dan kesopanan dari
karyawan.
e. Empati (empaty) adalah syarat untuk peduli atau memberi perhatian
pribadi bagi pelanggan.
Lima dimensi kualitas pelayanan karyawan yaitu: keandalan
(reliability), daya tanggap (responsive), jaminan (assurance), empati
(empaty), dan bukti fisik (tangible). Pada dimensi keandalan (reliability),
indikator kualitas pelayanan mencakup: (a) menyediakan jasa sesuai yang
dijanjikan; (b) dapat diandalkan dalam menangani masalah jasa pelanggan;
(c) menyampaikan jasa secara benar semenjak pertama kali; (d)
menyampaikan jasa sesuai dengan waktu yang dijanjikan; dan (e)
menyimpan catatan atau dokumen tanpa kesalahan. Pada dimensi daya
tanggap (responsive), indikator kualitas pelayanan mencakup: (a)
menginformasikan pelanggan tentang kepastian waktu penyampaian jasa;
(b) pelayanan yang segera/cepat bagi pelanggan; (c) kesediaan untuk
membantu pelanggan; dan (d) kesiapan untuk merespon permintaan
pelanggan. Pada dimensi jaminan (assurance), indikator kualitas pelayanan
(b) membuat pelanggan merasa aman sewaktu melakukan transaksi; (c)
karyawan yang secara konsisten bersikap sopan; dan (d) karyawan yang
mampu menjawab pertanyaan pelanggan. Pada dimensi empati (empaty),
indikator kualitas pelayanan mencakup: (a) memberikan perhatian
individual kepada para pelanggan; (b) karyawan yang memperlakukan
pelanggan secara penuh perhatian; (c) sungguh-sungguh mengutamakan
kepentingan pelanggan; (d) karyawan yang memahami kebutuhan
pelanggan; dan (e) waktu beroperasi (jam kantor) yang nyaman. Pada
dimensi bukti fisik (tangible), indikator kualitas pelayanan mencakup: (a)
peralatan modern; (b) fasilitas yang berdaya tarik visual; (c) karyawan yang
berpenampilan rapi dan profesional; dan (d) materi- materi berkaitan dengan
jasa yang berdaya tarik visual.
D. Hubungan Antar Variabel Penelitian
1. Pengaruh kultur lingkungan kerja pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
Derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas
pelayanan karyawan diduga kuat berbeda pada kultur lingkungan kerja yang
berbeda. Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup,
ritual dan kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara
memandang persoalan dan pemecahannya. Dengan demikian kultur
lingkungan kerja merupakan faktor esensial dalam membentuk karyawan
menjadi manusia yang optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif,
bercirikan power distance kecil, derajat hubungan kecerdasan emosional
karyawan dengan kualitas pelayanan karyawan akan lebih tinggi
dibandingkan pada power distance besar. Hal ini disebabkan pada power
distance kecil terdapat sistem desentralisasi, adanya ketergantungan antara
karyawan yang lemah dan yang kuat, karyawan tingkat bawah ikut serta
dalam mengambil keputusan, dan kepala karyawan yang ideal adalah yang
demokratis dan banyak ide. Kondisi demikian akan berdampak adanya rasa
saling menghargai dan saling membut uhkan antar karyawan, bawahan akan
merasa dihargai karena diikutkan dalam pengambilan keputusan, dan
karyawan dipimpin oleh pemimpin yang ideal dan demokratis, sehingga
para karyawan akan merasa segan kepada pemimpinnya dan melakukan
pekerjaannya sesuai dengan pembagian kerja. Pada power distance besar
akan berdampak adanya manajer supervisi yang banyak, struktur organisasi
yang merepotkan banyak orang, sistem penggajian yang sangat berbeda
pada karyawan atasan dan bawahan, karyawan relatif tidak berpendidikan
dan bekerja secara manual, dan terjadi persaingan antar karyawan.
Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan collectivism derajat
hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas pelayanan
karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan pada individualism. Hal ini
dikarenakan pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan collectivism
terdapat komunikasi yang lancar, adanya hubungan kekeluargaan antar
karyawan yang erat seperti hubungan dengan saudara, keharmonisan selalu
suasana dalam bekerja menjadi lebih nyaman dan kondusif, jauh dari
perselisihan antar karyawan karena karyawan akan menyadari bahwa
karyawan lain adalah rekan kerjanya bukan pesaing kerjanya, serta
terjadinya rasa saling menghargai dan saling membantu antar karyawan.
Sementara pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan individualism akan
berdampak adanya komunikasi rendah, hubungan antara karyawan hanya
berdasarkan keuntungan pribadi, dan manajemen yang berlaku adalah
invidualistis.
Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan femininity derajat
hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas pelayanan
karyawan diduga akan lebih tinggi dibandingkan pada masculinity. Hal ini
disebabkan pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan femininity terdapat
hubungan yang hangat, cara menyelesaikan masalah dengan berunding, dan
manajer menggunakan perasaan serta kesepakatan bersama. Pada kultur
demikian terdapat kesempatan untuk saling menolong dan bekerja sama
sebab keputusan diambil bukan didasarkan pada manajer saja tetapi
berdasarkan keputusan bersama. Pada kultur lingkungan kerja yang
bercirikan masculinity akan berdampak adanya pengambilan keputusan
hanya terletak pada manajer, cara mengatasi konflik dengan mengeluarkan
karyawan, dan terjadinya persaingan antar karyawan.
Pada kultur lingkungan kerja yang bercirikan uncertainty avoidance
yang lemah derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan
uncertainty avoidance yang kuat. Pada kultur lingkungan kerja yang
bercirikan uncertainty avoidance yang lemah terdapat orientasi dalam
bekerja, adanya motivasi terhadap hasil dan penghargaan dan ketelitian
merupakan hal yang perlu dipelajari. Pada kultur demikian semangat kerja
karyawan meningkat dan ketika bekerja karyawan merasa tidak ada waktu
untuk menganggur sebab semua waktunya didedikasikan untuk bekerja, dan
adanya semangat belajar untuk mencapai hasil yang sempurna. Pada kultur
lingkungan kerja bercirikan uncertainty avoidance yang kuat akan
berdampak adanya penyerangan yang sering terjadi diantara karyawan tidak
membuang-buang waktu dan terburu-buru dalam bekerja, dan tidak ada
kemauan untuk belajar karena merasa sudah ahli di bidangnya.
2. Pengaruh locus of control pada hubungan antara kecerdasan emosional
dengan kualitas pelayanan karyawan.
Derajat hubungan kecerdasan emosional karyawan dengan kualitas
pelayanan karyawan diduga kuat berbeda pada locus of control yang
berbeda. Pada locus of control internal derajat hubungan kecerdasan
emosional karyawan dengan kualitas pelayanan karyawan lebih tinggi
dibandingkan karyawan yang mempunyai keyakinan locus of control
eksternal. Locus of control ialah keyakinan seseorang tentang faktor-faktor
yang mengatur kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol
(locus of control internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control
eksternal), serta sejauh mana orang tersebut merasakan adanya hubungan
karyawan yang mempunyai kecenderungan locus of control internal tidak
mudah terpengaruh, aktif, mempunyai rasa percaya diri, dan mempunyai
motif berprestasi yang tinggi sehingga kualitas pelayanan yang diberikan
juga baik. Pada locus of control demikian muncul semangat karyawan dan
rasa percaya diri untuk bekerja sehingga berdampak pada kemudahan dan
kecepatan karyawan dalam bekerja. Pada locus of control eksternal,
karyawan berkeyakinan bahwa kegagalan dan keberhasilan dipengaruhi oleh
faktor di luar dirinya, sehingga berdampak pada sikap mudah menyerah,
kecemasan tinggi, merasa tidak berdaya, rasa percaya diri yang rendah, dan
penyesuaian diri yang kurang baik.
F. Kerangka Berpikir
1. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Kualitas pelayanan karyawan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi
harapan pelanggan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Kultur
lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan kebiasaan
yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang persoalan dan
pemecahannya yang diduga berpengaruh pada hubungan kecerdasan
2. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan
bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak
melebih- lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati, dan menjaga agar
beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdoa.
Kualitas pelayanan karyawan adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan
keinginan pelanggan serta ketepatan penyampaiannya untuk mengimbangi
harapan pelanggan yang berhubungan dengan kecerdasan emosional. Locus
of control adalah suatu konsep yang memberikan gambaran tentang
keyakinan seseorang mengenai sumber penentu pribadinya yang diduga
berpengaruh pada hubungan kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan
karyawan.
Model:
G. Hipotesis
1. Ada pengaruh positif kultur lingkungan kerja pada hubungan antara
kecerdasan emosional dengan kualitas pelayanan karyawan.
2. Ada pengaruh positif locus of control pada hubungan antara kecerdasan
emosional dengan kualitas pelayanan karyawan. kecerdasan
emosional
kultur lingkungan
kerja
kualitas pelayanan karyawan
36
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah studi kasus pada karyawan
administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta.
Data yang diperoleh selanjutnya diolah dan dianalisis. Kesimpulan penelitian hanya
berlaku pada karyawan administrasi Universitas Sanata Dharma dan Universitas
Atma Jaya Yo gyakarta sebagai subyek penelitian ini.
B. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Universitas Sanata Dharma dan Universitas Atma
Jaya Yogyakarta.
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian ini dilaksanakan pada Januari sampai Februari 2007.
C. Subyek dan Obyek Penelitian
a. Subyek Penelitian
Subyek penelitian yang digunakan adalah karyawan administrasi Universitas
b. Obyek Penelitian
Obyek penelitian ini adalah tingkat kecerdasan emosional, kualitas pelayanan
para karyawan, kultur lingkungan kerja dan locus of control.
D. Variabel Penelitian dan Pengukurannya
1. Kultur Lingkungan Kerja
Kultur lingkungan kerja adalah pola nilai, norma, sikap hidup, ritual dan
kebiasaan yang baik dalam lingkungan kerja, sekaligus cara memandang
setiap permasalahan dan pemecahannya. Kultur lingkungan kerja merupakan
faktor penting dalam membentuk karyawan untuk menjadi manusia yang
optimis, berani tampil, berperilaku kooperatif, dan mempunyai kecakapan
personal dan akademik. Empat dimensi kultur lingkungan kerja menurut
Hofstede (1994:35-125) yaitu power distance, individualism vs collectivism,
femininityvsmasculinity, dan uncertainty avoidance. Masing- masing dimensi
tersebut selanjutnya dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Berikut
ini disajikan tabel operasionalisasi variabel kultur lingkungan kerja:
Tabel 3.1
Tabel Operasionalisasi Variabel Kultur Lingkungan Kerja
Dimensi Indikator No.Item
Power distance
a. Perbedaan diantara karyawan diminimalkan
b.Ada ketergant ungan antara karyawan yang lema h dan yang kuat
c. Tingkatan di lingkungan kerja berarti adanya perbedaan aturan
d.Sistem manajemen di lingkungan kerja e. Perbedaan gaji antara atasan dan bawahan
1
2
3
f. Bawahan ikut serta dalam mengambil keputusan
g. Persepsi terhadap hak istimewa dan simbol status 6 7 Individualism vs collectivism
a. Basis identitas diri
b. Keharmonisan di tempat kerja c. Hubungan komunikasi
d. Penyalahgunaan kepemimpinan e. Hubungan antar karyawan f. Dasar penggajian dan promosi g. Sistem manajemen
h. Hubungan kerja
8 9 10 11 12 13 14 15 Femininity vs masculinity
a. Cara penyelesaian masalah b.Prinsip kerja
c. Perbedaan jenis kelamin dalam lingkungan kerja
d.Prinsip pekerjaan yang manusiawi e. Tipe manajer
f. Sikap bersosial dalam lingkungan kerja
16 17 18 19 20 21 Uncertainty avoidance
a. Kebutuhan akan peraturan dalam lingkungan kerja.
b.Orientasi dalam bekerja c. Semangat bekerja
d.Sikap terhadap pencapaian ketelitian e. Sikap terhadap perilaku karyawan
f. Bentuk penilaian terhadap hasil pekerjaan
22 23 24 25 26 27
Pengukuran variabel kultur lingkungan kerja didasarkan pada
indikator-indikatornya. Masing- masing indikator dijabarkan dalam bentuk pernyataan
yang dinyatakan dalam empat skala sikap, yaitu sangat setuju (SS)=4; setuju
(S)=3; tidak setuju (TS)=2; dan sangat tidak setuju (STS)=1.
2. Locus of Control
Locus of control merupakan keyakinan individu tentang faktor- faktor
yang mengatur kejadian-kejadian dalam hidupnya, yang dapat dikontrol
(locus of control internal) dan yang di luar kontrol dirinya (locus of control
antara usaha-usaha yang telah dilakukannya dengan akibat-akibatnya. Rotter
(1964:58-59) menyebutkan enam dimensi locus of control yaitu
status-recognition (pengakuan status), dominance (dominasi), independence
(ketidaktergantungan), protection-dependency
(perlindungan-ketergantungan), love and affection (cinta dan kasih sayang), dan physical
comfort (kenyamanan fisik). Masing- masing dimensi tersebut selanjutnya
dijabarkan dalam bentuk pernyataan-pernyataan. Berikut ini disajikan tabel
operasionalisasi variabel locus of control:
Tabel 3.2
Tabel Operasionalisasi Variabel Locus of Control
Pertanyaan No
Dimensi Indikator
Internal Eksternal
1. Status-recognition
(pengakuan status)
• Kebutuhan untuk dihargai
• Ingin dianggap kompeten
• Kesuksesan dalam berkarya
4a,5a,10a, 14b, 23b 4b,5b, 10b,14b, 23a 2.Dominance (dominasi)
• Kebutuhan untuk
mengontrol aktifitas orang lain
• Kebutuhan untuk berkuasa
3a,12a,17b, 22a,24b 3b,12b, 17a,22b, 24a 3.Independence (ketidaktergantu ngan)
• Keyakinan diri
• Menggantungkan pada diri
sendiri/usaha sendiri 8a,9b,11a, 13a,15a,16b, 18b,21b,25b, 28a 8b,9a,11b, 13b,15b, 16a,18a, 21a,25a, 28b 4. Protection-dependency (perlindungan-ketergantungan)
• Menghindari frustasi dengan mencari perlindungan dan keamanan
• Menggantungkan diri pada
orang lain 1a,2b,6b, 7b,19a, 29b 1b,2a,6a, 7a,19b, 29a
5.Love and affection (cinta dan kasih sayang)
• Kebutuhan untuk dicintai • Kehangatan, perhatian, cinta
dan kasih sayang 20b,26a 20a,26b
6.Physical comfort