• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1 kanker

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH FARMAKOTERAPI 1 kanker"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH FARMAKOTERAPI 1 MAKALAH FARMAKOTERAPI 1

STUDI KASUS KANKER STUDI KASUS KANKER “

“ACUTACUTE LYMPHOCE LYMPHOCYTIC LEUKEMIYTIC LEUKEMI AA””

Oleh : Oleh :

Made

Made Gede Gede Praditya Praditya Putra Putra 09085050290908505029 Nyoman

Nyoman Adi Adi Budiman Budiman 09085050430908505043 Desak

Desak Gede Gede Pradnyaniti Pradnyaniti 09085050660908505066 Ni

Ni Made Made Asih Asih Wiradewi Wiradewi 09085050680908505068

JURUSAN FARMASI JURUSAN FARMASI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS UDAYANA UNIVERSITAS UDAYANA

2012 2012

(2)
(3)

BAB I BAB I

PENDAHULUAN PENDAHULUAN

1.1

1.1 Latar BelakangLatar Belakang

Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, Kanker adalah suatu penyakit yang ditandai dengan pertumbuhan sel yang tidak terkontrol, invasi jaringan lokal, dan metastase yang panjang. Di negara yang telah maju yang telah berhasil invasi jaringan lokal, dan metastase yang panjang. Di negara yang telah maju yang telah berhasil membasmi penyakit infeksi, kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit membasmi penyakit infeksi, kanker merupakan penyebab kematian kedua setelah penyakit kardiovaskular. Di Amerika, kanker merupakan penyebab utama kematian pada wanita antara kardiovaskular. Di Amerika, kanker merupakan penyebab utama kematian pada wanita antara 30-54 tahun dan anak-anak antara 3-14 tahun. Dengan metode pengobatan saat ini, 1/3 jumlah 30-54 tahun dan anak-anak antara 3-14 tahun. Dengan metode pengobatan saat ini, 1/3 jumlah  pasien

 pasien tertolong melalui tertolong melalui pembedahan pembedahan dan dan terapi terapi radiasi. Kesembuhan radiasi. Kesembuhan hampir hampir seluruhnya terjadiseluruhnya terjadi  pada

 pada pasien pasien yang yang penyakitnya penyakitnya belum belum menyebar menyebar pada pada saat saat pembedahan. pembedahan. Diagnosis Diagnosis lebih lebih dinidini makin meningkatkan penyembuhan ((Dipiro

makin meningkatkan penyembuhan ((Dipiro et al,et al, 2008; Gunawan, 2011)2008; Gunawan, 2011)

Salah satu jenis kanker adalah kanker darah atau yang sering disebut dengan leukemia. Salah satu jenis kanker adalah kanker darah atau yang sering disebut dengan leukemia. Leukemia adalah keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi tidak teratur Leukemia adalah keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi tidak teratur dari pembentukan sel darah di sumsum tulang. Leukimia yang paling banyak terjadi pada dari pembentukan sel darah di sumsum tulang. Leukimia yang paling banyak terjadi pada anak-anak adalah

anak adalah Acute  Acute Lymphocytic Lymphocytic LeukemiaLeukemia (Dipiro (Dipiro et al,et al, 2008; Mary, 2005).2008; Mary, 2005). Acute  Acute LymphocyticLymphocytic  Leukemia

 Leukemia (ALL) merupakan salah satu penyakit keganasan sel darah putih yang ditandai dengan (ALL) merupakan salah satu penyakit keganasan sel darah putih yang ditandai dengan  banyaknya

 banyaknya jumlah jumlah limfoblas limfoblas atau atau sel sel limfosit limfosit yang yang masih masih muda. muda. Limfoblas Limfoblas diproduksi diproduksi didi sumsum tulang belakang dan pada ALL limfoblas berproliferasi dan akhirnya menyebar ke sumsum tulang belakang dan pada ALL limfoblas berproliferasi dan akhirnya menyebar ke  berbagai

 berbagai organ organ di di dalam dalam tubuh. tubuh. Limfoblas Limfoblas tidak tidak berfungsi berfungsi untuk untuk melawan melawan infeksi infeksi sebelumsebelum menjadi limfosit yang dewasa, oleh karena itu seseorang yang terkena ALL akan mudah terkena menjadi limfosit yang dewasa, oleh karena itu seseorang yang terkena ALL akan mudah terkena  berbagai

 berbagai infeksi infeksi dan dan demam demam karena karena limfoblas limfoblas tidak tidak berdiferensiasi berdiferensiasi menjadi menjadi limfosit limfosit yangyang mempunyai fungsi untuk melawan infeksi (Fauci

mempunyai fungsi untuk melawan infeksi (Fauci et al.et al., 2008), 2008)

Pengobatan ALL sama dengan jenis kanker lain yaitu menggunakan antikanker. Terapi Pengobatan ALL sama dengan jenis kanker lain yaitu menggunakan antikanker. Terapi yang digunakan dalam kanker yaitu kemoterapi dengan sinar dan penggunaan obat sitostatika. yang digunakan dalam kanker yaitu kemoterapi dengan sinar dan penggunaan obat sitostatika. Terapi utama pada ALL adalah kemoterapi, Terapi lain seperti pembedahan dan terapi radiasi Terapi utama pada ALL adalah kemoterapi, Terapi lain seperti pembedahan dan terapi radiasi dapat digunakan pada keadaan tertentu (

dapat digunakan pada keadaan tertentu ( American Cancer Society American Cancer Society, 2012). Antikanker merupakan, 2012). Antikanker merupakan obat yang indeks terapinya sempit, dapat menyebabkan efek toksik berat yang mungkin dapat obat yang indeks terapinya sempit, dapat menyebabkan efek toksik berat yang mungkin dapat menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Antikanker memiliki banyak menyebabkan kematian secara langsung maupun tidak langsung. Antikanker memiliki banyak

(4)

efek samping, seperti mual, muntah, rambut rontok , imunosupresi, nefrotoksik, bahkan dapat efek samping, seperti mual, muntah, rambut rontok , imunosupresi, nefrotoksik, bahkan dapat mengakibatkan kanker pada waktu jangka panjang. Umumnya pengobatan kanker memerlukan mengakibatkan kanker pada waktu jangka panjang. Umumnya pengobatan kanker memerlukan lebih dari satu obat atau kombinasi obat yang cukup banyak (Tjay dan Rahardja, 2007; lebih dari satu obat atau kombinasi obat yang cukup banyak (Tjay dan Rahardja, 2007; Gunawan, 2011). Obat sitostatika merupakan yang digunakan dalam kemoterapi dimana Gunawan, 2011). Obat sitostatika merupakan yang digunakan dalam kemoterapi dimana merupakan terapi sistematik untuk menghambat pertumbuhan kanker atau untuk membunuh merupakan terapi sistematik untuk menghambat pertumbuhan kanker atau untuk membunuh sel-sel kanker (Perwitasari, 2006).

sel kanker (Perwitasari, 2006).

Banyaknya obat yang diberikan dan efek sampingnya terhadap pasien, sehingga perlu Banyaknya obat yang diberikan dan efek sampingnya terhadap pasien, sehingga perlu ditelusuri fungsi dari setiap obat dalam terapi dan interaksi yang mungkin terjadi. Maka penulis ditelusuri fungsi dari setiap obat dalam terapi dan interaksi yang mungkin terjadi. Maka penulis  pada

 pada makalah makalah ini ini akan akan mencoba mencoba membahas membahas kasus kasus tentang tentang seorang seorang pasien pasien yang yang mendapatkanmendapatkan terapi untuk pengobatan

terapi untuk pengobatan acute lymphocytic leukemia,acute lymphocytic leukemia, sehingga nantinya dapat dipahami dengansehingga nantinya dapat dipahami dengan  baik farmakoterapi pada penyakit ALL.

 baik farmakoterapi pada penyakit ALL.

1.2

1.2 Rumusan MasalahRumusan Masalah

1.2.1

1.2.1 Mengapa pasien mengalami mual muntah selama terapi dan apakah perlu terapiMengapa pasien mengalami mual muntah selama terapi dan apakah perlu terapi tambahan untuk kondisi tersebut?

tambahan untuk kondisi tersebut? 1.2.2

1.2.2 Apa fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan KIE apa yangApa fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan KIE apa yang diberikan?

diberikan? 1.2.3

1.2.3 Apa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexateApa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexate intrathecal secara bersama?

intrathecal secara bersama? 1.2.4

1.2.4 Apa tujuan terapi dan hasil yang diharapkan kepada pasien setelah terapi?Apa tujuan terapi dan hasil yang diharapkan kepada pasien setelah terapi?

1.3

1.3 TujuanTujuan

1.3.1

1.3.1 Dapat mengetahui penyebab pasien mengalami mual muntah dan diperlukan terapiDapat mengetahui penyebab pasien mengalami mual muntah dan diperlukan terapi atau tidak untuk menangani kondisi tersebut.

atau tidak untuk menangani kondisi tersebut. 1.3.2

1.3.2 Mengetahui fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan dapatMengetahui fungsi dari masing-masing obat yang diterima oleh pasien dan dapat memberikan KIE untuk meningkatkan efektifitas obat.

memberikan KIE untuk meningkatkan efektifitas obat. 1.3.3

1.3.3 Mengetahui hubungan pemberian vincristine dan methorexate intrathecal secaraMengetahui hubungan pemberian vincristine dan methorexate intrathecal secara  bersamaan.

 bersamaan. 1.3.4

1.3.4 Dapat mengetahui tujuan dari terapi yang diberikan dan hasil yang diharapkan dariDapat mengetahui tujuan dari terapi yang diberikan dan hasil yang diharapkan dari  pengobatan yang diperoleh pasien.

(5)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KANKER

Kanker adalah salah satu jenis penyakit degeneratif yang disebabkan adanya  pertumbuhan yang tidak normal dari sel-sel jaringan tubuh yang berubah menjadi sel kanker, selanjutnya sel kanker ini dapat menyebar ke bagian tubuh lainnya sehingga bisa menyebabkan kematian (Irawan, 2001).

Salah satu sifat terpenting kanker adalah kemampuan untuk tumbuh infiltratif ke dalam  jaringan sekitarnya. Karena kemampuan ini, sel-sel kanker dapat menembus atau ke dalam

saluran limfe atau ke dalam saluran darah dan dibawa ke organ-organ lain. Pertumbuhan dalam kelenjar limfe dan organ-organ yang berjarak dinamakan pembentukan metastasis. Kemampuan  pertumbuhan infiltratif dapat juga menyebabkan pertumbuhan ke dalam organ yang ada di dekatnya atau ke dalam rongga tubuh dan di dalam bagian tubuh itu dapat juga timbul metastasis. Pembentukan metastasis klinis merupakan sifat terpenting dari pertumbuhan kanker karena metastasis ini biasanya tidak dapat ditangani dan menentukan prognosis (Wagener et al., 1996).

2.2 LEUKEMIA 2.2.1 Definisi

Leukemia adalah keganasan hematologi heterogen yang ditandai dengan proliferasi tidak teratur dari pembentukan sel darah di sumsum tulang. Sel-sel leukemia yang belum dewasa (blast) ini secara fisik “berkumpul” atau menghambat pematangan sel normal di sumsum tulang yang mengakibatkan anemia, neutropenia, dan trombositopenia. Kurangnya sel darah putih matur ini meningkatkan resiko infeksi, trombisitopenia meningkatkan resiko perdarahan dan anemia juga merupakan ciri leukemia. Blast leukemia juga dapat menyusupi berbagai jaringan seperti kelenjar getah bening, kulit, hati, limpa, ginjal, testis, dan sistem saraf pusat. Berdasarkan  jenis sel dan perjalanan penyakitnya, leukemia dibedakan menjadi leukemia limfoblastik (atau

limfositik) akut (LLA), leukemia myeloid akut (LMA), leukemia limfositik kronis dan leukemia myeloid kronis. Secara umum, ada 2 jenis leukemia yaitu leukemia kronis dan leukemia (Brooker, 2005; Dipiro et al , 2008).

(6)

2.2.2 Etiologi

Etiologi leukimia sampai sekarang belum dapat dijelaskan secara keseluruhan. Banyak  para ahli menduga bahwa faktor infeksi sangat berperan dalam etiologi leukimia. Infeksi terjadi oleh suatu bahan yang menyebabkan reaksi seperti infeksi oleh suatu virus. Mereka membuat suatu postulat bahwa kelainan pada leukimia bukan merupakan penyakit primer akan tetapi merupakan suatu bagian dari respon pertahanan sekunder dari tubuh terhadap infeksi tersebut. Respon defensif tubuh berbeda pada berbagai tingkat usia oleh karena itu maka kita lihat bahwa leukimia limfoblastik akut terdapat banyak pada anak-anak, leukimia mieoblastik akut pada usia dewasa muda, leukimia granulositik kronik pada dewasa muda dan orang tua dan leukimia limfositik kronik dapat dijumpai pada semua umur (Supandiman, 1997).

Terjadi peningkatan insiden leukimia pada orang-orang yang terkena radiasi sinar rontgen (terkena radiasi ledakan bom, mendapat terapi radiologis dan para dokter ahli radiologis). Diduga  peningkatan insiden ini karena akibat radiasi terhadap bahan penyebab leukimia tersebut. Selain faktor diatas ada beberapa faktor yang menjadi penyebab leukimia akut yaitu faktor genetika, lingkungan dan sosial ekonomi, racun, status imunologi, serta kemungkinan paparan virus (Supandiman, 1997).

Obat yang dapat memicu terjadinya leukimia akut salah satunya yaitu agen pengalkilasi. Kondisi genetik yang memicu leukimia akut yaitu down sindrom  dan bloom sydrom. Bahan kimia pemicu leukimia yaitu benzen sedangkan kebiasaan hidup yang memicu leukimia yaitu merokok dan minum alkohol (Dipiro, et al , 2005).

2.2.3 Patofisiologi

Leukimia dapat berkembang pada setiap tahap pembentukan sel. Sel induk majemuk dapat  berpotensi untuk mengalami diferensiasi, poliferasi dan maturasi untuk membentuk sel-sel darah matang. Sel induk myeloid menimbulkan enam jenis sel darah (eritrosit, trombosit, monosit,  basofil, neutrofil, eusinofil). Sedangkan sel induk limfoid dibedakan untuk membentuk sirkulasi limfosit T dan B. Dua hal yang umumnya terjadi pada acute lymphocytic  atau  lymphoblastic leukemia (ALL) dan acute myeloid leukemia (AML). Pertama, keduanya muncul dari sebuah sel leukimia tunggal yang mengembang dan memperoleh mutasi tambahan, yang berpuncak pada  populasi sel leukimia monoklonal. Kedua, adanya kegagalan untuk menjaga keseimbangan relatif antara proliferasi dan diferensiasi, sehingga sel-sel tidak bisa membedakan melewati tahap

(7)

tertentu sel yang hematopoiesis sehingga Sel (lymphoblast   atau myeloblast ) kemudian  berkembang tak terkendali (Dipiro, et al , 2005).

2.2.4 Gejala Dan Persentasi Klinik

untuk dapat mendiagnosis leukimia diperlukan presentasi klinis, tes laboratorium dan evaluasi patologi. Tes yang paling penting adalah biopsi sumsum tulang yang disampaikan kepada hematopathology  untuk berbagai evaluasi. Pewarnaan cytochemical sangat membantu untuk menentukan apakah leukimia akut adalah keturunan myeloid atau limfoid.

Umum:

Biasanya terjadi 1-3 bulan dengan gejala yang tidak jelas seperti kelelahan, kurangnya toleransi latihan, nyeri dada dan perasaan yang tidak enak.

Gejala:

Penurunan berat badan, malaise, kelelahan, dan dyspnea saat beraktivitas. Gajala lain yang dapat muncul yaitu demam, menggigil, memar (perdarahan vagina yang berlebihan, epistaksis, ekimosis dan petechiae), nyeri tulang, kejang, sakit kepala, dan diplopia.

Pemerikasaan Laboratorium :

Dengan memeriksa sel darah merah, biasanya terjadi anemia normokromik dan normositik (tanpa peningkatan kompensasi dalam retikulosit). Trombositopenia (berat, kurang dari 50.000/mm3  trombosit) sekitar 50% kasus. Leukopenia/leukositosis kira-kira 20% dari pasien dengan jumlah sel darah putih yang tinggi. Asam urat dari pasien meningkat pada 50%. Peningkatan elektrolit seperti kalium dan fosfat. Koagulasi, dimana waktu prothrombin dan waktu tromboplastin meningkat.

Diagnostik Tes lainnya :

Biopsi sumsum tulang untuk pemeriksaan morfologi dan pewarnaan cytochemical, imunofenotipe, dan sitogenita analisis.

(Dipiro et al., 2005)

2.2.5 Klasifikasi Leukimia

Secara umum leukemia dibagi menjadi dua, yaitu leukemia akut dan kronis. Penggolongan utama dibagi menjadi empat tipe yaitu leukimia akut dan kronik, yang lebih lanjut lagi dibagi menjadi limfoid atau mieloid. Leukimia akut biasanya bersifat agresif dengan

(8)

transformasi ganas yang menyebabkan terjadinya akumulasi progenitor hemopoietik sumsung tulang dini, disebut sel blast. Gambaran klinis dominan penyakit ini biasanya adalah kegagalan sumsum tulang disebabkan akumulasi sel blast walaupun juga terjadi infiltrasi jaringan (Hoffbrand et al ., 2005).

2.2.5.1 Leukimia Akut

Leukimia akut didefinisikan sebagai adanya lebih dari 30% sel blast dalam sumsum tulang pada saat manifestasi klinis. Leukimia akut dibagi menjadi Akut Mieloid Leukimia (AML) dan Akut Leukimia Limfoblastik  (ALL). Berdasarkan sel blastnya dibagi sebagai mieloblas atau limfoblas (Hoffbrand et al ., 2005).

a.  Akut Limfoblastik Leukemia (ALL)

Penyakit ini disebabkan oleh akumulasi limfoblas dan merupakan penyakit keganasan masa anak yang paling banyak ditemukan. Leukemia limfoblastik akut paling lazim dijumpai  pada anak-anak dengan insidensi tertinggi terdapat pada usia 3-7 tahun, dan menurun pada

usia 10 tahun (Hoffbrand, 2005). LLA merupakan jenis leukemia dengan karakteristik adanya proliferasi dan akumulasi sel-sel patologis dari sistem limfopoetik yang mengakibatkan organomegali (pembesaran alat-alat dalam) dan kegagalan organ. Berdasarkan morfologinya, leukemia limfoblastik akut dibedakan menjadi:

1. Tipe L1, memperlihatkan adanya sel blas kecil yang seragam dengan sitoplasma yang

sedikit.

2. Tipe L2, memperlihatkan sel blas yang berukuran lebih besar dengan anak inti dan

sitoplasma yang lebih jelas dan lebih heterogen.

3. Tipe L3, memperlihatkan sel blas yang besar dengan anak inti yang jelas, sitoplasma yang

sangat basofilik, dan vakuol sitoplasma.

(Hoffbrand et al ., 2005)  b.  Akut Mieloblastik Leukemia (AML)

Leukemia mieloblastik akut merupakan leukemia yang mengenai sel stem hematopoetik yang akan berdiferensiasi ke semua sel mieloid. Leukemia mieloblastik akut lebih sering ditemukan pada orang dewasa (85%) dibandingkan anak-anak (15%). Permulaannya mendadak dan progresif dalam masa 1 sampai 3 bulan dengan durasi gejala yang singkat (Hoffbrand et al ., 2005).

(9)

2.2.5.2 Leukemia Kronik

Leukemia kronik merupakan suatu penyakit yang ditandai proliferasi neoplastik dari salah satu sel yang berlangsung atau terjadi karena keganasan hematologi. Leukemia kronik dibagi menjadi kronik limfoblastik leukemia  (KLL) dan kronik mieloblastik leukemia  (KML) (Hoffbrand et al ., 2005).

a.  Kronik Limfoblastik Leukemia (KLL)

Leukemia limfoblastik kronik merupakan keganasan klonal limfosit B. Perjalanan  penyakit ini biasanya perlahan, dengan akumulasi progresif yang berjalan lambat. Leukemia

limfoblastik kronik cenderung dikenal sebagai kelainan ringan yang menyerang individu yang berusia 50 sampai 70 tahun (Hoffbrand et al ., 2005).

 b.  Leukemia mieloblastik kronik  (KML)

Leukemia mieloblastik kronik merupakan gangguan mieloproliferatif yang ditandai dengan produksi berlebihan sel mieloid (seri granulosit) yang relatif matang. Leukemia mieloblastik kronik mencakup 20% leukemia dan paling sering dijumpai pada orang dewasa usia pertengahan (40-50 tahun) (Hoffbrand et al ., 2005).

2.2.6 Tatalaksana Terapi 2.2.6.1 Terapi umum

ALL bukan merupakan sebuah  single disease, tapi merupakan suatu penyakit kompleks dimana pada subtype dari ALL akan memberikan respon berbeda dari tiap terapi yang dilakukan. Terapi pada ALL biasanya berlangsung selama 2 tahun dan berlangsung secara intens terutama  pada bulan pertama pada terapi. Terapi utama pada ALL adalah kemoterapi. Terapi lain seperti  pembedahan dan terapi radiasi dapat digunakan pada keadaan tertentu ( American Cancer

Society, 2012).

 Kemoterapi pada acute lymphocytic leukemia

Kemoterapi digunakan sebagai obat dalam terapi kanker. Obat yang digunakan diinjeksikan pada pembuluh darah, otot, dibawah kulit atau secara peroral. Obat terdistribusi  pada pembuluh darah hingga mencapai sel kanker diseluruh tubuh. Hal ini mengakibatkan kemoterapi sangat berguna pada kanker seperti leukemia yang menyebar pada tubuh. Kebanyakan kemoterapi tidak mencapai area disekitar otak dan  spinal cord   dengan baik, sehingga dibutuhkan injeksi kedalam cairan cerebrospinal untuk membunuh sel kanker.

(10)

Kemoterapi biasanya diberikan pada siklus tertentu dengan masing-masing periode terapi yang diselingi dengan periode istirahat. Karena kemoterapi memiliki efek samping yang cukup  potensial, kemoterapi kadangkala tidak direkomendasikan pada pasien yang memiliki tingkat

kesehatan yang rendah ( American Cancer Society, 2012).

Kemoterapi untuk akut limphositic leukemia menggunakan kombinasi dari obat anti kanker. Obat tersebut diberikan pada 3 fase. Obat-obat yang biasa digunakan antara lain: vincristine, daunorubicin atau doxorubicin, cytarabine, L-asparaginase atau PEG-L-asparaginase, etoposide, teniposide, 6-mercaptopurine, methotrexate, cyclophosphamide, prednisone, dexamethasone, liposomal vincristine ( American Cancer Society, 2012).

 Pembedahan untuk acute lymphocytic leukemia 

Pembedahan merupakan hal yang jarang dilakukan pada terapi ALL. Karena sel leukemia tersebar meluas pada sumsum tulang belakang dan organ lain yang dilewati oleh darah. Hal ini mengakibatkan tidak memungkinkan mengobati ALL melalui pembedahan saja ( American Cancer Society, 2012).

 Terapi radiasi untuk acute lymphocytic leukemia

Terapi radiasi biasanya menggunakan radiasi energi tinggi untuk membunuh sel kanker. Terapi ini bukan merupakan terapi utama pada pasien dengan ALL, tetapi digunakan pada  beberapa situasi seperti:

- Radiasi digunakan untuk mengobati leukemia yang telah menyebar pada otak dan cairan  pinal

- Radiasi pada seluruh tubuh merupakan terapi yang cukup penting sebelum dilakukan transplantasi sumsum tulang belakang.

- Radiasi bias digunakan untuk meredakan nyeri pada area tulang yang dinvasi oleh sel leukemia, apabila kemoterapi tidak membantu.

( American Cancer Society, 2012)

Tujuan utama dari terapi pada leukemia akut yaitu untuk mempercepat perbaikan klinis dan hematologic. CR didefinisikan sebagai hilangnya tanda fisik dan sumsum tulang belakang (normal sel dengan <5% blasts) dari leukemia, dengan restorasi normal hematopoesin (neutrofil ≥ 1.500 sel/mm3 dan platelet > 100.000 sel/mm3). Setelah CR tercapai, tujuan terapi berikutnya yaitu mempertahankan nilai CR pasien secara kontinyu. Secara umum, seorang anak dapat

(11)

dikatakan sembuh apabila memiliki nilai CR yang kontinyu selama 5-10 tahun (Dipiro et al , 2008).

2.2.6.2 Terapi Farmakologi

Obat-obat yang banyak digunakan dalam pengobatan leukimia :

Obat Mekanisme Kerja Efek samping khusus

Antimetabolit - Metotreksat - 6-Merkaptopurint - 6-Thioguanint - Sitosin-arabinosida - Hidroksiurea Menghambat sintesis  purin atau pirimidin atau penggabungan ke dalam DNA

o Ulkus mulut, toksisitas usus

o ikterus

o Toksisitas usus

o CNS, terutama toksisitas

serebelum dan konjungtivis pada dosis tinggi

o Pigmentasi, distrofil kuku, ulserasi

kulit Agen Pengalkil - siklofosfamid - Klorambusik - Busulfan (Myleran) - Nitrosourea BCNU, CCNU

Ikatan silang DNA, mengganggu

 pembentukan RNA

Sistis hemoragik, kardio-miopati, rambut rontok

Aplasia sumsum, toksisitas hati, dermatitis

Aplasia sumsum, fibrosis paru, hiperpigmentasi

Toksisitas ginjal dan paru

Pengikat DNA - Antrasiklin, misal Daunorubisin Hidroksodaunorubisin (adriamisin) Mitoksantron

Berikatan dengan DNA dan mengganggu

mitosis

Memecah DNA

Toksisitas jantung, rambut rontok

(12)

Idarubisin Bleomisin Penghambat Mitosis - Vinkristin (Oncovin) - Vinblastin - Vindesin Kerusakan spindel, tidak ada metafase

 Neuropati (perifer atau kandung kemih atau usus), rambut rontok

Analog Purin

-Fludarabin

- 2-klorodeksiadenosin - Deoksikoformisin

Menghambat adenosin deaminase atau jalur  purin lain

Penekan imun (hitung CD4 rendah); anemia hemolitik autoimun;

toksisitas ginjal dan saraf (pada dosis tinggi) Lain-lain -Kortikosteroid - L-asparaginase - Epipodolifilotoksin (etoposid, VP-16) - α-interferon - Asam transretinoat Lisis limfoblas Membuat sel kekurangan asparagin Penghambatan mitosis

Aktivasi RNAase dan aktivitas pembunuh alami

Menginduksi diferensiasi

Ulkus peptik, obesitas, diabetes, osteoporosis, psikosis, hipertensi

Hipersensitivitas, kadar albumin dan faktor koagulasi rendah, pankreatitis Rambut rontok, ulkus mulut

Gejala mirip flu, trombositopenia, leukopenia, penurunan berat badan Disfungsi hati, hiperkeratosis kulit, leukositosis dan hiperviskositas, efusi  pleura atau perikardial

(13)

Pengobatan ALL dibagi menjadi pengobatan suportif dan spesifik. Pengobatan suportif  berdasarkan prinsip yang sama dengan ALL. Masalah yang unik pada AML mencakup sindrom  perdarahan yang dikaitkan dengan varian AML M3. Penyakit ini dapat bermanifestasi sebagai

 perdarahan yang sangat berat atau keadaan ini dapat timbul dalam beberapa hari pertama  pengobatan. Keadaan ini diobati dengan seperti pada pengobatan DIC dengan penggantian faktor  pembekuan menjadi FFP dan transfusi trombosit berulang. Selain itu terapi all-trans-retinoic acid (ATRA) diberikan bersama dengan kemoterapi. Sedangkan terapi spesifik AML biasanya dengan penggunaan kemoterapi yang intensif. Terapi ini biasanya diberikan dalam empat atu lima blok masing-masing sekitar 1 minggu dan obat-obatan yang paling umum digunakan antara lain sitosin arabinosida, daunorubicin, idarubicin, 6-thio-guanin, mitoksantron, atau etoposid (Hoffbrand et al ., 2005).

1. Pemasangan kateter vena sentral. Pemasangan kateter vena sentral (misal Hickman) bisa dilakukan melalui saluran kulit dari dada ke vena cava superior untuk memudahkan akses memberikan kemoterapi, produk darah, antibiotik, makanan intravena, dll, dan untuk  pengambilan darah bagi pemeriksaan laboratorium.

2. Pencegahan muntah. Obat yang digunakan untuk mengobati emesis yang diinduksi oleh obat adalah metoklopramid, fenotiazin (misalnya klorpromazin atau prokloperazin), antagonis reseptor 5-hidroksitriptamin tipe 3 (5-HT3) selektif (misalnya ondansetron, granisetron, atau tropisetron), steroid (misal dexametason), benzodiasepin (misal lorazepam) atau kanabinoid (misal nabilon).

3. Dukungan produk darah dengan transfusi eritrosit dan trombosit. Plasma beku segar ( fresh  frozen plasma, FFP) mungkin perlu diberikan untuk mengatasi koagulopati.

4. Alupurinol dan cairan intravena, kadang-kadang dengan alkalinisasi urin, untuk mencegah terjadinya sindrom lisis tumor.

5. Profilaksis dan pengobatan infeksi. Terjadinya infeksi sangat berbahaya dalam pengobatan leukimia akut.

(14)

Alur regimen pengobatan ALL yang lazim digunakan:

Induksi

Misalnya vinkristin, asparaginase, prednisolon (atau dexamethason) ± daunarubion

Konsolidasi

Misalnya daunorobicin, sitosin, arabinosida, vinkristin, etoposid, thioguanin atau merkaptopurin, siklofosfamid dalam satu sampai empat tahap

Profilaksis kranial

Misalnya radiasi kranial (1800-2400 rad) + metrotreksat intratekal atau metrotreksat sistemik dosis tinggi +metrotreksat (sitosin dan arabinosida) intratekal multiple atau metrotreksat intratekal multiple

Terapi rumatan

Misalnya merkaptopurin, metrotreksat, vinkristin, prednisolon (atau deksametason)

Intensifikasi lanjut

(seperti konsolidasi)

Terapi Rumatan

Seperti diatas (2-3 tahun)

(15)

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Kasus

Seorang pasien dengan diagnosis acute lyphocytic leukemia menerima terapi sebagai berikut : Hari pertama memperoleh :

 1 Unit filtered platelet  1 Unit PRBC

 Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari  Alopurinol 50 mg, p.o, tid

Hari kedua memperoleh :

 Vincristine 1 mg IV (pada hari ke 1, 8, 15, dan 22)

 Dexamethasone 2 mg p.o pagi, 1,5 mg p.o malam selama 28 hari  PEG Asparaginase 1500 units IM pada kemoterapi hari ke-3  Methotrexate intrathecal therapy 12 mg pada hari ke-1 dan 15

3.2 Pertanyaan

1. Pasien mengalami mual muntah selama terapi. Jelaskan penyebabnya? Perlukan terapi tambahan untuk kondisi ini?

2. Jelaskan fungsi dari masing-masing obat yang diterima pasien dan bagaimana KIE yang diberikan kepada pasien mengenai terapi yang diperoleh?

3. Jelaskan apa yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexat IT secara bersama?

4. Jelaskan tujuan terapi dan hasil/ capaian yang diharapkan kepada pasien?

3.3 Penyelesaian :

1. Pada kasus di atas pasien mengalami mual muntah selama terapi disebabkan oleh efek samping dari penggunaan kemoterapi kanker, seperti pada penggunaan Vincristine, PEG asparaginase dan Methotrexat yang memiliki potensi emetic (Andersons, 2002). Menurut Anderson et al,  vincristine dan methotrexate memiliki efek samping berupa potensi emetik lemah, pada penggunaan vincristine efek samping mual muntah yang dirasakan

(16)

 pasien didiagnosa karena teriritasinya mukosa usus sehingga akan merangsang saraf-saraf tertentu yang akan mengaktivasi vomiting center dan chemoreseptor trigger zone di otak. Sedangkan, efek samping dari kerja methotrexate adalah terbentuknya ulkus pada gangguan saluran cerna. Selain vincristine dan methotrexate, Asparginase juga merupakan agen neoplastic yang digunakan pada kasus ini yang memiliki Adverse Drug Reaction yang sering muncul yaitu mual dan muntah. Pasien tidak perlu diberikan terapi tambahan lagi karena dalam terapi yang diberikan tersebut sudah terdapat Dexamethasone per-oral yang berfungsi untuk mencegah mual dan muntah yang terjadi selama kemoterapi kanker (Sweetman, 2009).

2. Fungsi dari masing-masing obat yang diterima pasien: Hari pertama memperoleh :

 1 Unit filtered platelet

Berfungsi sebagai terapi untuk menambah jumlah platelet dalam tubuh pasien (Schull, 2009).

 1 Unit PRBC

Tujuan terapi PRBC pada LLA adalah untuk mencapai keadaan remisi yaitu keadaan darah perifer normal, selularitas sumsum tulang normoseluler, dan jumlah limfoblas kurang dari 5%. Untuk mencapai remisi sempurna kemoterapi harus bisa menurunkan  jumlah 99% total sel leukemik. Pemakaian beberapa obat selain dapat meningkatkan

durasi remisi, namun juga dapat menimbulkan banyak komplikasi karena mielosupresi. Mielosupresi pada LLA disebabkan oleh invasi sel ganas pada sumsum tulang maupun karena pemberian kemoterapi yang intensif. Hal ini akan menyebabkan kondisi anemia dan trombositopenia. Kehilangan darah akibat trombositopeni juga akan memperberat kondisi anemia dan tidak jarang berakhir pada kematian, sehingga terapi suportif dengan PRBC sangat diperlukan. Penggunaan terapi tersebut akan sangat bermakna menurunkan angka perdarahan (Nency, 2011).

 Dekstrosa 5% dalam NaCl 0,2% IV + 30 mEq NaHCO3/L pada 2000 mol/M2/hari

Berfungsi untuk menjaga sekaligus menjadi tambahan cairan tubuh. Penggunaan infuse dextrose ini sekaligus mendukung keberhasilan terapi menggunakan allopurinol, karena menurut (Sweetman,2009) terapi kanker dengan menggunakan allopurinol harus dibarengi dengan terapi cairan.

(17)

 Alopurinol 50 mg, p.o, tid

Berfungsi sebagai terapi Hyperuricaemia secondary pada tumor lisis (Sweetman, 2009), dimana dilaporkan ada obat-obat cytostatika yang menyebabkan penumpukan kristal urea pada sendi dan tulang. Dimana mekanisme kerja dari Allopurinol adalah Bekerja secara kompetitif menghambat xantin oksidase, yang akan berakibat  berkurangnya kadar asam urat di serum dan urin dengan cara menghalangi konversi

hipoksantin dan xantin ke asam urat dan penurunan sintesis urin. Hari kedua memperoleh :

 Vincristine 1 mg IV (pada hari ke 1, 8, 15, dan 22)

Berfungsi untuk menghindari pembelahan sel pada metafase, menghalangi  pembelahan inti dengan jalan mengganggu pembelahan kromosom, sehingga mencegah masuknya belahan kromosom itu ke dalam anak inti (Tjay dan Rahardja, 2007). Obat ini juga mampu membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang, mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat.

 Dexamethasone 2 mg p.o pagi, 1,5 mg p.o malam selama 28 hari

Berfungsi sebagai antiemetik pada pengobatan kemoterapi yang biasanya diberikan secara peroral atau intravena biasanya dikombinasikan dengan antiemetik lainnya. Dexamethasone dapat diberikan 10-20 mg segera sebelum terapi kemoterapi, hingga 40 mg yang diberikan setelah terapi kemoterapi untuk mengurangi resiko terjadinya mual dan muntah yang akan menghambat proses penyembuhan serta memberi  perasaan tidak nyaman pada pasien (Sweetman, 2009).

 PEG Asparaginase 1500 units IM pada kemoterapi hari ke-3

Enzim ini yang diperoleh dari pembiakan bakteri E.coli mengkatalisir perombakan hidrolisa levo-asparagin menjadi aspartat dan amoniak. Dengan demikian sel-sel tumor tidak mendapati lagi asam amino asparagin yang esensiil bagi sintesa  proteinnya dan terhenti perkembangannya (Tjay dan Rahardja, 2007). Juga untuk

menginduksi remisi pada kemoterapi kanker lymphoblastic leukemia akut (Sweetman, 2009). Obat ini juga mampu membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang.

(18)

 Methotrexate intrathecal therapy 12 mg pada hari ke-1 dan 15

Metotreksat merupakan derivat pteridin yang berfungsi menghambat reduksi dari asam folat menjadi tetrahybrofolic acid (THFA) yang penting sekali bagi sintesa DNA dan pembelahan sel (Tjay dan Rahardja, 2007). Digunakan untuk menginduksi remisi yang bekerja pada terapi pemeliharaan (Sweetman, 2009). Obat ini juga mampu mencegah invasi sel leukemia ke otak.

KIE yang perlu diberikan kepada pasien mengenai terapinya adalah sebagai berikut: a. Indikasi obat

 b. Regimen dosis

c. Berapa lama obat diberikan

d. Jelaskan pentingnya mematuhi terapi

e. Jelaskan efek samping yang berpotensi muncul dan upaya pencegahan atau manajemennya bila terjadi efek samping.

f. Jelaskan hal-hal yang perlu diperhatikan pada penggunaan obat tersebut. Contoh monitoring fungsi hati dan ginjal serta jantung

g. Menanyakan riwayat obat yang digunakan atau yang sedang digunakan untuk mencegah interaksi obat yang tidak dikehendaki

Contohnya pada penggunaan :

 Alopurinol

a) Hindari mengemudi atau aktivitas lain yang memerlukan kesiagaan mental atau yang  berpotensi membahayakan hingga respon terhadap obat diketahui.

 b) Batasi asupan makanan dengan kandungan purin tinggi (hati atau daging organ lain, salmon, dan sarden).

c) Minumlah banyak air (10-12 gelas perhari).

d) Tidak dianjurkan meminum vitamin C dalam jumlah banyak.

e) Hindari alkohol dan depresan saraf pusat lainnya seperti analgesik opiate dan sedative (contoh diazepam) ketika meminum alopurinol.

f) Jangan makan garam iron selama meminum alopurinol.

(19)

 Vinkristin

Obat antineoplastik berefek kuat, dan beberapa efek samping bisa muncul selama  penggunaannya. Pastikan pasien mengerti manfaat dan resiko dari obat sebelum memulai terapi. Obat ini dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, maka  pasien diharapkan melaporkan tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, radang tenggorokan dengan segera. Juga laporkan pendarahan tak normal, pemendekan nafas, atau rasa sakit atau panas saat berkemih. Hindari pemakaian produk mengandung aspirin, dan hindari alkohol. Mual, muntah dan kerontokan rambut kadang-kadang muncul selama pemakaian obat. Keparahan efek samping ini tergantung pada individu, dosis, dan obat lain yang mungkin diberikan bersamaan. Obat ini dapat menimbulkan infertilitas sementara atau terkadang permanen pada pria dan wanita (Anderson et al , 2002).

 Dexamethasone

Obat ini dapat diminum bersamaan dengan makanan, susu, atau antasida untuk mengurangi ketidaknyamanan pada perut. Minumlah dosis tunggal sehari atau dosis alternative pada pagi hari sebelum jam 09.00 pagi. Minumlah dosis ganda dengan jeda interval sepanjang hari. Laporkan apabila terjadi kenaikan berat badan yang tidak wajar, kelelahan otot, muntah darah, pembengkakan wajah, pembengkakan anggota tubuh  bagian bawah, radang tenggorokan berkepanjangan, demam, flu, infeksi, cedera serius, kelelahan, anoreksia, mual, muntah, diare, kehilangan berat badan, pusing, atau gula darah rendah. Konsultasikan dengan dokter selama periode peningkatan stress. Jika  pasien menderita diabetes, pasien mungkin memerlukan peningkatan dosis insulin atau hipoglikemik oral. Jangan menghentikan terapi tanpa persetujuan medis, beritahukan  petugas kesehatan bahwa anda mengonsumsi kortikosteroid. Hindari imunisasi dengan

vaksin hidup (Anderson et al , 2002).

 PEG asparaginase

Asparaginase sering menimbulkan reaksi alergi yang dapat mengancam jiwa. Obat ini  juga mempengaruhi kadar glukosa darah dan dapat memperparah diabetes mellitus.

Pasien diharapkan melaporkan jika terjadi nyeri abdominal (nyeri perut) sesegera mungkin karena hal ini dapat menjadi tanda terjadinya pancreatitis (Anderson et al , 2002).

(20)

 Methotrexate

Sama seperti vinkristin, Methotrexate adalah obat antineoplastik berefek kuat, dan  beberapa efek samping bisa muncul selama penggunaannya. Pastikan pasien mengerti

manfaat dan resiko dari obat sebelum memulai terapi. Obat ini dapat menurunkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi, maka pasien diharapkan melaporkan tanda-tanda infeksi seperti demam, menggigil, radang tenggorokan dengan segera. Juga laporkan pendarahan tak normal, pemendekan nafas, atau rasa sakit atau panas saat  berkemih. Hindari pemakaian produk mengandung aspirin, dan hindari alkohol. Mual, muntah dan kerontokan rambut kadang-kadang muncul selama pemakaian obat. Keparahan efek samping ini tergantung pada individu, dosis, dan obat lain yang mungkin diberikan bersamaan. Obat ini dapat menimbulkan infertilitas sementara atau terkadang  permanen pada pria dan wanita. Informasikan dengan segera pada dokter apabila muncul

gejala batuk kering, diare parah, atau luka (ulcer) pada mulut (Anderson et al , 2002).

3. Yang harus diamati sehubungan dengan pemberian vincristine dan methotrexat IT secara  bersama adalah dosis masing-masing obat, dimana Vincristin diberikan untuk pasien dengan leukemia limfoblastik akut sebagai terapi penunjang jika dikombinasikan dengan metotreksat. Obat ini bersifat iritatif sehingga harus dijaga tidak terjadi ekstravasasi. Dianjurkan obat ini diberikan dalam dosis tunggal perminggu (Ganiswarna, 1995). Dosis untuk anak dapat diberikan 1-2 mg/m2 dengan pengulangan seminggu sekali selama 3-6 minggu (McEvoy, 2002). Remisi dapat dipertahankan dengan pemberian metotreksat. Dosis harus ditetapkan secara individual karena batas keamanannya sempit. Jika timbul gejala neuropati perifer berupa kelemahan otot tungkai pengobatan harus dihentikan (Ganiswarna, 1995). Metotreksat pada leukemia limfoblastik akut pada anak diberikan dengan dosis 12 mg seminggu sekali selama 2 minggu, kemudian satu bulan sekali untuk terapi berikutnya. Metotreksat efektif untuk mempertahankan remisi, dan untuk terapi  pemeliharaan dengan menginduksi remisi, dapat dikombinasi dengan vincristin sulfat

(McEvoy, 2002). Pengobatan dengan metotreksat harus dihentikan bila stomatitis dan diare muncul karena anteritis hemoragik dan perforasi dapat terjadi. Obat boleh diberikan lagi setelah gejalanya hilang (Ganiswarna, 1995).

(21)

Selain itu juga perlu diperhatikan pemberian Vincristine intravena tidak boleh  bersamaan dengan sediaan yang diberikan secara intratekal dan tidak boleh bersamaan

dengan sediaan yang dimaksudkan untuk sistem saraf pusat (lacy et al , 2011). Vincristine  bekerja secara spesifik dengan tubulin, komponen protein mikrotubulus, spindle mitotic, dan memblok polimerisasinya. Akibatnya terjadi disolusi mikrotubulus, sehingga sel terhenti dalam metaphase. Sedangkan Metrotexate memiliki efek penghambatan terhadap sintesis RNA dan protein, metotreksat menghambat sel memasuki fase S, sehingga  bersifat swabatas (self limiting) terhadap efek sitotoksiknya (Sweetman, 2009).

4. Tujuan terapi dan capaian yang diharapkan kepada pasien:

Tujuan dan capaian yang diharapkan dari terapi LLA yang dilakukan tersebut adalah untuk mencapai keadaan remisi yaitu keadaan darah perifer normal, selularitas sumsum tulang normoseluler, dan jumlah limfoblas kurang dari 5%, mencegah terjadinya kekurangan cairan tubuh, mencegah Hyperuricaemia secondary pada tumor lisis, mampu membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang, mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat, serta mampu mencegah invasi sel leukemia ke otak (Sweetman, 2009) yang pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mampu menghasilkan pemulihan jangka panjang pada leukemia lymphositic akut.

(22)

BAB IV KESIMPULAN

Dari makalah dengan kasus acute lyphocytic leukemia (ALL) dapat disimpulkan bahwa :

1. Mual muntah selama terapi disebabkan karena pengaruh efek samping obat yang pasien terima selama menjalani terapi. Untuk penambahan terapi antiemetik, dirasa tidak perlu karena pada terapi yang diterima pasien telah diresepkan pula pemberian Dexamethasone. 2. Fungsi dari obat-obat yang digunakan dalam terapi adalah untuk mencapai keadaan remisi

yaitu keadaan darah perifer normal, selularitas sumsum tulang normoseluler, dan jumlah limfoblas kurang dari 5%, mencegah terjadinya kekurangan cairan tubuh, mencegah Hyperuricaemia secondary pada tumor lisis, mampu membunuh sebagian besar sel-sel leukemia di dalam darah dan sumsum tulang, mengeliminasi sel leukemia residual untuk mencegah relaps dan juga timbulnya sel yang resisten terhadap obat, serta mampu mencegah invasi sel leukemia ke otak.

3. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam pemberian kemoterapi kombinasi adalah adanya interaksi antara kedua obat dimana Vincristine intravena tidak boleh bersamaan dengan sediaan yang diberikan secara intratekal dan tidak boleh bersamaan dengan sediaan yang dimaksudkan untuk sistem saraf pusat.

4. Tujuan terapi dari pengobatan kanker tersebut adalah pada akhirnya dapat meningkatkan kualitas hidup pasien, dan mampu menghasilkan pemulihan jangka panjang pada leukemia lymphositic akut.

(23)

DAFTAR PUSTAKA

American Cancer Society. 2012. Leukimia  –   Acute Limphocytic (Adult).  Availableat: www.cancer.org. Cited on 2 November 2012.

Anderson, P.O., Knoben, J.E., dan William G. Troutman.  Handbook of Clinical Drug Data : Tenth Edition. America : McGraw-Hills.

Brooker, Chris. 2005. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Ehrenpreis, Seymour and E. D. Ehrenpreis . 2001. Clinical’s Handbook of Prescription Drugs.

USA: The McGraw-Hill Companies Inc.

Dipiro, Joseph T; Robert L. Talbert; Gary C. Yee; Gary R. Matzke; Barbara G. Wells; and L. Michael Posey. 2005. Pharmacotherapy a Pathophysiologic Approach Sixth Edition. New York: The McGraw Hill Companies.

Dipiro, J.T., R.L. Talbert, G.C. Yee, G.R. Matzke, B.G. Wells, L.M. Posey. 2008. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach 7th Edition. New York: Mc. Graw Hill. Ehrenpreis, Seymour dan E. D. Ehrenpreis. 2001. Clinician’s Handbook Of Prescription Drugs.

 New York : The McGraw-Hill Companies Inc.

Fauci, Anthony S. et al, 2008.  Harrison’s Principles of Internal Medicine.  New York: The McGraw-Hill Companies, Inc.

Ganiswarna, Sulistia G. 1995.  Farmakologi dan Terapi Edisi 4. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Gunawan, Sulistia Gan. 2011. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: UI Press.

Hoffbrand, A.V, J.E. Pettit, P.A.H. Moss. 2005.  Kapita Selekta Hematologi Edisi 4. Jakarta : EGC.

Irawan, A. 2009. Waspada Kanker dan Tumor . Bandung : Carya Remaja.

Lacy, Charles F., Amstrong, Lora L., Goldman, Morton P., Lance Leonard L., 2011.  Drug  Information Handbook 20th. Lexicomp’s: United States.

Mary, E Muscari. 2005. Panduan Belajar: Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.

McEvoy, Gerald K. 2002. AHFS Grud Information Book 3. American Society of Health-System Pharmacists.

(24)

Perwitasari, D. A. 2006.  Kajian Penggunaan Antiemetika pada Pasien Kanker dengan Terapi Sitostatika di Rumah Sakit di Yogyakarta. Majalah Farmasi Indonesia 17 (2), 91-97.

Schull, Patricia Dwyer. 2009. I.V. Drug Handbook . Mc Graw Hills : United States Supandirman, Iman. 1997. Hemtalogi Klinik Edisi Revisi. Bandung : PT. Alumni.

Sweetman, S.C. 2009.  Martindale Thirty Sixth Edition, The Complete Drug Reference. London : Pharmaceutical Press.

Tjay, T.H. dan K. Rahardja. 2007. Obat-obat Penting: Khasiat, Penggunaan, dan Efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media Komputindo.

(25)

LAMPIRAN STUDI KASUS OSTEOPOROSIS

KASUS 1 OSTEOPOROSIS

Seorang wanita 77 tahun. Terjatuh pada lantai licin dan diagnosa fraktura pinggul. Kondisi umum sehat dan tidak meminum obat sebelumnya. Tinggi 157 cm, berat 49 kg. Tinggal sendiri, tidak minum alkohol, merokok. Untuk nyeri fraktura diberikan parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan codein 4 x 30 mg. Keluhan : nyeri masih terasa.

PERTANYAAN:

1. Rekomendasi untuk nyeri yang masih dirasakan?

2. Jelaskan kontraindikasi dan peringatan untuk analgesik yang anda rekomendasikan!

3. Terapi adjuvan apa yang anda sarankan pada dokter untuk diberikan bersama analgesik tersebut

4. Parameter apa yang harus dimonitor?

5. Setelah operasi tulang pinggul, wanita ini ternyata didiagnosis osteoporosis, apa yang dimaksud osteoporosis?

6. Obat apa saja yang dapat menginduksi osteoporosis?

7. Jelaskan faktor risiko osteoporosis dan apa faktor risiko pasien ini? 8. Berikan saran anda untuk terapi nonfarmakologi!

9. Jelaskan pilihan terapi untuk osteoporosis

JAWABAN:

1. Pasien mendapat terapi parasetamol sehari 4 x 1000 mg dan codein 4 x 30 mg untuk nyeri fraktura yang dialami namun nyeri masih terasa. Untuk mengatasi nyeri yang masih terasa tersebut direkomendasikan dengan mengganti parasetamol dengan obat analgesik golongan NSAID yaitu ibuprofen dengan dosis 1,2 gr perhari atau 4 x 300 mg per hari (Martin, 2007).

2. Kontraindikasi dan perhatian untuk ibuprofen: NSAID harus digunakan dengan hati-hati  pada orang tua, pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap aspirin atau  NSAID lain-yang meliputi orang-orang yang terserang asma, angioedema, urtikaria atau rhinitis yang telah dipicu oleh aspirin atau NSAID lainnya), selama kehamilan dan

(26)

menyusui. Pada pasien dengan kerusakan ginjal, jantung, atau hati, pasien dengan gagal  jantung parah, dan pasien dengan ulkus peptikum sebelumnya (Martin, 2007).

3. Terapi adjuvant yang disarankan kepada dokter untuk diberikan bersama dengan ibuprofen adalah dengan pemberian golongan proton pump inhibitor  yaitu omeprazole 1 x 20 mg/hari untuk pencegahan ulkus sebagai efek samping dari penggunaan ibuprofen (NSAID) (Martin, 2007).

4. Monitoring terapi

a. Monitoring Subjektif

Apakah pasien masih sering mengalami nyeri pada pinggang atau tidak.  b. Monitoring Objektif

Pemeriksaan ulang massa tulang. c. Monitoring ESO (Efek Samping Obat)

Efek samping Ibuprofen : Gastric distress, kehilangan darah, diare, muntah,  pusing, ruam kulit dan kadang-kadang terjadi; ulserasi GI (Burns, 2008).

Efek samping Codein : insomnia (susah tidur), vertigo, sakit kepala, mual, muntah, sembelit dengan dosis berulang, sedasi, dan palpitasi. Tidak dianjurkan untuk pasien dengan hipersensitivitas dengan narkotika (Ehrenpreis, 2001).

5. Osteoporosis merupakan gangguan tulang yang ditandai dengan penurunan masa tulang dan kerusakan jaringan tulang sehingga dapat menyebabkan kerapuhan tulang dan meningkatkan risiko patah tulang ( Wells , et al , 2009)

6. Obat-obat yang dapat menginduksi terjadinya osteoporosis adalah pemberian kortikosteroid oral (prednisone dengan dosis lebih besar dari 7,5 mg/hari), pengganti hormone tiroid, beberapa obat antiepilepsi (seperti fenitoin, fenobarbital), dan  penggunaan heparin dalam jangka panjang (lebih besar dari 15.000 samapai 30.000 unit

setiap hari selama lebih dari 3 sampai 6 bulan) (Burns, 2008). 7. Faktor resiko dari osteoporosis meliputi:

a) Factor genetik termasuk etnis KauKasia atau Asia, riwayat keluarga osteoporosis atau  patah tulang, dan kerangka tubuh kecil (tinggi, kurus, indeks massa tubuh yang

rendah)

 b) Gaya hidup atau faktor makanan termasuk gaya hidup dengan dengan berolahraga minimal, merokok, konsumsi alkohol yang berlebihan, paparan sinar matahari sedikit,

(27)

asupan kalsium yang rendah, intoleransi laktosa, asupan kafein yang tinggi, asupan fosfor tinggi, asupan hewani yang tinggi, penurunan berat badan lebis besar daripada 10% setelah usia 50, dan anoreksia nervosa.

c) Factor ginekologi termasuk menarche akhir, operasi atau menepouse alami dini, oophorectomy tanpa terapi pengganti estrogen, nulliparity, dan amenore.

d) Penyakit kronis yang dapat meningkatkan risiko sindrom termasuk hipertiroidisme, cushing , kanker tulang, dan diabetes mellitus tipe I.

e) Obat-obat yang dapat meningkatkan risiko osteoporosis termasuk kortikosteroid, suplemen tiroid, terapi heparin pada dosis tinggi dalam jangka panjang, dan antikonvulsan.

(Burns, 2008) Faktor resiko osteoporosis dari pasien adalah pasien merokok, pasien telah berusia 77 tahun dimana telah memasuki masa  postmenepouse, pasien pernah terjatuh dan mengalami fraktur.

8. Terapi nonfarmakologi yang disarankan adalah pasien disarankan untuk berhenti merokok, karena merokok dapat menyebabkan kehilangan massa tulang dan meningkatkan terjadinya fraktur dengan berbagai mekanisme. Mengurangi konsumsi kopi atau tidak lebih dari 2 cangkir kopi. Diet yang seimbang dengan asupan kalsium dan vitamin D yang dapat diperoleh dari berbagai sumber makanan seperti susu rendah lemak, yogurt, es krim, keju, susu kedelai, tahu, bayam, tuna, dan lain-lain. Mengkonsumsi suplemen vitamin D dan kalsium untuk mencapai intake yang memadai. Mencegah resiko jatuh dapat dengan menggunakan peralatan bantu seperti tongkat untuk  berjalan (Burns, 2008).

9. Pilihan terapi untuk osteoporosis

Dalam pemilihan terapi untuk osteoporosis, pilihan pertama adalah dengan terapi  pencegahan secara nonfarmakologi yaitu dengan asupan nutrisi yang tepat (mineral dan

elektrolit, vitamin, protein dan karbohidrat, mengkonsumsi suplemen kalsium dan vitamin D untuk mencapai intake yang memadai, aktivitas fisik yang optimal (seperti aerobic, melatih keseimbangan, melatih otot), gaya hidup sehat dengan tidak merokok, meminimalkan alcohol, dan kafein, mencegah jatuh dan trauma.

(28)

1. Pengobatan tanpa pengukuran BMD (Bone Mineral Density) Pertimbangan terapi tanpa pengukuran BMD :

 Pria dan wanita dengan peningkatan risiko kerapuhan tulang

 Pria dan wanita yang menggunakan glukokortikoid dalam jangka waktu lama

Terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka pilihan terapi lainnya adalah teriparatide

2. Pengobatan dengan pengukuran BMD (Bone Mineral Density) Populasi yang perlu pengukuran BMD :

 Untuk wanita dengan usia ≥ 65 tahun.

 Untuk wanita usia 60-64 tahun postmenopause dengan peningkatan risiko

osteoporotis.

 Pria dengan 70 tahun atau yang risiko tinggi.

Dari hasil pengukuran BMD, jika T-score >-1, maka nilai BMD termasuk normal, tetapi tetap diperlukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin (Dipiro et.al , 2005).

Jika T-score -1 s/d -2,5, maka termasuk dalam osteopenia. Dapat dilakukan monitoring DXA setiap 1-5 tahun. Dan jika diperlukan pengobatan, maka  pilihan pengobatannya adalah Biphosponate, Raloxifene, Calcitonin

Jika T-score <-2,0 dilakukan pemeriksaan lanjut untuk osteoporosis sekunder, yaitu dengan pengukuran PTH, TSH, 25-OH vitamin D, CBC, panel kimia, tes kondisi spesifik. Kemudian dilakukan terapi berdasarkan penyebab, bila ada, yaitu dengan Biphosphonate, jika intoleransi dengan Biphosphonate maka  pilihan pengobatannya adalah Biphosphonate parenteral, Teriparatide, Raloxifene

dan Calcitonin.

Dari hasil pengukuran Osteoporosis dengan skor T < -2,5, terapi dapat dilakukan dengan Biphosphonate, jika intolerance dengan Biphosphonate pilihan terapi obat lainnya adalah Raloxifene, kalsitonin nasal, teriparatide, bifosfonat

(29)

 parenteral. Jika kerapuhan tetap berlanjut setelah pemakaian Biphosphonate, maka  pilihan terapi lainnya adalah teriparatide.

Berikut adalah algoritma terapi osteoporosis (Dipiro et al , 2005).

LANJUTAN KASUS 1 OSTEOPOROSIS

Untuk terapi osteoporosis diberikan : alendronate seminggu 1 x 70 mg, kalsium dan vitamin D, sehari 2 x 1 tablet.

PERTANYAAN:

1. Jelaskan mekanisme kerja alendronate! 2. Jelaskan efek samping alendronate!

3. Jelaskan interaksi alendronate dengan obat lainnya dan makanan! 4. Apa saran anda untuk aturan pakai obat2 tersebut?

5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?

6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!

(30)

JAWABAN:

1. Mekanisme Kerja Alendronate

Alendronate merupakan obat golongan  Bisphosphonates yang merupakan  first line therapy dalam mencegah patah tulang pinggul dan tulang belakang. Obat ini juga  paling sering diresepkan untuk terapi osteoporosis. Alendronate menurunkan resorpsi tulang dengan mengikat matriks tulang dan menghambat aktivitas osteoklas. Obat ini tetap dalam tulang dalam waktu lama dan dilepaskan sangat lambat. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan densitas mineral tulang, yang merupakan penanda  penting dari efek pengobatan. Penggunaan allendronate untuk osteoporosis juga terkait dengan manfaat yang ditemukan dalam percobaan, yang menunjukkan penurunan resiko fraktur yang lebih besar (Burns, 2008).

2. Efek Samping Alendronate

Efek samping yang di timbulkan oleh alendronat antara lain:

 Pada saluran pencernaan : nyeri perut, dispepsia, diare atau sembelit adalah efek samping yang paling sering. Kondisi esofagus yang parah seperti esofagitis, erosi, ulserasi, pernah dilaporkan. Ulser peptik juga telah dilaporkan.. Pasien harus disarankan untuk berhenti minum obat dan menghubungi dokter apabila tdan mencari  bantuan medis jika timbul gejala seperti disfagia, nyeri yang semakin memburuk, nyeri saat menelan. Oleh karena itu pasien dengan gangguan esophagus tidak disarankan untuk pemberian obat ini, dan juga untuk pasien yang mengalami gangguan pada saluran pencernaan atas.

 Pada mata, seperti pembengkakak konjungtiva, pembengkakan pada kelopak mata  pernah dilaporkan.

 Pada jantung, seperti aritmia, dan atrial fibrillation  pernah dilaporkan. Mekanisme aritmia yang terjadi belum jelas, kemungkinan karena ko nsentrasi kalsium serum.

 Pada hati, seperti hepatitis dan kerusakan hepatoselular dan peningkatan enzim hati.

 Pada ginjal, gagal ginjal akut pernah dilaporkan.

 Pada muscuskeletal, seperti gangguan sinovitis pernah dilaporkan

 Pada mental, terjadinya halusinasi pernah dilaporkan.

 Hipersensitivitas, dapat menimbulkan reaksi alergi tapi jarang, seperti angiodema, uritikaria, pruritis.(Sweetman, 2009)

(31)

3. Interaksi Alendronate dengan Obat Lain dan Makanan

Konsumsi alendronate bersamaan dengan adanya makanan dan suplemen kalsium akan menurunkan penyerapan dari alendronate (Burns, 2008). Selain itu dapat pula terjadi interaksi obat antara alendronate dengan beberapa obat lainnya, yaitu sebagai  berikut :

 Obat yang meningkatkan efek / toksisitas alendronate : ranitidine dan aspirin.

 Obat yang mengurangi efek / toksisitas alendronate: seiring suplemen kalsium, antasida.

Karena berbagai obat dapat menurunkan penyerapan alendronate, pasien harus menunggu setidaknya 30 menit setelah minum obat sebelum mengkonsumsi alendronate (Ehrenpreis, 2001).

4. Aturan Pakai obat dan Saran Terkait Pemberian Alendronat

Alindronate adalah aminobifosfat yang merupakan inhibitor poten resorpsi tulang dan diberikan dalam pengelolaan osteoporosis baik sebagai agen tunggal ataupun dengan vitamin D. alendronate digunakan untuk penyakit tulang paget. Selain itu obat ini juga digunakan untuk pengobatan metastatis tulang dan hiperkalsemia yang ganas. Alendronate diberikan oral sebagai garam natrium, tetapi dosis dinyatakan dalam asam alendronic, alendronate 1,3 mg setara dengan sekitar 1 mg asam alendronic. Dosis yang  biasa digunakan untuk pengobatan osteoporosisi pria dan wanita adalah 10 mg perhari. Pascamenopause wanita dapat diberikan 5 mg setiap hari untuk profilaksis atau 70 mg  perminggu dan 35 mg perminggu untuk profilaksis. Pria dengan osteoporosis dapat

diobati dengan 70 mg perminggu. Untuk pengobatan dan pencegahan osteoporosis yang diinduksi kortikosteroid diberikan dosis 5 mg perhari. Wanita menopause yang tidak mengambil HRT harus diberikan 10 mg perhari pada orang dewasa dengan tulang diseaseof paget dosis biasa adalah 40 mg setiap hari selama 6 bulan. Pengobatan dapat diulang jika diperlukan setelah selang waktu 6 bulan ( Sweetman,2009 ).

5. Saran apa yang berkaitan dengan pemberian alendronat?

Pasien harus diintruksikan meminum alendronate satu kali seminggu d engan dosis 70 mg, dengan segelas penuh air pada pagi hari dan dalam waktu 30 menit sesudahnya tidak

(32)

 boleh makan atau minum yang lain. Alendronat dapat mengiritasi lapisan saluran  pencernaan bagian atas, sehingga setelah meminumnya tidak boleh berbaring, minimal selama 30 menit sesudahnya untuk menghindari refluks aliran kembali ke dalam esophagus. Kalsium dan vitamin D dapat diminum dua kali sehari satu tablet, tidak diminum bersamaan dengan alendronat karena dapat menurunkan absorbsi alendronat ( Sweetman,2009 ).

6. Pasien meminta informasi mengenai teripatide dan meminta saran anda tentang kemungkinan pilihan tersebut. Berikan saran anda!

Teriparatide merupakan rekombinan hormon paratiroid manusia (1-34), adalah agen anabolik pertama yang disetujui oleh FDA untuk pengobatan osteoporosis. Obat ini umumnya digunakan untuk pasien dengan osteoporosis moderat hingga yang parah. Agen ini berbeda dari terapi antiresorptif, dalam hal ini merangsang aktivitas osteoblastik untuk membentuk tulang baru dengan pemberian sekali sehari. Teriparatide juga memiliki  banyak aksi yang mirip dengan endogen hormon paratiroid, dan infus kontinyu sebenarnya merangsang aktivitas osteoklastik dan meningkatkan resorpsi tulang. Dalam suatu studi, sifat pembentuk tulangnya meningkatkan kepadatan mineral tulang pada tulang belakang dan pinggul masing-masing sebesar 9% dan 3%. Setelah 21 bulan terapi,  peningkatan ini menyebabkan 65% dan 35% penurunan patah tulang belakang dan nonvertebral (Burns, 2008). Efek obat ini dalam meningkatkan  Bone Mass Density (BMD) ketika digunakan secara tunggal ditemukan lebih besar daripada bila digunakan dengan alendronate, atau penggunaan alendronate tunggal. Namun efikasi dalam  pencegahan patah tulang yang kurang, menyebabkan obat ini digunakan sebagai lini kedua untuk pasien yang tidak mampu atau kontraindikasi terhadap bisphosphonates seperti alendronate (Sweetman, 2009).

Dosis teriparatide adalah 20 mcg diberikan secara injeksi subkutan sekali sehari. Obat ini tersedia dalam multipledose-prefilled   dengan sistem pengiriman pena. Efek samping yang umum termasuk mual, sakit kepala, kram kaki, pusing, ketidaknyamanan  pada tempat injeksi, dan hiperkalsemia. Osteosarcoma telah diamati pada hewan uji, tetapi tidak ada kasus telah dilaporkan pada manusia. Namun, ini menimbulkan

(33)

kekhawatiran sehingga menyebabkan dimasukkannya peringatan black box  di label  produk. Selain itu terdapat peringatan bahwa teriparatide tidak boleh digunakan pada  pasien dengan peningkatan risiko untuk osteosarcoma, termasuk pasien dengan penyakit tulang paget, dimana dijelaskan peningkatan fosfatase alkali, radiasi sebelum terapi melibatkan kerangka, dan / atau anak-anak dan dewasa muda dengan epiphyses terbuka. Selain itu, teriparatide tidak boleh digunakan pada pasien yang sebelumnya sudah ada hiperkalsemia atau terapi radiasi tulang (Burns, 2008)

7. Saran untuk Penggunaan Teriparatide

Pada kasus ini penggunaan teriparatide sebaiknya tidak dilakukan. Hal ini dikarenakan melihat dari kondisi pasien yang tidak memiliki kontraindikasi terhadap  penggunaan alendronate, maka sebaiknya alendronate menjadi pilihan pertama untuk  pengobatan dalam kasus ini. Hal ini dikarenakan walaupun teriparatide memiliki kemampuan untuk meningkatkan  Bone Mass Density (BMD) yang lebih besar ketika digunakan secara tunggal dibandingkan penggunaan alendronate, namun efikasi dalam  pencegahan patah tulang dari teriparatide lebih rendah, sehingga obat ini umumnya digunakan sebagai lini kedua untuk pasien osteoporosis. Selain itu terdapat penelitian yang menunjukkan bahwa teriparatide meningkatkan resiko osteosarcoma yang telah diamati pada hewan uji, walaupun belum ada kasus yang telah dilaporkan pada manusia. Kekhawatiran pasien terhadap penggunaan obat ini juga terkait dengan biaya terapi yang  besar dan kebutuhan suntikan subkutan yang mempengaruhi kenyamanan pasien pada  penggunaan teriparatide (Burns, 2008).

Referensi

Dokumen terkait

Metode problem solving adalah suatu keadaan yang menghadapkan seseorang pada persoalan yang harus dipecahkan atau diselesaikan untuk mencapai

insulin yang diberikan pada penderita DM tipe II apabila: (a) terapi jenis lain tidak dapat mencapai target pengendalian kadar glukosa darah, (b) pasien dalam keadaan

Tujuan dari pelatihan Terapi Okupasi itu sendiri adalah untuk mengembalikan fungsi penderita semaksimal mungkin, dari kondisi abnormal ke normal yang dikerahkan

Diperlukan olah raga ringan (jogging) bagi penderita DM karena dengan jogging diharapkan dapat mengontrol kadar gula darah penderita DM dalam keadaan yang normal

diharapkan tidak terjadi penyebaran infeksi.. c) Keadaan luka baik dan kadar gula darah normal. Rasional : pengkajian yang tepat tentang tanda – tanda penyebaran infeksi

Motivasi konsumen adalah keadaan di dalam pribadi seseorang yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan guna mencapai suatu tujuan.. Tujuan motivasi konsumen

Walaupun sel darah merah yang terbentuk  jumlahnya dapat mencapai normal, atau bahkan lebih besar dari normal pada  penyakit-penyakit hemolitik, masa hidup sel

Didalam  proses  perencanaan  mempunyai  empat  tahapan  dalam  mencapai  suatu  tujuan  yaitu menetapkan  tujuan  atau  serangkaian  tujuan,  merumuskan  keadaan