• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anteseden dari Willingness To Pay Produk

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Anteseden dari Willingness To Pay Produk"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini, persaingan antar produk – produk makanan / minuman kemasan makin ketat. Hal ini dapat terjadi karena makin beragamnya jenis dan merek makanan / minuman kemasan yang dapat menjadi pilihan bagi para konsumen. Selama ini persaingan antar produsen menggunakan aspek kualitas sebagai salah satu faktor yang ditonjolkan untuk memenangkan persaingan (Steenkamp et al., 2010). Namun saat ini, ada beberapa faktor disamping kualitas yang dapat dijadikan faktor - faktor untuk bersaing (Gerzema and Lebar, 2008).

Beberapa peneliti berargumentasi bahwa ada faktor – faktor disamping kualitas produk yang juga berkontribusi terhadap keinginan orang untuk membeli makanan / minuman kemasan dengan harga premium (Anselmsson et al., 2014). Oleh karena itu pemasar produk makanan / minuman kemasan harga premium perlu mengetahui faktor tersebut mengingat banyaknya produk sejenis dengan harga yang lebih murah.

Industri makanan / minuman kemasan di Indonesia saat ini sudah berkembang pesat. Salah satu jenis makanan / minuman kemasan yang cukup berkembang adalah produk – produk susu dan yogurt di pasaran Indonesia. Kementerian Perindustrian telah menetapkan industri pengolahan susu sebagai salah satu industri yang akan terus diprioritaskan pengembangannya sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 Tentang Kebijakan Industri Nasional. Sehingga dengan dukungan ini, persaingan antar produsen susu dan yogurt juga semakin pesat di Indonesia.

(2)

mamalia. Susu binatang (biasanya sapi) juga diolah menjadi berbagai produk seperti mentega, yogurt, es krim, keju, susu kental manis, susu bubuk dan lain-lainnya untuk konsumsi manusia.

Dewasa ini, susu memiliki banyak fungsi dan manfaat. Untuk umur produktif, susu membantu pertumbuhan mereka. Sementara itu, untuk orang lanjut usia, susu membantu menopang tulang agar tidak keropos.

Dengan pengolahan dan manfaatnya . yogurt dan susu memiliki harga cukup tinggi. Saat ini salah satu produsen yogurt dan susu ternama di Indonesia adalah Cimory (Cisarua Mountain Dairy). Perusahaan ini memproduksi yogurt dan susu yang bersumber dari peternakan sapi miliknya.

Selain itu, Cimory juga membuka restoran khusus bagi para konsumen yaitu Cimory Resto. Restoran ini juga disertai toko produk – produk mereka dan juga tempat bermain bagi anak – anak. Restoran ini ada di beberapa lokasi yaitu 2 restoran di Puncak, Bogor dan 1 restoran di Semarang. Di area restoran tersebut juga terdapat peternakan sapi untuk memproduksi yogurt dan susu Cimory. Sapi yang digunakan oleh Cimory untuk di perah adalah sapi berjenis Fresian Hosteiner. Sapi tersebut berasal dari Belanda. Hasil perahan susu sapi dibeli oleh perusahaan dengan harga 10% diatas harga pasaran. Yogurt Cimory ini memiliki beberapa varian rasa seperti rasa buah mangga, berry, leci, anggur dan strawberry.

(3)

Berdasarkan penelitian Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014),terdapat beberapa faktor yang menjadi anteseden konsumen untuk rela membeli produk makanan / minuman kemasan dengan harga lebih tinggi yaitu Kualitas (Quality), Kesadaran (Awareness), Keunikan (Uniqueness), Pandangan Masyarakat (Social Image), dan Asal Produk (Origin).

Hasil penelitian ketiga peneliti tersebut menemukan bahwa semakin tinggi Kesadaran (Awareness) dan persepsi konsumen akan kualitas (Quality) terhadap produk makanan / minuman kemasan, maka mereka semakin bersedia membeli produk tersebut. Disamping itu, asal produk tersebut (Origin) juga mempengaruhi keinginan konsumen untuk membeli produk tersebut. Adapun, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa dengan mengkonsumsi merek tertentu maka citra diri seseorang akan meningkat di mata orang lain (Social Image). Serta keunikan (Uniqueness) produk tersebut dibandingkan dengan produk makanan / minuman kemasan sejenis, akan semakin membuat konsumen mau membelinya.

Berdasarkan deskripsi diatas, peneliti bermaksud menganalisa pengaruh Quality, Awareness, Uniqueness, Social Image dan Origin terhadap Willingness To Pay Price Premium produk susu dan yogurt dalam kemasan.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

Apakah terdapat pengaruh positif quality, awareness, origin, social image, dan

uniqueness terhadap willingness to pay price premium ? 1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :

(4)

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh quality terhadap willingness to pay price premium.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh uniqueness terhadap willingness to pay price premium.

4. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh social image terhadap willingness to pay price premium.

5. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh country of origin terhadap

willingness to pay price premium.

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dari penelitian yang dilakukan diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut :

a. Bagi pemasar hasil penelitian diharapkan dapat memberi masukan mengenai strategi pemasaran untuk produk minuman kemasan susu dan yogurt yang tepat. b. Bagi peneliti yang akan datang, hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk

penelitian mengenai makanan minuman kemasan susu dan yogurt berikutnya. 1.5 Sistematika Penulisan

Penelitian ini di bagi menjadi 5 bab sesuai dengan format tulisan yang berlaku di Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Adapun urutan lengkapnya adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHULUAN

Memuat latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Bab ini juga memuat sistematika pembahasan berupa uraian singkat mengenai bab – bab dalam laporan penelitian.

(5)

Berisikan tinjauan pustaka, termasuk hasil – hasil penelitian sebelumnya sebagai landasan menyusun pemikiran dan landasan hipotesis untuk menjawab masalah penelitian.

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

Dalam bab ini diuraikan tentang rancangan penelitian, variabel dan

pengukuran teknik pengumpulan data, uji instrumen penelitian serta metode analisis data yang digunakan dalam melakukan penelitian.

BAB IV : ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi uraian atas deskripsi data, analisis data, dan pembahasan hasil penelitian.

BAB V : SIMPULAN, IMPLIKASI MANAJERIAL, KETERBATASAN

PENELITIAN DAN SARAN UNTUK PENELITIAN SELANJUTNYA

(6)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1.1 Awareness

Menurut Aaker (1991), awareness (kesadaran merek), menunjukkan kesanggupan calon pembeli untuk mengenali atau mengingat kembali bahwa suatu merek merupakan bagian dari kategori produk tertentu. Awareness merupakan salah satu elemen yang ikut memberikan peran untuk menciptakan suatu nilai, yaitu dalam menimbulkan rasa terbiasa yang menjadikan keterikatan kesukaan yang kadang-kadang dapat menjadi suatu pendorong dalam membuat keputusan. Selain itu, kesadaran akan nama dapat menandakan keberadaan, komitmen, dan inti yang sangat penting bagi suatu perusahaan. Jika kualitas dua merek sama, awareness akan menjadi faktor yang menentukan dalam keputusan pembelian konsumen.

Awareness merupakan komponen penting dari ekuitas merek yang menjelaskan keberadaan merek didalam pikiran konsumen, yang dapat menjadi penentu dari beberapa kategori produk (Aaker, 1991; Keller, 1993 dalam Javiland, Samiei, Mahdavinia, 2011) kesadaran merek (awareness) dapat dibedakan menjadi dua jenis menurut Farris, et al

(2010), dalam Dhurup et al., 2014), yaitu :

1. Kesadaran dibantu, terjadi ketika konsumen disediakan beberapa daftar nama merek dan pada saat itu mereka mengakui adanya merek dari daftar tersebut. 2. Kesadaran atas pikiran, terjadi ketika nama merek secara otomatis teringat

(7)

Awareness terdiri atas hasil brand recognition dan brand recall. Brand recognition

adalah kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasi eksposur sebelumnya kepada brand ketika brand diberikan bantuan. Brand recall adalah kemampuan konsumen untuk mengingat brand dari memori ketika diberikan kategori produk (Kevin Lane Keller, 2008). Menurut Dolak, (2003) dalam Subhani dan Osman (2010), Brand awareness

terdiri dari :

1. Brand recognition, berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengkonfirmasikan sebuah merek, ketika diberi petunjuk atau tanda. Pada

recognition ini membuat konsumen agar dapat membedakan brand, karena sudah pernah mendengar atau melihat sebelumnya.

2. Brand recall performance, berhubungan dengan kemampuan konsumen untuk mengingat merek ketika diberi kategori produk, kebutuhan yang dipenuhi oleh kategori produk. Pada saat ini harus membuat konsumen mengingat merek dengan benar.

Ada empat level awareness menurut Shimp (2007), yaitu :

1. Unaware of Brand, Pada tingkatan ini seseorang tidak menyadari akan keberadaan suatu brand tertentu atau tidak mengenalnya.

2. Brand Recognition, Pada tingkatan ini, merupakan tingkatan paling rendah dari awareness seseorang, yaitu seseorang mengenali suatu brand. Pengukuran brand responden dimana kesadarannya diukur dengan diberikan bantuan berupa ciri-ciri suatu produk.

3. Brand Recall, Tahapan ini lebih tinggi dibandingkan pada tahap recognition, pada tahap ini seseorang diminta untuk menyebutkan nama-nama produk dalam suatu kategori produk tertentu dan orang tersebut dapat mengingatnya tanpa adanya bantuan.

(8)

merek tersebut menjadi pimpinan dalam benak konsumen tersebut dibandingkan nama merek-merek lain.

Peter dan Olson (2000: 190) menyatakan bahwa awareness adalah sebuah tujuan umum komunikasi untuk semua strategi promosi. Dengan menciptakan awareness, pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai alternatif dalam pengambilan keputusan. Peter dan Olson (2000: 190) menyatakan tingkat awareness dapat diukur dengan meminta konsumen menyebutkan nama brand yang mana yang dianggap akrab oleh konsumen. Apakah pengingatan ulang atau

awareness sudah mulai memadai tergantung pada di mana dan kapan suatu keputusan pembelian dilakukan. Strategi yang tepat tergantung pada seberapa terkenal brand tersebut. Kadang kala tujuan promosi adalah untuk memelihara tingkat awareness yang sudah tinggi.

Awareness dibentuk oleh beberapa faktor, misalnya dengan adanya iklan dan word of mouth (Hoyer & Brown, 1990). Brand awareness mempunyai pengaruh terhadap pilihan konsumen. Hal itu berpengaruh dalam keputusan konsumen untuk membeli suatu produk (Keller, 1993, 1998). Penelitian yang dilakukan oleh Hoyer & Brown (1990) menyebutkan bahwa awareness adalah taktik pilihan yang paling umum diantara konsumen yang belum berpengalaman dalam membuat keputusan untuk mengkonsumsi suatu produk. Konsumen yang sadar akan keberadaan suatu produk tertentu sebagai pilihannya mencoba untuk memilih merek yang terkenal meskipun pilihannya itu memiliki kualitas yang lebih rendah daripada merek lain yang juga belum diketahuinya.

(9)

didalam pikiran manusia (O’Guinn, Allen dan Semenik, 2009 dalam Dhurup, Mafini, dan Dumasi, 2014). Pengertian diatas memungkinkan konsumen akan dengan mudah mengakui keberadaan sebuah produk yang ada (Mowen dan Minor, 2001 dalam Dhurup

et al., 2014).

Pemasar dapat meningkatkan kesadaran merek konsumen terhadap suatu produk melalui pengulangan iklan dan publisitas serta Awareness memiliki faktor – faktor penting yaitu (Stryfom et al., 1995) :

1. Brand name (nama merek), merupakan pilihan yang sangat penting karena pada waktu – waktu tertentu digunakan untuk memahami tema utama atau kunci dari asosiasi produk dari merek. Nama – nama merek ini menjadi sebuah kesuksesan komunikasi untuk produk merek tersebut. Dalam penamaan merek di dalam sebuah produk haruslah unik, dapat dibedakan dari nama merek lain, mudah diingat dan menarik bagi pelanggan.

2. Logo dan simbol, menjadi sebuah sejarah panjang yang menunjukan identifikasi merek perusaahaan. Logo dan simbol merupakan cara mudah untuk mengenali sebuah produk dari produk lainnya.

3. Perhatian, menjadi suatu peran yang digunakan dalam membantu konsumen untuk mengambil keputusan, bila produk yang tidak menarik perhatian atau sedikit menarik perhatian konsumen maka produk tersebut tidak akan dipilih oleh konsumen. Jadi semakin banyak produk menarik perhatian konsumen maka semakin besar kemungkinan akan dipilih..

4. Recoginition (pengakuan), sebagai sesuatu yang memungkinkan konsumen untuk dengan cepat mengenali salah satu produk yang akrab atau yang disukai oleh konsumen.

(10)

keputusan konsumen untuk membeli atau tidak membeli produk merek tersebut.

Manfaat maksimal dari kesadaran merek (awareness) adalah dominasi merek (brand domination), yang terjadi ketika didalam brand recall kebanyakan konsumen hanya mengingat satu merek saja. Pada saat terjadi brand domination, maka telah terjadi kesadaran utama pada konsumen terhadap sebuah merek (Akker, 1996).

2.1.2 Quality

Menurut Aaker (1997), quality merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dengan maksud yang diharapkannya. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas merek. Penting untuk dicatat bahwa kualitas produk adalah sumber daya perusahaan yang penting untuk mencapai keunggulan bersaing (Aaker 1989).

Quality didefinisikan oleh Zeithaml (1988) sebagai penilaian (persepsi) konsumen terhadap keunggulan suatu produk secara keseluruhan. Dibandingkan dengan penggantinya. Dari definisi ini pula maka diketahui bahwa quality adalah kemampuan produk untuk dapat diterima dalam memberikan kepuasan apabila dibandingkan secara relatif dengan alternatif yang tersedia.

Quality yang tinggi menunjukkan bahwa konsumen telah menemukan perbedaan dan kelebihan produk tersebut dengan produk sejenis setelah melalui jangka waktu yang lama. Zeithaml menyatakan bahwa quality adalah komponen dari nilai merek oleh karena itu quality yang tinggi akan mendorong konsumen untuk lebih memilih merek tersebut dibandingkan merek pesaing.

(11)

produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan dengan produk atau jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya. Jadi produk dikatakan memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan permintaan pelanggan.

Chomvilailuk dan Butcher (2010) mengemukakan bahwa persepsi kualitas merupakan hal penting terhadap terjadinya suatu transaksi pembelian produk, kondisi ini cenderung meningkatkan preferensi merek pada konsumen untuk memilih dan menggunakan merek tertentu atas merek lain. Klasifikasi konsep dari quality dalam dua kelompok faktor (Zeithaml : 1998) :

1. Intrinsic attributes, ialah faktor yang berhubungan dengan aspek – aspek fisik dari sebuah produk.

2. Extrinsic attributes, ialah atribut yang berelasi terhadap produk, tetapi tidak dalam bagian fisik sebuah produk.

Quality yang tinggi akan memotivasi konsumen untuk memilih merek meskipun banyak merek pesaing (Netemeyer et al., 2004). Quality dapat dijelaskan sebagai persepsi konsumen terhadap produk secara keseluruhan melalui kualitas dan kemewahan (Zeithaml, 1988). Dengan kata lain quality adalah persepsi pelanggan terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa dibandingkan dengan alternatif dan dalam kaitannya dengan tujuan yang dimaksudkan (Silayoi dan Speece, 2007). Menurut Romero, Stone, dan Grewal (1997), quality memiliki empat dimensi, yaitu :

1. Kesempurnaan (flawlessness), dimensi dari kesan kualitas ini berkaitan dengan kepercayaan indivdu tentang beberapa kecacatan yang ada pada suatu produk. 2. Ketahanan (durability), berkaitan dengan kepercayaan konsumen tentang

jangka hidup waktu dari suatu produk.

(12)

sekalipun produk tersebut tidak terlalu handal, dibandingkan dengan produk yang lebih handal namun dengan penampilan yang tidak terlalu menarik.

4. Kekhususan (distinctiveness), merupakan aset intangible lain yang berasal dari memiliki produk yang berkualitas tinggi yaitu kapasitas produk untuk meningkatkan status dari pemiliknya melalui kekhasan, keunikan dan kemewahannya.

Quality menurut Foster (2004) menjelaskan berdasarkan teori Garvin terdapat lima aspek dalam membentuk dimensi kualitas suatu produk, yaitu :

1. Transcendent, dimana kualitas merupakan sesuatu yang secara intuitif dimengerti namun nyaris mustahil untuk disampaikan, seperti kecantikan atau cinta.

2. Product-based, dimana kualitas ditemukan dalam komponen dan atribut produk tersebut.

3. User-based, yaitu apabila konsumen puas, berarti produk tersebut memiliki kualitas yang baik.

4. Manufacturing-based, yaitu apabila produk memenuhi spesifikasi desainnya, maka produk tersebut memiliki kualitas baik.

5. Value-based, apabila produk dipersepsikan sebagai pembawa nilai yang baik sesuai dengan harganya, maka produk tersebut adalah produk yang berkualitas.

Menurut David Garvin (1987) ada delapan dimensi dalam quality :

(13)

tidak, apakah pelayanan diberikan dengan cara yang benar atau tidak. Itu yang terpenting.

2. Features, adalah atribut suatu produk yang meningkatkan performa dasarnya. Maksudnya, suatu produk selain punya fungsi utama, biasanya juga dilengkapi dengan fungsi-fungsi lain yang bersifat komplemen.

3. Reliability, mengacu pada kemampuan dan performa suatu produk untuk konsisten.

4. Conformance, merupakan definisi paling tradisional dari kualitas. Saat produk didesain, beberapa jumlah dimensi dari performa produk tersebut akan dinilai, seperti kapasitas, kecepatan, ukuran, ketahanan, dan lain- lain.

5. Durability, adalah ketahanan sampai mana produk tersebut mampu mengatasi tekanan atau trauma.

6. Serviceability, Dimensi ini melihat kualitas barang dari kemudahan untuk pengoperasian produk dan kemudahan perbaikan maupun ketersediaan komponen pengganti. Jadi dimensi ini terkait dengan sejauh mana kemudahan produk untuk dapat dilakukan perawatan sendiri oleh penggunanya. Bila suatu barang, dalam hal perawatan membutuhkan perawatan khusus dan membutuhkan pihak ketiga, maka dapat dikatakan service ability dari barang tersebut relatif rendah.

7. Aesthetics, Dimensi ini melihat kualitas suatu barang dari penampilan, corak, rasa, daya tarik, bau, selera, dan beberapa faktor lainnya mungkin menjadi aspek penting dalam kualitas. Dimensi ini menyangkut keindahan, keserasian atau kesesuaian yang membuat enak dipandang, atau dirasakan sehingga memberikan suatu daya tarik tersendiri kepada konsumen.

(14)

2.1.3 Uniqueness

Keunikan merupakan “sampai sejauh mana para pelanggan merasa bahwa sebuah merek berbeda dengan merek pesaingnya”. (Netemeyer et al., 2004).

Menurut Ros (2004:131) ada 3 (tiga) keunikan yang harus dimiliki suatu produk untuk bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus-menerus antara lain:

1. Bentuk Produk

Bentuk produk adalah pola atau tekstur produk yang membedakannya dengan produk pesaing. Bentuk produk yang unik akan memudahkan konsumen dalam mengidentifikasi produk sehingga nantinya akan memperkuat identifikasi merek produk tersebut. Bentuk produk juga dapat mengkomunikasikan kepada konsumen tentang suatu produk sehingga mudah untuk dikenali.

2. Rasa Produk

Rasa adalah tanggapan indra pengecap terhadap rangsangan saraf seperti rasa manis, pahit, masam, asin atau panas, dingin. Rasa yang unik harus mampu memberikan kepuasan saat dikonsumsi pertama kali dan memberikan sesuatu yang lebih dari harapan. Ketika konsumen merasakan manfaat dari suatu produk pada saat mengkonsumsi produk tersebut untuk pertama kalinya otomatis akan memberikan kepuasan dan konsumen pasti akan melakukan pembelian selanjutnya karena merasa terpuaskan pada saat mengkonsumsi produk tersebut.

3. Kemasan Produk

(15)

informasi dan membawa makna pada konsumen tentang apa yang tersirat pada kemasan.

Menurut Snyder dan Fromkin (1980), seorang konsumen itu mendapatkan dan memperlihatkan kepemilikan materil dengan tujuan membedakan diri dari orang lain untuk meningkatkan persepsi keunikan diri dan meningkatkan citra diri dihadapan publik. Dalam hal ini, konsumen memiliki 3 hal yang didapatkan dari keunikan tersebut, yaitu :

1. Creative choice

Konsumen yang membeli suatu produk (barang / jasa) yang dapat mengekspresikan keunikan diri mereka dan pilihan itu masih diterima oleh publik.

2. Unpopular choice

Konsumen yang berani untuk memilih produk dan merek yang berbeda dari biasanya, hingga berani untuk mengambil risiko dianggap aneh oleh publik.

Ada baik dan buruknya untuk hal ini yaitu, jika dia berhasil membuat publik menerima dirinya maka dia dianggap sebagai trendsetter, namun jika gagal ia akan dianggap oleh publik memiliki selera / pilihan produk yang buruk.

3. Avoidance of similarity

Konsumen yang menghindari suatu merek dan produk yang dianggap sudah mainstream di kalangan banyak, oleh karena itu konsumen ini memiliki cara untuk membuat dirinya unik dan berbeda dengan memakai merek atau produk yang misalnya sudah jadul sehingga mengembalikan keunikan diri mereka dan berbeda.

Keunikan adalah tindakan merancang satu set perbedaan yang berarti untuk membedakan penawaran perusahaan dari penawaran pesaing. Menurut Kotler dalam penawaran pasar dapat didiferensiasikan

(16)

dari strategi bersaing generik.

Para penjual dapat membuat unik produknya dalam empat cara, yaitu : perusahaan mendiferensiasikan produk atau jasa yang ditawarkan melalui pemerkayaan fungsi produk (product function), perusahaan melakukan

diferensiasi pada bentuk produk (product feature), perusahaan mendifrensiasikan produk melalui pengembangan atribut-atribut subjektif (subjective image) untuk meluluhkan perasaan pelanggan dan perusahaan mengembangkan diferensiasinya karena kebaikan alam yaitu yang disebut dengan keunggulan alamiah yang diberikan oleh suatu lokasi tertentu (Varadarajan, 1986).

2.1.4 Social Image

Social image merupakan keseluruhan persepsi terhadap suatu merek yang dibentuk dengan memproses informasi dari berbagai sumber sosial setiap waktu. Social image

dibangun berdasarkan kesan, pemikiran ataupun pengalaman yang dialami seseorang terhadap suatu merek yang pada akhirnya akan membentuk sikap terhadap merek yang bersangkutan (Setiadi, 2003: 180).

Social Image juga merupakan keseluruhan dari persepsi konsumen mengenai merek tersebut, atau bagaimana cara mereka memandangnya, yang mungkin tidak serupa dengan identitas merek (Temporal & Lee 2002: 51).

Dalam perilaku konsumen, konsumsi sebuah produk tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional dan psikologi, namun juga untuk memperoleh social image dan penghargaan diri, menaikkan status sosial dan juga identitas diri (Elliot & Wattanusawan, 1998). Interaksi sosial dapat mengakibatkan perubahan dalam kebiasaan sosial yang mempengaruhi pola dalam perilaku sosial, termasuk dalam pandangan akan status sosial yang berakibat pada perilaku pembelian mereka (He et al., 2012).

(17)

Williams, 2009). Menurut Keller (2009), social image adalah bagaimana sebuah merek memenuhi kebutuhan psikologi dan/atau kebutuhan sosialnya.

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa social image

adalah sekumpulan asosiasi yang dipersepsikan oleh konsumen terhadap merek tertentu berdasarkan pandangan orang sekitar. Social image dapat disampaikan melalui setiap sarana komunikasi yang tersedia.

Faktor-faktor yang membentuk social image dalam kaitannya dengan asosiasi merek menurut (Elliot & Wattanusawan, 1998):

a. Favorability of brand associations

Keberhasilan dari suatu program pemasaran tercermin dalam sebuah kreasi asosiasi merek yang menarik, sehingga pembeli percaya bahwa merek yang mempunyai atribut dan keuntungan tersebut akan dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka sehingga terbentuklah sebuah perilaku positif terhadap merek tersebut secara keseluruhan.

b. Strength of brand associations

Kekuatan dari suatu asosiasi akan menentukan pembentukan citra merek. Hal ini juga tergantung pada bagaimana informasi masuk ke dalam ingatan pembeli dan bagaimana kekuatan asosiasi tersebut bertahan sebagai sebuah bagian dari citra merek.

(18)

Inti dari penempatan merek adalah merek mempunyai keuntungan kompetitif (persaingan) yang dapat dipertahankan atau proporsi penjualan yang unik yang dapat mengikat pembeli sebagai suatu alasan yang memaksa untuk membeli merek tertentu itu.

2.1.5 Origin

Origin adalah tempat dimana suatu produk diproduksi. Efek origin di negara maju cenderung lebih kecil (Elliot dan Comoron, 1994). Menurut Schooler (1995), menemukan bahwa negara asal sebuah produk dapat memengaruhi opini seseorang akan produk tersebut. Pandangan konsumen akan negara asal produk dipengaruhi oleh nama merek dan sumber daya negara tersebut (Han & Qualls, 1985). Semakin homogen budaya sebuah negara, maka efek origin dalam sebuah produk semakin tinggi (Noorderhaven dan Harzing, 2003). Sebuah produk dapat dinilai kualitasnya salah satunya dengan melihat negara asal produk tersebut (Becker, 2000).

Di negara maju, masyarakat cenderung lebih tertarik untuk membeli produk lokal daripada produk impor, karena mereka mengetahui kualitas produknya. Sedangkan negara berkembang memiliki dampak origin lebih besar. Masyarakat negara berkembang lebih menyukai produk dari luar negeri karena percaya memiliki kualitas yang tinggi. Citra suatu negara dipandang sebagai suatu senyawa kontemporer dan anosiasi sejarah, yang merupakan faktor dalam keputusan membeli baik dalam pencitraan dan dalam representasi proporsional.

(19)

dapat mencakup seluruh produk suatu negara. Dalam suatu studi konsumen di Hong Kong, produk Amerika dianggap sebagai produk yang prestisius, produk – produk Jepang sebagai produk yang inovatif, dan produk – produk Cina yang murah (Siu dan Chan, 1997). Namun demikian, bagi konsumen produk tertentu mungkin cenderung kurang menggunakan informasi origin. Lascu dan Babb (1995) menemukan bahwa para konsumen Polandia kurang tertarik pada produk origin jika mereka membeli barang yang lebih murah atau produk yang sudah diterima oleh keluarga dan teman – teman.

Efek dari origin sering dijelaskan dalam tingkat pembangunan ekonomi negara asal (Wang dan Lamb, 1983). Penelitian mengusulkan efek hierarki berdasarkan tingkat pembangunan ekonomi, yang menunjukan bahwa evaluasi produk tertinggi cenderung kepada negara dengan tingkat pembangunan yang tinggi, diikuti oleh negara – negara industri baru, dan terendah untuk Eropa Timur atau negara – negara sosialis dan negara berkembang. Pengamatan empiris dan percobaan telah menemukan bahwa origin dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap persepsi kualitas suatu produk (Shimp dan Samiee, 1993) menemukan bahwa informasi country of origin lebih penting dalam mempengaruhi penilaian kualitas produk daripada informasi merek atau harga.

Konsumen sering menggunakan persepsi citra suatu negara dalam evaluasi produk ketika mereka tidak mampu mendeteksi kualitas sejati produk suatu negara. Oleh karena itu mereka bisa berpaling kepada citra suatu negara untuk menyimpulkan kualitas produk yang diketahui (Balestrini dan Gamble, 2006). Dari suatu segi pandangan konseptual, country of image membangun pendekatan literatur pada dua tingkat yang berbeda : (1) mewakili gambaran suatu negara, (2) mewakili gambaran suatu produk; sebagian besar country of image mewakili gambaran suatu produk dan seringkali ukuran gambaran produk dengan suatu negara tidak sesuai. Seringkali country of image

(20)

kepercayaan, sikap negeri umum dan negara evaluasi. Kondisi yang sama berlaku juga untuk produk image yang mana sering dikenal sebagai produk kepercayaan, origin

kepercayaan, gambaran merek, sikap produk, produk country of origin, produk persepsi, evaluasi produk, mutu produk, negeri mempengaruhi country image.

Kemungkinan setiap orang melakukan keputusan pembelian terhadap suatu produk bisa jadi dipengaruhi oleh origin dari produk tersebut. Dalam situasi ini, konsumen melihat hubungan produk tersebut dengan negara asal produk melalui beberapa aspek yang mempengaruhi dan ada pada negara tersebut. Dalam proses pembelian, konsumen tidak hanya memperhatikan tentang kualitas dan harga dari sebuah produk, tetapi juga faktor lainnya seperti negara asal dari merek itu sendiri (Yasin NM et al, 2007). Menurut Nagashima (1970), pengertian origin image adalah gambaran, reputasi, stereotip yang dihubungkan oleh pengusaha dan konsumen akan negara asal sebuah produk. Gambaran ini dibentuk oleh variabel – variabel seperti produk yang mewakili, karakteristik negara tersebut, latar belakang ekonomi dan politik, serta sejarah dan budaya negara tersebut.

Proses informasi menciptakan teori bahwa konsumen menggunakan petunjuk suatu produk itu sendiri, dimana cenderung dapat mempengaruhi perilaku pembelian mereka. Pemasar dan peneliti perilaku konsumen umumnya menerima bahwa negara asal produk atau merek adalah faktor penting yang mempengaruhi pengambilan keputusan konsumen (Khachaturian et al., 1990 dalam Schaefer A., 1997).

2.1.6 Willingness To Pay Price Premium

(21)

Nelson, 1991). Willingness To Pay (WTP) adalah kesediaan pengguna untuk mengeluarkan imbalan atas jasa yang diperolehnya. Pendekatan yang digunakan dalam analisis WTP didasarkan pada persepsi pengguna terhadap tarif dari jasa pelayanan angkutan umum tersebut.

Dalam permasalahan transportasi WTP dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

1. Produk yang ditawarkan/disediakan oleh operator jasa pelayanan transportasi; 2. Kualitas dan kuantitas pelayanan yang disediakan; 3. Utilitas pengguna terhadap angkutan tersebut

4. Perilaku Pengguna

Willingness to Pay atau kesediaan untuk membayar adalah kesediaan individu untuk membayar terhadap suatu kondisi lingkungan atau penilaian terhadap sumberdaya alam dan jasa alami dalam rangka memperbaiki kualitas lingkungan. Dalam WTP dihitung seberapa jauh kemampuan setiap individu atau masyarakat secara agregat untuk membayar atau mengeluarkan uang dalam rangka memperbaiki kondisi lingkungan agar sesuai degan kondisi yang diinginkan. WTP merupakan nilai kegunaan potensial dari sumberdaya alam dan jasa lingkungan (Hanley dan Spash, 1993).

Menurut Syakya (2005) WTP adalah metode yang bertujuan untuk mengetahui pada level berapa seseorang mampu membayar biaya perbaikan lingkungan apabila ingin lingkungan menjadi baik.

(22)

1. Menghitung biaya yang bersedia dikeluarkan oleh individu untuk mengurangi dampak negatif pada lingkungan karena adanya suatu kegiatan pembangunan.

2. Menghitung pengurangan atau penambahan nilai atau harga dari suatu barang akibat semakin menurunnya atau meningkatnya kualitas lingkungan.

3. Melalui suatu survey untuk menentukan tingkat kesediaan masyarakat untuk membayar dalam rangka mengurangi dampak negatif pada lingkungan atau untuk mendapatkan lingkungan yang lebih baik.

Empat metode untuk memperoleh penawaran besarnya nilai WTP responden (Hanley dan Spash, 1993), yaitu:

1. Metode Tawar Menawar (Bidding Game)

Metode ini dilaksanakan dengan menanyakan kepada responden apakah bersedia membayar / menerima sejumlah uang tertentu yang diajukan sebagai titik awal (starting point). Jika “ya” maka besarnya nilai uang diturunkan/dinaikkan sampai ke tingkat yang disepakati.

2. Metode Pertanyaan Terbuka (Open-Ended Question)

(23)

3. Metode Kartu Pembayaran (Payment Card)

Metode ini menawarkan kepada responden suatu kartu yang terdiri dari berbagai nilai kemampuan untuk membayar atau kesediaan untuk menerima dimana responden tersebut dapat memilih nilai maksimal atau nilai minimal yang sesuai dengan preferensinya. Pada awalnya, metode ini dikembangkan untuk mengatasi bias titik awal dari metode tawar-menawar. Untuk meningkatkan kualitas metode ini terkadang diberikan semacam nilai patokan yang menggambarkan nilai yang dikeluarkan oleh orang dengan tingkat pendapatan tertentu bagi barang lingkungan yang lain.

4. Metode Pertanyaan Pilihan Dikotomi (Close-Ended Referendum)

Metode ini menawarkan responden jumlah uang tertentu dan menanyakan apakah responden mau membayar atau tidak sejumlah uang tersebut untuk memperoleh kualitas lingkungan tertentu apakah responden mau menerima atau tidak sejumlah uang tersebut sebagai kompensasi atau diterimanya penurunan nilai kualitas lingkungan. Menurut Whitehead (1994), WTP untuk konsumen dan produsen dipengaruhi oleh :

a. Kuantitas dan kualitas atribut b. Tingkat pendapatan

c. Selera

d. Faktor – faktor sosial ekonomi yang relevan Rerangka Konseptual

(24)

pemasar berharap bahwa kapanpun kebutuhan kategori muncul, brand tersebut akan dimunculkan kembali dari ingatan yang selanjutnya dijadikan pertimbangan berbagai alternatif dalam pengambilan keputusan dan juga membuat konsumen rela membayar lebih mahal untuk suatu produk.

Menurut Aaker (1997), quality merupakan persepsi konsumen terhadap keseluruhan kualitas atau keunggulan suatu produk atau jasa layanan yang sama dnegan maksud yang diharapkannya. Persepsi kualitas adalah salah satu kunci dimensi ekuitas merek.

Keunikan merupakan “sampai sejauh mana para pelanggan merasa bahwa sebuah merek berbeda dengan merek pesaingnya” (Netemeyer et al., 2004). Aaker (1997) mengemukakan bahwa ada 3 (tiga) keunikan yang harus dimiliki suatu produk untuk bisa menghasilkan word of mouth secara positif dan terus-menerus antara lain:

1. Memberi kemudahan kepada konsumen dalam mengidentifikasi produk. 2. Mampu memberikan kepuasan saat dikonsumsi pertama kali.

3. Mampu menarik perhatian konsumen dan menjelaskan produk.

Dalam perilaku konsumen, konsumsi sebuah produk tidak hanya untuk memenuhi kebutuhan fungsional dan psikologi, namun juga untuk memperoleh social image dan penghargaan diri, menaikkan status sosial dan juga identitas diri (Elliot & Wattanusawan, 1998).

Menurut Schooler (1965), negara asal sebuah produk dapat memengaruhi opini seseorang akan produk tersebut. Pandangan konsumen akan negara asal produk dipengaruhi oleh nama merek dan sumber daya negara tersebut (Han & Qualls, 1985). Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa terdapat pengaruh akan Quality terhadap Willingness To Pay Premium Price.

(25)

ini walaupun dengan harga lebih tinggi. Penelitian ini juga menemukan bahwa Origin

berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price, yang menunjukkan bahwa semakin baik image asal negara produk tersebut maka konsumen akan semakin rela untuk membeli lebih mahal akan produk tersebut. Juga bahwa Uniqueness sebuah produk berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price. Dengan ini, maka semakin unik sebuah produk akan membuat konsumen semakin rela untuk membeli produk tersebut walaupun dengan harga lebih tinggi. Social Image juga berpengaruh positif terhadap Willingness To Pay Premium Price, sehingga semakin baik anggapan orang akan konsumen karena membeli produk ini, maka konsumen akan semakin rela untuk membeli produk ini walaupun dengan harga lebih tinggi.

Gambar 1.1.

Pengembangan Hipotesis

Awereness dinyatakan sebagai kemampuan konsumen untuk mengidentifikasi sebuah merek dalam berbagai hal (Keller, 1993). Menurut Aaker (1996), awareness

merupakan salah satu pilar penting untuk membangun kesadaran konsumen akan produk tersebut. Menurut Anselmsson (2007), awareness telah dinyatakan mempengaruhi secara positif terhadap sebuah merek. Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson

Quality Awareness

Willingness To Pay Premium Price Origin

Uniquenes s

(26)

and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh akan Awareness terhadap

Willingness To Pay Price Premium.

H1 : Terdapat pengaruh positif awareness terhadap willingness to pay price premium.

Dalam model brand equity, quality merupakan elemen utama (Aaker, 1996). Selain itu, quality merupakan konsep yang menonjol dalam literatur pemasaran produk makanan / minuman (Anselmsson et al., 2007). Penelitian menunjukan hubungan positif antara quality dengan harga premium sebuah produk (Netemeyer et al., 2004). Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh akan Quality terhadap Willingness To Pay Price Premium.

H2 : Terdapat pengaruh positif quality terhadap willingness to pay price premium.

Umumnya konsumen akan merespon lebih baik sebuah produk jika berasal dari negara dengan pandangan yang baik (Maheswaran, 1994). Juga beberapa penelitian (Ger

et al., 1999; Gurhan-Canli dan Maheswaran, 2000) yang menyatakan negara asal sebuah produk akan mempengaruhi kerelaan konsumen untuk membeli produk tersebut. Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh akan Origin terhadap Willingness To Pay Price Premium.

H3 : Terdapat pengaruh positif origin terhadap willingness to pay price premium.

(27)

makanan / minuman dengan harga premium (Anselmsson et al., 2007). Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh Social Image terhadap Willingness To Pay Price Premium.

H4 : Terdapat pengaruh positif social image terhadap willingness to pay price premium.

Keunikan merupakan sejauh mana pelanggan merasa bahwa sebuah merek berbeda dari merek dengan produk sejenis (Netemeyer et al., 2004). Penelitian telah menyatakan adanya hubungan antara keunikan, harga premium dan loyalitas akan sebuah merek (Kalra dan Goodstein, 1998). Penelitian yang dilakukan Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014) menemukan bahwa adanya pengaruh akan Uniquenes terhadap

Willingness To Pay a Price.

(28)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Rancangan Penelitian

Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Anselmsson,

Bondesson, dan Johansson, (2014). Untuk menganalisis apakah ada pengaruh positif

Awareness, Quality, Uniqueness, Social Image, dan Origin terhadap Willingness to pay price premium. Rancangan penelitian ini adalah pengujian hipotesis (hipotesis testing). Pengujian hipotesis bertujuan untuk menguji hipotesis, yang umunya menjelaskan tentang karakteristik hubungan – hubungan tertentu atau perbedaan – perbedaan antar kelompok atau independensi dari dua faktor atau lebih dalam satu situasi (Hermawan dan Kristaung, 2013).

3.2 Variabel dan Pengukuran

Terdapat 6 variabel dalam penelitian ini, yaitu (1) Awareness, (2) Quality, (3)

(29)

Dalam penelitian ini, tiap variabel akan diukur dengan beberapa pernyataan yang akan mewakili jawaban responden, yaitu :

a. Awareness diukur dengan 5 item pernyataan yang diadaptasi dari (Anselmsson, Bondesson and Johansson 2014), yakni :

1. Saya mengetahui merek ini.

2. Saya mengetahui bentuk produk (susu / yogurt) dengan merek ini. 3. Saya mengetahui manfaat produk (susu / yogurt) dengan merek ini. 4. Saya memiliki pendapat tersendiri mengenai produk (susu / yogurt)

merek ini.

5. Saya dapat mengenali merek ini dibanding produk (susu / yogurt) sejenis.

b. Quality diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari (Anselmsson, Bondesson and Johansson 2014), yakni :

1. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini dibuat dengan baik. 2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki standar

kualitas yang tinggi.

3. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki kualitas yang terjaga

c. Origin diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :

1. Merek ini benar – benar merek dari Indonesia

2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini diproduksi di Indonesia. 3. Bahan baku dari produk – produk (susu / yogurt) dengan merek ini

berasal dari Indonesia.

d. Social Image diukur dengan 3 item pernyataan yang diadaptasi dari Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :

1. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini membuat saya merasa diterima di lingkungan saya.

2. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan meningkatkan bagaimana saya akan dinilai orang.

(30)

e. Uniqueness diukur dengan 4 item pernyataan yang diadaptasi dari Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni :

1. Merek ini berbeda dari merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

2. Merek ini benar – benar menonjol dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

3. U3. Merek ini amat berbeda dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

4. U4. Merek ini unik dibandingkan merek – merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

f. Willingness to pay price premium diukur dengan 2 item pernyataan yang diadaptasi dari Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014), yakni : 1. Saya rela membayar lebih mahal untuk produk (susu / yogurt) merek ini

dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis.

2. Saya rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

3.3 Sampel dan Pengumpulan Data

Metode penarikan sampel yang digunakan adalah teknik non-probability sampling

dengan prosedur purposive sampling. Prosedur purposive sampling adalah teknik penentuan sampel dari populasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau memenuhi kriteria tertentu (Hermawan dan Kristaung, 2013). Pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara menyebarkan kuesioner kepada 158 responden. Kriteria sampel dalam penelitian ini adalah khusus responden yang pernah mengkonsumsi produk susu dan, atau yogurt merek Cimory.

3.4 Profil Responden

Tabel 1

(31)

Jenis Kelamin Jumlah Responden Persentase

Laki – laki 96 60,8%

Perempuan 62 65,2%

Total 158 100%

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden adalah laki – laki yaitu sebanyak 96 orang dengan persentase sebesar 60.8% selebihnya adalah perempuan yaitu sebanyak 62 orang dengan persentase sebesar 39.2%.

Tabel 2

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Berdasarkan tabel diatas dapat dikeathui bahwa mayoritas responden adalah yang berusia > 28 tahun yaitu sebanyak 105 orang dengan persentase sebesar 66,5%.

Tabel 3

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden berpendidikan terakhir adalah dijenjang D3 / S1 yaitu sebanyak 102 orang dengan persentase 64,6%.

Tabel 4

Profil Responden Berdasarkan Jenis Pekerjaan

Pekerjaan Jumlah Responden Persentase

(32)

Pegawai Swasta 71 44,9%

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki pekerjaan sebagai Pegawai Swasta sebanyak 71 orang dengan persentase sebesar 44,9%.

Tabel 5

Profil Responden Berdasarkan Pengeluaran Per Bulan

Pengeluaran Per Bulan Jumlah Responden Persentase

< Rp. 2.000.000 36 22,8%

Rp. 3.000.000 - Rp. 4.000.000 21 13,3%

Rp. 4.000.000 - Rp. 5.000.000 16 10,1%

> Rp. 5.000.000 85 53,8%

Total 158 100%

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa mayoritas responden memiliki pengeluaran per bulan sebesar >Rp. 5.000.000 yaitu sebanyak 85 orang dengan persentase 53,8%.

3.5 Uji Instrumen

Uji instrumen dilakukan dengan cara menguji validitas dan reliabilitas. 3.5.1 Uji Validitas

Uji validitas berkaitan dengan pengujian yang dilakukan untuk mengetahui apakah semua pernyataan (indikator) penelitian yang diajukan untuk mengukur variabel penelitian adalah valid. Validitas berarti sejauh mana skala pengukuran mampu mengukur apa yang seharusnya diukur (Hermawan, 2003).

(33)

a. Jika nilai sig > 0,05, maka keputusannya adalah Tidak Valid b. Jika nilai sig < 0,05, maka keputusannya adalah Valid

Tabel 9

Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel Awareness

N o

Pernyataan Sig Keputusan

1 Saya mengetahui merek ini. 0.000 Valid 2 Saya mengetahui bentuk produk

(susu / yogurt) dengan merek ini.

0.000 Valid

3 Saya mengetahui manfaat produk (susu / yogurt) dengan merek ini.

5 Saya dapat mengenali merek ini dibanding produk (susu / yogurt) sejenis.

0.000 Valid

Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Awareness memiliki nilai Sig > 0,05. Maka semua indikator pernyataan untuk mengukur variabel Awareness dinyatakan valid.

Tabel 10

Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel Quality

N o

Pernyataan sig Keputusan

1 Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini dibuat dengan baik.

0.000 Valid

2 Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki standar kualitas yang tinggi.

0.000 Valid

(34)

dari merek ini memiliki kualitas yang terjaga

Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Quality memiliki nilai Sig > 0,05. Maka semua indikator pernyataan untuk mengukur variabel Quality dinyatakan valid.

Tabel 11

Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel Origin

N o

Pernyataan sig Keputusan

1 Merek ini benar – benar merek dari Indonesia

0.000 Valid

2 Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini diproduksi di Indonesia.

0.000 Valid

3 Bahan baku dari produk – produk (susu / yogurt) dengan merek ini berasal dari Indonesia.

0.000 Valid

Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Origin memiliki nilai Sig > 0,05. Maka semua indikator pernyataan untuk mengukur variabel Origin dinyatakan valid.

Tabel 12

Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel Social Image

N o

Pernyataan sig Keputusan

1 Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini membuat saya merasa diterima di lingkungan saya.

0.000 Valid

2 Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan

meningkatkan bagaimana saya akan dinilai orang.

0.000 Valid

3 Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan membentuk kesan diri saya yang baik di mata orang.

(35)

Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Social Image memiliki nilai Sig > 0,05. Maka semua indikator pernyataan untuk mengukur variabel Social Image dinyatakan valid.

Tabel 13

Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel Uniqueness

N o

Pernyataan sig Keputusan

1 Merek ini berbeda dari merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama. kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

0.000 Valid

3 Merek ini unik dibandingkan merek – merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

0.000 Valid

Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Uniqueness memiliki nilai Sig > 0,05. Maka semua indikator pernyataan untuk mengukur variabel Uniqueness dinyatakan valid.

Tabel 14

Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel Willingness To Pay Price Premium

N o

Pernyataan sig Keputusan

1 Saya rela membayar lebih mahal untuk produk (susu / yogurt) merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis.

0.000 Valid

(36)

mahal untuk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

Hasil pengujian diatas menunjukkan bahwa semua indikator yang digunakan untuk mengukur variabel Willingness To Pay Price Premium memiliki nilai Sig > 0,05. Maka semua indikator pernyataan untuk mengukur variabel Willingness To Pay Price Premium dinyatakan valid.

3.5.2 Uji Reliabilitas

Setelah mengetahui bahwa indikator alat ukur yang digunakan adalah valid, maka uji instrumen yang selanjutnya adalah uji reliabilitas, yang akan mengukur apakah alat ukur yang digunakan dalam penelitian in sudah akurat dan konsisten. Internal Consistency Realibility mencakup sejauh mana item – item instrumen bersifat homogen dan mencerminkan “Construct” yang melandasinya (Hermawan dan Kristaung, 2014).

Uji reliabilitas dari setiap konstruk yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan Cronbach’s Coefficient Alpha dengan bantuan software SPSS version 21.

Berdasarkan pernyataan di atas, dasar pengambilan keputusan uji reliablitas adalah sebagai berikut:

1. Jika Cronbach’s Coefficient Alpha > 0.60, maka Cronbach’s Coefficient Alpha acceptable (construct reliable).

2. Jika Cronbach’s Coefficient Alpha < 0.60, maka Cronbach’s Coefficient Alpha not acceptable (construct unreliable).

Hasil pengujian reliabilitas untuk masing – masing konstruk dalam penelitian ini ditampilkan dalam tabel di bawah ini.

(37)

Hasil Pengujian Realibilitas

Variabel Item Cronbach’s Coefficient Alpha

Keputusan

Awareness 5 0.8849 Reliabel

Quality 3 0.9330 Reliabel

Origin 3 0.8609 Reliabel

Uniqueness 4 0.9212 Reliabel

Social Image 3 0.9580 Reliabel

Price Premium 2 0.9515 Reliabel

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Berdasarkan tabel di atas, koefisien Cronbach’s Alpha untuk masing – masing konstruk dalam penelitian adalah lebih besar dari 0.60 dimana nilainya berkisar antara 0.8849 sampai 0.9580. dengan demikian, apabila setiap konstruk memiliki nilai koefisien

Cronbach’s Alpha minimal 0.60 atau lebih, maka jawaban responden terhadap pernyataan – pernyataan yang digunakan dalam penelitian untuk mengukur setiap konstruk dapat diandalkan (reliable).

3.6 Metode Analisa Data

Metode alat analisis dalam penelitian ini adalah Regresi Berganda (Multiple Regression) dengan bantuan SPSS 15.

BAB IV

ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Statistik Deskriptif

(38)

(mean), dan standar deviasi untuk menunjukkan variasi dan jawaban responden. Berikut analisis statistik deskriptif yang menjelaskan nilai rata – rata (mean) dan standar deviasi:

Tabel 15

Hasil Statistik Deskriptif Variabel Awareness

Item Pernyataan N Mean Standard

Deviation 1. Saya mengetahui merek ini. 158 4.291 0.939 2. Saya mengetahui bentuk produk (susu / yogurt)

dengan merek ini.

158 4.203 0.963

3. Saya mengetahui manfaat produk (susu / yogurt) dengan merek ini.

158 3.949 1.001

4. Saya memiliki pendapat tersendiri mengenai produk (susu / yogurt) merek ini.

158 3.652 1.034

5. Saya dapat mengenali merek ini dibanding produk (susu / yogurt) sejenis.

158 3.905 1.020

Total 158 4 0.8222

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Tabel diatas menunjukkan bahwa variabel Awareness memiliki nilai rata – rata keseluruhan adalah 4 yang artinya responden merasa yakin bahwa produk Cimory dikenal oleh konsumen. Nilai standar deviasi sebesar 0.8222 menunjukkan bahwa jawaban responden bervariasi.

(39)

sebesar 3.905 yang berarti responden lebih mengenali merek ini dibanding produk (susu / yogurt) sejenis.

Tabel 16

Hasil Statisik Deskriptif Variabel Quality

Item Pernyataan N Mean Standard

Deviation 1. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini

dibuat dengan baik.

158 3.987 0.930

2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki standar kualitas yang tinggi.

158 3.956 0.869

3. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini memiliki kualitas yang terjaga.

158 3.968 0.862

Total 158 3.970 0.833

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Tabel diatas menunjukkan bahwa variabel Quality memiliki nilai rata – rata keseluruhan adalah 3.970 yang artinya responden merasa kualitas produk ini dinilai baik oleh konsumen. Nilai standar deviasi sebesar 0.833 menunjukkan bahwa jawaban responden bervariasi.

Variabel Quality diukur dengan tiga item pernyataan. Item pernyataan pertama memiliki nilai rata – rata sebesar 3.987 yang berarti responden berpendapat bahwa produk ini dibuat dengan baik. Item pernyataan kedua memiliki nilai rata – rata sebesar 3.956 yang berarti responden berpendapat bahwa produk (susu / yogurt) merek ini memiliki standar kualitas yang tinggi. Item pernyataan ketiga memiliki nilai rata – rata sebesar 3.968 yang berarti responden berpendapat bahwa manfaat produk (susu / yogurt) merek ini memiliki kualitas yang terjaga.

Tabel 17

Hasil Statistik Deskriptif Origin

Pernyataan N Mean Standard

(40)

2. Produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini diproduksi di Indonesia.

158 4.278 0.858

3. Bahan baku dari produk – produk (susu / yogurt) dengan merek ini berasal dari Indonesia.

158 3.949 0.956

Total 158 4.120 0.810

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Tabel diatas menunjukkan bahwa variabel Origin memiliki nilai rata – rata keseluruhan adalah 4.120 yang artinya responden mengetahui bahwa merek ini berasal dari Indonesia. Nilai standar deviasi sebesar 0.833 menunjukkan bahwa jawaban responden bervariasi.

Variabel Origin diukur dengan tiga item pernyataan. Item pernyataan pertama memiliki nilai rata – rata sebesar 4.132 yang berarti responden sudah mengetahui bahwa produk merek ini berasal dari Indonesia. Item pernyataan kedua memiliki nilai rata – rata sebesar 4.278 yang berarti responden sudah mengetahui bahwa produk – produk (susu / yogurt) dari merek ini diproduksi di Indonesia.. Item pernyataan ketiga memiliki nilai rata – rata sebesar 3.949 yang berarti responden sudah mengetahui bahwa bahan baku dari produk – produk (susu / yogurt) dengan merek ini berasal dari Indonesia.

Tabel 18

Hasil Statistik Deskriptif Social Image

Pernyataan N Mean Standard

Deviation 1. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini

membuat saya merasa diterima di lingkungan saya.

158 2.867 1.226

2. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan meningkatkan bagaimana saya akan dinilai orang.

158 2.582 1.242

3. Membeli produk (susu / yogurt) dari merek ini akan membentuk kesan diri saya yang baik di mata orang.

158 2.658 1.240

Total 158 2.702 1.187

(41)

Tabel diatas menunjukkan bahwa variabel Social Image memiliki nilai rata – rata keseluruhan adalah 2.702 yang artinya responden merasa bahwa mereka merasa cukup mendapat pandangan sosial yang baik dengan membeli produk ini. Nilai standar deviasi sebesar 1.187 menunjukkan bahwa jawaban responden bervariasi.

Variabel Social Image diukur dengan tiga item pernyataan. Item pernyataan pertama memiliki nilai rata – rata sebesar 2.867 yang berarti mereka cukup merasa diterima di lingkungannya. Item pernyataan kedua memiliki nilai rata – rata sebesar 2.582 yang berarti dengan membeli produk ini cukup meningkatkan bagaimana mereka akan dinilai orang. Item pernyataan ketiga memiliki nilai rata – rata sebesar 2.658 yang berarti dengan membeli produk ini cukup membentuk kesan diri mereka yang baik di mata orang.

Tabel 19

Hasil Statistik Deskriptif Uniqueness

Pernyataan N Mean Standard

Deviation 1. Merek ini berbeda dari merek lain (mempunyai

restoran dengan nama yang sama, peternakan sapi dengan nama yang sama) dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

158 3.689 0.963

2. Merek ini benar – benar menonjol (sejak peternakan sapi hingga penjualan produk terintegrasi dalam 1 merek) dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

158 3.613 1.020

3. Merek ini amat berbeda (mempunyai restoran dengan nama yang sama, peternakan sapi dengan nama yang sama) dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.

158 3.512 1.038

4. Merek ini unik (mempunyai restoran dengan nama yang sama, peternakan sapi dengan nama yang sama) dibandingkan merek – merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

(42)

Total 158 3.394 0.907 Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Tabel diatas menunjukkan bahwa variabel Uniqueness memiliki nilai rata – rata keseluruhan adalah 3.394 yang artinya responden merasa bahwa mereka merasa keunikan produk ini akan membuatnya membeli produk ini. Nilai standar deviasi sebesar 0.907 menunjukkan bahwa jawaban responden bervariasi.

Variabel Uniqueness diukur dengan empat item pernyataan. Item pernyataan pertama memiliki nilai rata – rata sebesar 3.699 yang berarti responden sudah merasa bahwa merek ini berbeda dari merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama. Item pernyataan kedua memiliki nilai rata – rata sebesar 3.613 yang berarti responden sudah merasa merek ini benar – benar menonjol dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama. Item pernyataan ketiga memiliki nilai rata – rata sebesar 3.512 yang berarti responden sudah merasa merek ini amat berbeda dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) yang sama.. Item pernyataan keempat memiliki nilai rata – rata sebesar 3.563 yang berarti responden sudah merasa merek ini unik dibandingkan merek – merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

Tabel 20

Hasil Statistik Deskriptif Willingness to pay Price Premium

Pernyataan N Mean Standard

Deviation 1. Saya rela membayar lebih mahal untuk produk (susu /

yogurt) merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis.

158 3.012 1.271

2. Saya rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

158 2.861 1.254

Total 158 2.937 1.233

Sumber : Data diolah menggunakan SPSS (terlampir)

Tabel diatas menunjukkan bahwa variabel Willingness to pay Price Premium

(43)

membayar cukup tinggi untuk produk ini. Nilai standar deviasi sebesar 1.187 menunjukkan bahwa jawaban responden bervariasi.

Variabel Willingness to pay Price Premium diukur dengan dua item pernyataan. Item pernyataan pertama memiliki nilai rata – rata sebesar 3.012 yang berarti responden rela membayar lebih mahal untuk produk ini. Item pernyataan kedua memiliki nilai rata – rata sebesar 2.861 yang berarti responden cukup rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk (susu / yogurt) sejenis.

4.2 Analisis Data

4.2.1 Pengujian Hipotesis

Dasar pengambilan hipotesis adalah sebagai berikut: g. Jika p-value < 0.05 maka Ho ditolak. h. Jika p-value > 0.05 maka Ho gagal ditolak.

Pengujian terhadap hipotesis dilakukan dengan menggunakan metode

Mulitple Regression.

Hipotesis pertama menguji apakah Awareness berpengaruh positif terhadap

(44)

H01 : Tidak terdapat pengaruh positif Awareness terhadap willingness to pay price premium.

Ha1 : Terdapat pengaruh positif Awareness terhadap willingness to pay price premium.

Berdasarkan tabel diatas secara keseluruhan diketahui bahwa terdapat tidak terdapat pengaruh awareness terhadap willingness to pay price premium. Karena nilai p-value sebesar 0.313 atau lebih besar dari tingkat kesalahan (α = 5%) sehingga dengan demikian H01 diterima dan Ha1 ditolak, artinya Brand awareness tidak berpengaruh positif terhadap willingness to pay price premium.

Hipotesis 2

Hipotesis kedua menguji apakah Quality berpengaruh positif terhadap

willingness to pay price premium. Hipotesis null (H0) dan Hipotesis alternative (Ha) adalah sebagai berikut :

H01 : Tidak terdapat pengaruh positif Quality terhadap willingness to pay price premium.

Ha1 : Terdapat pengaruh positif Quality terhadap willingness to pay price premium.

Berdasarkan tabel diatas secara keseluruhan diketahui bahwa terdapat tidak terdapat pengaruh Quality terhadap willingness to pay price premium. Karena nilai

(45)

Hipotesis 3

Hipotesis kedua menguji apakah Origin berpengaruh positif terhadap

willingness to pay price premium. Hipotesis null (H0) dan Hipotesis alternative (Ha) adalah sebagai berikut :

H01 : Tidak terdapat pengaruh positif Origin terhadap willingness to pay price premium.

Ha1 : Terdapat pengaruh positif Origin terhadap willingness to pay price premium.

Berdasarkan tabel diatas secara keseluruhan diketahui bahwa terdapat tidak terdapat pengaruh Origin terhadap willingness to pay price premium. Karena nilai p-value sebesar 0.567 atau lebih besar dari tingkat kesalahan (α = 5%) sehingga dengan demikian H01 diterima dan Ha1 ditolak, artinya Origin tidak berpengaruh positif terhadap willingness to pay price premium.

Hipotesis 4

Hipotesis kedua menguji apakah Social Image berpengaruh positif terhadap

willingness to pay price premium. Hipotesis null (H0) dan Hipotesis alternative (Ha) adalah sebagai berikut :

H01 : Tidak terdapat pengaruh positif Social Image terhadap willingness to pay price premium.

Ha1 : Terdapat pengaruh positif Social Image terhadap willingness to pay price premium.

(46)

nilai p-value sebesar 0.000 atau lebih kecil dari tingkat kesalahan (α = 5%) sehingga dengan demikian H01 ditolak dan Ha1 diterima, artinya Social Image berpengaruh positif terhadap willingness to pay price premium.

Hipotesis 5

Hipotesis kedua menguji apakah Uniqueness berpengaruh positif terhadap

willingness to pay price premium. Hipotesis null (H0) dan Hipotesis alternative (Ha) adalah sebagai berikut :

H01 : Tidak terdapat pengaruh positif Uniqueness terhadap willingness to pay price premium.

Ha1 : Terdapat pengaruh positif Uniqueness terhadap willingness to pay price premium.

Berdasarkan tabel diatas secara keseluruhan diketahui bahwa terdapat tidak terdapat pengaruh Uniqueness terhadap willingness to pay Price Premium. Karena nilai p-value sebesar 0.000 atau lebih kecil dari tingkat kesalahan (α = 5%) sehingga dengan demikian H01 ditolak dan Ha1 diterima, artinya Uniqueness berpengaruh positif terhadap willingness to pay price premium.

4.3 Pembahasan Hasil Penelitian

Hipotesis 1 : Terdapat pengaruh positif Awareness terhadap Willingness To Pay Price Premium.

(47)

tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014). Walaupun konsumen merasa mengetahui merek ini, mengetahui bentuk dan manfaat produk dengan merek ini, memiliki pendapat tersendiri mengenai produk merek ini, serta dapat mengenali merek ini dibanding produk sejenis, tidak membuat konsumen real membayar lebih mahal untuk produk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis dan rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis. Namun, dalam penelitian Nysven dan Pedersen (2004), ditemukan bahwa setelah konsumen menyadari (awareness) akan sebuah merek, terdapat variabel moderasi (ease of use, attitude, dan intention) yang akan memperkuat keinginan seorang konsumen untuk membayar lebih tinggi (willingness to pay).

Hipotesis 2 : Terdapat pengaruh positif Quality terhadap Willingness To Pay Price Premium.

(48)

secara langsung membuat mereka rela membayar lebih mahal untuk mendapatkan produknya, namun diperlukan kepercayaan yang tinggi terhadap suatu merek (brand trust) agar mereka bersedia membayar lebih mahal produk dari brand tersebut.

Hipotesis 3 : Terdapat pengaruh positif Origin terhadap Willingness To Pay Price Premium.

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis ketiga, disimpulkan Origin tidak berpengaruh positif terhadap willingness to pay price premium. Hasil penelitian ini tidak mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Anselmsson, Bondesson and Johansson (2014). Walaupun konsumen mengetahui merek ini benar – benar merek dari Indonesia, dan produk – produk dari merek ini diproduksi di Indonesia, serta bahan baku dari produk – produk dengan merek ini berasal dari Indonesia, tidak membuat konsumen rela membayar lebih mahal untuk produk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis dan rela membayar jauh lebih mahal untuk merek ini dibanding merek lain dalam kategori produk sejenis. Berdasarkan penelitian Babin dan Griffin (2015), terdapat variabel mediasi antara

Country Origin dan Willingness to pay yaitu variabel Perceived Authenticity, yaitu setelah konsumen mengetahui asal – muasal suatu produk, maka keyakinannya akan autentisitas / keaslian suatu produk dari suatu negara tertentu meningkat dan ia bersedia membayar lebih tinggi untuk produk tersebut.

Gambar

Gambar 1.1.Quality
Tabel 2Profil Responden Berdasarkan Usia
Tabel 5Profil Responden Berdasarkan Pengeluaran Per Bulan
Tabel 10Hasil Pengujian Validitas untuk Variabel
+7

Referensi

Dokumen terkait

Nilai karbohidrat terbaik pada penelitian yang telah dilakukan merupakan kadar karbohidrat dengan nilai tertinggi yaitu pada perlakuan dengan lama perebusan 120 menit dan

Analisis data dilakukan dengan menggunakan teknik uji bedaOne-Way Between Group ANOVA dengan bantuan program SPSS versi 16.00 for Windows.Hasil analisis data menunjukkan

1 Rohmatillah, “ The Effect of Using the Jakarta Post Newspaper Article in Enhancing Vocabulary of English for University Student : an Experimental Research ,” English Education :

Surat adalah sarana untuk menyampaikan informasi secara tertulis dari pihak yang satu kepada pihak yang lainnya baik atas nama sendiri maupun atas nama

Material lahar panas yang tertimbun di puncak Merapi dan lahar dingin yang terakumulasi di tanggul dan tebing-tebing sungai, bila terbawa oleh air hujan akan

Kepuasan kerja adalah perasaan menyokong atau tidak menyokong yang dialami karyawan dalam bekerja (Mangkunegara, 2016, hal. Kepuasan kerja akan mendorong karyawan untuk

Kajian ini dijalankan dengan rangkuman beberapa kaedah seperti cerapan data di lapangan, pemprosesan imej satelit yang meliputi pra-pemprosesan imej, pengkelasan imej dan

Namun terkait dengan unsur pokok putusan untuk dapat dikatakan sebagai yurisprudensi tetap, Paulus Effendi Lotulung tidak sepakat terkait masalah putusan tersebut