6 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Uraian Tumbuhan
Uraian tumbuhan meliputi sistematika tumbuhan, nama daerah, nama asing, morfologi tumbuhan dan manfaat tumbuhan.
2.1.1 Sistematika tumbuhan
Sistematika tumbuhan keji beling adalah sebagai berikut (Jayusman dan Sulaksana, 2005):
Divisi : Spermatophyta Subdivisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Ordo : Solanales Famili : Acanthaceae Genus : Strobilanthes
Spesies : Strobilanthes crispus Bl 2.1.2 Nama daerah
Nama daerah dari tumbuhan ini adalah ngokilo, enyoh kilo, keci beling (Jawa) dan picah beling (Jakarta) (Jayusman dan Sulaksana, 2005).
2.1.3 Kandungan kimia tumbuhan
7 2.1.4 Morfologi tumbuhan
Tanaman keji beling dibagi menjadi bagian akar, batang, daun dan bunga. Karekteristik bentuk bagian tanaman keji beling tersebut sebagai berikut: akarnya berbentuk tunggang (tap root) yaitu akar utama. Umumnya, akar tunggang merupakan pengembangan radikula lembaga yang tumbuh tegak kebawah dan bercabang. Akar berwarna putih kekuningan, fungsi akar untuk memperkuat berdirinya tanaman serta menyerap air dan unsur hara dari media tanam atau tanah. Keji beling merupakan jenis tanaman berbatang basah dan sepintas menyerupai rumput berbatang tegak. Batang berbentuk bulat, beruas dan berdiameter antara 0,2-0,7 cm. Kulit batang berwarna ungu dengan bintik-bintik hijau pada waktu muda dan berubah menjadi coklat setelah tua. Batang bercabang dan berbulu halus. Daun berbentuk bulat telur. Pada bagian tepi daun bergerigi dengan jarak sekitar 1 cm dan berbulu halus sampai-sampai hampir tidak terlihat oleh mata telanjang. Panjang helaian daun (tanpa tangkai) berkisar 5-8 cm dan lebar 2-5 cm. Daun berwarna hijau dengan bunga dalam bulir pendek berbentuk kepala, berbulu seperti bulu domba dengan 2 daun pelindung (Jayusman dan Sulaksana, 2005).
2.1.5 Manfaat tumbuhan
8 2.2 Ekstraksi
Ekstraksi adalah suatu cara untuk menarik satu atau lebih zat dari bahan asal dengan menggunakan pelarut. Umumnya zat berkhasiat tersebut dapat ditarik, namun khasiatnya tidak berubah. Tujuan utama ekstraksi adalah mendapatkan atau memisahkan sebanyak mungkin zat-zat yang memiliki khasiat pengobatan dari zat-zat yang tidk dibutuhkan, agar lebih mudah digunakan (kemudahan diabsorpsi, rasa dan pemakaian) dan disimpan dibandingkan simplisia asal dan tujuan pengobatannya terjamin. Hasil ekstraksi disebut dengan eksrak yaitu sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan (Ditjen POM, 1995).
Ekstraksi dengan menggunakan pelarut dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu:
a. Cara dingin i. Maserasi
9 ii. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru sampai terjadi penyarian sempurna yang umumnya dilakukan pada temperatur kamar (Ditjen POM, 2000)
b. Cara panas i. Refluks
Refluks adalah ekstraksi dengan pelarut pada temperatur titik didihnya, selama waktu tertentu dan jumlah pelarut terbatas yang relatif konstan dengan adanya pendingin balik (Ditjen POM, 2000).
ii. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi kontinu menggunakan alat soklet, dimana pelarut akan terdestilasi dari labu menuju pendingin, kemudian jatuh membasahi dan merendam sampel dalam tabung soklet, kemudian setelah pelarut mencapai tinggi tertentu maka akan turun ke labu destilasi setelah melewati pipa sifon, demikian berulang-ulang (Ditjen POM, 2000).
Keuntungan dari metode ini adalah ekstraksi simplisia dapat dilakukan dengan sempurna dan pelarut yang digunakan lebih sedikit dibandingkan metode lainnya (Voight, 1995).
iii.Digesti
10 iv.Infus
Infus adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisa nabati dengan air pada suhu 90oC selama 15 menit (Ditjen POM, 1979). v. Dekok
Dekok adalah sediaan cair yang dibuat dengan menyari simplisia nabati dengan air pada waktu yang lebih lama ±30 menit dengan temperatur sampai titik didih air (Ditjen POM, 2000).
2.3 Persyarafan Sistem Pencernaan
Ada dua sistem syaraf yang memegang peranan penting dalam fungsi saluran pencernaan , yaitu sistem syaraf intrinsik yang terdiri atas sistem syaraf enterik, dan sistem syaraf ekstrinsik yang terdiri atas sistem syaraf otonom parasimpatis dan simpatis.
2.3.1 Sistem syaraf intrinsik - Sistem syaraf enterik
Sistem syaraf ini terbentang didalam dinding saluran pencernaan mulai dari esofagus sampai ke anus. Sistem syaraf enterik terdiri atas dua pleksus, yaitu:
a. Pleksus mienterikus (pleksus Auerbach)
Pleksus ini terbentang di antara lapisan otot longitudinal dari lapisan otot sirkuler. Fungsinya mengontrol fungsi motorik saluran pencernaan.
b. Pleksus submukosa atau pleksus Meissner
11
pada mukosa saluran pencernaan serta meningkatkan absorpsi dan aliran darah di sekitarnya (Herman, 2004).
2.3.2 Sistem syaraf ekstrinsik – sistem syaraf otonom Sistem syaraf ekstrinsik terbagi menjadi dua, yaitu: a. Sistem syaraf parasimpatis
Neuron pascaganglion (postganglionnic neuron) sistem parasimpatis terletak di dalam kedua pleksus sistem syaraf enterik, yaitu pleksus mienterikus dan pleksus submukosa. Ujung serat syaraf parasimpatis menyekresikan asetilkolin sebagai neurotransmitternya. Stimulasi parasimpatis pada umumnya menyebabkan peningkatan aktivitas sistem syaraf enterik yang selanjutnya meningkatkan aktivitas saluran pencernaan.
b. Sistem syaraf simpatis
Ujung serat syaraf simpatis menyekresikan neurotransmitter norepinefrin. Sistem syaraf ini merangsang sistem pencernaan melalui dua cara, yaitu: (1) secara langsung pada otot polos saluran pencernaan dan (2) secara tidak langsung, yaitu melalui neuron sistem syaraf enterik.
2.4 Usus Halus
12
besar. Usus halus dibagi menjadi tiga segmen, yaitu duodenum 20 cm (8 inci), jejunum 2,5 m (8 kaki) dan ileum 3,6 m (12 kaki) (Sherwood, 2001).
2.4.1 Histologi usus halus
Menurut Herman (2004), pada umumnya dinding usus halus terdiri atas empat lapisan (Gambar 2.1), yaitu:
a. Lapisan mukosa
Lapisan mukos merupakan lapisan terdalam dari dinding saluran pencernaan. Lapisan ini berbentuk membran (selaput) mukosa dan dibentuk oleh tiga komponen, yaitu lapisan epitel, lamina propria dan lapisan muskularis mukosa.
b. Lapisan submukosa
Lapisan submukosa terdiri atas jaringan penyambung areolar yang mengikatkan lapisan mukosa ke lapisan muskularis. Lapisan ini sangat kaya dengan pembuluh darah dan mengandung jaringan syaraf yang disebut pleksus submukosa atau disebut juga pleksus Meissner.
c. Lapisan muskularis
13
Gambar 2.1 Lapisan usus halus (Virtual Medical Centre, 2006) d. Lapisan serosa
Lapisan serosa adalah lapisan terluar dari dinding saluran pencernaan. Lapisan ini berupa suatu mebran yang terdiri atas jaringan penyambung dan sel-sel epitel. Pada lapisan ini terdapat pembuluh darah dan syaraf yang berukuran lebih besar yang berjalan di antara jaringan penyambung dan jaringan lemak (adipose tissue) yang terdapat didaerah ini. Lapisan serosa yang terletak di bawah diafragma (sekat rongga badan) ikut membentuk dan merupakan bagian dari peritonium secara keseluruhan dan disebut peritoneum viseral.
2.4.2 Pergerakan usus halus
14 a. Gerakan pencampur (segmentasi)
Gerakan segmentasi berbeda-beda sifat dan bentuk gerakannya di setiap bagian saluran pencernaan, walaupun perbedaannya hanya sedikit. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa gerakan segmentasi pada umumnya berupa kontraksi lokal yang muncul selama beberapa detik di setiap beberapa sentimeter dinding usus. Begitu suatu seri kontriksi lokal ini hilang, maka muncul lagi seri seri kontriksi yang baru dilokasi yang berbeda. Dengan demikian, isi usus seperti dipotong-potong oleh gerakan
kontriksi ini. Pergerakan segmentasi usus halus ditunjukkan pada Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Pergerakan segmentasi usus halus (Guyton, 1987) b. Gerakan pendorong
15
memungkinkan terjadinya proses digesti (pencernaan) makanan dan proses absorpsi hasil digesti.
2.4.3 Ileum
Ileum merupakan 3/5 bagian usus halus. Disinilah proses absorpsi yang besar terjadi, pada bagian ini sari-sari makanan hasil proses pencernaan diserap. Asam amino dan glukosa, vitamin, garam mineral akan diangkut oleh kapiler darah, sedangkan asam lemak dan gliserol akan diangkut oleh pembuluh getah bening usus menuju ke pembuluh balik besar bawah selangka (Irianto, 2004) 2.4.4 Usus marmut
Bagian pertama adalah duodenum dengan bentuknya seperti lengkungan S dan mempunyai pankreas pada lengkungan kedua. Bagian ini mempunyai panjang sekitar 1 sampai 3 inci. Selanjutnya pada jejunum panjangnya sekitar 8 inci. Dilanjutkan dengan ileum dengan panjang sekitar 3-5 inci. Setelah ileum berakhir pada caecum dimana merupakan pintu masuk dari colon. Caecum merupakan organ seperti kantong besar yang mempunyai panjang sekitar 1 sampai 6 inci (Potter, et al., 1956)
2.5 Otot Polos
16
Sel otot polos dilapisi oleh selaput yang disebut sarkolema dan protoplasmanya disebut sarkoplasma. Otot polos memiliki inti, letaknya ditengah dengan miofibril yang homogen, panjangnya 15-500 mikron dengan diameter 20 mikron. Otot polos merupakan otot tak sadar, karena bekerja diluar kesadaran kita dan dipengaruhi oleh susunan saraf otonom (Irianto, 2004).
2.5.1 Mekanisme Kontraksi Otot
17 2.6 Mediator Kontraksi Otot Polos
Kontraksi otot polos dapat di mediasi oleh beberapa jalur, seperti reseptor muskarinik, reseptor histaminergik, nitrioksida (NO), prostaglandin E2 (PGE2), cGMP.
2.6.1 Reseptor muskarinik
Reseptor muskarinik terdistribusi luas diseluruh tubuh dan mendukung berbagai fungsi vital, di otak, sistem saraf otonom terutama saraf parasimpatis. Reseptor muskarinik merupakan reseptor yang terhubung dengan protein G, terdiri dari 5 subtipe yaitu: M1, M2, M3, M4 dan M5. Resptor M1, M3 dan M5 terhubung dengan protein Gq. Sedangkan reseptor M2 dan M4 terhubung dengan protein Gi dan dengan suatu kanal ion. Respons yang timbul dari aktivasi reeptor muskarinik oleh ACh dapat berbeda, tergantung pada subtipe reseptor dan lokasinya (Rahardjo, 2009).
18 2.6.2 Reseptor histaminergik
Histamin adalah pembawa pesan (messenger) bahan kimia yang memperantarai beragam respon seluler, termasuk alergik dan reaksi inflamasi, sekresi asam lambung dan neurotransmisi pada bagian otak. Histamin pada dasarnya muncul dalam semua jaringan, tetapi tidak didistribusikan secara rata, dengan jumlah yang tinggi ditemukan dalam paru, kulit, dan saluran cerna. Histamin yang dilepaskan sebagai respons terhadap berbagai rangsangan mengeluarkan efeknya dengan cara berikatan kepada satu atau lebih dari empat tipe reseptor—reseptor H1, H2, H3 dan H4. Beberapa efek farmakologik histamin diperantarai oleh kedua reseptor H1 dan H2, sedangkan lainnya diperantarai hanya oleh satu kelas. Sebagai contoh, reseptor H1 penting dalam kontraksi otot polos dan peningkatan permeabilitas kapiler. Reseptor H2 memperantarai sekresi asam lambung (Mycek et al., 2001).
2.6.3 Prostaglandin E2 (PGE2)
Prostaglandin adalah turunan asam lemak komposisi 20 karbon yang dapat ditemukan di semua jaringan dan organ.prostaglandin disintesis dalam sel dari prekusor asam lemak esensial, termasuk salah satunya adalah asam arakhidonat dengan melibatkan enzim siklooksigenase (COX) (Calder, 2009).
19 2.6.4 Nitrit oksida (NO)
Nitrit Oksida berasal dari sintesis konversi enzim dari L-Arginine menjadi L-Citrulline oleh nitrit oxide synthase (NOS). Elektron yang tidak berikatan menyebabkan NO merupakan radikal bebas yang sangat reaktif dan dapat menyebabkan kerusakan protein, karbohidrat, nukleotida dan lipid bersama-sama dengan mediator inflamasi yang lain yang menyebabkan kerusakan sel. NO berpotensi merelaksasi arteri dan vena otot polos dan secara kuat menghambat agregasi dan adhesi. Asupan NO berperan sebagai agen vasodilator dan mungkin berguna untuk terapi. NO juga berperan pada regulasi jaringan pada proses fisiologi namun jika berlebihan dapat menyebabkan toksisitas. NO mengaktifkan guanilil siklase yang membentuk guanosin monofosfat siklik (cyclic guanosine monophosphate/cGMP) dari guanosine trifosfat. cGMP menghasilkan relaksasi otot polos melalui reduksi konsentrasi Ca2+ intraseluler (Mycek et al., 2001).
2.7 Antagonis Muskarinik
Obat ini beraksi secara selektif menghambat aktvitas saraf parasimpatik, sehingga disebut juga parasimpatolitik. Efek dari obat antagonis muskarinik adalah berlawanan dengan efek agonis muskarinik. Efek antagonis muskarinik pada organ usus yaitu penurunan motilitas. Contoh antagonis muskarinik dari senyawa alami adalah atropin (Atropa belladona) dan hyosin (Datura stramonium) (Nugroho, 2012). Hambatan oleh atropin bersifat reversibel dan
20
Pada reseptor muskarinik terdapat lima subtipe reseptor (M1, M2, M3, M4, M5) dengan respon yang berbeda pada tiap jaringan tubuh manusia. Semua subtipe reseptor muskarinik dapat diblok oleh atropin (Tabel 2.1).
Tabel 2.1 Subtipe reseptor muskarinik dengan antagonisnya Subtipe Antagonis Jaringan Transduser Efektor M1 Atropin,
Pirenzefin
Ganglion otonom
Gq Fosfolipase C (meningkatkan Ca2+ sitosol)
M2 Atropin, AFDX 384
Miokardium, otot polos
G1, Go Mengaktivasi saluran K+, inhibisi adenilil siklase
M3 Atropin Otot polos,
kelenjar sekretori
Gq Fosfolipase C (meningkatkan Ca2+ sitosol)
M4 Atropin, AFDX 384
G1, Go inhibisi adenilil siklase
M5 Atropin Gq Fosfolipase C
(meningkatkan Ca2+ sitosol)
(Harahap, dkk., 2015) 2.8 Organ Terisolasi
Organ terisolasi adalah suatu metode percobaan in vitro. Pada prinsipnya penelitian ini menggunakan organ yang direndam dalam larutan fisiologis yang sesuai, temperatur diatur atau dikondisikan pada kondisi yang sama dari mana organ tersebut berasal serta pengaturan aliran oksigen. Percobaan organ terisolasi ini menggunakan alat organ bath (Perry, 1970).
21
respon kontraktilitas terhadap rangsangan yang diberikan. Respon kontraktilitas dapat direkam dan dapat diukur untuk selanjutnya dapat dibuat kurva dosis respon. Untuk mendapatkan hasil percobaan yang akurat, maka diperlukan persiapan yang baik dan seluruh percobaan harus betul-betul terkontrol. Hewan percobaan yang digunakan dibunuh tanpa anastesi sehingga tidak mempengaruhi kontraktilitasnya. Organ yang diambil segera dimasukkan ke dalam cairan fisiologis dan dikontrol oksigenasinya dan dihubungkan ke transducer dan diteruskan ke alat pencatat misalnya, kymograph atau maclab computer (Syamsudin dan Darmono, 2011).
2.9 Konstipasi
Konstipasi atau sembelit merupakan suatu keadaan yang dapat dialami oleh siapa saja tanpa mengenal usia. Seseorang dapat dikatakan mengalami konstipasi jika terjadi penurunan frekuensi buang air besar yang biasanya ditandai dengan buang air besar yang susah dan feses yang keras. Konstipasi terjadi akibat perlambatan gerakan feses melalui usus sehingga feses terakumulasi pada usus bagian bawah. Tingkat keparahan konstipasi berbeda-beda pada setiap orang. Pada umumnya penderita hanya mengalami konstipasi dalam jangka waktu yang singkat, sementara pada penderita lainnya dapat menjadi kronis (jangka lama) yang kemudian menimbulkan rasa sakit dan tidak nyaman sehingga mempengaruhi kualitas hidup penderita (BPOM, 2013).
22