• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV MIMA PARA TARPOLARDA DALAM KAJIAN KEDUKAAN SERTA PENDAMPINGAN DAN KONSELING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB IV MIMA PARA TARPOLARDA DALAM KAJIAN KEDUKAAN SERTA PENDAMPINGAN DAN KONSELING"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

79 BAB IV

MIMA PARA TARPOLARDA DALAM KAJIAN KEDUKAAN SERTA PENDAMPINGAN DAN KONSELING

Mengacu pada landasan terori dan temuan hasil penelitian maka bab ini akan mengkaji dan menganalisa asal usul, tujuan, landasan filosofis, nilai-nilai spiritual dan pemaknaan Mima Para Tarpolarda dari perspektif kedukaan serta pendampingan dan konseling masyarakat.

4.1 Makna Mima Para Tarpolarda dalam Kajian Kedukaan, Pendampingan dan Konseling

Berdasarkan hasil wawancara bersama informan, masyarakat memahami kematian sebagai wu’ur ne nalbana dukwai dasinani yang berarti ukuran yang dari Tuhan/takdir Tuhan. Oleh karena itu maka, manusia dalam kehidupannya harus siap siaga menerima kapanpun kematian datang menjemputnya. LB/M juga menegaskan bahwa, kematian bagi mereka merupakan sebuah kehilangan dan kerugian terbesar karena mereka tidak mampu mempertahankan seseorang yang dicintai sehingga mereka harus kehilangan satu kekuatan dalam masyarakat. Hal ini sejalan dengan pemikiran Humphrey dan Zimpfer, menurut mereka ketika seseorang mengalami kehilangan itu berarti merupakan simbol kegagalan untuk mempertahankan apa yang dimilikinya.1 Hal ini disebabkan karena, dalam konteks masyarakat Warkjukur, ketika seseorang tidak mampu menyembuhkan orang yang dicintainya dan akhirnya meninggal maka, hal ini merupakan suatu kegagalan dan ketidakberdayaan dalam

1 Geraldine M. Humphrey & David G. Zimpfer, Counseling for Grief and Bereavement:

Second Edition, (London: SAGE Publication Ldt, 2008), 3.

(2)

80

memberikan pertolongan bagi yang dikasihinya terutama bagi kematian yang disebabkan oleh penyakit.

AN menjelaskan bahwa peristiwa kematiaan terkadang membuat keluarga merasa kaget, terkejut dan tidak mampu untuk berkata-kata. Terutama bagi kematian yang terjadi secara tiba-tiba, biasanya kita mendengar kalimat-kalimat yang dikeluarkan seolah-olah tidak menyangka bahwa hal ini terjadi apalagi pada orang yang masih sehat-sehat dan tidak kelihatan seperti orang yang memiliki penyakit berat. Situasi seperti ini membuat orang yang ditinggalkan menjadi shock, sedih dan mudah putus asa, tidak ingin melakukan aktivitas bahkan tidak menyangka hal ini dapat terjadi baginya. Hal ini terjadi pada orang-orang yang memiliki hubungan keluarga dengan almarhum. Hal ini sejalan dengan pemikiran Abineno, menurutnya kedukaan lebih daripada penderitaan, kedukaan bukan hanya terbatas pada apa yang kita rasakan tetapi juga mencakup apa yang kita pikirkan, apa yang kita yakini dan apa yang kita lakukan atau kerjakan.2 Berdasarkan hasil analisa, penulis menemukan bahwa sesungguhnya kematian dan kedukaan dalam konteks masyarakat warjukur merupakan sistuasi yang menghambat seseorang melakukan aktivitas dari apa yang dilakukan biasanya. Kedukaan membawa keterpurukan dalam pikiran dan kesehatan seseorang sehingga terkadang menimbulkan penyakit bagi dirinya sendiri.

Berdasarkan hasil penelitian penelitian terdapat lima makna yang penulis temui yaitu kebersamaan dalam menjalani hidup, menjembatani perbedaan, saling baku bantu sudara pung susah, sebagai pelindung dan persaudaraan. Kelima makna ini

2J. L. CH. Abineno, Pelayanan Pastoral Kepada Orang Berduka, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 1.

(3)

81

terdapat dalam falsafah hidup Mima Para Tarpolarda yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat setempat.

Dalam kajian kedukaan, kelima makna falsafah diatas merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kedukaan seseorang, sebab hal ini merupakan bentuk dari dukungan sosial masyarakat yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang melewati masa kedukaannya. Kolektifitas dan praktik hidup yang berakar pada falsafah Mima Para Tarpolarda memberikan gambaran tentang bentuk dukungan sosial yang efektif untuk menopang individu dalam melewati masa kedukaannya. Hal ini dapat dilihat pada saat terdengar berita duka kemudian secara bersama-sama masyarakat menuju ke rumah keluarga berduka dan membantu mempersiapkan seluruh kebutuhan menyangkut upacara pemakaman bahkan hingga pemakaman selasai masyarakat masih memiliki tugas untuk mengasuh dan menolong individu dalam kedukaannya. Hasil penelitian ini didukung oleh pemikiran Wiryasaputra yang menyatakan bahwa orang yang mengalami kehilangan dan kedukaan biasanya mampu mengatasi krisis kehidupan secara efektif apabila memilki dukungan sosial yang berkualitas. Keluarga dan orang lain dalam kelompok sosial dapat memfasilitasi atau menghambat proses berduka karena dukungan orang lain memiliki dampak signifikan pada peristiwa kedukaan.3 Pengamalan akan kelima makna diatas melalui praktik hidup masyarakat merupakan strategi yang dilakukan untuk mengurangi duka yang didasarkan pada pengetahuan lokal masyarakat sehingga dapat mengintegrasi warganya dan memfasilitasi proses duka yang terjadi yang dilakukan dengan

3 Totok S. Wiryasaputra, Grief Psychotherapy: Psikoterapi Kedukaan, (Yogyakarta: Pustaka Referensi, 2019), 98-101.

(4)

82

memberikan bantuan, kepedulian dan menemani orang berduka untuk menjalani masa dukanya.

Selain sebagai dukungan sosial, Mima Para Tarpolarda juga merupakan kebudayaan yang mampu menolong warganya melewati duka. Wiryasaputra menyebutnya sebagai budaya higienik atau pola budaya yang sehat. Dalam pola ini, orang saling bahu-membahu memberikan kesempatan untuk warganya mewujudkan diri dan potensinya secara penuh sehingga kehilangan dan kedukaan dapat diatasi dengan baik. Setiap anggota masyarakat diterima sebagaimana adanya dalam suka dan duka.4 Hal ini juga diamalkan dalam masyarakat Warjukur. Mereka hidup dalam kebersamaan yang telah menjadi kebiasaan dan ditransmisikan secara turun temurun sehingga menjadi cerminan kearifan lokal masyarakat setempat. Budaya ini dilakukan dalam seluruh aspek kehidupan baik yang berhubungan dengan kebahagiaan dan dukacita. Dalam kebahagiaan seperti yang terlihat dalam penjelasan dan gambar didalam bab III tentang proses pembuatan sampai pada peluncuran bodi motor gereja (alat transportasi laut). Disana masyarakat berpartisipasi dalam kegiatan ini dan ada sukacita yang dirasakan secara bersama-sama.

Dalam kedukaan, Mima Para Tarpolarda memberikan kesempatan bagi warganya untuk menunjukan kepedulian yang didasari dengan lusisilapi bagi keluarga yang berduka. masyarakat setempat menyadari bawa peristiwa kematian merupakan bagian integral yang terjadi dalam desa dan mereka perlu mendapat perhatian bersama. Oleh karena itu, falsafah ini lahir sebagai bentuk solusi yang

4 Wiryasaputra, Grief Psychotherapy: Psikoterapi Kedukaan, 98-101.

(5)

83

kontekstual bagi masyarakat Warjukur. Seluruh tindakan yang dilakukan bagi keluarga berduka merupakan perwujudan dari nilai-nilai spiritual yang tertuang dalam Mima Para Tarpolarda yaitu serpoler (kebersaman) dan lusisilapi (kasih sayang).

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa masyarakat Warjukur yang hidup dalam falsafah Mima Para Tarpolarda berusaha memberikan perhatian semaksimal mungkin sebagai bentuk kepedulian bagi orang berduka agar yang berduka mampu melewati kesedihan dan masa duka yang sementara dialaminya. Hal ini sejalan dengan Worden yang menjelaskan bahwa kesedihan adalah perasaan yang paling umum ditemukan pada yang berduka dan benar-benar membutuhkan pertolongan. Hal ini merupakan sebuah reaksi yang membuat orang/masyarakat disekitar yang melihatnya merasa ibah dan simpati untuk memberikan pertolongan.5 Kehadiran masyarakat dalam peristiwa kedukaan merupakan wujud dari rasa ibah dan simpati yang mereka rasakan sehingga mendorong mereka untuk hidup dalam kebersamaan dan saling berdampingan. Tetapi lebih daripada itu Mima Para Tarpolarda tersimpan sebuah nilai yang disebut lusisilapi (kasih sayang). Kasih

sayang adalah nilai yang dipahami lebih dari pada simpati dan rasa ibah. Nilai ini diangkat berdasarkan pengalaman bersama atas dara sejarah yang telah dibangun.

penjelasan lebih lanjut akan dijelaskan pada analisis tentang nilai spiritual dari falsafah ini.

Dari hasil penelitian yang dilakukan ketika dibandingkan dengan teori Wiryasaputra, maka secara sederhana penulis dapat mengatakan bahwa tindakan

5 J. William, Worden, Grief Counseling and Grief Therapy: Fourth Edition, (New York:

Springer Publishing Company, 2009), 19.

(6)

84

masyarakat setempat yang berdasarkan falsafah ini memberikan gambaran tentang dukungan sosial yang efektif, yang mampu menolong masyarakat melewati masa dukanya. Selain itu juga, nilai yang tersimpan dalam falsafah ini menjadikannya sebagai sebuah budaya higienik karena lingkungan sosial dari keluarga berduka mampu menegrti dan memahami kedukaan yang sementara dialami dan menyediakan sarana pendukung dalam proses penyembuhan sehingga, penduka mengalami pemulihan secara perlahan-lahan dan menemukan setiap makna dari peristiwa yang telah dilaluinya.

Dalam kajian pendampingan dan konseling, dapat dilihat bahwa masyarakat Warjukur dalam kesehariannya menerapkan falsafah hidup ini sebagai rasa cintanya kepada sesama yang dipraktekan berdasarkan kelima makna yang terkandung didalamnya dan hingga saat ini, mereka masih menjunjung tinggi nilai kearifan lokal yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Selain untuk membantu sesama, praktik hidup masyarakat yang berlandaskan pada falsafah ini juga sebagai bentuk penghargaan mereka terhadap para leluhur yang telah menciptakan falsafah ini sebagai sarana membantu dan menolong orang lain. Penghargaan ini diaplikasiakan melalui kebiasaan masyarakat dalam bahu-membahu dan memberi pertolongan bagi sesama adalah wujudnyata dari betapa kuatnya eksistensi nilai falsafah ini dalam kehidupan mereka.

Mima Para Tarpolarda merupakan sebuah budaya yang berisikan tentang

ajakan untuk membantu orang lain, dijadikan sebagai dijadikan sebagai pedoman berkehidupan masyarakat Warjukur. Namun hingga saat ini masyarakat setempat belum sepenuhnya menyadari bahwa sesunggunya apa yang diyakini dan dipraktikan

(7)

85

adalah bentuk pendampingan dan konseling yang dilakukan oleh seluruh masyarakat.

Bagi Alexander Uhi6, didalam budaya masyarakat Indonesia terdapat nilai yang diyakini dan turut membangun kehidupan bersama yaitu ketuhanan, kemanusiaan, solidaritas masyarakat, persaudaraan dan kerukunan. Jika ditelurusi kelima nilai yang dikemukaan oleh Uhi juga melekat pada falsafah komunitas lokal ini. Akan tetapi falsafah ini menambahkan satu nilai yaitu lusisilapi yang berarti kasih sayang. Jika dilihat dari praktik hidup masyarakat setempat maka kehadiran falsafah ini turut membangun kehidupan bersama dan mengintegrasi masyarakat untuk mengambil bagian dalam setiap perstiwa. Budaya ini merupakan sebuah alternatif yang turut membangun konsep pendampingan dan konseling masyarakat yang kontekstual.

Dari falsafah ini, masyarakat setempat belajar bahwa setiap peristiwa yang dialami mengharuskan mereka untuk berpartisipasi dan berperan aktif dalam memberi dukungan bagi sesama yang membutuhkan. Pola hidup berdampingan seperti ini tanpa disadari bahwa sesunggunya mereka telah mempraktikan sebuah tindakan dan pola hidup yang sesuai dengan fungsi pendampingan dan konseling. Pendampingan dan konseling masyarakat berbasis budaya lokal yang disebut Mima Para Tarpolarda memberikan gambaran tentang tindakan pendampingan dan konseling yang kontekstual sesuai dengan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Masyarakat lokal khususnya, memiliki pola hidup dan strategi tertentu dalam mewujudkan harmonisasi dan keseimbangan hidup bersama, hal ini dapat ditemukan melalui budaya masyarakat setempat.

6 Jannes Alexander Uhi, Filsafat Kebudayaan , (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 12.

(8)

86

Berdasarkan hasil penelitian, Mima Para Tarpolarda merupakan sebuah kearifan lokal yang ditransmisikan secara lisan dan lahir dari pikran para leluhur untuk menata kehidupan bersama. Penghargaan akan budaya ini diwujudnyatakan melalui praktik hidup yang saling memperhatikan, mengasihi dan bahu-membahu dalam setiap peristiwa. Hal ini sejalan dengan pemikiran Koenjaraningrat yang mengatakan bawa sesungguhnya nilai budaya memiliki nilai paling tinggi dari adat istiadat, sebab nilai ini ada dalam hidup dan pikiran manusia. 7 Mima Para Tarpolarda merupakan cerminan kearifan lokal masyarakat yang dihidupi dalam hati

dan pikiran masyarakat Warjukur, sebab didalamnya terkandung makna pendampingan dan konseling yakni membantu, menolong, mendampingi dan mewujudkan tujuan-tujuan hidup secara.

Berdasarkan asal usul, falsafah ini lahir dari keadaan sehati, sepikir dan sepenanggungan untuk merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Konsep inilah yang membantuk karakter masyarakat setempat untuk menjadi bermakna bagi yang membuthkan. Ini merupakan cara yang lahir dari dalam diri manusia untuk menolong masyarakatnya yang membutuhkan pertolongan. Hal ini selajan dengan pemikiran Wiryasaputra8 bahwa, setiap masyarakat dalam kebudayaan tertentu memiliki cara tersendiri untuk memberi pertolongan dan bantuan bagi orang lain dalam melewati masa dukanya. Mima Para Tarpolarda merupakan sebuah strategi kehidupan masyarakat dalam memberi dukungan dan bantuan bagi orang lain dalam melewati masa dukanya sebab, didalam budaya ini tersimpan makna dan nilai-nilai yang dapat

7 Koenjranigrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP,1993), 3.

8 Wiryasaputra, Mengapa Berduka, 31.

(9)

87

digunakan sebagai pendampingan dan konseling selain itu semua masyarakat berkumpul sebagai bentuk dukungan dan partisipasi dalam membantu sesama dalam melewati masa dukanya. Hal ini yang disebut oleh Wiryasaputra sebagai caring community.

Hadirnya falsafah ini mengharuskan setiap individu untuk memberi perlindungan dan penghargaan bagi orang lain tanpa membedakan antara satu dengan yang lain. Bagi masyarakat Warjukur duka yang sementara dialami oleh sesama/tetangganya bukan hanya menjadi beban dan tanggungannya sendiri tapi menjadi tanggungan mereka bersama. Dalam hal ini mereka menerapkan prinsip perlindungan bagi masyarakat yang sementara mengalami duka. Baik orang yang sehat atapun sakit harus memiliki hak yang sama untuk tetap diperhatikan dan dilindungi terutama dalam mengalami kedukaan. Semua masyarakat mendapat perlakukan yang sama dan tidak dibeda-bedakan suku, ras, jenis kelamin dan status sosial sehingga, terciptanya harmonisasi dalam masyarakat Warjukur. Hal ini sejalan dengan Engel yang menjelaskan bahwa konseling masyarakat berorientasi pada keadilan sosial artinya bahwa setiap orang dalam ras, suku, etnis, jenis kelamin, usia cacat fisik/mental dan sebagainya memiliki hak untuk diperlakukan setara.9 Dengan adanya falsafah ini masyarakat Warjukur sudah berusaha mengembangkan berbagai perangkat dan kebijaksanaan budaya (cultural means and wisdom), 10 untuk membantu sesamanya dalam menghadapi dan melewati setiap tahapan dari siklus perkembangan kehidupan manusia. Hanya saja mereka belum memahami sepenuhnya

9 Jacob Daan Engel, Konseling Masalah Masyarakat, (Yogyakarta: Kanisius, 2018), 5.

10 Wiryasaputra, Mengapa Berduka, 28.

(10)

88

bahwa ini adalah wujud nyata dari tindakan dan konseling bagi orang berduka. Kita tahu dari pemaparan sebelumnya bahwa Mima Para Tarpolarda dibuat dan dibentuk oleh para leluhur untuk dapat menemani masyarakat melewati masa dukanya. Dapat kita lihat bersama bahwa eksistensi nilai falsafah ini bukan hanya berlaku bagi masyarakat Warjukur saja tetapi juga berlaku bagi desa tetangga yang membuthkan pertolongan khususnya bagi mereka yang mengalami kematian karena kecelakaan ditengah laut dan berhari-hari belum ditemukan.

Praktik hidup masyarakat Warjukur yang dilandaskan pada falsafah Mima Para Tarpolarda memperlihatkan penggunaan budaya sebagai basis tindakan

konseling menegaskan bahwa pendampingan dan konseling bukan hanya dilakukan oleh individu atau konselor professional yang terlatih tetapi dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Hasil penelitian ini didukung oleh pemikiran Wisyasaputra yang menegaskan bahwa, pendampingan yang dilakukan oleh semua anggota keluarga manusia secara universal dimanapun mereka tinggal.

Siapun yang melakukan pendampingan ini disebut healing community yang berarti masyarakat yang mempedulikan, mendampingi dan menyembuhkan sehingga pendampingan ini disebut sebagai pendampingan eksistensial.11 Dapat diperhatikan pada bab sebelumnya bagaimana masyarakat secara universal melakukan proses pendampingan bagi keluarga yang berduka dimulai pada saat pemberitaan kabar kematian sampai menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pemakaman hingga alesi’ni (mengasuh) ketika semua masyarakat telah kembali dan

11 Totok S. Wiryasaputra, Konseling Pastoral: Konsep & Penerapannya di Era Milenial, (Yogyakarta: Pohon Cahaya, 2019), 84.

(11)

89

melaksanakan aktifitas masing-masing. Praktik hidup yang dijalani oleh masyarakat secara tidak langsung mewujudkan helaing community atau masyarakat yang mempedulikan, masyarakat yang mendampingi dan masyarakat yang menyembuhkan.

Dengan demikian, kolektifitas dan kebersamaan hidup yang hingga kini dijalani dapat dikatakan sebagai bentuk pendampingan dan konseling masyarakat terhadap keluarga berduka. Berdasarkan hasil kajian terhadap penulisan ini, maka penulis dapat mengatakan bahwa sesungguhnya pendampingan dan konseling masyarakat berfokus penggunaan nilai budaya masyarakat setempat sebab, didalamnya terkandung nilai-nilai yang sama dengan konsep pendampingan dan konseling.

4.2 Landasan Filosofis Mima Para Tarpolarda dalam Kajian Kedukaan serta Pendampingan dan Konseling.

Berdasarkan hasil temuan maka ditemukan landasan filosofis Mima Para Tarpolarda yaitu Poler. Filosofis tersebut melahirkan ungkapan tradisional yang

disebut Mima Para Tarpolarda. Dapat diperhatikan bahwa, Mima Para Tarpolarda merupakan falsafah hidup komunitas lokal Warjukur yang mengandung nilai sosial yang mengikat seluruh masyarakat dimanapun mereka berada. Falsafah ini dipraktikan dalam dimensi kehidupan yang berhubungan dengan kebahagiaan dan dukacita. Penulis mengangkat sebuah masalah untuk membatasi penyajian penulisan ini yaitu masalah kedukaan yang disebabkan oleh kematian.

(12)

90

Sama halnya dengan persepsi manusia tentang kematian, bagi masyarakat Warjukur yang hidup didaerah terpencil kematian merupakan momok terbesar dalam sebuah siklus kehidupan. Kematian merupakan peristiwa yang harus dikhlaskan bahkan disisi lain keadaan tidak siap untuk menerima kenyataan membuat individu yang memiliki hubungan dekat terkandang tidak mampu membendung kesediahan, kekecewaan dan amarah serta menimbulkan berbagai respon akibat kedukaan baik yang berhubungan dengan fisik maupun psikologis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Klasen. Baginya, dukacita yang timbul dari kematian orang yang dicintai dapat memicu beragam respons kesedihan seperti gangguan pada fungsi tubuh yang berhubungan dengan dimensi fisik, emosi, kognitif, perilaku, dan spiritual. Pada waktunya, kesedihan mereda melalui adaptasi dan penyesuaian terhadap kehilangan.12 Dasar inilah yang membuat penulis mengangkat kedukaan sebagai kasus yang dikaji dalam penulisan ini sebab peristiwa ini setiap individu yang berduka membutuhkan penolong untuk meluapkan seluruh perasaan dukannya.

Dengan demikian, masyarakat Warjukur yang hidup dalam tatanan budaya dan adat istiadat menciptakan sebuah aturan adat bagi seluruh masyarakat untuk menyikapi kematian. Aturan adat yang berisi ajakan ini dihidupi melalui sebuah falsafah lokal Mima Para Tarpolarda. Makna yang terkandung dalam falsafah ini mengharuskan

seluruh masyarakat agar mampu menjadi penolong bagi sesamanya dalam hidup sebagai sebuah persekutuan dan komunitas.

12 Mary Klasen , Sunil S. Bhar, Anna Ugalde and Christopher Hall, “Clients‟ Perspectives on Outcomes and Mechanisms of Bereavement Counselling: A Qualitative Study”, Australian Psychologycal Society, 2017, 363.

(13)

91

Poler lahir dalam konteks masyarakat dan jemaat untuk merasakan apa yang

dialami oleh orang lain. Konsep merasakan yang dimaksud adalah membantu dan memberi solusi melalui tindakan nyata yang dilakukan. Diawali saat kematiaan terjadi pada salah satu anggota masyarakat, maka hal pertama yang dilakukan adalah pemanggilan seluruh anggota masyarakat melalui pengeras suara (megaphone) yang dimiliki oleh Gereja. Hal ini dilakukan agar semua masyarakat mengambil bagian dalam peristiwa kedukaan yang sementara terjadi. Setelah, itu dilakukan pembagian tugas untuk mengatur seluruh rangkaian prosesi pemakaman dan sebisa mungkin mendampingi individu/keluarga yang berduka. Hal ini merupakan bentuk kepedulian yang dilakukan secara kolektif dari masayarakat setempat.

Dalam Poler masyarakat belajar untuk hidup dalam sebuah persekutan yang saling berdampingan terkhusunya pada peristiwa kedukaan. Didalam hidup yang saling berdampingan itulah masyarakan mengembangkan sikap saling berbagi dalam hal apapun seperti memberikan tenaga untuk pembuatan tenda duka, memberikan/menyiapkan makanan untuk proses persiapan pemakaman hingga berakhirnya acara pemakaman. Hal ini sejalan dengan pemikiran Bagi Clinbell,13 yang menyatakan bawa salah satu tugas dalam kedukaan adalah sentuhan fisik dan pemberian makanan yang merupakan sentuhan simbolik untuk berkomunikasi. Dalam praktik hidup didalam poler masyarakat berusaha untuk memberikan bantuan berupa makanan bagi keluarga yang berduka. Pemberian batuan berupa makanan yang diberikan merupakan tindakan yang secara alamiah terjadi tanpa dipaksakan.

13 Howard Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral (Yogyakarta:

Kanisius,2002),289

(14)

92

Berdasarkan hasil wawancara dikatakan bahwa setiap masyarakat diperbolehkan untuk membawa apapun dari apa yang dimilikinya sehingga dapat diberikan kepada keluarga berduka. Hal ini dilakukan atas dasar kemurnian dan kesucian hati tanpa ada paksaan dari pihak lain.

Mima Para Tarpolarda merupakan budaya yang diwariskan dari para leluhur

hingga saat ini dan menjadi cerminan kearifan lokal masyarakat setempat serta berfungsi bukan hanya untuk menolong tetapi juga menyatukan seluruh masyarakat desa Warjukur. Giyono,14 memperjelas bahwa sesungguhnya kebudayaan yang diciptakan harus digunakan agar manusa mampu menghadapi lingkungannya.

Artinya, kebudayaan dijadikan sebagai alat yang dapat digunakan bagi manusia untuk menghadapi lingkungannya dimana ia hidup. Mima Para Tarpolarda Merupakan sebuah warisan leluhur yang digunakan untuk kepentingan seluruh masyarakat Warjukur.

Kita tahu dari pemahaman sebelumnya, dalam peristiwa kedukaan semua orang hadir tanpa terkecuali untuk memberikan dukungan, bantuan dan perhatian baik secara materil maupun penguatan secara psikologis. Hal ini didukung oleh teori Maddison, D. C. dan Walker, W. L dalam buku Dying, Death and Grief yang ditulis oleh Brenda Mallon menjelaskan bahwa Keluarga dan orang lain dalam kelompok sosial dapat memfasilitasi atau menghambat proses berduka, karena dukungan orang lain memiliki dampak signifikan pada peristiwa kedukaan. Kedatangan dan dukungan dari masyarakat setempat memampukan individu yang berduka melewati masa kedukaannya sehingga pribadi/keluarga yang berduka akan tertolong secara komunal

14 Giyono, Konseling Lintas Budaya, (Yogyakarta: Media Akademi, 2016), 11.

(15)

93

melalui perangkat budaya ini.15 Wiryasaputra, memperjelas bahwa dukungan sosial yang tulus dan mendalam dari masyarakat akan sangat efektif dalam pendampingan kedukaan sehingga mewujudkan sebuah caring community.16 Maksud dari semua ini adalah penduka dapat menemukan makna hidup baru dari peristiwa yang terjadi.

Segala bentuk dukungan masyarakat yang datang ke rumah duka didorong oleh pengetahuan dan kepercayaan bahwa pada suatu saat mereka akan mengalami peristiwa yang demikian.

Masyarakat menyadari bahwa kedukaan merupakan sebuah tahapan emosional yang berat dan pasti dialami oleh setiap manusia. Kesadaran inilah yang membentuk konsep hidup masyarakat sebagai penolong bagi yang berduka melalui perangkat dan kearifan lokal yang dimiliki. Hal ini dilakukan agar mampu meringankan beban kedukaan dari si penduka. Mereka menyadari bawa yang berduka harus didampingi, ditolong dan dilindungi. Nilai hidup yang terkandung dalam poler membentuk paradigma berpikir masyarakat bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama yaitu hak untuk mendapat kehidupan layak dan hak untuk dilindungi. Dalam kondisi ini, penduka berhak untuk mendapat kehidupan yang layak. Artinya, penduka dalam kondisi kedukaannya berhak mendapat perlakuan yang baik dan layak untuk menerima kasih sayang dari orang lain. Selain itu, penduka berhak untuk dilindungi.

Dalam arti ini, penduka harus dilindungi dari kemungkinan buruk yang terjadi seperti

15Mallon, Dying, Death and Grief, 12, dikutip dari Maddison, D. C. and Walker, W. L.

(1967) „Factors affecting the outcome of conjugal bereavement‟, British Journal of Psychiatry, 113:

1057–67.

16 Wiryasaputra, Mengapa Berduka: Kreatif Mengelola Perasaan Duka, 31.

(16)

94

depresi dan gangguan fisik serta setiap masyarakat wajib menghargai perasaan orang yang berduka dan membimbingnya.

Koentjaraningrat,17 menjelaskan bahwa nilai budaya memiliki nilai paling tinggi dalam adat istiadat, sebab nilai inilah yang ada di dalam hidup dan pikiran manusia. Tradisi yang dihidupi melalui falsafah lokal Mima Para Tarpolarda yang dilakukan oleh masyarakat Warjukur merupakan perwujudan dari nilai budaya yang tertanam dalam jiwa mereka. Ada perbedaan yang sangat besar antara budaya barat dan budaya timur khususnya Indonesia, bahwa kesedihan/konseling yang dilakukan bagi orang barat adalah sebuah masalah privasi yang hanya akan diceritakan kepada keluarga inti atau orang terdekat bahkan untuk konselor professional yang terlatih.

Berbeda dengan Indonesia yang memiliki kekayaan budaya sehingga dapat dijadikan sebagai konsep baru dalam upaya mengkontekstualisasikan tindakan pendampingan dan konseling secara kolektif berdasarkan nilai-nilai budaya masyarakat setempat.

Landasan filosofis ini memungkinkan setiap masyarakat untuk hidup berdampingan antara satu dengan yang lain, memberi pertolongan dan pendampingan bagi anggotanya yang sedang berduka. Selain itu, memberi banyak ruang dan kesempatan agar para tua adat, pelayan gereja serta jemaat bisa saling mendukung, membimbing, menopang, memulihkan dan menyembuhkan anggotanya yang sedang berduka. Masyarakat yang hidup dalam poler diberi tugas untuk menangkap beban setiap manusia untuk diatasi dan dicari solusinya secara bersama-sama. Tugas ini diberikan agar setiap individu dalam masyarakat memahami makna persekutuan dan

17 Koenjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan Dan Integrasi Nasional, (Jakarta: UIP, 1993), 3.

(17)

95

bertumbuh secara utuh. Rasa peduli kepada sesamanya inilah yang membuat masyarakat saling terikat satu dengan yang lain. Landasan filosofis ini membuat masyarakat setempat memiliki jiwa senasib dan sepenanggungan yang kemudian diaplikasikan dalam kehidupan berjemaat dan bermasyarakat. Dengan perangkat dan kebijaksanaan lokal itu diharapkan bisa menolong umat tertentu menjalani masa-masa sulit. Dengan perangkat dan kebijaksanaan lokal, masyarakat bisa ditolong secara kultural sehingga mereka yang mengalami kehilangan dan kedukaan tidak merasa sendiri menjalani masa-masa sulit itu.

Hidup didalam poler (persekutuan) telah menjadi cirri khas masyarakat Warjukur sejak dahulu hingga saat ini. Kenyataan inilah yang menjadikan masyarakat untuk turut merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain khususnya didalam peristiwa kedukaan. Masyarakat setempat meyakini bahwa mereka adalah satu sehingga tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang lain. Jika ada yang terluka maka menjadi beban bersama, jika ada yang bahagia maka itu menjadi sukacita bersama dan jika ada yang mengalami kedukaan maka hal itu menjadi tanggungan bersama untuk saling memperhatikan. Didalam ruang ini tercipta hubungan persaudaraan yang sangat kuat. Jordan didalam Engel18, menegaskan bahwa dalam rangka meningkatkan hubungan dan memperbaiki perilaku klien yang bermasalah dalam masyarakat dibuthkan konseling budaya. Pola hidup yang ditunjukan masyarakat yang berdasar pada poler merupakan sebuah bentuk konseling budaya, sebab melukiskan tentang tindakan yang berorientasi pada pelaksanaan dan nilai daripada konseling itu sendiri.

18 Engel, Konseling Masalah Masyarakat, 6-7.

(18)

96

Berdasarkan hasil penelitian dan kajian teori maka dapat disimpulkan bahwa landasan filosofi yang dipraktekan melalui tindakan nyata masyarakat merupakan sebuah bentuk dukungan serta pendampingan dan konseling masyarakat bagi orang berduka. Pendampingan dan konseling yang dilakukan bukan berjalan atas dasar konseli dan konselor yang diawali dengan pembuatan janji untuk bertemu tetapi berdasarkan nilai-nilai kebersamaan dan kasih sayang yang dibangun dari sejarah, pengalaman bersama dan pengetahuan lokal yang diwariskan dari para leluhur secara turun menurun hingga saat ini.

4.3 Nilai-Nilai Spiritual Mima Para Tarpolarda dalam Kajian Fungsi Pendampingan dan Konseling

Kajian terhadap landasan filosofis Mima Para Tarpolarda tersebut, kemudian melahirkan nilai-nilai spiritual yang bisa menolong individu dan keluarga yang berduka dalam mengalami pemulihan dari rasa duka yang sedang dialami. Didalam Poler terdapat dua nilai besar yaitu serpoler dan lusisilapi kemudian dijabarkan

menjadi enam teknik yang berperan dalam mengatasi proses kedukaan. Adapun nilai- nilai spiritual tersebut antara lain:

4.2.1 Serpoler

Serpoler berarti hidup dalam kebersamaan. Kebersamaan terbentuk dari

pikiran sehati, sejiwa dan sepenanggungan. Hidup dalam kebersamaan memperkuat tali persaudaraan yang dibangun dalam komunitas Warjukur. Dalam arti ini serpoler menyimpan dua nilai yang terkadung dalam budaya yaitu nilai persaudaraan dan

(19)

97

kerukunan. Alexander Uhi, menjelaskan bahwa persaudaraan berarti terjalinya relasi timbal balik antara manusia yang satu dengan yang lainnya atau antara manusia dengan masyarakat. Ada dua prinsip utama dari penegakan nilai-nilai persaudaraan sejati yang muncul dalam tradisi adat atau budaya dimasyarakat adat yaitu: manusia harus diperlakukan secara manusiawi dan apa yang ingin kamu lakukan pada dirimu lakukan itu pada orang lain. Sedangkan nilai kerukuranan ini tidak hanya lahir dan berkembang dari tradisi-tradisi adat dan budya nilai kerukunan lahir dan terbentuk dalam proses bertumbuh dan berkembangnya masyarakat. Didalam pendampingan dan konseling fungsi memulihkan/memperbaiki hubungan. 19 dapat membantu memperbaiki hubungan yang rusak antara individu dengan orang lain. pendampingan yang dilakukan bukan hanya memulihkan relasi dengan sesama tetapi juga mengembangkan spiritualitasnya dalam hubungan dengan Tuhan. Hidup didalam kebersamaan (serpoler) dapat membantu meningkatkan hubungan persaudaraan antara sesama dan juga kepada Tuhan. Tradisi yang dilakukan berdasarkan Mima Para Tarpolada, memberikan kesempatan kepada masyarakat dengan caranya

masing-masing untuk menjadi penolong sebagai wujur dari poler. Kebersamaan yang dibentuk dalam komunitas Warjukur menghasilkan sebuah persaudaraan yang rukun.

Selain itu, Nilai ini juga berfungsi untuk menjaga ikatan persaudaraan yang telah dibangun bersama. Hidup dalam kebersamaan menunjukan bahwa sesungguhnya masyarakat Warjukur merupakan makhluk sosial yang membutuhkan orang lain.

Serpoler diwujudnyatakan dalam tiga langkah antara lain:

19 Jacob Daan Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 8.

(20)

98 a. Rakwali

Rakwali berarti gotong royong. Artinya bahwa, selama proses kedukaan

berlangsung ada ruang kebersamaan yang tercipta bagi kerabat, tua adat, jemaat dan masyarakat untuk saling mendukung sehingga yang berduka tidak merasa sendiri.

Hidup yang dipraktekan masyarakat Warjukur tentang kegotongroyongan dapat mengurangi beban kedukaan, sehingga setiap orang yang berduka mampu meminimalisir kedukaan yang sementara dialami. Baku bantu yang dilakukan secara bersama-sama memungkinkan setiap individu dalam kelompok masyarakat untuk mengembangkan relasi persaudaaran. Rakwali merupakan pendampingan awal yang dilakukan dalam mengatasi kedukaan yang terjadi. Hal ini didukung oleh teori Wiryasaputra tentang tahapan pendampingan dan konseling. Baginya pendampingan pada tahap awal, pertama-tama dilakukan untuk menciptakan hubungan.20 Proses yang dilakukan pada tahap pertama berdasarkan falsafah ini merupakan sebuah kepercayaan yang dianut bersama sejak dulu hingga saat ini untuk dapat membangun hubungan dan relasi kekeluargaan antar masyarakat. Kepedulian masyarakat kepada orang berduka telah ada sejak dulu dan menjadi sebuah kebiasaan yang dijalankan setiap saat. Pendampingan yang dilakukan berdasarkan rakwali memampukan individu yang berduka merasakan kehangatan ikatan persaudaraan dalam komunitas Warjukur.

Sebagai konseling dapat dilakukan untuk mengurangi kesedihan dan shock awal pada saat peristiwa kematian, sebab didalam kolektivitas hidup ada persaudaraan dan

20 Totok. S. Wiryasaputra, Ready to Care; Pendampingan dan Konseling Psikologi.

(Yogyakarta: Galang Press, 2006), 9.

(21)

99

upaya untuk meringankan beban kedukaan. Bagi Masyarakat Warjukur, kehadiran adalah hal utama yang harus dilakukan sebelum melakukan tindakan pertolongan sebab, hadirnya seseorang dalam kehidupan keluarga berduka merupakan sikap kepedulian yang dapat dilihat secara nyata. Hal ini diterapkan dalam setiap acara/upacara yang berhubungan dengan sukacita maupun dukacita. Mereka yakini bahwa kehadiran akan mengurangi beban kedukaan yang sementara dialami sehingga mendatangkan keberuntungan bagi keluarga yang berduka tetapi juga masyarakat.

Dalam kajian fungsi pendampingan dan konseling langkah ini sejalan dengan pemikiran Van Beek tentang fungsi menopang atau menyokong. Ia menjelaskan bahwa fungsi menopang bukan pada tindakan dan kata-kata melainkan kehadiran kita sebagai bentuk bantuan bagi mereka untuk bertahan dalam situasi krisis yang bagaimanapun beratnya. Sokongan berupa kehadiran, sapaan dan sikap yang terbuka akan mengurangi beban penderitaan mereka. Hal ini dapat membantu mengurangi penderitaan yang begitu memukul.21 Hal ini dilakukan agar dapat meringankan beban kedukaan yang disebakan oleh rasa kaget dan shock (keadaan terpukul) ketika peristiwa kedukaan datang secara tiba-tiba.

b. Dam’i e Tu

Dam’i e Tu berarti Menyatuhkan. Hal ini dilakukan dengan kehadiran dan

membangun percakapan bersama orang yang berduka. Dalam proses penyatuan itulah setiap masyarakat dituntut untuk mengembangkan rasa saling memiliki, hal ini dilakukan agar terciptanya ruang solidaritas untuk menjalani kehidupan bersama antar

21 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral , (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), 9.

(22)

100

masyarakat dengan individu atau keluarga yang berdua. Hal ini didukung oleh pemikiran Durkheim yang menegaskan bahwa solidaritas menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dan atau kelompok yang didasarkan pada perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama, yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama.22 Mima Para Tarpolarda merupakan sebuah cerminan kearifan lokal yang dianut dan diyakini bersama sebagai bentuk penghormatan bagi leluhur tetpai juga untuk menciptakan solidaritas antar masyarakat sebab, didalamnya masyarakat diberikan kesempatan untuk mengekspresikan kepeduliannya kepada yang membutuhkan keluarga berduka.

Dengan melakukan proses pendampingan melalui Mima Para Tarpolarda setiap individu diharuskan mengembangkan rasa saling memiliki agar terciptanya solidaritas dalam masyarakat. Jika dikaji dari fungsi pendampingan dan konseling maka dam’I etu merupakan perwujudan dari fungsi penopangan. Clinebell mengatakan bahwa, Fungsi menopang membantu seseorang yang mengalami luka dan sakit untuk bertahan menghadapi dan melewati masa-masa sulit yang dialami.23 Dalam konteks masyarakat Warjukur, dalam proses penyatuan terdapat perhatian yang diberikan dari masyarakat kepada orang berduka sehingga hal ini mampu menopang yang berduka dalam melewati masa kedukaan yang sedang dialaminya sebab masyarakat menyadari bahwa kehadirannnya harus menjadi berkat dan penopang bagi yang membutuhkan.

22 Doyle Paul Johnson, Teori Sosiologi Klasik dan Modern, (Jakarta: PT. Gramedia, 1968), 181.

23 Clinebell, Tipe-Tipe Dasar Pendampingan dan Konseling Pastoral, 54.

(23)

101

Salah satu masalah dalam kedukaan adalah seringkali terjadinya kerenggangan hubungan sosial antara penduka dan masyarakat. Penduka membatasi diri untuk dikunjungi sehingga membuatnya semakin terpuruk. Oleh karena itu, selain sebagai pendampingan langkah ini juga digunakan sebagai bentuk konseling untuk memperbaiki kerenggangan hungungan yang tercipta karena penduka tidak ingin menemui siapapun dalam situasi dukanya. Hal ini dilakukan agar terciptanya harmonisasi dan ikatan kekeluargan yang terlah dibangun tetap terjaga. Kehadiran masyarakat dalam keluarga berduka dan memberikan pertolongan dapat mengurangi bahkan mengatasi permasalan kerenggangan hubungan sosial karena adanya saling memiliki, selain itu penduka merasa bahwa ia tidak sendiri dalam menghadapi masa sulitnya bahwa ada kerabat yang ikut menanggung masalah yang sementara dialami.

Hal ini sejalan dengan pemikiran Engel tentang fungsi memulihkan dan memperbaiki hubungan. Baginya fungsi ini membantu individu untuk membangun kembali relasi yang rusak dengan orang lain.24 Proses penyatuan yang tercipta melalui kehadikan dan komunikasi merupakan bentuk dukungan yang diberikan oleh masyarakat memungkinkan penduka merasa dilindungi dan dihargai sehingga teknik ini dapat terlaksana dengan baik.

c. A poni Ya’are Soba

A poni Ya’are Soba berarti saling berbagi. Langkah ini diaktualisasikan

melalui komunikasi dan percakapan antar penduka kepada masyarakat. Adapun tujuan pendampingan dari teknik ketiga ini adalah masyarakat harus mampu

24 Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 8.

(24)

102

mengarahkan yang berduka agar tidak terpaku pada kejadian yang sementara dialaminya dengan sasaran pencapiannya adalah orang yang berduka memperoleh ketenangan dalam melewati masa dukanya. Percakapan yang dilakukan memberi ruang bagi masyarakat untuk dapat membimbing dan berbagi cerita tentang penderitaan yang sementara dialami, menangis jika ingin meluapkan dukanya yang tertunda akibat kehadiran banyak masyarakat. Jika dianalisis menggunakan fungsi pendampingan dan konseling maka hal ini sejalan dengan pemikiran Clebsch &

Jaekle tentang fungsi menasihati dan membimbing. Fungsi bimbingan dapat membantu individu yang berada dalam kebingungan untuk menentukan pilihan dan keputusan yang pasti.25 Mima Para Tarpolarda memiliki otoritas untuk membimbing setiap anak/cucu/keluarga dan jemaat yang menghadapi krisis untuk menentukan sikap dan pilihan bagi kehidupan masa depan supaya proses kedukaan tidak mengorbankan hal-hal penting lain dalam hidup seperti relasi dengan orang lain dan pencapaian tujuan-tujuan hidup lainnya.

Selain sebagai pendampingan, teknik ini juga dapat dipakai sebagai sarana konseling. Artinya, melalui proses saling berbagi yang terjadi antara penduka dengan kerabat/tua adat merupakan cara agar individu dapat memperbaiki rasa bersalah dan keputusasaan yang semakin dilimpahkan bagi dirinya sendiri. Hal ini terjadi bagi orang yang memiliki hubungan dengan dengan orang yang berduka. Dalam proses berbagi inilah individu yang berduka dituntun agar dapat mengalami kesehatan secara mental. Semakin kita mampu menceritakan kisah kematian tersebut sebagai sebuah

25 William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive (Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall, 1964), 49.

(25)

103

kenangan, maka semakin besar pula kemungkinan kita menyembuhkan kesedihan, rasa bersalah dan putus asa. Hal ini merupakan perwujudan dari fungsi penyembuhan yang dikemukakan oleh Engel. Baginya, fungsi ini menuntun konseli mengungkapkan perasaan hatinya terdalam. Melalui interaksi yang terbuka mampu mengatasi beberapa kerusakan dan menuntunya pada kondisi sebelumnya. 26 Percakapan yang bersifat terbuka dan saling mendukung untuk kebaikan bersama menentukan apa yang baik bagi masa depan indivudu/keluarga yang berduka. Nilai A poni Ya’are Soba menjadikan masyarakat Warukur memahami penderitaan orang lain

dengan berlandaskan kasih sayang. Ketika nilai ini diterapkan dalam masayarakat Warjukur maka secara langsung dapat mengatasi masalah kesehatan yang buruk dan renggangnya hubungan sosial. Artinya bahwa, ketika ada proses komunikasi yang terjadi individu yang berduka merasa ada yang peduli dan memberi perhatian kepadanya. Kepedulian berdampak pada peluang penyembuhan/ menyembuhkan sehingga semua yang terikat dalam kekeluargaan karena genealogis masuk dalam relasi yang baru. Agen membimbing dan menasihati ini merupakan significant other (orang yang paling dekat) dengan manusia tersebut seperti orang tua, kakak adik, saudara, teman, guru, pelayan dan lain sebagainya.

4.2.1 Lusisilapi

Lusisilapi berarti kasih sayang. Bagi masyarakat setempat, hidup sebagai

sebuah persekutuan harus didasari dengan kasih sayang agar tercipta suasana yang harmonis dan damai. Seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa

26 Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 7-8.

(26)

104

lusisilapi (kasih sayang) adalah hal utama untuk menjalani hidup dalam kebersamaan.

Nilai ini tercermin dalam kehidupan masyarakat Warjukur dalam membangun hubungan dengan orang lain. Dalam kedukaan, nilai ini sebagai simbol kekuatan bagi yang berduka, sebab disitu ia merasakan perhatian dan ketulusan. Kasih sayang harus berasal dari kesucian dan kemurnian hati tanpa ada paksaan untuk merasakan dan menanggung apa yang dialami oleh orang lain. Kebiasaan ini yang tetap dipertahankan hingga kini dalam mewujudkan ikatan cinta kasih antar sesame dalam komunitas Warjukur. Didalam nilai ini terdapat tiga langkah yang dapat dilakukan dalam mewujudkan nilai kedua ini antara lain:

Jika dianalisa menggunakan fungsi pendampingan dan konseling, penulis dapat menyimpulkan bahwa keenam fungsi ini terkandung dalam lusisilapi (kasih sayang), Sebab berdasarkan hasil wawancara nilai ini merupakan dasar dari setiap tindakan yang dilakukan. Dengan melakukan praktik hidup yang didasari dengan kasih sayang maka setiap individu dalam masyarakat Warjukur mampu melakukan tugas untuk membimbing, menopang, menyembuhkan, memperbaiki hubungan, memelihara dan mengutuhkan serta memberdayakan. Kasih sayang kepada sesama adalah bagian penting untuk mewujudnyatakan rasa kekeluargaan, karena apapun yang dilakukan dengan dapat berdampak positif bagi yang menerimanya. Bagi masyarakat Warjukur kasih sayang lebih daripada empati karena dapat ditunjukan setiap saat dan dalam situasi apapun.

(27)

105 a. A Kwar’ni Pa Soba’ni

A Kwar’ni Pa soba’ni berarti menolong. Dalam pendampingan proses ini

dilakukan agar bertujuan untuk mengembangkan sikap peduli bagi yang berduka.

Sangat disadari bahwa yang berduka sesungguhnya membutuhkan pertolongan dari masyarakat dalam melewati masa dukanya karena sesungguhnya manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain dalam siklus kehidupannya.

Kepedulian yang diberikan bagi yang berduka dilakukan untuk mencapai sasaran mewujudkan cinta kasih. Menolong yang dimaksudkan adalah memfasilitasi Proses kesembuhan secara fisik agar dapat meningkatkan kesehatan fisik yang optimal sehingga dapat menjalani hari-hari hidupnya kedepan. Langkah ini dilakukan untuk mencapai kesehatan fisik secara utuh.

Hal ini sejalan dengan Clebsch dan Jaekle 27 yang menyatakan bahwa fungsi menyembuhkan sangat penting bagi mereka yang mengalami dukacita karena kehilangan. Fungsi ini dapat membantu individu untuk mengungkapkan perasaan hatinya yang terdalam. Fungsi penyembuhan mengatasi kerusakan dilakukan dengan mengembalikan individu pada suatu keutuhan dan menuntunya kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Dalam praktik, kehadiran dan keterlibatan dari kaum keluarga, tua adat masyarakat serta jemaat dalam kedukaan seseorang membantu individu/keluarga yang berduka untuk dengan cepat mengakhiri masa kedukaan.

Penyelesaian terhadap masalah ini harus segera dituntaskan agar individu yang berduka bukan hanya dapat melewati masa kedukaannya tapi juga menemukan harapan baru. Keterlibatan anggota keluarga dalam memberikan topangan dilakukan

27 William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspektive,33-36.

(28)

106

sebagai sarana penyembuhan. Jika dalam masa kedukaannnya penduka mengalami gangguan kesehatan secara fisik biasanya masyarakat mempergunakan ramuan- ramuan tradisional untuk proses penyembuhan bagi penduka. Ini merupakan bentuk pendampingan yang bukan hanya memberikan pengutan secara verbal tetapi juga memberikan solusi konkrit/tindakan nyata dalam membantu penduka melewati masa dukanya. Selain itu hal ini dilakukan untuk mengurangi ketakutan yang sering terjadi akibat ditinggalkan orang yang dikasihinya.

b. Dam’i eta Ya’a

Dam’i eta Ya’a berarti mengutuhkan. Langkah ini memungkinkan setiap

individu didalam masyarakat untuk mengalami secara bersama peristwa-peristiwa penting dan peristiwa traumatis sebagai pengalaman dan pembelajaran baru. Dalam pendampingan, proses ini dilakukan agar orang yang berduka mampu mengembangkan konsep diri yang postif mengenai apa yang telah terjadi dan bahwa ia tidak sendiri. Hal ini dilakukan untuk memulihkan kembali rasa percaya diri dalam melewati kehidupan kedepan tanpa orang yang dikasihinya. Dalam fungsinya sebagai konseling proses ini digunakan agar memperbaiki hilangnya harapan hidup dan mengoptimalkan harapan baru yang indah. Hasil penelitian ini didukung oleh pemikiran Van Beek,28 tentang fungsi mengutuhkan. Baginya, Fungsi ini adalah fungsi pusat karena sekaligus merupakan tujuan utama dari pendampingan yaitu pengutuhan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya yakni fisik, sosial, mental dan spiritual. Dalam masyarakat Warjukur fungsi ini dilakukan agar setiap

28 Aart Van Beek, Pendampingan Pastoral, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 2017), 13-17

(29)

107

orang baik penduka maupun masyarakat belajar dan bertumbuh bersama dalam sebuah komunitas. Seringkali dalam kedukaan seseorang tidak mampu menahan rasa marah dan tangisan ketika menghadapi hal ini. Oleh karena itu, setiap orang dituntut untuk mendampingi orang lain dalam kehidupan sosialnya. Gerkin29 dalam bukunya

“konseling Pastoral dalam Transisi” menyebutkan bahwa penyembuhan batin, harus secara fundamental dilaksanakan dengan bahan mentah pengalaman religius (the raw stuff of religious experiences). Kehidupan religius masayarakat Warjukur sangat

dipengaruhi oleh pola hidup yang memiliki ketaatan individu untuk menjalani ajaran- ajaran agamanya. Oleh karena itu, pelayan gereja juga memili peran penting dalam memberikan penguatan secara batin bagi penduka dalam melewati masa dukannya.

Siraman rohani dan kunjungan pelayan sangat dibutuhkan agar dapat mengurangi keputusasaan dan menemukan makna hidup baru.

c. Alesi’ni

Alesi’ni berarti mengasuh. Dalam masyarakat Warjukur, Fungsi ini dilakukan

oleh masyarakat pada saat semua masyarakat telah kembali ke aktifitas dan keseharian masing-masing. Dalam fungsinya sebagai pendampingan, proses ini bertugas untuk mengembangkan dan memperkuat kesadaran diri penduka dalam melewati hari-hari tanpa orang yang dicintainya. Selain itu juga dapat digunakan untuk memperbaiki orintasi makna dan sasaran pencapaian dari kedua inni adalah yang berduka dapat menemukan makna hidup yang baru atau meanging of life. Hasil

29 Charles Gerkin, Konseling Pastoral Dalam Transisi (Yogyakarta: Kanisius, 1992),18

(30)

108

penelitian ini senada dengan pemikiran Clinebell tentang fungsi penopangan30 Fungsi menopang membantu konseli yang mengalami luka dan sakit untuk bertahan menghadapi dan melewati masa-masa sulit yang dialami. Fungsi ini membantu individu untuk menerima kenyataan, mandiri dalam keadaan yang baru serta bertumbuh secara penuh dan utuh. Sesungguhnya setiap orang yang mengalami peristiwa ini pasti merasa tidak berdaya dan hidupnya pasti dalam kesendirian.

Manusia pada dasarnya merupakan mahkluk sosial, dimana mereka tidak bisa hidup sendiri dalam kesehariannya. Manusia saling ketergantungan satu dengan lainnya dalam berbagai hal, termasuk dalam hal kematian yang menimbulkan reaksi kedukaan. Oleh karena itu, fungsi ini dihadirkan dalam masyarakat Warjukur untuk tetap memantau dan memberikan penguatang bagi yang berduka. Selain itu juga fungsi mengasuh adalah hal utama. Bagi Engel, Fungsi ini memampukan konseli untuk mengembangkan potensi-potensi yang diberikan Allah kepada dirinya. Dengan demikian, pendampingan dan konseling melaksanakan fungsi penggembalaan dengan tujuan utama mengutuhkan kehidupan manusia dalam segala aspek kehidupannya yakni fisik, sosial, mental, spiritualnya.31 Dalam masyarakat Warjukur, fungsi ini tidak dijelaskan seberapa lama dapat berlangsung karena tergantung dari tingkat kedukaan seseorang. Hal ini merupakan tahapan terakhir dalam memfasilitasi individu yang berduka agar mampu menerima kenyataan dan dapat menemukan makna hidupnya sehingga dapat melanjutkan aktifitasnya seperti biasa.

30 Clinbell, Tipe-tipe Dasar Pendampingan Dan Konseling Pastoral, 17-18

31 Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 8-9.

(31)

109 4.4 Rangkuman

Berdasarkan hasil kajian kedukaan serta pendampingan dan konseling terhadap Mima Para Tarpolarda maka ditemukan beberapa hal penting sebagai berikut:

1. Makna, landasan filosofis dan nilai spiritual Mima Para Tarpolarda jika dikaji dari konsep kedukaan maka kelima makna falsafah diatas merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat kedukaan seseorang, sebab pemaknaan akan kedua hal diatas merupakan bentuk dari dukungan sosial masyarakat yang menentukan berhasil atau tidaknya seseorang melewati masa kedukaannya. Kolektifitas dan praktik hidup yang berakar pada falsafah Mima Para Tarpolarda memberikan gambaran tentang bentuk dukungan sosial yang

efektif untuk menopang individu dalam melewati masa kedukaannya. Mima Para Tarpolarda juga merupakan kebudayaan yang mampu menolong

warganya melewati duka. Wiryasaputra menyebutnya sebagai budaya higienik atau pola budaya yang sehat.

2. Praktik hidup masyarakat Warjukur yang dilandaskan pada falsafah Mima Para Tarpolarda memperlihatkan penggunaan budaya sebagai basis tindakan

konseling menegaskan bahwa pendampingan dan konseling bukan hanya dilakukan oleh individu atau konselor professional yang terlatih tetapi dapat dilakukan oleh seluruh masyarakat dalam kebudayaan tertentu. Hasil penelitian ini didukung oleh pemikiran Wisyasaputra yang menegaskan bahwa, pendampingan yang dilakukan oleh semua anggota keluarga manusia secara universal dimanapun mereka tinggal. Siapun yang melakukan

(32)

110

pendampingan ini disebut healing community yang berarti masyarakat yang mempedulikan, mendampingi dan menyembuhkan sehingga pendampingan ini disebut sebagai pendampingan eksistensial.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan minat konseling adalah perhatian lebih besar, rasa suka atau tertarik terhadap kegiatan konseling yang dapat

Data selengkapnya mengenai persentase setiap indikator angket motivasi belajar matematika siswa pada prasiklus dapat dilihat pada Lampiran 29. Berdasarkan hasil angket dari

Dengan memiliki bisnis sendiri akan memberikan para pebisnis kebebasan dan kesempatan untuk mencapai tujuan hidup mereka. Para pebisnis berusaha keras untuk

Pada penelitian ini objek analisis adalah deskripsi cerita TB (folklor). Terdepat variasi cerita TB pada masyarakat Asemdoyong. Masyarakat berusaha memahami cerita

Dari kasus ini dapat dilihat betapa suami berusaha memberikan nafkah kepada isterinya meskipun harus mengambil pekerjaan apapun yang bisa menghasilkan uang untuk

Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan Djehan dapat dilihat kelebihannya dalam kemampuan hasil belajar yang meningkat dengan pendekatan Project Based Learning meliputi

40 Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan dan berdasarkan tabel diatas dapat dilihat bahwa pada sensor ketinggian bahan bakar dengan LED berwarna merah,

Hasil penelitian yang didapat, yaitu: dalam pengelolaan BUMDes Tridadi makmur dapat dilihat bahwa kapasitas pengelola BUMDes dalam menggerakan masyarakat sudah dilakukan semaksimal