• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI 2021 M / 1442 H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI 2021 M / 1442 H"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)PERSPEKTIF MAQASHID AL-SYARIAH ATAS PEMBERIAN KOMPENSASI KEPADA PENGELOLA TANAH BERSERTIFIKAT HAK PAKAI PEMDA (STUDI PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BATUSANGKAR NO. 20/PDT.G/PN.PBS). PROPOSAL TESIS Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Master Hukum Program Studi Hukum Islam. Oleh: ADE SAPUTRA NIM. 10119019. PROGRAM STUDI HUKUM ISLAM PASCA SARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BUKITTINGGI 2021 M / 1442 H.

(2) PERSETUJUAN PEMBIMBING. Pembimbing tesis atas nama ADE SAPUTRA, NIM. 10119019 dengan judul “Perspektif Maqashid Al-Syariah Atas Pemberian Kompensasi Kepada Pengelola Tanah Bersertifikat Hak Pakai Pemda (Studi Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS)”, memandang bahwa tesis yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan ilmiah dan dapat disetujui untuk dilanjutkan ke sidang munaqasah. Demikianlah persetujuan ini diberikan untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.. Bukittinggi,. Oktober 2021. Pembimbing,. Dr. M. TAUFIQ, M.Ag NIP. 19760224 200710 1 001. ii.

(3) ABSTRAK Tesis ini berjudul Perspektif Maqashid Al-Syariah Atas Pemberian Kompensasi Kepada Pengelola Tanah Bersertifikat Hak Pakai Pemda (Studi Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS)” oleh Ade Saputra, NIM: 10119019. Program Studi Hukum Islam Pasca Sarjana IAIN Bukittinggi tahun 2021. Maksud judul menjelaskan pandangan Maqashid AlSyariah terhadap pemberian kompensasi kepada masyarakat yang mengelola tanah yang merupakan barang milik daerah dan telah bersertifikat Hak Pakai atas nama Pemerintah Kabupaten Tanah Datar berdasarkan putusan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS. Motivasi penulis memilih judul tersebut karena berdasarkan putusan No. 20/PDT.G/PN.PBS. untuk pengosongan tanah barang milik daerah, Pemerintah Kabupaten Tanah Datar memberikan kompensasi terhadap masyarakat yang menglola dan memanfaatkan tanah barang milik daerah tersebut. Sedangkan sesuai dengan ketentuan pemanfaatan barang milik daerah, Untuk penggunaan dan pemanfaatan barang milik daerah, dapat dilaksanakan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna, dan kerjasama penyediaan infrastruktur. Hal ini menjadi sebuah ketertarikan bagi penulis, untuk meneliti secara lanjut apa yang menjadi landasan dalam pemberian kompensasi kepada masyarakat yang telah mengambil manfaat diatas tanah pemerintah. Penelitian ini termasuk jenis penelitian lapangan (Field Research), yang bersifat analisis kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris. Sedangkan teknik pengumpulan data dengan menggunakan metode wawancara dan analisa data yang diperoleh, sehingga terjawablah persoalan-persoalan yang menjadi topik dalam penelitian ini Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanah sertifikat hak pakai atas nama Pemerintah Kabupaten Tanah Datar merupakan barang milik daerah yang diperoleh secara sah sesuai dengan ketentuan pengadaan tanah untuk pembangunan kepentingan umum, dan sertifikat tersebut juga sah secara hukum karena tidak pernah dibatalkan. Pemberian kompensasi kepada pengelola dan pemanfaatan tanah sertifikat mengacu pada ketentuan Perpu 51 Tahun 1960 dan KUHP Perdata, kewenangan pengosongan lahan/tanah yang dimanfaatkan secara illegal merupakan kewenangan dari Menteri Agraria dan Penguasa daerah. Masyarakat yang mengelola tanah pemerintah, telah merawat dengan baik barang milik daerah, sehingga memberikan nilai tambah terhadap tanah. Pemberian kompensasi oleh Pemerintah Kabupaten Tanah Datar bertujuan untuk menghilangkan penderitaan dan kesengsaraan serta memberikan perlindungan kepada masyarakat yanag terdampak akibat pengosongan lahan. Menolak kemudharatan merupakan sebuah kemaslahatan yang merupakan perwujudan pencapaian dari maqasid al-syariah yang merupakan tujuan dari islam.. iii.

(4) KATA PENGANTAR. Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah Subhana wata’ala yang telah melimpahkan rahmat, nikmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat merasakan manisnya iman, sejuknya kehidupan, dan indahnya ilmu pengetahuan. Berkat itu jualah penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis yang berjudul “Perspektif Maqashid Al Syariah Atas Pemberian Kompensasi Kepada Pengelola Tanah Bersertifikat Hak Pakai Pemda (Studi Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS)” ini. Selanjutnya shalawat beserta salam penulis teruntuk kepada Baginda Rasulullah Shalallahu alaihi wassalam yang telah membawa cahaya kebenaran, sebagai suri tauladan dan telah meninggalkan dua pedoman hidup bagi umat manusia sebagai petunjuk ke jalan yang benar yaitu Al-Quran dan Sunnah. Tesis ini penulis susun dalam rangka menyelesaikan kuliah penulis guna meraih gelar Magister Hukum (M.H) pada Program Studi Hukum Islam (HI) Fakultas Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan, hal ini tidak lain dari keterbatasan penulis, sehingga mengalami hambatan dan kesulitan, akan tetapi berkah dan bantuan dari berbagai pihak yang telah membantu penulis sehingga hambatan dan kesulitan tersebut dapat diatasi. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan yang tak terhingga kepada kedua orang tua, istri, dan anak-anak penulis serta saudara dan keluarga besar yang selalu menjadi kekuatan bagi penulis dalam menjalani dan menghadapi permasalahan hidup ini serta memberikan semangat, dukungan baik moril maupun materil. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terimakasih kepada 1. Ibu Dr. Ridha Ahida, M.Hum Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. 2. Bapak Direktur Fakultas Pascasarjana Dr. Gazali, M. Ag dan Ketua Program Studi Hukum Islam Ibuk Dr. Endri Yenti, M, Ag Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. 3. Bapak Dr. Arsal, M. Ag selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dan menyumbangkan buah fikiran untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. 4. Bapak Dr. Zul Efendi, M. Ag selaku Pembimbing Akademik (PA) yang telah memberikan fasilitas, saran dan motivasi bagi penulis. 5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi yang telah memberikan ilmu dan motivasi yang bermanfaat bagi penulis. 6. Bapak/ Ibuk Staf Fakultas Pascasarjana Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. 7. Dr. Syahril, SH, MH selaku atasan dan mentor yang telah memberikan semangat dan dorongan untuk terus melanjutkan pendidikan. 8. Kepala Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia yang telah memberikan izin belajar. iv.

(5) 9. Kepala Bagian Hukum Sekretariat Daerah Kab. Tanah Datar beserta jajaran, yang telah mengizinkan penulis melakukan penelitian dan berpartisipasi dalam memberikan informasi terkait penelitian tesis ini. 10. Seluruh sahabat-sahabat baik penulis yaitu keluarga besar Hukum Islam B (HI-B) Bp-2019 yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Atas bantuan, saran dan bimbingan yang telah diberikan, penulis do’a. 11. Rekan-rekan kerja di lingkungan Pemerintah Kota Padang Panjang, dan semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan tesis ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT membalas semua kebaikan dan memberikan pahala atas semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis. Terakhir, penulis menyadari bahwa tak ada yang sempurna di dunia ini. Tesis ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, penulis berharap masukan dan kritikan yang membantu kesempurnaan tesis ini. Penulis berharap, semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak, Amiin............. Bukittinggi,. Oktober 2021 Penulis,. ADE SAPUTRA NIM. 10119019. v.

(6) DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ……………………………………………………... i.. PERSETUJUAN PEMBIMBING ……………….…………………...…. ii.. ABSTRAK ………………..………………………………………………. iii.. KATA PENGANTAR ……………………………………………………. iv.. DAFTAR ISI …………………….……………………………………….. v.. BAB I PENDAHULUAN A.. Latar Belakang Masalah …………………………………………... 1. B.. Fokus Penelitian ……………………………………………………. 10. C.. Rumusan Masalah …………………………………………………. 10. D.. Tujuan dan Kegunaan Penelitian …………………………………. 11. E.. Defenisi Operasional ……………………………………………….. 12. F.. Tinjauan Kepustakaan …………………………………………….. 13. G.. Metode Penelitian ………………………………………………….. 15. H.. Sistematika Penulisan …………………………………………….... 19. BAB II PENGADAAN TANAH KEPENTINGAN UMUM A.. Tinjauan Umum Mengenai Tanah, Hak Penguasaan Atas Tanah, dan Hak Atas Tanah …………….………………………... 21. B.. Pengertian dan Tujuan Pengadaan Tanah ………………………. 32. C.. Pengertian Kepentingan Umum Serta Batasan Kepentingan Umum Terkait Dengan Fungsi Sosial Tanah .……………………. 34. D.. Musyawarah Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ……………………………………………………………….. 37. E.. Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum ……………………………………………………………….. 42. BAB III PENGADAAN TANAH PERSPEKTIF MAQASID AL-SHARI’AH A.. Pengertian, klasifikasi, dan prinsip-prinsip Maqasid al-shari’ah.. 42. B.. Pengadaan tanah kepentingan umum perspektif Maqasid alshari’ah ……………………………………………………………... 63. C.. Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum perspektif Maqasid al-shari’ah………………….…………. 68. vi.

(7) BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.. Kedudukan dan Kekuatan hukum mengikat Sertifikat Hak Pakai Pemkab Tanah Datar pada Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs ………………………………... 74. B.. Landasan filosofi pemberian kompensasi kepada masyarakat diatas Tanah Sertifikat Hak Pakai Pemkab Tanah Datar pada Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs.... 86. C.. Ganti Kerugian Dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum perspektif Maqasid al-shari’ah………………….…………. 100. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A.. Kesimpulan ………………………..………………………………... 110. B.. Saran…………………………………………………………............ 112. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN. vii.

(8) 1. BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Tanah dalam kehidupan manusia mempunyai kedudukan yang sangat penting. Dapat dikatakan bahwa tanah merupakan faktor penunjang utama penghidupan manusia dan seluruh mahluk hidup di muka bumi. Dimana secara tidak langsung semua aktifitas manusia berlangsung dan dilaksanakan di atas tanah. Ketergantungan manusia terhadap tanah tidak dapat dipungkiri, di atas permukaan tanah manusia memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih bagi masyarakat yang tinggal di pedesaan yang mata pencaharian pokoknya bertani, berkebun atau berladang, tanah adalah tempat bergantung hidup mereka.1 Tidak hanya sebatas hal tersebut, tanah juga merupakan lahan untuk manusia mendirikan bangunan sebagai tempat tinggal, tempat berkembangnya kehidupan manusia mulai dari sosial, politik dan budaya seseorang atau komunitas lain. Kebutuhan manusia akan tanah setiap harinya selalu meningkat, hal ini seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, sedangkan luas tanah tidak pernah bertambah, menjadikan nilai tanah semakin tinggi dan penting. Ada dua hal penyebab mengapa tanah memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebagaimana yang diungkapkan Soerojo Wingnjodipoero yaitu2: 1. Menurut sifatnya, dimana tanah dalam keadaan apapun bersifat tetap dalam keadaanya, dan kadang dapat menjadi lebih menguntungkan, 2. Menurut faktanya, tanah merupakan tempat tinggal persekutuan, memberikan perlindungan kepada persekutuan, merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dikebumikan dan merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindung persekutuan. 1. 2. Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rajawali Pers, 1989), H. 1. Soerojo Wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat (Jakarta: Gunung Agung, 1994), H. 197.. 1.

(9) serta roh para leluhur. Selain untuk kepentingan pribadi manusia, tanah juga mempunyai fungsi sosial yang dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pembangunan. Pembangunan oleh Pemerintah bertujuan untuk melaksanakan kepentingan bangsa dan Negara. Salah satu bentuk pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah yaitu Pembangunan infrastruktur, yang merupakan konsekuensi dari kewajiban pemerintah untuk mensejahterakan rakyat, dan dalam pelaksanaannya tentunya harus tunduk pada konstruksi hukum.3 Untuk mendapatkan lahan dalam pelaksanaan pembangunan, tentunya pemerintah tidak mendapatkannya dengan begitu saja, perlu melalui tahapan pembebasan lahan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Mekanisme pembebasan lahan untuk pelaksanaan pembangunan dikenal dengan istilah pengadaan tanah untuk kepentingan umum. Ketentuan mengenai pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.4 Ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menyatakan bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan oleh Pemerintah. Pengadaan tanah yang dimaksud disini ialah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. 5 Sementara, ganti kerugian tanah adalah penggantian kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah. Adapun aspek ganti kerugian yang layak pada prinsipnya harus memenuhi tiga aspek, yaitu aspek ekonomis, aspek sosiologis, dan aspek filosofis.6 Pengambilan tanah-tanah penduduk untuk kepentingan pembangunan atau penyelenggaraan kepentingan umum tersebut, dapat dilakukan dengan 3 (tiga) cara antara lain meliputi pelepasan atau penyerahan hak atas tanah Priskilla Velicia Ong, “Kajian Yuridis Terhadap Implementasi Ganti Rugi Atas Pengadaan Tanah Demi Kepentingan Umum,” no. 7 (t.t.): 8. 4 Ong, H. 124. 5 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, t.t. 6 Bernhad Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan (Jakarta: Margaretha Pustaka, 2011), H. 369. 3. 2.

(10) (pembebasan tanah), pencabutan hak atas tanah dan perolehan tanah dilakukan secara langsung dengan cara jual beli, dan tukar-menukar atau cara lain yang disepakati secara sukarela.7 Pengalihan hak tanah untuk kepentingan umum dalam dunia Islam, bukanlah suatu fenomena yang baru. Dimana pada zaman nabi, Rasulullah pernah membeli tanah untuk membangun Masjid Nabawi, 8 kemudian pada masa Khalifah Umar bin Khatab, beliau pernah melakukan jual beli atau ganti rugi tanah guna pelebaran masjid. Pengadaan tanah dalam hukum Islam dipahami sebagai bentuk untuk merealisasikan kemaslahatan manusia, yaitu untuk meraih kemanfaatan, sekaligus untuk menolak timbulnya kemudaratan, serta melepaskan diri dari beraneka ragam kesulitan. Namun, kemaslahatan manusia dipengaruhi oleh ruang dan waktu, karena sesuatu yang mengandung maslahah saat ini belum tentu dipandang maslahah pada masa dulu atau masa datang. Demikian juga sebaliknya, sesuatu yang dianggap maslahah oleh seseorang belum tentu dianggap maslahah juga oleh orang lain.9 Aspek kepentingan umum atau maslahah menjadi inti dalam setiap kebijakan pemerintah, sesuai dengan kaidah fikih yang menyatakan bahwa tindakan penguasa terhadap rakyatnya harus terkait dengan kepentingan umum. Adapun pemaksaan dengan dengan alasan yang benar adalah sah karena melaksanakan kerelaan syara’ (kebenaran) itu kedudukannya sama dengan kerelaan pemiliknya.10 Pemerintah sebagai pelaksana pembangunan untuk masyarakat mempunyai hak dan wewenang untuk membuat keputusan dan kebijakan yang harus ditaati oleh rakyatnya, sebagaimana kaidah fiqh yang dirumuskan oleh Imam Syafi’i yang berbunyi: ِ. ُ ‫لر ِعيّ ِة َمنُ او‬ ‫صلَ َح ِة‬ ٍ‫ف ا‬ ‫ط بِا لا َم ا‬ ّ ‫اْل َما م علئ ا‬ ُ ‫ص َّر‬ َ َ‫ت‬. 7. Oloan Sitorus dan Dayat Limbong, Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum (Yogyakarta: Mitra Kebijakan Tanah, 2004), H. 1. 8 Faozi Latif dan Asep Sunarko, Pengalihan Hak Atas Tanah Untuk Kepentingan Umum Menurut Hukum Islam, h. 300. 9 Mohammad Rusfi, Validitas Maslahat Al-Mursalah Sebagai Sumber Hukum di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, Jurnal Al-Adalah Vol. XII (2014): 66. 10 Pembebasan Tanah Rakyat Oleh Pemerintah, Https://Islam.Nu.Or.Id/Post/Read/8164/TentangPembebasan-Tanah-Rakyat-Oleh-Pemerintah.. 3.

(11) Artinya : kebijakan pemimpin/khalifah adalah untuk kepentingan rakyatnya.11 Berdasarkan hal itu, umat Islam (rakyat) wajib untuk taat dan patuh atas segala keputusan dan kebijakan yang telah ditetapkan oleh imamnya demi mewujudkan kemaslahatan tersebut. Terkait ganti rugi, Islam telah mengatur dengan sedemikian rupa untuk dipraktekan dalam kehidupan. Pada prinsipnya ganti rugi dalam Islam disyariatkan sebagai upaya dalam menjaga harta dan jiwa akibat dari suatu perbuatan melanggar hukum dan menimbulkan kerugian. Oleh sebab itu, tinjuan lain menyebutkan bahwa ganti rugi merupakan bagian maqashid alsyariah yakni perlindungan atau penjagaan terhadap harta dan jiwa.12 Ganti kerugian merupakan bentuk penghukuman atas perbuatan mengakibatkan kerugian harta benda orang lain. Dalam konsep keadilan, perbuatan merusak atau menghilangkan manfaat benda yang bukan miliknya tanpa izin dari pemiliknya, maka dia diwajibkan untuk memberikan atau membayar ganti kerugian kepada pemiliknya, dengan benda atau harta yang sama nilainya dengan benda yang telah dirusak atau dihilangkan manfaatnya tersebut. Ganti rugi pengadaan tanah untuk kepentingan umum dalam syariah Islam, diatur dengan tidak meninggalkan prinsip sebagaimana transaksi jual beli yaitu tawar menawar, dan didalamnya juga harus ada kerelaan kedua belah pihak. Ganti rugi dalam Islam merupakan tentang ganti kerugian yang diberikan harus sesuai dengan harga jual pada saat itu, dan dalam hal ini diperkenankan adanya unsur paksaan atau menganiaya sebagaimana hadist berikut:. َ َ َّ‫سل‬ ُ ‫ع انهُ ا َ َّن َر‬ َ ُ‫صلَّى ا لله‬ َ ُ‫ي ا الله‬ َ َ ‫علَ اي ِه َو‬ ِ ‫س ِع اي ِد ب ِان زَ اي ٍد َر‬ َ ‫ع ان‬ َ ‫س او َل ا لل ِه‬ َ ‫ض‬ ُ ‫ظ ال ًما‬ ُ ‫ض‬ ‫ض اي َن‬ ِ ‫قَا َل ِق ُّل ِمنَ ا ال ََل ار‬ ِ ‫س اب َع ا َ ار‬ َ ‫ط او ِقهُ ا للهُ إِيَّاهُ يَ او َم اال ِقيَا َم ِة‬ Terjemahan: Said Bin Zaid RA berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang merampas sejenggal tanah di bumi ini dengan cara aniaya, Allah akan mengalungkan tanah yang dirampasnya itu kelehernya di hari kiamat, dan ketujuh petala bumi” (H.R. Bukhari dan Muslim). Berdasarkan hadist diatas, syariat Islam untuk mendapatkan kerelaan 11 12. Ali Ahmad An-Nadwi, Al-Qowaid al-Fiqhiyah (Beirut-Libanon: Dar al-Fikr, 1986), H. 138. Muhajirin Muhajirin, “Ganti Rugi (Studi Analisis Perbandingan Antara Hukum Positif dan Hukum Islam Melalui Pendekatan Maqashid al-Syariah),” Al-Mashlahah: Jurnal Hukum Islam dan Pranata Sosial 6, no. 02 (30 Oktober 2018): H. 17, https://doi.org/10.30868/am.v6i2.303.. 4.

(12) sehingga tidak ada unsur paksaan. Sebagaimana dengan firman Allah SWT:13. ً ً ‫ار‬ ِ َ‫ياَيُّ َها الَّ ِذيانَ ا َمن ُ اوا َْل تَأاكُلُ اوا ا َ ام َوالَ ُك ا َ بَيانَ ُك ا َ بِالاب‬ َ ََ ِ‫اط ِل ا َِّْل ا َ ان تَكُ اونَ ت‬ ‫س ُك ا َ ۗ ا َِّن اللهَ َكانَ ِب ُك ا َ َر ِح اي ًما‬ ٍ ‫ع ان ت َ َر‬ َ َ ُ‫اض ِ ّم ان ُك ا َ ۗ َو َْل ت َ اقتُل ُ اوا ا َ انف‬ Artinya :”Wahai orang-orang yang beriman Janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dalam perdagangan yang berlaku atas dasar suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sungguh, Allah Maha Penyayang kepadamu. (An-Nisa (4): 29) Dengan demikian pemerintah dalam pembebasan lahan atau tanah untuk kepentingan umum dapat melakukan upaya paksa namun tetap diwajibkan untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi yang memadai kepada pemilik lahan/tanah. Seiring dengan peran dan kedudukan tanah dalam kehidupan, baik bagi masyarakat atau pun pemerintah, tanah sangat rawan menjadi objek perselisihan atau sengketa antar manusia. Salah satu penyebab sengketa tersebut dikarenakan kebutuhan manusia terhadap tanah setiap harinya selalu meningkat, sedangkan persediaannya relatif tetap. Berdasarkan sengketa tanah di tengah-tengah masyarakat, konflik kepentingan dalam sengketa tanah terjadi sebagai berikut :14 1) Rakyat berhadapan dengan birokrasi; 2) Rakyat berhadapan dengan perusahaan negara; 3) Rakyat berhadapan dengan perusahaan swasta; dan 4) Konflik antara rakyat. Hampir di setiap daerah terdapat sengketa tanah, para pihak yang terkait dan berwenang menangani permasalahan tersebut menyelesaikannya dengan berbagai cara. Cara penyelesaian sengketa yang telah ditempuh selama ini adalah melalui pengadilan (litigasi) dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan (non litigasi).15 Dalam sengketa tanah rakyat yang berhadapan dengan birokrasi, hal Departemen Agama RI, Al-Qur’an Al-Karim dan Terjemahannya (Bandung: CV. Penerbit Diponegoro, 2000). 14 S.W.Sumardjono, M, Kebijakan Pertanahan, Antara Regulasi dan Implementasi (Jakarta, 2005). 15 Herlina Ratna Sambawa Ningrum, Analisis Hukum Sistem Penyelesaian Sengketa Atas Tanah Berbasis Keadilan, Jurnal Pembaharuan Hukum 1, no. 2 (1 Agustus 2014): 219, https://doi.org/10.26532/jph.v1i2.1481. 13. 5.

(13) ini terjadi dalam ruang lingkup tanah yang digunakan untuk pelaksanaan pembangunan. Sengketa tersebut pada umumnya terjadi pada proses pembebasan lahan dalam pengadaan tanah. Namun pada tataran kasus yang dijumpai di lapangan, terdapat kasus terhadap tanah yang telah dibebaskan (telah dibeli) dan tercatat sebagai aset pemerintah. Sengketa seperti ini salah satunya sebagaimana perkara No. 20/PDT.G/PN.PBS di Pengadilan Negeri Batusangkar. Pada perkara tersebut, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tanah Datar digugat oleh masyarakat yang mendiami sekaligus mengelola tanah seluah + 500 M², yang merupakan bagian dari tanah dengan Sertifikat Hak Pakai No. 03.10.06.07.4.00001 tahun 1998, atas nama Pemkab Tanah Datar dengan luas 6.110 M². Gugatan tersebut muncul saat adanya rencana tergugat ingin mengosongkan lahan karena akan dimanfaatkan untuk pembangunan. Namun penggugat selaku pengelola tanah, menuntut adanya ganti rugi terhadap pelaksanaan pengosongan objek sengketa oleh tergugat tersebut. Dalam proses pemeriksaan perkara, sebagai tindaklanjut ketentuan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan sebagai penjabaran dari Pasal 130 HIR – Pasal 154 Rbg, majelis hakim wajib mengupayakan perdamaian para pihak melalui mediasi.16 Dalam proses mediasi, para pihak perkara tersebut sepakat untuk berdamai, dan membuat kesepakatan yang berbunyi sebagai berikut : “untuk pengosongan lahan/tanah objek perkara, pihak penggugat memberikan uang santunan/ kompensasi ganti rugi kepada penggugat”. Kesepakatan para pihak tersebut, selanjutnya dituangkan dalam suatu bentuk putusan akta perdamaian. Dimana akta perdamaian merupakan akta yang berisikan kesepakatan perdamaian dan putusan hakim yang menguatkan kesepakatan perdamaian tersebut yang tidak tunduk pada upaya hukum biasa maupun luar biasa,17 serta mempunyai kekuatan eksekutorial.18 Tanah Sertifikat Hak Pakai No. 03.10.06.07.4.00001, berasal dari. 16. Sri Puspitaningrum, Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan 15, No. 2 (2018): 25. 17 Mediasi, Https://Pn-Surabayakota.Go.Id/Kepaniteraan-Perdata/Mediasi. 18 Puspitaningrum, “Mediasi Sebagai Upaya Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan.”. 6.

(14) tanah hak ulayat adat yang telah dibebaskan oleh Pemkab Tanah Datar melalui jual beli. Tanah tersebut merupakan hak ulayat kaum, dan untuk pembebasannya maka Pemkab Tanah Datar melakukan jual beli dengan ninik mamak kepala waris. Hal ini sejalan dan sesuai dengan ketentuan Pasal 6 Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat No 16 Tahun 2008 tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, yang menyatakan bahwa pemilik dan penguasa tanah ulayat kaum adalah mamak kepala waris.19 Berdasarkan dengan ketentuan UU No. 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2020, menyatakan bahwa tanah yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN/APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah merupakan barang milik Negara/Daerah yang kemudian dicatatkan kedalam neraca aset Negara/Daerah dan pengelolaannya harus sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan mengenai Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.20 Untuk memberikan kepastian hukum terhadap tanah yang telah dibeli atau dibebaskan melalui APBN/APBD, pemerintah diwajibkan untuk melakukan pengurusan sertifikat atas tanah tersebut. Kedudukan sertifikat merupakan hal yang sangat penting, dimana sertifikat berfungsi sebagai bukti penguasaan hak atas tanah yang dapat dipakai dalam pembuktian pada saat melakukan perbuatan hukum dalam kehidupan sehari-hari ataupun dalam pembuktian pada saat berperkara di Pengadilan.21 Ketentuan Pasal 16 ayat (1) UUPA dan Pasal 53 UUPA, menyatakan bahwa hak atas tanah yang dapat dikuasi oleh pemerintah daerah adalah hak. 19. 20. 21. Peraturan Daerah Provinsi Sumatera Barat Nomor 16 Tahun 2008, tentang Tanah Ulayat dan Pemanfaatannya, 2008. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, 2014; Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, 2004. Rofi Wahanisa, Arif Hidayat, dan Nurul Fibrianti, “Sosialisasi Pentingnya Kepemilikan Sertifikat Tanah Sebagai Bukti Penguasaan Hak Milik Atas Tanah Berdasar PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah di Desa Jetis Kecamatan Bandungan Kabupaten Semarang,” t.t., H. 1.. 7.

(15) pakai.22 Menindaklanjuti ketentuan tersebut, untuk memberikan kepastian hukum atas tanah yang telah dibebaskan oleh Pemkab Tanah Datar, dilakukan pendaftaran tanah sertifikat hak pakai. Dengan proses pendaftaran tanah yang dilakukan. tersebut. sehingga. terbitlah. Sertifikat. Hak. Pakai. No.. 03.10.06.07.4.00001 atas nama Pemkab Tanah Datar. Sehingga dengan demikian, tidak terbantahkan lagi bahwa penguasaan tanah objek perkara No. 20/PDT.G/PN.PBS oleh Pemkab Tanah Datar, merupakan suatu perbuatan yang dilegalkan dan dilindungi secara hukum. Tanah yang diakui sebagai aset barang milik daerah, dalam pemanfaatannya mengacu pada ketentuan pengelolaan barang milik daerah, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 2020, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah. Ketentuan tersebut menyebutkan, dalam pengelolaan Barang Milik Daerah pemerintah mempunyai kewenangan:23 a. menetapkan kebijakan pengelolaan barang milik daerah; b. menetapkan penggunaan, pemanfaatan, atau pemindahtanganan barang milik daerah; c. menetapkan kebijakan pengamanan dan pemeliharaan barang milik daerah; Untuk penggunaan dan pemanfaatan barang milik daerah, dapat dilaksanakan dalam bentuk sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna, dan kerjasama penyediaan infrastruktur.. Dari. bentuk pemanfaatan. yang ada. tersebut,. bentuk. pemanfaatan yang bisa dilaksanakan oleh pribadi perorangan yaitu dalam bentuk sewa. Sewa adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai, dan 22. 23. Urip Santoso, “Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Penguasaan Atas Tanah” 13, no. 1 (2013): H. 101. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020, tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.. 8.

(16) tentunya Penyewaan aset Pemda hanya dapat dilakukan terhadap tanah maupun bangunan yang sedang tidak dimanfaatkan oleh pemerintah untuk pelaksanaan tugas pokok dan fungsi. Sewa adalah Pemanfaatan Barang Milik Negara/Daerah oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.24 Berdasarkan. uraian. diatas,. dalam. kasus. atau. gugatan. No.. 20/PDT.G/PN.PBS, Pemkab Tanah Datar telah memperoleh hak atas tanah objek perkara melalui jual beli sah. Sesuai dengan ketentuan pengelolaan barang milik daerah, seharusnya untuk memanfaatkan lahan aset Pemkab Tanah Datar penggugat harus melakukan penyewaan kepada Pemkab Tanah Datar. Hal ini sangat bertolak belakang dengan fakta yang terjadi di lapangan, dimana penggugat dalam memanfaatkan tanah aset Pemkab Tanah Datar tersebut, sama sekali belum pernah meminta izin pemanfatan lahan ataupun melakukan penyewaan kepada Pemkab Tanah Datar. Lahan tanah aset pemda tersebut dimanfaatkan oleh penggugat untuk lokasi tempat tinggal dan lahan tempat mereka bercocok tanam sebagai sumber penghidupannya. Dengan demikian tentunya selama pemanfaatan tanah objek peraka, penggugat telah memperoleh manfaat serta keuntungan diatas lahan/tanah tersebut. Melihat kondisi diatas, Pemkab Tanah Datar dengan bukti jual beli dan dokumen kepemilikan yang sah, serta dalam perencanaannya adalah untuk pembangunan kepentingan umum, yang merupakan kemaslahatan, maka terhadap gugatan perkara perdata No. 20/PDT.G/PN.PBS, perlu kiranya Pemkab Tanah Datar mempertahankan haknya dengan bukti dokumen tersebut untuk diuji dan diperiksa di hadapan persidangan. Namun dalam perkara tersebut, para pihak sepakat untuk berdamai dalam proses, yang inti dari perdamaian adalah untuk pengosongan lahan/tanah objek perkara, pihak tergugat memberikan uang santunan/ kompensasi ganti rugi kepada penggugat. Berangkat dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian mengenai masalah ini dengan judul Perspektif 24. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2014, tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2020, tentang Perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.. 9.

(17) Maqashid Al-Syariah atas Pemberian Kompensasi Kepada Pengelola Tanah Bersertifikat Hak Pakai Pemda (Studi Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS).. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka fokus penelititan yang penulis angkat adalah Perspektif Maqashid Al-Syariah atas Pemberian Kompensasi Kepada Pengelola Tanah Bersertifikat Hak Pakai Pemda (Studi Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/ PN.PBS). Adapun fokus penelitian penulis adalah sebagai berikut: 1. Kekuatan hukum mengikat sertifikat hak pakai berdasarkan putusan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs. 2. Landasan filosofi adanya penggantian tanah yang sebelumnya telah dibebaskan dan diterbitkan sertifikatnya pada Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs. 3. Perspektif Maqasid Al-Syariah Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs. C. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, dapat dirumuskan pokok masalah yang menjadi kajian dalam penelitian ini. Rincian dari pokok masalah ini dinyatakan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana Kekuatan hukum mengikat Sertifikat Hak Pakai berdasarkan putusan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs? 2. Apa Landasan filosofi adanya penggantian tanah yang sebelumnya telah dibebaskan dan diterbitkan sertifikatnya pada putusan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs? 3. Bagaimana Perspektif Maqasid Al-Syariah Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs?. 10.

(18) D.. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Setiap hal yang dilakukan seseorang tentu memiliki tujuan yang ingin dicapai. Begitu juga halnya dengan penulisan karya tulis ini. Penulis memiliki beberapa tujuan, di antaranya: a. Tujuan Umum Untuk menghilangkan keraguan penulis dan pembaca mengenai Pemberian Uang Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai Atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS dan tinjauannya menurut Perpektif Maqashid Syariah. Sehingga penulis maupun pembaca nantinya. dapat. memahami. mengenai. pemberian. uang. ganti. rugi/kompensasi tersebut oleh Pemda Kab. Tanah Datar. b. Tujuan Khusus 1) Untuk memenuhi syarat meraih gelar Master pada Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. 2) Menambah daya fikir dan wawasan dalam menganalisa untuk menyimpulkan suatu permasalahan terutama yang spesifik kepada agama. 2. Kegunaan Penelitian Dari penelitian yang akan penulis lakukan ini mempunyai beberapa kegunaan, yaitu: a. Teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam rangka pengembangan wacana keilmuan, khususnya hal yang berkaitan Pemberian Uang Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai Atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan. Putusan. Pengadilan. Negeri. Batusangkar. No.. 20/PDT.G/PN.PBS dan tinjauannya menurut Perpektif Maqashid Syariah.. 11.

(19) b. Praktis Sebagai bahan referensi atau sebagai bahan acuan penelitian selanjutnya dan bahan pertimbangan penelitian, terutama dalam hal terkait Pemberian Uang Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai Atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan Putusan Pengadilan. Negeri. Batusangkar. No.. 20/PDT.G/PN.PBS. dan. tinjauannya menurut Perpektif Maqashid Syariah.. E. Definisi Operasional Untuk menghindari kesalahan dalam memahami dan membaca hasil penelitian ini, maka penulis akan memberikan penjelasan secara operasional terhadap kata-kata yang penting sebagai berikut: 1.. Sertifikat Hak Pakai sertifikat yang melegalkan pemanfaatan Hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang diterbitkan melalui keputusan menteri atau pejabat berwenang. Pihak yang memiliki sertifikat hak pakai memiliki hak untuk mengembangkan. tanah. yang. dimiliki,. seperti. membangun. atau. mengembangkan properti atau mengolah tanah untuk mendapatkan hasil produksi. Sertifikat hak pakai memiliki masa berlaku tertentu, dan dapat diperpanjang sesuai ketentuan yang berlaku antara pemilik tanah dan pemegang sertifikat. 2.. Ganti rugi/kompensasi Ganti rugi/Kompensasi diartikan sebagai segala sesuatu yang diterima baik berupa fisik maupun non fisik. Kompensasi juga berarti seluruh imbalan yang diterima oleh seorang pekerja/karyawan atas jasa atau hasil dari pekerjaannya dalam sebuah perusahaan dalam bentuk uang atau barang, baik secara langsung maupun tidak langsung. Istilah ini amat sangat berhubungan dengan imbalan finansial (financial reward) yang diberikan kepada seseorang atas dasar hubungan pekerjaan. Namun dalam hal pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau. 12.

(20) pembangunan, ganti rugi/kompensasi diartikan sebagai bentuk imbalan yang diberikan sebagai dampak timbulnya kerugian fisik ataupun non fisak yang hilang karena adanya pengadaan tanah. 3.. Maqashid Syariah Diartikan secara bahasa yaitu tujuan syariah, berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam menetapkan hukum, baik yang berkaitan dengan perintah maupun larangan. Para ulama sepakat, tidak ada satupun ketentuan dalam syariah yang tidak bertujuan melindungi maslahah. Maslahah berarti manfaat atau suatu pekerjaan yang mengandung manfaat. Imam al Ghazali mengemukakan bahwa pada prinsipnya maslahah adalah mengambil manfaat dan menolak kemudharatan dalam rangka memelihara tujuantujuan syara’.25 Maqashid syariah di sini meliputi perlindungan agama, jiwa, aqal, keturunan, dan harta.26 berdasarkan hal tersebut yang dimaksud dengan maqashid syariah, dalam penelitian ini adalah perlindungan terhadap kelima kebutuhan dasar yaitu keimanan (agama), jiwa, aqal, keturunan, dan harta.. F. Tinjauan Kepustakaan Dalam penelitian sebelumnya ada beberapa penulis yang membahas terkait dengan sengketa tanah dan ganti rugi ini adalah salah satu karya ilmiah yang berikut ini: 1. Tesis yang ditulis Epy Kusnadi, mahasiswi Jurusan Magister Kenotariatan Fakultas Hukum UNAND Padang yang berjudul Legalitas Penguasaan Tanah 393 Ha PASCA Penyerahan oleh PT. Tambang Batubara Bukit Asam (Perseo) Tbk Kepada Pemerintah Kota Sawahlunto, didalam karya ilmiah tersebut dijabarkan penyerahan Lahan Kawasan seluas 393 Ha dengan Surat Perjanjian. Permasalahan yang terjawab adalah secara normatif hubungan hukum yang terjadi sesuai dengan Hukum Perikatan dan jika disertifikatkan Pemerintah Daerah harus melakukan proses jual beli atau ganti rugi. 25. 26. Abu Hamid al Ghazali, al Mustashfa min ilm al ushul, I (Beirut: Dar al Kutub al ilmiyyah, 1983), H. 286. Jaser Audah, Al -Maqashid Untuk Permula, di terjemahkan oleh: Ali Abdelmon, (Yogyakarta: suka Pres, 2013 ) h. 4. 13.

(21) sebagaimana dijelaskan Peraturan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor: PER-02/MBU/2010 dan dilengkapi dengan Berita Acara Penyerahan Areal dan Dana. 2. Tesis yang berjudul “Peralihan Hak Atas Tanah Ulayat Kaum Pada Masyarakat Adat Minangkabau di Kota Bukittinggi ( Kajian Pada Suku Kaum Pisang Aur Kuning )” yang ditulis oleh Hendrialto Program Studi Magister Kenotariatan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang, dalam tesisnya menyimpulkan pergeseran hukum adat pada saat ini yang awal mulanya tanah ulayat kaum tidak boleh dijual, dapat dijual oleh kaumnya. Dalam menjual sebagian tanah ulayat kaum banyak prosesproses atau prosedur-prosedur yang harus dilewati. Dimulai dari proses interen kaum, seperti harus mendapat persetujuan semua anggota kaum, sampai pada proses pemberkasan untuk dapat dijual tanah ulayat kaum tersebut. Tanah ulayat kaum dijual oleh kaumnya dikarenakan beberapa faktor, yaitu: satu faktor ekonomi, dua faktor spikulasi ekonomis. Dalam menjual tanah ulayat kaum harus untuk kepentingan kesejahteraan terhadap masyarakat kaum. 3. Tesis yang berjudul “Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Kajian Perbandingan Antara Hukum Islam Dalam Konsep Maslahah Mursalah Dan Undang-Undang No 2 Tahun 2012) yang ditulis oleh Surur Roiqoh Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, yang dalam tesisnya menyimpulkan Baik dalam hukum Islam maupun Undang-Undang No 2 Tahun 2012, pemerintah mempunyai wewenang untuk melakukan pengalihan hak atas tanah. Tujuannya adalah untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran. Dengan, mengingat bahwa Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial. Proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum melibatkan pihak-pihak diantaranya adalah pemilik obyek yang akan dijadikan kepentingan umum, pihak yang memerlukan obyek tersebut dan pemerintah. Keputusan peralihan hak dilakukan oleh pengadilan dan hasil keputusan dari pengadilan merupakan bukti bahwa pengalihan tanah telah sah. Ketika pemerintah akan mengambil tanah masyarakat untuk kepentingan umum, harus ada proses ganti rugi dengan pemiliknya, proses penentuan ganti rugi dalam ketentuan undang-undang ini. 14.

(22) dilakukan dengan musyawarah guna mencapai kata mufakat. Apabila tidak terdapat kesepakatan maka dapat dilakukan melalui jalur hukum yakni dengan menggunakan lembaga pengadilan. Dalam hukum Islam proses ganti rugi dilakukan dengan jalan jualbeli. Ataupun dengan cara paksa apabila pemilik tidak mau melepaskan atau menjual tanahnmya dengan menggunakan konsep kekhalifahan. Di antara penelitian tersebut yang membedakan penelitian penulis dengan peneliti yang sebelumnya adalah penulis lebih menitik beratkan tentang Pemberian Uang Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS dan tinjauannya menurut Perpektif Maqashid Syariah.. G. Metode Penelitian 1.. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian Kualitatif Adapun penelitian ini adalah penelitian lapangan atau studi lapangan. Penelitian kualitatif jenis penelitian lapangan (Field Researh) ini diharapkan dapat menemukan jawaban terhadap Pemberian Uang Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai Atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS dan tinjauannya menurut Perpektif Maqashid Syariah. Penelitian lapangan (Field Research) dapat juga dianggap sebagai pendekatan luas dalam penelitian kualitatif atau metode mengumpulkan data kualitatif. Ide pentingnya adalah peneliti berangkat ke lapangan untuk mengadakan pengamatan tentang suatu fenomena dalam suatu keadaan alamiah. Dalam hal demikian maka pendekatan ini erat kaitanya dengan pengamatan serta peneliti lapangan pada lazimnya membuat catatan lapangan secara efektif yang kemudian dibuatkan kodenya dan dianalisis.27. 27. Andi Prastawo, Metode Penelitian Kualitatif, (Yogjakarta: Ar-ruz Media,2012) h. 22. 15.

(23) 2.. Pendekatan penelitian: Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Penelitian deskriptif merupakan penelitian yang dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi mengenai status suatu gejala yang ada, yaitu keadaan gejala menurut apa adanya pada saat penelitian dilakukan.28 Menurut Nazir, menyatakan bahwa metode deskiptif adalah suatu metode dalam meneliti status sekelompok manusia, suatu objek, suatu kondisi, suatu system pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran, atau lukisan secara sistematis, factual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. Menurut Bogdan dan Taylor, menyatakan bahwa metodologi kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dan perilaku dari orang yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu yang teliti secara holistik.. 3.. Sumber Data Penelitian. Dalam penelitian ini penulis mengunakan dua sumber data : a. Data. Primer,. yaitu. data. yang. langsung. dikumpulkan. oleh. peneliti dari sumber pertamanya.29 Adapun sumber data primer dalam penelitian ini adalah wawancara dan observasi. Adapun yang. diwawancarai. yaitu. para. pihak. dalam. perkara. No.. 20/PDT.G/PN.PBS. b. Data Sekunder, yaitu data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti sebagai penunjang dari sumber pertama. Juga dapat dikatakan. data. yang. tersusun. dalam. bentuk. dokumen-. dokumen.30 Data sekunder dalam penelitian ini yaitu ketentuan peraturan. perundang-undangan,. buku,. dan. seluruh. dokumen. perkara No. 20/PDT.G/PN.PBS. 28. Morissan, MetodePenelitian survey, (Jakarta, Kencana, 2012), h. 88 Sumadi Suryabrata, Metode Penelitian, (Jakarta,: Rajawali,), h. 93 30 Sumadi Suryabrata, Ibid, h. 94 29. 16.

(24) 4.. Metode Pengumpulan Data a. Observasi Mengamati gejala yang diteliti dengan panca indra baik itu berupa penglihatan dan pendengaran kemudian menangkap gejala yang diamati, dicatat menjawab. dan kemudian dideskripsikan, dianalisis untuk penelitian.31. masalah. Peneliti. mengobservasi. bagaimana Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai Atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS. b. Wawancara Wawancara merupakan salah satu cara untuk pegumpulan data dengan jalan komunikasi antara peneliti dengan responden, yakni melalui komunikasi secara langsung untuk menanyakan secara lisan hal hal yang diinginkan dan dijawab responden dicatat oleh pewawancara.32 wawancara kuasai. Teknik. terstruktur,. pedoman. dan. wawancara dengan. yang. persiapan. daftar. dilakukan sebelum. pertanyaan. adalah. wawancara. yang. disiapkan. sebelumnya. dalam hal ini audien yang diwawancarai adalah Para Pihak dalam perkara No. 20/PDT.G/PN.PBS. c. Dokumentasi Dokumentasi atau catatan menurut Bogdan adalah catatan tentang apa yang didengar, dilihat, dialami dan dipikirkan dalam rangka mengumpulkan data dan refleksi terhadap data dalam peneltian kualitatif.33 Dokumen terdiri dari beberapa bentuk, ada dokumen tertulis dan ada pula dokumen tidak tertulis. Dokumen tertulis dapat berupa surat-surat,. catatan,. laporan,. jurnal,. dan. bibligraphy. lainya,. sedangkan yang tidak tertulis ada dalam bentuk, rekaman (suara-. 31. Afifi Fauzi Abas, Metodologi Penelitian, Pisangan Ciputat Timur, Adelina Bersaudara, 2010, hl 138 32 Ibid, hal 140 33 Lexy J, Moleong, Metodologi, hal. 209. 17.

(25) gambar),. artefak,. prasasti. dan. peninggalan. sejarah. lainya. 34. Dalam dokumentasi ini peneliti mengumpulkan data-data yang diperlukan untuk menunjang penelitian yang dilakukan di Kab. Tanah Datar. 5.. Metode Analisis Data Drury dalam moleong, menyatakan bahwa tahap analisis data kualitatif melalui proses pertama, mencatat hasil catatan lapangan, kedua, mengumpulkan dan memilah-milah, mengklasifikasiakan, membuat ihtisar, dan membuat indeks, dan ketiga mencari makna data, menemukan pola dan hubungan. antara data dan membuat temuan-temuan umum.. Penelitian ini akan mengunakan Maqashid Syariah sebagai alat analisis : a. Reduksi Data (Data Reduction) Reduksi. data,. yaitu. penyerdehanaan. data.. melakukan Kegiatan. pemilihan, ini. adalah. pemilahan menyeleksi. dan data,. membuat ringkasan dan menggolongkan data. Menurut Sugiono, mereduksi data berati merangkum, memilih hal-hal yang pokok, memfokuskan kepada hal hal yang penting, dicari tema dan polanya.35 Reduksi data dalam penelitian ini bertujuan untuk mempermudah pemahaman penelitian terhadap data yang telah terkumpul dari hasil. penelitian.. Dalam. hal. ini,. peneliti. akan. menganalisis. sekaligus memilah mana data yang diperlukan dan mana data yang. tidak. dokumentasi. diperlukan yang. dari. sudah. hasil. wawancara,. dikumpulkan. peneliti.. observasi,. dan. Peneliti. akan. memfokuskan data yang akurat dan berkaitan dengan Pemberian ganti rugi/Kompensasi oleh Pemda Kab. Tanah Datar kepada pengelola tanah yang telah bersertifikat Hak Pakai Atas Nama Pemda Kab. Tanah Datar berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/PDT.G/PN.PBS.. 34 35. Afifi Fauzi Abas, Op Cit, hal. 153 Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif, Bandung: Alfabeta, 2009, hal .89. 18.

(26) b. Penyajian Data (Data Display) Penyajian. data,. yaitu. mengkronstruksikan. data. dalam. bentuk. narasi, matriks, grafik atau bagan, sehinggga memudahkan dalam pengambilan. kesimpulan.. Penelitian. ini. merupakan. penelitian. deskriptif maka penyajian data bisa berupa bagan dan bisa saja disajikan dalam bentuk uraian. Dengan mendisplay data maka akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi. c. Kesimpulan (Verification) Penarikan. kesimpulan,. (fenomena). secara. yaitu. kualitatif. menghubungkan. dan. berdasarkan. antar. landasan. data teoritis. yang meliputi mencari arti tindakan masyarakat, mencari pola hubungan, penjelasan, alur sebab akibat dan proposisi. Menurut Sugiono, kesimpulan dalam penelitian kualitatif mungkin dapat menjawab rumusan masalah yang dirumuskan sejak awal, tetapi mungkin juga tidak, karena masalah dan rumusan masalah dalam penelitian. kualitatif. masih. bersifat. sementara. dan. akan. berkembang setelah peneliti berada di lapangan. 36 H. Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dengan mengunakan sistematika penulisan sebagaimana. yang diwajibkan secara. normatif dalam. penulisan. karya. ilmiah. Secara keseluruhan penulisan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab dan dirinci lagi kepada beberapa sub bab sebagai berikut: BAB I. Merupakan Masalah. pendahuluan sebagai. yang. gambaran. berisikan. latar. belakang. akademik. yang. diteliti.. Kemudian permasalahan tersebut difokuskan pada rumusan masalah. atau. pokok. permasalahan. yang. dibahas. dalam. penelitian ini. Selain itu dijelaskan juga tujuan dan kegunaan penelitian Kemudian. baik. yang. penjelasan. sifatnya judul. teoritis dan. maupun. defenisi. praktis.. operasional,. tinjauan perpustakaan dan penelitian terdahulu. Kemudian berisikan metode penelitian dan sistematika penulisan. 36. Sugiono, Metode Penelitian Kuantitatif kualitatif, h. 98. 19.

(27) BAB II. Membahas tentang Tanah, yang meliputi penguasaan atas tanah, hak-hak penguasaan tanah, pengadaan tanah untuk pembangunan.. BAB III. Membahas tentang Maqashid Syariah meliputi pengertianya, pembagian. Maqashid. Syariah. kemudian. ganti. rugi. perspektif Maqashid syariah. BAB IV. Membahas tentang pakai,. Landasan. sebelumnya. Kekuatan hukum mengikat sertifikat hak filosofi. adanya. penggantian. telah dibebaskan dan diterbitkan. tanah. yang. sertifikatnya. pada putusan Putusan Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs,. Perspektif. Maqasid. Al-Syariah. Putusan. Pengadilan Negeri Batusangkar No. 20/Pdt.G/PN.Pbs BAB V. Penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.. 20.

(28) BAB II PENGADAAN TANAH KEPENTINGAN UMUM. A. Tinjauan Umum Mengenai Tanah, Hak Penguasaan Atas Tanah, dan Hak Atas Tanah. 1. Pengertian Tanah dan Hak Penguasaan Atas Tanah. Tanah menurut Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang sering disebut dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), diartikan sebagai bagian dari bumi yang disebut dengan permukaan bumi. Sedangkan Bumi menurut ketentuan Pasal 1 ayat (4) UUPA bahwa meliputi permukaan bumi (yang disebut dengan tanah), tubuh bumi dibawahnya serta yang berada di bawah air.37 Dengan demikian tanah merupakan permukaan bumi yang dalam penggunaannya meliputi tubuh bumi yang ada dibawahnya serta ruang yang ada diatasnya, dan penggunaan atau pemanfaatannya harus berdasarkan batasan-batasan yang sesuai dengan ketentuan UUPA atau ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Ketentuan Pasal 4 ayat (1) UUPA menyatakan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum.38 Istilah hak tidak dapat dipisahkan dengan istilah hukum, yang mana dalam literatur Belanda hak dan hukum keduanya sama-sama disebut dengan istilah recht.39 Namun keduanya dibedakan dengan istilah objektief recht dan subjektief recht. Objektief Recht diartikan hukum objektif, yaitu peraturan hukum yang berlaku umum dan Subjektif Recht diartikan hukum subjektif yaitu hubungan yang diatur oleh hukum obyektif, dasar seseorang mempunyai hak atas sesuatu, dan yang lain mempunyai kewajiban untuk. 37. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria (Jakarta: Djambatan, 2003). 38 Boedi Harsono. 39 Herlina, “Analisis Mengenai Kepemilikan Tanah Dengan Status Hak Guna Bangunan Oleh Persekutuan Komanditer (CV) di Kabupaten Bekasi” (Univ. Indonesia, 2009), h. 13.. 21.

(29) melakukan sesuatu.40 Pemegang Hak absolute diberikan kewenangan untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, yang pada dasarnya dapat diberlakukan terhadap siapa saja.41 Berdasarkan hal tersebut, terhadap seseorang yang memperoleh hak atas tanah, maka pada dirinya berlaku kewenangan penuh untuk menguasai tanah tersebut. Hukum tanah memberikan pengaturan terkait hak-hak penguasaan atas suatu bidang tanah, yang pada dasarnya memuat wewenang, kewajiban maupun larangan bagi pemegang hak atas tanah tersebut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu terhadap tanah yang dihakinya tersebut. Wewenang, kewajiban maupun larangan yang dimuat dalam suatu hak atas tanah merupakan hak penguasaan yang menjadi kriteria untuk membedakan sesuatu hak penguasaan atas tanah dengan hak penguasaan yang lain. 42 Dalam. tatanan. hukum. pertanahan. Nasional. (UUPA). hak-hak. penguasaan atas bidang tanah diatur dengan hirarki atau tata jenjang urutan sebagai berikut : a. Hak Bangsa Indonesia Bangsa Indonesia (Negara) merupakan penguasa hak atas tanah tertinggi di Indonesia, sebagaimana ketentuan Pasal 1 UUPA, Seluruh bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional yang bersifat abadi. Hak ini merupakan hak privat sekaligus hak publik. Pada dasarnya, seluruh tanah di wilayah Indonesia adalah tanah Bangsa Indonesia. Selama seseorang adalah warga negara Indonesia, maka ia berhak untuk menggunakan dan memanfaatkan tanah yang ada di wilayah Indonesia.. 40. Ramli Zein, Hak Pengelolaan Dalam Sistem UUPA (Jakarta: Rineka Cipta, 1995), H. 35. Ramli Zein, H. 37. 42 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, H. 24. 41. 22.

(30) b. Hak Menguasai dari Negara Meskipun seluruh tanah Indonesia milik Bangsa Indonesia, pengaturan dan pemanfaatannya tetap diatur oleh pemerintah. Sehingga, warga negara Indonesia pun tidak dapat menggunakan tanah Indonesia dengan semauannya jika tidak sesuai dengan pengaturan dari pemerintah. Pengelolaan tanah diseluruh wilayah Indonesia tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh seluruh Bangsa Indonesia, oleh karena itu dalam penyelenggaraannya dilimpahkan kepada Negara Republik Indonesia sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat Indonesia (Pasal 2 ayat (1) UUPA). Oleh karena itu timbullah Hak menguasai dari Negara yang merupakan pelaksana tugas kewenangan Bangsa Indonesia yang mengandung unsur hukum publik. Pelaksanaan hak menguasai dari Negara dapat dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah dan masyarakat-masyarakat hukum adat sepanjang diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional. menurut. ketentuan-ketentuan. Peraturan. Pemerintah.43. Pelimpahan pelaksanaan sebagian kewenangan Negara tersebut dapat juga diberikan kepada Badan Otoritas, Perusahaan Negara dan Perusahaan Daerah dengan pemberian penguasaan tanah-tanah tertentu dengan Hak Pengelolaan (HPL). 44 c. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Pengertian. hak. ulayat. berdasarkan. Pasal. 1. Permen. Aggraria/Kepala BPN No. 5/1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat merupakan kewenangan menurut adat yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah dalam wilayah tersebut, demi kelangsungan hidup dan kehidupannya, 43. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, 1960, Pasal 2 ayat 4. 44 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, H. 278.. 23.

(31) yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah secara turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah yang bersangkutan.45 Pengakuan eksistensi Hak Ulayat Masyarakat Hukum adat sebagaimana ketentuan Pasal 3 UndangUndang Pokok Agraria, menyatakan Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih ada apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:46 1) Masih ada suatu kelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu. 2) Masih adanya wilayah/tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut. 3) Masih adanya tatanam hukum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut. Hak ulayat masyarakat hukum adat dalam hal ini merupakan hak masyarakat hukum adat yang berhubungan dengan rangkaian wewenang dan kewajibannya dalam memanfaatkan tanah yang berada di lingkungan wilayah adatnya. 47 d. Hak-Hak Perorangan Atas Tanah Hak-hak perorangan atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok orang secara bersama-sama atau badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan , dan atau mengambil mamfaat dari bidang tanah tertentu. 1) Hak-hak atas tanah.48 Hak atas tanah sebagaimana Pasal 16 dan 53 UUPA Jo. PP No 40/1996, adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk menggunakan tanah atau mengambil manfaat dari 45. Peraturan Menteri Aggraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun 1999, tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, 1999, Pasal 1. 46 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 3. 47 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, H. 283. 48 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.. 24.

(32) tanah yang dihakinya. 2) Wakaf tanah Hak Milik.49 Diatur pada Pasal 49 ayat (3) UUPA Jo. PP No.28/1977 Jo. Permendagri No. 6/1977, Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak milik, yang oleh pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam. 3) Hak Tanggungan.50 Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah termasuk atau tidak termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain. Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah Negara. 4) Hak Milik atas satuan rumah susun.51 Hak Milik Atas Satuan Tumah susun yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada sekelompok orang secara bersama dengan orang lain. Pada Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, bidang tanah yang di atasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Terhadap satuan rumah susun tersebut dapat diberikan hak penguasaan berupa Hak Milik, HGB atau Hak Pakai atas tanah Negara. 2. Pengaturan Hak Atas Tanah dalam Undang-Undang Pokok Agraria Undang-Undang Pokok Agraria memberikan pengaturan terkait pertanahan di Indonesia, dan pengaturan tersebut menyatakan adanya hakhak atas tanah, yaitu pada Pasal 4 ayat (1) dan (2), Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 53. Pasal 4 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut : 49. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. 51 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960. 50. 25.

(33) “Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orangorang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang-orang lain serta badan-badan hukum”.52 Pasal 4 Ayat (2) UUPA tersebut berbunyi sebagai berikut : “Hak-hak atas tanah yang dimaksud dalam ayat (1) Pasal ini memberi wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang lansung berhubungan dengan penggunaan tanah tersebut dalam batas-batas menurut Undang Undang ini dan peraturanperaturan hukum yang lebih tinggi.”53 Berdasarkan ketentuan Pasal 4 diatas Hak-hak atas tanah meliputi : a. Hak Milik. b. Hak Guna Usaha. c. Hak Guna Bangunan. d. Hak Pakai. e. Hak Sewa. f. Hak Membuka Tanah. g. Hak Memungut Hasil Hutan. h. Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yaitu Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan Hak sewa tanah pertanian. Hak atas tanah sebagaimana diatas semuanya memberi kewenangan kepada pemegang haknya untuk mengelola dan menguasai bidang tanah tertentu yang dihakinya tersebut dalam rangka memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Pemakaian tanah pada hakikatnya terbatas untuk 2 (dua) tujuan, yaitu :54 a. Tanah. untuk. diusahakan, seperti dimanfaatkan untuk peternakan,. perkebunan, pertanian, perikanan dan lainnya. b. Tanah dipakai untuk membangun sesuatu. Seperti pembangunan gedung, perumahan, pelabuhan gelanggang olah raga dan lainnya. 52. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 4 ayat 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, Pasal 4 ayat 2. 54 I Made Suwitra, “Penguasaan Hak Atas Tanah dan Masalahnya,” 2014, h. 447. 53. 26.

(34) Dari tujuan pemakaian tanah tadi, semuanya mencakup hak untuk memakai tanah, dan dapat dicakup dalam pengertian dan sebutan Hak Pakai. Namun pada tatanan masyarakat modern, tanah dapat dimanfaatkan untuk berbagai macam hal, untuk itu perlu mempertegas pemakaian tersebut untuk memudahkan pengenalannya, sehingga Hak Pakai untuk keperluan yang bermacam-macam. itu,. masing-masing diberi. nama. sebutan yang berbeda, yaitu Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai. 55. 3. Macam-Macam Hak Atas Tanah a. Hak Milik Hak milik sebagaimana ketentuan Pasal 20 ayat (1) Undang- Undang Pokok Agraria menyatakan bahwa Hak Milik merupakan hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6, yaitu semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial.56 Maksud terkuat dan terpenuh disini adalah hak milik tersebut bukanlah hak yang mutlak, tidak terbatas ataupun tidak bias diganggu gugat. Terkuat dan terpenuh disini juga berfungsi untuk membedakannya dengan hak lainnya yang diberikan atas suatu bidang tanah, sehingga pemilik tanah mempunyai hak untuk mendapatkan kembali ditangan siapapun tanah itu berada. Berdasarkan ketentuan tersebut diatas meskipun sifatnya hak milik adalah yang paling kuat dimiliki oleh seseorang, namun tetap terikat pada ketentuan pasal 6 UUPA, dimana tanah harus berfungsi sosial, yang artinya bahwa hak milik atas tanah oleh seseorang tidak hanya dipergunakan. untuk. kepentingan. pribadi,. tatapi. juga. dapat. dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Jika kepentingan umum menghendaki tanah hak milik untuk dimanfaatkan, maka kepentingan pribadi harus dikorbankan. Terhadap tanah hak milik yang. 55. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria, H. 288. 56 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 6.. 27.

(35) dikorbankan untuk kepentingan umum, tentunya dilakukan ganti kerugian yang layak.57 Hak milik ini dapat beralih melalui pewarisan atau pemindahtangan kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Pemberian Hak milik ini peruntunkannya hanyalah kepada warga negara Indonesia yang berkewarganegaraan tunggal dan Badan Hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia yang oleh hukum diperkenankan untuk mempunyai hak milik. Selain dapat beralih atau berpindahtangan, berdasarkan ketentuan Pasal 27 Undang-Undang Pokok Agraria,58 tanah hak milik juga dapat dihapuskan, yang dikarenakan oleh hal sebagai berikut : 1. Tanahnya jatuh pada Negara : a. Untuk kepentingan umum. b. telah diserahkan oleh pemiliknya. c. ditelantarkan. d. pemegang hak milik tidak lagi berkewarganegaraan Indonesia, e. penyerahan. kepada. badan. hukum. yang. tidak. termasuk. pengecualian dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. 2. Tanahnya Musnah Tanah hak milik dikatakan musnah apabila bidang tanah yang dikuasai mengalami perubahan dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi karena secara fisik tidak dapat diketahui lagi wujudnya dan mengakibatkan tanah tersebut tidak dapat difungsikan maupun digunakan atau dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Dengan kondisi tersebut hak yang telah diperoleh menjadi hapus.59 b. Hak Guna Usaha Hak Guna Usaha dikenal setelah keluarnya Undang-Undang Pokok 57. Achmad Rubaie, Hukum Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 39. 58 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 27. 59 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 1996).. 28.

(36) Agraria, karena sebelum adanya Undang-Undang tersebut tidak ada persamaan dari hak guna usaha dalam hukum adat. Hak guna usaha ini diatur dalam ketentuan Hukum Agraria Nasional guna memenuhi kebutuhan masyarakat akan tanah sesuai dengan perkembangan zaman.60 Hak Guna Usaha dirumuskan dalam ketentuan Pasal 28 UUPA merupakan hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai oleh negara dalam jangka waktu 25 tahun atau 35 tahun bagi perusahaan yang memerlukan waktu yang lebih lama. Waktu mengusahakan hak guna usaha dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha ini dipergunakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, atau peternakan.61 Perusahaan yang mendapatkan hak guna usaha, tidak diperbolehkan untuk melaksanakan usaha selain izin peruntukan sebagaimana yang dituangkan dalam hak guna usaha. Jika perusahaan tidak melaksanakan usaha sebagaimana hak guna usaha yang diterima, maka pemegang hak tersebut wajib melepaskan atau mengalihkannya kepada pihak lain yang memenuhi syarat dalam waktu paling lama 1 (satu) tahun. Apabila dalam rentang waktu tersebut pemegang hak tidak melepaskan atau mengalihkan haknya tgersebut maka dengan sendirinya hak tersebut menjadi hapus demi hukum.62 Menurut ketentuan Pasal 30 ayat (1) UUPA jo. Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun1996, Hak Guna Usaha dapat diberikan kepada Warga Negara Indonesia, Badan Hukum Indonesia yang berkedudukan di Indonesia. Sedangkan hapusnya hak guna usaha disebabkan oleh pencabutan haknya karena kepentingan umum, diterlantarkan, atau tanah yang menjadi objek hak guna usaha telah musnah.. 60. Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang- Undang Pokok Agraria. 61 Herlina, “Analisis Mengenai Kepemilikan Tanah Dengan Status Hak Guna Bangunan Oleh Persekutuan Komanditer (CV) di Kabupaten Bekasi,” h. 17. 62 R. Rustandi Ardiwilaga, Hukum Agraria Indonesia (Bandung: NU Masa Baru, 1962), H. 48.. 29.

(37) c. Hak Guna Bangunan Hak Guna Bangunan menurut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 Pasal 35 ayat (1), adalah hak yang diberikan untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri selama jangka waktu tertentu (paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang dengan 20 tahun) untuk keperluan pribadi atau usahanya, serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya. 63 Membebaninya maksudnya dalam hal ini maksudnya Terhadap pemegang hak Hak Guna Bangunan, diberikan kewajiban untuk : 1) Membayar uang pemasukan Negara. 2) Memanfaatkan tanah sesuai dengan peruntukannya dan persyaratan yang telah ditetapkan. 3) Melakukan pemeliharaan dan perawatan atas tanah. 4) Menyerahkan kembali tanah yang dimanfaatkan setelah HGB berakhir atau hapus. 5) Menyerahkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang telah dihapus kepada kepala kantor Pertanahan.64 Dalam ketentuan UUPA dan ketentuan pasal 21 Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1996, tanah yang dapat diberikan hak guna bangunan adalah Tanah Negara, Tanah Hak Pengelolaan dan Tanah Hak Milik. Sedangkan Subjek dari pemegang Hak Guna Bangunan menurut. Pasal 36 ayat (1), adalah :65 1. Warga Negara Indonesia; 2. Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hapusnya Hak guna bangunan ini dapat diakibatkan oleh beberapa hal 63. 64. 65. T. Keizerina Devi, Perkembangan Hukum Perdata Sejak Masa Kolonial Sampai Kemerdekaan, vol. 2, 2 (Citra Justicia, 2006), H. 4. Abdul R. Salian, Hermansyah, dan Ahmad Jalis, Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus (Kencana Prenada Media Group, 2005), Hal. 25. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Pasal 36.. 30.

(38) sebagai berikut : 1) Jangka waktu berakhir. 2) Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak dipenuhi. 3) Dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir. 4) Ditelantarkan 5) Tanahnya musnah 6) Dicabut haknya berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. 7) Pemegang Hak Guna Bangunan tidak lagi memenughi persyaratan sebagai pemegang hak. d. Hak Pakai Hak Pakai menurut ketentuan pasal 41 ayat (1) UUPA merupakan hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai lansung oleh Negara atau tanah milik orang lain. Munculnya hak pakai berdasarkan atas keputusan dari pejabat yang berwenang atau akibat adanya perjanjian dengan pemilik tanah, yang dalam hal ini bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian tanah.66 Hak ini berlaku di dalam jangka waktu tertentu atau selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 yang dapat mempunyai Hak Pakai atau subyek dari Hak Pakai tersebut adalah sebagai berikut :67 1. Warga Negara Indonesia; 2. Badan Hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; 3. Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen,dan Pemerintah Daerah; 66. 67. Herlina, “Analisis Mengenai Kepemilikan Tanah Dengan Status Hak Guna Bangunan Oleh Persekutuan Komanditer (CV) di Kabupaten Bekasi,” h. 17. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996, tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan Dan Hak Atas Tanah, 1996.. 31.

(39) 4. Badan-badan keagamaan dan sosial; 5. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia; 6. Badan Hukum Asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia; dan 7. Perwakilan Negara Asing dan Perwakilan Badan Internasional.. B. Pengertian dan Tujuan Pengadaan Tanah Pasal 1 ayat 2 UU No. 2 tahun 2012 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan Pengadaan Tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. 68 Beberapa hal penting yang terdapat dalam pengertian ini yakni adanya proses pengadaan tanah dengan kata lain tanah yang tadinya tidak ada, akan dicarikan solusi bagaimana tanah yang dibutuhkan menjadi ada. Memberi ganti kerugian adalah solusi yang ditempuh. Adanya ganti kerugian bermakna melibatkan pihak lain untuk dapat diberikan penggantian yaitu pemilik tanah yang dibutuhkan.69 Agar kepentingan dan tujuan awal undang undang ini disahkan dapat terealisasi dengan sebagaimana mestinya hendaknya dilakukan ganti kerugian yang adil dalam pengadaan tanah. Tujuan Pengadaan Tanah untuk Kepentingan. Umum. adalah. menyediakan. tanah. bagi. pelaksanaan. pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum pihak yang berhak.70 Dalam menyediakan tanah dapat dilakukan dengan jual beli, sewa menyewa, ataupun dengan hibah apabila itu bukan pemerintah dengan badan hukum. Dengan cara tersebut maka tanah yang diadakan bisa pindah kepemilikan atau hanya pindah pemanfaatannya saja tanpa peralihan perpindahan kepemilikan. 68. 69. 70. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, 2012. Putu Apriliani Kumalasari dan I Ketut Sudiarta, “Pemberian Ganti Rugi Kepada Pemilik Tanah atas Penggunaan Tanah Perseorangan Tanpa Pembebasan Oleh Pemerintah” 8, no. 3 (2020): h. 8. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum, Pasal 3.. 32.

(40) Untuk kepentingan umum Pengadaan tanah tidak mungkin dilakukan tanpa adanya perpindahan hak milik. Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuhi. Hak pemilik awal harus beralih pada pemerintah karena akan difungsikan sebagai fungsi umum bukan pribadi. Pihak yang memerlukan tanah untuk kepentingan umum akan diberikan hak milik yang telah beralih kepada pemerintah tersebut. Pemerintah sebagai sarana untuk dapat mengalihkan hak atas tanah dari pemilik awal ke pemerintah kemudian diberikan lagi kepada pihak lain yang memerlukan hak tersebut.71 Pengadaan tanah harus disertai dengan prosedur pelepasan/penyerahan hak dari pemegang hak atas tanah kepada pihak lain.72 Dengan adanya ganti rugi maka, pemilik awal menyerahkan kepemilikannya secara hukum. Sedangkan, penyerahan hak atas tanah bisa saja dilakukan melalui hibah tidak harus dengan ganti rugi namun, hal demikian tampaknya tidak pernah dilakukan sebab prosedur awal bukanlah mengkedepankan musyawarah tetapi pelepasan hak dan ganti rugi yang menjadi garis besarnya. Pelepasan Hak adalah kegiatan pemutusan hubungan hukum dari pihak yang berhak kepada negara melalui Lembaga Pertanahan. Tidak dijelaskan secara rinci maksud dari pemutusan hubungan dalam pemutusan hubungan hukum ini. Namun jika dicermati maksud dari pemutusan hubungan adalah pemutusan hak dari hak milik menjadi bukan pemilik karena haknya sudah dilepaskan. Pelepasan hak atas tanah adalah suatu penyerahan kembali hak itu kepada Negara dengan sukarela73 dengan sukarela berarti tidak ada unsur paksaan, baik paksaan dari pemerintah, maupun dari pihak lain yang berkepentingan. Tujuan adanya pelepasan hak adalah agar tanah tersebut diberikan kembali kepada suatu pihak tertentu dengan suatu hak tanah baru sesuai ketentuan-ketentuan dan syarat-syarat yang berlaku. Menurut Boedi Harsono, yang dimaksud pelepasan hak atas tanah adalah setiap perbuatan yang dimaksud langsung maupun tidak langsung melepaskan hubungan hukum yang ada antara pemegang hak atau penguasa 71. Bernhad Limbong, Pengadaan Tanah untuk Pembangunan. Mudakir Iskandar Syah, Dasar-Dasar Pembebasan Tanah Untuk Kepentingan Umum (Jakarta: Jala Permata, 2007), H. 3. 73 John Salindeho, Masalah Tanah Dalam Pembangunan (Jakarta: Sinar Grafika, 1988), H. 33. 72. 33.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam penelitian ini yang bersifat deskriptif kualitatif yaitu peneliti ingin mengetahui secara langsung terkait bagaimana kesadaran hukum bagi pihak perusahaan dengan

Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, 2020. Perbuatan asusila tersebut tidak hanya

Pengawasan yang berkesinambungan di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi sangat penting sebagai suatu upaya strategis dalam pelaksanaan

2112112 mahasiswa Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi memang benar telah melakukan wawancara dengan saya untuk keperluan skripsi yang berjudul

Program Studi Bimbingan Konseling Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi, 2021. Pada umumnya dalam melaksanakan proses

3717058, Program Studi Manajemen Bisnis Syariah, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi dengan judul “Analisis Upaya

Suku alas merupakan suku terbesar dan suku peribumi yang mendiami daerah kabupaten Aceh Tenggara dan salah satu masyarakat adat yang ada di Indonesia. Thasziin SR, Tokoh

Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ushuluddin Adab dan Dakwah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Bukittinggi. Interaksi yang berada didalam kampus