• Tidak ada hasil yang ditemukan

Anak-anak tiri ibu pertiwi : ruang waktu garinian dan molekularitas pengalaman dalam Puisi Tak Terkuburkan - USD Repository

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Anak-anak tiri ibu pertiwi : ruang waktu garinian dan molekularitas pengalaman dalam Puisi Tak Terkuburkan - USD Repository"

Copied!
196
0
0

Teks penuh

(1)

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogayakarta

RUDY RONALD SIANTURI

Nomor Mahasiswa : 026322010

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(2)

i

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Tesis

Untuk Memenuhi Persyaratan Mendapat Gelar Magister Humaniora (M.Hum.)

di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma

Yogyakarta

RUDY RONALD SIANTURI

Nomor Mahasiswa : 026322010

Magister Ilmu Religi dan Budaya

Universitas Sanata Dharma

(3)

ii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Ujian Tesis

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Oleh:

RUDY RONALD SIANTURI

NIM: 026322010

Dr. St. Sunardi

………

Pembimbing Utama

7 Oktober 2006

Dr. Antonius Sudiarja

………

(4)

iii

LEMBAR PENGESAHAN

Tesis

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN

DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Oleh:

RUDY RONALD SIANTURI

NIM: 026322010

Telah dipetahankan di depan dewan penguji pada tanggal 14 Oktober

2006 dan dinyatakan memenuhi syarat

Tim Penguji

Ketua merangkap Moderator:

Dr. G. Budi Subanar, S.J. ………..

Anggota

: 1. Dr. St. Sunardi

………

.

2. Prof. Dr. A. Sudiarja

, S.J. ………..

3. Dr. Alb. Budi Susanto, S.J. ……….

Yogyakarta, 4 Oktober 2011

Direktur Program Pascasarjana

Universitas Sanata Dharma

(5)

iv

Pernyataan

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tulisan ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk meraih gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi dan sepengetahuan saya, tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis dan diterbitkan orang lain kecuali yang diacu secara tertulis dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 14 Oktober 2006

(6)

v

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : RUDY RONALD SIANTURI

Nomor Mahasiswa : 026322010

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

ANAK-ANAK TIRI IBU PERTIWI:

RUANG WAKTU GARINIAN DAN MOLEKULARITAS PENGALAMAN DALAM PUISI TAK TERKUBURKAN

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalty kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal : 1 September 2008 Yang menyatakan,

(7)

vi

A DAWN

I woke up quite early at dawn. Through the window, I realized that the rain was still pouring down. Silently, I got off not to make any sound while out there a dog was barking ceaselessly. It was chilling out there.

Drinking some water, I felt so much better. The dog was still barking when someone’s cock flapping its wings so loudly. Where he hid it, I wondered. I have never seen any down there.

A memory came back. Several years ago, I loved reading John Steinbeck’s novels. My

friend introduced him to me. I t is always like this. Wailing dogs, cocks and hens fighting over corns, the farmers starting their day with whistle while horses kicking in the barn. Simple things, a simple life matrix that led him to Nobel Prize in literature.

I got out of our unit to listen to another kind of sound. It was like somebody was singing in the alley. The wind blowing was entrapped in the corridor creating mysterious sounds like Indian songs at night. Even Pavarotti would not be able to produce such a beautiful harmony.

I went up to the top of the building to have some exercise. In the swimming pool, falling leaves were being pushed gently by the ripples. The water was crystal, the breeze was refreshing. It was like a triangular love: the breeze, the leaves, and the water.

I stayed there for an hour watching the sun emerging slowly from the east. I enjoyed it until the first birds came out from nowhere.

Coming back, I looked at my wife sleeping peacefully. Her chest signaled the beat, the beats of life, a scene so simple so alive: a dawn.

(8)

vii

Ucapan Terima Kasih

Penelitian ini tidak akan selesai tanpa dukungan, dorongan dan doa-restu

banyak pihak. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah penulis menyampaikannya

sebagai berikut:

1. Sujud syukur bagi Tuhan yang berkenan bergulat dalam arena tarung

batin bersama penulis yang sedang mencari dirinya secara terus-menerus.

Ada begitu banyak pengalaman intelektual, emosional terlebih spiritual

yang penulis petik selama ini. Penelitian ini menjadi latihan rohani

bersama sang Guru yang menjelaskan begitu banyak hal yang saling

terkait secara indah.

2. Terima kasih untuk Bapak Dr. St. Sunardi yang berperan sangat besar

dalam proses formasi intelektual penulis. Selama proses pembimbingan,

penulis sungguh merasakan dedikasi yang mendalam terhadap profesi dan

panggilan hidupnya sebagai pendidik dan scholar sekaligus. Bukan cuma ilmu yang penulis dapatkan namun ilmu kehidupan yang memancar dalam

kesehariannya, dalam kesederhanaannya dan dalam kedalaman ilmunya

yang mencengangkan. Terima kasih pula untuk Rm. Dr. Agustinus

Sudiarja S.J dan Rm. Dr. Budi Susanto S.J yang berkenan menjadi

pembaca ke-2 dan ke-3. Beliau berdua adalah dosen-dosen penulis yang

punya peran besar langsung atau tidak langsung dalam proses formasi

intelektual penulis.

3. Khususnya untuk Rm. Dr. G. Budi Subanar S.J dan Rm. Dr. T. Baskara

S.J yang sangat membantu penulis ketika penulis masih berada di Manila.

Terima kasih untuk keramahtamaan dan pengertiannya yang sangat luar

biasa bagi siapa saja. Kiranya Tuhan memberkati perjalanan panggilan

Romo berdua.

4. Untuk Rm. Dr. T. Baskara S.J, Rm. G. Budi Subanar S.J, Rm. Dr. Harry

Susanto S.J, Rm. Dr. Harriatmoko S.J, Rm. Dr. Budi Susanto S.J, Rm. Dr.

(9)

viii

Budiawan, Dr. Fransisko, Prof. Dr. Mahasin dan semua dosen lainnya),

terima kasih untuk setiap sentuhan dan pengaruh intelektual selama

penulis belajar di IRB. Penulis beruntung boleh mempunyai orang-orang

yang santai namun sangat mendalam ilmu dan daya analisanya dan tak

pernah ragu membagikannya dalam diskusi, dalam canda dan dalam setiap

perjumpaan.

5. Untuk teman-teman IRB yang secara luar biasa mewarnai secara

mendalam kehidupan penulis dengan canda-candanya yang luar biasa.

Terima kasih kalian telah banyak bertanya, mempertanyakan dan

menjawab banyak soal pada serta dengan penulis yang sangat merangsang

rasa ingin tahu penulis secara terus-menerus. Takkan kulupakan

wajah-wajah kalian dan kuyakin kalian pun demikian. Untuk Fitri, Rudy Ambon,

Pak Viktor, Mas Ali, Muklis, Singgih, Meli, Kemal, Wahid, Siska,

Samuel, Melati, Iyus, Tina dan semuanya saja ‘you are the best!’.

6. Tentu saja, tak lupa teman-teman KBI yang beberapa di antaranya

menunjukkan perhatian tulus terhadap penelitian penulis. Kiranya Tuhan

saja yang membalaskan jasa kalian.

7. Untuk teman-teman sesama peneliti Nusakambangan (Mas Ali, Iyus

Brekele dan Sri), terima kasih untuk kesempatan bersama dalam

susah-senang. Sungguh indah pengalaman bersama kalian semua. Sungguh

beruntung penulis mendapat kesempatan mencicipi bagaimana rasanya

menjadi peneliti yang melakukan penelitian di lapangan.

8. Terima kasih untuk Mbak Hengki yang selalu siap-sedia membantu

penulis menyelesaikan berbagai urusan dengan seyum manisnya dan

sikapnya yang sangat ramah. Kiranya Chelsea menjadi anak yang

membawa berkat bagi kedua orangtuanya.

9. Untuk para sahabat baru di Manila (Prof. Cirilo, Prof. Marjoire, Prof.

Antony, Prof. May-an, Prof. David, Prof. Nerissa), terima kasih untuk

setiap undangan diskusinya, untuk seyum sejuta kasihnya dan untuk setiap

rasa ketertarikannya pada penelitian penulis. Untuk Ate Tres, terima kasih

(10)

ix

menemukan buku-buku yang tidak sempat penulis bawa ke Manila.

Sungguh, semua itu sangat memotivasi penulis dalam proses penyelesaian

penulisan tesis ini.

10.Untuk teman-teman di geng Yahoo!360, terima kasih untuk cerita-cerita

dan sharing kalian. Sungguh semua itu mengisi hari-hari penulis secara bermakna. Untuk Susan, Debbie, Turtle, Evi, Avi, Tris, Kellianah, Peach,

Agent Q., I miss you all!

11.Terima kasih juga untuk Bayu adikku yang dengan ketulusan dan

kecerdasannya membantu penulis untuk optimis dan belajar selalu

bersedekah. Kiranya puasa kamu diterima Tuhan.

12.Untuk Herlin Untailawal, teman SMP penulis, dan Tila, terima kasih untuk

doa-doanya dan pelajaran rohaninya yang sangat mendalam.

13.Abang Lisa, Abang Sisco, Mama Kris, Mama Pemri, Mama Vita dan yang

terkasih adikku Rian, terima kasih setulusnya karena kalian selalu percaya

dengan saudaramu ini. Kalian adalah malaikat-malaikatku yang dikirim

Tuhan untuk mengingatkan dan membantu dengan setiap sms dan telepon

kalian. Mama Kris, terima kasih untuk begitu banyak bantuannya. Lae

Pemri dan Mama Pemri, terima kasih untuk pendampingan kalian yang

sungguh membuka pikiranku.

14.Untuk kalian keponakan-keponakanku, terima kasih untuk canda dan

setiap pertanyaan yang sangat mengusik kalbu dan otakku. Aku akan

selalu merindukan kalian dan dalam doa-doaku, wajah-wajah kalian selalu

muncul secara spontan.

15.Untuk para ipar di Manila dan di mana-mana, penulis haturkan terima

kasih mendalam untuk cinta kalian yang tak terukur dengan apapun.

Manang Nica, Sister Flora dan Sister Gloria, George, David, Larry dan

Eddy, terima kasih untuk setiap traktiran makannya, untuk setiap

ketertarikan pada proses penulisan tesis ini dan untuk setiap dorongan

tanpa batas yang telah kalian berikan. Penulis juga tidak akan melupakan

mertua penulis, Tatay, yang dalam sakitnya terus bercanda dan menyapa

(11)

x

Sisco,Inangbao Anik, terima kasih untuk setiap doa-restunya. Khusus

untuk Lae Vita dan Mama Vita, terima kasih untuk bulan-bulan indah

bersama penulis di Pangkal Pinang.

16.Terima kasih untuk Mama dan Bapa yang sudah bersabar dan selalu

percaya akan bahwa anaknya sanggup menyelesaikan satu lagi fase

perjalanannya. Mama dan Bapa selalu duduk bersama penulis meskipun

tanpa kata menemani hari-hari penuh pergulatan di depan layar komputer.

Tidak ada kata yang sanggup mengekspresikan keindahan setiap gelas

kopi yang Mama sediakan, untuk candanya setiap kali kesulitan

menghadang dan untuk setiap pertanyaan dari Mama dan Bapa mengenai

penelitian ini yang membantu menstimulasi pikiran penulis.

17. Terima kasih setulusnya untuk istri penulis yang rela ‘berpisah’ demi penyelesaian tesis ini, untuk setiap diskusi dan rangsangan intelektual

yang mengembangkan minat akademik dan daya analitik penulis secara

luar biasa. Sebagai seorang penyair dan penulis professional, sang Istri

banyak membantu penulis mendalami elemen-elemen puitis dalam Puisi Tak Terkuburkan. Tak lupa pula, terima kasih untuk setiap canda dan tawa yang boleh kami lalui di tengah-tengah setiap tantangan kehidupan

bersama.

18.Yang terakhir, terima kasih setulusnya untuk Yoshua, keponakan penulis,

yang selalu menyambut penulis dengan cerita dan pelukan kasihnya yang

membuat penulis selalu merasa dicintai dengan tulus.

Penulis telah belajar mencurahkan energi minat untuk mampu

menyelesaikan keseluruhan proses pendidikan formal ini. Tentu saja, studi ini

masih jauh dari sempurna dan untuk setiap kekurangannya menjadi

(12)

xi

Daftar Isi

Judul i

Halaman Persetujuan Pembimbing ii

Halaman Pengesahan iii

Pernyataan iv

Pernyataan Persetujuan Publikasi Karya Ilmiah v

Halaman Persembahan vi

Ucapan Terima Kasih vii

Daftar Isi xi

Abstrak xiv

Abstract xv

Bab I Pendahuluan

A. Latar Belakang yang Melahirkan Sebuah Topik ... 1

1. Mengapa Sinema dan Filsafat? ... 2

2. Mengapa Film Puisi Tak Terkuburkan? ... 5

B. Status Questionis ... 10

C. Tujuan Penelitian ... 11

D. Metodologi ... 11

E. Relevansi Penelitian ... 12

F. Skema Penulisan ... 12

Bab II Film Sebagai Diskursus: Dari Saussure Menuju Semiotika Bahasa Film Hingga Deleuzian Time-Image 15 A. Produksi Makna Saussurian ... 18

B. Semiotika Film: Saussurian atau anti Saussurian ... 21

C. Gilles Deleuze: Dari Action-Image ke Time-Image ... 28

C.1 Durasi Bergsonian ... 28

C.2 Akumulasi Krisis dan Patahnya Proses Identifikasi ... 33

(13)

xii

C.2.3 Munculnya Pikiran dan Time-Image ... 37

C.3 Gerakan Ganda Cipta dan Hapus ... 40

C.3.2 Sinema adalah Pengetahuan, Aktor adalah Medium ... 41

C.4 Beberapa Kategori Deleuzian Lainnya ... 43

Bab III Menguak Bahasa Film Garin Nugroho 47 A. Kontradiksi, Fragmen Visualisasi dan Dialog Internal ... 51

1. Trauma: Fiksasi Ruang-Waktu dan Pergolakan Perseptual ... 51

2. Perbedaan Reaksi Para Tahanan Perempuan dan Laki-Laki... 56

3. Pengalaman akan Waktu: Garinian Time-Image? ... 62

B. Garinian Images: Pergeseran dari Movement-Image ke Time-Image... 66

1. Sudut Pandang Kamera dan Kontinuitas Temporal ... 66

2. Dialog Internal dan Konseptualisasi Ruang-Waktu Garinian ... 69

C. Musik dan Syair ... 72

Bab IV Membongkar Garinian Time-Image: Menuju Estetika Baru dan Originalitas Pikiran 73 A. Ruang Garinian ... 75

1. Ruang dan Kematian: Sebuah Distorsi ... 76

2. Diskontinuitas dan Ekstensivikasi Ruang: Intensivikasi Emosional ... 80

B. Waktu Garinian ... 84

1. Reduksi dan Paradoks Waktu Penjara... 85

2. Ruang-Waktu Garinian: Kontras, Pembalikan dan Partisipasi Penonton ... 89

C. Suara, Bunyi dan Musik: Monotonitas Dinamis, Simultanitas dan Doppler Effect ... 95

D. Garinian Time-Image ... 100

1. Proses Menjadi: Konfrontasi dan Filmic Caesura ... 100

2. Filmic Alliteration ... 110

(14)

xiii

4. Dialog Internal, Trial and Error serta Visualisasi ... 120 5. Munculnya Pikiran: Material Capture, Machinic Assemblage

dan Rhizome ... 132

Bab V Estetika Baru dan Proses Menjadi Indonesia: Sebuah Tawaran

Garinian 143

A. Estetika Baru: Molekularitas dan Sensasi ... 147 B. Menjadi Indonesia Model Garinian ... 155 C. Menuju Praxis Filsafat Kontemporer Indonesia ... 163

Daftar Pustaka 170

Sinopsis 172

(15)

xiv

Abstrak

Anak-Anak Tiri Ibu Pertiwi: Ruang-Waktu Garinian dan Molekularitas

Pengalaman dalam Puisi Tak Terkuburkan

Film Puisi Tak Terkuburkan merupakan upaya Garin Nugroho menelusup jauh ke dalam tragedi kemanusiaan dan trauma 1965. Film ini akan dianalisa secara Deleuzian.

Penelitian ini hendak menjawab empat pertanyaan yaitu: (1) Simbolisme apa yang ada dalam film tersebut?; (2) Bagaimanakah pengalaman waktu sinematik kita?; (3) Kesadaran seperti apa yang sedang ditawarkan?; dan (4) Bagaimanakah film berfungsi dalam proses menjadi Indonesia baru?

Studi ini bergerak melalui dinamika cipta-hapus dengan melibatkan penonton dalam konteks (zone of indeterminancy). Cipta-hapus ini adalah relasi-relasi antar real-imaginer, fisikal-mental, obyektif-subyektif, deskriptif-naratif, aktual-virtual yang saling merefleksikan dan menubruk hingga pada titik tertentu tak terbedakan lagi (point of indiscernibility). Konfrontasi ini memprovokasi pikiran yang terus bercabang seiring multiplikasi transformatif affective images. Inilah jaringan sirkular antar image yang sepenuhnya optikal-suara serta antar time-image dan thought-image. Praktisnya, proses analisa akan simultan dengan pengalaman sinematik (experiential) dalam bentuk retelling.

Hasil studi menunjukkan berbagai capaian Garin khususnya filmic ceasura, filmic alliteration, Doppler effect, medan vibrasi berkombinasi dengan dialog internal serta aneka ‘mutasi’ indrawi, gestural, pola dan dimensi interaksi. Selain menciptakan tanda-tanda, Garin juga mengembangkan filsafat waktunya lewat konfrontasi antar yang mekanis, represif dan affective images dengan vibrasi pada level personal maupun kolektif. Ia bahkan mendestabilisasikan distingsi waktu dan ruang (yaitu pertukaran bentuk dan isi secara intens-frontal dalam benak pemain maupun penonton) seraya menciptakan dimensi ruang-waktu Garinian.

(16)

xv

Abstract

The Outcasts of the Motherland: Garinian Time-Space and the Molecularity of Experience in The Poem Unburied.

The Poem Unburied represents Garin Nugroho’s filmic effort to retell the 1965 tragedy. The study adapts Deleuze's approach to film analysis.

This research explores four questions: (1) What symbolism exists in the film?; (2) What kind of cinematic experience of time is being offered?; (3) What kind of consciousness is being constructed?; and (4) How does film function in the process of becoming a new Indonesia?

This study makes use of the double movement of creation and erasure. It accommodates the audience’s cinematic experience in terms of . The creation-erasure is the relations between real-imaginer, physical-mental, objective-subjective, actual-virtual which reflect and collide with each other to the point of indiscernibility. This collision provokes thought to keep splitting proportionally to the transcendent plurality of affective images. This process gives rise to the fibrous web of connections among the images which are fully optical and audio and among time-image and thought-image. Shortly, the analysis process parallels the audience’s cinematic experience in the form of retelling.

The research shows Garin’s various achievements as evidenced in the way he used devices such as filmic caesura, filmic alliteration, Doppler effect and the vibration field in combination with the many types of sensory mutation, gestures, patterns and interactions. While creating new signs, Garin also develops his own philosophy of time through the confrontational encounters between the mechanical, repressive and affective images with the vibration is on the personal and collective level. He even destabilizes time-space distinction (making it intense and frontal exchanges between form and volume in the minds of characters and audience) creating the so-called Garinian time-space

Garin offers new aesthetics by continuously producing sensation that can be experienced in the minutest level. In terms of becoming Indonesia, he offers the notion of history as the multi-dimensional growth and multiplication resulting from the dynamic confrontation with the forces of life. History is a discontinuity calling for sensory participation in a fluid manner. The past (former present) can fully be comprehended experientially, not through an intellectual-ideological analysis. Being more sensitive to the body (locus of history) as the interconnectivities of affect-percept, he enables thought to think outside the

‘official’ thinking making it well-guarded from the dangers of ideological-visual uniformity and monolithic politicized subjectivity.

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang yang Melahirkan Sebuah Topik

Hidup tanpa lingkaran refleksi dan praktik, bagaimana mungkin bisa

merespon, mengantisipasi dan mentransformasi sarat dimensi pengalaman dan

interaksi antar pengalaman secara maksimal? Pertanyaan ini bisa direspon dari

tiga bidang yang berbeda yaitu sains, estetika dan filsafat. Di sisi lain, pengalaman

mengajarkan kita bahwa operasionalitas sebuah sudut pandang seringkali

membutuhkan sumbangan-sumbangan dari wilayah disiplin lainnya secara

langsung maupun tidak langsung. Tentu saja, tetap dimungkinkan aplikasi satu

sudut pandang secara ketat untuk mengupas tuntas sebuah permasalahan yang

sudah didefinisikan secara sistematis. Akan tetapi, pada titik tertentu biasanya

mono-analisis seperti itu mengalami kejenuhan dan membuka jalan bagi

operasionalitas disiplin-disiplin lainnya. Inilah yang kita kenal sebagai lintas

disiplin yang memungkinkan sesuatu ditelaah menurut dimensi-dimensi sains,

estetis maupun filosofisnya seperti yang kerap kita temukan dalam ranah cultural

studies.

Studi ini merupakan upaya menggabungkan ketika bidang di atas dengan

tekanan kuat pada dimensi estetis dan filosofis. Salah satu produk kultural yang

paling kuat merepresentasikan ketiganya adalah film. Dengan asumsi bahwa film

secara ketat ataupun longgar mengekspresikan estetika dan filsafat sang

pembuatnya, olah film sangat potensial untuk membawa kita pada temuan-temuan

baru dalam berbagai bidang termasuk filsafat itu sendiri.

Filsafat patut mendapat perhatian khusus tanpa meremehkan estetika dan

sains tentunya. Seringkali diasosiasikan dengan tradisi Yunani yang kemudian

menjadi tradisi pemikiran dunia Kristen Barat, filsafat di Indonesia tampaknya

(18)

gejala umum yang bisa menjelaskan situasi ini adalah fakta penerapan berpikir

secara filosofis atau lintas disipliner yang cenderung apatis, terlalu linier, kurang

reflektif namun mekanistis atau sekedar melekatkan teori seperti misalnya dalam

proses kritik sastra di kalangan mahasiswa umumnya.

Lemahnya tradisi filsafat di Indonesia paling tidak menyangkut dua hal.

Pengajaran filsafat di universitas-universitas swasta selalu berada di bawah

bayang-bayang teologi tertentu. Sementara itu, di universitas-universitas negeri,

filsafat selalu menjadi subordinasi Pancasila. Tanpa institusi-institusi yang

independen, bagaimana mungkin mengharapkan dialog sistematis yang kontinu

dan menyentuh setiap level pergulatan baik secara internal maupun lintas ilmu.

Filsafat tidak berpikir dan melibati apa yang sedang dihadapi masyarakatnya.

Sebaliknya, filsafat boleh dikatakan mengalami stagnasi dan juga begitu

ilmu-ilmu sosial lainnya. Oleh karena itu, filsafat harus menemukan dirinya kembali

dan mereorientasikan daya-daya hidupnya dalam rangka memberdayakan dirinya

dan/atau ilmu-ilmu humaniora lainnya dengan membuat berbagai pilihan dan

aliansi strategis.

1. Mengapa Sinema dan Filsafat?

Pada titik kritis inilah filsafat berhadap-hadapan dengan sinema baik pada

level teori maupun proses. Sebagai salah satu produk budaya yang paling

berpengaruh, sinema adalah harmoni adonan teknologi dan estetika yang terolah

kreatif dengan organisasi naratif tertentu seturut pilihan dan pesan tematik tertentu

(kandungan sosial sinema).

Di sisi lain, di dalam dirinya sendiri, sinema adalah industri kecerdasan

sekaligus perjalanan budaya material manusia yang hakikatnya diarahkan pada

eksplorasi dan eksploitasi ruang-ruang pengalaman manusia baik dengan dirinya,

sesamanya, dunia realitas dan berbagai sarana ataupun produk kulturalnya. Inilah

pusat pergulatan estetik individual (sutradara, misalnya) maupun kolektif

(penonton, misalnya), lingkaran produksi-distribusi-konsumsi yang mengandaikan

(19)

konsumsi.1 Secara semiotik, pengalaman sinematik adalah resultansi pengalaman

dengan gerak (movement) dan waktu (time). Harmoni sinematografis justru

tercipta lewat tumpang-tindih presentasi dan pengalaman signifikasi dalam

konteks hubungan-hubungan ruang-waktu2.

Dewasa ini, level dan corak pengalaman sinematik sekali lagi mengalami

transformasi revolusioner, menapaki tataran citraan-waktu spontan (direct

time-image). Sebelumnya, meskipun objek dan setting sudah memiliki realitasnya

sendiri, realitas itu sifatnya fungsional melulu tergantung tuntutan situasi. Ruang

(space) identik dengan sebuah setting yang mengandaikan serangkaian tindakan

untuk membukanya atau untuk mengantisipasi maupun memodifikasi ruang

tersebut. Gerak atau tindakan itu secara logis menghasilkan gagasan dan

pengalaman akan waktu. Waktu tergantung pada sang protagonis yang

mengkonsumsi3 setting dan aneka objek untuk mengekspresikan makna sekaligus

tindakannya (action-image based cinema).

Kini objek dan setting mewujud dalam realitas material otonom yang

menghasilkan signifikasi dalam dirinya sendiri. Secara esensial, penonton maupun

para pemain menciptakan berbagai setting dan objek dengan tatapan (gaze)

mereka. Mereka melihat dan mendengar objek-objek dan orang-orang di dalam

film itu seraya menunggu pematangan momen untuk aksi atau hasrat (passion)

terlahir secara langsung-spontan serta berkesinambungan (a pre-existing daily

life). Logika linear dan kontinuitas berbasis gerakan (movement-based continuity)

menjadi masa lalu. Kaitan-kaitan (rational cuts) yang mengandaikan gerak sang

1

Menurut hemat penulis, terlepas dari suguhan estetis yang terkandung dalam setiap proses produksi sinematik, setiap proses konsumsi (secara aktif, pasif, skeptis, dan seterusnya) pasti menghasilkan struktur pengalaman tertentu. Hal ini dimungkinkan karena sinema tanpa henti melibatkan pencerapan sensoris dan intelektual serta berbagai lapisan struktur pengalaman individual maupun kolektif (efek audiovisual versus derajad keterbukaan seseorang atau audiens terhadap tawaran sinematik tertentu), melibatkan memori (yang sifatnya sensoris, afektif, intelektual, sosial, religius, kultural, ideologis) maupun filter sosiokultural.

2

Bagian ini yang menyangkut direct time-image adalah buah pemikiran Gilles Deleuze seperti yang ia paparkan secara menyeluruh dalam bukunya Cinema 2, The Time-Image, Hugh Tomlinson dan Robert Galeta (trans), (London: The Athlone Press, 2000).

3

(20)

pemain (shot to sequence) dibekukan hanya menyisakan melulu optikal dan suara

yang dicerap indra sebelum sebuah tindakan mengambil ekspresinya. Waktu hadir

secara spontan, dialami secara simultan dengan sebuah situasi sinematik4. Waktu

sepenuhnya independen, tak tergantung lagi pada gerakan.

Seorang filsuf mengalami bagaimana sinema sedang menstrukturasi dan

merestrukturasi masyarakat secara keseluruhan. Struktur budaya dan identitas

sosial selalu dalam proses menjadi (in the process of becoming). Hadir situasi

baru. Hadir tantangan baru untuk melakukan refleksi filosofis-sistematis dan

respon-tindakan nyata (praksis). Inilah yang kiranya dilakukan Gilles Delauze,

salah satu teoritisi film sekaligus filsuf terkemuka. Ia percaya bahwa seorang

filsuf seyogyanya bekerja seiring perkembangan sinema. Filsuf adalah penyelam

dalam dunia tanda-tanda sinematik. Aktivitas ini adalah upaya untuk

mengklasifikasikan berbagai citra dan tanda namun kemudian diurutkan kembali

untuk tujuan-tujuan baru. Daya tarik sinema yang terpenting adalah

kemampuannya mentransformasikan konstruksi-konstruksi konseptual menjadi

dimensi-dimensi baru. Konseptualisasi itu sendiri selayaknya mengintegrasikan

percept dan affect (yang tidak boleh dikacaukan dengan istilah persepsi dan

perasaan atau feeling). Ketiganya membentuk kompleks kekuatan yang tak

terpisahkan yang bergerak dari seni ke filsafat dan dari filsafat ke seni. Jelas sekali

praksis dimaksud bukanlah untuk mengaplikasikan konsep-konsep filosofis dalam

sinema melainkan bekerja dengan konsep-konsep yang ditimbulkan dalam dan

oleh sinema. Pada gilirannya dialog intens terjadi antar keduanya dan antara

filsafat dan bidang-bidang ilmu lain secara umum.

4

Situasi sinematik adalah upaya penulis untuk menterjemahkan dan mendeskripsikan setiap potong audiovisual (shot) yang di dalamnya sudah mengandung keseluruhan elemen dan dimensi

(21)

2. Mengapa Film Puisi Tak Terkuburkan?

Puisi Tak Terkuburkan merupakan upaya Garin Nugroho menelusup jauh

ke dalam trauma dan tragedi kemanusiaan terbesar dalam sejarah Indonesia di

tahun 19655. Berawal dan berpuncak pada terbunuhnya tujuh jenderal Angkatan

Darat di sebuah tempat yang disebut Lubang Buaya, kisah setelahnya adalah

mobilisasi tanpa batas, angkara murka, balas-dendam, aniaya, orgi penggorokan

masal di berbagai titik eksekusi di tanah Jawa khususnya dan di Indonesia

umumnya. Indonesia tak pernah lagi sama sejak kemenangan mutlak ABRI

khususnya Angkatan Darat terhadap musuh-musuh Pancasila (yang praktisnya

diterjemahkan sebagai Partai Komunis Indonesia beserta organisasi-organisasi

5

Keith Foulcher mencatat bagaimana ingatan sejarah (remembered history) menjadi bagian perkembangan sastra dan pergulatan para penulis Indonesia. Ia mencatat bahwa di sepanjang 1970-an, kebanyakan produk sastra bungkam terhadap peristiwa 1965 maupun dampaknya bagi kehidupan bangsa ini pada level individual, komunitas maupun sebagai bangsa. Ia mencatat bahwa paska 1965, ada sejumlah cerita pendek yang terbit namun tujuannya untuk menggalang pengertian (understanding) ataupun membersihkan nama. Sejarah mulai muncul kembali dalam khazanah kesusastraan Indonesia di tahun 1979 tidak lewat sastra seni (art literature) namun justru dalam genre sastra pop sebagai konsekuensi praktis dari pertumbuhan kelas elit menengah perkotaan yang diwakili kelompok muda yang tidak mengalami peristiwa itu secara langsung berbeda dari generasi penulis cerita pendek di atas. Akhirnya sejarah kembali secara serius digarap dengan kemunculan Yudhistira Ardi Noegraha dalam Mencoba Tidak Menyerah (Jakarta: Gramedia, 1979) yang merepresentasikan kombinasi sastra dan dokumen sosial. Dalam

perkembangan selanjutnya, kita melihat kebangkitan sastra seni lewat para penulis „kiri‟ yang

dipenjara karenan afiliasinya dengan peristiwa 1965. Begitulah, Pramoedya Ananta Toer menggelegar dengan Bumi Manusia di tahun 1980 selain banyak penulis cemerlang lainnya. Hingga akhirnya muncul Ajip Rosidi dengan Anak Tanah Air, Secercah Kisah (Jakarta: Gramedia, 1985) yang dengan Rendra merepresentasikan kelompok penulis muda Indonesia yang

menekankan „regional identities and regional cultural roots as a basis for the development in the

national literary tradition‟. Mereka mengklaim sebutan Angkatan Terbaru. Novelnya ini sangat

berbeda dari konvensi sastra angkatan sebelumnya seperti misalnya Nyali (Putu Wijaya). Anak Tanah Air, Secercah Kisahkarena merepresentasikan „a realist historical novel, in part a historical

documentary, full of autobiographical elements and peopled by actual historical figures, either

under their own names or thinly disguised behind pseudonyms‟. Buku dan posisi Ajip Rosidi yang independen tidak memihak kiri (Lekra) atau kalangan nasionalis ini menyulut polemik sebagaimana yang terekam dalam beberapa edisi Horison, April hingga Agustus 1987. Arief

Budiman waktu itu sempat menulis editorial bertajuk „Do we have the courage to look at our past

history?‟. Untuk lengkapnya, silahkan baca Keith Foulcher, 1991. “Making History: Recent Indonesian Literature and the Events of 1965,” dalam Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965 – 1966. Studies from Java and Bali (Australia: Centre of Southeast Asian Studies, Monash University, 1991), hlm. 101–119.

(22)

onderbow-nya sekaligus anggota-anggota dan para simpatisan langsung atau tidak langsung). Kemenangan Pancasila terhadap “G 30S PKI” menjadi titik nol sejarah republik ini, titik awal penulisan kemajuan bangsa, justifikasi ideologi

pembangunan, justifikasi etis kamp-kamp konsentrasi untuk mencerca, menjerat

dan mengisolasi berbagai anasir komunis dan antek-anteknya. Penjara-penjara

penuh sesak, Nusakambangan dan Pulau Buru identik dengan kaum buangan.

Terperangkap dalam puting-beliung tebasan clurit dan sayatan sembilu ini

adalah seorang seniman didong (musik tradisional rakyat Aceh) Ibrahim Kadir.

Tertuding anggota PKI, ia dilucuti dari desanya di Takengon, Aceh tengah, dan „hanya‟ dipenjara selama 11 (ditangkap 12 Oktober 1965) dan sebelum dibebaskan (22 oktober 1965) karena terbukti sekedar korban dari kekacauan dan

eforia kekerasan saat itu. Lewat panca indera sang seniman (yang dimainkan

Ibrahim Kadir sendiri), saksi hidup lusinan tahanan digiring ke ladang

pembantaian, Garin memainkan tutur sinematiknya. Didong sang seniman

menjadi musik sekaligus ritme dan tuturan sinematik di sana-sini sebelum layar

menutup 90 menit kemudian.

Dengan begitu, film produksi 1999 ini sangat menarik dan sangat

menantang untuk dipertemukan dengan proses sinesemiotik Deleuzian justru

karena kontroversi sejarah, mekanisme penjara yang hendak membungkam

kemanusiaan dan sentralitas didong terhadap dialog dan gerak. Pertama, penjara

adalah asumsi masyarakat demokratik. Penjara adalah konsekuensi logis

prinsip-prinsip retributif, korektif dan remedial. Pemenjaraan adalah kondisi ideal ketika

keadilan ditegakkan. Lebih dalam lagi ke diskursus penjara, kita akan menemukan

ada begitu banyak elemen dalam konstruk penjara dan pemenjaraan. Penjara

menunjukkan kesadaran sejarah yang meluas akan kesucian hak-hak asasi

manusia dan nilai-nilai universal dari demokrasi itu sendiri seperti kesetaraan,

kebebasan, kebebasan mengemukakan pendapat, individualitas, hak kepemilikan,

dan seterusnya.

Pada titik ini, kita berhadapan dengan paradoks penjara. Ketika penjara

(23)

isolasi eksklusif berkat sistem tertutup dan prinsip panoptikumnya6, penjara juga

sekaligus miniatur dari masyarakat yang melahirkannya (sebuah relasi diferensial)

dan sebuah masyarakat dalam dirinya sendiri (jadi sebuah sistem signifikasi yang

independen). Pertukaran serta komunikasi antar tanda pada setiap level di antara „subyek-subyek penjara‟ selalu menghadirkan keunikan dan kekuatan potensial kreatif penciptaan dalam rangka memaknai proses-proses kodifikasi dan

konvensionalisasi. Artinya, prinsip demokrasi justru mengalami banyak

pertanyaan dalam dinamisme kehidupan penjara. Demokrasi ternyata bukanlah

sebuah entitas yang given dan stabil tapi entitas labil yang terus-menerus

berbenturan dengan motivasi subversif, pemberontakan terhadap segala upaya

represi sistematis proses simbolik kontra ideologi resmi.

Garin mengkonfrontasikan institusi penjara dan olah rasa sang seniman

yang mendendang saat lidah kelu kehilangan kata tercekam realitas yang

melampaui kapasitas panca indra. Garin mengambil posisi sebagai pencipta

tanda-tanda yang memproduksi cara-cara baru dalam mengkonsumsi dan

memproduksi jaringan tanda, kontras-anarkhis dengan kebiasaan ingatan dan

sirkuit pencerap (perceptual circuits) bangsa ini.

Kedua, pengalaman sinematik direct time-image menisbihkan dikotomi

film-audiens. Penjara dan segala sesuatu dan setiap orang di dalamnya independen

menciptakan simbol-simbol dan sistem pertukaran tandanya masing-masing

(intertekstualitas dan intersubyektivitas). Berbagai hal menjelmakan dirinya

secara spontan! Aspek menjadi (becoming)7 ini bukan barang asing dalam

6

Jeremy Benthan (1748 – 1832), seorang hakim Inggris dan filsuf utilitarian adalah yang pertama memformulasikan prinsip pengawasan minor dengan efek maksimum. Penjara ditandai dengan menara pengawas yang memungkinkan penjaga melihat setiap terhukum sejelas siang hari sementara para napi tak pernah bisa memastikan apakah mereka sedang diamati atau tidak. Ini menghasilkan perasaan sedang diawasi secara terus-menerus. Disiplin ditegakkan lewat prisnip conditioning operant ketika para tahanan mengawasi tindak-tanduk mereka secara sukarela. Utilitarianisme ini secara khusus ditandai dengan evaluasi moral dan etis dalam kaitannya dengan kekuatan moral dan etika memproduksi kesenangan (pleasure) yaitu yang satu-satunya baik (the only good) atau penderitaan (pain) yaitu yang satu-satunya jahat (the only evil). Lihat Clarence L. Barnhart (ed), The American College Encyclopedia Dictionary (Chicago: Spencer Press, Inc., 1958), hlm. 114.

7

Konsep becoming yang dimaksud adalah seperti yang digambarkan Deleuze, “Cinema always

(24)

karya Garin Nugroho. Seperti dikatakan I. Bambang Sugiharto8, film-film Garin

berkat kombinasi fakta dan fiksi memungkinkan kita mereinterpretasi realitas

aktual dari kebaharuan perspektif (angle) potensialitasnya. Film-film ini

mendekonstruksi kategori-kategori dasar yang biasanya kita dayagunakan untuk

mencerap realitas dan pada saat yang sama menggeser posisi subyek dan

meletakkan subyek pada titik potong lalu-lintas berbagai impuls dan impresi yang

sangat liar namun begitu nyata untuk diacuhkan. Kepadatan realitas cerai-berai

tersebar membentuk jaringan (network) polifonik dan simultan, sebuah

intertekstualitas yang tak terduga namun begitu menyerap (absorbing). Garin

berhasil mendestabilisasikan kesadaran subyek seraya menyingkap lapisan fiksi

dari semua bentuk rasionalisasi sekaligus membuka sumbat lorong-lorong impuls

yang paling primordial. Bagi Sugiharto, tuturan Garin ini sangat strategis guna

mengungkap realitas tersembunyi bangsa ini khususnya menyangkut kombinasi

ganjil pra-moderen (bahkan Jaman Batu), horizon moderen and post moderen,

ketakberakaran dari paradigma-pardigma ini di Indonesia, hilangnya sejarah,

hilangnya heroisme, keruntuhan nilai-nilai normatif dan kegamangan dalam

konstelasi emosi. Garin berupaya mengungkap semua ini bukan ala Holywood

(bukan lewat identifikasi emosional dengan karakter juga bukan berkat kekuatan

bahasa atau kata-kata). Penonton disentuh lewat eksposisi sejumlah image, bahasa

tubuh dan adegan-adegan poetik. Film bukan untuk menghujat seorang pemain

dalam film tapi justru mengkritisi fiktisisasi kehidupan sehari-hari. Dengan cara ini, diri mengalami semacam „bersih jiwa‟ yang memungkinkan peningkatan kapasitas mencerap realitas original.

Garin merefleksikan pengaruh dan perkembangan bahasa sinematik paska

Perang Dunia II9 khususnya yang berkembang di Italia (neoRealisme) dan

movements, then you get other patterns, becomings rather than stories.” Lihat Gilles Deleuze.1990. Negotiation. 1972-1990, Martin Joughin (trans), (New York: Colombia University Press, 1990),hlm. 59.

8I. Bambang Sugiharto, “Garin Nugroho‟s Films and Social Transformation,”.dalam Philip

Cheah, Taufik Rahzen, Ong Hari Wahyu, Tonny Trimasanto (eds), And The Moon Dances: The Films of Garin (Yogyakarta: Bentang Pustaka. bekerjasama dengan SET Film Workshop and BingO, 2004), hlm. 187-189.

9

(25)

Perancis (New Wave)10. Tehnik ini mengintegrasikan tumpang-tindih radikal,

menonjolkan kontras, paradoks dan disharmoni, plot yang tak linear (plot bisa saja

dikorbankan tanpa menyebabkan gangguan berarti), ambigu moralitas dan

khususnya dengan mengeksplorasi karakter-karakter „sakit‟. Dalam karya-karya

Garin semua elemen di atas tampak dengan jelas yang mengingatkan kita pada

Taviani, intertekstualitas, Goddard atau bahkan gambar-gambar satiris surrealis

Bunuel misalnya. Akan tetapi, Garin tetap asli Indonesia11 yang menggulati

realitas negerinya dengan cara-cara laiknya tipikal Indonesia dan khususnya dari

perspektif sensibilitas Jawa. Narasi berfungsi tidak lebih sebagai bingkai. Garin

lebih menekankan pada citraan (image) daripada integritas konstruk film secara

keseluruhan. Film-filmnya selalu penuh dengan pregnant moments (Roland

Barthes). Setiap adegan dijiwai kedalaman eksistensial tertentu sehingga kita

dipaksa untuk berhenti berkali-kali untuk setiap adegan12. Dalam bahasa Deleuze,

protagonis dan penonton saling tumpang-tindih, yang nyata dan imaginer saling

menghapus sekaligus mencipta. Inilah kategori filmis baru yang menempatkan

gelisah dengan perkembangan film di tanah air yang cenderung menekankan tujuan-tujuan komersial, terhalang pisau sensor serta cenderung merefleksikan keinginan produser, silahkan baca Salim Said, Profil Dunia Film Indonesia, (Jakarta: Grafiti Pers, 1982).

Persoalan-persoalan yang disorot secara mendalam oleh Salim Said di atas juga menjadi keprihatinan seorang H. Usmar Ismail. Dalam kumpulan tulisannya, ia mengekspresikan sikapnya yang anti kiri dan posisinya soal komersialisasi film (yang dipengaruhi nilai-nilai Barat-Holywood). Ia juga mempertanyakan relevansi lembaga sensor, bagaimana posisi film sebagai alat politik serta berbagai persoalan perkembangan film di tanah air serta bagaimana soal-soal kebangsaan (lewat tema-tema perjuangan, gerilya ataupun pembangunan) menjadi pergulatan dunia sineas di masanya. Tak lupa juga ia menyinggung-nyinggung bagaimana latar belakang produser maupun sutradara turut mempengaruhi pilihan produk sinematik, dan seterusnya. Untuk lengkapnya, silahkan baca H. Usmar Ismail, Usmar Ismail Mengupas Film (Jakarta: Sinar Harapan, 1983).

Dalam kaitannya dengan eksistensi lembaga sensor yang secara historis merupakan produk kolonial itu dan respon seorang seniman, pandangan WS Rendra di bawah ini patut direnungkan.

Katanya, “Di dalam masyarakat kita, standard akal sehat kolektif masih rendah akibat tekanan

politik dari zaman raja-raja, zaman penjajahan, dan zaman sekarang. Rakyat dibiasakan dicecoki instruksi dan indoktrinasi, jadi kurang didorong untuk mengembangkan pikiran yang kreatif oleh kaum agama, kaum birokrat, atau pun oleh para politisi. Yah, maklumlah, kita masih berada dalam tingkat perkembangan. Oleh karena itu, sangat berbahaya bagi para seniman untuk berkompromi dengan selera penonton. Sebab, hal itu akan menurunkan mutu seninya, kecuali kalau ia sudah

mantap secara jujur akan menjadi penghibur saja”. Lihat WS Rendra, “Dunia Film di Mata Seorang Dramawan” dalam Harris Jauhari (ed), Layar Perak, 90 Tahun Bioskop di Indonesia

(Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 150. 10

Dua gerakan ini akan kita dalami dalam bagian-bagian berikutnya. 11

Tekanan dengan italiks ini berasal dari penulis. 12

(26)

subyek di mana-mana, ambiguitas antara pergerakan tanpa henti (continuous

flowing) dan keterperangkapan yang membekukan (pemain tidak lagi “mengetahui” bagaimana berreaksi terhadap situasi-situasi yang jauh melebihi kapasitas respon manusiawi entah karena terlalu buruk, terlalu cantik, terlalu

mengejutkan, dan seterusnya). Momen ini melahirkan yang nyata justru karena

wadah imaginernya!

B. Status Questionis

Ada empat pertanyaan yang hendak dijawab dalam penelitian ini yaitu :

1. Simbolisme apa yang ada dalam film tersebut?

2. Bagaimanakah pengalaman waktu sinematik kita?

3. Kesadaran seperti apa yang sedang ditawarkan?

4. Bagaimanakah film berfungsi dalam proses menjadi „Indonesia baru‟?

Dalam pertanyaan pertama, kita secara obyektif hendak mencari dan

memetakan simbol-simbol apa yang menghadirkan waktu dalam film dimaksud.

Setelah itu adalah proses penafsiran atau pembacaan simbol-simbol itu dalam

kaitannya dengan pembentukan diri (self) yaitu pengalaman menemukan diri

(semacam sosiologi simbolisme). Dalam pertanyaan ketiga kita hendak menggali

dan merumuskan rangkaian pengalaman waktu sehubungan dengan pertanyaan

kedua tadi. Setelah ini semua mendapat jawaban-jawabannya, kita hendak

mendalami pertautan antara yang imaginer dan yang nyata itu khususnya secara

Deleuzian13 dalam konteks dan dalam perspektif menjadi Indonesia modern.

13“Film criticism faces two dangers: it shouldn‟t just describe films but nor should it apply to them

concepts taken from outside film. The job of criticism is to form concepts that aren‟t of course “given” in films but nonetheless relate specifically to cinema, and to some specific genre of film, to some specific film or other. Concepts specific to cinema, but which can only be formed philosophically. They are not technical notions (like tracking, continuity, false continuity, depth or flatness of field, and so on), because technique only makes sense in relation to ends which it

presupposes but doesn‟t explain. It is these ends that constitute the concepts of cinema. Cinema

sets out to produce self-movement in image, autotemporalization even: that‟s the key thing, and

(27)

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasikan simbolisme dalam film

Garin Nugroho dengan menginventarisasi simbol-simbol, melacak latar belakang

(kaitan antara bahasa estetik dan biografi sinematik sutradara, gaya atau personal

style, posisi sutradara sebagai ateur dalam teks-teks sosial yang dominan)

memetakan pola-pola, dan menghasilkan semacam taksonomi tanda-tanda berikut

hubungan-hubungan antar tanda.

Kemudian, penelitian bisa mulai mempertanyakan bentuk dan proses

kesadaran seperti apa yang sadar atau tidak sadar coba dipresentasikan dan

dimaknai seorang Garin Nugroho. Kita akan melihat bagaimana tanda-tanda dan

hubungan-hubungan antar tanda dipadurangkaikan secara tehnis-estetis. Lebih

dalam lagi, kita akan mencermati dinamisme bagaimana, mengapa serta seberapa

jauh kesemuanya itu mampu memproduksi muatan kesadaran tertentu. Hal ini

tentu akan sangat terkait dengan muatan konsep waktu yang diproduksi,

dikonsumsi dan didistribusikan dalam film dimaksud secara simultan.

Pada tingkat selanjutnya, penelitian ini juga bertujuan meletakkan dan

menggulati Puisi Tak Terkuburkan dalam konteks dan perspektif menjadi

Indonesia moderen. Pada puncaknya, semua upaya di atas akan menjadi umpan

balik secara Deleuzian. Kata lain, penelitian ini berharap bisa mempresentasikan

temuan sejumlah tanda sinematik yang bisa diaplikasikan dalam dunia filsafat.

D. Metodologi

Pengalaman penelitian lapangan beserta pengolahan data-datanya, riset

dokumen serta riset kepustakaan akan saling mendukung menciptakan basis untuk

proses interpretasi yang berkelanjutan. Secara semiotik, setiap elemen akan

dianalisa dari dalam hingga elemen-elemen tersebut mencapai titik jenuh

membuncah sebagai sebuah sistem signifikasi kultural.

Ada dua level proses analisis yang interdependen. Secara khusus penulis

(28)

pola-pola berulang serta konsistensi gaya tutur sinematik sang sutradara. Dalam hal ini,

penulis akan banyak menggunakan teori-teori narasi film, sinematografi,

semiotika film khususnya sejak dari Metz, sosiohistoris film dan biografi karya

sinematik sang sutradara (Garin Nugroho). Kemudian level analisa akan

mengalami transformasi ke tataran paradigmatik yaitu secara Deleuzian (direct

time-image).

E. Relevansi Penelitian

Film adalah salah satu mitra baru dalam mereposisikan filsafat ke dalam

tempat yang semestinya, sebuah alat kultural untuk mengkontemplasikan dan

mendasarkan tindakan atau praktik sosial. Melalui film, kita bisa belajar dan

menganalisa sangat banyak dan mendalam bagaimana kita disignifikasi dengan

penanda-penanda apa, dengan citraan-citraan seperti apa dan berdasarkan

penilaian dan evaluasi siapa. Kita juga bisa belajar bagaimana memproduksi genre

film sendiri secara independen sekaligus simultan melakukan proses dialog intens

multi konteks dan perspektif dengan berbagai pihak. Pengalaman ini pada

gilirannya akan menciptakan arus balik kreatif yaitu menemukan kembali filsafat

dan menciptakan tanda-tanda baru.

F. Skema Penulisan

Penelitian ini akan bergerak lewat lima bagian besar. Bab I sifatnya

memproblematisasikan latar belakang dan mengkoordinasikan jalannya penelitian

dan proses penulisan. Kita berkutat dengan sejumlah gagasan pokok yang menjadi

dasar argumentasi selanjutnya.

Bab II berfungsi sebagai kerangka teoritis untuk memberi bingkai dan

batu pijakan analisa. Ini dimulai dengan mengupayakan ringkasan sekaligus

pemetaan baik secara diakronis maupun anakronis berbagai teori film sejak

Christian Metz hingga Gilles Deleuze. Penggalian ini sangat fundamental untuk

(29)

pencarian para pemikir, sineas dan kritikus. Selain itu, „arkeologi sinesemiotik‟ ini

akan memperlihatkan dinamisme dialektika sinesemiotik dengan berbagai disiplin

lainnya, bagaimana setiap proses tersebut sebenarnya mengandung bibit teori

narasi atau konsep tertentu yang kemudian dieksperimentasikan dalam eksplorasi

images baru yang menghasilkan persepsi ruang-waktu yang khas.

Secara khusus, penulis akan menunjukkan proses berpikir dan

representasi Deleuze dan bagaimana sikapnya terhadap kecenderungan teoritisasi

para pemikir lainnya serta kekhususan teorinya dibandingkan teori-teori film

lainnya. Kita harus bolak-balik memasuki pola-pola khas Deleuze dalam proses

mengaitkan filsafat dan seni, filsafat dan film dan bagaimana semua ini

menghasilkan struktur perseptual dan pengalaman baru dan time-images. Telusur

ini akan pungkas dengan sejumlah formula dan kesimpulan yang mengarahkan

kita pada kelaikan dan germinitasnya untuk diterapkan dalam gaya bertutur Garin

Nugroho.

Bab III melihat dan mendekati film sebagai artefak dalam sejarah

perfilman di Indonesia. Puisi Tak Terkuburkan akan menjadi sentral dalam bagian

ini. Kita akan melihat bagaimana seorang Garin khususnya lewat film ini

memposisikan dirinya secara khas. Kita berasumsi bahwa Garin berjuang dan

belajar keluar dari penjara ideologisasi simbol-simbol sekaligus menghidupkan

kembali simbolisme-simbolisme privat dan publik yang sudah direkonstruksi

regim Soeharto yang menginjeksikan instrumen-instrumen imagery

reproducation14-nya. Mengapa Puisi Tak Terkuburkan istimewa? Mengapa Garin

berbeda dengan sineas-sineas lainnya? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan

ini, kita akan berupaya merekonstruksi film ini menurut elemen-elemen

penyusunnya yang nantinya sekaligus menjadi dasar bagi argumentasi berikutnya.

Pokok-pokok Bab IV kemudian mengikuti perkembangan proses analisa

sejak dari awal. Bagian ini merupakan upaya mendialogkan Garin dalam Puisi

Tak Terkuburkan dengan corak berpikir Deleuzian. Kita akan melihat bagaimana

tanda-tanda dan hubungan-hubungan antar tanda dipadurangkaikan secara

tehnis-estetis yang kemudian memproduksi imagi-imagi tertentu. Imagi-imagi ini pada

14

(30)

gilirannya menghasilkan proses kesadaran tertentu. Ini semua sangat berkaitan

dengan konsep waktu yang diproduksi, dikonsumsi dan didistribusikan dalam film

dimaksud secara simultan. Dua level sintesa yang akan kita gulati adalah sintesa

diskursif dan sintesa artistik dari paham time-image yang ditunaskembangkan

Deleuze berhadapan dengan proses sinematik seorang Garin khususnya dalam

Puisi Tak Terkuburkan.

Analisa dengan demikian berada di level paradigmatik dengan fokus pada

pengalaman waktu yang ditawarkan Garin Nugroho khususnya lewat Puisi Tak

Terkuburkan. Pada bagian ini, penulis berharap akan berhasil memeras beberapa

tehnik, konsep dan gambar baru yang ditawarkan Garin. Semoga juga kita berhasil

menunjukkan kebaruan dalam proses mengkonsumsi karya audiovisual. Hal ini

sangat penting karena kita akan mengkomparasikan sinesemiotik Garin Nugroho

dan Gilles Deleuze khususnya pada bagian time-image. Dalam rangka bertemu,

bertaut dengan sinaps-sinaps filmik baru ini, kita akan bertanya bagaimana

dialektika Garin dan Deleuze bisa menghasilkan pola-pola sirkuit dan tanda-tanda

baru dalam dunia sinema Indonesia khususnya dan sinematografi umumnya!

Bab V adalah sintesa ringkas antara seni perfilman dan filsafat. Sintesa

ini meliputi dua level yaitu level filosofis dan level artistik. Bagaimana

tanda-tanda dan hubungan-hubungan antar tanda-tanda bisa diterapkan dalam dunia filsafat

(umpan balik Deleuzian). Penulis akan berupaya memeras beberapa konsep yang

dihasilkan dari dalam film sendiri namun dapat dikembangbiakkan dalam kultur

filosofis. Proyek ini memuncak pada problematisasi bagaimana pertautan antara

yang nyata dan imaginer dalam Puisi Tak Terkuburkan dalam konteks/perspektif

Indonesia. Kita akan mencoba menemukan mata rantai kerja keras

estetik-filosofis-ideologis seorang Garin dan upaya-upaya simboliknya merespon

situasi-situasi yang sedang berubah dengan dasyat nir batas dan mengantisipasi impian

(31)

15

Bab II

Film Sebagai Diskursus:

Dari Saussure Menuju Semiotika Bahasa Film Hingga

Deleuzian Time-Image

Sebagai bagian integral budaya komsumtif dewasa ini, film justru

menawarkan kausalitas terbalik. Barangkali dalam bayangan banyak orang, film

yang sangat tergantung pada teknologi itu seharusnya muncul sebagai produk

kreatif berbagai temuan di bidang mekanik, optik maupun kimiawi. Sayangnya,

tidak demikian realitasnya seperti yang ditulis Andre Bazin dalam The Myth of

Total Cinema?1.

Muybridge seorang pecinta kuda di tahun 1877 dan 1880 berhasil

mewujudkan hasratnya menangkap image derap seekor kuda dengan

mereduksinya menjadi serangkaian gerakan pada lempeng-lempeng kaca. Hal ini

hanyalah salah satu dari tiga komponen film yaitu simultanitas, emulsi2 kering dan

wadah yang fleksibel (flexible base). Ketika kimia menemukan wadah yang lebih

baik (gelatin-bromida dari perak), namun sebelum kemunculan gulungan seluloid

1 Andre Bazin, ―The Myth of Total Cinema,‖ dalam Gerald Mast, Marshall Cohen dan Leon

Braudy (eds), Film Theory and Criticism. Introductory Readings (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 34-37.

2 Ira Konigsberg menjelaskan demikian, ―The layer of light

-sensitive silver salts, suspended in gelatin, which is coated on the base of film. In color film, there are normally three separate emulsion layers, each also containing a chemical coupler sensitive to a different primary color. The latent image is formed in black-and-white film when the emulsion is exposed to light and made visible when the silver salts are transformed to black metal during developing. In color film the couplers are responsible for forming the colored image, which remains after the develop silver

(32)

di pasar, Marey mendesain kameranya dengan menggunakan berbagai lempeng

kaca. Akan tetapi, ketika akhirnya seluloid mulai dipasarkan, Lumiere pun

berupaya menggunakan kertas film. Sementara itu, kita mencatat benih film

sebenarnya sudah disemai sejak abad ke-17 dengan phenakistiscope3 atau

zootrope.

Di sisi lain, ada sejumlah upaya ilmiah utamanya Plateau yang melakukan

riset mendalam mensintesa gerakan-gerakan sederhana. Penemuan ini membuka

jalan bagi berbagai penemuan lainnya. Optik juga memainkan peranan dengan

menemukan betapa image bisa tertahan lama pada retina. Dan ilmu kimia secara

independen berupaya menemukan cara melakukan fiksasi image.

Bagi Bazin, ini semua mengherankan mengingat semua yang dibutuhkan

untuk menghasilkan gambar yang hidup namun harus menunggu hingga

perkembangan-perkembangan industrial maupun ekonomi abad 19.

Perkembangan-perkembangan ini mengisyaratkan adanya penemuan-penemuan

terpisah tak terkoordinir. Para penggagas film bisa dikatakan menjadi nabi yang

memproyeksikan sebuah jaman seperti yang kita alami saat ini. Dalam imaginasi

mereka, sinema dipandang sebagai representasi total dan sempurna dari realitas,

sebuah rekonstruksi dari kesempurnaan ilusi dunia luar dalam suara, warna dan

relief.

3

(33)

Sejarahwan P. Potoniee bahkan mengatakan bahwa bukannya fotografi

namun penemuan stereoskopi yang masuk ke pasar di tahun 1852 sesaat sebelum

upaya-upaya awal fotografi animasi yang membuka mata para ahli. Melihat obyek

mereka diam tak bergerak dalam ruang membuat mereka berpikir bahwa apa yang

mereka butuhkan adalah gerakan. Gerakan inilah yang menjadi kunci animasi foto

mereka menjadi kopi alamiah kehidupan. Gagasan ini kemudian menjadi tuntunan

penelitian dan eksperimentasi berikutnya.

Kita berhadapan dengan paradoks di sini. Sentralitas image secara historis

maupun teknis pada dasarnya kebetulan. Setiap penemuan yang ditambahkan pada

perkembangan sinema dengan sendirinya bergerak kian lama kian dekat ke

originalitas ide akan gambar yang hidup. Atau dengan kata lain, film belum juga

ditemukan! Hal ini kembali akan terlihat nyata dalam perjalanan film sebagai

diskursus dan praktik estetik. Kita akan melihat bagaimana kawin silang antar

disiplin dan berbagai peristiwa monumental melahirkan sejumlah gagasan yang

membawa kita makin lama makin dekat dengan realitas sinematik. Pertumbuhan

ini kemudian melahirkan banyak percabangan baru yang membuka berbagai

alternatif dalam menformulasikan realitas sinematik seperti yang diimpikan para

(34)

A. Produksi Makna Saussurian

Bianglala semiotika film tak akan serumit sekarang seandainya Saussure4

tak pernah mendekritkan diktum semiotikanya. Mainan favorit para filolog yaitu

berpuas-puas menjejaki sebuah kata atau suara secara evolutif (bagaimana sebuah

kata atau suara muncul dan tumbuh selama berabad-abad hingga menemukan

kestabilan bentuknya saat ini) terjungkir tanpa ampun. Para empu bahasa,

demikian fatwa Saussure, bertugas menjelaskan bagaimana kata atau suara

tertentu justru memproduksi makna. Faktanya makna atau signifikasi itu mandiri

di luar sistem dunia benda alias berhubungan secara semena-mena tanpa kepastian

dan dasar identifikasi. Sebaliknya, makna ada dan hanya berada dalam sebuah

sistem yang memungkinan ujaran (utterance) diproduksi, dikomunikasikan dan

dimengerti. Sistem ini adalah langue (grammar), sedangkan yang terujar dalam

sistem tersebut adalah parole. Kedua hal ini saling terkait dan memberi batas

ujaran yang mungkin (kapasitas komputasi sistem memungkinkan produksi bunyi

dan makna sekaligus) maupun yang ‗terlarang‘ (tak memungkinkan dalam

mekanisme sistem ataupun yang mungkin namun kosong makna).

Sebagai totalitas sistemik, bahasa berfungsi berkat jaring-jaring tanda

signifier (bunyi aktual atau jika tersurat, tampilan atau materi kasat mata dari

sebuah bunyi atau kata) dan signified (konsep atau makna). Hubungan signifier

dan signified ini arbiter dan nir relasi pasti lurus. Di sisi lain, seakan-akan kata dan

maknanya saling melibati mewujud dalam ketunggalan sebuah tanda. Paradoks ini

4

(35)

menyingkap fundamen tak sadar kolektif yaitu konvensi atau kodevikasi sosial

yang berfungsi sebagai kanon sistem. Tanda dengan demikian adalah fenomena

kolektif, sebuah entitas mental.

Lebih jauh lagi, Saussure meruntuhkan mitos nilai positif sebuah signifier.

Sebuah signifier bernilai hanya dalam hubungannya dengan setiap signifier

lainnya dalam sistem yang bersangkutan. Ujaran diproduksi hanya setelah

melewati filter seleksi yang menghilangkan potensi setiap signifier yang tak

terpilih. Bukan apa yang ada (present) tapi apa yang tak ada (absent) yang

menentukan! Makna mencuat justru karena ada perbedaan (difference) antar

signifier. Bayi dan babi misalnya dua komponen dalam sistem diferensial bahasa

Indonesia yang memungkinkan makna muncul dari hubungan arbiter dua signifier

y dan b.

Relasi negatif atau absensi ini tampak dalam dua aras primer. Pertama

adalah sintagmatik (aras kombinasi) yaitu relasi-relasi gramatikal di antara tanda

yang hadir dalam rantai pemaknaan (signifiying chain) konkret dan aktual seperti

dalam kalimat. Aras kedua adalah paradigmatik (aras seleksi atau subtitusi) yang

merangkum berbagai relasi di antara semua kemungkinan yang mungkin

(karenanya implisit atau absent) untuk setiap elemen dari sebuah rantai

pemaknaan5.

5

(36)

Saussure tak pelak lagi menangguk pengikut dan kejayaan di berbagai

lingkungan akademik. Gagasannya sangat original dan secara bersamaan juga

menjadi pergulatan intelektual Pierce di Amerika Serikat. Yang terakhir ini

mewakili aliran stukturalisme buah rahim mazhab Formalisme Rusia. Meskipun

keduanya mengandung sejumlah perbedaan namun keduanya memulai era baru

dalam dunia linguistik dan bahkan lintas disipliner. Muncul kegairahan baru

dalam menata pengertian dan cara mempersepsi realitas linguistik dan

realitas-realitas di luar linguistik. Sejak saat itu seakan segala sesuatu merepresentasikan

corak produksi makna dan proses pemaknaan tertentu. Tugas menemukan

‗bahasa‘ dari suatu tatanan dan memformulasikan hukum-hukum (langue) yang

mengatur proses-proses spontan ini menjadi sangat populer di kalangan komunitas

akademik di berbagai tempat.

dalam sebuah sistem (bahasa). Makna adalah akibat dari relasi total yang ada dengan unsur-unsur lain secara total; (2) Prinsip kesatuan. Sebuah tanda merupakan kesatuan yang tak dapat dipisahkan antara bidang penanda yang bersifat konkrit atau material (suara, tulisan, gambar, objek) dan bidang petanda (konsep, ide, gagasan, makna). Meskipun petanda yang abstrak dan nonmaterial bukan bagian instrinsik dari sebuah penanda, akan tetapi oleh Saussure ia dianggap hadir (present) bersama-sama penandanya yang konkrit dan kehadirannya adalah absolut; (3) Prinsip konvensional. Relasi struktural antara sebuah penanda dan petanda sangat tergantung pada apa yang disebut konvensi yaitu kesepakatan sosial tentang bahasa (tanda dan maknanya) di antara komunitas bahasa; (4) Prinsip sinkronik. Keterpakuan pada relasi struktural menempatkan semiotika struktural sebagai sebuah kecenderungan kajian sinkronik, yaitu kajian tanda sebagai sebuah sistem yang tetap di dalam konteks waktu yang dianggap konstan, stabil, dan tak berubah. Dengan demikian, ia mengabaikan dinamika, perubahan, serta transformasi bahasa: (5) Prinsip representasi. semiotika struktural dapat dilihat sebagai sebuah bentuk representasi, dalam pengertian sebuah tanda merepresentasikan suatu realitas, yang menjadi rujukan atau referensinya. Ketiadaan realitas berakibat logis pada ketiadaan tanda; (6) Prinsip kontiunitas. Ada kecenderungan pada semiotika struktural untuk melihat relasi antara sistem tanda dan penggunaannya secara sosial sebagai sebuah continuum, yaitu sebuah relasi waktu yang berkelanjutan dalam bahasa, yang di dalamnya berbagai tindak penggunaan bahasa selalu secara berkelanjutan mengacu pada sebuah sistem atau struktur yang tidak pernah berubah, sehingga di

dalamnya tidak dimungkinkan adanya perubahan radikal pada tanda, kode, dan makna‖. Lihat

(37)

B. Semiotika Film : Saussurian atau anti Saussurian?

Saussure pasti sudah ‗gila‘ ketika mendesakkan praktek prinsip-prinsip

semiotika dalam segala bidang. Semiotikanya mulai menuai keraguan dalam

lingkungan terpelajar. Patutkah sebuah temuan menjadi bahasa paripurna setiap

jenis proses tanda? Apakah semua sistem tanda pasti mengandaikan

hubungan-hubungan arbiter antar siginifier sebagai unit-unit dasar yang kasat mata? Paling

meresahkan adalah pernyataan bahwa signifikasi tak lebih dari efek diferensiasi.

Artinya, makna Saussurian adalah sebuah sistem yang sudah sempurna atau

selesai dalam dirinya sendiri alias sebuah sistem tertutup. Teks yang diproduksi

dalam sistem tertentu diperlakukan relatif sebagai totalitas yang koheren,

dipahami tidak dalam dirinya sendiri (bukan entitas yang secara organis pungkas

dan meliputi dirinya sendiri) melainkan hanya dalam hubungannya dengan sistem

induk.

Tidak heran apabila semiotika Saussurian ini menuai kecaman dan lawan.

Akan tetapi, realitas ini sekaligus merepresentasikan dinamisme dalam proses

perkembangan ilmu-ilmu sosial yang pada hakikatnya adalah proses melahirkan

kreativitas dan produktivitas baru. ‗Pertanyaan Saussurian‘ mengalami

transformasi drastis. Bukan lagi apa langue dari parole melainkan apakah langue

dari parole per definisi sudah cukup?

Semiotika film mulai tamasya dengan pertanyaan serupa. Dapatkah film

didefinisikan dalam perspektif langue dan parole? Menonton film-film klasikal

(38)

tetapi fakta visual dan visualisasi dalam film sungguh mengusik. Begitu sering

gambar visual seolah identik dengan objek dunia nyata. Film juga menggunakan

fotografi dan rekaman suara yang mustahil hanya representasi realitas (seperti

model imitasi langsung Bazinian). Sebaliknya, itu adalah presentasi dari realitas.

Singkatnya, fundamen signifikasi sinematik tampaknya tidak mengandaikan

struktur diferensi relasional.

Pertanyaan yang membuka gerbang kebuntuan ini adalah ‗apakah film itu

sebuah bahasa?‘6. Christian Metz termasuk yang mula-mula menjawab dengan

sistem semiotikanya sendiri. Metz menarik batas langue dan parole secara

berbeda yang ‗mengusir‘ sebagian kemungkinan aplikasi konsep-konsep

Saussurean. Bahasa selalu melibatkan intersubyektivitas dan historitas sosio

budaya tertentu. Bahasa muskil tanpa speaking public. Manakala bahasa adalah

sistem tanda yang dimaksudkan untuk interkomunikasi seturut garis Saussurean,

film sukar memenuhi kaidah ini. Komunikasi satu arah justru merupakan kekuatan

film. Film adalah film terlepas dari bahasa induknya, tak ada kemungkinan

mendeduksi bahasa film dari sumber yang melingkupinya. Yang bisa dilakukan

adalah menciptakan bahasa tersendiri (bahasa film). Metz menyoalnya sebagai

semacam bahasa (a kind of language) yang dibuat sepihak oleh pembuat

Gambar

Gambar filmis sama sekali bukan tanda Saussurean yang wajib memenuhi
gambar yang sepenuhnya optikal dan suara (optical-sound image). Gambar ini sama sekali tidak
gambar yang berputar pada sebuah piringan yang berotasi. Penonton memegang piringan tersebut di depan

Referensi

Dokumen terkait