• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Membongkar Garinian Time-Image : Menuju Estetika Baru dan

D. Garinian Time-Image

1. Proses Menjadi: Konfrontasi dan Filmic Caesura

Image di dalam shot atau frame mengalami transformasi menjadi peristiwa (event). Yang visual menjadi yang nyata, hadir dan bertumbuh dalam serta lewat dirinya sendiri. Dengan kata lain, image adalah singularitas16. Peristiwa terungkap melalui montase (montage17) yaitu penataan dinamis shot-shot individual yang

16

Dalam fisika, singularitas adalah titik pada pusat sebuah lubang hitam dengan tingkat kerapatan materi yang tak terbayangkan dan tak definit. Deleuze menggunakan istilah untuk melukiskan kekhususan sebuah komponen atau assemblage tertentu yang meliputi kekhususan dan keunikan kualitas serta potensinya yang tidak mengenal batas tersebut.

17

Pada awalnya, montase bermula dari dua praktisi film terkemuka Rusia yaitu Pudovkin dan Eisenstein. Keduanya sebenarnya mengakar dalam Kuleshov Workshop di State Film School Moscow pada waktu itu. Kelompok ini mengembangkan seni editing dan percaya bahwa editing itu menjadi fundasi film. Pudovkin mengembangkan editing yang menekankan kontinuitas dengan cara menyambung berbagai shot seperti jalinan rantai yang ia percaya bisa membimbing emosi maupun pikiran penonton. Sebaliknya Eisenstein mengembangkan editing yang lebih dramatik. Editing ini menekankan juksteposisi dinamis berbagai shot individual yang dengan sendirinya menarik perhatian pada dirinya dan memaksa penonton secara sadar sampai pada kesimpulan-kesimpulan mengenai interplay images. Sementara itu, pada saat yang sama, penonton sebenarnya secara emosional dan psikologis dipengaruhi tanpa menyadarinya terlalu banyak. (Ira Konigsberg,

Op. Cit., hlm. 216–217)

Eisenstein menekankan sentralitas respon penonton. Baginya, atraksi adalah, ―that subjects the audience to emotional or psychological influence‖. Tekanannya bukan pada mengonstruksi sebuah narasi atau merepresentasikan dunia nyata tetapi pada penciptaan kejutan (shock) yang mempengaruhi persepsi dan pengetahuan, sebuah estetika yang mengarahkan kita kembali pada

mengklaim perhatian pada dirinya sehingga penonton mau tidak mau harus menarik kesimpulan sendiri terhadap relasi internal antar image (the interplay of images). Hal ini ditandai dengan long take panning18 yang memungkinkan penonton mengikuti secara seksama dan memperhatikan detil-detil berbagai elemen yang terlibat di dalamnya serta terlibat atau dilibatkan di atau ke dalam adegan tertentu.

Seringkali pula, kamera benar-benar diam (still) seolah terpaku dan terlibat sepenuhnya dalam berbagai proses filmik di dalamnya. Kalaupun kamera bergerak, tampak bahwa tujuannya untuk lebih mengamati, untuk mendapatkan pandangan lebih dekat tanpa menjadi close-up. Kamera mengambil sudut pandang

sinema primitif yang sangat menekankan ‗play‘ di atas progesi naratif. Ini menyebut cara ini sebagai ‗intellectual montage‘ yaitu ―which built on the concept of ‗attraction‘ but which aimed, in the words of the French Eisenstein scholar Jacques Aumont, at ―a conceptual effect...the production of meaning.‖ Dua tehnik yang menjadi favorit dia adalah ‗synecdoche‘ (sebagian untuk semua) dan metafor (dalam praktek sinematiknya, menyandingkan berbagai image yang tidak berhubungan satu sama lain untuk membangkitkan asosiasi dalam pikiran penonton). Untuk lengkapnya, silahkan lihat Robert Sklar, Film, An International History of the Medium (United States of America: Prentice-Hall, INC., and Harry N. Abrams, INC., Publishers, 2000), hlm. 138. Dalam The Montage of Film Attraction (1923), Eisenstein menulis demikian, ―Whereas in theatre an effect is achieved primarily through the physiological perception of an actually occuring fact (e.g. a murder), in cinema it is made up of the juxtaposition and accumulation, in the audience‘s psyche, of associations that the film‘s purpose requires, associations that are aroused by the separate elements of the stated (in practical terms, in ‗montage fragments‘) fact, associations that produce, albeit tangentially, a similar (and often stronger) effect only when it taken as a whole. Let us take the same murder as an example: a throat is gripped, eyes bulge, a knife is brandished, the victim closes his eyes, blood is spattered on the wall, the victim falls on the floor, a hand wipes off the knife – each fragment is chosen to ‗provoke‘ associations‖. Lihat S.M. Eisenstein, Selected Works, Volume I, Writings 1922–34, Richard Taylor (ed and trans) (London: Indiana University Press, 1987), hlm. 41.

18

Pan Shot: A shot in which the camera moves horizontally around a fixed axis to survey an area. The terms comes from ―panorama‖ and the technique frequently functions to (1) give the audience a larger more panoramic view of the scene that a shot from a fixed camera. The technique can also be used (2) to guide the audience‘s attention to a significant action or point of interest, keeping them aware of the relationships of elements in the scene (something that cutting cannot do); (3) to follow the movement across the landscape of a character or vehicle; and (4) to convey a subjective view of what a character sees when turning his or her head to follow an action. (Ira Konigsberg,

objektif19 dalam arti pemain sepenuhnya tidak menyadari bawah mereka sedang diamati dan tidak sekalipun mereka menatap langsung ke kamera. Bahkan ketika mereka menghadap ke arah penonton, para pemain seolah selalu menghindar langsung menatap kamera.

Cara ini juga memungkinkan action terbuka (unfold) dalam waktu (tanpa mengsubordinasi waktu). Kombinasi cutting dalam proses editing tidak menjadi begitu tampak dan menjadi lebih dinamis tanpa harus tunduk sepenuhnya pada rasionalitas (sebaliknya irrational cuttings) yang memungkinkan penonton meresapi secara mandiri (tanpa disetir naskah film atau respon motorik pemain) dan mengalami internalisasi emosionalitas. Cutting dalam adegan (diapit dua dialog internal) bahkan nyaris tidak terasa. Sampai tahap tertentu, kita bahkan bisa mengatakan gambar-gambar yang hadir lewat Puisi Tak Terkuburkan bisa membawa penonton pada intensitas keterpesonaan, menatap dalam-dalam sementara batin tergempur golakan perasaan sehingga lupa keadaan sekitar sekaligus berproses secara personal dan internal (dream-like stage).

Sensibilitas terhadap mis-en-sce ne: dimensi ruang-waktu, terhadap interaksi, percakapan, transformasi emosionalitas pemain dan hubungan-hubungan antar elemen di dalam film menjadi sentral di sini. Mata, telinga, peraba mengalami aktivasi aktif. Menonton menjadi semacam survei secara mendalam (yang bisa berarti bersama para pemain). Yang disurvei adalah image dan hubungan antar image dalam keruangan tertentu. Sementara itu, ruang sendiri adalah entitas yang sedang memuai. Dengan begitu, image menjadi potensialitas

19

Lihat Joseph V. Mascelli, A.S.C. Angle – Kontiniti – Editing – Close Up – Komposisi dalam Sinematografi, H.M.Y. Biran (penerjemah), (Jakarta: Yayasan Citra, 1986), hlm. 9–10.

yang sedang mengalami transformasi radikal tanpa terkungkung asumsi dunia maupun subyek yang sepenuhnya sadar dengan setting (self-aware subject20).

Image menjadi yang mengada dan sepenuhnya sedang berproses mencapai finalitasnya. Image menjadi the animated yang dibebaskan dari penjara struktur spasialisasi gerakan, bukan sekedar diperlakukan sebagai the animated inanimated. Ia sepenuhnya mengalami dimensi prosesualnya dalam proses menjadi (process ofbecoming21).

‗Proses menjadi‘ ini menjadi konsep yang sangat penting dan mendominasi logika filming dan organisasi relasi antar image dalam film. Film tidak banyak mengandalkan gerak namun sebaliknya lebih membiarkan image

berproses mencapai finalitasnya. Berbagai image ko-eksis dalam ruang-waktu peristiwa (juxtaposition). Dari sudut pandang penonton, image dibiarkan berkembang baik itu ke dalam maupun ke luar dirinya sehingga bukan hanya retina yang melihat, merasakan bahkan melibati pertumbuhan image, organ-organ lain pun terlibat secara langsung.

20

Asumsi ini berlaku dalam movement-image. (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. xvi.)

21 Pada titik ini, Deleuze ‗berpisah‘ dari sang inspiratornya (Bergson). Bagi Bergson, film yang ditandai dengan spasialisasi gerakan yang kemudian dianimasi oleh proyektor itu merepresentasikan corak intelektual yang baginya tidak mampu mengalami pertemuan dengan daya-daya hidup secara utuh. Sebaliknya ia mengedepankan corak intuisi yang tidak serta merta menterjemahkan pertemuan ke dalam sejumlah tindakan atau respon reaktif melainkan mengalami perjumpaan itu secara mendalam (dan dengan demikian menunda respon). Artinya bagi Bergson, film merepresentasikan ilusi gerakan dari sejumlah immobilitas yang secara semena-mena diekstrasi oleh intelek untuk tujuan-tujuannya. Sebaliknya, Deleuze justru melihat sebaliknya. Proyektor sejak awal ‗membetulkan‘ ilusi tersebut berkat regulasi dari reanimasi dari image yang bersangkutan. ―Cinema does not give us an image to which movement is added, it immediately gives us a movement-image. It does give us a section but a section which is mobile, not an immobile section + abstract movement.‖ Dengan demikian, film tidak lagi sekedar model bagi intelek tetapi, ―…contains its own potential image of thought.‖ Untuk lengkapnya lihat Amy Herzog, ―Images of Thoughts and Act of Creation: Deleuze, Bergson and the Question of

Cinema,‖ dalam Celeste Amy (ed), Time and the Work, (http://www.

rochester.edu/in_visible_culture/issue3.htm: VISIBLE: An Electronic Journal for Visual Studies, 2000.

Pemain dalam film seringkali berbicara lewat ekspresi wajah, getaran emosi serta gestural. Wajah, kepala, mata, telinga, tangan, kaki serta tubuh mendapat tekanan istimewa. Wajah mengekspresikan emosi-emosi primordial manusia lewat beliak mata atau sudut-sudut mata yang menciping, kerat-kerut kulit muka atau dahi penuh tanya penuh protes dalam kebisuan atau mulut yang mengatup kencang. Wajah mengerutkan semburat kecil garis-garis seyum atau tawa. Kepala menunduk, termangu-mangu, tubuh kaku tanpa goyang saat berjalan, kepala di dalam goni atau kepala yang tengadah ke langit sedang tubuh meringkuk ketakutan dalam WC. Kadangkala kepala tertekuk kaku sementara bahu mengembang sedikit terangkat dengan kedua tangan saling telungkup di depan pusar bagai kobra kehilangan kegarangannya. Kaki menapak bagai berselancar minus semangat menunduk dengan bahu bergidik sedikit terangkat, sikap berdiri yang kaku menghadap tembok lurus ke depan. Tangan bergetar, mengetuk-ngetuk lalu mencakar dinding, memar bahkan berdarah, tangan yang menutup kedua daun telinga ngeri namun ingin tahu, tangan mengelus dada atau yang terikat sementara kepala dalam karung menunduk seakan leher menanti telebas pedang.

Di lain pihak, film seringkali berjalan cukup dengan suara-suara tunggal. Pak Sipir meneriakkan nama demi nama, membentak, menghardik atau menempeleng suara Kadir. Deru truk mendekat atau menjauh diikuti rantai pengembok pintu beradu dengan jeruji besi dan derit pintu membuka. Mak Tua tersedu-sedu, jerit pilu wanita-wanita yang minta ampun di sel sebelah.

Sementara itu, interaksi seringkali berada di dua kutub ekstrim, frontal atau sifatnya memoris. Interaksi seakan berlangsung dalam medan tempur, pertarungan demi pertarungan mental. Apabila yang frontal melibatkan para tahanan dan Sipir yang merepresentasikan kekuasaan dan konteks historis, yang memoris biasanya berlangsung di antara para tahanan. Akan tetapi, yang frontal ini juga tak pelak bisa juga melibatkan para tahanan secara brutal. Ketika itu sang Ideolog (Jalil) akhirnya dipanggil. Jalil keluar dari WC terisak-isak. Kamera agak tinggi dari depan sementara ia mendekat yang kemudian menampakkan Penutup Gendang yang sedang melipat badan dengan kedua tangan menutup pendengaran dengan ujung-ujung sarungnya. Saat Jalil melewatinya, dia beringsut naik isyarat satu berlalu yang lainnya membubul. Para tahanan diam pematung, Penutup Telinga mengikuti Jalil dari belakang ketakutan, sepi merayap. Musik berhenti di sini seolah turut menanti apa yang bakalan terjadi. “Ayo keluar!” bentak Sipir.

“Kawan semalam aku berpikir tentang ideologi. Katanya ideologi bisa membuat orang hidup. Tapi di setiap sejarah yang aku baca, ideologi bisa membunuh orang. Jadi sebenarnya ideologi itu apa?” tuntutnya. “Diam!, Diam kamu, diam!”“Jadi ideologi itu apa?” sementara Sipir menggulatinya.

Peristiwa ini menjadi luka di atas luka, torehan di atas torehan bahkan dalam batin Sipir yang barusan menempeleng serta membentak-bentak Jalil. Kata tidak sanggup mengatakan yang dirasakan. Kata tenggelam dalam memori. Seiring truk yang melaju sementara satunya lagi dihidupkan, gontai Kadir masuk

setelah ‗mengantarkan‘ Jalil. “Ibrahim,” lembut panggil Sipir yang sedang duduk di amben menghadap pintu masuk dari luar. Ibrahim berbalik berjalan ke arah

dinding dan mematung di situ sedikit tengadah sementara itu Jelita dan seorang ibu lainnya membereskan goni-goni. “Kita masih bersaudara, kenapa seperti ini? Nyanyikan saya nyanyian yang sering kita nyanyikan di danau itu.” pintanya. Ibrahim mulai bernyanyi kecil sekali. Kamera bergerak horizontal mengikuti Penutup Gendang yang gontai menuju dipan. Lagu mulai kedengaran sesaat dia naik ke dipan. Bibir El Manik komat-kamit, seseorang di sebelahnya tampak bertepuk mencoba mengikuti irama lagu. Kemudian segenap sel bernyanyi dengan iringan tepuk tangan mereka.

Ketika proses survei berlangsung secara internal maupun eksternal, waktu primordial (pure time) dilepaskan dari kungkungan movement-image. Ia tidak lagi menjadi sub-entitas yang ‗diciptakan‘ berkat kaitan respon motorik terhadap

setting. Ia bukan lagi spasiotemporal namun original alias tempo. Image sendiri menjadi realitas yang sedang mengada dan berproses menjadi dirinya secara dinamis, yang sedang bergulat dengan persoalan yang esensial bagi dirinya. Ini mengisyaratkan adanya hubungan primordial antara image dan energi yang menganimasikannya atau energi yang dia lepaskan dalam proses menjadinya. Konsekuensinya, ada rentang waktu yang dibutuhkan untuk bertransformasi. Dengan kata lain, transformasi atau evolusi radikal itu berlangsung lewat durasi.

Image muncul dari dan lewat durasinya sendiri (bukan ditentukan secara eksternal seperti dalam movement-image). Pada saat yang sama, image menggunakan durasinya untuk mengafirmasi sekaligus seketika mengenali berbagai durasi lainnya di sekitarnya yang juga sedang mengalami proses evolutifnya. Peristiwa

menjadi lines of flight22 atau semacam entrypoint23 yang membuka ragam horison serta jaring-jaring keterhubungan baru.

Tengoklah ‗pertarungan mental‘ antara Jelita dan Sipir. Kamera tak

mampu berbuat lain kecuali merekam (tanpa gerak tanpa ‗kedip‘) transformasi

(radikal) Jelita yang penuh maaf dan pengertian kontra Sipir yang menanggung sesal mendalam namun tak berdaya mengubah situasi kecuali menolak bertatap pandang. Dan saat Jelita menyisir rambutnya, begitu senyap tanpa bunyi sehingga sesaat kita seolah-olah mendengar telisik rambut-rambut yang tersibak bilah-bilah sisir (dari sipir!), kelembutan yang sebentar lagi akan digelundungkan ke bumi. Kita menjadi sadar dengan jeruji sel, meja, sikap duduk Sipir, baju dan topinya,

suasana dapur yang sepi tanpa Mak Tua (yang sudah ‗pergi‘ mendahului),

mendengar setiap kata Jelita yang bertemu ekspresi Sipir dalam keheningan

bahkan mungkin juga ‗bisa‘ mencium bau sel campur apak karung. Frame yang

22 Menurut Deleuze, demikian catat Kennedy dalam bukunya, kita terdiri dari ‗…a series of lines, latitudes, lines of flight‘ yaitu: (1)‗Line of segmentary‘. Corak ini tampak dalam fundasi atau struktur hidup manusia umumnya misalnya keluarga, kelas sosial, agama, jender ataupun seksualitas; (2) Yang berikutnya adalah bahwa kita hidup pada atau mempunyai ‗lines of molecularisation atau ‗lines of the molecular‘. Yang kedua ini sangat berbeda dari rigiditas ‗the segmentary line‘ karena ‗line of molecularisation make detours; they ‗sketch out rises and falls; but they are no less precise for all this, they even direct irreversible processes‘; (3) Line of flight, the nomadic line. Corak ini memungkinkan kita menjauh baik dari corak segementaris maupun corak molecular memasuki zona-zona eksperimentasi. Inilah corak yang memampukan kita keluar dari perangkap ‗fixed positionalities‘. Katanya lagi, ‗It is also the line of experimentation, excitement, creativity, volition, flight, but also danger and risk, loss and possible annihilation. Truly the line for the artist, the dancer, the thinker. …it is, ‗the most complex of all, the most tortuous; it is the line of gravity or velocity, the line of flight and of the greatest gradient…this line has something exceedingly mysterious, it is nothing other than the progression of the soul of the dancer‘. Lihat Barbara M. Kennedy, Deleuze and Cinema. The Aesthetics of Sensation (Great Britain: Edinburgh University Press. 2000), hlm. 70–71.

23 Entry point menghubungkan singularitas atau tataran yang satu dengan lainnya. Sebagai ‗benang yang merentang di sepanjang perbatasan‘, ia merupakan sarana deterritorialisasi untuk berpikir secara baru. Dalam bahasa lain, bersama dengan Guattari, Deleuze mengembangkan konsep peta yaitu, ―…The map is open and connectable in all its dimensions; it is detachable, reversible, susceptible to constant modification. A map has multiple entryways as opposed to tracing which, always comes back to ―the same.‖ (Ibid)

memukau sekaligus ‗tak tertanggungkan‘ yang di dalamnya berbagai image

membual secara otonom sekaligus dalam relasinya satu sama lain membentuk peristiwa yang potensial membuka aneka pergolakan, ide atau horizon baru dalam diri penonton. Setiap elemen intens menimpa retina sementara ritmis waktu (fleeting moments) bergerak bersama setiap kata yang terucap, setiap syair yang mengemuka atau seirama sisiran, transformasi kusut ke gerai, manusia ke

‗malaikat‘.

Setiap shot atau frame menjadi ‗dunia kecil‘ atau makrokosmos yang

sedang mengalami perubahan melalui dan dalam durasinya. Survei menjadi perjumpaan secara mendalam dengan makrokosmos berikut elemen-elemennya. Berbagai elemen ini dalam dirinya sendiri membentuk makrokosmosnya sendiri-sendiri. Inilah realitas dalam keseluruhannya yang tak terpisahkan dari berbagai elemen penyusunnya. Dengan begitu, survei menjadi perjumpaan secara intens dengan unit-unit penyusun (building blocks) realitas ini. Terjadi dialektika antar realitas yang secara simultan sedang mengalami proses trasnsformasi radikalnya, yang sedang memuai maupun sedang meningkatkan volumenya.

Perjumpaan secara radikal ini melahirkan momen-momen perhentian atau

filmic caesura24. Perhentian tidak berarti berhenti namun pause, memperhatikan

24

Banyak pengamat mengatakan bahwa Garin berpuisi lewat film-filmnya. Selain itu, judul film ini sendiri secara eksplisit mengekspresikan dirinya. Akan tetapi, penulis berpendapat bahwa Garin sudah jauh melampaui konsep ini per definisi maupun dalam aplikasinya dalam konteks praksis sinematik. Dalam ensiklopedia dikatakan: ‗Caesura, cesura (from Greek ―tome‖; French ―cesure‖; German ―Zasur‖). In classical prosody the term caesura has, since the time of Boeckh (1811), been used to refer to a word-boundary falling within a metrical foot (it was not so used by the ancients). The modern sense of the term, however, refers to a break or joint in the continuity of the metrical structure of the line (where word-boundary is all but universal) and so concerns the division of lines into distinguishable cola. In every sentence of any length there will be a syntactic juncture or pause between phrases or clauses, usually signaled by punctuation but sometimes not. Caesura is the metrical phenomenon which corresponds to this break in syntax of the line. Often the relevant

secara seksama yaitu keterlibatan secara radikal pada tataran afek dan persep. Perhentian berarti berjumpa tanpa ampun, mau tak mau tanpa kemungkinan lain kecuali memilih tidak eksis atau berpura-pura tidak tahu atau memilih lari dari kenyataan. Ini sebuah keniscayaan manakala realitas menjadi sebuah soal bagi eksistensi. Ranah persepsi dan afeksi tertegun, termangu, terdiam dalam arus realitas yang menjadi lewat dan dalam durasinya. Yang mengenaskan, yang tragis, yang getir dan menyakitkan, yang pahit atau memuakkan, semuanya adalah realitas yang mempresentasikan sejumlah persoalan untuk dijawab. Sementara itu, jawaban tidak given berada dalam yang visual tapi eksis dalam dan melalui perjumpaan langsung yaitu konfrontasi (yang brutal bila perlu) antara yang di luar (image) dan yang di dalam (afek dan persep).

Jelita melangkah seakan melayang melewati Sipir dengan ekspresi angelik di wajah meninggalkan kesenyapan yang jatuh menguasai dapur dan seisi sel. Kadir layu kembali ke selnya, sepenggal manusia terseok-seok melewati jeruji yang terbuka sebagian. Suara perempuan merintihkan ―ina....oooo ina‖ mengiringi

dia yang melangkah ke atas dipan, bergelung badan kepala tersungkur di

pangkuan El Manik. ‗Jemari lembut yang selalu bercanda‘ mengiringi tangan El

Manik yang turun menyambut kepala dan mengelusnya. Sebuah persoalan barusan menyelesaikan episode presentasinya terhadap eksistensi. Babakan yang pungkas di puncak pertarungan dan pergulatan jiwa manakala musik menggila

antara ‗acuh tak acuh dan mencari dirinya sendiri‘ di ujung film. Dan sejak tadi,

terms are not carefully distinguished in prosody and literary criticism: thus critics often use ―pause,‖ ―rest,‖ and ―caesura‖ almost interchangeably‖. Lihat Alex Preminger dan T.V.F. Brogan (eds), The New Princeton Encyclopedia of Poetry and Poetics (New Jersey: Princeton University Press, 1993), hlm. 158–159.

kita mengalami perjumpaan radikal dengan setiap elemen dan keseluruhan yang membuka dirinya dalam waktu, dari satu tingkat ke tingkat lainnya sekaligus secara simultan saling berhadap-hadapan, bertabrakan, berbenturan, berselisih, beradu energi: sebuah konfrontasi! Dan durasi konfrontasi yang dimulai sejak Sipir memberikan Jelita kain bulan-bulan titipan Mak Tua ini berlangsung selama ± 12 menit 5,51 detik sementara kamera praktis diam tak berkutik!