• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Menguak Bahasa Film Garin Nugroho 47

2. Perbedaan Reaksi Para Tahanan Perempuan dan Laki-Laki

Dari reaksi fisikal yang sangat sedikit dan banyak-padatnya reaksi sensorik serta verbal emosional itu, kita mencatat adanya perbedaan antara reaksi para tahanan perempuan dan laki-laki. Para lelaki terkesan lebih pasif dan meratap meskipun dialog-dialog mereka seolah merefleksikan kematangan intelektual

tertentu. Garin tampaknya sengaja atau tidak sengaja memberi porsi „kepala dingin‟ pada para lelaki dan „emosional‟ pada para perempuan.

Akan tetapi, justru para perempuan khususnya Mak Tua dan Juwita di dapur itu tampak lebih tegar dan mampu memberi reaksi yang lebih terhadap situasi yang ada. Memang mereka diposisikan secara domestik yaitu mempersiapkan makanan termasuk membagikannya serta mempersiapkan karung-karung goni (membeli di pasar dan melipat kembali karung-karung-karung-karung goni sehabis eksekusi) untuk menutupi wajah para tawanan yang kejatuhan jatah dieksekusi. Akan tetapi merekalah yang justru berani menghadapi sipir secara frontal (saat Mak Tua itu menolak bekerja lagi dan mau ikut dengan semua kerabat dan keluarganya yang sudah duluan ke alam baka) maupun secara personal-langsung (Juwita).

Juwita juga lebih memilih ikut Mak Tua yang memberikan selendangnya kepada dia sebelum diekskusi. Saat sang sipir menyerahkan kain bulan-bulan katanya, “Ibu Tua menitipkan kain bulan-bulan ini untukmu supaya kamu bisa

menari dengan gembira.” Juwita menerimanya sepenuh hati, memandangnya lapat-lapat kemudian membungkus bahu dan dadanya sambil merasakan cinta sang ibu yang begitu hangat mengajarinya berdendang. Perlahan terdengar nyanyian para wanita seperti saat Ibu Tua masih hidup. Dia bergerak dalam keperihan selaksa sembilu. Matanya nyaris menutup dalam trance yang dalam memedihkan. Jangan tanya lagi sedu-sedannya yang membungkukkan badannya hingga bersimpah ke lantai sementara suara truk berhenti sesaat sebelum suara pintu mobil ditutup seseorang.

Ia meminta sipir menjatuhkan waktunya sekarang juga. Dia juga mempertanyakan makna dari semua orgi darah ini kepada sang sipir yang tidak mampu menatap matanya dan akhirnya hanya sanggup melepaskan topinya dalam pergolakan batin yang tak tahu harus mengatakan apa. Yang sangat mencekam adalah ketika Ibrahim Kadir mengikat tangannya sebelum dinaikkan ke atas truk untuk dieksekusi, dia memberi wasiat terakhirnya supaya Ibrahim Kadir terus ber-didong, terus berdendang dan menceritakan semua ini tapi tidak dengan marah.

Seringkali Garin melukiskan saat mereka berdua atau bertiga (dengan seorang perempuan tua lainnya yang praktis hanya figuran di situ) bekerja, mereka bernyanyi bahkan Mak Tua mengajarkan kepada Juwita cara-cara mengolah padi serta berdandan termasuk menari sambil berdendang (bersiap menyambut kekasih hati yang hendak berkunjung). Bahkan ketika sel tempat para perempuan memasak dan mempersiapkan bahan-bahan masakan dan memasak serta tempat untuk mempersiapkan para terhukum untuk dieksekusi itu dibuka sekalipun, tidak tampak ada keinginan para tahanan lelaki untuk berbuat sesuatu.

Terutama ketika itu sang Ideolog sudah diangkut ke suatu tempat seiring deru truk yang menderu berlalu tak peduli dengan teror yang ditorehkan ke dalam relung terdalam setiap tawanan (laki-laki!). Saat Ibrahim hendak kembali dengan gontai memasuki selnya (Ibarahim yang disuruh mengikat tangannya), sang sipir (yang ternyata sahabatnya) memanggil Ibrahim kembali. Ia merintih mengapa kita para saudara harus seperti ini dan meminta Ibarahim menyanyikan kembali lagu yang biasa mereka dendangkan di tepi sungai (di akhir cerita, kita akan mengetahui kalau Ibrahim Kadir memang bertempat tinggal di tepi sungai tempat ia menciptakan syair-syair didong dan menikmati waktunya dengan memancing). Saat Ibrahim mulai bersyair itulah kamera mulai menyorot sang Penutup Gendang Telinga yang berjalan hampa menuju dalam sel dan kamera terus berjalan hingga berhenti pada El Manik yang pelan-pelan mengikuti Ibrahim. Akhirnya seisi sel laki-laki berdendang lagu yang penuh penggambaran masa-masa bahagia hidup damai berdampingan dengan alam dan sesama (nostalgia?).

Justru „wanita tua‟ (yang akhirnya dieksekusi itu) dengan frontal lebih

mengekspresikan emosinya terhadap situasi ironis tersebut. Ia mengambil sapu lidi (simbol domestik?). Atau juga gambaran akrab saat seorang ibu mengancam anaknya yang rewel atau meletus emosinya karena tak tahan lagi dengan suasana hidup yang monoton dari dapur ke dapur namun seakan „berpartisipasi‟ dengan

pesta darah itu. Dia membentakkan kata DIAM! berkali-kali.

Para lelaki terus bernyanyi malahan kian keras seakan sama sekali tak mendengar. Mata mereka terus menunduk hampa sementara mulut mereka menyanyikan syair lagu seolah otomatis tanpa penjiwaan (karena antara syair

dengan situasi mereka serta momen eksekusi begitu menyatu bagai jaring laba-laba merajut semangat hidup mereka hingga menjadi kepompong yang siap disantap sang pengisap darah). Serentak para lelaki berhenti ketika Mak Tua bergerak cepat ke dinding dapur sambil berteriak DIAM!

Saat suasana hening meraja di sel laki-laki maupun di dapur itulah kamera menyorot El Manik dari belakang. El Manik menumbuk-numbuk dinding sel dengan kepalan tangan kanannya kuat-kuat, detik per detik seakan mengatakan

„mengapa‟ dan „kapan‟ (waktu eksekusi tiba?). Tangannya tampak memar sedikit

lecet berdarah dan gemetaran menahan sakit. Kamera lalu mengekspos tatapan mata marah campur ngeri dan perih tak terhingga dan kepalan yang lecet berdarah itu sembari telinga kita (penonton) mendengar rintihan dan kalimat-kalimat bijak El Manik yang mempertanyakan ini semua. “Mengapa tangan kita ini tidak lagi mengetuk pintu untuk menyapa? Mengapa ketukan di setiap pintu rumah kini jadi menakutkan? Kenapa jemari ini tidak bisa menunjukkan setiap kebaikan? Kenapa

jari kita harus menunjuk ke dalam sarung (memfitnah)?” (Lalu telunjuk kanannya ia tusukkan ke dalam sarungnya hingga mencuat jelas seolah ujung pisau atau pedang atau rencong).

Mak Tua juga lebih ekspresif khususnya momen beberapa tahanan digiring untuk diangkut truk entah ke mana) sambil menghamburkan piring-piring di atas meja. Ia muak dengan semua ini lagi. Dia tidak mau bekerja seperti itu lagi.

“Aku tidak mau kerja seperti ini lagi. Aku biasa masak untuk pesta

apa-apa. Aku mau cari kerja lain!!!!” (Kalimat terakhir ini ia lontarkan dengan keras membentak sang Sipir yang duduk di ujung meja!)

Sang Penutup Telinga yang sedang menguping di sudut jeruji berlindung di balik dinding sel pembatas dapur dan sel laki-laki itu, berjalan gontai sangat perlahan. Kamera mengikutinya dari samping hingga ia membaringkan tubuhnya tanpa tenaga sementara tiga orang terkulai tertidur! Perlahan ia merebahkan kepalanya saat seseorang mengingau “Anakku....” dan akhirnya menggelung bangun merintihkan kata itu lagi. Integrasi adegan kemarahan dan protes Mak Tua yang dipaksa memasak dan mengurusi karung-karung dengan rintihan „anakku‟

yang dijembatani oleh reaksi sensorik Sang Penutup Telinga (yang sangat minimal) ini sangat apik dikemas dan berlangsung mulus dengan musik yang menggiriskan jantung. Waktu bergerak tanpa terpengaruh para tahanan yang justru luluh-lantak terteror seringai waktu (eksekusi) yang tak kenal ampun.

Lalu wak Haji bangun dari entah tidur entah menunggu waktu, perlahan berjalan ke jeruji dan bertanya pada sang Sipir, “Pak Sipir apa sudah waktunya?”

Dan waktunya sudah tiba saat beberapa nama dipanggil lagi. Kali ini beberapa nama perempuan. Sementara itu, pria yang memanggil-manggil anaknya itu mengintip dari balik dinding penjara ke sel sebelah yang tampak lengang tak berpenghuni kecuali kain-kain yang berserakan di atas tikar pandan. “Anakku....”

Saat itulah wak Haji bertanya, “Di mana umatku?” sambil menatap seisi selnya. Sementara itu El Manik sang pengetuk waktu menumbuk-numbuk kayu menandakan detik-detik waktu yang teramat mencekam.

Para tahanan pria kelihatan lebih terpengaruh dengan intimidasi dan teror waktu yang luar biasa mendera panca indra ini. Emosi mereka tampak naik-turun dan dominan di depan kamera dan kalimat-kalimat mereka kentara jelas lebih diperhitungkan dalam penuangan cerita dan penggerakan waktu. Akan tetapi, emosi perempuan (khususnya yang di dapur) sengaja atau tidak sengaja justru lebih kuat menggambarkan protes maupun kematangan menyikapi anarhki politik yang tak kenal ampun pada siapa saja yang jatuh korbannya. Perhatikan kata-kata Juwita sesaat setelah Mak Tua dieksekusi.

“Bapak jangan ragu untuk memanggil nama saya pak. Panggil saja

sekarang. Saya ndak mau lagi masak makanan yang ndak dimakan. (Lalu ia menuju sang Sipir dan mengambil tali di atas meja). Saya ndak mau pegang tadi ini Pak. Tali ini untuk ikat kerbau,bukan untuk ikat tangan manusia. Saya juga ndak mau kumpulkan goni-goni ini. Ini untuk simpan beras Pak. Maafkan saya Pak. Panggil saja saya sekarang. Keluarga saya ndak pernah ajarkan saya memukul. Kalau saya silap. Disapa saya. Diajak bicara saya. Kami keluarga diajarkan untuk berani bicara. Siapa yang salah dan siapa yang benar. Diajak bicara, letak yang salah dan letak yang benar. Saya harap Bapak mau ngerti ini. Panggil saja saya

Pak.”

Sementara itu Sipir yang lain meneriakkan beberapa nama perempuan. Satu demi satu perempuan yang dipanggil bergerak melewati mereka berdua.

“Ikat saya Pak. Tapi kepala saya ndak mau dimasukan ke goni-goni ini Pak. Tuhan memberikan manusia mata cantik untuk melihat kehidupan ini.

(Sambil melepaskan tudung kepalanya dan sedikit menggeraikan rambut panjang hitamnya). Ina ingin saya tetap cantik.”

Tangannya menjulur menanti sesuatu dari Sipir yang bergolak dalam derita rasa salah dan nurani yang terkoyak-koyak. Sang Sipir mengulurkan tangannya memberikan sisir. Perempuan muda itu kemudian menyisir rambut begitu gemulai penuh penghayatan dan sedikit sensual menampakkan kewanitaannya yang memang jelita itu. Nama Ibrahim diteriakkan bukan untuk dihukum melainkan untuk mengikat tangan perempuan muda yang jatuh giliran menghadapi penjagalan atas nama ideologi tersebut.