• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Film Sebagai Diskursus: Dari Saussure Menuju Semiotika

B. Semiotika Film: Saussurian atau anti Saussurian

Saussure pasti sudah ‗gila‘ ketika mendesakkan praktek prinsip-prinsip semiotika dalam segala bidang. Semiotikanya mulai menuai keraguan dalam lingkungan terpelajar. Patutkah sebuah temuan menjadi bahasa paripurna setiap jenis proses tanda? Apakah semua sistem tanda pasti mengandaikan hubungan-hubungan arbiter antar siginifier sebagai unit-unit dasar yang kasat mata? Paling meresahkan adalah pernyataan bahwa signifikasi tak lebih dari efek diferensiasi. Artinya, makna Saussurian adalah sebuah sistem yang sudah sempurna atau selesai dalam dirinya sendiri alias sebuah sistem tertutup. Teks yang diproduksi dalam sistem tertentu diperlakukan relatif sebagai totalitas yang koheren, dipahami tidak dalam dirinya sendiri (bukan entitas yang secara organis pungkas dan meliputi dirinya sendiri) melainkan hanya dalam hubungannya dengan sistem induk.

Tidak heran apabila semiotika Saussurian ini menuai kecaman dan lawan. Akan tetapi, realitas ini sekaligus merepresentasikan dinamisme dalam proses perkembangan ilmu-ilmu sosial yang pada hakikatnya adalah proses melahirkan

kreativitas dan produktivitas baru. ‗Pertanyaan Saussurian‘ mengalami

transformasi drastis. Bukan lagi apa langue dari parole melainkan apakah langue

dari parole per definisi sudah cukup?

Semiotika film mulai tamasya dengan pertanyaan serupa. Dapatkah film didefinisikan dalam perspektif langue dan parole? Menonton film-film klasikal tampaknya menimbulkan kesepakatan dengan penalaran strukturalisme. Akan

tetapi fakta visual dan visualisasi dalam film sungguh mengusik. Begitu sering gambar visual seolah identik dengan objek dunia nyata. Film juga menggunakan fotografi dan rekaman suara yang mustahil hanya representasi realitas (seperti model imitasi langsung Bazinian). Sebaliknya, itu adalah presentasi dari realitas. Singkatnya, fundamen signifikasi sinematik tampaknya tidak mengandaikan struktur diferensi relasional.

Pertanyaan yang membuka gerbang kebuntuan ini adalah ‗apakah film itu sebuah bahasa?‘6

. Christian Metz termasuk yang mula-mula menjawab dengan sistem semiotikanya sendiri. Metz menarik batas langue dan parole secara

berbeda yang ‗mengusir‘ sebagian kemungkinan aplikasi konsep-konsep

Saussurean. Bahasa selalu melibatkan intersubyektivitas dan historitas sosio budaya tertentu. Bahasa muskil tanpa speaking public. Manakala bahasa adalah sistem tanda yang dimaksudkan untuk interkomunikasi seturut garis Saussurean, film sukar memenuhi kaidah ini. Komunikasi satu arah justru merupakan kekuatan film. Film adalah film terlepas dari bahasa induknya, tak ada kemungkinan mendeduksi bahasa film dari sumber yang melingkupinya. Yang bisa dilakukan adalah menciptakan bahasa tersendiri (bahasa film). Metz menyoalnya sebagai semacam bahasa (a kind of language) yang dibuat sepihak oleh pembuat film. Kita tidak bisa melakukan semiotika film kecuali semiotika wacana film. Film adalah bahasa minus langue7.

6

Lihat Robert Stam, Robert Burgoyne dan Sandy Flitterman-Lewis (eds), New Vocabularies in Film Semiotics: Structuralism, post-structuralism and beyond (London and New York: Routledge, 1999), hlm. 33-37.

7

Robert Lapsley dan Michael Westlake, 1988. Film Theory: An Introduction (Manchester: Manchester University Press, 1988), hlm. 38–43.

Gambar filmis sama sekali bukan tanda Saussurean yang wajib memenuhi ciri arbiter. Hubungan signifier dan signified justru saling rengkuh dan sudah mapan. Penonton tak punya kesempatan melakukan proses seleksi apalagi tawar-menawar bagaimana menghubungkan signifier dan signified sebuah tanda. Hakekat filmis adalah reproduksi kondisi-kondisi persepsi (‘a block of reality’) lewat presentasi utuh replika realitas.

Bahasa film juga tidak mengandung artikulasi ganda yang menjiwai bahasa konvensional. Prinsip double articulation ini memungkinkan penutur memakai sejumlah tanda yang terbatas untuk keperluan tanpa batas. Tahap pertama menghasilkan bentuk. Bentuk ini kemudian diintegrasikan ke level yang di atasnya sehingga memunculkan makna. Kata adalah satuan tanda dalam sebuah sistem bahasa. Kata ini harus dihubungkan (secara sintagmatik maupun paradigmatik) dengan satuan-satuan tanda lainnya untuk menghasilkan makna melebihi sekedar tataran kata.

Passolini8 datang dengan semiotikanya sendiri. Benar seperti kata Metz bahwa film tidak mempunyai langue. Sinema adalah bahasa yang mengekspresikan kenyataan dengan kenyataan. Tak ada saringan baik simbolik maupun konvensional antara seseorang dan realitas seperti membaca sastra, misalnya. Lagipula, artikulasi ganda sangat nyata dalam sinema meskipun tidak menunjukkan ciri-ciri seperti dalam bahasa verbal. Fonem, katanya, adalah satuan linguistik terkecil setara dengan sinem (cineme) (obyek, tindakan atau peristiwa) yang merepresentasikan unit bungsu dalam bahasa sinema. Sejumlah sinem ini

8

mengelompok membentuk satuan yang lebih besar (frame) yang menjadi unit dasar signifikasi, setara dengan monem dalam linguistik umumnya. Frame kemudian ‗berbicara‘ berkat proses artikulasi kedua, berkat seleksi dan kombinasi

berbagai obyek, tindakan dan peristiwa dari dunia nyata (elemen-elemen dunia

nyata ini sendiri ia istilahkan ‗pro-filmic‘ artinya yang berada di depan kamera).

Akan tetapi, catat Passolini, sinem itu tanpa batas dan paling tidak tak terhitung. Menangkap realitas secara filmis berarti menghadirkan benar-benar obyek nyata dan bukanlah sekedar gambar realitas sehari-hari9. Kita harus memilih dari antara jagat sinem. Mustahil ada film apabila anasir-anasir realitas tak tertangkap panca indra.

Passolini adalah sebuah upaya keluar dari cengkraman linguistik dan menemukan film pada dirinya sendiri. Ia berupaya menjelaskan hakekat tanda

9Millicent Marcus punya catatan menarik soal Passolini. Katanya, ―To liberate the cinema from its

complicity with prewar modes, Passolini posits an antinaturalist style with gives his images a mythic, quasi-sacred quality by replacing the deep fields and long takes of the neorealis9 with flattened planes, frontal shots, a static camera, and a fetishistic attachment to the photographic object. What entitles this style to the realist label is not a theory of history, as it was in the case of Visconti, nor a theory of phenomenology, as in the case of Fellini, nor again a psychological approach as in the case of Antonioni, but a semiotic theory, a theory of cinematic signs, which

makes Passolini a conscious manipulator of the cinema‘s built-in powers of realist representation.

…this theory argues that the lexicon of film images, or ―im-segni‖ concides with the infinite

number of significant images that make up the real world, as well as the world of memory and

dream. Unlike linguistic signs, or ―lin-segni,‖ which are finite elements in a code, these ―im

-Segni‖ are countless, uncodified, and pregrammatical…As such, they give film an oneiric quality

―by reason of the elementary character of its archetypes (that is, once again, habitual and

consequently unconscious observation of environment, gestures, memory, dreams) and of fundamental pre-eminence of the pre-grammatical character of objects as symbols of the visual

language…Because film language is a direct transcription of these primal, pregrammatical images, it bears a special relationship to reality that no codified language enjoys… Since cinema is ―a

system of signs whose semiology corresponds to a possible semiology of the system of signs of

reality itself,‖ it is therefore ―the written language of reality‖ whose referentiality is entirely independent of symbolic or conventional mediations…. ―narrative structure itself the subject of the

film, rather than anything it chose to relate‖ so that the ―formal parallelism create a self-enclosed world where everything has an assigned place in a predetermined structure whose very precision turns the film into a formal creation or, to use Pasolini‘s words, an ‗object‘ rather than a representation of reality‖. Lihat Millicent Marcus, Italian Film in the Light of Neorealism (United States of America: Princeton University Press, 1986), hlm. 245–249.

dalam film dan hubungan signifier dengan signified. Gayung tersambut dengan kemunculan Umberto Eco10 yang mencoba menggunting tentakel Saussurean

dengan gaya Eco. Alih-alih realitas, film menjamu penonton dengan sejumlah

signifier yang terikat pada kodevikasi kultural yang membacanya sebagai sejumlah signified. Obyek, tindakan, peristiwa ataupun ragam bentuk interaksi manusia halnya bahasa tubuh Passolini tidak berada di atas kultur dan proses-proses kultural. Justru kebalikannya, setiap sinem tertenun rapi tak terpisahkan dari konvensi, kode, sistem dan bahkan ideologi! Secara tegas, Eco menolak analogi sinem dan fonem. Bagaimana mungkin ada pararelisme. Fonem hanya bermakna dalam kombinasi, bukan dalam dirinya sendiri. Sinem bermakna dalam dirinya sendiri, sebuah obyek yang tertangkap proses perseptual Meskipun begitu, Eco sepakat dengan Passolini kalau frame lebih dekat ke ujaran daripada ke sebuah kata.

Eco kemudian mengkritik Metz yang baginya gagal melihat bahwa gambar tidak melulu simulakrum atau duplikasi realitas dan karenanya non arbiter dan

motivated. Realitas, papar Eco, adalah habitat kode-kode. Artinya, gambar eksis karena utangnya pada dinamisme kode dan pengkodean kultural. Kode-kode ini meliputi kode persepsi, transmisi, kode tonasi suara, kode ikonik, kode ikonik, kode ikonografis, style dan kode bawah sadar.

Mengatasi kelangkaan konseptual Passolini dan mandeg dogmatisme verba-sentris (upaya menganalisis bidang-bidang ekstra-linguistik seperti musik dan gambar menggunakan teori artikulasi ganda), Eco menawarkan proses

10

semiologis artikulasi lipat tiga. Total gambar dapat diurai menjadi satuan-satuan

seme (satuan-satuan bermakna yang dapat dicerap dan diidentifikasi dalam dirinya sendiri). Seme ini masih lagi dapat diurai ke dalam tanda-tanda ikonik yang lebih kecil. Sebagai bagian dari sebuah kontinuum grafis, tak mandiri dan tak membentuk keunikan dalam dirinya sendiri, satuan ikonik ini hanya dapat dikenali dalam konteks seme yang bersangkutan. Tanda-tanda ikonik ini akhirnya dianalisis lagi ke dalam kondisi-kondisi persepsi (ikon sudut pandang, kelengkungan, tekstur, ragam efek cahaya, arsiran, dan seterusnya). Titik jenuh proses analisis struktural menemui akhirnya. Elemen-elemen tak bermakna dalam dirinya sendiri. Analog dengan fonem mungkin yaitu tanda-tanda ikonik didefinisikan melulu dalam terminologi diferensial dan oposisional. Akan tetapi, posisi satuan-satuan ini sangat esensial bagi proses konstruksi makna. Alterasi progesif pada titik tertentu bisa mengartikulasikan tanda ikonik yang berbeda. Corak artikulasi kode sinematik yang unik inilah yang memungkinkan derajad realisme yang jauh lebih dasyat daripada jenis-jenis representasi non filmis.

Analisis foto (fotogram) atau Passolinian frame ini tidak berhenti sebaliknya baru menemukan momentumnya. Eco baru saja menyingkap aspek sinkronik dan siap melangkah ke aspek diakronik film. Level ini muncul berkat gerakan (gesture) atau proses yang menghasilkan figur sinetik (sinea). Sinea ini kemudian menghasilkan semimorfi yang merupakan satuan sinetik (tanda sinetik) yang setara dengan monem. Tingkat tiga proses artikulasi menemukan wujudnya.

Gagasan Eco sebenarnya mencoba mengurai dan mengakomodasi proses perpindahan dari tanda ikonik (dalam frame) ke tanda ikonik lainnya (dalam shot).

Tanda ikonik yang kedua ini ia sebut sinetik yaitu tanda yang timbul akibat

gesture. Ia membongkar paradigma lama yang menetapkan frame sebuah gambar fotografis atau sel tunggal di atas seluloid. Padahal satuan-satuan fotografis itu sendiri bisa dikaji menurut semiotika foto yang kemudian menjadi gambar yang bergerak, yang hidup dalam film.

Dalam perkembangan selanjutnya, Eco melakukan otokritik atas teorinya. Alih-alih mengabstraksi tanda yang tersusun dari unit-unit elementer dengan nilai-nilai tetap (yang menjadi landasan artikulasi lipat tiga), dia kemudian melontarkan terobosan bahwa tanda sebaiknya dipikirkan sebagai tanda-fungsi (sign-functions) yang menghubungkan sebuah satuan ekspresi dengan satuan isi dalam kurung proses pemecahan kode dalam rangka menciptakan sebuah tanda baru. Ini berlawanan dengan tanda sebelumnya yang nihil toleransi buah prioritas struktur di atas proses. Eco menyadari bahwa tanda tak bisa tidak sensitif terhadap konteks. Tanda bukanlah reproduksi maupun representasi realitas yang ada mendahului proses filmis. Produksi tanda adalah produksi dan konstruksi tanda yang imaginer. Analisa semiotik tidak lagi berkutat mengidentifikasi sejumlah artikulasi berbilang tertentu dalam interrelasi yang tertentu pula. Ketika film menyangkut konteks dan kontekstual, elemen artikulasi pertama mungkin saja menjadi elemen untuk artikulasi kedua atau sebaliknya.