• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Membongkar Garinian Time-Image : Menuju Estetika Baru dan

B. Waktu Garinian

1. Reduksi dan Paradoks Waktu Penjara

Ketika penonton terteror dasyat, dimensi waktu yang biasanya menyatu dengan identifikasi ruang bergerak tanpa terlacak, seakan di luar kesadaran penonton. Kita mencatat beberapa pola respon para terpidana yang membentuk ide dan aura waktu penjara ini.

Yang pertama adalah corak religious ala wak Haji6. Orang tua yang sudah banyak makan asam garam kehidupan, yang menduduki posisi sosial penting dalam masyarakat kini terdampar dalam lautan kalut penuh tanda tanya. Kengerian dan pupusnya gairah tergambar lekat dalam gerak-geriknya yang begitu berat menyeret tubuhnya. Dulu di luar sana, tubuhnya mendapat tempat istimewa dalam benak setiap anggota komunitasnya. Barangkali tubuhnya identik dengan otoritas skriptural dan kebijaksanaan. Tubuh yang sama kini lunglai seakan menjadi tumpukan daging aneh yang membungkus kesadaran rohaniahnya. Berkali-kali kita mendengar ia bertanya pada sipir ‗Sudah jam berapa?‘. Beliau seakan menyiratkan adagium bahwa hidup matinya seseorang di tangan Tuhan.

Hanya beliaulah yang ‗diberi kesempatan‘ melantunkan azan tumbuk -bertumbukan dengan mesin truk berpadu dengan serak teriakan geram sipir memanggil nama demi nama kontra jerit tangis memilukan. Pada suatu saat ketika sang waktu sudah tiba (eksekusi), beliau mempertanyakan „di mana umatku?‟, pertanyaan seorang pemuka agama untuk orang-orang yang sekian lama ia jambangi dan jaga dengan setia.

6

Garin tidak memberi nama pada setiap orang namun dengan mudah kita bisa mengidentifikasi mereka (meski tidak semua) berdasarkan stereotipe tertentu. Demi kelancaran analisis, penulis akan mencoba mengidentifikasi dan membaginya ke dalam beberapa kategori.

Kutup sebaliknya adalah secara ideologis. Adalah seorang Jalil yang begitu percaya pada diskursus ideologi dan pembebasan. Bebas dari rasa takut menjadi temanya untuk meyakinkan teman-temannya. “Kenapa takut bicara?”

tanyanya. Politik bisa menggubah teman jadi lawan, ideologi jadi nasib buruk. Setiap kali penjagalan jatuh tempo, setiap kali namanya bukan yang terpanggil, tiap kali itu pula diskursus ideologi mengelupas sekian senti. Dan akhirnya dia sendirian tanpa rompi ideologis. Beralih secara ideologis jelas sudah terlalu terlambat kecuali meringkuk dan meneropong sisa kehidupannya dari celah dinding WC. Namun toh ‗Jalil‘ dan bukan lainnya yang menggelegar keluar dari

mulut sipir. Jalil yang tadinya kesatuan nama dan identitas dalam jalinan interaksi sosial terbelah dua: terpidana politik dan indeks dalam daftar eksekusi yang tak bisa disatukan lagi lewat ideologi kecuali lewat ajal.

Di antara dua kutup ini, kita mendapati beberapa corak respon lainnya. Yang terutama adalah sang Pengetuk Waktu (diperankan El Manik) berkali-kali mengantarkan kesadaran para terpidana dan penonton pada gerak jarum pendek jam mekanik yang sudah tereduksi sedemikian rupa menjadi masalah kematian paksa. El Manik mengepal tangan seraya menyalurkan siksa waktu dengan mengetuk-ngetuk. Pada titik paling menyiksa, dia menggeram dengan buku-buku jari memar gemetar kombinasi disharmoni sakit, pilu, nyeri, putus asa, takut dan

derita ‗mengapa‘ serta siksa penantian.

Yang berikut adalah Penutup Telinga yang juga mendapat perhatian secara khusus. Paling tidak ada dua bahasa tubuh (gestures) yang khas dari dia yaitu menutup dan melepas katup telinganya atau menutup telinga dengan kedua ujung

sarungnya. Ketika Jalil sang Ideolog mencoba meyakinkan dirinya (juga Wak Haji dan Pak Tua) soal ideologi yang pada dasarnya adalah untuk pembebasan dari rasa takut dan karena itu sudah selayaknya orang mengambil sikap secara ideologis, ia mendengus, memasang katupnya dan berlalu mengindikasikan kemuakan atau rasa tak percaya. Seringkali, gerak-geriknya ini menggambarkan rasa ingin tahu yang sumbernya dari trauma berulang-ulang, ketakutan luar biasa dipicu deru truk, gerontongan pintu sel, bentakan Sipir atau pada setiap perkembangan yang bisa berarti goni dan mati. Di lain kesempatan, keinginan tahu ini demi keinginan itu sendiri. Boleh dikatakan, ia mendengar, mengamati, merasakan bahkan berempati dengan telinganya.

Bagi para penonton, waktu yang biasanya integral dalam proses mengetahui dan mengerti akan apa yang terjadi dalam film seakan berhenti: sebuah konstan. Waktu tercerabut dari akar konteks fisiknya (ruang), bergerak mandiri tanpa peduli. Penonton seakan hendak disedot sepenuhnya dalam dimensi waktu yang sarat pesan kematian ini. Penonton berhenti berpikir soal waktunya sendiri. Kamera seakan hendak membuat penonton melupakan durasi tontonan yang sedang berlangsung dan memperlakukannya sebagai pengalaman di luar film. Waktu mengalami ideologisasi secara ekstrim. Ia adalah ‗dentang‘ gemuruh namun tak kedengaran dari ‗jam ideologis‘ penjara kontra jam mekanik di dinding

maupun di tangan Sipir. Waktu menjadi sebuah kode mengerikan alam barzah yang menghantui benak terpidana.

Di lain sisi, waktu ini pun sebenarnya tidak banyak disadari penonton ketika timbul pertanyaan siapa selanjutnya7? Penonton terkesima oleh potensi luar biasa waktu yang berhasil mencuat dari berbagai peristiwa dalam ruang yang nyaris tak berubah-ubah tersebut. Nyaris tak ada gerakan signifikan yang bisa menginformasikan kepada penonton perubahan hari ke hari. Jam fisikal digantikan kengerian menanti saatnya (kematian) tiba.

Terjadi paradoks di sini ketika ruang offscreen merajalela tanpa halangan. Ruang itu mendamparkan setiap orang termasuk sipir bahkan supir truk (yang hanya bisa kita asumsikan lewat deru truk) dan juga para pengawal dan penjagal para terpidana ke dalam ruang penjara yang gelap, kumuh dan sempit itu. Bukan ruang terekspos yang menjadi sentral namun justru ruang offscreen yang justru tidak pernah dideskripsikan secara filmik. Namun di sisi lain, justru waktu penjara

7

Dalam film-film mainstream umumnya, sutradara sering menyisipkan beberapa petunjuk bagaimana film akan bergerak pada tahap selanjutnya. Selain itu, adalah kebiasaan proses mental untuk membuat sejumlah prediksi berdasarkan informasi yang ada. Dalam film ini, kita juga tak urung melakukan hal yang sama. Akan tetapi, upaya prediksi ini ‗terhalang‘ dengan minimnya atau praktis tidak adanya informasi atau penunjuk sementara ruang-waktu mengalami ekstensifikasi dan intensifikasi yang sekaligus melibatkan penonton secara ekstrim bahkan ke titik melumpuhkan pola-pola pergerakan indrawi-ragawi sementara repertoar affective images menjadi tidak memadai untuk menampung apalagi menyaring yang visual maupun pengalaman akan yang visual. Bagi Deluze, justru inilah yang menandai perkembangan terbaru dari revolusi estetika film sebagaimana yang tercemin dalam generasi sutradara paska Perang Dunia II di Perancis maupun Italia. Pengalaman dua kali perang yang sangat mengerikan itu membuat keunggulan peradaban Barat menjadi pertanyaan besar yang tercermin dalam diri para karakter yang tidak mampu lagi memproses berbagai pengalaman yang melampaui daya respon sensorik-ragawinya berhadapan dengan kedasyatan potensi masa sekarang dan kemungkinan-kemungkinan baru yang tak terbayangkan sebelumnya. (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 18)

Susan Hayward memberikan kita catatan menarik menyangkut pilihan-pilihan estetis generasi sutradara paska Perang Dunia II (khususnya di Perancis) ini. Katanya, ―The ‗fin de sie cle‘ mood of this twentieth century, is once again conditioned by the death of ideology –not just on a macro-level in France but on a macro-macro-level –this time engendered by the apocalyptic events of the Holocaust and the dropping of the Bomb. How to go on, knowing what we know? Such is the wailing cry of Beckett‘s characters. How to invent, when invention can lead to such wholesale self-destruction? Such is the morose message of Kiefer‘s canvanses. In answer to these daunting, perhaps, unanswerable questions, postmodern culture bifurcates. The majority tendency is unoppositional, symptomatic postmodernity (a uni-directional reflection) providing a conservative cultural production – in other words, mainstream culture. The minority is avant-garde and oppositional‖. Untuk lengkapnya, silahkan lihat Susan Hayward, French National Cinema (New York: Routledge, 2001), hlm. 208.

(dan bukannya waktu offscreen) yang jadi perhatian utama para terpidana dan penonton dan kamera. Inilah waktu yang sudah direduksi sedemikian rupa sehingga tidak memungkinkan terjadinya pengembangan narasi film di luar kerangka waktu penjara. Yang terus-menerus kita alami adalah pengulangan struktur peristiwa nyaris tanpa improvisasi yang berarti.