• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Menguak Bahasa Film Garin Nugroho 47

B. Garinian Images : Pergeseran dari Movement-Image ke Time-Image

1. Sudut Pandang Kamera dan Kontinuitas Temporal

Seringkali Garin mengambil gambar-gambar dari dalam penjara laki-laki menyorot ke arah ruangan tempat pak Sipir dan para perempuan memasak dan mempersiapkan karung-karung goni tersebut. Perempuan-perempuan itu selalu didampingi seorang sipir yang mengamati mereka memasak, memanggil nama-nama yang bakal dimatikan hari itu dan mengarungkan goni kepada kepala-kepala yang sebenarnya juga sudah tak jelas karakter dan identitasnya kecuali secuil nama yang diteriakkan sipir. Kita jadi bertanya-tanya untuk apa mengulang-ulang adegan kepala-kepala yang ditutupi goni-goni secara kasar ini? Apakah alasan khusus mengontraskan menutupi secara kasar sambil membentak dan terkadang memaki-maki (oleh Pak Sipir) dan gerakan lunglai penuh perasaan tak berdaya dan mungkin juga rasa salah (oleh Ibrahim Kadir) ini?) Untuk sementara kita pikir alasannya adalah repetisi yang secara gradual menenggelamkan penonton pada ketercengkraman kengerian emosional. Repetisi ini menghasilkan gejolak emosi yang sangat riuh dengan konflik dalam batin pemain yang tak mampu mendefinisikan situasi ini. Pada waktu inilah waktu seolah menjadi semena-mena bergerak terus sementara kontinuitas filmik sebenarnya adalah fragmen-fragmen sekuens yang nihil pergerakan sensorik-motorik pemain. Gerak mereka dibatasi seminimal mungkin hingga tidak singkron lagi dengan kontinuitas temporal.

Selain itu terutama di awal, Garin seolah hendak menunjukkan kepada para penonton bahwa di sebelah sel laki-laki ada sel perempuan. Caranya dengan

membuat adegan beberapa laki-laki mengintip ke dalam sel perempuan lewat lubang kecil di dinding sel. (Apakah mata para tahanan lelaki menjadi kamera untuk penonton?)

Kita juga tahu bahwa kedua sel ini bertetangga di pertengahan film saat perempuan muda dari dapur membagikan makanan kepada para tahanan perempuan. Ketika itu, seorang perempuan muda dengan bayi sedang menangis di gendongannya bertanya apakah ayah bayinya ada di sel laki-laki. Beberapa saat kemudian dia bertanya lagi, “Apakah itu suara batuk suamiku?” Lagi seorang perempuan tua bertanya adakah Jafar dan Usmar di sebelah karena ada surat dari Amini dan...Penonton bertanya-tanya mengapa para perempuan itu tidak mengintip saja seperti para lelaki?

Selebihnya yang dominan adalah sel laki-laki dan dapur yang juga disorot dari sudut pandang sel laki-laki. (Mungkin ada alasan tehnis yaitu dapur terlalu kecil untuk memuat kamera tanpa mengganggu proses filmik di dalamnya). Memang ada adegan lain saat Mak Tua mengajari Juwita berdendang dan menari begitu gemulai, dan ketika Mak mengurai saat tata cara menyambut kekasih yang berkunjung, para tahanan perempuan sudah berkumpul membentuk lingkaran dan serempak menyorakkan „ahoy huuuuuuuu...!!!!‟ (akan tetapi sudut pandang kamera tetap dari dalam sel laki-laki).

Perpindahan ini bagi kita menjadi sangat menarik karena saat perempuan muda itu membagi-bagikan jatah makan kepada para tawanan perempuan, wajah-wajah mereka tampak lesu dan suasana penjara tampak lusuh dan muram dengan dekor sarung yang menjuntai dari pertengahan dinding sel. Akan tetapi saat

tiba-tiba mereka berteriak „ahoy huuuuuu!!‟ tadi, wajah-wajah mereka tampak segar dan agak kenes saling membuka kisah percintaan mereka satu sama sementara aura sel menjadi lebih ceria.

Perpindahan dari sebuah tema personal menjadi tema kolektif (kisah-kisah cinta) ini tercatat dua kali menjadi cara Garin menggerakkan filmnya. Yang pertama adalah dengan para perempuan (seperti yang digambarkan di atas) dan setelah itu langsung ke sel laki-laki (para tahanan pria itu seketika tampak mengumpul tiduran tumpang-tindih dan mulai berbagi cerita). Gaya perpindahan ini mengingatkan kita pada waktu yang independen, bergerak secara pasti namun tanpa intervensi reaksi sensorik-motorik pemain.

Dibandingkan dengan para tahanan laki-laki, para tahanan wanita tidak banyak menampakkan gradasi emosionalitas antara senang dan keterhimpitan dalam tekanan teror sang waktu penjagal. Kita mencatat satu adegan sebelum si Jalil sang Ideolog dipanggil untuk dieksekusi, beberapa nama perempuan dipanggil dan kemudian terdengar deru truk menjauh. Akan tetapi adegan ini hanya di situ saja (kecuali saat perempuan tua dikarungi dan diikat tangannya).

Kita mencatat ada sekali adegan beberapa perempuan sedang dikarungi didahului pemanggilan nama (seperti pada laki-laki) sementara sudut pandang kamera menyoroti sipir yang dibantu seorang pria. Dari sel laki-laki terdengar suara minta ampun para perempuan di tengah-tengah tangis bayi. Lalu kamera dengan jelas menangkap panci masak telungkup di sebuah tataan di dinding. (Sesuatu yang tampaknya tidak kelihatan sebelumnya, ini untuk apa?) Sangat berbeda ketika nama-nama pria dipanggil dan tampak dibariskan dipersiapkan

menghadapi regu penembak atau penjagal. Ketika para terhukum perempuan itu digiring keluar, kamera menangkap beberapa pria muda mematung seperti pahatan batu, lesu tak berdarah tertunduk melorot daya. Kesan sementara, para terhukum perempuan memang tak berdaya seperti laki-laki tetapi kamera memberi porsi ekspresi ketidakberdayaan itu pada laki-laki.

Sudut pandang kamera juga selalu bertumbukan dengan jeruji-jeruji sel. Kita tahu bahwa pintu sel terbuat dari logam dan sudah lama dari suara derit engsel tiap kali pintu sel dibuka. Akan tetapi, ada satu jeruji sel yang menurut hemat penulis „istimewa‟. Jeruji itu melengkung di tengahnya seakan

dibengkokkan. Tapi oleh siapa (?) mengingat para tahanan laki-laki tidak tampak ada emosi yang cukup kuat untuk melakukan sesuatu seperti itu. Ataukah ini karena semata sudah dari sejak awal sel dibuat ataukah ada kesengajaan sutradara dalam hal ini. Karena posisinya kurang-lebih agak ke sebelah kanan kamera, kamera sering menangkapnya dengan jelas seakan biar mata kita bisa dengan leluasa mengintip ke dapur dan segala aktivitasnya. Lengkungan itu ke kiri (dari sudut pandang kamera).