• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Membongkar Garinian Time-Image : Menuju Estetika Baru dan

B. Waktu Garinian

2. Ruang-Waktu Garinian : Kontras, Pembalikan dan Partisipasi

Muncul Kadir (didahului suara gerendengan gembok rantai jeruji sel dibuka) memperagakan cerita kesaksiannya dengan kalimat yang mengkondensasikan ruang dan waktu menjadi pengalaman, ―Di situ (ruang: lokasi/tempat) pertama skali (titik waktu) saya saksikan (durasi) bagaimana cara membunuhnya (peristiwa)...‖ Lalu mendadak dia menyamping cenderung agak membelakangi penonton, ―Cak putung....Bergulir kepalanya.‖ Ada kesan dia tidak

bercerita secara langsung pada penonton (seakan menghindar bertatap langsung dengan penonton) namun seakan menyaksikan bersama penonton (yang seolah-olah turut berdiri bersamanya) dan tampak tak peduli pada kamera yang tidak

persis 180° di depannya. ―Sudah bertimbun mayatnya, kemudian saya lihat...(sesaat ia ‗menatap‘), kakinya yang menggelepar...‖ Lembut musik

melengking tinggi seiring (dalam sel laki-laki) tangan kiri (bukannya kaki!) seseorang yang bergetar isyarat ketakutan luar biasa.

Film kilas balik ke hari pertama saat ia berjalan gontai memasuki sel. Kamera bergerak lambat sejenak zoom in8 tangan kanan seseorang si atas sepasang kaki, ketiganya bergetar mengingatkan kita pada refleks ekor cicak yang buntung. Sayup-sayup gonggongan anjing tanda ada aktivitas atau ada yang mengganggu di luar sana. Penonton menyapu ruang bersama kamera yang menyaksikan orang-orang lintang-pukang berbaring. Investigasi berlanjut hingga terhadap tiga orang yang tertelungkup dalam dera kengerian sementara pintu pembatas tampak untuk pertama kalinya diselingi sayup hardikan sipir di luar. Kamera sekali lagi zoom in, kali ini cengkaraman jari-jari di atas lutut. Seseorang tersenguk-senguk sesakan berbisik tanpa kata, derit pintu kayu membuka seiring rantai penggembok yang ditarik lepas. Pintu membuka, sang sipir menepi seakan mempersilahkan masuk enam orang terpidana baru. Mereka gontai berjalan masih dengan sarung dan kaos sehari-hari, memecah ke dua arah seakan terbelah kamera di depannya dan Kadir kuyu menapak langkah demi langkah.

Sejurus kemudian, berhenti ia setumpuk daging tanpa semangat dan perlahan menatap sipir yang mematung kehilangan rohnya di pojok pintu. Mata mereka bertaut langsung di puncak pertarungan mental9: Kadir penuh tanya, Sipir gelisah tak tahu jawaban. Kamera menangkap kontras pencahayaan yang mencekam. Bayangan persegi pintu yang membuka memanjang memasuki sel yang tadinya gelap sementara dua manusia yang dipisahkan ideologis namun

8

Zoom in (ZI): To increase the focal length of a zoom lens in the process of a shot so that the camera seems to move in to the subject as it is continuously magnified. To ―zoom out‖ achieves the opposite effect. (Ira Konigsberg, Op. Cit., hlm. 419)

9 Pertarungan mental adalah upaya penulis menterjemahkan konsep ‗encounter‘ dalam konteks time-image. Berkali-kali kita akan mengalami perjumpaan dengan pola perjumpaan seperti ini yang memungkinkan durasi sebagai konsep dan praktik muncul secara intens.

terhubung oleh kemanusiaan saling mengukur menimbang-nimbang situasi. Sipir bergerak lambat menutup pintu diikuti tatapan lekat Kadir yang hanya membengkokkan lehernya. Sesaat sebelum ia menutup sempurna kedua belah pintu, dia masih sempat menatap Kadir seakan hendak mengatakan yang tak terkatakan. Bunyi gerendel mengisi segenap ruangan, cahaya menciut nyaris habis, suara truk menjauh isyarat aktivitas serupa sedang berlangsung masif di luar sana dan Kadir terus menatap daun pintu yang kini tertutup rapat. Perlahan dia menyapu seisi ruangan, menatap teman-temannya sebelum mengucap,

Assalamwalaiikum.‖ Berjalanlah ia tanpa tenaga luruh ke dalam frustasi menuju kamera, sejurus membesar sebelum berbelok ke kanan menempati ‗rumah barunya‘, kontras dengan pengisahannya yang begitu hidup.

Sejak awal, para pemain secara visual tidak lagi secara internal bergerak untuk merespon setting, kondisi atau interaksi dalam film. Hubungan ketat antara

setting dan respon motorik para pemain melemah dalam berbagai dimensi. Padahal respon semacam ini sangat penting untuk menghasilkan kontinuitas ruang dan terlebih waktu. Artinya, setting kehilangan keutuhan fungsi temporernya seperti dalam movement-image yang mengandaikan respon motorik-sensorik terhadap setting yang sudah bernilai di dalam dirinya. Melemahnya hubungan spasial di dalam dan di antara adegan ini merefleksikan adanya selisih spasial yang berkonsekuensi pada terciptanya dimensi temporal. Garin mencapai hal ini dengan memperpanjang durasi (long take) yang cenderung diam (frozen atau still) guna melibatkan penonton pada realitas secara intens (deep focus). Hasilnya, yang visual seakan membeku dan menjadi yang teramati atau secara paradoks

menjadi yang sedang mengamati. Keseluruhan adegan di atas misalnya dimulai dari suara pintu sel membuka mencapai kurang-lebih 1 menit 31,83 detik.

Bukannya kontinuitas namun justru diskontinuitas di sana-sini yang menuntut partisipasi dan kreativitas proses pengalaman sinematik. Film bergerak maju atau jalan di tempat (false movement) yang menghasilkan kontinuitas palsu (false continuity)10. Indra harus sigap dan peka mencari. Mata tidak hanya sekedar terhibur tapi harus melihat bila perlu melongok-longok. Telinga tidak bisa hanya penerima suara tapi harus aktif mendedah ragam bunyi, tonalitas, ritme serta kecepatan. Kulit menjadi jaring-jaring permukaan yang menangkap aneka perubahan biokimiawi yang diproduksi secara intens oleh rambut-rambut saraf, kadang panas, sebentar mungkin dingin, kadang gemetar sebentar mungkin kesemutan.

Diskontinuitas seperti ini memutus mata rantai kronologis menurut skema lampau-sekarang-masa depan. Disparitas antar adegan memungkinkan kita menyadari kehadiran ruang-ruang lainnya yang hadir secara simultan. Ruang mengalami multiplikasi secara intens dan spontan. Konsekuensinya, setting

menjadi situs pembiakan atau semacam peta yang memungkinkan interaksi multi dimensi ragam faktor, kekuatan, energi, emosi atau interaksi. Masing-masing elemen sedang berjuang bertumbuh dan berkembang dari dalam dirinya sendiri namun juga secara simultan mengalami perjumpaan dengan setiap elemen yang

10

Dua konsep ini sangat penting dalam sinesemiotik Deleuzian. Akibat melemahnya hubungan antara aksi atau gerakan dengan pengembangan cerita dan setting yang ditandai dengan lompatan-lompatan cut yang tidak lagi mengikuti narasisasi rasional melainkan penciptaan sekuensi film justru dengan menggabungkan shot-shot yang tidak serta-merta saling berkaitan secara kausalitas, film bergerak maju dengan kategori yang sangat berbeda dari konvensi sebelumnya. Dalam konteks inilah gerakan serta kontinuitas yang ada itu menjadi nyata tapi palsu. (Gilles Deleuze,

ada bahkan dengan berbagai elemen yang belum ada atau yang potensial tertarik ke dalam kancah perkecambahan ini. Ini tampak sangat elegan lewat pertukaran ruang pengisahan kisah percintaan tempo dulu yang berlangsung mulus lewat

seruan ―Ahoy, huuuuuu!‖ Seketika itu pecahnya ketawa pria yang ternyata (sangat mungkin sejak para wanita mulai bertukar memori) menguping seraya terbawa arus kenangan dalam tataran yang sama. Objek visual menjadi semacam ‗lubang

cacing11‘ yang membawa kita pada setting yang sama sekali baru. Atau fenomena lubang cacing itu mengikuti logika pararel worlds dalam arti masih ada kesamaan kepentingan dan atau keterkaitan tematis dengan mendespasialisasikan ruang-waktu secara maksimal.

Penonton menjadi lebih ‗perasa‘. Perjumpaan dengan yang visual menjadi kemungkinan. Kemungkinan membuka sejumlah galur baru kemungkinan yang membawa perjumpaan pada berbagai dimensi dan arah baru. Proses tumpang-tindih seperti ini menghasilkan perubahan, metamorfosis yang penuh

11

Ini adalah sebuah analogi yang penulis ambil dari pemahaman popular akan teori Relativitas Umum Albert Einstein. Bagi sang genius, terjadinya waktu karena adanya adalah pelengkungan continuum ruang-waktu oleh objek super masif. Untuk itu, ia mengajukan konsep ruang-waktu dengan menambahkan waktu imaginer pada tiga dimensi yang sudah dikenal sebelumnya (panjang, lebar dan tinggi). Mahafisikawan dari Inggris, Stephen Hawking menggabungkan teori ini dengan Mekanika Quantum untuk menemukan fenomena lubang hitam yaitu bintang yang tungku nuklirnya mencapai titik penghabisan (yang ditandai dengan ledakan super dasyat alias supernova). Akibatnya, bintang tersebut runtuh ke dalam dirinya sendiri dengan tingkat kerapatan yang luar biasa sehingga nyaris tak ada satupun benda yang terhisap ke dalam super pusarannya bisa selamat lagi meskipun kemungkinan itu selalu ada berdasarkan Prinsip Ketidakpastian Heisenberg. Hal ini sudah dibuktikan dengan eksistensi berbagai galaksi yang justru lebih muda atau lebih tua dari Bimasaksi tempat solar system kita berada. Ada hal lain yang bisa dibayangkan berdasarkan pelengkungan ruang-waktu oleh benda masif tadi. Seandainya pelengkungan itu terjadi begitu kuat, pada titik tertentu benda tersebut bisa tembus entah ke dimensi mana. Ataupun seandainya kita bisa melipat ruang-waktu tersebut sehingga berbagai titik di kedua sisinya bertemu dan menembusinya, maka kita pun bisa bergerak dari satu dimensi ke dimensi lainnya ataupun mempersingkat secara signifikan perjalanan antar bintang yang seharusnya sangat lama menurut kaidah konvensional. Lubang waktu ini juga kerap disebut lubang cacing alam semesta. Untuk lengkapnya, silahkan lihat Sandi Setiawan, Gempita Tarian Kosmos (Yogyakarta: Andi Offset, 1994), hlm. 7–45.

percabangan. Perubahan (change) dalam waktu ditransformasikan ke dalam tindakan yang bernilai di dalam dirinya sendiri, tidak lagi sekedar menjawab sejumlah kemungkinan reaksi fisikal dan atau linguistik yang sudah ditentukan dari luar (konsensus, tehnik standard, naskah, dan seterusnya). Setting dan berbagai elemen di dalamnya, manusia atau bukan, mengklaim kemandirian filmik. Mereka tak lagi tergantung pada repertoar motorik-sensorik. Sebaliknya, dimensi ekstensif ini dimentahkan dan dibiarkan mengalami proses pematangan secara independen berkat kontribusinya dalam proses interrelasi secara internal.

Kita melihat pemain bergulat dalam kediriannya secara intens. Mereka memainkan perannya sendiri-sendiri sementara pada saat yang sama mengalami perjumpaan satu sama lain. Kadang perjumpaan itu sinkron yang memungkinkan kisah pribadi mengalir. Seringkali pula perjumpaan itu menukik pada konflik, selisih atau ironi solidaritas. Mak Tua yang mogok masak karena dapur identik dengan dosa! „Diam!‟ jeritnya sementara tangan menggenggam sapu lidi (sementara kamera mengekspos pintu pembatas sel dan ruang pengarungan yang terbuka lebar) kepada kelompok pria yang asyik menyanyi, yang satu histeris yang lainnya tak peduli tetap menyanyi.

Terjadilah tumpang-tindih ruang-waktu. Saling himpit ini tidak untuk menghasilkan fusi namun melahirkan percabangan bahkan mutasi. Intensitas respon pemain terhadap ruang-waktu mengalami intensifikasi di sana-sini. Intensifikasi ini bisa dalam arti meletus seperti lepuhan nanah yang sudah masak, mengalami amplitudo seperti gabungan vektor dalam fisika, atau luruh ketika cengkraman emosional sudah tak tertampungkan lagi, atau mengalami pasifikasi

seperti Jelita12 yang menyisir rambutnya seraya meminta sang Sipir memanggil namanya. Dan sementara Kadir mengikat tangannya, lusuh bak benang basah, dia justru tegak berdiri meninggalkan pesan agar sang seniman terus memainkan didongnya setelah semua ini berakhir namun tidak dengan kebencian. Berjalanlah ia mayang terurai sebab karung kawannya beras bukan manusia. Perlahan ia melewati Sipir yang menepi seakan berhadapan dengan sang komandan, sebuah kontras dan pembalikan posisi politis dan visualisasi filmis secara ekstrim.

C. Suara, Bunyi dan Musik : Monotonitas Dinamis, Simultanitas dan Doppler