• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab III Menguak Bahasa Film Garin Nugroho 47

1. Trauma: Fiksasi Ruang-Waktu dan Pergolakan Perseptual

Seperti Aceh 26 Desember 2005, tsunami melontarkan energi kinetiknya mengganyang setiap penghalang sodokan dasyatnya. Pagi yang damai terbelah juluran lidah-lidah asin. Daratan bukan untuk hunian lagi. Laut sedang menuntut wadah baru tak peduli berapa nyawa harus tumbang. Gairah pembunuhan ini untuk dilampiaskan. Musnah sudah banyak harapan. Musnah pula kejayaan yang sekarang bernama masa lalu. Realitas adalah kenyataan. Bangkai dan sampah menyisakan sedikit perbedaan. Dan yang masih hidup kebanyakan tak sanggup peduli.

Bagi kebanyakan para korban apalagi penyaksi langsung bah yang memasuki kota bertabuh genderang geram volume air di luar bayangan, tsunami

1

Boleh dibilang, seturut prinsip Lacanian bagian pertama adalah fase cermin (mirror stage) yaitu ketika pengalaman menonton itu terjadi secara spontan dan terjadi proses identifikasi secara keliru. Sebaliknya, bagian kedua mencerminkan fase simbolik-ilmiah ketika pengalaman menonton dipresentasikan dan dikomunikasikan secara sistematis dan proses penafsiran sanggup mentransformasikan pengalaman estetis ke formulasi filosofis.

adalah fragmen yang sanggup merampas nyaris semua mata air eksistensi, kenangan dan pikiran. Tsunami ibarat pencuri di siang bolong yang sekaligus merompak dan memperkosa mayoritas sirkuit psikis. Waktu seakan menganga menelan setiap pola perseptual lama menyisakan kekosongan jiwa dan jutaan tusukan batin. Sesaat eksistensi terpaku hanya menatap tak berdaya, tak percaya. Waktu terjerumus ke dalam pola-pola biopsikis korban yang sesaat hanya melihat hampa dalam belitan kengerian. Tatapan menatap sementara waktu secepat kilat melenggang masuk bersama sang teror. Bagi sebagian orang, luka ini terlalu kuat bahkan permanen hingga hari ini. Waktu mengalami fiksasi. Dan fiksasi ini menentukan pola-pola perseptual saat ini. Begitulah trauma menjadi kelekatan obsesional, menjadi pola instingtual yang sanggup meluluhlantakan pola-pola sebelumnya. Trauma menjadi „kuasa hitam‟ yang bergerilya tanpa lelah seraya memerintah dari dalam.

Barangkali sebuah kebetulan ketika Garin Nugroho bicara lewat mulut Aceh namun untuk segenap bangsa ini. Puisi Tak Terkuburkan seakan hendak menembus lapisan paling pekat sejarah republik ini. Trauma bukan untuk diingkari, apalagi peristiwa sesensitif 1965 yang kadung membekas dan sempat selama regim Orde Baru hendak dijadikan adikarya dalam proses penciptaan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini.

Film dibuka dengan klaim bahwa ini adalah tafsiran sejarah oleh seorang seniman didong yang bersama Ibrahim Kadir. Pembukaan ini seakan hendak meyakinkan penonton bahwa ini adalah film tentang persepsi Ibrahim atas peristiwa salah tangkap yang menimpa dirinya dan catatan kesaksiannya saat

dipenjar dulu sebelum dibebaskan kemudian. Tak tanggung-tanggung, Ibrahim langsung muncul di pembukaan memimpin sejumlah orang bersyair bertabuh. Lalu Ibrahim bersaksi bagaimana „tata laksana‟ penjagalan. Ibrahim memang benar-benar seorang aktor alamiah. Dia seakan sedang berdialog langsung atau tanpa peduli dengan kehadiran penonton, begitu rileks dan tanpa beban namun tak urung penuh emosi. Kisahnya,“Di situ pertama kali aku lihat cara membunuhnya,

cak! putung..., bergelepar saya....” Begitu juga di akhir layar, Ibrahim muncul untuk terakhir kalinya mengungkapkan hidupnya yang diisi dengan syair dan sepoi-sepoi danau tempat ia memancing.

Bergulirlah wajah-wajah ketakutan atau penuh kecewa kontras dengan wajah garang sang sipir yang praktis hanya membentak meski terkesan kurang percaya diri. Ada kekuasaan yang memungkinkan mereka bersikap garang atau harus bersikap garang sekedar menjaga demarkasi antara penjahat dan aparat penegak ketertiban ideologi resmi. Garin memang menyorot wajah-wajah biasa dari kalangan biasa minus petinggi militer atau sosok sosial ternama. Apalagi para tahanan wanita yang nyaris tanpa latar belakang dan karakterisasi yang berarti.

Seperti mimpi, fragmen-fragmen saling bertumpuk membentuk logikanya sendiri. Garin bergerak dari sel laki-laki ke sel wanita dan seterusnya. Seringkali kaitannya terasa ngambang namun toh tetap ada jalinan. Yang terpenting adalah jalainan itu justru menenun dirinya dalam benak penonton. Para tahanan seakan hendak memerankan porsi visual dan audio tertentu. Sementara itu, benak penonton justru menjadi lokus seluruh karakterisasi dan peristiwa. Garin seakan hendak menggugah dan membangunkan trauma 1965 (entah dalam bentuk apa

itu) dalam benak penonton. Ini bukan tontonan biasa memang tapi tontonan tarian trauma dalam benak sendiri. Diri mencengkram dirinya yang dengan sukarela mengalami proses ulang traumanisasi. Tapi untuk apa?

Dialog-dialog antar tawanan menjembatani arah tafsiran subyektif seorang Ibrahim Kadir atas peristiwa ini. “Hasan!” teriakan sipir membahana menyebutkan beberapa nama. Lima tahanan baru digiring masuk setelah derit terali membuka pintu sel. Deru truk pengangkut menjauh sementara kamera memusat pada Ibrahim yang lunglai memasuki „rumah barunya‟ untuk beberapa

hari ke depan. “Apa istriku tahu aku di sini?” tanya Ibrahim sambil duduk entah pada siapa. Lalu sayup-sayup senandung lagu terkenang padamu mengisi ruang.

Film bergerak seperti ini nyaris monoton namun dialog-dialog seakan memaksa kita memikirkan ulang trauma 1965 dengan cahaya baru. Di tengah-tengah kesesakan yang paling pahit dan menyisakan terlalu sedikit harapan itu, lalu-lintas kata sempat menuai pengertian, kegembiraan, romantisme bahkan harapan. Kalau penjara dan kelebas kelewang menjadi andalan ideologi kekuasaan, cakap-cakap yang paling biasa ternyata bisa menjadi kontras yang efektif meski ironi dan kepiluan tak bisa dihilangkan. Percakapan yang jujur seperti itu ternyata bukan sekedar sejenak membuat lupa kengerian yang begitu nyata. Ia sanggup membangkitkan memori yang menyalakan semangat dan harapan akan masa depan. Seperti kata El Manik kepada Ibrahim Kadir, “Dalam keadaan tertekan seperti ini, semuanya bisa jadi berarti....” Atau seperti pelajaran tarian menampi dan menyambut kekasih Mak Tua pada si Juwita. Begitu indah mereka berdua gemulai menampilkan kontras dua generasi, kontras lekak-lekuk

tubuh, kontras reaksi terhadap kondisi keterpenjaraan mereka. Dan mereka berdua membawa para tawanan wanita untuk bersorak kenes untuk berbagi cerita percintaan mereka yang teramat sederhana namun penuh romantisme membara.

“Pertama kali kenal dengan suamiku di hutan...” kata seorang “Aku lain lagi..., kami ketemu di kebun kopi...” timpal yang lainnya.

Tahanan pria pun tak kalah genitnya. Keindahan kisah taksir-menaksir dan strategi lelaki menggaet sang pujaan bukan sekedar selipan namun salah satu puncak fragmentasi film ini. Penonton mau tidak mau terseyum bahkan mungkin teringat kisah sendiri! Kemiskinan reaksi pemain pada setting justru membuka peluang penciptaan intensifikasi dialog internal dalam diri penonton. Penonton bukan berharap dan memprediksi adegan selanjutnya (seperti pengalaman menonton film-film mainstream). Sebaliknya, film ini seakan hendak menciptakan ketegangan saat penonton mau tak mau melongok ke dalam benaknya sendiri kontra harapan dan prediksi adegan selanjutnya harusnya seperti ini atau seperti itu.

Sudah hukumnya bahwa secara psikologis trauma hanya bisa diatasi oleh individu atau komunitas yang bersangkutan. Tak ada obat untuk jenis fiksasi ruang-waktu seperti ini kecuali diri sendiri berani mengalaminya sekali lagi secara berulang-ulang. Jalan paling singkat adalah dengan menggali dan mengorek kembali luka batin itu secara menyeluruh dengan perspektif baru. Tidak ada jalan memutar kecuali hendak mengingkari atau menipu diri. Lupa memang bisa berakibat positif. Tapi lupa juga mengandung dimensi hilang kepekaan alias amnesia terhadap peristiwa traumatis. Puisi Tak Terkuburkan sengaja atau tidak

merepresentasikan upaya sineas menggolakkan kembali arus psikis yang sudah sempat terkurung itu.