• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab IV Membongkar Garinian Time-Image : Menuju Estetika Baru dan

D. Garinian Time-Image

3. Komunikasi: Sebuah Medan Vibrasi

Filmic Alliteration dan filmic caesura menciptakan krisis besar yang melemahkan keterkaitan logis antar shot atau frame. Montase bukan lagi linkage. Kontrak kesetiaan‘ ala Bazinian27 antara sutradara dan penonton buyar. Akibatnya, suara merujuk pada dirinya sendiri ataupun ke suara-suara lainnya yang tampak dalam asinkronisasi dinamis berbagai suara, bunyi, musik. Sound-image menjadi energi atau kekuatan (force)yang sedang merambat, tembus memantul menyelesaikan kinetiknya dan kamera menangkap dampaknya lewat

doppler effect. Krisis ini juga menyebabkan visual image pada gilirannya potensial menunjukkan ruang apa saja (the any-space-whatever), ruang-ruang kosong ataupun diskoneksi. Yang visual bahkan potensial mengangkat

26

Dalam dunia puisi, aliterasi berarti perulangan bunyi yang dilakukan secara sengaja untuk menghasilkan efek imaginal atau emosi tertentu atau kombinasi keduanya. Dalam ensiklopedia dikatakan demikian : ‗The repetition of the sound of an initial consonant or consonant cluster in stressed syllables close enough to each other for the ear to be affected. Although poetic alliteration is necessarily manifested in words, what it draws on in another work need not be verbal. The words of the alluding passage may establish a conceptual rather than a verbal connection with the passage or work alluded to. Alliteration assumes: (1) prior achievements or events as sources of value; (2) readers sharing knowledge with the poet; (3) incorporation of sufficiently familiar yet distinctive elements; (3) fusion of the incorporated and incorporating elements. Alliteration is NOT restricted to poetry, and has analogues in other arts, religious writings, and other possible uses of echo. It usually presumes a close relation between poet and audience, a social emphasis, a community of knowledge, and a prizing of tradition, even fears of the loss of valued tradition‖. (Alex Preminger, Op. Cit., hlm. 36, 39)

27

Bagi Bazin, film harus mengandung relasi logis ynag memungkinkan penonton mencerna film secara akurat. Ia mendeklarasikan bahwa film harusnya secara ontologis menuju sesuatu secara nyata. Dalam film-film bergaya Deleuzian, kontrak semacam ini menjadi kabur yang ditandai dengan lemahnya berbagai hubungan antar elemen.

fondasi ruang –strata demi strata28-- yang tadinya direpresi bersama waktu dalam

movement-image (ketika setting ditentukan secara eksternal seakidah dengan respon motorik karakter). Yang visual pada gilirannya menjadi semacam arkeologi, stratigrafi atau tektonik.

Sementara itu, peristiwa (event) menjadi pengalaman lewat perjumpaan radikal. Radikalitas perjumpaan itu berarti berada dalam perhentian, gagu bicara kaku melangkah ketika mengalami yang visual secara ekstrim. Konsekuensinya, perjumpaan sinematik berarti mengerahkan energi setiap ranah indra, mengalami ketubuhan/kedirian secara langsung-subyektif. Realitas dalam visual beradu fisik dan energi dengan realitas ketubuhan dan kedirian. Subyek yang sedang menonton tidak lagi menonton begitu saja namun mengalami realitas sebagai persoalan yang menyangkut keseluruhan eksistensinya.

Kombinasi ini membuat menonton menjadi sejenis ‗uji mental‘ bahkan ‗adu daya tahan (fisik)‘. Menonton membutuhkan partisipasi dan memorisasi.

Kreativitas menjadi syarat mutlak ketika dalam perhentian orang justru berhadapan secara simultan dengan diskontinuitas, diskoneksi dan kompleksitas afeksi dan persepsi. Menonton sekaligus menjadi akvitas menghubung-hubungkan, mempertanyakan, menguji hipotesis, mengingat-ingat yang sudah

lewat dan berusaha memahami ‗keganjilan interrelasi‘ antara visual image dan

sound-image, antara dialog internal dan interaksi di dalam sel, antara gestural dan

28 ―The break in the sensory-motor link does not only affect the speech act turning in on itself and hollowing itself out, and in which the voice now refers to itself and to other voices. It also affects the visual image, which now reveals the any-space-whatever, empty or disconnected spaces characteristic of modern cinema. It is as if, speech having withdrawn from the image to become founding act, the image, for its part, raised the foundations of space, the ‗strata‘, those silent powers of before or after speech, before or after man. The visual image becomes archaeological, stratigraphic, tectonic.‖ (Gilles Deleuze, Op. Cit., hlm. 243)

speech. Aktivitas ini menjadi bagian integral dari perjumpaan ektrim dalam proses perhentian yang justru ditandai dengan konfrontasi dalam durasi semisal energi hidup jelita dan Mak Tua yang mulai dengan intensitas rendah hingga mencapai antusiasme (puncak intensitas) yang menulari energi (harapan, aspirasi, kenangan, cita-cita) para tahanan lainnya.

Sebaliknya, kadangkala energi itu terjun bebas justru di puncaknya. Penonton terseyum-seyum atau bahkan ketawa mendengar kisah-kisah tahanan wanita: musim petik kopi, simbolisasi bunga untuk cinta, insiden tutup kepala atau bahkan ludahan sirih-pinang. Hal-hal biasa bahkan teramat akrab dalam kehidupan sehari-hari ini justru menjadi titik tolak sekaligus tonggak pembangkitan memori dan kesadaran manusiawi para tahanan. Tidak heran para pria tergial saling bertukar memori kasih. Namun apa lacur, di puncak kegembiraan, di pucuk ingatan yang tertuang dalam dendang, tepuk tangan dan

gerak tubuh menari justru ‗realitas asing‘ –ideologi, penjara dan kematian—

kembali menancap dalam-dalam menghempas energi ke dasar jurang frustasi. Fenomena ini membangkitkan ide bahwa sound-image tidak sekedar fenomena fisis namun juga biologis. Ia menjadi vibrasi kinetik force yang melampaui fungsi interaktifnya. Kita bisa melihatnya dalam durasi selepas dialog internal ke-2. Saat Kadir fade-out29, layar menjelma jadi Mak Tua yang berlenggak-lenggok dengan kain bulan-bulannya. Jelita memperhatikan namun kurang semangat. Sesaat Mak berhenti. “Apa gunanya semuanya ini. Aku tak mau

29

A gradual means of closing or starting a scene, often used as a transitional device when one scene closes with the image disappearing (A fade-out) and the next scene comes into view as the image grows stronger and stronger (a fade-in). Both kinds of fades following one another indicate a significant break in action, time, or place (the viewer briefly faces a blank screen which marks this separation). (Ira Konigsberg, Op. Cit., hlm. 111)

lagi.” Sambil menyodorkan kain tersebut pada Jelita. ―Betapa aku menjadi pilu. Kerabatku, adikku mereka tidak mau datang pada perkawinan anak kakakku. Abangku pun tak lagi diajak kakakku waktu mengawinkan anaknya. Kenapa? Yang datang malah orang lain. Kenapa jadi begini? Apa yang salah?” tanyanya penuh tuntutan. “Kenapa hidup jadi kacau?‖ respon Jelita sembari menerima Mak

yang jatuh ke haribannya. “Entah aku tak mengerti apa sebabnya terjadi seperti ini.” Musik mengalun, kamera bergerak horisontal menunjukkan Pak Tua yang ternyata sejak tadi berdiri di pojok jeruji mendengarkan dengan seksama.

Musik mencabik dengan repetisi disharmonis dengan sedu-sedan Mak Tua saat Pak Tua mulai berkisah. Struktur kisahnya kurang-lebih sebangun dengan struktur kisah Mak Tua yang ditandai dengan tanya menuntut. Kisahnya pun bukan pertama-tama untuk merespon (dalam struktur interaksi) Mak namun lebih merupakan produksi dinamis angan-angan, aspirasi, ingatan atau harapan yang teraktivasi dalam teror mental-fisik di luar batas. Kamera mengikuti vibrasi energi yang menganimasi images dalam benak para tahanan. Lalu kamera turun vertikal yang membuat kita kembali sadar ada yang sejak tadi mendengarkan namun tenggelam dalam lautan memori yang secara simultan juga sedang mengalami aktivasi secara ekstrim. Musik berhenti. Gerakan kamera kembali horisontal hingga ke Kadir sebelum naik vertikal ke sang Ideolog dan berakhir kembali ke Pak Tua secara horizontal. Efek yang sama berulang dengan struktur pengisahan yang serupa. Mereka berbicara seolah kepada diri sendiri, seolah mengucap mantra atau semacam kontemplasi melalui kata.

Kombinasi horizontal dan vertikal ini berlangsung sampai empat putaran. Di akhir putaran, ia mulai dari asal vibrasi (Pak Tua), turun vertikal ke seseorang yang berbaring di bawahnya, horizontal ke Kadir dan naik kembali ke sang Ideolog. Gerakan ini membentuk persegi empat imaginer ibarat memetakan medan vibrasi sebelum di-cut dan gerakan kamera mulai tidak persis vertikal lagi namun menyerong close-up wajah seorang tahanan yang kepalanya bertumpang pada tangan seraya memandang ke depan tajam. Kamera terus naik hingga Ideolog yang memalingkan wajah sedikit menyungging seyum sebelum horizontal ke Kadir perlahan mengikuti gerakan kamera sembari juga terseyum tipis sementara Pak Tua di belakangnya bangkit menatap sambil membereskan kopiahnya. Kamera terus ke kanan nyaris full close-up pada wajah Wak Haji yang perlahan menegakkan kepalanya juga ke arah yang sama.

Sampai titik ini hanya kesenyapan yang meraja namun setiap ekspresi jelas memancarkan vibrasi tertentu dan tertuju pada satu arah. Ketika kamera turun menyamping ke Penutup Telinga yang perlahan melepas kedua katup telinganya, gabungan suara Mak dan Jelita mulai kecil kedengaran. Kamera kemudian naik ke Pak Uban yang tadi membereskan kopiahnya lalu sejajar ke kanan ke seorang tua lainnya yang tampak mengerahkan penglihatan dengan menyipitkan sudut-sudut matanya. El Manik yang sedang berbaring tidur terusik, bangun, mengejap-ejap matanya seakan hendak mengusir halusinasi pendengaran kemudian menatap tajam ke depan seiring suara yang makin keras (doppler effect). Dan begitu energi suara mencapai titik maksimumnya, begitu pula Mak Tua dan Jelita bergoyang gemulai penuh semangat sementara panas uap mengepul-ngepul di belakang

mereka. Dan mulailah pelajaran mengolah padi dan sandi asmara seperti yang sudah digambarkan di atas.

Sound-image menjadi perambatan yang memenuhi sekujur tubuh bahkan jiwa. Ia menjadi potensi yang menganimasi dengan menghidupkan kembali

affective images30 dalam benak pemain yang tadinya sudah direpresi sedemikian rupa. Komunikasi dalam Puisi Tak Terkuburkan tidak hanya berfungsi sebagai sarana pertukaran pikiran dan perasaan yang sudah ditentukan secara eskternal. Jauh lebih dalam dari itu, ia menjadi sejenis entitas yang ada dalam dirinya sendiri terlepas dari kontrol ego dan logika interaksi sosial umumnya. Ia membuka jalan ke dalam diri, terowongan ke dalam jiwa dan saluran alternatif keluar mengatasi sekat-sekat hukum komunikasi. Ia menjadi interaksi dalam dirinya sendiri yang bertemu dan berkonfrontasi bahkan mengalami proses okulasi dengan berbagai

image, dengan tubuh, dengan jiwa, pendek kata, dengan keseluruhan dimensi kemanusian. Komunikasi adalah medan vibrasi yang terus-menerus meningkatkan isi, tekanan dan bentuknya.

4. Dialog Internal,Trial and Error serta Visualisasi

Dalam hubungannya dengan tranformasi radikal dalam dan lewat durasi ini, Garin mendudukkan dialog internal Kadir secara khusus kalau dikaji menurut isi dan gestural-nya. Dalam bagian pertama, Kadir mengisahkan keberingasan pedang yang mengayun memenggal kepala demi kepala hingga bertimbun-timbun

30

Affective images menempati posisi teramat penting dalam time-image. Ia merepresentasikan respon neural terhadap rangsang dari luar. Secara kualitatif dan bukannya kuantitatif, respon ini melibatkan daya-daya tubuh untuk menyerap tindakan eksternal tersebut dan meresponnya secara internal.

hingga saat ia melihat kaki yang menggelepar. Adegan selanjutnya menunjukkan tangan dan kaki yang menggelepar berikut beliak mata, tubuh kaku duduk atau berdiri, dan seterusnya. Ini adalah trauma akibat mengalami sesuatu secara kontans dan bertubi-tubi. Pola reaksi menjadi sangat minim sejalan dengan pola aksi yang juga minim.

Ini merefleksikan upaya menkontekstualisasikan ‗tafsiran sejarah‘ ke

dalam benak penonton. Kita mengetahui ruang, ritme, pola relasi dan interaksi, berbagai kejadian serta sistem tanda di dalamnya. Namun begitu, hubungan isi dan gesture dalam dialog internal ini dengan berbagai adegan yang mengikutinya tidak sekedar saling melengkapi. Pada dirinya sendiri, kesaksian tersebut otonom sebagai pengalaman seorang Kadir. Ia adalah kesaksian yang mengandung sejumlah percikan peristiwa aktual namun berbagai peristiwa itu sendiri otonom tidak tergantung pada kesaksiannya. Sebaliknya berbagai dimensi audiovisual yang mengikutinya justru bisa berlawanan, bertumbuh, berkembang mengikuti logikanya sendiri. Tampaknya, masing-masing bisa ditonton secara terpisah. Ketika disandingkan sebagai kontinuitas, kontinuitas ini serta-merta menciptakan diskontinuitas yang sebenarnya lebih saling menggempur tanpa saling menghancurkan. Celah (gap)inilah yang harus coba disambung-sambung, dijembatani dan dimaknai penonton. Menonton lalu menjadi semacam proses trial and error secara aktif-partisipatif.

Bersama Kadir kita melangkah masuk penjara untuk pertama kalinya dan mengalami berbagai peristiwa yang terjadi di dalamnya. Bagi kekuasaan, ini adalah soal menjebloskan ke dalam bui dan mengangkutnya ke lokasi eksekusi.

Bagi para terpidana ini adalah rentang perjumpaan dengan diri sendiri, sesama terhukum dan kekuasaan dalam situasi yang tak terbayangkan.

Situasi menjadi absurd secara brutal. Kadir permisi masuk mengucap

assalamualaikum‘. Karung bukan lagi beras tapi kepala terpenggal. Demikian

tanya Pak Tua pada Sipir yang memberikan sepiring nasi dan sepotong kain

padanya, ―Berapa karung lagi yang datang itu?‖. Yang memasak dan yang

dilayani sama-sama menunggu waktu (eksekusi). Sementara itu, Ideolog mendakwakan pembebasan dari rasa takut secara ideologis seraya memberanikan seseorang yang meringkuk dalam WC tak percaya namanya dipanggil. Terhukum

(khususnya Kadir) mengikat terhukum ‗membantu‘ Sipir. “Bagaimana?” tanya El Manik diamuk gelisah pada Kadir yang membeberkan eksekusi dari celah-celah WC. (Kita melihat Jelita untuk pertama kalinya). Tangis bayi memecah

keheningan malam, terdengar senandung ‗anakku....o anakku..sayang...‟. Pak Tua terbangun, mengintip dan meminta Kadir memastikan keberadaannya di sel sebelah. Kadir sempat menggambarkan istri Pak Tua secara puitis, “Wajahnya seperti perahu lane dihempas-hempas gelombang. katanya. Jelita dibawa diserahkan kepada Sipir untuk membantu di dapur yang membuka jalan pada hubungannya dengan Mak Tua yang sudah bekerja di situ sebelumnya. Adegan selanjutnya adalah konfrontasi Mak Tua dengan Sipir via Jelita (yang mengusulkan wanita lainnya untuk memakai goni sebagai sajadah) untuk pertama kalinya, indikasi yang bakal terjadi kemudian. Lalu Wak Haji menanyakan waktu kepada Sipir seolah tidak sabar dengan kedatangan truk berikutnya. Kadir

mencium bau kotoran anaknya di selimut yang diberikan Sipir kepadanya. Wak Haji mengalunkan azan terbeliak matanya seiring deru truk berhenti.

Penjara merampas harmoni pribadi maupun komunal. Namun begitu, yang terkasih dan yang mengisi hari-hari dalam kebersamaan tidak mudah terlupakan atau melupakan. Bahkan, kita merasakan jaring-jaring hubungan manusiawi ini mengalami perluasaan serta pendalaman melampaui kaitan biologis dan bahasa kecuali sensibilitas. Bau misalnya menjadi pesan seribu makna. Tangis bayi begitu menyihir. Mata yang melihat istri serta anak di seberang sana tak kuasa berair mendapatkan kembali yang hilang meski terhalang dinding dan kekuasaan.

Maka, di tengah-tengah absurditas yang begitu opresif–depresif ini, kita mendapati sepotong kemanusiaan yang memukau lewat percakapan Kadir dan El Manik. “Dalam keadaan tertekan seperti ini, semuanya bisa jadi berarti. Makan, tidur, berak, mandi...Semuanya jadi berarti, bukan cuma keluarga, bukan cuma anak, bukan cuma istri...,” kata El Manik mengomentari Kadir yang mencium bau anaknya di selimut tadi. “Mereka tahu aku di sini,” kata Kadir tanpa menoleh. Interaksi separuh pada diri sendiri, saparuh satu sama lain ini boleh dibilang menyimpulkan persoalan yang sedang mempresentasikan dirinya serta bertunas dan bercabang-cabang membentuk kemandiriannya namun sekaligus berasal dari pergulatan yang sama: persoalan kemanusian. Pada titik ini juga, hubungan antara isi dialog internal dengan berbagai adegan di dalamnya menjadi kabur bahkan mungkin terpisah sama sekali. Ia bukan lagi kesaksian personal namun persoalan bersama, pemain dan penonton. Di sisi lain, kemanusian itu melawan. Ingatan menjadi batu penjuru yang menopang daya tahan ego dalam

menjaga kewarasan sang manusia dari upaya perkosaan secara ideologis. Penjara ibarat sebuah laboratorium manusia dan kemanusiaan berjibun konflik, kepentingan dan pertanyaan.

Dialog internal ke-2 menjadi antitesis yang pertama. Ia adalah cerita

gembira ‗kehidupan normal‘ ketika bersendau-gurau di sawah bersama istri dan anak. Bahasa tubuh Kadir dengan jelas menggambarkan orang yang bekerja di sawah dengan ekspresi bahasa dan wajah seorang suami dan bapak yang sangat bahagia. Tidak ada hantu trauma seperti dalam dialog internal ke-1. Kamera juga dengan sengaja melakukan zoom out membuat tubuhnya mengecil. Penonton dengan seketika memahami bahwa kamera sedang memandang dari jauh seolah dari pematang sawah menyaksikan saat menanam. Semuanya penuh sukacita, sang empunya sawah, keluarga dan kehidupan. “Aku tuh mikir kan, wah itu miliknya memang. Wah senang anakku tuh, punya sawah sendiri, menanam sendiri dengan ibunya...” Dan ketika anaknya melihat Kadir yang membawa pulang hasil mancingnya, betapa senangnya dia memberitahu ibunya. “Itu kan bapak bawa...bawa ikan....Ya... ini gunanya pancing, katanya. Nanti kita tumbuk, kita masak lalu kita lauk ikan bapak habis itu...” Betapa bahagianya sang bapak melihat anaknya berjingkrak-jingkrak menyambutnya. “Aku kan senang, oooh senang aku eh...”

Separoh adegan setelahnya merefleksikan antitesis baik itu bahasa, bahasa tubuh dan ekspresi wajah. Kamera menangkap Mak Tua yang sedang melenggok gemulai dengan kain bulan-bulan disaksikan Jelita yang lesu duduk. Kehidupan yang normal sudah dicerabut dari akarnya. Ruang pribadi maupun komunal serta

eksistensi sebagai manusia yang bermartabat dicerabut tanpa belas kasihan atas nama ideologi. Kehidupan normal tinggal kenangan digantikan logika penjara yang kesudahannya basmi. Mati kontra hidup, tawa kontra pertanyaan.

Kita memasuki medan vibrasi seperti yang digambarkan di atas yang ditandai dengan story-telling para tahanan. Struktur narasi mereka ditandai dengan keterhubungan kembali dengan dan lewat memori, identitas, peranan serta relasi sosial yang porak-poranda dilibas kepongahan kekuasaan yang sedang menafsirkan sejarah menurut kepentingannya. Keterhubungan ini

mengindikasikan kegagalan ‗proyek pemurnian ideologis‘ kekuasaan sebab akal

dan martabat melampaui ancaman, aturan dan logika penjara. Getaran energi hidup itu membuka simpul-simpul selebral yang tadinya ditekak lumat oleh situasi yang penuh ketidakpastian ini. Bagian kedua dari adegan yang kemudian menjadi antitesis yang secara internal membalik mood serta corak vibrasi (seperti yang sudah kita lihat di atas tadi). Cerita pribadi menjadi kepemilikan serta interpretasi kolektif. Ini sebuah upaya membalik kondisi penjara menjadi jejaring komunal. Film mengalami perkembangan tanpa batas hingga Kadir yang tersungkur kembali. Kembali kita menyaksikan betapa adegan paska dialog internal tidak sekedar menggambarkan secara visual namun berkembang secara otonom pada akhirnya.

Memasuki dialog internal ke-3, Kadir mencoba memasuki kepiluan kepala dan tubuh yang dipisahkan dengan paksa. Kadir seakan sedang mengekspresikan ironi kekuasaan yang sedang membela sejarah. Bagi Kadir ini adalah soal antipati sepihak terhadap takdir natural sebagaimana yang diciptakan Tuhan, absurditas

perilaku yang terlampau sulit dinalar. Katanya, “...Dia itu utuh dari kaki sampai rambut diciptakan Tuhan lengkap.Tapi kita menceraikannya. Hei...aku tidak suka ciptaan ini katanya! Cak! Hahahahaha....,” katanya sambil agak melompat sedikit menebas dan geleng-geleng kepala. Bagi penonton, Kadir seolah-olah berjingkrak-jingkrak tepat di depan mereka akibat gerakan kamera yang lincah mengikuti dan mendekatkannya hingga hanya bagian kepala di sebelah kanan layar (dari penonton). Saat dia menggeleng-gelengkan kepala, kita malahan melihat permukaan kepalanya! Sebuah gestural tersendiri dari kamera yang memberi kesan kepala yang tertebas ataupun sesuatu yang bakal terjadi.

Adegan yang mengikutinya semakin mempertajam pesan sejak awal. Hubungan sosial, kekerabatan dan keluarga adalah lokus dan batu pijak eksistensi dan kemanusiaan. Tampak sel perempuan lewat celah dinding. Jelita membagi-bagi makanan di sel perempuan hingga ibu dengan bayinya yang sedang tidur. Mereka bertanya apakah Jelita melihat ayah sang anak, suara batuk itu suaminya atau yang lain, melihat anak-anaknya di sebelah. Untuk ketiga pertanyaan itu, Jelita menjawab, “Saya tidak tahu.” Jawaban ini bisa merefleksikkan ketidaktahuan Jelita, atau indikasi begitu cepatnya perubahan datang dan ambil untuk eksekusi sehingga indra sulit mengikuti perkembangan ataupun campuran frustasi terhadap keseluruhan skenario yang ada.

Kamera kemudian berpindah ke sel pria menyorot dari dekat Wak Haji. Nama-nama dipanggil, bergerak ke El Manik dan...‗dor!‘. El Manik bangun, gemetaran menutup mulutnya seolah takut menjerit, matanya membeliak seperti Wak Haji dan terdengar cabikan musik. Suara perempuan menangis, nama-nama

perempuan dipanggil sebelum kamera berhenti agak lama pada Penutup Telinga yang membujur di lantai. Kita merasakan kembali puncak tekanan yang membuat setiap orang gagap ekspresi verbal kecuali dalam refleks dan distorsi afeksi.

Jalil!” Jalil meringkuk dalam WC. “Jalil, mana Jalil, keluar!” suara Sipir terdengar dekat sekali, dari dapur! Lalu Jalil berjalan keluar dari WC. Sikap badannya mengingatkan kita pada pengarungan pertama saat ia justru menguatkan temannya (yang tersudut jongkok di pojok WC) untuk keluar dari menemui eksekutornya dengan berani (seperti yang sudah kita ikuti di atas hingga Mak Tua yang histeris menyuruh para pria berhenti berdendang).

Kamera kemudian menyorot El Manik yang membelakangi penonton, memukul-mukul dinding dengan gemas campur amarah. Dengan kepalan tangannya dia seolah hendak menumpahkan segenap perasaan. Dengan kuat ia