• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab II Film Sebagai Diskursus: Dari Saussure Menuju Semiotika

C. Gilles Deleuze: Dari Action-Image ke Time-Image

C.1 Durasi Bergsonian

Gagasan Deleuzian mengakar dalam konsep durasi yang ia pinjam dari Bergson. Dalam berbagai tulisannya, Bergson menolak keras hidup yang direduksi ke dalam sebuah model intelek Dalam hubungannya dengan seni hidup (the art of living), ia bertolak dari dua corak dalam berpikir. Yang pertama adalah corak intelek dan yang kedua corak intuitif. Masing-masing berbeda secara metodologis ketika berhadapan dengan pengalaman perjumpaan.

Intelek adalah komponen kesadaran yang memungkinkan seseorang memahami lingkungan sekitarnya serta bertahan di dalamnya. Pola persepsi intelek yang berorientasi pada tindakan atau aksi sudah barang tentu esensial bagi kehidupan. Intelek membentuk teori dengan menempatkan dirinya dalam gerakan karena gerakan adalah realitas itu sendiri. Akan tetapi, ia mengaplikasikan arah yang berlawanan dari sifat dasar kehidupan. Ia selalu bergerak dari immobilitas seolah-olah immobilitas merupakan puncak realitas. Artinya, ketika ia berupaya mengekstrasi ide gerakan (mobilitas), ia melakukannya justru dengan mengonstruksinya berdasarkan asumsi bahwa gerakan itu terdiri dari serangkaian immobilitas yang bisa diukur secara spasial-matematis. Waktu dengan demikian menjadi dimensi ruang. Realitas pada akhirnya direduksi ke dalam sejumlah momen beku dan dari situ ia bekerja secara saintifik.

Bagi Bergson, cara ini mendiskreditkan kehidupan yang ditandai dengan mobilitas secara terus-menerus. Intelek tidak memiliki privilese akses ke dalam realita. Ia hanya mengerti realitas seturut kebutuhan dan kepentingannya dengan meniadakan berbagai dimensi realitas yang tidak menjawab hasrat eksistensialnya. Sebaliknya, intuisi menjadi corak yang lebih memenuhi syarat untuk memahami kehidupan secara penuh. Kehidupan baginya ditandai oleh adanya pergerakan dan perubahan transisional tanpa henti. Setiap bentuk kehidupan adalah materi (matter) yang eksis sebagai image yang didefinisikan berdasarkan rentang kemungkinan gerakannya (real ataupun virtual). Manusia adalah sebuah image

atau obyek seperti berbagai image lainnya namun dengan kekhususan. Lanjut Bergson, manusia sekaligus adalah pusat persepsi yang mengorganisasi

keberadaannya dalam hubungannya dengan setiap keberadaan di sekelilingnya. Ia juga adalah sebuah potensi yang mampu menghasilkan mobilitasnya sendiri.

Dalam hal ini, intuisi bekerja secara berlawanan dengan intelek. Bergson melihat bahwa dalam setiap pusat kehidupan (living center), ada potensi penundaan (a potential delay) antara momen persepsi dan momen tindakan yang

ia sebut ‗wilayah penundaan‘ (zone of indeterminancy) ketika persepsi tidak serta diterjemahkan ke dalam tindakan. Semakin besar rentang wilayah ini, semakin besar pula akses subyek ke dalam realitas dan ke dalam berbagai alternatif dari aksis tindakan atau gerakan. Secara internal, corak intuitif memungkinkan seseorang mendapat pengalaman dan memasuki ragam kedalaman diri. Secara eksternal, ia memungkinkan subyek melampaui diri menggulati obyek dalam keseluruhannya.

Kedua hal ini menjadi pergulatan intuisi. Tidak seperti intelek yang berorientasi pada spasialisasi, intuisi condong kepada temporalitas atau duree 11. Dengan kata lain, image selalu eksis dalam durasi. Setiap durasi sifatnya unik. Karenanya, setiap image memiliki durasinya sendiri-sendiri. Durasi tidak sama dengan waktu karena baginya konsep waktu sudah mengalami fraktalisasi ke dalam komponen-komponen spasial (detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya). Durasi adalah kapasitas untuk mengalami transisi atau perubahan, sebuah evolusi secara terus-menerus. Artinya, image selalu dalam proses (becoming process) menjadi dirinya pada dirinya.

11

Dur

dengan pengertian di atas yang harus dibedakan dengan durasi yang merepresentasikan waktu yang bergerak linier atau satuan panjang waktu secara spasial.

Dipandang dari sudut ini, intuisi adalah cara mengakses realita tanpa mediasi (unmediated) yaitu akses ke dalam berbagai daya (forces) atau energi di dalam obyek yang menjadi alas eksistensi. Ia dimotivasi oleh arah gerakan insting yang mengarah ke dalam, sebuah bentuk simpati yang sudah dilepaskan dari kepentingan ego (disinterested), sadar diri (self-concious) dan mampu merefleksikan obyeknya dan memperkembangkannya tanpa batas. Penting dicatat, bahwa intuisi itu tidak sama dengan durasi namun semacam gerakan yang memungkinkan subyek membubul keluar dari dalam durasinya. Dengan cara ini, tandas Bergson, relasi subyek-obyek yang membuka jalan bagi interkoneksi materi dan memori mengalami pergeseran tekanan dari obyek estetik menjadi tindakan penciptaan.

Pada titik ini, Deleuze mengambil jarak yang berbeda dari Bergson. Bagi Bergson, aparatus sinematik yang ditandai dengan serangkaian snapshots realitas yang immobile langsung berkaitan dengan fungsi intelek. Berkat kamera, pergerakan maupun perubahan transisional diisolasi ke dalam fragmen-fragmen mati yang meniadakan berbagai nuansa tranformatif yang terjadi di antara frame. Proyektor kemudian membuka kembali fragmentasi immobilitas ini dan merestorasinya menjadi sebuah ilusi gerakan yang kontinu. Akan tetapi, kata Bergson, gerakan tersebut tidak lagi unik atau image kehilangan keunikannya sebagai obyek yang direkam. Gerakan tersebut kehilangan personalitasnya dengan tunduk pada logika regulasi keterukuran durasi. Pengetahuan yang menjadi target persepsi menjadi tidak lengkap dan sifatnya fragmentaris.

Deleuze sebaliknya justru melihat potensi kehidupan image. Baginya, Bergson keliru dalam melokalisasi persepsi sinematik dan natural pada kontinuum yang satu dan sama. Dalam aktualitasnya, proyektor memperbaiki ilusi gerakan tadi sejak dari awal justru dengan keterukuran re-animasinya terhadap image. Film, katanya, tidak memberikan kita sebuah image yang kepadanya gerakan ditambahkan. Akan tetapi, film serta-merta mempersembahkan kepada kita sebuah movement-image. Benar, bahwa movement-image itu adalah partikular (a section) tetapi partikular yang bergerak, bukan abstrak dan immobile.

Maka berlawanan dengan Bergson, film bagi Deleuze bukannya representasi model rasionalitas. Pada dirinya sendiri, film memiliki potensi kehidupannya sendiri. Ia bukan sekedar model persepsi ataupun gambaran realitas yang direfleksikan. Dalam dirinya, film mampu menghadirkan segenap fluiditas gerakan dan temporalitasnya secara mandiri. Meskipun gerakan ini terkait dengan berbagai elemen formal dari ritme dan durasi dalam film yang bersangkutan, dia tidak bisa direduksi ke dalam sejumlah tehnik atau ke dalam image konkrit tertentu. Sama halnya dengan temporalitas yang ditandai oleh Deleuze di dalam sinema itu tidak bisa direduksi menjadi sebuah shot tertentu ataupun rentang momen tertentu dalam shooting, proses editing, proyeksi ataupun resepsi film. Dengan begitu, Deleuze melakukan pencapaian teoritis yang revolusioner jauh melampaui psikoanalisis maupun semiotik yang meletakkan makna film di bawah permukaan tanda-tanda.