OUTLOOK TEKOLOGI PANGAN 2018
Inisiatif Pengembangan Industri Berbasis Sagu, Jagung dan Ubi Kayu
Editor:
Socia Prihawantoro Ismariny
Jaizuluddin M.
Supriyanto Adiarso
Publikasi ini bisa di download di web : www.bppt.go.id
PUSAT PENGKAJIAN INDUSTRI PROSES DAN ENERGI
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
ISBN 978-602-1328-06-4
© Hak cipta dilindungi oleh undang-undang Boleh dikutip dengan menyebut sumbernya
Diterbitkan oleh
Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi (PPIPE) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Gedung BPPT II, Lantai 11
Jl. M.H. Thamrin 8, Jakarta 10340 Telp. : (021) 7579-1391
Fax : (021) 7579-1391
email : [email protected]
Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT) Outlook Teknologi Pangan 2018 : insiatif
pengembangan industri berbasis sagu, jagung dan ubi kayu / editor, Socia Prihawantoro ... [et al.]. -- Tangerang Selatan : Pusat Pengkajian Industri Proses Dan Energi, 2018.
111 hlm. ; 29 cm.
Bibliografi : hlm. ...
Indeks
ISBN 978-602-1328-06-4
1. Pangan, Industri. I. Socia Prihawantoro.
664
PENGARAH Kepala BPPT
Deputi Kepala BPPT Bidang Pengkajian Kebijakan Teknologi Prof. Dr. Gatot Dwianto, M.Eng.
PENANGGUNGJAWAB
Direktur Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi Dr. Ir. Adiarso, MSc.
Kepala Bagian Program dan Anggaran Dr. Edi Hilmawan, B.Eng., M.Eng..
Kepala Program Pengkajian Industri Proses Dr. Socia Prihawantoro
KOORDINATOR
Dr. Ir. Jaizuluddin Mahmud, MT.
TIM PENYUSUN Jaizuluddin Mahmud Karnadi
Dadang Rosadi Rizki Firmansyah Supriyanto Ismariny Sigit Setiadi Ermawan DS Dharmawan Ati Widiati
Kusrestu Wardhani Dody Irawan Sunengsih Niken Larasati INFORMASI
Sekretariat Tim Penyusun Outlook Teknologi Pangan – BPPT Gedung 720 Pusat Pengkajian Industri Proses dan Energi
Lt. 2 Kawasan Puspiptek - Serpong, Tanggerang Selatan, Banten 15314 Telp /Fax : (021) 75791391; E-mail : [email protected]
PPIPE i
KATA SAMBUTAN
Puji syukur ke hadirat Allah SWT bahwa buku Outlook Teknologi Pangan 2018: lnisiatif Pengembangan lndustri Berbasis Sagu, Jagung dan Ubi Kayu ini dapat diselesaikan. Buku Outlook Teknologi Pangan 2018 ini diterbitkan oleh Pusat Pengkajian lndustri Proses dan Energi, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), sebagai kelanjutan dari Outlook Teknologi Pangan yang diterbitkan sejak tahun 2016, sekaligus sebagai pertanggungjawaban kepada publik atas kegiatan yang dibiayai oleh anggaran negara.
Buku ini memberikan gambaran ringkas mengenai permasalahan pengembangan teknologi untuk menunjang diversifikasi (penganekaragaman) pangan karbohidrat pengganti beras, serta mengangkat bahan pangan lokal.
Pembahasan difokuskan pada komoditas pangan sagu, jagung dan ubi kayu.
Ketiga komoditas tersebut memiliki sejarah panjang dalam tradisi pangan masyarakat Indonesia. Namun, seiring arus modernisasi dan globalisasi, saat ini komoditas pangan tersebut harus bersaing dengan banyak bahan pangan yang lain.
Di dalam buku ini disampaikan data historis produksi dan kebutuhan sagu, jagung dan ubi kayu di Indonesia. Dari data yang ada tersebut kemudian dibuat proyeksinya sampai dengan tahun 2034. Sebagaimana diketahui bahwa tepung dan pati merupakan bahan baku utama pangan olahan. Karenanya, buku ini juga memberikan gambaran teknologi pengolahan dari ketiga komoditas tersebut, terutama untuk bahan baku tepung (f/uor) dan pati (starch).
Pada bagian akhir buku ini dibahas skenario pengembangan produk sagu, jagung dan pati untuk berbagai kebutuhan di masa yang akan datang.
Jika produksinya melebihi kebutuhan pangan yang ada, maka produk sagu, jagung dan ubi kayu dapat dikembangkan untuk kebutuhan farmasi, pakan dan berbagai keperluan industri lainnya.
ii Buku Outlook Teknologi Pangan 2018 ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi dan acuan bagi instansi pemerintah, lembaga legislatif, swasta, industri, akademisi dan masyarakat pada umumnya dalam pengembangan teknologi untuk mendukung diversifikasi pangan nasional jangka panjang.
Ucapan terima kasih dan penghargaan disampaikan kepada Tim Penyusun serta semua pihak yang telah memberi dukungan dan bantuan sehingga buku ini bisa diterbitkan. Buku ini masih belum sempurna dan masih banyak kekurangannya, untuk itu dimohon masukan yang bersifat konstruktif dari para pembaca untuk penyempurnaan buku berikutnya.
Terima kasih.
Jakarta, November 2018
PPIPE iii
RINGKASAN EKSEKUTIF
Pangan merupakan kebutuhan asasi bagi setiap manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Oleh karena itu, persoalan tentang pemenuhan kebutuhan pangan merupakan persoalan yang sangat mendasar dan universal. Diversifikasi pangan merupakan upaya menuju ketahanan pangan dengan mengurangi ketergantungan pada hanya satu jenis bahan pangan saja.
Sagu, Jagung dan Ubi Kayu merupakan sumberdaya pangan yang sangat potensial di Indonesia. Pemanfaatan ketiga komoditas ini diharapkan dapat memenuhi kebutuhan bahan baku pangan, dan meningkatkan nilai tambah.
Luas perkebunan sagu di Indonesia tercatat ±220 ribu ha. Paling luas di Provinsi Riau 92 ribu ha (42 %), Maluku 42 ribu ha (19 %) dan Papua 40 ribu ha (18 %). Namun demikian luas perkebunan sagu sangat kecil dibandingkan potensi hutan sagu yang diperkirakan lebih dari 1 juta ha. Produksi sagu Indonesia meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir, pada tahun 2017 tercatat mencapai sekitar 490.000 ton. Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2018, tingkat konsumsi sagu 482.000 ton pada tahun 2017, Konsumsi sagu dalam negeri umumnya untuk bahan baku pangan olahan. Produksi sagu diprediksikan akan meningkat hingga tahun 2034, dan jika selama ini hanya dimanfaatkan untuk bahan makanan sederhana, maka ke depan dapat dikembangkan untuk bahan makanan yang lebih inovatif serta manfaat lain seperti bahan farmasi dan energi.
Produksi jagung nasional terus meningkat selama lima tahun terakhir.
Pada tahun 2017 produksi jagung dalam negeri mencapai sekitar 28,9 juta ton.
Pada tahun ini kebutuhan jagung secara keseluruhan mencapai sekitar 19.6 juta ton sedangkan untuk konsumsi langsung hanya sekitar 400 ribu ton.
Konsumsi jagung untuk bahan baku pakan (industri pakan dan peternak lokal) proporsinya sebesar 68 % dari kebutuhan. Permasalahan jagung akhir-akhir ini mengemuka karena antara produksi dalam negeri yang melimpah tidak bisa dimanfaatkan secara optimal industri pakan ternak. Hal ini dikarenakan daerah sumber jagung jauh dari pula Jawa yang menjadi sentra industri pakan ternak.
iv Ubi kayu merupakan sumberdaya pangan yang tersebar di seluruh provinsi di Indonesia, dengan sentra produksi di Lampung dan Pulau Jawa.
Indonesia merupakan produsen ubi kayu terbesar ke 2 di Asia setelah Thailand.
Secara nasional produksi dan luas area panen ubi kayu menunjukkan trend penurunan. Hal ini disebabkan oleh pengalihan jenis komoditas dan alih fungsi lahan. Namun produktivitas ubi kayu cenderung meningkat, ini didorong oleh pola budidaya yang tepat dan penggunaan berbagai varietas bibit unggul.
Outlook Teknologi Pangan 2018 ini mengambil tema : Inisiatif Pengembangan Industri Berbasis Sagu, Jagung dan Ubi Kayu, menampilkan : a). Data dan informasi tentang kondisi ketersediaan dan potensinya di Indonesia; b). Data dan Informasi tentang kondisi teknologi dan penerapannya di berbagai industri; serta c) Usulan rekomendasi dan strategi pengembangan industri berbasis ketiga komoditas tersebut, baik berupa produk antara maupun produk akhir.
Teknologi Pangan yang dibahas dalam outlook ini adalah teknologi pasca panen, yakni teknologi pengolahan serta teknologi diversifikasi.
Teknologi pengolahan sagu adalah untuk mengambil pati yang terdapat pada empulur sagu. Proses pengambilan pati dari empulur sagu dapat dilakukan dengan cara basah (wet process), proses yang banyak digunakan saat ini untuk menghasilkan pati sagu. Pati sagu yang dihasilkan berwarna putih dengan kadar pati sekitar 85 %. Selain proses basah juga ada proses kering (dry process), yaitu proses untuk menghasilkan tepung sagu tanpa menggunakan air proses.
Teknologi dry process yang dikembangkan BPPT sejak tahun 2013 dipandang lebih efisien dan ramah lingkungan karena tidak menghasilkan limbah cair. Limbah padat yang dihasilkan terdiri dari serat panjang dan kulit sagu yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi biomasa. Tepung sagu yang dihasilkan mempunyai kadar pati antara 80 - 85 % dengan kadar serat 3 - 4%. Tepung sagu yang dihasilkan dari proses ini masih berwarna kuning kecoklatan karena masih mengandung poliphenol. Produk ini cocok untuk dipakai sebagai bahan baku industri seperti bioetanol dan gula cair.
PPIPE v Tanaman jagung terdiri dari biji ( kernel ), batang, daun, bunga, rambut jagung. Biji jagung dapat diolah menjadi pati jagung atau tepung jagung. Sama seperti pati lainnya pati jagung dapat dipakai sebagai bahan baku industri pangan, non pangan dan farmasi. Saat ini pengolahan jagung di Indonesia menggunakan, cara dry-process dan wet-process. Beberapa Industri pengolah jagung yang menerapkan cara dry-process akan menghasilkan tepung jagung untuk bahan baku pakan , sedangkan industri yang menggunakan wet-process menghasilkan produk corn starch dan fructose.
Seperti sagu dan jagung, proses pengolahan ubi kayu juga dapat dilakukan dengan dua cara yaitu : wet process untuk menghasilkan tapioka, dan dry process untuk menghasilkan produk-produk seperti gaplek, sawut, dan tepung singkong atau modified cassava flour. Proses produksi tapioka dapat dilakukan dengan cara pengendapan (sedimentasi) dan proses dewatering menggunakan centrifugal separator. Sebagian besar industri tapioka di Lampung menggunakan proses dewatering hanya sebagian kecil menggunakan proses pengendapan. Sebaliknya di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Jawa Barat umumnya menggunakan proses pengendapan.
Produk yang dihasilkan dari pengolahan sumberdaya pati, seperti dari batang tanaman (sagu) , biji (serelia: sorgum, jagung) serta umbi (ubi kayu, ubi jalar dll), disebut pati alami (native starch). Pati alami mempunyai beberapa karakteristik khusus yang menyebabkan tidak bisa digunakan secara luas di industri, untuk memperbaiki sifat tersebut maka perlu dilakukan treatment lebih lanjut.
Pati alami dapat dimodifikasi sehingga mempunyai sifat-sifat yang diinginkan. Modifikasi yang dimaksudkan di sini adalah mengubah struktur molekul melalui perlakuan secara kimia, fisika maupun enzimatis. Setiap metode modifikasi, akan menghasilkan pati termodifikasi atau modified starch, dengan sifat yang berbeda-beda. Pati alami dapat dibuat menjadi pati termodifikasi yang memiliki sifat-sifat yang dikehendaki atau sesuai dengan kebutuhan.
vi Produk diversikasi pati dapat dikelompokan sesuai dengan cara merubah sifat patinya. Contoh produk yang dihasilkan dari proses hidrolisa pati antara lain sweetener, asam amino dan bioetanol. Sedangkan contoh produk turunan modified starch adalah pati pragel, maltodextrin dan oxidized starch.
Produk-produk tersebut di atas dapat menjadi bahan industri terutama untuk industri pangan, industri pakan ternak, industri farmasi, industri energi, dan aneka industri lainnya.
Berdasarkan analisa potensi dan trend konsumsi untuk sagu jagung dan ubi kayu, potensi produksi dari ketiga komoditas ini dinilai cukup besar dibanding dengan tingkat konsumsinya, paling tidak untuk jangka panjang hingga tahun 2034. Dengan mempertimbangkan nilai tambah industri dan tingkat kesiapannya, serta permasalahan yang akan dihadapi, maka inisiasi pengembangan industri berbasis sagu jagung dan ubi kayu dapat dilakukan dengan langkah strategis sebagai berikut:
1. Komoditas sagu jagung dan ubi kayu yang selama ini diperuntukkan untuk ikut memenuhi kebutuhan pangan nasional, akan datang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri
2. Mendorong industri farmasi dalam negeri untuk memanfaatkan sagu dan ubi kayu sebagai bahan obat-obatan dan produk farmasi lainnya.
3. Mendorong penyebaran industri pakan ternak ke luar Pulau Jawa, terutama ke sentra-sentra jagung di Pulau Sulawesi dan Nusa Tenggara.
Inisiasi pengembangan industri berbasis sagu jagung dan ubi kayu, sangat penting dalam rangka optimalisasi potensi tanaman yang dinilai cukup besar ini. Upaya ini perlu mendapat perhatian berbagai pihak, terutama Pemerintah, Industri, dan Masyarakat, yang selama ini terlibat dalam perumusan kebijakan pengembangan ketiga komoditas tersebut. Outlook Teknologi Pangan 2018 ini menyajikan data dan informasi yang dapat menjadi acuan dan masukan bagi penentu kebijakan, dunia usaha dan akademisi, dalam mengembangkan sagu jagung dan ubi kayu dalam negeri.
PPIPE vii
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN ... i
RINGKASAN EKSEKUTIF ... iii
DAFTAR ISI ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1. Latar Belakang ... 4
1.2. Ruang Lingkup dan Metodologi ... 7
BAB II KONDISI KOMODITAS ... 10
2.1. Komoditas Sagu ... 12
2.2. Komoditas Jagung ... 22
2.3. Komoditas Ubi Kayu ... 32
BAB III TEKNOLOGI PROSES DAN INDUSTRI ... 42
3.1. Teknologi dan Industri Sagu ... 44
3.2. Teknologi dan Industri Jagung ... 52
3.3. Teknologi dan Industri Ubi Kayu ... 58
3.4. Teknologi dan Diversifikasi Pati ... 66
3.5. Inovasi Teknologi dan Industri ... 78
BAB IV ARAH DAN STRATEGI PENGEMBANGAN ... 84
4.1. Peluang dan Tantangan ... 86
4.2. Arah Pengembangan Industri ... 91
BAB V PENUTUP ... 96
5.1. Kesimpulan ... 98
5.2. Rekomendasi... 99
DAFTAR PUSTAKA ... 100
LAMPIRAN ... 102
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Karakteristik kilang sagu 52
Tabel 3.2. Industri pengolah jagung 58
Tabel 3.3. Perbandingan skala industri tapioka 64
Tabel 3.4. Industri tapioka 64
Tabel 3.5. Potensi dan karakteristik pati sagu jagung dan ubi kayu 67 Tabel 3.9. Jenis-jenis pemanis (sweetener) 72 Tabel 3.10. Jenis-jenis sorbitol dan karakteristiknya 72 Tabel 3.11. Aplikasi Chemical Modified Starch 74 Tabel 3.12. Produksi glukosa cair menurut perusahaan 75
Tabel 3.13. Industri Fruktosa 76
PPIPE ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1. Produksi Sagu Nasional Tahun 2008 – 2017 13 Gambar 2.2. Konsumsi Sagu Nasional Tahun 2013 – 2017 14 Gambar 2.3. Ekspor Sagu Nasional Tahun 2012 – 2016 15 Gambar 2.4. Impor Sagu Nasional Tahun 2012 – 2016 16
Gambar 2.5. Sebaran Lahan Sagu Tahun 2017 17
Gambar 2.6. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Sagu 2018-2034 20 Gambar 2.7. Produksi Jagung Nasional Tahun 2013-2017 23 Gambar 2.8. Konsumsi Jagung Nasional Tahun 2013-2018 24 Gambar 2.9. Ekspor dan Impor Jagung Tahun 2013 – 2017 25 Gambar 2.10. Sebaran Lahan Jagung Tahun 2017 26 Gambar 2.11. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung 2018-2034 31
Gambar 2.12. Produksi Ubi Kayu 2009-2016 33
Gambar 2.13. Konsumsi Ubi Kayu Nasional 2009-2017 34 Gambar 2.14. Ekspor Ubi Kayu Indonesia 2009-2016 35 Gambar 2.15. Impor Ubi Kayu Indonesia 2009-2016 36 Gambar 2.16. Sebaran Lahan Ubi Kayu Tahun 2016 37 Gambar 2.17. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu 2018-2034 40
Gambar 3.1. Diagram Alir Pengolahan Sagu 46
Gambar 3.2. Pohon Industri Sagu 49
Gambar 3.3, Diagram Alir Pengolahan Jagung 55
Gambar 3.4. Pohon Industri Jagung 57
Gambar 3.5. Diagram Alir Pengolahan Ubi Kayu 59
Gambar 3.6. Pohon Industri Ubi Kayu 63
Gambar 3.7. Diversifikasi Pati Alami 70
Gambar 3.8. Proses Liquifikasi dan Sakharifikasi Pati Alami 71 Gambar 3.9. Komposisi Penelitian Pengolahan Sagu Indonesia 79 Gambar 3.10. Komposisi Penelitian Pengolahan Jagung Indonesia 80 Gambar 3.11. Komposisi Penelitian Pengolahan Ubikayu Indonesia 81
x
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Tabel Produksi sagu nasional Tahun 2008 – 2017 102 Lampiran 2. Tabel Konsumsi Sagu Nasional Tahun 2013 – 2017 102 Lampiran 3. Tabel ekspor dan impor sagu nasional 103
Tahun 2010 – 2016
Lampiran 4. Tabel luas perkebunan sagu menurut provinsi 103 berdasarkan status pengusahaan tahun 2017
Lampiran 5. Tabel proyeksi konsumsi dan produksi sagu 104 Tahun 2018 – 2034
Lampiran 6. Tabel produksi jagung per provinsi Tahun 2013 – 2017 105 Lampiran 7. Tabel konsumsi jagung per sektor Tahun 2013 – 2017 106 Lampiran 8. Tabel ekspor dan impor jagung nasional 106
Tahun 2013 – 2017
Lampiran 9. Tabel luas perkebunan jagung per provinsi 107 Tahun 2013 – 2017
Lampiran 10. Tabel proyeksi konsumsi dan produksi jagung 108 Tahun 2018 – 2034
Lampiran 11. Tabel produksi ubi kayu nasional Tahun 2009 – 2016 109 Lampiran 12. Tabel konsumsi ubi kayu nasional Tahun 2009 – 2016 109 Lampiran 13. Tabel ekspor ubi kayu nasional Tahun 2009 – 2016 110 Lampiran 14. Tabel impor ubi kayu nasional Tahun 2009 – 2016 110 Lampiran 15. Tabel perkembangan luas panen ubi kayu di Indonesia 111
Tahun 2012 – 2016
Lampiran 16. Tabel proyeksi konsumsi dan produksi ubi kayu 111 Tahun 2018 – 2034
PPIPE 1
PPIPE 3
4
1.1. LATAR BELAKANG
Pangan merupakan kebutuhan asasi bagi setiap manusia yang harus dipenuhi setiap saat. Pangan dibutuhkan manusia agar hidup tetap sehat dan menopang kegiatan sehari-hari. Organisasi pangan dunia (FAO) tahun 1984 mencetuskan dasar-dasar ketahanan pangan yang pada intinya menjamin kecukupan ketersediaan pangan bagi umat manusia dan terjaminnya setiap individu untuk dapat memperoleh pangan. FAO merumuskan, ketahanan pangan diartikan sebagai situasi yang ada ketika semua orang, sepanjang waktu, mempunyai aspek fisik, sosial dan ekonomi terhadap bahan pangan yang cukup, aman dan bergizi yang sesuai dengan kebutuhan makanan dan makanan yang disukai untuk kehidupan yang aktif dan sehat.
Pemenuhan kebutuhan pangan di Indonesia dijamin dalam Undang- undang Nomor 18 tahun 2012 yang menyatakan bahwa penyelenggaraan pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan manfaat secara adil, merata, dan berkelanjutan berdasarkan pada (i) kedaulatan pangan, (ii) kemandirian pangan, dan (iii) ketahanan pangan.
Ketahanan pangan dinyatakan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi negara sampai dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan.
Beras merupakan komoditas utama dalam pemenuhan kebutuhan pangan nasional. Beras mendominasi sumber pangan lainnya seperti terigu, sagu, jagung dan ubi kayu. Berdasarkan data dalam Outlook Teknologi Pangan 2016, konsumsi beras nasional tahun 2010 – 2014 sebesar 114 kg/kapita/tahun, sementara terigu 14,5 sagu 0,41 jagung 2,05 dan ubi kayu 3,87. Disamping itu, produksi beras terus mengalami kenaikan, yakni 65,75 juta ton pada tahun 2011 menjadi 81,38 juta ton pada tahun 2017.
Peran sagu jagung dan ubi kayu dalam
pemenuhan kebutuhan pangan
nasional semakin kecil
PPIPE 5 Kecenderungan peningkatan produksi beras akan berlanjut hingga melebihi tingkat konsumsi beras. Beras tahun ini diperkirakan surplus sebesar 2,85 juta ton (BPS 2018). Jika kondisi surplus ini berlanjut di tahun-tahun mendatang, maka peran sumber pangan lainnya seperti sagu jagung dan ubi kayu akan semakin berkurang, sehingga muncul pertanyaan kemana sumber pangan alternatif ini akan dikembangkan. Hal ini menjadi penting karena potensi ketiga komoditas ini juga cukup besar.
Sagu jagung dan ubi kayu merupakan tanaman yang mudah tumbuh di Indonesia. Sagu paling banyak dijumpai di pulau Irian, Sumatera dan beberapa di pulau Sulawesi dan Maluku. Jagung dan ubi kayu lebih luas lagi, dapat ditemukan dihampir seluruh pelosok tanah air. Menurut data dalam situs resmi Kementerian Pertanian, pohon sagu yang hidup di hutan alam mencapai 1,25 juta Ha, sementara yang status perkebunan tahun 2017 baru 219.978 ha dengan produksi 489.643 ton. Produksi jagung nasional tahun 2015 sebesar 19,62 juta ton sementara untuk rumah tangga
hanya 457,24 ribu ton. Produksi ubi kayu nasional tahun 2015 sebesar 23,97 juta ton dan untuk rumah tangga 233,43 ribu ton. Jadi peran ketiga jenis komoditas ini untuk pemenuhan kebutuhan pangan nasional terbilang kecil, perlu ada upaya untuk mengembangkannya pada sektor lain atau industri.
Seiring dengan perkembangan inovasi teknologi pangan, proses pengolahan sagu jagung dan ubi kayu menjadi semakin mudah dan relatif terjangkau oleh masyarakat. Hal ini mendorong berkembangnya usaha kecil dan menengah yang mengolah ketiga komoditas tersebut menjadi tepung atau pati-patian. Perkembangan teknologi juga membantu dunia usaha dalam mengolah produk antara tersebut (intermediate products) menjadi produk jadi, baik pangan maupun non pangan. Lembaga litbang dan perguruan tinggi, sebagai pendukung utama inovasi teknologi pangan, telah berhasil mengembangkan beras analog yang bahan bakunya dari sagu jagung dan ubi kayu, dan subtitusi bahan baku mie yang selama ini berasal dari terigu impor.
Potensi produksi sagu jagung dan ubi kayu sangat besar sehingga penting dikembangkan
tidak hanya untuk pangan
6 Inovasi teknologi tidak hanya terjadi di industri pangan yang menghasilkan banyak produk pangan dan olahannya, akan tetapi juga di industri non pangan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Pengembangan teknologi pengolahan jagung telah membantu industri pakan ternak dalam negeri meningkatkan produktivitas, efisien usaha, dan
diversifikasi produk. Inovasi teknologi mendorong aneka industri memanfaatkan jagung sebagai bahan baku produknya, antara lain industri pemanis (sweetener), monosodium glutamate, bio plastic, permen, sirup, dan makanan kaleng. Teknologi pengolahan ubi kayu juga berkembang dengan
produk-produk industri antara lain berupa gaplek, sawut, dan tepung singkong atau MOCAF. Teknologi membantu industri pengolahan sagu untuk tampil lebih ramah lingkungan, dan mengolah limbah padatnya untuk menjadi produk yang bernilai ekonomi.
Walaupun industri berbasis sagu jagung dan ubi kayu cukup berkembang, namun belum optimal memanfaatkan potensi dari 3 komoditas ini. Optimalisasi berarti memanfaatkan semaksimal mungkin potensi untuk memenuhi kepentingan yang telah ditentukan sebelumnya. Oleh karena itu, optimalisasi sagu jagung dan ubi kayu memerlukan dukungan strategi pengembangan dengan pilihan industri yang tepat. Bagaimana mengembangkannya dan industri apa saja yang dianggap strategis, akan dijawab oleh Outlook Teknologi Pangan Tahun 2018 ini. Buku ini memberikan informasi tentang potensi sagu jagung dan ubi kayu dalam negeri, berikut teknologi, industri dan arah pengembangannya ke depan.
Inovasi teknologi mendorong sagu jagung dan ubi kayu dapat dikembangkan
untuk kebutuhan industri yang bernilai
tambah tinggi
PPIPE 7
1.2. RUANG LINGKUP DAN METODOLOGI
Buku outlook teknologi pangan ini membahas tentang inisiasi pengembangan industri berbasis sagu jagung dan ubi kayu. Pembahasan dimulai dengan memetakan potensi ketiga komoditas tersebut, kemudian memahami prinsip-prinsip teknologi dan industri yang mengolahnya, dan terakhir mengidentifikasi arah strategi pengembangannya. Potensi komoditas yang diangkat berasal dari aspek produksi, konsumsi, ekspor, impor, kebijakan, dan proyeksi kedepan.
Pemahaman teknologi dan industri dibagi atas tiga tahap, yakni tahap pertama pengolahan sagu jagung dan ubi kayu, kedua diversifikasi pati-patian, dan ketiga inovasi teknologi dan perkiraan industri kedepan. Identifikasi strategi pengembangan meliputi identifikasi potensi dan peluang, isu dan permasalahan yang dihadapi, dan strategi pengembangan kedepan.
Inisiasi pengembangan industri berbasis sagu jagung dan ubi kayu menggunakan beberapa metoda pengumpulan data dan pengolahannya.
Metoda pengumpulan data dibagi atas jenis data yang dikumpulkan, yaitu data primer dan data sekunder.
Data primer diperoleh dari sumber asli atau pertama. Metode pengumpulannya melalui wawancara, Focus Group Discussion, dan observasi langsung di lapangan. Wawancara mendalam (In-depth interview) dilakukan terhadap pakar atau pelaku yang memahami kondisi komoditas. Responden ini berasal dari pelaku bisnis, pemerintah daerah, dan peneliti dari perguruan tinggi atau lembaga litbang.
Focus Group Discussion (FGD) dilaksanakan dengan mengundang beberapa pihak untuk diskusi bersama tentang suatu topik atau isu tertentu.
FGD bertujuan untuk menggali informasi dari pakar-pakar yang diundang tentang permasalahan sagu jagung dan ubi kayu di Indonesia. FGD juga bertujuan untuk melakukan verifikasi dan validasi terhadap data yang diperoleh dan hasil sebuah analisis.
8 Observasi merupakan pengamatan langsung ke lokasi dimana komoditas tersebut diolah. Metoda ini juga dilakukan untuk verifikasi dan validasi data terutama dalam aspek penggunaan teknologi pengolahan. Lokasi yang dikunjungi antara lain Kabupaten Meranti Riau, Kota Cirebon Jawa Barat, Kabupaten Pati Jawa Timur, dan Kota/Kabupaten Gorontalo.
Untuk melengkapi analisa data-data primer yang diperoleh dari wawancara dan observasi di atas, dalam kegiatan ini juga dianalisis data-data sekunder yang terkait dengan kajian inisiasi pengembangan industri berbasis sagu jagung dan ubi kayu. Data sekunder diperoleh dari lembaga resmi pemerintah seperti Badan Pusat Statistik (BPS), Kemeterian Riset Teknologi dan Perguruan Tinggi, Kemeterian Pertanian, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).
Data-data yang diperoleh di atas kemudian diolah melalui beberapa metoda, antara lain trend analysis, interpolasi data, bilibiometrik, scenario analysis, dan SWOT analysis. Trend analysis dan interpolasi data dilakukan dalam memahami kecenderungan perilaku sebuah data sehingga dapat diperkirakan perkembangannya ke depan. Bilibiometrik disini diterapkan sebagai suatu teknik technology forecasting, digunakan untuk mengidentifikasi perkembangan sebuah inovasi teknologi ke depan sehingga dapat diprediksi kecenderungan sebuah industri di masa akan datang.
Scenario analysis dilakukan dengan mengidentifikasi issu utama dan permasalahan yang dihadapi komoditas ini untuk berkembang. Kemudian menganalisis kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di masa akan datang sehingga kejadian tersebut dapat diantisipasi dari sekarang.
SWOT analysis dilakukan untuk memetakan kelemahan, kekuatan, ancaman dan peluang setiap komoditas. Metoda ini memudahkan dalam mengidentifikasi solusi dan pilihan strategi, yang dinilai paling penting dalam mengoptimalkan sagu jagung dan ubi kayu di tanah air.
PPIPE 9
PPIPE 11
12
2.1. KOMODITAS SAGU
PPIPE 13 2.1.1. Produksi dan Konsumsi Sagu
Produksi Sagu
Produksi sagu Indonesia meningkat pesat dalam 10 tahun terakhir (Gambar 2.1). Jika tahun 2008 produksi sagu nasional tercatat sebesar 31.767 ton, tahun 2017 meningkat menjadi 489.643 ton. Meskipun dalam 4 tahun pertama (2008 – 2011) produksi sagu cenderung menurun, sagu hanya diproduksi dari perkebunan rakyat, namun sejak tahun 2012 dimana perusahaan besar swasta mulai terlibat, produksi sagu meningkat signifikan dengan rata-rata pertumbuhan 33,81% pertahun.
Perkebunan rakyat masih mendominasi dalam share produksi sagu nasional. Perkebunan yang dikelola secara sederhana ini memberi kontribusi sebesar 67% dari produksi sagu dalam negeri, perkebunan besar swasta menyumbang sisanya. Sementara itu, produktivitas sagu nasional cenderung tetap yakni 2,2 ton/ha. Hal ini menunjukkan pola budidaya sagu masih mengandalkan tanaman yang sudah tersedia tanpa penanganan khusus.
Sumber: Kementan 2016 (diolah)
Gambar 2.1. Produksi Sagu Nasional Tahun 2008 - 2017
31.767
87.955 89.629 85.960
132.309 155.061
310.656
423.946 440.516 489.643
- 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000
2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Produksi (ton)
Tahun
14 Konsumsi Sagu
Berdasarkan data Kementerian Pertanian tahun 2018, tingkat konsumsi sagu nasional mengalami kenaikan (Gambar 2.2). Dalam 5 tahun terakhir (2013-2017), tingkat konsumsi mengalami peningkatan yang signifikan, hampir dua kali lipat dari tahun 2 tahun pertama. Tahun 2013 dan 2014, konsumsi sagu masih 148.000 ton, melonjak naik pada tahun 2015 menjadi 482.000 ton, setelah itu tumbuh dengan konsumsi rata-rata 8,4% pertahun.
Konsumsi sagu dalam negeri umumnya untuk bahan makanan, hanya sedikit yang diolah untuk non makanan. Hal ini menunjukkan bahwa sagu, tanaman yang menjadi sumber makanan pokok sebagian masyarakat Indonesia, belum dikembangkan secara optimal, belum banyak diolah menjadi bahan industri. Kenaikan konsumsi sagu juga dapat dilihat dari meningkatnya konsumsi sagu perkapita nasional, dimana tahun 2015 nilainya sebesar 1,6 kg/kapita/tahun, naik pada tahun 2017 menjadi 1,71 kg/kapita/tahun.
Sumber : Kementan 2018 (diolah)
Gambar 2.2. Konsumsi Sagu Nasional Tahun 2013 - 2017
148.000 148.000
413.000 433.000
482.000
0 100.000 200.000 300.000 400.000 500.000 600.000
2013 2014 2015 2016 2017
Konsumsi (ton)
Tahun
PPIPE 15 2.1.2. Ekspor dan Impor Sagu
Ekport Sagu
Ekspor sagu nasional cenderung meningkat (Gambar 2.3). Merujuk data Kementan 2016 bahwa nilai ekspor sagu tahun 2012 adalah sebesar 1.013 ribu US$, naik pada tahun 2016 menjadi 4.584 US$, atau naik rata-rata 88,13% per tahun. Walaupun sempat jatuh tahun 2015 namun harga sagu internasional cenderung naik. Hal ini menjadi peluang bagi industri sagu nasional untuk meningkatkan ekspornya di masa akan datang.
Berdasarkan data sagu Kementerian Pertanian (2015), tujuan ekspor sagu Indonesia umumnya ke negara Asia, terbesar adalah Jepang, Malaysia, Filipina dan Singapura. Sekitar 70% dari nilai ekpor sagu nasional berasal dari ekspor ke Jepang, 22,32% ke Malaysia, sisanya ke berbagai negara lainnya.
Ekspor sagu terbesar dalam bentuk pati (sago starch) dengan negara tujuan terbesar Jepang dan Malaysia. Lebih 90% sagu yang diekspor dalam bentuk pati, sisanya berupa tepung dan bahan makanan.
Sumber: Kementan 2018 (diolah)
Gambar 2.3. Ekspor Sagu Nasional Tahun 2012 - 2016
1.013
1.963
3.236
3.153
4.584
0 500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 4.500 5.000
2012 2013 2014 2015 2016
T a h u n
Nilai ekspor (000 US$)
16 Impor Sagu
Data impor sagu sulit ditemukan sehingga data yang disajikan tidak serta merta merepresentasikan kondisi impor sagu nasional. Meskipun demikian, data tahun 2015 cukup menarik untuk dianalisis. Nilai impor sagu pada tahun tersebut sebesar 282.631 ribu US$. Impor sagu terbesar dalam bentuk empulur sagu (sago pith) dengan nilai 184.438 ribu US$. Impor empulur sagu terbesar berasal dari Timor Leste (73 %) dengan volume sebesar 247,45 ton, menyusul dari China dan Jepang.
Selain empulur sagu, impor sagu juga ada dalam bentuk pati sagu (sago starch) dengan negara asal China sebesar 42.900 ton. Sagu dalam bentuk tepung (flour & powder) di impor dari Australia sebesar 29.910 ton. Jika dibanding dengan produksi nasional maka impor sagu belum mempengaruhi daya saing sagu Indonesia di pasar dalam negeri.
Sumber: Kementan 2018 (diolah)
Gambar 2.4. Impor Sagu Nasional Tahun 2012 - 2016
26
52 56
282
52
0 100 200 300
2012 2013 2014 2015 2016
T a h u n
Nilai impor (000 US$)
PPIPE 17 2.1.3. Distribusi Komoditas Sagu
Luas perkebunan sagu di Indonesia berdasarkan status pengusahaan tahun 2017 tercatat seluas 219.978 ha. Provinsi yang paling luas lahan sagunya adalah Provinsi Riau 91.544 ha (41,80 %), Maluku 41.496 ha (18,86 %) dan Papua 39.843 ha (18,11 %). Sedangkan daerah lainnya di bawah 10 ribu ha.
Data luas perkebunan sagu ini masih sangat kecil dibandingkan potensi hutan sagu Indonesia.
Berdasarkan data Kementerian Pertanian, luas hutan sagu mencapai 1,25 juta ha, dengan rincian 1,20 juta ha di Papua dan Papua Barat serta 50 ribu ha di Maluku. Perkebunan sagu Indonesia umumnya skala Perkebunan Rakyat, sedangkan yang dikuasai Perusahaan Besar Swasta sangat kecil, Sebagian besar sagu yang tumbuh di Papua dan Papua Barat merupakan hutan sagu alami.
Sumber: Kementan 2016 (diolah)
Gambar 2.5. Sebaran Lahan Sagu Tahun 2017
Maluku 41.496 ha Sulteng 6.106 ha
Kaltim 29 ha Aceh 7.860 ha
Kalbar 1.296 ha Kepri 6.374 ha
Riau 91.944 ha
Kalsel 7.857 ha
Sulsel 4.383 ha
Sulbar 1.759 ha
Sultra 5.105 ha
Malut 3.645 ha
Papua 39.843 ha Papua Barat 2.279 ha
18 2.1.4. Kebijakan Terkait Sagu
Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009 tentang Program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal dan Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) RI Nomor 43/Permentan/OT.140/10/2009 tentang Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal mendorong daerah seperti Riau, Papua dan Maluku membuat berbagai program diversifikasi produk makanan dari sagu. Dalam pedoman Permentan disebutkan sagu sebagai salah satu sumber pangan lokal yang diharapkan dapat diolah sebagai pangan pokok substitusi beras dan terigu sebagai sumber karbohidrat.
Beberapa kebijakan lainnya yang menjadi acuan kebijakan pengembangan sagu:
a) Peraturan Menteri Pertanian Nomor 94/Permentan/OT.140/9/2013 tentang Standar Operasional Prosedur Sertifikasi Benih dan
Pengawasan Mutu Benih Tanaman Sagu.
Kebijakan ini ada karena sesuai dengan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 39/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Produksi, Sertifikasi dan Peredaran Benih Bina bahwa benih yang beredar harus disertifikasi.
b) Peraturan Menteri Pertanian RI Nomor 134/Permentan/OT.140/12/2013 tentang Pedoman Budidaya Sagu yang Baik.
Melalui Permen ini diperoleh pedoman budidaya sagu yang baik sebagai panduan bagi petani. Tujuan disusunnya pedoman ini adalah :
1. Meningkatkan produksi, produkstivitas dan mutu hasil sagu 2. Meningkatkan efisiensi produksi
3. Meningkatkan kesuburan lahan, kelestarian lingkungan dan sistem produksi yang berkelanjutan.
PPIPE 19 c) Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 75/M-IND/PER/12/2013 tentang Peta Panduan Pengembangan Kompetensi Inti Industri Kabupaten Sorong Selatan. Kompetensi inti Kabupaten Sorong Selatan adalah industri pengolahan sagu dengan fokus pada kemampuan mengolah sagu menjadi tepung sagu.
d) Peraturan Daerah Kabupaten Jayapura No 3/2000 tentang Pelestarian Kawasan Hutan Sagu. Pelestarian kawasan hutan sagu di Kabupaten Jayapura merupakan kegiatan terus-menerus sepanjang pembangunan daerah dilaksanakan.
e) Peraturan Daerah Provinsi Maluku No 10/2011 tentang Pengelolaan dan Pelestarian Sagu. Pengelolaan dan pelestarian sagu dilaksanakan berlandaskan asas kelestarian nilai-nilai budaya lokal, asas manfaat, berkelanjutan, kepastian hukum dan keadilan, partisipatif serta tanggung jawab pemerintah dan masyarakat.
Sebagai implementasi Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2009, APKASI (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) membentuk FOKUS-KAPASSINDO (Forum Komunikasi Kabupaten Penghasil Sagu Seluruh Indonesia) untuk memajukan persaguan nasional sebagai pendukung dan penyangga sumber pangan dan energi alternatif yang mampu memperkuat kedaulatan pangan dan energi nasional. Daerah penghasil sagu yang tergabung dalam Fokus-Kapassindo terdiri dari sebelas kabupaten, yaitu Kabupaten Kepulauan Meranti, Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Lingga, Kabupaten Luwu Utara, Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Jayapura, Kabupaten Nabire, Kabupaten Mimika dan Kabupaten Serdang.
20 2.1.5. Proyeksi Sagu
Proyeksi produksi dan konsumsi sagu Indonesia dapat dilihat dalam Gambar 2.6. Proyeksi produksi dibuat dengan asumsi produktivitas perkebunan sagu sampai dengan tahun 2034 sama dengan tahun 2017 yakni 2,2 ton/ha/tahun dan luas lahan perkebunan sagu meningkat sesuai tren 2009- 2017 (sesuai data acuan Buku Statistik Sagu 2015-2017, Dirjen Perkebunan Kementan). Proyeksi konsumsi dibuat dengan asumsi konsumsi per kapita sampai dengan tahun 2034 sama dengan tahun 2017 yakni 1,84 kg/kapita/tahun dan jumah penduduk meningkat sesuai prediksi BPS.
Gambar 2.6. Proyeksi Produksi dan Konsumsi Sagu 2018-2034
Berdasarkani proyeksi di atas maka diperkirakan hingga tahun 2034 terjadi surplus produksi sagu nasional. Kelebihan produksi ini akan berpengaruh pada harga sagu yang berakibat pada tingkat kesejahteraan petani dan industri pengolahan sagu. Oleh karena itu, permasalahan kelebihan produksi ini perlu diantisipasi dengan jalan diversifikasi produk. Jika selama ini sagu umumnya dimanfaatkan untuk bahan makanan, kedepannya dikembangkan untuk aneka produk industri non makanan.
2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030 2031 2032 2033 2034 Produksi 514.7 552.1 589.5 626.9 664.3 701.7 739.1 776.5 813.8 851.2 888.6 926.0 963.4 1.000 1.038 1.075 1.113 Konsumsi 488.4 495.0 501.6 508.3 515.1 522.0 529.0 536.1 543.3 550.6 558.0 565.4 573.0 580.7 588.5 596.4 604.3
400.000 500.000 600.000 700.000 800.000 900.000 1.000.000 1.100.000 1.200.000
TON
Proyeksi 2018-2034
PPIPE 21
22
2.2. KOMODITAS JAGUNG
PPIPE 23 2.2.1. Produksi dan Konsumsi Jagung
Produksi Jagung
Selama lima tahun terakhir produksi jagung nasional terus mengalami peningkatan (Gambar 2.7). Produksi jagung tahun 2013 sebesar 18,5 juta ton, meningkat pesat pada tahun 2016 menjadi 23,5 juta ton, dan tahun 2017 meningkat lagi menjadi 28,9 juta ton. Menurut catatan FAO tahun 2014, Indonesia termasuk 10 negara produsen jagung terbesar dunia. Kesepuluh negara ini menguasai produksi jagung dunia sebesar 78,76%, Indonesia memberi kontribusi 1,99%. Tiga negara teratas adalah Amerika Serikat, China, dan Brasil. Ketiga negara ini memiliki kontribusi 63,63% dari produksi jagung dunia.
Sumber : 1. Badan Pusat Statistik 2018
2. Kementerian Pertanian, 2018 (diolah)
Gambar 2.7. Produksi Jagung Nasional Tahun 2013-2017
18.512.000 19.008.000 19.612.000
23.578.000
28.926.000
0 5.000.000 10.000.000 15.000.000 20.000.000 25.000.000 30.000.000 35.000.000
2013 2014 2015 2016 2017
Produksi (ton)
Tahun
24 Konsumsi Jagung
Kebutuhan jagung nasional dihitung atas konsumsi langsung berupa makanan, kebutuhan industri pakan dan industri lainnya, benih dan yang tercecer. Berdasarkan data BPS tentang neraca jagung nasional, untuk kadar air 25%, kebutuhan nasional meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, kebutuhan jagung nasional sebesar 17,7 juta ton dengan konsumsi langsung sebesar 355 ribu ton, meningkat sampai dengan tahun 2018 sebesar 19,6 juta ton dengan konsumsi langsung sekitar 400 ribu ton. Konsumsi langsung proporsinya relatif kecil, sekitar 2% dari kebutuhan jagung nasional, sedangkan jagung untuk pakan (industri pakan dan peternak lokal) proporsinya sebesar 68
% dari kebutuhan.
Sumber : 1. Badan Pusat Statistik 2018
2. Kementerian Pertanian, 2018 (diolah)
Gambar 2.8. Konsumsi Jagung Nasional Tahun 2013-2018
17.727.536 17.805.989
18.081.240 18.069.797
18.874.523 19.630.024
16.500.000 17.000.000 17.500.000 18.000.000 18.500.000 19.000.000 19.500.000 20.000.000
2013 2014 2015 2016 2017 2018
Konsumsi (ton)
Tahun
PPIPE 25 2.2.2. Ekspor dan Impor Jagung
Impor jagung Indonesia mulai mengalami fluktuasi sejak tahun 2013 dan puncaknya pada tahun 2015 dengan volumen 3,5 juta ton. Di samping impor, Indonesia telah mulai melakukan ekspor tahun 2013 ke negara tetangga dengan jumlah yang sangat kecil dibandingkan dengan impor pada tahun yang sama. Pada tahun 2018 ekspor dilakukan dengan negara tujuan Filipina. Tiga daerah penopang ekspor ini adalah Nusa Tenggara Barat, Gorontalo dan Sulawsi Selatan. Pasar potensial lainnya untuk ekspor jagung yang harus diraih adalah Malaysia yang diperkirakan membutuhkan jagung sebanyak 3 juta ton setiap tahunnya. Saat ini sudah mulai diekspor dengan nilai yang sangat kecil (< 50.000 ton).
Sumber : 1. Badan Pusat Statistik 2018
2. Kementerian Pertanian, 2018 (diolah)
Gambar 2.9. Ekspor dan Impor Jagung Tahun 2013 – 2017
3.190.000 3.170.000
3.500.000
880.000
100.000 11.418 37.889 250.830
11.000
50.000 -
500.000 1.000.000 1.500.000 2.000.000 2.500.000 3.000.000 3.500.000 4.000.000
2013 2014 2015 2016 2017
Impor Ekspor
Volume (ton)
26 2.2.3. Distribusi Komoditas Jagung
Jumlah produksi tahun 2017 sebesar 28.926.000 ton yang berasal dari luas lahan 5.533.000 ha (produktivitas rata rata 5,22 ton/ha). Luasan yang paling besar terdapat di Jawa Timur 1.257.000 ha dan Jawa Tengah 588.000 ha. Untuk luar Jawa, Lampung merupakan salah satu sentra produksi jagung dengan luasan 482.000 ha selanjutnya NTT dan NTB 624.000 ha. Sentra produksi lainnya di Sulawesi Utara 445.000 ha, Sulawesi Selatan 411.000 ha dan Gorontalo 336.000 ha. Produksi jagung di Pulau Jawa proporsinya 49%
dibandingkan dengan luar Jawa. Dilhat dari sebarannya, areal di pulau Jawa sudah sangat sulit dikembangkan karena harus bersaing dengan komoditas lainnya (padi, kedele dll). Peluang pengembangan areal ada di Sumatera, Sulawesi, Nusa Tenggara dan Papua.
Gambar 2.10 Sebaran Lahan Jagung Tahun 2017
2.2.4. Kebijakan Terkait Jagung
Kebijakan Pertanian
Untuk meningkatkan produksi jagung nasional menuju swasembada jagung pada tahun 2018, Indonesia menghentikan impor jagung untuk memenuhi kebutuhan jagung industri. Kebijakan terkait dengan swasembada jagung, antara lain peraturan Menteri tentang pelepasan benih unggul hibrida
PPIPE 27 sejak tahun 2006, dengan harapan produktivitas meningkat. Selain itu untuk menambah luasan lahan dilakukan dengan memberikan insentif berupa penetapan harga jagung yang baik, sehingga petani menjadi giat menanam jagung. Setiap tahun Kementan juga mengeluarkan pedoman pelaksanaan kegiatan tahun berjalan yang berisi antara lain rencana, sasaran kinerja terkait luasan lahan panen, sasaran rencana produksi, neraca jagung nasional.
Adapun peraturan peraturan yang dikeluarkan antara lain :
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor 03/Permentan/Ot.140/2/2015, tentang Pedoman Upaya Khusus (Upsus) Peningkatan Produksi Padi, Jagung Dan Kedelai Melalui Program Perbaikan Jaringan Irigasi Dan Sarana Pendukungnya Tahun Anggaran 2015
- Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 27/M- Dag/Per/5/2017, tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian Di Petani Dan Harga Acuan Penjualan Di Konsumen
- Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 129/Kpts/Sr.120/3/2006 tentang Pelepasan Galur Jagung Hibrida Su 3545 Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama N 35
- Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 128/Kpts/Sr.120/3/2006 tentang Pelepasan Galur Jagung Hibrida Sx 44 Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama Nt 10
- Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 19/Kpts/Sr.120/1/2007 tentang Pelepasan Jagung Manis Hibrida Kencana Sebagai Varietas Unggul - Lampiran Keputusan Menteri Pertanian Nomor : 456/ Kpts / SR.
120/ 12/ 2005 Tanggal : 26 Desember 2005 Golongan varietas : Hibrida silang tunggal F 2139 X M 2139
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 23/ Permentan / Sr.120/2/2007 Tentang Pedoman Umum Peningkatan Produktivitas Dan Produksi Padi, Jabung Dan Kedelai Melalui Bantuan Benih Tahun 2007 - Keputusan Menteri Pertanian tentang Pelepasan Galur Jagung Hibrid
A 12 Sebagai Varietas Unggul Dengan Nama Supra 1
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor :18/ Permentan /Ot.140/2/2010 tentang Blue Print Peningkatan Nilai Tambah dan Daya Saing Produk
28 Pertanian Dengan Pemberian Insentif Bagi Tumbuhnya Industri Perdesaan
- Kebijakan Industri Nasional 2015 – 2019 disusun untuk melaksanakan amanat UU No. 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian Pasal 12 dan PP No. 14 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional 2015 – 2035
- Peraturan Menteri Pertanian Nomor : 9/Permentan/Ot.140/6/ 2010 tentang Pedoman Perizinan Usaha Budidaya Tanaman Pangan Kebijakan Perdagangan
Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Jagung.
- Kementerian Perdagangan membuka izin impor jagung untuk industri sebanyak 77.750 ton kepada PT Miwon Indonesia dari sejumlah negara seperti Argentina, Amerika Serikat, Brazil, dan Ukraina.
Peraturan tersebut melarang perusahaan swasta melakukan impor jagung untuk kebutuhan pangan dan pakan ternak.
- Dalam aturan tersebut disebutkan, jagung dapat diimpor untuk memenuhi kebutuhan pangan, pakan, dan bahan baku industri. Impor jagung untuk memenuhi kebutuhan pakan sendiri, hanya bisa dilakukan oleh Perum Bulog setelah mendapatkan penugasan dari pemerintah. Sedangkan impor jagung untuk pemenuhan kebutuhan pangan hanya dapat dilakukan oleh Perum Bulog dan perusahaan pemilik API-P (Angka Pengenal Importir Produsen). Sementara impor jagung untuk bahan baku industri hanya bisa dilakukan oleh perusahaan pemegang API-P saja. Sementara impor untuk kebutuhan bahan baku dapat langsung diberikan oleh Menteri Perdagangan tanpa rekomendasi dari Menteri Pertanian.
- Jagung yang diimpor oleh perusahaan pemilik API-P hanya dapat digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk kebutuhan proses sendiri. Komoditas impor tersebut dilarang untuk diperdagangkan atau dipindahtangankan kepada pihak lain.
PPIPE 29 - Di samping itu dikeluarkan aturan tentang Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 27/M-Dag/Per/5/2017 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen.
Kebijakan Resi Gudang
- Sistem Resi Gudang (SRG) merupakan instrumen perdagangan dan keuangan yang memungkinkan komoditas yang disimpan dalam gudang memperoleh pembiayaan dari lembaga keuangan tanpa diperlukan jaminan lainnya. Pelaksanaan SRG mengacu pada Undang-Undang No.
9 Tahun 2006 tentang Sistem Resi Gudang, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 9 Tahun 2011. Sistem Resi Gudang adalah kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan, pengalihan, penjaminan, dan penyelesaian transaksi Resi Gudang. Resi Gudang adalah dokumen bukti kepemilikan atas barang yang disimpan di Gudang yang diterbitkan oleh Pengelola Gudang.
Kebijakan Daerah
- Peraturan Daerah Provinsi Gorontalo Nomor 7 tahun 2008 tentang Pembentukan organisasi dan Tata Kerja Badan Pusat Informasi Jagung Provinsi Gorontalo di terbitkan dalam rangka meningkatkan kapasitas kelembagaan dalam menangani pengembangan jagung sebagai komoditas unggulan serta menjaga kelestarian sumberdaya pertanian - Peraturan Bupati Rembang no.1 tahun 2007 tentang Petunjuk teknis
Pelaksanaan Dana Penguatan Modal Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (DPM-LUEP) untuk pengendalian harga gabah/beras, jagung dan kedelai ditingkatkan petani kabupaten Rembang
- Peraturan Daerah Provinsi Jatim Daerah Provinsi Jatim nomor 14 tahun 2013 tentang Percepatan Pelaksanaan Sistem Resi Gudang
- Peraturan Gubernur NTB no 6 tahun 2011 tentang dukungan dana Perkuatan Modal Kepada Lembaga Usaha Ekonomi Pedesaan (LUEP) di provinsi NTB
30 2.2.5. Proyeksi Jagung
Produksi
Produksi jagung cenderung terus meningkat sejak tahun 2016 (Gambar 2.13). Kenaikan ini dipicu oleh intensifikasi Pemerintah melalui penerapan benih unggul hibrida. Benih ini berpotensi meningkatkan produktivitas 6-7 % dan jagung komposit dengan peningkatan produktivitas 4-5 %. Varietas yang sudah dilepas ke pasar antara lain benih yang dapat mencapai peningkatan produktivitas hingga 14%. Dengan peningkatan produksi tersebut, kebutuhan jagung nasional mulai dapat terpenuhi, meskipun di sisi lain terdapat jenis jagung khusus yang memang masih harus diimpor (industri makanan) dan penerapan program ekstentifikasi melalui perluasan lahan hingga 15%.
Kendala yang ada terkait produksi adalah kecilnya lahan milik petani (±
0,25 ha) dan tersebar, sehingga mobilisasi saat panen dan pasca panen mengalami hambatan. Jagung mengandung aflatoksin yang bila panen dan tidak langsung dikeringkan (kadar air tertentu) maka akan mengalami kerusakan, selain itu berbahaya untuk ternak yang mengkonsumsi, dan ini mengurangi jumlah produksi.
Konsumsi
Konsumsi kebutuhan nasional dihitung berdasarkan neraca jagung nasional.
Konsumsi jagung meliputi benih, industri pakan, pakan mandiri, konsumsi langsung dan industri (makanan, non pangan non pakan). Proporsi penyerapan jagung nasional adalah untuk kebutuhan industri pakan dan pakan mandiri hingga mencapai 60%. Sedangkan konsumsi langsung pangan manusia sangat kecil sebesar 2%.
Berdasarkan proyeksi produksi dan konsumsi, sampai tahun 2034 diperkirakan jagung dalam keadaan surplus.
PPIPE 31 Gambar 2.11. Proyeksi Ketersediaan dan Konsumsi Jagung
2018-2034
201 8
201 9
202 0
202 1
202 2
202 3
202 4
202 5
202 6
202 7
202 8
202 9
203 0
203 1
203 2
203 3
203 4 Produksi 28 29 31 32 33 35 36 38 39 40 42 43 44 46 47 48 50 Konsumsi 21 23 24 26 27 29 30 32 33 35 36 38 39 41 42 44 45
- 10.000 20.000 30.000 40.000 50.000 60.000
Ribu ton
Proyeksi Produksi dan Konsumsi Jagung 2018-
2034
32
2.3. KOMODITAS UBI KAYU
PPIPE 33 2.3.1. Produksi dan Konsumsi Ubi Kayu
Produksi
Produksi ubi kayu nasional cenderung menurun (Gambar 2.12). Jika tahun 2012 produksi ubi kayu nasional sebesar 24.178 ton, berkurang tiap tahun hingga 2016 menjadi 20.745 ton, atau mengalami penurunan rata-rata 2,38% pertahun. Penurunan ini dipicu oleh harga komoditas di tingkat petani yang sangat rendah yang menyebabkan petani sulit bertahan dalam usaha pertanian ini. Permasalahan ini terlihat dari luas panen ubi kayu yang turun rata-rata 5,37% per tahun. Penurunan luas panen ubi kayu juga disebabkan banyaknya pengalihan fungsi lahan, semula lahan tanaman ubi kayu berubah fungsi menjadi lahan perumahan dan kawasan industri.
Walaupun luas panen cenderung berkurang namun produktivitas ubi kayu meningkat dengan rata-rata 228,16 ku/ha. Hal ini dikarenakan inovasi teknologi budidaya yang intens dilakukan, baik pemerintah maupun swasta.
Salah satu aspek teknologi budidaya yang berpengaruh adalah digunakannya varietas ubi kayu yang lebih unggul.
Sumber : Kementan 2016 (diolah)
Gambar 2.12. Produksi Ubi Kayu 2009-2016
19,00 20,00 21,00 22,00 23,00 24,00 25,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Produksi (juta ton)
34 Konsumsi
Konsumsi ubi kayu terbagi atas industri pangan, industri non pangan dan rumah tangga. Konsumsi ubi kayu meningkat pada tahun 2009-2011, kemudian fluktuatif hingga tahun 2016. Konsumen terbesar ubi kayu berasal dari industri pangan, kemudian industri non pangan, dan rumah tangga. Pada tahun 2013-2017 terjadi penurunan konsumsi ubi kayu karena produksi ubi kayu petani turun. Hal ini disebabkan turunnya harga jual di tingkat petani, bahkan pada tingkat harga yang sangat rendah.
Pada awal tahun 2018 harga ubi kayu naik kembali, bahkan pada pertengahan tahun 2018 harganya sangat tinggi (dibandingkan harga normal), tetapi luasan lahan ubi kayu masih kecil sehingga jumlah produksi dan komsumsi ubi kayu masih rendah. Harga jual ubi kayu yang tinggi dalam waktu lama akan mendorong petani (yang sebelumnya mengalihkan lahannya) menanam kembali ubi kayu, sehingga produksi ubi kayu meningkat dan konsumsi juga meningkat.
Sumber: Kementan 2016 (diolah)
Gambar 2.13. Konsumsi Ubi Kayu Nasional 2009-2017
6,58
10,57 16,30
15,16
12,45
13,33
12,68
12,71
12,74
- 2,00 4,00 6,00 8,00 10,00 12,00 14,00 16,00 18,00
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017
Konsumsi (juta ton)
Tahun
PPIPE 35 2.3.2. Ekspor dan Impor Ubi Kayu
Indonesia mengekspor ubi kayu dalam bentuk bahan mentah maupun olahan. Volume ekspor ubi kayu Indonesia sangat berfluktuasi dari tahun ke tahun. Volume ekspor ubi kayu sebagai bahan mentah lebih besar daripada bentuk olahan. Hal ini mengindikasikan masih rendahnya nilai tambah ekspor ubi kayu Indonesia.
Sampai tahun 2011 ekspor ubi kayu nasional tergolong tinggi (Gambar 2.14), tahun 2012 menurun, kemudian naik pada tahun berikutnya dan setelah itu mengalami penurunan tajam hingga 2016. Sebelum tahun 2012 produksi ubi kayu Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara Asia Tenggara lainnya, namun setelah tahun 2012 produksi ubi kayu Indonesia lebih rendah dari Vietnam dan Thailand. Penurunan produksi ubi kayu setelah tahun 2012 menyebabkan volume ekspor juga menurun, bahkan volume ekspor lebih rendah daripada volume impornya. Adapun negara-negara yang menjadi tujuan ekspor ubi kayu antara lain China, Korea Selatan dan Amerika Serikat.
Sumber : Kementan 2016 (diolah)
Gambar 2.14. Ekspor Ubi Kayu Indonesia 2009-2016
206
169
195
5
190
115
17
9 32
45
8 16
61
36
9 3
0 50 100 150 200 250
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Ekspor, volume (ton) Ekspor, nilai (000 US$) Tahun
36 Selain mengekspor ubi kayu, Indonesia juga menjadi negara pengimpor ubi kayu terutama pada saat produksi dalam negeri menurun. Berdasarkan data Kementerian Pertanian, volume impor Indonesia sejak tahun 2006 lebih besar dibanding volume ekspor, dan kondisi ini terus berlangsung hingga tahun 2016. Perkembangan volume impor ubi kayu Indonesia sejak tahun 2000-2017 mengalami peningkatan sebesar 58,78% per tahun, atau rata-rata 347,16 ribu ton per tahun. Pertumbuhan impor ubi kayu nasional pada lima tahun terakhir sampai tahun 2017 cenderung naik (gambar 2.15). Impor ubi kayu Indonesia umumnya dalam bentuk pati ubi kayu (cassava flour), ubi kayu kepingan kering (cassava shredded) dan ubi kayu pelet (cassava pellets) terutama berasal dari Thailand, Vietnam dan Myanmar.
Volume impor ubi kayu Indonesia masih kecil jika dibandingkan dengan beberapa negera importir utama ubi kayu. Kontribusi volume impor ubi kayu Indonesia hanya 0,01% dari total volume impor dunia, sementara China menguasai volume impor 85,25%.
Sumber : Kementan 2016 (diolah)
Gambar 2.15. Impor Ubi Kayu Indonesia 2009-2016
169
295
435
856
95
365
600
384
50
121
211
385
107
160
257
141
0 100 200 300 400 500 600 700 800 900
2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Impor, volume (ton) Impor, nilai (000 US$) Tahun
PPIPE 37 2.3.3. Distribusi Komoditas Ubi Kayu
Lahan ubi kayu di Indonesia tersebar di seluruh provinsi. Empat diantaranya yang terluas adalah Lampung seluas 295.548 ha, Jawa Timur 157.899 ha, Jawa Tengah 155.660 ha dan Jawa Barat 90.941 ha. Provinsi lainnya dengan nilai luasan lebih rendah yakni Nusa Tenggara Timur 72.721 ha, DI Yogyakarta 57.103 ha, Sumatra Utara 42,524 ha dan Sulawesi Selatan 25.660 ha. Di luar provinsi tersebut terdapat sebaran tanaman ubi kayu dengan nilai yang lebih kecil dari provinsi-provinsi di atas. Sebaran lahan ubi kayu di provinsi tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 2.16.
Jika dilihat dari volume produksinya, empat provinsi dengan volume produksi terbesar adalah Lampung 7.741.948 ton, Jawa Tengah 3.806.703 ton, Jawa Timur 3.585.974 ton dan Jawa Barat 2.100.664 ton. Provinsi lain adalah Sumatra Utara 1.392.546 ton, DI Yogyakarta 910.486 ton, Nusa Tenggara Timur 741.681 ton dan Sulawesi Selatan 534.474 ton.
Gambar 2.16. Sebaran Lahan Ubi Kayu Tahun 2016
NTT 72.721 ha Lampung
295.548 ha
Jawa Tengah 155.660 ha
Jawa Timur 157.899 ha
Sulawesi Selatan 25.660 ha
DI Yogyakarta 57.103 ha
Sumatra Utara 42.524 ha
Jawa Barat 90.941 ha