commit to user
5BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPILEPSI 1. Definisi
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa pada
kutukan dari surga. Definisi fisiologis epilepsi masih belum berubah dari definisi yang diberikan oleh Hughlings Jackson pada abad ke-
substansia grisea otak yang terjadi sewaktu-waktu, mendadak, dan sangat cepat (Margiorkinis 2011; Ginsber R, 2005).
Definisi epilepsi menurut ILAE (International League Against Epilepsy) adalah gangguan kesadaran, perilaku, emosi, fungsi motorik, persepsi atau sensasi yang intermiten, paroksismal, stereotipe akibat pelepasan listrik neuronal yang eksesif. Secara klinis epilepsi merupakan dua kali atau lebih episode kejang tanpa provokasi dengan jarak antar kejang lebih dari 24 jam (Erny, 2009). Sedangkan sindrom epilepsi adalah epilepsi yang ditandai adanya sekumpulan gejala dan tanda klinis yang terjadi bersama- sama, meliputi jenis serangan, etiologi, anatomi, faktor pencetus,
commit to user
umur onset, berat penyakit, dan kronisitas penyakit (Suwarba, 2011).
2. Epidemiologi
Pendataan secara global ditemukan 3,5 juta kasus baru per tahun di antaranya 40% anak-anak, 40% dewasa dan 20% ditemukan pada usia lanjut (Purba, 2008). Insidensi epilepsi anak-anak keseluruhan dari lahir sampai usia 16 tahun sekitar 40 kasus dalam 100.000 anak-anak per tahun. Insidensi pada usia 1 tahun adalah 120 dalam 100.000 anak-anak. Antara usia 1-10 tahun insiden antara 40-50 kasus dalam 100.000 anak-anak, kemudian menurun pada usia remaja yaitu sekitar 20 dalam 100.000 anak-anak (Camfield, 2006).
Di Indonesia terdapat paling sedikit 700.000-1.400.000 kasus epilepsi dengan pertambahan sebesar 70.000 kasus baru setiap tahun dan diperkirakan 40%-50% terjadi pada anak-anak (Suwarba, 2011).
3. Etiologi
Secara etiopatologik, bangkitan epilepsi bisa diakibatkan oleh cedera kepala, tumor otak, infeksi otak, keracunan, atau juga pertumbuhan jarigan saraf yang tidak normal (neurodevelopmental problems), pengaruh genetik yang mengakibatkan mutasi. Mutasi genetik maupun kerusakan sel secara fisik pada cedera ataupun tumor akan mengakibatkan perubahan dalam mekanisme regulasi fungsi dan struktur neuron yang mengarah pada gangguan
commit to user
pertumbuhan ataupun plastisitas di sinapsis. Lebih dari separuh penderita epilepsi mempunyai dasar gangguan pada masa bayi atau anak, seperti trauma lahir, asfiksia, gangguan biokimia darah, radang selaput dan jaringan otak (Purba, 2008).
Epilepsi adakalanya juga dapat dicetuskan oleh obat seperti petidin, asam nalidiksat, klorpromazin, imipramin dan MAO- blocker. Begitu pula akibat penyalahgunaan alkohol dan obat- obatan. Faktor provokasi lainnya adalah bila penggunaan obat antikonvulsi dan tranquilizer dihentikan secara tiba-tiba. Kadang- kadang serangan dapat dipicu oleh rangsangan-rangsangan sensoris khas seperti kilatan cahaya atau oleh layar televisi yang berkilat- kilat serta musik keras yang berdentum-dentum. Faktor-faktor lain yang dapat memicu serangan adalah alkalosis, hipoglikemia, hipokalsemia, haid dan kehamilan serta hormon kortison dan ACTH. Hanya sekitar 20% dari kasus epilepsi tidak diketahui penyebabnya, tetapi keturunan (faktor herediter) memegang peranan (Tjay, 2007).
4. Klasifikasi
Ada dua klasifikasi epilepsi yang direkomendasikan oleh ILAE yaitu pada tahun1981 dan tahun 1989. International League Against Epilepsy (ILAE) pada tahun 1981 menetapkan klasifikasi epilepsi berdasarkan jenis bangkitan (tipe serangan epilepsi):
commit to user
1. Serangan parsiala. Serangan parsial sederhana (kesadaran baik) - Dengan gejala motorik
- Dengan gejala sensorik - Dengan gejala otonom - Dengan gejala psikis
b. Serangan parsial kompleks (kesadaran terganggu) - Serangan parsial sederhana diikuti dengan gangguan
kesadaran
- Gangguan kesadaran saat awal serangan c. Serangan umum sederhana
- Parsial sederhana menjadi tonik-klonik - Parsial kompleks menjadi tonik-klonik
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik-klonik
2. Serangan umum a. Absens (Lena) b. Mioklonik c. Klonik d. Tonik e. Tonik-klonik f. Atonik
3. Serangan yang tidak terklasifikasi (Henry, 2012).
commit to user
Klasifikasi ILAE tahun 1981 di atas ini lebih mudah digunakan untuk para klinisi karena hanya ada dua kategori utama, yaitu:
- Serangan fokal yaitu bangkitan epileptik yang dimulai dari fokus yang terlokalisir di otak.
- Serangan umum yaitu bangkitan epileptik terjadi pada daerah yang lebih luas pada kedua belahan otak.
Klasifikasi sindroma epilepsi yang dikeluarkan ILAE tahun 1989 adalah:
1. Berkaitan dengan letak fokus a. Idiopatik
- Epilepsi rolandik benigna
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital b. Simptomatik
- Lobus temporalis - Lobus frontalis - Lobus parietalis - Lobus oksipitalis
c. Kriptogenik 2. Umum
a. Idiopatik
- Kejang neonatus familial benigna - Kejang neonatus benigna
commit to user
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi - Epilepsi absens pada anak
- Epilepsi absens pada remaja - Epilepsi mioklonik pada remaja
- Epilepsi dengan serangan tonik-klonik pada saat terjaga - Epilepsi tonik-klonik dengan serangan acak
b. Simptomatik
- Sindroma West (spasmus infantil)
- Sindroma Lennox Gastaut (Camfield, 2006).
Jenis epilepsi yang diderita anak harus diketahui dan diklasifikasi untuk memilih obat yang serasi, menentukan prognosis serta mencari jenis kelainan yang sering menyertai.
Gambaran klinis bangkitan epilepsi pada anak kadang-kadang tidak khas. Ini disebabkan karena perkembangan sinaps dan hubungan antar hemisfer otak yang belum sempurna. Serangan grandmal yang khas jarang ditemui pada kelompok usia 3 bulan - 4 tahun.
Jenis mioklonik masif (spasmus infantil) sering dijumpai pada kelompok usia ini. Spasmus infantil, disebut juga sindrom West, terdiri dari kejut mioklonik masif, disertai pola EEG khas disebut hipsaritmia, terdiri dari gelombang paku ombak multifokal difus dan asinkron (Brashers, 2008).
Grand mal (Perancis=penyakit besar) atau serangan tonik- Bercirikan kejang kaku bersamaan dengan
commit to user
kejutan-kejutan ritmis dari anggota badan dan hilangnya kesadaran untuk sementara. Pada umumnya diawali aura. Hilangnya tonus menyebabkan penderita terjatuh, kejang hebat dan otot-ototnya menjadi kaku. Fase tonis ini berlangsung kira-kira 1 menit untuk kemudian disusul oleh fase klonis dengan kejang-kejang dari kaki, tangan, rahang dan muka. Penderita kadang-kadang menggigit lidahnya sendiri dan juga dapat terjadi inkontinensia urin atau feses. Selain itu dapat timbul hentakan-hentakan klonis, yaitu gerakan ritmis kaki tangan secara tidak sadar, sering kali dengan jeritan, mulut berbusa, mata membelalak dan gejala lainnya.
Lamanya serangan berkisar antar 1 dan 2 menit yang disusul dengan keadaan pingsan selama beberapa menit dan kemudian sadar kembali dengan perasaan kacau serta depresi. Pada kelompok usia 3-10 tahun telah dapat dijumpai serangan grand mal yang khas (Tjay, 2007).
Petit mal (Perancis = penyakit kecil) atau abscence (Perancis = tak hadir). Bercirikan serangan yang hanya singkat sekali, hanya beberapa detik dengan penurunan kesadaran ringan tanpa kejang-kejang. Seperti grand mal, petit mal juga bersifat serangan luas di seluruh otak. Gejalanya berupa keadaan termangu- mangu (pikiran kosong; kehilangan kesadaran dan respon sesaat), muka pucat, pembicaraan terpotong-potong atau mendadak berhenti bergerak. Setelah serangan, anak kemudian melanjutkan
commit to user
aktivitasnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bila serangan singkat tersebut berlangsung berturut-turut dengan cepat, maka dapat timbul status epileptikus. Serangan petit mal pada anak-anak dapat berkembang menjadi grand mal pada usia pubertas (Tjay, 2007)
5. Patofisiologi
Pada hakekatnya tugas neuron ialah menyalurkan dan mengolah aktivitas listrik saraf. Otak ialah rangkaian berjuta-juta neuron yang berhubungan satu dengan yang lain melalui sinaps. Dalam sinaps terdapat zat yang dinamakan neurotransmiter.Dari sudut pandang biologi molekuler, bangkitan epilepsi disebabkan oleh ketidakseimbangan sekresi maupun fungsi neurotransmiter eksitatorik dan inhibitorik di otak. Terdapat dua kelompok neurotransmiter yaitu noradrenalin dan serotonin yang memperlancar transmisi rangsangan listrik di sinaps sel-sel saraf.
Selain itu juga terdapat zat-zat yang menghambat neurotransmisi yaitu GABA dan Glisin. Asam amino GABA memiliki efek dopamin (prolactin inhibiting factor) lemah, yang berdaya menghambat produksi prolaktin oleh hipofisis (Purba, 2008).
Keterlibatan reseptor NMDA (N-methyl-D-aspartate) subtipe dari reseptor glutamat (NMDAR) disebut-sebut sebagai patologi terjadinya kejang dan epilepsi. Secara farmakologik, inhibisi terhadap NMDAR ini merupakan prinsip kerja dari obat
commit to user
antiepilepsi. Beberapa penelitian neurogenetik membuktikan adanya beberapa faktor yang bertanggung jawab atas bangkitan epilepsi antara lain kelainan pada ligand-gate (sub unit dari reseptor nikotinik) begitu juga halnya dengan voltage-gate (kanal natrium dan kalium). Natrium, kalium dan kalsium merupakan ion- ion yang berperan dalam sistem komunikasi neuron lewat reseptor.
Masuk dan keluarnya ion-ion ini menghasilkan bangkitan listrik yang dibutuhkan dalam komunikasi sesama neuron. Jika terjadi kerusakan atau kelainan pada kanal ion-ion tersebut maka bangkitan listrik akan juga terganggu sebagaimana pada penderita epilepsi. Kanal ion ini berperan dalam kerja reseptor neurotransmiter tertentu (Smith, 1998).
Penelitian pada model percobaan dan analisis pencitraan pada pasien telah digunakan untuk menunjukkan bahwa episode berulang menghasilkan stres oksidatif, yang kebanyakan dikaitkan dengan fenomena eksitabilitas. Diketahui bahwa stimulasi glutamat yang berlebihan menyebabkan neurotoksisitas, suatu proses yang dianggap sebagai mekanisme prinsip kematian sel pada penyakit sistem saraf pusat, termasuk epilepsi (Lorigados, 2013).
commit to user
Reseptor glutamatGambar 2.1. Mekanisme eksitotoksisitas. Aktivasi reseptor N- methyl-D-aspartame (NMDAR) terus menerus karena konsentrasi glutamat (Glu) yang tinggi menyebabkan pemasukan kalsium ke sel secara masif, yang menghasilkan enzim litik seperti nitric oxide synthase (NOS). Kerusakan mitokondria, bersama dengan peningkatan konsentrasi asam arakidonat meningkatkan oksigen reaktif yang pada akhirya menyebabkan kematian sel karena kerusakan biomelekuler dan aktivasi program apoptotic death.
Defisit energi juga menyumbangkan proses degenerative (Lorigados, 2013).
commit to user
Gambar 2.2. Mekanisme eksitotoksisitas pada epilepsi (Lorigados, 2013)
Gambar 2.3. Penyebaran Kejang (Camfield, 2006)
commit to user
Potongan koronal otak yang menggambarkan tipe kejang dan rute potensial penyebaran kejang.
A. Area fokal hipereksibilitas (kuning) dan penyebaran ke neokorteks yang dekat (berwarna merah) melalui corpus callosum atau komisura yang lain ke hemisfer serebri kontralateral (panah hijau) atau melalui jalur subkortikal (talamus, batang otak). Pola EEG menunjukkan aktivitas elektrik di bawah nomer elektroda.
Aktivitas fokal epileptiform (paku) maksimal pada 3 dan juga terlihat pada 4.
B. Kejang umum primer mulai secara simultan di kedua hemisfer.
Pola karakteristik gelombang paku bilateral yang sinkron dihasilkan dari interaksi antara korteks dan talamus, yang cepat penyebarannya melalui corpus callosum memberikan kontribusi sinkronisasi bilateral yang cepat. Salah satu tipe neuron talamik (biru) adalah sel inhibitor GABA yang memiliki sifat berosilasi intrinsik. Ini dapat membangkitkan potensial aksi karena saluran kalsium tipe spesifik, yang menyebabkan sel ini memodulasi aktivitas eksitator kortikotalamik yang sedang berlangsung, menimbulkan kenaikan gelombang paku pada EEG.
commit to user
Gambar 2.4. Transmisi sinaptik normal (Camfield, 2006) Terminal presinaptik inhibitor dan eksitator ditunjukkan.
A.
neuron post sinaptik (potensial post sinaptik inhibitor).
B. Sinaps eksitator. Glutamat dilepaskan dari bagian terminal melintasi celah sinaptik dan berikatan dengan subtipe reseptor glutamat (NMDA atau non NMDA). Ikatan dengan reseptor non NMDA menyebabkan potensial post sinaptik eksitator yang cepat; ikatan dengan reseptor NMDA menghasilkan potensial post sinaptik yang lambat. Jika neuron post sinaptik cukup
commit to user
terdepolarisasi untuk mencapai ambang, potensial aksi akan terjadi.
Gambar 2.5. Potensial aksi kejang (Camfield, 2006) 6. Pemeriksaan Penunjang
Untuk mengetahui penyebab tersebut perlu dilakukan pemeriksaan yang terdiri atas anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan terdiri atas pemeriksaan darah, urin, cairan serebrospinalis, elektroensefalografi (EEG) dan pencitraan. Pemeriksaan penunjang dilakukan atas indikasi.
commit to user
Gambar 2.6. Pendekatan anak dengan kejang (Mikati, 2011)
Elektroensefalograf ialah alat pencatat aktivitas listrik otak dan hasil pencatatannya disebut elektroensefalogram. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa setiap kelainan yang menggangu fungsi otak dapat memberi kelainan pada EEG. Namun tidak selalu gangguan fungsi otak dapat tercermin dalam EEG. Rekaman EEG dapat normal pada yang
commit to user
nyata-nyata menderita kelainan dan demikian pula sebaliknya. Tak ada kelainan yang patognomonis untuk suatu penyakit. Diagnosis epilepsi harus ditegakkan berdasarkan gambaran klinik. Meskipun epilepsi adalah diagnosis klinis, elektroensefalografi (EEG) merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk konfirmasi diagnosis epilepsi, menentukan klasifikasi epilepsi, melihat fokus epileptogenik, evaluasi hasil terapi, dan menentukan prognosis. Pemeriksaan EEG juga sangat diperlukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya gangguan yang menyerupai epilepsi seperti sinkop, henti nafas sejenak (breath holding speell), masturbasi infantil, migrain dan sebagainya, yang sering membuat epilepsi salah diagnosis/overdiagnosis (Suwarba, 2011).
Gambar 2.7. Aktivitas EEG normal, dalam kelompok frekuensi (Bintoro, 2011)
Dari anak-anak yang mendapatkan terapi epilepsi, 20 % diantaranya tidak mengidap epilepsi murni. Sebagian orang tua
commit to user
membayangkan/mempersepsikan sebagai epilepsi dalam perkembangan anak, sebagian lagi menyampaikan riwayat yang tidak benar. Banyak anak mengalami serangan periodik yang aneh akibat berbagai kondisi lain.
Anamnesis yang cermat, yang dipastikan oleh lebih dari satu pemeriksa, dapat membimbing ke diagnosis yang akurat (Jallom, 2008).
7. Terapi
Obat anti epilepsi pertama adalah Bromide, yang digunakan pada akhir abad ke-19. Obat anti epilepsi sering dikategorikan sebagai obat yang tua (dikembangkan sebelum 1990an) dan golongan baru (dikenalkan sejak 1990). Yang termasuk dalam kategori obat lama adalah fenitoin, karbamazepin, asam valproat, fenobarbital dan benzodiazepin. Struktur kimia yang berbeda dari benzodiazepin, iminostilbene (carbamazepine), dan rantai-cabang asam karboksilat (asam valproat) diperkenalkan antara tahun 1965 dan 1990, diikuti pada 1990-an ditemukan phenyltriazine (lamotrigine), analog siklik dari GABA (gabapentin), substitusi sulfamat monosakarida (topiramate), turunan asam nipecotic (tiagabine), dan derivat pirolidin (levetiracetam) (Jallon, 2008; Neal, 2006).
commit to user
Gambar 2.8. Pengobatan epilepsi (Lewis, 2011)
Cara kerja antiepileptika belum semuanya jelas. Namun dari sejumlah obat terdapat indikasi mengenai mekanisme kerjanya, yaitu:
a. Memperkuat efek GABA: valproat dan vigabatrin bersifat menghambat perombakan GABA oleh transaminase, sehingga kadarnya di sinaps meningkat dan neurotransmisi lebih diperlambat. Topiramat bekerja menurut prinsip memperkuat GABA, sedangkan lamotrigin meningkatkan kadar GABA. Fenobarbital juga menstimulir pelepasannya.
b. Menghambat kerja aspartat dan glutamat. Kedua asam amino ini adalah neurotransmiter yang merangsang neuron dan menimbulkan serangan epilepsi. Pembebasannya ini dapat dihambat oleh lamotrigin, juga oleh valproat, karbamazepin dan fenitoin.
c. Memblokir saluran-saluran Na, K, dan Ca yang berperan penting pada timbul dan perbanyakan muatan listrik. Contohnya adalah
Kejang umum
Kejang mioklonik umum:
Tonik Klonik Tonik-klonik
Spasme infantil:
Atonik Mioklonik Absans umum
Kejang parsial
Asam valproat Lamotrigin Topiramat Zonisamid Levatirasetam
Etosuksimid Asam valproat Lamotrigin
ACTH Asam valproat Lamotrigin Topiramat
Karbamazepin Okskarbazepin Fenitoin Gabapentin Tiagabin Fenobarbital
commit to user
etosuksimida, valproat, karbamazepin, okskarbazepin, fenitoin, lamotrigin, pregabalin dan topiramat.
d. Meningkatkan ambang serangan dengan menstabilkan membran sel yaitu felbamat
e. Mencegah timbulnya pelepasan muatan listrik abnormal dalam susunan saraf pusat yaitu fenobarbital dan klonazepam.
f. Menghindari menjalarnya hiperaktivitas (muatan listrik) tersebut pada neuron otak kainnya, seperti klonazepam dan fenitoin (Tjay, 2007).
Berikut merupakan gambar cara kerja beberapa obat anti epilepsi:
commit to user
Gambar 2.9. Mekanisme obat anti konvulsan (Bialer, 2010).
B. INTELIGENSI
berarti menghubungkan atau menyatukan satu sama lain. Dalam bahasa Indonesia kata inteligensi sering diartikan sebagai kecerdasan.
Menurut C. E. Skinner, seseorang dikatakan cerdas apabila ia lebih praktis dalam menghadapi suatu masalah. Menurut Freeman, orang yang cerdas adalah orang yang lebih singkat waktunya dalam memecahkan masalah (Suarca, 2005; Hull, 2008). Konsep Binet mengenai inteligensi menekankan kemampuan menilai sebagai faktor yang sangat penting meskipun ia juga menyebut ingatan, nalar, kemampuan untuk membandingkan, kemampuan untuk memahami, penggunaan konsep-konsep bilangan, dan pengetahuan kontemporer (Semiun, 2006).
commit to user
Berikut tes inteligensi yang biasa dipergunakan pada anak-anak:
1. Tes Intelegensi Stanford-Binet:
Binet mengetahui bahwa pemikiran dan kemampuan untuk memecahkan masalah meningkat sesuai usianya. Hal ini mendorongnya untuk menetapkan apa yang dinamakan konsep usia mental. Misalnya, seorang anak melakukan apa yang dapat dilakukan oleh anak berusia 5 tahun, maka anak tersebut memiliki usia mental 5; dan seorang anak melakukan apa yang dapat dilakukan anak berusia 10 tahun, maka anak tersebut memiliki usia mental 10. Apabila seorang anak yang berusia 10 tahun hanya melakukan apa yang dilakukan anak 5 tahun, maka anak tersebut memerlukan pendidikan khusus (Semiun, 2006).
Tes ini merupakan tes yang tertua dan digunakan secara luas di hampir semua tempat. Tes ini digunakan mulai umur 2 tahun sampai dewasa. Walaupun sebagian besar terdiri dari unsur- unsur verbal, tes ini dapat dipercaya dan valid. Karena berdasarkan unsur-unsur verbal, maka tes ini tidak bermanfaat untuk anak dengan gangguan bahasa dan bicara, serta tidak dapat menjelaskan anak yang mengalami kesulitan belajar. Nilai yang didapat dari tes ini adalah nilai IQ dan umur mental. Pada tes ini juga terdapat beberapa skema yang secara mandiri digunakan untuk menganalisis kekuatan dan keterbatasan anak, tetapi karena
commit to user
distribusi berbagai jenis soal tidak merata, maka mengakibatkan pemeriksaan jawaban menjadi sulit (Soetjiningsih, 1995).
Perhitungan IQ dilakukan dengan menggunakan rumus:
IQ = (MA/CA) x 100 Keterangan: MA = Mental Age (usia mental)
CA = Chronological Age (usia kronologis)
100 = Angka konstan untuk menghindari bilangan desimal
Sedangkan menurut Wechsler, klasifikasi IQ adalah sebagai berikut (Herlina, 2007):
Klasifikasi Rentangan IQ % Populasi
Very superior 130 ke atas 2,2
Superior 120-129 6,7
Bright normal 110-119 16,1
Average 90-109 50
Dull normal 80-89 16,1
Borderline 70-79 6,7
Defective 69 ke bawah 2,2
Berdasarkan ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders, retardasi mental dibagi menjadi 4 golongan:
Mild retardation (retardasi mental ringan), IQ 50- 69.
Moderate retardation (retardasi mental sedang), IQ 35-49.
commit to user
Severe retardation (retardasi mental berat), IQ 20- 34.
Profound retardation (retardasi mental sangat berat), IQ <20 (Sularyo, 2000).
2. Skala Inteligensi Wechsler untuk anak prasekolah dan sekolah:
The Wechsler Intelligence Scale for Children (WPPSI), dipakai setelah David Wechsler menggunakan tes ini secara luas pada anak-anak yang lebih besar dan dewasa, kemudian mengembangkan untuk anak-anak prasekolah. (umur 4-6,5 tahun).
WPSSI mempunyai 11 sub-tes yang diganti untuk membuat tes ini menjadi lebih menarik bagi anak-anak prasekolah. 11 sub-tes dibagi menjadi skal performance
yang menggambarkan keseluruhan penilaian hasil tes. Walaupun memerlukan waktu yang cukup lama untuk melaksanakan tes ini, tes ini memberikan informasi diagnostik yang berguna untuk penilaian anak yang mengalami kesulitan belajar dan retardasi mental (Soetjiningsih, 1995).
Skor kecerdasan intelektual tidak akan menetap pada usia tertentu tetapi dapat berubah karena dipengaruhi oleh penyakit, genetik, gizi dan lingkungan. Anak yang mengalami anemia memiliki penurunan skor IQ sebesar 5-15 poin. Penelitian Mubarak dkk pada anak dengan anemia defisiensi besi (hemoglobin 6-9 gram/dl) menunjukkan bahwa kelompok tersebut memiliki
commit to user
perhatian dan IQ yang lebih rendah daripada anak sehat (Kusmiyati, 2013; Mubarak, 2010).
Anemia defisiensi besi yang terjadi pada dua tahun pertama kehidupan, dikaitkan dengan perkembangan psikomotor yang terlambat dan perubahan pada tingkah laku. Efek ini menetap setelah beberapa bulan terapi besi, meskipun koreksi lengkap.
Penelitian Costa Rican pada bayi dengan anemia defisiensi sedang menunjukkan hasil tes mental yang lebih rendah dari pada kontrol.
Penelitian Santiago juga mengevaluasi anemia kronik. Bayi yang mempunyai anemia yang memiliki durasi 3 bulan atau lebih mempunyai perkembangan mental yang lebih rendah daripada anemia dengan durasi yang lebih rendah. Efek anemia defisiensi besi kronik dan berat pada fungsi kognisi bersifat menetap (Walter, 2003; Carter, 2010).
C. EPILEPSI DAN KECERDASAN
Kognisi merupakan proses mental dalam hal mengamati, berfikir dan mengingat, yang digunakan untuk menunjukkan fungsi intelektual.
Kognisi dan inteligensi biasanya digunakan sebagai suatu sinonim, tetapi kognisi didefinisikan sebagai proses mental aspek kesadaran, pemahaman, memori, dan penilaian. Pada sisi lain, inteligensi adalah salah satu aspek kognisi dan dievaluasi dengan tes inteligensi yang distandarisasi (Desai, 2008; Al-Shazely 2014).
commit to user
Gower mendapatkan bahwa meski pasien-pasien epilepsi menunjukkan intelektual normal, beberapa mempunyai abnormalitas interiktal. Gower menilai penyebab perubahan ini adalah multifaktorial tetapi dia mengajukan hipotesis bahwa epilepsi adalah penyebab paling penting. Lennox mengembangkan karya Gower, mengidentifikasi 5 potensial faktor pada penurunan kognisi yang berkaitan dengan epilepsi yaitu herediter, cedera otak sebelum onset kejang, epilepsi sendiri, obat-obat anti epilepsi dan halangan psikologi (Desai, 2008).
Pandangan Gower dan Lennox tetap valid. Penelitian deteriorasi mental pada epilepsi memfokuskan pada observasi dan mekanisme yang disarankan oleh Gower dan Lennox. Penelitian tentang perubahan kognisi pada pasien epilepsi dari waktu ke waktu ada yang membuktikan adanya deteriorasi mental atau menyangkalnya.
Kebanyakan penelitian longitudinal telah membuktikan bahwa penurunan intelektual benar-benar progresif. Akan tetapi, beberapa penelitian menunjukkan tidak ada deteriorasi atau bahkan perbaikan, mungkin berkaitan dengan terapi obat anti epilepsi (Desai, 2008).
1. Onset kejang pada awal kehidupan
Mungkin periode paling sensitif yang mempengaruhi fungsi kognisi adalah selama perkembangan otak. Terdapat bukti yang berhubungan langsung bahwa kejang sendiri mempengaruhi secara langsung dalam kontribusi terhadap gangguan kognisi pada epilepsi.
commit to user
Data dari model penelitian epilepsi menunjukkan bahwa keseimbangan antara jaringan eksitasi dan inhibisi terganggu, sehingga komposisi sinaps eksitator meningkat, baik secara langsung ataupun tidak langsung (Jensen, 2011).
Epileptogenesis adalah proses yang berjalan dari beberapa bulan sampai tahun pada manusia, dan dari beberapa hari sampai minggu pada tikus. Setelah ditimbulkan oleh kejadian seperti kejang demam yang lama atau trauma kepala, ada proses yang terjadi sangat cepat termasuk aktivasi saluran ion. Selanjutnya dalam periode hari sampai minggu terjadi kematian neuron dan inflamasi. Neurogenesis, reorganisasi, dan gliosis terjadi dalam minggu, bulan, dan tahun.
Proses ini mengarah ke perkembangan kejang spontan yang pertama.
Perubahan yang berkaitan dengan epileptogenesis dan kejang terjadi secara simultan, dan mengganggu aktivitas normal pada sinaps, dendrit dan akson, pematangan reseptor dan channel ion (Kayal, 2011).
Pada hewan coba, kejang pada awal kehidupan yang ditimbulkan dengan beberapa cara, di antaranya dengan pemberian kemokonvulsan, toksin tetanus, corticotropin releasing hormone (CRH). Induksi kejang ini dapat menyebabkan disfungsi kognitif pada hewan coba. Sampai sekarang, tidak ada biomarker spesifik yang tersedia yang dapat memprediksi fungsi kognisi setelah kejang pada awal kehidupan (Kayal, 2011).
commit to user
Ada banyak efek kejang dan epileptogenesis pada otak yang sedang berkembang pada plastisitas sinaps. Ini termasuk sejumlah perubahan seluler dan molekuler seperti neurogenesis, fungsi sel place yang menurun, perubahan molekuler yang menyebabkan perubahan neurotransmisi inhibitor dan eksitator, dan perubahan jalur neuromodulasi dan regulasi. Neurogenesis sel dentata sangat penting untuk pembelajaran. Sedangkan sel place merupakan kategori neuron piramidal, yang penting pada memori spasial (Kayal, 2011).
Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kejang pada awal kehidupan dapat merubah fungsi sistem neurotransmiter dan neuron.
GABA adalah neurotransmiter inhibitor utama pada otak dan reseptor GABAA memediasi inhibisi sinaps paling cepat. Pada neuron imatur, aktivasi resptor GABAA menyebabkan depolarisasi membran dan bersifat eksitator, tidak seperti pada neuron yang matur. Depolarisasi GABA penting untuk proliferasi neuron, migrasi dan sinaptogenesis.
Perubahan pada neurotransmisi eksitator mungkin juga mempengaruhi pembelajaran. Glutamat adalah neurotransmiter eksitator primer pada otak dan aktivitasnya dimediasi sejumlah subtipe reseptor termasuk NMDA dan non NMDA (AMPA dan kainat), dimana pada tikus kekurangan reseptor subtipe AMPA atau NMDA menyebabkan gangguan dalam belajar (Kayal, 2011).
commit to user
Gambar 2.10. Sirkuit talamokortikal pada epilepsi umum
Perubahan jalur neuromodulator juga terjadi pada kejang pada awal kehidupan. Respon cAMP response element binding protein (CREB) adalah mediator kunci perubahan ekspresi gen yang mendasari plastisitas sistem saraf. Fosforilasi CREB dan pembelajaran menurun setelah kejang demam yang berulang. Corticotropin releasing hormone (CRH) adalah peptida neuromodulator yang dilepaskan dari interneuron hipokampus sebagai respon terhadap stres.
CRH yang berlebihan dapat menyebabkan pengurangan panjang dendrit dan percabangannya (Kayal, 2011).
commit to user
Perubahan yang berkaitan dengan epileptogenesis terjadi secara simultan dengan proses perkembangan di otak (Kayal, 2011).
Gambar 2.11. Proses perkembangan saraf pada manusia (Ikonomidou, 2009).
Penelitian pada hewan coba dan juga penelitian klinis menunjukkan bahwa otak yang imatur lebih mudah terkena kejang daripada otak orang dewasa. Bangkitan kejang, suatu proses dimana stimulasi elektrik berulang yang awalnya hanya pelepasan elektrik singkat tapi menyebabkan kejang yang intens dan lama secara progresif, terjadi pada semua usia. Bangkitan kejang pada hewan coba yang lebih muda lebih cepat terjadi dari yang matur. Selain itu, periode pendek refrakter post iktal pada hewan yang lebih muda menyebabkan progresivitas yang lebih cepat dan menghasilkan kejang umum yang cepat. Tikus yang imatur lebih sering berkembang menjadi kejang dengan hipoksia daripada tikus yang matur (Holmes, 2001).
Meskipun ambang kejang lebih rendah pada otak yang lebih muda, otak yang sedang berkembang tidak mudah mengalami kehilangan sel daripada neuron dewasa. Contoh, neuron hipokampus
commit to user
yang imatur akan tetap berespon terhadap stimuli sinaps pada kondisi anoksik dalam waktu yang lebih lama daripada orang dewasa, demikian juga episode anoksik yang lebih lama diperlukan untuk merusak sirkuit secara ireversibel pada hewan coba yang muda.
Hewan coba yang muda kurang rentan kehilangan sel setelah kejang yang lama daripada hewan yang matur (Holmes, 2001).
Otak yang imatur lebih resisten terhadap toksisitas glutamat daripada otak yang matur. Marks et al. mendapatkan bahwa derajat masuknya Ca2+ ke hipokampus sub CA1 dan kerusakan berikutnya berkaitan secara langsung dengan usia. Pada neuron P1-3, glutamat hanya sedikit meningkatkan Ca2+, sedangkan pada neuron P21-25, glutamat menghasilkan peningkatan dalam Ca2+, dan menyebabkan pembengkakan sel yang berat dan penarikan dendrit ke badan neuron.
Resistensi relatif ini disebabkan oleh densitas sinaps yang lebih kecil, konsumsi energi yang lebih rendah, dan pada umumnya, imaturitas kaskade biokemikal yang mengarah ke kematian sel (Holmes, 2001).
Selain resistensi relatif neuron imatur terhadap epilepsi menstimulasi kerusakan otak, kejang pada otak yang sedang berkembang menyebabkan perubahan ireversibel otak. Bangkitan selama minggu pertama kehidupan menyebabkan peningkatan kerentanan kejang (Holmes, 2001).
Kejang mengganggu fenomena perkembangan yang tergantung pada aktivitas, termasuk pembelahan dan migrasi sel, ekspresi
commit to user
reseptor, formasi, dan stabilisasi sinaps. Kejang dapat memodifikasi, menurunkan atau mempercepat proses-proses yang terjadi selama perkembangan. Migrasi neuron dan pembentukan sinaps dirusak oleh kejang. Aktivasi reseptor NMDA berulang mempercepat migrasi neuron dan menyebabkan pembentukan hubungan yang menyimpang dari normal (Holmes, 2001).
2. Frekuensi kejang
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa frekuensi kejang mempunyai korelasi negatif dengan kognisi. Akan tetapi penelitian lain tidak membuktikan hal tersebut. Efek jangka panjang kejang berulang pada memori spasial dan neuron hipokampus didapatkan pada tikus. Kejang berulang menginduksi abnormalitas struktural dan fungsional yang bersifat progresif di hipokampus, termasuk ganggguan memori spasial yang diikuti dengan kehilangan neuron.
Kehilangan neuron dideteksi pada hipokampus dan dikaitkan dengan disfungsi memori yang progresif. Hasil ini mendukung pandangan bahwa sklerosis hipokampus dan disfungsi memori dinduksi oleh kejang berulang, dan kejang yang terkontrol dapat mencegah konsekuensi jangka panjang pada fungsi-fungsi yang terdapat pada hipokampus (Desai, 2008).
commit to user
3. Pengaruh obat anti epilepsiObat antiepilepsi dapat mempengaruhi fungsi kognisi dengan menekan eksitabilitas neuron atau meningkatkan neurotransmisi inhibisi. Efek kognitif obat anti epilepsi terutama pada kelemahan perhatian, kewaspadaan, dan kecepatan psikomotor, tapi efek sekunder dapat muncul pada fungsi kognitif yang lain. Meskipun penggunaan jangka panjang obat anti epilepsi dapat menyebabkan disfungsi kognitif nyata pada pasien epilepsi, efek kognisi periode pendek tidak meyakinkan karena masalah metodologi. Efek samping kognitif pada antiepilepsi dapat dicegah dengan titrasi yang pelan dan dosis efektif yang paling rendah dan menghindari politerapi (Park, 2008). Pengaruh kognisi obat anti epilepsi dapat berlangsung setelah pemberian 3-4 minggu (Herman 2010).
Pengaruh antiepilepsi terhadap kognisi adalah tergantung dosis, yang dapat diperburuk dengan politerapi. Efek utama antiepilepsi termasuk perhatian, kecepatan psikomotor, dan keterlibatan fungsi kognisi yang lain (misal memori). Besarnya disfungsi kognisi yang berkaitan dengan anti epilepsi umumnya sedang pada monoterapi dan ketika anti epilepsi ada dalam konsentrasi terapeutik. Penelitian VA Cooperative mendapatkan tidak ada perbedaan kognisi antara karbamazepin dan asam valproat. Penelitian lain membandingkan antara karbamazepin dengan fenitoin pada pasien epilepsi
commit to user
mendapatkan efek kognisi sedang pada kedua obat dan hanya sedikit perbedaan (Park, 2008).
Kebanyakan anti epilepsi memiliki efek potensial merugikan terhadap fungsi kognisi, meskipun beberapa obat mungkin meningkatkan kognisi. Pengaruh yang bermanfaat ini oleh karena kejang yang terkontrol, atau mungkin dikaitkan dengan efek positif pada mood dan profil psikiatri. Beberapa anti epilepsi meningkatkan fungsi kognisi dengan meningkatkan kewaspadaan atau kapasitas kognisi. Penghentian dari obat fenobarbital dapat memperbaiki IQ total pada anak (You, 2012).
Oleh karena efek kognisi obat anti epilepsi dapat dirubah dengan menghentikan obat, penurunan dosis, atau mengganti ke pengobatan lain, sangat penting bagi dokter untuk mengidentifikasi defisit kognisi yang ditimbulkan oleh anti epilepsi. Identifikasi dan meminimalkan efek kognisi dari antiepilepsi sangat penting pada anak karena sistem saraf yang sedang berkembang membuat mereka lebih rentan terkena pengaruh jangka panjang obat anti epilepsi (You, 2012).
Obat anti epilepsi yang digunakan untuk mengobati kejang pada anak-anak, mempunyai target pada saluran ion, neurotransmiter, dan sistem second messenger di otak. Target yang sama mengatur proses penting otak baik penyebaran kejang dan untuk perkembangan otak, pembelajaran, memori, dan tingkah laku. Obat anti epilepsi
commit to user
berinteraksi dengan saluran ion, enzim-enzim metabolik, reseptor neurotransmiter dan transporter pada otak, memodifikasi neuron, menghambat penyebaran epilepsi, dan mengurangi sinkronisasi (Ikonomidou, 2009).
Efek samping fenobarbital pada perkembangan otak telah banyak diteliti. Paparan perinatal terhadap fenobarbital (15-60 mg/kg) dapat mengurangi berat otak, menyebabkan pengurangan sel Purkinye dan sel granul di serebelum, juga sel piramidal dan sel granul di hipokampus. Fenobarbital juga mengganggu neurotransmiter kolinergik di hipokampus. Pemberian fenobarbital (20-70 mg/kg) terhadap tikus menyebabkan penurunan yang signifikan pada berat otak, DNA, RNA, konsentrasi protein dan kolesterol dan penurunan jumlah neuron. Pemberian fenitoin pada perinatal (10-35 mg/kg) menyebabkan pengurangan berat otak dan gangguan tingkah laku (pada dosis teratogenik), termasuk gangguan spasial dan hiperaktivitas (Ikonomidou, 2009).
commit to user
D. KERANGKA PIKIR: Variabel penelitian
: Variabel perancu
: Ruang lingkup penelitian
Onset di awal kehidupan Frekuensi kejang yang
sering/berulang
Anemia
Gangguan kognisi sebelum onset kejang Epilepsi
Pengobatan epilepsi
- Perubahan neurogenesis - Fungsi sel place menurun
- Depolarisasi GABA - Fosforilasi cAMP response elemen binding protein
- Gangguan perhatian - Gangguan psikomotor - Gangguan memori
Politerapi
Memperberat efek samping - Gangguan pada sinaps,
dendrit dan akson - Gangguan pematangan reseptor dan channel ion
Penurunan tingkat inteligensi
- Menekan eksitabilitas neuron
- Meningkatkan neurotransmisi inhibisi
Penyebab yang mendasari kejang Abnormalitas struktural
dan fungsional progresif di hipokampus
Kehilangan neuron di hipokampus
Gangguan memori
commit to user
E. HIPOTESISUsia saat onset kejang, frekuensi kejang, dan politerapi mempengaruhi tingkat intelegensi penderita epilepsi anak.