• Tidak ada hasil yang ditemukan

LAPORAN AKHIR RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD (RKDU)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "LAPORAN AKHIR RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD (RKDU)"

Copied!
76
0
0

Teks penuh

(1)

LAPORAN AKHIR

RISET KOMPETENSI DOSEN UNPAD (RKDU)

MODEL AGRIBISNIS UBI JALAR UNGGULAN UNPAD SEBAGAI SUMBER DAYA HAYATI BERORIENTASI INDUSTRI DALAM

UPAYA MENINGKATKAN KESEJAHTERAAN PETANINYA Dibiayai oleh:

Dana Hibah Internal Unpad

Skema Riset Kompetensi Dosen Unpad (RKDU) Sesuai dengan Kontrak Penelitian

Nomor: 002/UN6.E/PL/2018, Tanggal 22 Mei 2018

Tahun Ke 1 (Satu) Dari Rencana 3 (Tiga) Tahun

TIM PENGUSUL

Ketua:

Dr. Hepi Hapsari, Ir. MS. NIDN: 0010046307

Anggota:

Dr. Elly Rasmikayati, Dra., M.Sc. NIDN: 0002106407

Dr.sc.agr., Ir. Agung Karuniawan, M.Sc.agr. NIDN: 0001116602

UNIVERSITAS PADJADJARAN FAKULTAS PERTANIAN

DESEMBER 2018

Bidang Riset : Pangan

(2)
(3)

IDENTITAS DAN URAIAN UMUM RKDU

1. Judul Riset :

Model Agribisnis Ubi Jalar Unggulan UNPAD sebagai Sumber Daya Hayati Berorientasi Industri dalam Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Petaninya

2. Judul PPM :

Upaya Pemberdayaan Petani Ubi Kayu melalui Pengembangan Model Agribisnis Ubi Jalar Berbasis Industri

3. Tim Periset/Pelaksana :

No Nama Jabatan Bidang

Keahlian Fakultas

Alokasi Waktu (jam/minggu) 1. Dr. Hepi Hapsari, Ir.

MS. Anggota Penyuluh an Pertanian Pertanian 12 2. Dr. Elly Rasmikayati, dra., M.Sc. Ketua Sosial Ekonomi Pertanian Manajemen Sumber Daya Hayati 12

3. Dr.sc.agr., Ir. Agung Karuniawan, M.Sc.agr. Anggota Agro-teknologi Manajemen Sumber Daya Hayati 10 4. Bobby Rachmat S., S.Si., M.EP. Asisten Peneliti Agri-bisnis Pertanian 10

4. Objek Riset (jenis material yang diteliti dan segi riset):

Agribisnis ubi jalar unggulan UNPAD berorientasi Industri, dan kesejahteraan petaninya

5. Masa Pelaksanaan

Mulai : bulan Mei tahun 2018 Berakhir : bulan Desember tahun 2020 6. Usulan Biaya

Anggaran Kegiatan Riset : Rp 150.000.000,00 Anggaran Kegiatan PPM : Rp. 20.000.000,00

(4)

7. Pusat Riset/Pusat Studi/Pusat Unggulan : Pusat Studi Teknologi dan Inovasi Lingkungan

8. Instansi yang Terlibat (jika ada, dan uraikan apa kontribusinya)

9. Temuan yang Ditargetkan (penjelasan gejala atau kaidah, metode, teori, produk, atau rekayasa)

Menguji gejala dan variasi atau penyimpangan antara yang terjadi di lapangan dan teori secara spesifik lokasi maupun makro sehingga dapat ditemukan saran kebijakan yang paling tepat sebagai model agribisnis ubi jalar unggulan unpad sebagai sumber daya hayati berorientasi industri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petaninya

10.Kontribusi mendasar pada suatu bidang ilmu (uraikan tidak lebih dari 50 kata, tekankan pada gagasan fundamental dan orisinal yang akan mendukung pengembangan iptek-sosbud)

Penelitian ini akan berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya agribisnis ubi jalar unggulan unpad dari hilu hingga ke hilir, serta dapat dijadikan acuan/dasar dalam membuat kebijakan bidang agribisnis, sumber daya hayati dan bidang social khususnya dalam rangka peningkatan produksi ubi jalar berorientasi industri dan peningkatan kesejahteraan petani ubi jalar unggulan UNPAD.

11. Rencana Luaran Wajib: Jurnal Internasional Bereputasi (Q1-Q4)(yang menjadi sasaran (tuliskan nama terbitan berkala terakreditasi)

International Journal Ijaber 12. Rencana Luaran Tambahan:

a. Prosiding Internasional Terindeks (sebutkan nama seminar dan tempat) Seminar Nasional di PT Ternama

b. Hak Kekayaan Intelektual (sebutkan bentuk dan judul karya yang akan di HKI-kan) Tidak Ada

13. Keterlibatan Mahasiswa (sebutkan S1, S2dan/atau S3 dan sebutkan berapa orang) Mahasiswa S1 3 Orang

14. Tingkat Kesiapterapan Teknologi (isi dengan skala 1-9 mengacu pada LAMPIRAN D)

(5)

RINGKASAN

Agribisnis merupakan pilihan pemerintah untuk dijadikan instrument untuk mensejahterakan petani. Sebagai seumbi fakta bahwa agribisnis merupakan suatu sistem yang sangat kompleks yang menyangkut berbagai aspek dan saling terkait satu sama lain. Ubi jalar merupakan salah satu sumberdaya hayati unggulan yang berdaya saing industri karena permintaan untuk ekspor yang tinggi. Unpad telah menciptakan beberapa varietas ubi jalar yang memiliki daya saing industri yang baik dan sudah dikembangkan dalam beberapa tahun terakhir ini. Namun demikian, kajian agribisnis ubi jalar dari sudut pandang social ekonomi di tingkat petaninya belum banyak diteliti. Untuk tahun pertama, penelitian ini bertujuan untuk: 1) Memahami karakteristik usahatani ubi jalar; 2) Menganalisis karakteristik individu petani ubi jalar; dan 3) Memahami dan menganalisis sistem agribisnis ubi jalar dari subsistem hulu hingga hilir. Penelitian ini berlokasi di Kec. Arjasari, Kab. Bandung. Metode penelitian menggunakan mix method yang meliputi metode penelitian kuantitatif dan kualitatif. Alat análisis yang digunakan adalah descriptive statistics analysis, Focus Discussion Group (FGD) dan survey dengan menggunakan teknik Simple Random Sampling. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi dasar untuk memperkuat petani dalam memutuskan untuk melakukan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad agar mengutamakan efisiensi serta sebagai dasar pembuatan kebijakan bagi pemerintah untuk menguatkan kelembagaan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad yang berkelanjutan (sustainable), sehingga pada akhirnya diharapkan terjadi peningkatan kesejahteraan bagi para petani secara signifikan.

Key words: Ubi jalar unggulan Unpad, karakteristik usahatani ubi jalar, karakteristik individu petani ubi jalar, sistem agribisnis usahatani ubi jalar.

(6)

DAFTAR ISI Hal HALAMAN SAMPUL ……... i HALAMAN PENGESAHAN ... ii RINGKASAN ... iii DAFTAR ISI ... v BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1. Sistem Agribisnis ………..……….. 4

2.2. Persepsi dan Perilaku Usahatani ….………..……….. 6

2.3. Efisiensi Usahatani …….………..……….. 9

2.4. Kelembagaan Terkait Keberlanjutan Usahatani ……….. 12

BAB 3 TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ... 1

3.1. Tujuan Penelitian …... 3

3.2. Manfaat Penelitian …... 3

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 13

4.1. Desain Penelitian ... 13

4.2. Metode Analisis Data ... 16

4.3. Luaran Riset …………... 20

BAB 5 HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI... 21

4.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian …... 21

4.2. Keragaan Usahatani Ubi Jalar ………... 30

4.3. Karakteristik Individu Petani Ubi Jalar ………... 40

4.4. Sistem Agribisnis Ubi Jalar ………... 54

4.5. Luaran yang dicapai ………... 62

BAB 6 RENCANA TAHAP BERIKUTNYA …... 66

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ………... 68

6.1. Kesimpulan ………... 68

6.2. Saran …………...………... 68

(7)

BAB I

PENDAHULUAN

Agribisnis merupakan pilihan pemerintah untuk dijadikan instrument untuk mensejahterakan petani. Sebagai seumbi fakta bahwa agribisnis merupakan suatu sistem yang sangat kompleks yang menyangkut berbagai aspek dan saling terkait satu sama lain.. Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam.) merupakan salah satu sumberdaya nabati potensial dengan kandungan karbohidrat tinggi yang dapat mendukung terwujudnya ketahanan pangan nasional. Selain itu, ubi jalar juga mengandung mineral dan vitamin ubi jalar yang tinggi (Ishida et al., 2000; Manrique and Roca, 2007; Burri, 2011). Ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai alternatif bahan pangan maupun sebagai bahan baku industri seperti a) Daun untuk sayuran dan pakan ternak, b) Batang untuk bahan tanam dan pakan ternak, c) Kulit ubi untuk pakan ternak, d) Ubi segar digunakan sebagai bahan makanan, e) Tepung ubi jalar sebagai bahan makanan, f) Pati ubi jalar dimanfaatkan untuk fermentasi, pakan ternak, asam sitrat (Zuraida dan Supariati, 2001). Pemanfaatan ubi jalar sebagai bahan pangan, bahan baku industri dan sumber energi merupakan respon terhadap kebijakan pemerintah tentang “Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal” (Peraturan Presiden No 22 tahun 2009), dan “Gerakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumber Daya Lokal” (Peraturan Menteri Pertanian No. 43/ Permentan/ OT.140/ 10/ 2009), menunjang visi misi Jawa Barat “meningkatkan ekonomi pertanian” dengan prioritas tematik sektoral/tema riset potensial yaitu Jawa Barat bebas rawan pangan (Common Goals Jawa Barat, 2015),serta dilandasi topik riset pilar pangan Universitas Padjadjaran yaitu “pangan lokal untuk pangan nasional” (Renstra Unpad, 2012-2016).

Permintaan pasar eksport ubi jalar yang beragam (ubi madu, stick, dan paste) terus meningkat. Kebutuhan bahan baku ubi segar 2014 sekitar 15 ton/hari untuk ekspor ubi “madu”, 20 ton/hari untuk bahan baku stick ekspor, dan 25 ton/hari untuk paste (komunikasi pribadi dengan mitra industri PT. Indowooyang). Namun, dalam potensi tersebut terdapat beberapa masalah yang dihadapi oleh industri berbasis ubi jalar di Indonesia diantaranya adalah tidak terjaminnya kontinyuitas bahan baku ubi jalar dari produsen ubi jalar baik kuantitas maupun kualitasnya, dan potensi hasil yang masih

(8)

rendah. Hal ini terjadi karena berbagai faktor yang terkait kegiatan usaha tani ubi jalar, seperti masih rendahnya kapasitas produksi ubi jalar produsen (kuantitas dan kualitas), masih terbatasnya luasan tanam, masih rendahnya pemahaman bisnis dari pelaku produsen ubijalar, dan masih rendahnya keterkaitan antara produsen ubi jalar sebagai penghasil bahan baku industri dengan mitra industri.

Luas areal tanam ubi jalar dari tahun ke tahun terus meningkat. Wilayah sentra produksi utama adalah Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Bali, NTT, dan Papua (BPS, 2011). Namun budidaya ubi jalar yang berorientasi pada industri sebagian besar berada di Jawa Barat.Belum adanya arahan pengembangan ubi jalar menyebabkan petani melakukan uji tanam ubi jalar pada lahan yang belum tentu sesuai atau di lahan marginal.Perbedaan lingkungan tumbuh ubi jalar menyebabkan perkembangan dan hasil ubi baik secara kualitas maupun kuantitas dapat berbeda(Nedunchezhiyanet al.,2012).Diketahuinya wilayah yang sesuai bagi pertumbuhan dan hasil ubi jalar dapat menunjang ekstensifikasi budidaya ubi jalar secara optimal.Terlebih dengan adanya varietas ubi jalar unggul yang berpeluang untuk digunakan secara luas. Hal ini dapat menunjangpeningkatkan ketersediaan pasokan bahan baku industri berbasis pangan ubi jalar.

Menurut Manrique and Roca (2007) Indonesia menyumbangkan 2% bagi produksi ubi jalar di seluruh dunia. Tingkat adopsi petani akan varietas unggul ubi jalar di Indonesia sangat rendah dan didominasi beragam varietas lokal yang spesifik lokasi. Dengan banyaknya varietas lokal ini, maka kemungkinan variasi produktivitas ubi jalar di Indonesia berbasis masyarakat melalui penanaman varietas lokal yang beragam sangatlah besar. Namun demikian beragamnya varietas lokal yang dimanfaatkan masyarakat merupakan potensi genetik potensial untuk meningkatkan kapasitas genetik.Temuan teknologi UNPAD berupa varietas ubi jalar unggul baru yang sudah memiliki HKI PVT (varietas AWACHY1-5) maupun calon klon ungul baru lainnya dapat memberikan dampak lebih pada petani dan industri pengguna. Terlebih pengembangan varietas unggul tersebut dapat ditunjang dengan ketersediaan informasi lokasi penanaman yang sesuai bagi pertumbuhan dan hasil ubi jalar.

(9)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Varetas Ubi Jalar Unggulan

Pengggunaan plasma nutfah ubi jalar lokal sebagai sumber perbaikan genetik adalah dalam upaya pelestarian sumber genetik potensial dari kepunahan, dan dapat dijadikan acuan karakteristik spesifik dalam pembentukan varietas unggul baru. Ubi jalar lokal ini merupakan kumpulan gen “baik” hasil seleksi masyarakat berdasarkan pendekatan kearifan lokal (Shaumi et al., 2011; Waluyo and Karuniawan, 2011). Adanya keragaman pada ubi jalar lokal pada dasarnya memberikan pilihan kepada petani untuk menanam ubi jalar sesuai dengan kebutuhannya. Petani tradisional memiliki peranan penting dalam konservasi dan generasi keragaman spesies yang dibudidayakan dan telah diteliti di berbagai belahan dunia selama lebih dari satu abad (Martins, 1994; Brush, 2000). Serangkaian faktor dianggap penting dalam memilih spesies dalam pertanian tradisional adalah faktor budaya dan kelimpahan, ketersediaan dan kemudahan perolehan spesies (Cleveland et al., 1994). Pengelolaan plasma nutfah ubi jalar melalui rancangan lapangan yang memungkinkan terjadinya saling menyerbuk silang telah menghasilkan biji dari tetua betina yang diketahui, dan menghasilkan keturunan potensial untuk diseleksi dan diuji daya hasil lebih lanjut (Maulana et al., 2010; Roosda et al., 2010).

Ubi jalar memiliki sistem kawin silang luar tanaman ini diperbanyak secara vegetatif dengan masing-masing kultivar dianggap klon (Prakash et al., 1996). Self-ketidakcocokan dalam hasil bunga di allogamy, meningkatkan heterozigositas genetik (Thomson et al., 1997). Kompatibilitas seksual berhubungan dengan sistem self-incompatibility multiallelic sporophytic yang diekspresikan dalam stigma (Diaz et al., 1996). Identifikasi varietas merupakan kegiatan yang penting untuk mengurangi tuntutan hukum, konfirmasi hak kekayaan intelektual, dan memelihara kemurnian genetik. Karakter morfologi telah diakui secara universal sebagai deskriptor dan karakterisasi varietas tanaman. Penggunaan deskriptor morfologi dalam metode sekuensial sangat berguna untuk membedakan varietas yang berbeda. Identifikasi

(10)

morfologi yang didukung dengan pendekatan analisis statistik telah berhasil membedakan klon-klon unggul dan menghindari duplikasi (Shiotani et al., 1990; Sahuquillo et al., 1997; Tutel et al., 2005; Veasey et al., 2007; Afuape et al., 2011). Kapasitas adaptasi dari spesies atau jenis tanaman untuk iklim, varian geografis dan budaya juga penting, karena petani tradisional tertarik dalam struktur keanekaragaman dan populasi yang memungkinkan mereka untuk memaksimalkan adaptasi lokal (Soleri and Smith, 1995).

Allard dan Bradshaw (1964) mengemukakan, pertumbuhan dan hasil tanaman sangat dipengaruhi oleh interaksi klon x lingkungan. Dengan adanya interaksi klon x lingkungan, suatu populasi yang menampilkan hasil tertinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi lain. pengujian suatu klon di beberapa lingkungan yang berbeda perlu dilakukan untuk memperoleh informasi yang lebih komprehensif terutama tentang keragaman yang muncul di bawah pengaruh kondisi eksternal yang berbeda. Bilbro dan Ray (1976) mengemukakan bahwa keberhasilan program pemuliaan tanaman akan tercapai jika memperhatikan aspek (i) tingkat hasil klon yang mempunyai hasil di atas rata-rata, (ii) adaptasi, yaitu bentuk lingkungan yang dapat memunculkan klon-klon terbaik, dan (iii) stabilitas, yaitu konsistensi hasil suatu klon dibandingkan dengan klon lain. Semua aspek ini akan terintegrasi dalam satu pengukuran hasil suatu klon. Pengujian multilokasi yang cukup representatif bagi semua lingkungan tumbuh penting dilakukan untuk mengetahui daya adaptasi, potensi hasil, dan stabilitas hasil agar dapat ditentukan galur yang berdaya adaptasi luas dan sempit. Suatu pengukuran pengaruh lingkungan terhadap hasil adalah juga merupakan pengukuran untuk mengetahui daya adaptasi (Nor and Cady, 1979).

2.2. Persepsi dan Perilaku Petani

Persepsi mengenai mutu suatu jasa dan kepuasan menyeluruh memiliki beberapa indikator atau petunjuk yang bias dilihat. Pelanggan mungkin tersenyum ketika mereka berbicara mengenai barang atau jasa. Mereka mungkin mengatakan hal-hal yang bagus tentang barang atau jasa. Senyum merupakan suatu bukti bahwa pelanggan puas, sebaliknya cemberut mencerminkan kekecewaan. Istilah kepuasan pelanggan dan persepsi mutu merupakan label yang kita pergunakan untuk meringkas suatu himpunan aksi atau tindakan yang terlihat, terkait dengan produk atau jasa (Supranto, 2001).

(11)

Perilaku adalah tindakan (kegiatan atau tindak-tanduk) manusia yang dapat diamati. Sebaliknya sikap merupakan pencerminan dari dorongan-dorongan yang datang dari dalam diri seseorang dan reaksi terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Bila sikap tersebut disalurkan keluar, terjadilah perilaku. Jadi sikap adalah kecenderungan untuk berperilaku (Sastrodiningrat, 1986).

Perilaku berasal dari kata “peri” dan “laku”. Peri berarti cara berbuat dan laku berarti perbuatan, kelakuan, dan cara menjalankan.1 Menurut kamus psikologi, perilaku adalah perbuatan atau aktivitas.2 Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan mendarah daging disebut dengan perilaku. Di mana perilaku adalah suatu tindakan atau perbuatan yang dapat diamati bahkan dapat dipelajari.

Skinner membedakan perilaku menjadi dua, yaitu:

1. Perilaku yang alami (innate behavior) adalah perilaku yang dibawa sejak lahir yang berupa refleks-refleks dan insting-insting, seperti haus cari minum dan meminumnya.

2. Perilaku operan (operant behaviour) adalah perilaku yang dibentuk melalui proses belajar, seperti cara berpakaian atau cara berbicara. Perilaku operan (operant behaviour) merupakan perilaku yang dominan dimiliki oleh manusia. Perilaku ini merupakan perilaku yang dibentuk, yang diperoleh, dan dikendalikan oleh pusat kesadaran atau otak (kognitif). Proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal dari diri sendiri, antara lain susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, emosi, dan belajar.

Mengenai perilaku manusia, terdapat tiga asumsi yang saling berkaitan. Pertama, perilaku itu disebabkan. Kedua, perilaku itu digerakkan. Ketiga, perilaku itu ditujukan pada sasaran/tujuan. Tiga Asumsi tersebut yang berarti bahwa proses perubahan perilaku memiliki kesamaan setiap individu, yakni perilaku itu ada penyebabnya, terjadinya tidak dengan spontan, dan mengarah kepada kepada suatu sasaran, baik secara eksklusif maupun inklusif.

Menurut Karmila seperti yang dikutip dari Levis, perilaku di sini bisa juga dikaitkan dengan perilaku petani yang dicerminkan dalam tindakan sehari-hari mereka baik dalam lingkungan seperti keluarga, masyarakat maupun lingkungan pekerjaan. Dalam teori Lawrence Green menurut Karmila seperti yang dikutip oleh Notoadmojo

(12)

perilaku manusia ditinjau dari tingkat kesehatan, dimana kesehatan seseorang dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor pokok, yaitu faktor perilaku dan faktor di luar perilaku.5 Faktor perilaku dibentuk oleh:

1. Faktor predisposisi (predisposing factor), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dan sebagainya, 2. Faktor pendukung (enabling factor), yang terwujud dalam lingkungan fisik,

tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana untuk kegiatan pertanian, serta

3. Faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petani yang merupakan referensi dari perilaku masyarakat.

Beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati oleh pihak luar.

2.3. Efisiensi Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran

Efisiensi adalah ketepatan cara (usaha, kerja) dalam menjalankan sesuatu dengan tidak membuang-buang waktu, tenaga dan biaya. Efisiensi juga berarti rasio antara input dan output atau biaya dan keuntungan (Mulyadi, 2007;63). Menurut Hasibuan (2005;233) yang mengutip pernyataan H. Emerson, efisiensi adalah perbandingan yang terbaik antara input (masukan) dan output (hasil antara keuntungan dengan sumber-sumber yang dipergunakan), seperti halnya juga hasil optimal yang dicapai dengan penggunaan sumber yang terbatas. Dengan kata lain hubungan antara apa yang telah diselesaikan. Dari uraian disimpulkan bahwa efisiensi adalah suatu cara dengan bentuk usaha yang dilakukan dalam menjalankan sesuatu dengan baik dan tepat serta meminimalisir pemborosan dalam segi waktu, tenaga dan biaya.

Usahatani adalah himpunan dari sumber-sumber alam yang terdapat di tempat itu yang diperlukan untuk produksi pertanian seperti tanah dan air, perbaikan-perbaikan yang telah dilakukan atas tanah itu, sinar matahari, bangunan-bangunan yang didirikan di atas tanah dan sebagainya (Mubyarto, 1989). Dr Mosher memberikan definisi farm (yang diterjemahkan oleh Krisnandi menjadi usahatani) sebagai suatu tempat atau bagian dari permukaan bumi di mana pertanian diselenggarakan oleh seorang petani tertentu apakah ia seorang pemilik, penyakap atau manajer yang digaji. Dengan

(13)

demikian, usahatani pada dasarnya adalah alokasi sarana produksi yang efisien untuk mendapatkan produktivitas pendapatan usahatani yang tinggi. Jadi usahatani dikatakan berhasil kalau diperoleh produktivitas yang tinggi dan sekaligus juga pendapatan yang tinggi. Efisiensi usahatani berkaitan dengan pengelolaan usahatani dalam pengambilan keputusan yang terbaik dan tepat serta meminimalisir pemborosan dalam segi lahan, waktu, tenaga dan biaya dalam memilih antara berbagai alternatif penggunaan sumber daya yang terbatas. Pemilihan usahatani secara efisien memerlukan berbagai informasi untuk dijadikan pedoman, baik informasi hasil-hasil penelitian, maupun informasi sesaat atau insidensil dari pemerintah dan swasta yang bergerak dalam bidang pertanian (Soekartawi et al, 1984).

Pengolahan hasil pertanian merupakan komponen kedua dalam kegiatan agribisnis setelah komponen produksi pertanian (Soekartawi, 2003 dalam Rahmawati, 2004). Pada penanganan hasil tanaman, tindakan yang dilakukan segera setelah panen disebut pengolahan hasil panen, tindakan tersebut bila tidak dilakukan segera, akan menurunkan kualitas dan mempercepat kerusakan sehingga komoditas tidak tahan lama disimpan sebelum dipasarkan. Banyak petani yang tidak melaksanakan pengolahan hasil yang disebabkan oleh berbagai sebab, padahal disadari bahwa kegiatan pengolahan ini dianggap penting, karena dapat meningkatkan nilai tambah. Komponen pengolahan hasil pertanian menjadi penting karena pertimbangan diantaranya untuk meningkatkan nilai tambah, meningkatkan kualitas hasil, meningkatkan penyerapan tenaga kerja, meningkatkan ketrampilan produsen dan meningkatkan pendapatan produsen. Efisiensi dalam pengolahan hasil pertanian berkaitan dengan usaha pengambilan keputusan dalam memaksimalkan perlakuan pada hasil panen agar sebanyak mungkin tidak rusak sebelum masuk pasar serta usaha memberikan nilai tambah agar hasil panen tersebut baik yang terserap pasar ataupun tidak dapat menjadi produk yang memberikan nilai yang lebih dan dapat dipasarkan, tentunya segala usaha tersebut dilakukan dengan mengoptimalkan input yang digunakan dalam proses pengolahannya.

Pemasaran dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang mengusahakan produk yang dipasarkannya itu dapat diterima dan disenangi oleh pasar (Gitosudarmo 1994). Efisiensi pemasaran adalah ukuran dari persentase perbandingan antara nilai pemasaran dengan nilai produk yang dipasarkan, karena itu pasar yang tidak efisien akan terjadi jika: (1) Biaya pemasaran semakin besar. (2) Nilai produk yang dipasarkan jumlahnya

(14)

tidak terlalu besar (Soekartawi 1993). Lebih lanjut Soekartawi menyatakan bahwa efisiensi pemasaran akan terjadi jika: (1) Biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan pemasaran dapat lebih tinggi. (2) Persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi. (3) Tersedianya fasilitas fisik pemasaran, dan (4) Adanya kompetisi pasar yang sehat. Beberapa syarat dapat digunakan sebagai ukuran efisiensi pemasaran (Khols dalam Irviani 2008), yaitu:

1. Keuntungan pemasaran

2. Harga yang diterima konsumen 3. Tersedianya fasilitas fisik pemasaran 4. Kompetisi pasar yang sehat

Efisiensi dapat ditunjukkan dengan mengukur margin pemasaran, saluran pemasaran, dan dapat digunakan sebagai tolak ukur tingkat efisiensi suatu pemasaran (Bressler dalam Irviani 2008). Efisiensi pemasaran didasarkan pada hubungan antar biaya pemasaran dengan volume komoditi yang di usahakan, sedangkan prinsip efisiensi dalam kegiatan pemasaran adalah usaha meminimumkan besarnya biaya tiap unit komoditi untuk periode waktu tertentu. Langkah untuk mencapai efisiensi pemasaran dalam mempertinggi laba harus dilakukan usaha penekanan biaya dan margin pemasaran itu sendiri. Usaha-usaha tersebut ditunjukkan kepada tercapainya efisiensi pemasaran dalam rangka mempertinggi tingkat kepuasan dari semua pihak yang terlibat dalam proses pemasaran (Hanafiah dan Saefudin 1983).

2.4. Kelembagaan Agribisnis untuk Keberanjutan Usahatani

Secara empirik sistem agribisnis yang berdaya saing dicirikan oleh dua kondisi yaitu: adanya kaitan fungsional antara bidang agribisnis dan lembaga pendukung agribisnis, dan adanya kaitan institusional di antara bidang agribisnis. Kaitan yang serasi di antara bidang agribisnis menyebabkan sistem agribisnis bersifat efektif dalam merespon dinamika pasar output. Sedangkan kaitan institusional menyebabkan sistem agribisnis bersifat efisien. Hal ini karena adanya kaitan institusional tersebut menyebabkan seluruh kegiatan agribisnis berada dalam satu kendali kegiatan, dan “marjin ganda” serta “sharing system” yang tidak adil di antara pelaku agribisnis dapat ditekan (Litbang Deptan, 2007). Oleh karena itu pengembangan kelembagaan harus mempertimbangkan aspek ekonomi, kelembagaan ekonomi berasumsi bahwa pilihan

(15)

rasional individu harus mengarah pada efisiensi sebagai pengaturan kelembagaan yang mempunyai biaya transaksi paling sedikit (Lieberherr, 2009).

Pengembangan agribisnis ramah lingkungan merupakan agribisnis yang dari segi perencanaan usaha telah memperhitungkan dukungan kekuatan alam secara berkelanjutan. Tingkat eksploitasi terhadap sumberdaya alam disesuaikan dengan daya dukung dan resistensi sumberdaya alam yang ada, sehingga produktivitas sumberdaya setempat dari waktu ke waktu tetaplah stabil. Alternatif lain pengurasan atau pengrusakan akibat kegiatan agribisnis diupayakan ditanggulangi dengan penambahan investasi yang dikhususkan untuk mengembalikan mutu sumberdaya alam seperti semula atau (paling tidak) seperti sebelum diusahakan (Pranadji, 2003). Keberlanjutan seumbi inovasi melampaui tahap ide tergantung pada bagaimana para pelaku mengubah norma-norma dan pola interaksi melalui inovasi kelembagaan (Prasad, 2007).

(16)

BAB 3

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1. Tujuan Penelitian

Penelitian tahun pertama ini bertujuan untuk: 1) Memahami karakteristik usahatani ubi jalar 2) Menganalisis karakteristik individu petani ubi jalar

3) Memahami dan menganalisis sistem agribisnis ubi jalar dari subsistem hulu hingga hilir

3.2. Kegunaan Riset

1. Secara keilmuan penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pada pengembangan keilmuan di bidang agribisnis dan sosial ekonomi pertanian. 2. Riset ini secara praktis diharapkan menguji gejala dan variasi atau

penyimpangan antara yang terjadi di lapangan dan teori secara spesifik lokasi maupun makro sehingga dapat ditemukan saran kebijakan yang paling tepat sebagai model agribisnis ubi jalar unggulan unpad sebagai sumber daya hayati berorientasi industri dalam upaya meningkatkan kesejahteraan petaninya. Selain itu, penelitian ini dapat dijadikan acuan/dasar dalam membuat kebijakan bidang agribisnis, sumber daya hayati dan bidang social khususnya dalam rangka peningkatan produksi ubi jalar berorientasi industri dan peningkatan kesejahteraan petani ubi jalar unggulan UNPAD.

(17)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Rancangan Riset

Penelitian dilakukan dengan metode Survey-eksplanatory, dengan teknik pengambilan sampel acak sederhana. Populasi penelitian adalah para petani ubi jalar di daerah sentra ubi jalar di Jawa Barat. Pengambilan sampel dilakukan dalam beberapa tahapan klaster. Tahap pertama, klaster sentra uni jalar unggulan Unpad di Jawa Barat adalah kecamatan Arjasari kabuaten Bandung. Dari Kabupaten Arjasari akan ditentukan sampel desa dengan rumus sampling acak klaster tahap pertama. Berdasarkan perhitungan menggunakan rumus sampel acak sederhana bisa diambil minimal 1 desa sentra ubi jalar unggulan Unpad yaitu desa Arjasari. Penentuan desa Arjasari sebagai lokasi penelitian dilakukan secara acak dengan menggunakan software MINITAB.

Gambar 3.1. Teknik Pengambilan Sampel Petani Ubi Jalar

Selanjutnya dari desa Arjasari diambil sejumlah responden petani ubi jalar dengan rumus sampling acak sederhana. Untuk menentukan ukuran sampel (sample size) yang akan digunakan sebagai sumber informasi dalam penelitian ini digunakan teknik penarikan sampel acak sederhana sebagai berikut (Anderson et. al.) :

Kab. Bandung

Kecamatan Arjasari

A

Responden Petani Ubi Jalar Unggulan Unpad Kecamatan

Arjasari A

(18)

𝑛 = 𝑁𝑝̅(1 − 𝑝̅) (𝐵2 4𝑁) + 𝑝̅(1 − 𝑝̅) di mana: 𝑛 = ukuran sampel 𝑁 = ukuran populasi

𝑝̅ = point estimate untuk proporsi populasi dengan sampling error terkecil = 0,5 𝐵 = bound on sampling error = 2 × 0,05 × 𝑁 = 0,1 × 𝑁

Dengan tidak adanya data valid tentang jumlah petani ubi di desa arjasari maka digunakan ukuran sampel sebanyak 114 orang petani. Dengan ukuran sampel dapat menutupi ukuran populasi yang tak terhingga, sehingga berapapun ukuran populasinya maka akan terwakili oleh nilai ukuran sampel tersebut. Dengan demikian didapatkanlah responden orang petani ubi jalar unggulan Unpad yang mewakili populasi petani ubi jalar di sentra ubi jalar unggulan Unpad di Kabupaten Bandung.

4.2. Metode Analisis Data

Penelitian dilaksanakan dengan metode kombinasi kuantitatif-kualitatif (mixed methods research). Menurut Creswell dkk. (2008) metode penelitian kombinasi kuantitatif-kualitatif adalah metode yang berfokus pada pengumpulan dan analisis data serta memadukan antara data kuantitatif dan kualitatif. Metode ini digunakan untuk menangani tingkatan yang berbeda dalam satu sistem. Temuan dari setiap tingkatan dipadukan untuk merumuskan interpretasi yang menyeluruh.

4.2.1. Alat Analisis Data Persepsi dan Perilaku Petani dalam Melakukan Agribisnis Ubi Jalar Unggulan Unpad

Untuk proses penelitian tahun pertama, teknik analisis kuantitatif yaitu statistika deskriptif dilakukan untuk menganalisis perilaku data mengenai persepsi dan perilaku petani dalam melakukan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad dengan perhitungan statistik. Alat yang digunakan untuk mendukung analisis ini berupa berbagai tabel, cross-tabulasi, diagram dan bermacam grafik. Pada bagian ini juga akan dibahas mengenai bentuk sebaran jawaban responden terhadap keseluruhan konsep yang diukur. Operasionalisasi variable persepsi dan perilaku petani ubi jalar disajikan pada Tabel 3.1.

(19)

Konsep Dimensi Sub Dimensi Variabel Satuan Respon Kualitatif Persepsi Perilaku - Persepsi terhadap bentuk fisik tanaman - Persepsi terhadap hasil panen ubi jalar - Keinginan membudi-dayakan - Keinginan mengolah hasil panen - UKuran daun - Tingkat kesuburan - Warna daun - Ketahanan terhadap hama - Ukuran umbi - Warna umbi - Produksi umbi - Potensi usahatani - Keinginan membudi-dayakan - Keinginan mengolah hasil panen 1. Kecil 2. Sedang 3. Besar 1. Tidak subur 2. Kurang subur 3. Subur 1. Hijau muda 2. Hijau 3. Hijau tua (merah/ungu) 1. Tidak tahan 2. Kurang tahan 3. Tahan hama 1. Kecil 2. Sedang 3. Besar 1. Putih 2. Kuning 3. Ungu 1. Sedikit 2. Cukup 3. Tinggi 1. Tidak berpotensi 2. Cukup berpotensi 3. Sangat berpotensi 1. Tidak ingin 2. Ragu-ragu 3. Sangat ingin 1. Tidak ingin 2. Ragu-ragu 3. Sangat ingin

Dari sebaran jawaban responden tersebut, selanjutnya akan diperoleh seumbi kecenderungan dari seluruh jawaban yang ada. Untuk mendapat kecenderungan jawaban responden terhadap masing-masing variabel, akan didasarkan pada nilai skor rata-rata (indeks) yang dikategorikan ke dalam rentang skor berdasarkan perhitungan three box method berikut ini (Ferdinand, 2006):

Proses ini melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Scoring

Dalam penelitian ini urutan pemberian skor menggunakan skala likert yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

(20)

Sangat Baik = Skor 5

Baik = Skor 4

Netral/Ragu-ragu = Skor 3

Buruk = Skor 2

Sangat Buruk = Skor 1 2. Penentuan Rentang Skor

Survey ini menggunakan skala Likert dengan skor tertinggi di tiap pertanyaannya adalah 5 dan skor terendah adalah 1. Dengan jumlah responden sebanyak 62 orang, maka:

Skor terendah : 114 x 1 = 114 Skor tertinggi : 114 x 5 = 570

Sehingga rentang untuk hasil survey adalah

Rentang = Skor tertinggi – Skor terendah = 570 – 114 = 456

dengan jumlah kelas sebanyak 5 kelas sebagaimana jumlah skor dalam skala likert yang digunakan dalam penelitian ini, maka panjang interval kelas (𝑃) adalah sebagai berikut

𝑃 = 𝑅𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔

𝐵𝑎𝑛𝑦𝑎𝑘 𝐾𝑒𝑙𝑎𝑠 𝐼𝑛𝑡𝑒𝑟𝑣𝑎𝑙= 248

5 = 91,20 Dengan demikian rentang skor-nya adalah:

a. 114 – 205,20 = Sangat buruk b. 205,21 – 296,40 = Buruk

c. 296,41 – 387,60 = Netral d. 387,61 – 478,80 = Baik

e. 478,81 – 310 = Sangat baik

Rentang skor ini merupakan kesimpulan untuk variabel persepsi dan perilaku petani ubi yang diturunkan dari indikator-indikator atau pertanyaan-pertanyaan untuk setiap variabel tersebut.

3. Tabulating

Pengelompokan atas data jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan atau indikator yang membentuk variabel-variabel penelitian dengan benar dan teliti, kemudian dilakukan proses scoring per indikator dan jumlah skor untuk variabel penelitian merupakan nilai rata-rata dari semua skor jawaban dari pertanyaan/indikator.

(21)

Nilai rata-rata tersebut merupakan kesimpulan untuk setiap variabel berdasarkan nilai rentang skor yang telah dijelaskan sebelumnya.

Kemudian dilakukan juga analisis menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu mengolah data dan informasi verbal tentang seluruh gejala yang didapat dari hasil analisis kuantitatif. Dalam mendapatkan penjelasan dan pemahamaan mengenai perilaku data dilakukan metoda FGD (Focus Group Discussion) dan studi kasus ke petani ubi jalar di lapangan untuk lebih menggali lagi alasan dibalik hasil analisis data, apa alasan di lapangan mengapa hasilnya seperti demikian. Selain itu juga digunakan teori-teori yang berasal dari literatur serta hasil-hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan topik penelitian.

4.2.2. Alat Analisis Efisisensi Usahatani, Pengolahan dan Pemasaran Ubi Jalar Unggulan Unpad yang Dilakukan Petani

Analisis data efisiensi usahatani, pengolahan dan pemasaran ubi jalar unggulan Unpad menggunakan pendekatan Data Analysis Development (DEA). Metoda ini merupakan pendekatan non-parametrik dalam mengukur tingkat efesiensi dan tidak membutuhkan asumsi khusus seperti parametrik. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis data dimana ketersediaan data nya masih sangat terbatas untuk memenuhi penggunaan pendekatan lain, serta penggunaan multi input dan multi output yang sukar di akomodir oleh pendekatan lainnya. Dalam DEA, efisiensi relatif DMU didefinisikan sebagai rasio dari total output tertimbang dibagi total input tertimbangya (total weighted output/total weighted input). Inti dari DEA adalah menentukan bobot (weights) atau timbangan untuk setiap input dan output DMU. Bobot tersebut memiliki sifat : (1) tidak bernilai negatif , dan (2) bersifat universal, artinya setiap DMU dalam sampel harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama untuk mengevaluasi rasionya (total weighted output/total weighted input) dan rasio tersebut tidak boleh lebih dari 1 (total weighted output/total weighted input <1).

Ada dua model yang digunakan dalam pendekatan DEA, yaitu model CRS (1978) dan VRS (1984). Berikut adalah penjelasan dari kedua model tersebut:

a. Constant Returns to Scale (CRS) Model Constant Return to Scale dikembangkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (oleh karena itu, model CRS dapat juga disebut dengan model CCR) pada tahun 1978. Dan Yumanita dan Ascarya (2005) menyatakan “Model ini mengasumsikan bahwa rasio antara penambahan input dan

(22)

output adalah sama (constant returns to scale)”. Artinya, jika ada tambahan input sebesar x kali, maka output akan meningkat sebesar x kali juga. Asumsi lain yang digunakan dalam model ini adalah setiap perusahaan atau unit pembuat keputusan (DMU) beroperasi pada skala optimal. Rumus constant returns to scale dapat dituliskan sebagai berikut (Handoyo, 2008):

b. Variable Returns to Scale (VRS)

Model ini dikembangkan oleh Banker, Charnes, Rhodes (karenanya dapat juga disebut dengan model BCC) pada tahun 1984 dan merupakan pengembangan dari model CRS. Model ini berasumsi bahwa rasio antara penambahan input dan output tidak sama (variable returns to scale). Artinya, penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali, bisa lebih kecil (decreasing returns to scale) atau lebih besar dari x kali (increasing returns to scale). Rumus Variable Return to Scale (VRS) dapat dituliskan dengan program matematika seperti berikut (Handoyo, 2008). Konstanta μo bertanda bebas, yakni dapat bernilai positif ataupun negatif (Cooper et al., 2007). Konstanta μo dalam rumus VRS di atas menyebabkan penambahan input sebesar x kali tidak akan menyebabkan output meningkat sebesar x kali pula melainkan dapat lebih kecil atau lebih besar dari x kali. Adapun μo dapat bernilai positif apabila output mengalami peningkatan (increasing), namun apabila negatif maka output mengalami penurunan (decreasing).

Penelitian ini menggunakan model DEA CCR primal input-oriented, dimana model ini bertujuan untuk mengurangi jumlah input yang digunakan agar dapat mendapatkan hasil output pada tingkat yang sama melalui metode constant return to scale (CSR). Alasan penggunaan metode ini adalah untuk melihat dampak dari perubahan nilai yang dilakukan terhadap input perusahaan untuk mendapatkan hasil output dengan nilai yang sama. Model DEA CCR yang digunakan adalah sebagai berikut:

Model CCR Primal : Max ℎ𝑘 = ∑𝑠𝑟=1𝑈𝑟𝑌𝑟𝑘 Subject to: ∑𝑚𝑖=1𝑉𝑖𝑌𝑖𝑘 = 1

∑ 𝑈𝑟𝑌𝑟𝑗− ∑ 𝑉𝑖𝑋𝑖𝑗 ≤ 0

𝑈𝑟 , 𝑉𝑟 ≥ 𝜀 Di mana:

(23)

s = Jumlah output

𝑉𝑟 = Bobot yang ditentukan terhadap output i m = Jumlah input

𝑘 = Efisiensi relatif terhadap variabel ke k (usahatani, pengolahan dan pemasaran) n = Jumlah variabel (usahatani, pengolahan dan pemasaran)

𝜀 = Konstanta positif bobot variabel

4.2.2. Model Kelembagaan Agribisnis Ubi Jalar Unguulan Unpad yang Dapat Meningkatkan Keberlanjutan Usahatani Ubi Jalar Unggulan Unpad Analisis data keberlanjutan usahatani, pengolahan dan pemasaran ubi jalar unggulan Unpad menggunakan Multidimensional Scalling (MDS). Penghitungan indeks keberlanjutan menggunakan bantuan perangkat lunak RAPFISH (Rapid Appraisal for Fisheries) yang dikembangkan oleh Rapfish Group Fisheries Centre University of British Columbia, Kanada (Pitcher, 1999; Fauzy dan Anna, 2005) yang dimodifikasi untuk keperluan penelitian ini sehingga bernama RAPSPOT (Rapid Appraisal for Sweat Potatoes). Metode MDS ini dipilih karena mampu memberikan hasil secara menyeluruh, cepat dan obyektif terkait dengan aspek-aspek yang mempengaruhi keberlanjutan usahatani, sehingga memudahkan untuk mengimplementasikan dalam kebijakan. Kruskal (1977); Borg dan Groenen (2005) menyatakan bahwa MDS merupakan analisis statistik untuk mengetahui kemiripan dan ketidakmiripan variabel yang digambarkan dalam ruang geometris. Kelemahannya menurut Lee (2011) adalah hanya berdasarkan pada permodelan kognitif.

Ada beberapa langkah yang dilakukan dalam penggunaan MDS, yaitu penentuan dimensi dan atribut melalui diskusi pakar, penilaian dan pemberian skor secara ordinal dalam rentang 0 (buruk) sampai 3 (baik) sesuai dengan karakter atribut oleh responden terpilih atau berdasarkan data-data yang didapat (baik primer maupun sekunder). Langkah selanjutnya melakukan ordinansi MDS terhadap dimensi analisis pengungkit (leverage factor) dari atribut-atribut berdasarkan Root Mean Square (RMS) pada sumbu x. Tahap akhir adalah melakukan analisis Monte Carlo untuk mengetahui pengaruh galat dalam pemberian skor. Untuk mengetahui ketepatan analisis dilakukan penentuan Goodness of fit dalam MDS berdasarkan nilai S-Stress yang dihitung dari nilai S dan R2. Proses iterasi dapat dihentikan jika nilai R2 sudah mendekati 1. Nilai stress yang

(24)

rendah menunjukkan good fit dan nilai S yang tinggi menunjukkan sebaliknya. Nilai stress dihitung menggunakan rumus berikut:

𝑆𝑇𝑅𝐸𝑆𝑆 = (∑ ∑ (𝛿 2− 𝜉 𝑖𝑗) 2 𝑛 𝑖=1 𝑛 𝑗=1 ∑ ∑𝑛 𝛿𝑖𝑗2 𝑖=1 𝑛 𝑗=1 ) 1 2

Metode ini telah banyak digunakan untuk mengidentifikasi tingkat keberlanjutan pengelolaan sumberdaya alam. Penelitian Kholil dan Dewi, (2014) telah dapat mengidentifikasi tingkat keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan di Kepulauan Seribu dengan menggunakan MDS, demikian juga Nurmalina (2008) dengan menggunakan MDS dapat mengidentifikasi tingkat keberlanjutan ekologi, ekonomi dan sosial terhadap ketersediaan beras di Jawa dan luar Jawa (Kalimantan dan Sumatra). Nilai indeks keberlanjutan menggunakan skala yang dikembangkan University Columbia, Canada dalam Fauzi dan Anna (2005), disajikan pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1. Kategori Status Keberlajutan

Nilai Indeks Kategori

0,00 – 25,00 Buruk (Tidak Berkelanjutan)

25,01 – 50,00 Kurang (Kurang Beekelanjutan)

50,01 – 75,00 Cukup (Cukup Berkelanjutan)

75,01 – 100,00 Baik (Sangat Berkelanjutan)

4.3. Luaran Riset

Tabel 2. Tahapan, Luaran, dan Capaian Penelitian

Tahun I Tahun II Tahun II

Tahapan Survey Petani Survey Usahatani Aplikasi Model Pengumpulan Data  Data sekunder  Sampel petani  Melengkapi Data sekunder

 Sampel kelompok tani

 Rekomendasi Kebijakan

Luaran  Profil petani ubi jalar unggulan Unpad  Analysis efisiensi usahatani  Analysis sistem

pengolahan ubi jalar dan efisiensinya  Analisis keberlanjutan usahatani ubi jalar unggulan Unpad

(25)

Tahun I Tahun II Tahun II  Analisis persepsi dan perilaku petani dalam menjalankan usahatani ubi jalar unpad  Analsysis sistem

pemasaran ubi jalar dan efisiensinya  Terbentuknya model kelembagaan agribisnis ubi jalar unggulan Unpad yang berkelanjutan (sustainable) sehingga diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani ubi jalar Indikator Capaian  Min 1 artikel jurnal nasional terakreditasi dan 1 jurnal Q4

Min 1 artikel jurnal nasional terakreditasi dan 1 jurnal Q4  Min 1 artikel jurnal nasional terakreditasi dan 1 jurnal Q4

(26)

BAB 5

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1. Gambaran Umum Daerah Penelitian 5.1.1. Keadaan Umum Desa Arjasari

Desa Arjasari merupakan Desa yang berada dibelahan lain kaki gunung Malabar, Desa yang berada di sudut selatan Kabupaten Bandung ini terdiri atas berbagai potensi serta kearifan lokal yang ter-integrasi dengan adat khas masyarakat sunda pada umumnya yang kental dengan nuansa Religiusitas , Someah, serta Seni Budaya yang tetap mampu eksis dan bertahan tidak tergerus arus zaman.

5.1.1.1. Letak Geografis

Wilayah Desa Arjasari terletak di ketinggian kurang lebih 700 – 1.000 Meter diatas permukaan laut dengan suhu rata – rata 28 derajat Celcius dengan curah hujan rata – rata 3.560 mm/tahun dengan luas wilayah 768,848 Ha. Sebagian besar wilayah terdiri dari dari Daerah Pertanian dan Perumahan Penduduk. Keadaan tanah pada umumnya terdiri dari dataran tinggi pegunungan dengan batas-batas wilayah sebagai berikut :

Tabel 5.1. Batas Wilayah Desa Arjasari

Batas Desa/Kelurahan Kecamatan

Sebelah Utara Pinggirsari dan Wargaluyu Arjasari Sebelah Timur Pinggirsari Arjasari Sebelah Selatan Baros dan Pinggirsari Arjasari Sebelah Barat Lebakwangi Arjasari

5.1.1.2. Demografis

Wilayah Desa Arjasari terbagi menjadi 5 (Lima) Dusun dengan jumlah Rukun Tetangga (RT) 67 dan Rukun Warga (RW) 15. Jumlah Penduduk Desa Arjasari Kecamatan Arjasari Kabupaten Bandung sampai dengan akhir bulan Desember 2013 adalah 10.345 Jiwa yang terdiri dari 5.222 Jiwa penduduk laki-laki dan 5.123 Jiwa

(27)

penduduk perempuan dengan jumlah Kepala Keluarga (KK) 3.004 Kepala Keluarga. Pembagian golongan jumlah penduduk di desa Arjasari berdasarkan umur antara lain:

Tabel 5.2. Sebaran Umur Penduduk Desa Arjasari

No. Golongan Laki-Laki Perempuan

1. Penduduk Usia 0-6 tahun 624 640

2. Penduduk Usia 7-18 tahun 1378 1348

3. Penduduk Usia 19-56 tahun 2846 2696

4. Penduduk Usia 56 tahun ke atas 525 564

Jumlah sumber daya manusia yang produktif dan tidak produktif di Desa Arjasari berdasarkan rasio laki – laki dan perempuan antara lain:

Tabel 5.3. Sebaran Usia Produktif Penduduk Desa Arjasari Berdasarkan Jenis Kelamin

No. Tenaga Kerja Laki-Laki Perempuan

1. Penduduk usia produktif (18-56 tahun) yang bekerja 2129 625 2. Penduduk usia produktif (18-56 tahun) yang tidak bekerja 717 2071

Desa Arjasari dikenal dengan desa yang kaya akan kekayaan alamnya serta potensi sumber daya alam yang belum tersentuh oleh berbagai pihak khususnya investor-investor yang kerap mencari lahan untuk kemudian dibudidayakan. Potensi masyarakat Desa Arjasari terdiri dari beberapa aspek yaitu pertanian, peternakan, dan kegiatan usaha produktif. Berdasarkan hidrologinya, aliran-aliran sungai yang ada di wilayah Desa Arjasari membentuk pola Daerah Alirah Sungai (DAS) Citarum Tercatat beberapa sungai maupun solokan yang terdapat di Desa Arjasari, yaitu :

1) Sungai Ciparis (yang berbatasan dengan Desa Pinggirsari) 2) Sungai Cibintinu (yang membelah Desa Arjasari)

3) Sungai Cilingga (yang berbatasan dengan Desa Baros) 4) Sungai Cikalimorot (yang membelah Desa Arjasari)

(28)

5.1.2. Potensi Desa Arjasari

Desa Arjasari memiliki potensi antara lain :

1. Jumlah penduduk yang sangat tinggi dan rata-rata memiliki mata pencaharian bertani;

2. Lahan pertanian yang sangat luas dan belum sepenuhnya dimanfaatkan oleh pemilik sesuai dengan peruntukannya;

3. Terdapatnya masyarakat yang memiliki keterampilan berupa selain dari bertani yang belum ditumbuhkembangkan sesuai kemampuannya;

Desa Arjasari merupakan seumbi desa yang terletak di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Desa Arjasari terdiri dari 5 dusun yang terbagi menjadi 15 RW. Luas desa sebesar 70.862 ha dengan batas wilayah sebelah barat adalah lebak wangi, sebelah timur adalah Desa Pinggirsari, sebelah utara adalah warga guyu dan sebelah selatan adalah Desa Baros. Desa Arjasari memiliki luas lahan pertanian seluas 597 ha, lahan sawah seluas 335 hs dan lahan perhutani seluas 150 ha.

Desa Arjasari dikenal dengan desa yang kaya akan kekayaan alamnya serta potensi sumber daya alam yang belum tersentuh oleh berbagai pihak khususnya investor-investor yang kerap mencari lahan untuk kemudian dibudidayakan. Potensi masyarakat Desa Arjasari terdiri dari beberapa aspek yaitu pertanian, peternakan, dan kegiatan usaha produktif. Berikut adalah penjelasan kegiatan-kegiatan tersebut:

5.1.2.1. Pertanian

Arjasari merupakan tempat yang cocok untuk mengembangkan usaha pada sektor pertanian. Arjasari memiliki wilayah seluas 768.848 ha, dengan ketinggian 700-1.000 di atas permukaan laut, curah hujan 3.660 per tahun, suhu harian rata-rata adalah 26oC. Sehingga daya dukung lingkungan terhadap pertanian masih terkategori tinggi. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang diunggulkan pada kekayaan alam Desa Arjasari, diantaranya adalah jagung manis sebagai salah satu yang diunggulkan pada sektor pertanian sebanyak 1 – 1,5 ton per hektar serta beras sebanyak 3,5 – 4 ton per hektar. Selain itu Desa Arjasari juga memiliki tanaman kopi yang sebagian besar ditanam dibawah pohon pinus, tanaman umbi-umbian, ubi cilembu, singkong, serta berbagai jenis tanaman palawija lainnya.

(29)

Jagung-jagung manis yang dihasilkan pada sektor pertanian Desa Arjasari kemudian dijual kepada tengkulak atau bandar seharga Rp 2.000,- mayoritas petani tidak menjual secara langsung ke pasar. Begitu juga dengan ubi cilembu para pertani tradisional kemudian menjual ubi cilembu ini kepada para tengkulak dengan harga Rp 6.000,- /kg. Mayoritas penduduk asli Desa Arjasari bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani, hal ini merupakan suatu kegiatan yang telah dilakukan secara turun temurun oleh mayoritas penduduk asli Desa Arjasari. Sementara mayoritas penduduk pendatang Desa Arjasari memiliki mata pencaharian yang beragam seperti pedagang, wirausaha

5.1.2.2. Peternakan

Pada umumnya setiap penduduk Desa Arjasari yang bertani juga turut melakukan kegiatan beternak. Kegiatan beternak ini juga merupakan suatu kegiatan mata pencaharian yang dilakukan secara turun temurun oleh para tetua sebelumnya. Desa Arjasari dikenal dengan hewan ternak Domba yang sangat diunggulkan pada sektor peternakan. Ternak domba ini menjadi sangat menguntungkan ketika hari raya Idul Adha tiba, berbagai kalangan masyarakat dari berbagai daerah kerap datang ke Desa Arjasari pada hari raya Idul Adha untuk mencari domba-domba berkualitas yang diunggulkan di Desa Arjasari. Pengelolaan kegiatan ternak domba ini dapat dikatakan cukup baik dan dapat mengikuti kondisi serta keadaan pasaran setiap saat.

Selain ternak domba yang sangat terkenal di Desa Arjasari ini, terdapat ternak ayam broiler, peternakan ini terletak di Desa Karangmukti yang sebagian besar merupakan peternakan yang berbentuk makloon. Makloon merupakan suatu perjanjian kerjasama yang disepakati oleh pihak peternak ayam dengan pihak yang telah menyediakan ayam, kandang dan obat-obatan. Jumlah keseluruhan ayam yang terdapat pada ternak ayam broiler ini adalah sebanyak 5.000 ekor per kandang.

Selain itu terdapat sapi pedaging dan sapi perah yang juga turut menjadi suatu potensi yang diunggulkan oleh Desa Arjasari ini. Namun dalam kenyataan nya terdapat beberapa kendala yang menghambat pertumbuhan peternakan warga Desa Arjasari. Berkaitan dengan hal ini Dinas Pertanian dan Peternakan melalui program SMD (Sarjana Masuk Desa) telah memberikan modal kepada para sarja yang kemudian dilakukan dengan harapan bahwa para peternak dapat memulai mengembangkan peternakannya lebih baik lagi.

(30)

5.1.2.3. Kegiatan usaha produktif atau Home Industry

Pada sektor kegiatan usaha produktif, Desa Arjasari memiliki salah satu keunggulan pada kegiatan usaha produktif yaitu tekstil. Kegiatan usaha produktif tekstil yang dimaksud ini merupakan kegiatan tekstil seperti pembuatan baju yang dilakukan di rumah masing-masing warga, usaha ini berawal dari sebagian tenaga kerja yang berasal dari Desa Arjasari yang bekerja di pabrik tekstil pada Kabupaten Bandung dan Kota Bandung yang kemudian dikembangkan oleh masing-masing tenaga kerja tersebut di lingkungan Desa Arjasari sehingga warga dapat menghasilkan produk tekstil khas penduduk Desa Arjasari.

Selain kegiatan usaha produktif tekstil, Desa Arjasari juga memiliki beberapa sektor usaha yaitu pabrik tahu, pabrik sabun rumahan, pabrik sepatu dan pabrik batako. Disamping itu terdapat usaha listrik yang terletak pada RW 14. Desa ini juga memiliki salah satu keunggulan pada sektor kuliner yang diolah secara langsung dari hasil pertanian desa ini seperti kerupuk yang terdapat pada RW 9, makanan ringan stik yang terdapat pada RW 14, kicimpring yang terdapat pada RW 9, combring yang terdapat pada RW 5 serta makanan-makanan ringan lainnya yang menjadi keunggulan Desa Arjasari.

5.1.2.4. Lahan Perhutani

Desa Arjasari merupakan desa yang masih sangat kaya akan kekayaan alamnya selain sektor pertanian dan sektor peternakan, Desa Arjasari memiliki lahan perhutani yang sangat luas dimana sebagian besar lahan tersebut ditanami dengan tanaman pohon pinus yang tumbuh besar secara alami di desa ini. Hal ini dapat dilihat secara jelas pada sepanjang jalan menuju Desa Arjasari yang terdiri dari hamparan hijau yang sangat luas dan berdiri berbagai pepohonan rindang sangat indah dengan pemandangan pegunungan serta bukit yang ada di sekitarnya.

5.1.3. Permasalahan Desa Arjasari 5.1.3.1. Permasalahan Masyarakat

Desa Arjasari merupakan seumbi desa yang masih sangat murni dan kaya akan kekayaan alamnya. Namun begitu pada kenyataannya dibalik berbagai potensi yang dimiliki oleh Desa Arjasari ini tentu terdapat permasalahan-permasalahan yang menjadi kendala dalam mendukung perkembangan Desa Arjasari ini. Permasalahan masyarakat

(31)

yang dialami dalam hal ini dapat dikatakan bahwa sebagian besar masyarakat Desa Arjasari termasuk dalam kategori masyarakat prasejahtera. Hal ini disebabkan oleh fluktuatifnya harga yang dihasilkan pada sektor pertanian. Selain itu berdasarkan hasil pengamatan dapat dikatakan bahwa sekitar dua hingga tiga persen masyarakat Desa Arjasari memiliki rumah yang tidak layak huni. Kriteria rumah tidak layak huni tersebut dapat ditinjau ketika rumah dengan luas yang tidak lebih dari 8 m2 namun dihuni oleh lebih dari satu kepala keluarga yang terdiri lebih dari sepuluh anggota keluarga, kemudian tidak terdapat sarana MCK (mandi, cuci, kakus) yaitu kamar mandi atau wc di dalam rumah sehingga warga yang tidak memiliki sarana ini harus berbagi kamar mandi dengan warga lainnya yang memiliki sarana tersebut.

5.1.3.2. Permasalahan Alam

Desa Arjasari merupakan desa yang masih sangat murni, sebagian besar lahan Desa Arjasari terdiri dari lahan hijau yang sangat luas. Namun begitu hal ini tidak menutup kemungkinan bagi desa yang terletak pada seumbi lereng gunung yang memiliki kemiringan yang cukup curam serta rapatnya kontur tanah untuk terjadinya longsor. Hal ini juga disebabkan karena kurangnya tanaman hijau yang berfungsi untuk menahan tanah pada lereng-lereng yang curam tersebut agar tidak longsor. Di sisi lain di desa yang terletak pada kaki gunung malabar ini kerap kali timbul kabut tebal yang muncul setelah hujan deras turun khususnya pada sore hari, hal ini tidak begitu mengganggu aktivitas warga pada saat siang hari namun menjelang terbenam nya matahari dan sangat kurangnya sarana penerangan jalan pada hampir sepanjang jalan desa ini menyebabkan terganggunya aktivitas masyarakat pada malam hari karena dapat mengurangi jarak pandang serta membahayakan pengendara.

Disamping itu akses jalan utama menuju Desa Arjasari dapat dikatakan tidak memadai, dikatakan demikian karena hampir sebagian besar jalan utama menuju Desa ini rusak dan hancur. Mirisnya kondisi tersebut telah terjadi selama beberapa tahun ini dan belum ada pihak yang menyentuh permasalahan tersebut. Hal serupa juga dapat dilihat pada RW 13 yang merupakan seumbi komplek perumahan dengan nama Kota Baru Arjasari yang terletak di daerah kaki gunung malabar dengan pemandangan alam yang sangat indah. Komplek yang asri dan indah ini dibangun oleh seumbi developer pada sekitar tahun 1990 namun seiring dengan perkembangan waktu menurut pengakuan warga, developer yang bersangkutan meninggalkan proyek tersebut

(32)

sehingga akses jalan yang sebelumnya dibangun mulus dengan beton dan aspal seiring dengan perkembangan waktu kian rusak dan tidak terpelihara dengan baik lagi. Hal ini juga yang menyebabkan rusaknya akses jalan menuju salah satu kawasan Desa Arjasari tersebut.

5.1.3.3. Permasalahan Pertanian

Ditinjau dari segi pertanian, penduduk Desa Arjasari dapat dikatakan terbagi menjadi dua golongan, yaitu penduduk asli Desa Arjasari yang mayoritas bermata pencaharian sebagai petani dan buruh tani yang dilakukan secara turun temurun, serta penduduk pendatang yang kemudian menempati Desa Arjasari dengan mata pencaharian yang beragam diantaranya adalah pedagang, peternak, petani, ibu rumah tangga, serta tenaga kerja yang bekerja di Kabupaten Bandung dan Kota Bandung. Berkaitan dengan ini penduduk sekitar cenderung menyebut penduduk pendatang yang bermata pencaharian petani sebagai petani profesional. Dikatakan demikian karena petani-petani yang merupakan penduduk pendatang ini cenderung menyewa sebagian lahan desa untuk kemudian diolah sebagai lahan pertanian mereka yang didukung dengan teknologi yang sangat memadai.

Pada sektor pertanian jagung terdapat ketergantungan dari bibit yang dihasilkan dari pabrik sehingga berdasarkan pengakuan beberapa warga serta kepala desa, hal ini dipandang bahwa terdapat suatu strategi yang digunakan oleh pabrik dalam menghasilkan bibit tersebut dengan harga yang fluktuatif sehingga dianggap merugikan para petani tradisional yang masih sangat tergantung pada bibit hasil olahan pabrik tersebut karena menurut pengakuan, para petani tradisional tidak dapat menghasilkan bibit sendiri.

Selain itu pada sektor pertanian jagung yang merupakan salah satu ikon dari Desa Arjasari ini, seringkali terjadi defisit yang disebabkan oleh perbedaan hasil panen yang dirasakan oleh petani tradisional apabila dibandingkan dengan petani profesional. Hasil pertanian petani tradisional dijual ke tengkulak / bandar dengan harga Rp 2.000,- /kg dengan hasil rata-rata 1 – 1,5 ton per hektar yang menghabiskan biaya operasional sekitar 2 – 2,5 juta rupiah per kilo bibit. Sementara hasil pertanian petani profesional dijual langsung ke pasar tanpa melalui tengkulak / bandar dengan harga lebih dari Rp 2.000,-/kg yaitu berkisar antara Rp 4.000,- hingga Rp 6.000,- dengan hasil rata-rata 2,5

(33)

– 3 ton per hektar namun hal ini dilakukan dengan biaya operasional yang sama dengan petani tradisional yaitu sekitar 2 – 2,5 juta rupiah per kilo bibit.

Namun begitu hal ini salah satunya disebabkan karena kualitas jagung yang dihasilkan oleh petani profesional memiliki hasil yang lebih baik yang didukung dengan teknologi yang tentunya lebih baik daripada petani tradisional. Dalam hal ini sangat nampak bahwa terdapat suatu kesenjangan sosial antara penduduk asli Desa Arjasari yang bermata pencaharian sebagai petani tradisional dan petani profesional tersebut. Selain itu lemahnya permasalahan pada sektor pertanian ini juga disebabkan salah satunya karena kurangnya kesadaran para pemuda serta pemudi desa ini untuk turut serta dalam mengembangkan sektor pertanian yang merupakan mata pencaharian mayoritas penduduk Desa Arjasari.

Pada sektor pertanian umbi-umbian penanaman dapat dilakukan dengan pembibitan sendiri dan tidak tergantung dengan bibit hasil olahan pabrik seperi pada sektor pertanian. Penanaman umbi-umbian ini dapat menggunakan obat kimia perangsang kentang yang didapat dari Lembang dan Pangalengan. Namun begitu dalam hal ini tidak terdapat pengaturan pola tanam yang baik sehingga hasil yang dihasilkan dapat dikatakan kurang maksimal, disamping itu kesadaran masyarakat mengenai pengaturan pola tanam masih sangat kurang sehingga pengaturan ini sangat sulit untuk dilaksanakan serta diterapkan untuk mendukung hasil pertanian yang lebih baik. 5.1.3.4. Permasalahan Kesehatan

Permasalahan kesehatan yang terdapat pada Desa Arjasari adalah kurangnya kesadaran mengenai kesehatan serta kebersihan lingkungan yang tidak menjadi perhatian utama masyarakat desa yang juga didukung dengan sulitnya akses menuju pelayanan kesehatan. Selain itu juga terdapat beberapa penyakit yang sering diderita oleh masyarakat Desa Arjasari seperti hipertensi, TBC, infeksi saluran pernafasan akut, dan lain-lain.

5.1.3.5. Permasalahan Potensi Kekayaan Alam

Desa Arjasari merupakan desa yang memiliki berbagai kekayaan alam yang masih sangat murni dan belum banyak tersentuh oleh pihak-pihak luar desa. Ditinjau dari potensi alamnya, desa ini memiliki potensi alam yang luar biasa yang dapat dijadikan icon wisata yang kemudian dapat menjadi sumber pendapatan bagi para penduduk desa untuk meningkatkan pendapatan warga desa dengan memaksimalkan

(34)

potensi alam yang ada tersebut. Namun begitu kurang memadai akses jalan utama untuk menjangkau desa ini dirasakan sebagai salah satu faktor penghambat masuknya investor untuk menanamkan modalnya di kawasan Desa Arjasari dengan membangun kawasan wisata di daerah sekitar Desa Arjasari ini sehingga dapat memaksimalkan potensi alam yang dimiliki oleh Desa Arjasari ini.

5.1.3.6. Permasalahan Teknologi

Desa Arjasari merupakan desa yang terletak di kaki gunung malabar dengan kekayaan alam yang sangat melimpah, namun begitu hal ini tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai sehingga berbagai potensi alam yang dimiliki Desa Arjasari tidak dapat dimanfaatkan dengan maksimal. Desa Arjasari memiliki hasil pertanian yang sangat menjual secara materil namun kurangnya teknologi dalam pengolahan lebih lanjut hasil pertanian tersebut menjadi kendala dalam pengolahan hasil pertanian yang lebih baik. selain itu dikatakan bahwa hampir segala kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh warga desa dilakukan secara tradisional, padahal dengan masuknya teknologi dan informasi yang memadai tentunya dapat juga meningkatkan kualitas pertanian serta peternakan Desa Arjasari serta meningkatkan kesadaran masyarakat desa dalam berbagai hal.

5.1.3.7. Permasalahan Perhutani

Desa Arjasari merupakan desa yang masih memiliki lahan perhutani yang sangat luas yaitu seluas 150 hektar. Hal ini tentunya dapat dimanfaatkan secara maksimal sebagai lahan hijau serta lahan resapan untuk menampung persediaan air dibawahnya. Belakangan ini Kementrian Kehutanan Republik Indonesia mengadakan program penghijauan pada lahan perhutanan Desa Arjasari dengan menanam tanaman jati dan tanaman jabon dengan perjanjian bahwa setelah umur 10 tahun kayu-kayu tersebut boleh ditebang dan selama itu penduduk Desa Arjasari yang bermata pencaharian sebagai petani masih dapat melakukan kegiatan bercocok tanam dibawahnya. Namun pada kenyataannya, pohon jati dan pohon jabon merupakan pohon besar yang tumbuh tinggi menjulang keatas sehingga untuk waktu 2 tahun pertama masyarakat desa masih dapat melakukan kegiatan bercocok tanam dibawahnya, namun setelah itu sinar matahari tidak dapat masuk ke sela-sela pepohonan jati dan jabon tersebut sehingga tanaman pertanian yang tumbuh dibawah pepohonan tersebut kekurangan sinar matahari. Hal ini menyebabkan menurunnya kegiatan produksi pertanian Desa Arjasari

(35)

dalam kurun waktu 2 tahun terakhir ini. Selain itu kurangnya kesadaran akan pengetahuan hukum dari penduduk Desa Arjasari sebagai pemiliki lahan-lahan yang kini ditanami oleh pepohonan jati dan jabon tersebut yang merupakan akar dari permasalahan ini terjadi. Berdasarkan pengakuan warga yang bersangkutan, warga hanya menandatangani secarik kertas tanpa pemahaman mengenai hal tersebut. Hal ini sangat disayangkan mengingat bahwa pada hakikatnya setiap masyarakat dianggap tahu hukum tak terkecuali bahwa seseorang tersebut merupakan petani yang tidak lulus sekolah dasar atau warga yang tinggal di pedalaman. Seseorang tersebut juga tidak bisa mengelak dari jeratan hukum dengan berdalih belum atau tidak mengetahui adanya hukum dan peraturan perundang-undangan tertentu. Namun begitu pada sisi pemerintahan, pemerintah berkewajiban untuk menyampaikan adanya hukum atau peraturan tertentu kepada masyarakat.

5.2. Keragaan Usahatani Ubi Jalar Petani 5.2.1. Benih Ubi jalar

Petani ubi jalar di lokasi penelitian yang dijadikan responden adalah petani yang menanam ubi jalar varietas kuningan putih (AC Putih) dan varietas ubi ungu. Varietas kuningan putih merupakan varietas lokal dan paling banyak dibudidayakan oleh petani di lokasi penelitian. Alasan petani menggunakan varietas kuningan putih karena varietas lokal unggulan dengan produktivitas tinggi, bercita rasa manis, bentuknya bulat, tahan terhadap panas, harga jual cukup tinggi, serta permintaan pasar selalu ada sepanjang tahun. Ciri fisik tanaman ubi jalar ini adalah daunnya yang runcing dan agak tipis serta berwarna hijau tua. Sedangkan varietas ubi ungu memiliki ciri fisik daunnya lebar dan tumbuh lebat serta warna daun yang hijau agak keunguan.

(36)

Gambar 5.1. Tanaman Ubi jalar Ungu (Kiri) dan Ubi Jalar Kuning (Kanan) yang Banyak Dibudidayakan oleh Petani di Arjasari

5.2.2. Status lahan dan Pola Taman Ubi Jalar

Petani ubi jalar di lokasi penelitian umumnya menanam ubi jalar di lahan miliknya. Pola tanam ubi jalar yang mereka gunakan umumnya pola tanam ubi-palawija/padi-ubi yakni pola tanam yang diselingi penanaman palawija untuk lahan kebun/ladang dan padi untuk lahan sawah. Tanaman penyelang palawija bisa juga diganti dengan tanaman kacang-kacangan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Petani yang tidak memiliki lahan biasanya menyewa atau menyakap lahan dengan biaya sewa dibayar menggunakan hasil panen ubi. Selain itu, ada juga yang menggarap lahan gadai untuk ditanami ubi jalar.

(37)

5.2.3. Penggunaan Pupuk dan Pestisida

Menurut ketua kelompok tani di lokasi penelitian, pemupukan biasanya dilakukan sekali saja yaitu pada saat usia tanaman menginjak sekitar 2 bulan dengan sistem pembukaan tanah. Tanah dibuka agar akarnya terlihat kemudian diberikan pupuk (umumnya pupuk NPK) lalu ditutup kembali dengan tanah tapi tidak terlalu dalam. Hal ini dimaksudkan agar akar dapat bernafas dengan lebih baik dan agar air hujan/irigasi bisa langsung mengenai akar tanaman sehingga proses pertumbuhan umbi akan lebih maksimal. Untuk lahan kebiun atau ladang, pemupukan dilakukan dengan melihat iklim, jika petani menilai bahwa akan turun hujan maka mereka akan segera melakukan pemupukan. Hal ini dilakukan karena pupuk NPK yang mereka pakai jika setelah diberikan tidak terkena air maka tidak akan diserap oleh tanaman.

Mengenai hama pengganggu tanaman, mereka mengeluhkan adanya hama “lanas” yang menyebabkan umbi manjadi busuk, permukaan kulit luar umbi tidak mulus dan menimbulkan bau yang kurang enak. Berdasarkan informasi dari beberapa orang petani, disebutkan bahwa jika ubi yang terkena hama tersebut diproses/dimasak maka akan terbentuk seacam racun yang dapat meyebabkan gangguan kesehatan. Untuk meminimalisisasi dampak dari serangan hama tersebut, petani umumnya melakukan semacam treatment khusus pada lahannya sebelum dilakukan petananaman atau pada saat pengolahan lahan. Mereka manambahkan kapur dolomit dan garam tanpa iodium agar benih/larva “lanas” mati dan mencegah induknya untuk menyimpan telur di tanah mereka. Penyemprotan insektisida juga mereka lakukan untuk mengatasi serangan hama pengganggu tanaman ubi. Namun demikian, menurut mereka, setelah segala usaha tersebut dilakukan, faktanya selalu ada saja umbi ubi jalar yang masih terkena hama “lanas” tersebut, walaupun tidak sampai 50% dari hasil panen.

(38)

Gambar 5.3. Salah satu tampilan daging ubi jalar yang terkena hama “lanas”

5.2.4. Hasil Produksi dan Sistem Pemasaran Ubi Jalar

Usahatani ubi jalar yang mereka budidayakan mampu menghasilkan produksi ubi jalar sebesar 250-300 kg untuk lahan sekitar 100 m2. Menurut mereka hasil panen ubi akan langsung dibeli oleh Bandar yang dating ke lokasi petani. Penyortiran ubi biasanya dilakukan bersamaan pada saat bandar datang. Ada juga yang memakai sistem tebasan, mereka menjual ubi tanpa harus memanen, panen dilakuka oleh pembeli/Bandar. Petani yang lebih mementingkan efisiensi biaya biasanya banyak yang menggunakan sistem ini.

(39)

Gambar 5.4. Beberapa Hasil Panenan Ubi Jalar di Lokasi Penelitian

5.3 Karakteristik Responden

Dalam pembahasan kali ini akan dijelaskan mengenai karakteristik responden. Responden pada penelitian kali ini adalah petani ubi jalar di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Ciri-ciri petani yang dapat dijadikan sebagai responden adalah petani ubi jalar yang telah memiliki pengalaman berusahatani ubi jalar paling tidak 1 musim tanam. Jumlah responden yang digunakan pada penelitian kali ini adalah 100 orang. Keseluruhan petani ubi jalar yang menjadi responden adalah petani ubi jalar yang berdomisili di Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai karakteristik responden/petani ubi jalar.

5.3.1 Karakteristik Petani Berdasarkan Usia

Gambar

Tabel 3.1. Kategori Status Keberlajutan
Gambar 5.1. Tanaman Ubi jalar Ungu (Kiri) dan Ubi Jalar Kuning (Kanan) yang  Banyak Dibudidayakan oleh Petani di Arjasari
Gambar 5.3. Salah satu tampilan daging ubi jalar yang terkena hama “lanas”
Gambar 5.4. Beberapa Hasil Panenan Ubi Jalar di Lokasi Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tarik mobil mainan secara perlahan dengan membelok belokkan arah ke suatu titik henti/finish ( ukur waktu menggunakan stopwatch hp/jam).  Siswa diminta menuliskan hasil

Dalam pelaksanaannya, siswa akan terlibat secara intelektual dan emosional dalam pembelajaran, siswa akan terdorong untuk mengonstruksi sendiri konsep yang sedang

Guru dan tenaga kependidikan wajib melaksanakan kegiatan pengembangan keprofesian secara berkelanjutan agar dapat melaksanakan tugas profesionalnya.Program

(4) Penilaian ranah afektif dalam menulis cerpen berdasarkan pengalaman yang pernah dialami siswa dapat menggunakan angket atau koesioner untuk mengetahui minat

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Antara Periode Laktasi dengan Body Condition Score dan Reproduksi

Untuk menyelamatkan sumberdaya hutan dari kepunahan dengan meningkatkan kualitas jenis tersebut dalam pembangunan hutan, maka perlu upaya dari pemerintah untuk membangun sumber

Pada kelas eksperimen terjadi peningkatan skor aspek kaidah tata bahasa Arab karena dengan media kartu gambar reka cerita siswa lebih paham menentukan susuna kalimat

Grafik step respon hasil simulasi untuk sistem pengendalian kcc epatan putaran motor diesel high speed dengan menggunakan kontro l er logika fuzzy kctika motor dilakukan