• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Pidana Pendanaan Terorisme Sebelum dan Sesudah Berlakunya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme T1 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB II Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Pidana Pendanaan Terorisme Sebelum dan Sesudah Berlakunya UndangUndang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme T1 BAB II"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

19

BAB II

PEMBAHASAN

A.

Tinjauan Pustaka

1.

Pengertian Terorisme

Istilah kata terorisme dalam bahasa inggris disebut Terorism yang berasal dari kata “Terror”

dan pelakunya disebut “Terrorist”. Pengertian mengenai terorisme sangatlah banyak, yaitu sebagai berikut:

a. Menurut Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 ayat 1, Tindak Pidana Terorisme adalah

segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan

dalam Undang-Undang ini. Mengenai perbuatan apa saja yang dikategorikan ke dalam

Tindak Pidana Terorisme, diatur dalam ketentuan pada Bab III (Tindak Pidana

Terorisme), Pasal 6, 7, bahwa setiap orang dipidana karena melakukan Tindak Pidana

Terorisme, jika:

1) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan

(2)

20

yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan

nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran

terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik

atau fasilitas internasional (Pasal 6).

2) Dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan bermaksud untuk

menimbulkan suasana terror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau

menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau

menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau

kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau

fasilitas publik atau fasilitas internasional (Pasal 7).

b. Menurut Oxford Paperback Dictionary, terror secara bahasa diartikan sebagai “Extreme

fear” (Ketakutan yang luar biasa), “Terrifying person of thing” (sesorang atau sesuatu

yang mengerikan). Sedangkan Terrorism” berarti “ use of violence and intimidation,

especially for political purpose” yang senada dengan pengertian di atas, Black Law

mendefinisikan terorisme sebagai “the us of threat of violence to intimidate or cause

panic, esp as a means of affecting political conduct”.1

c. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, Terorisme

merupakan pandangan yang subjektif2.

Bahwa hakekat perbuatan Terorisme mengandung perbuatan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang berkarakter politik. Bentuk perbuatan bisa berupa perompakan,

1Ari Wibowo, Hukum Pidana Terorisme, Cetakan Pertama, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012. h. 39.

(3)

21

pembajakan maupun penyanderaan. Pelaku dapat merupakan individu, kelompok, atau

negara. Sedangkan hasil yang diharapkan adalah munculnya rasa takut, pemerasan,

perubahan radikal politik, tuntutan Hak Asasi Manusia, dan kebebasan dasar untuk pihak

yang tidak bersalah serta kepuasan tuntutan politik lain3.

d. Terorisme hanya dapat dikategorikan sebagai kejahatan dalam hukum internasional bila

memenuhi kriteria yang disebutkan dalam 12 konvensi multilateral yang berhubungan

dengan Terorisme yaitu:

1) Convention on Offences and Certain Other Acts Committed On Board Aircraft

(“Tokyo Convention”, 1963).

2) Convention for the Suppression of Unlawful Seizure of Aircraft (“Hague

Convention”, 1970).

3) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Civil

Aviation (“Montreal Convention”, 1971).

4) Convention on the Prevention and Punishment of Crimes Against Internationally

Protecred Persons, 1973.

5) International Convention Against the Taking og Hostages (“Hostages Convention”,

1979).

6) Convention on the Physical Protection of Nuclear Material (“Nuclear Materials

Convention”, 1980).

(4)

22

7) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts of Violence at Airports Serving

International Civil Aviation, supplementary to the Convention for the Suppression of

Unlawful Acts against the Safety of Civil Aviation, 1988.

8) Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime

Navigation, 1988.

9) Protocol for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Fixed Platforms

Located on the Continental Shelf, 1988.

10)Convention on the Marking of Plastic Explosives for the Purpose of Detection, 1991.

11)International Convention for the Suppression of Terrorist Bombing (1997, United

Nations General Assembly Resolution).

12)International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999.

e. Menurut US Central Intelligence Agency (CIA). Terorisme Internasional adalah

Terorisme yang dilakukan dengan dukungan pemerintah atau organisasi asing dan atau

diarahkan untuk melawan negara, lembaga atau pemerintahan asing4.

f. Menurut US Federal Bureau of Investigation (FBI)5. Terorisme adalah penggunaan

kekuasaan tidak sah atau kekerasan atas seseorang atau harta untuk mengintimidasi

sebuah pemerintahan, penduduk sipil dan elemen-elemennya untuk mencapai

tujuan-tujuan sosial atau politik .

4

Muladi, Demokrasi, HAM dan Reformasi Hukum di Indonesia, Op. cit., h. 171.

(5)

23

g. Menurut US Departements of State and Defense6. Terorisme adalah kekerasan yang

bermotif politik dan dilakukan oleh agen negara atau kelompok subnasional terhadap

sasaran kelompok non kombatan. Biasanya dengan maksud untuk memengaruhi audien.

Terorisme internasional adalah terorisme yang melibatkan warga negara atau wilayah

lebih dari satu negara .

h. Menurut States of the South Asian Association for Regional Cooperation (SAARC)

Regional Convention on Suppression of Terrorism7. Terorisme meliputi:

1) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas

Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Hague, 16 Desember 1970.

2) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas

Keselamatan Penerbangan Sipil”, ditandatangani di Montreal, 23 September 1970.

3) Kejahatan dalam lingkup “Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman atas

Tindak Pidana Terhadap Orang-Orang yang secara Internasional Dilindungi,

termasuk Agen-Agen Diplomatik”, ditandatangai di New York, 14 Desember 1973.

4) Kejahatan dalam lingkup konvensi apapun dimana negara-negara anggota SAARC

adalah pihak-pihak yang mengharuskan anggotanya untuk menuntut atau melakukan

ekstradisi.

5) Pembunuhan, pembantaian, serangan yang mencelakakan badan, penculikan,

kejahatan yang berhubungan dengan senjata api, senjata, bahan peledak dan

bahan-bahan lain yang jika digunakan untuk melakukan kejahatan dapat berakibat kematian

atau luka yang serius atau kerusakan berat pada harta milik.

(6)

24

i. Menurut The Arab Convention on the Suppression of Terrorism, senada dengan

Convention of the Organisation of the Islamic Conference on Combating International

Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan atau ancaman kekerasan apapun motif dan

tujuannya, yang terjadi untuk menjalankan agenda tindak kejahatan individu atau

kolektif, yang menyebabkan teror di tengah masyarakat, rasa takut dengan melukai

mereka atau mengancam kehidupan, kebebasan, atau keselamatan atau bertujuan untuk

menyebabkan kerusakan lingkungan atau harta publik maupun pribadi atau menguasai

dan merampasnya atau bertujuan untuk mengancam sumber daya nasional. Disebut juga

bahwa tindak pidana terorisme adalah tindakan kejahatan dalam rangka mencapai tujuan

teroris di negara-negara yang menjalin kontak atau melawan warga negara, harta milik

atau kepentingannya yang diancam hukuman dengan hukuman domestik. Tindak

kejahatan yang ditetapkan dalam konvensi-konvensi sebagai berikut, kecuali yang belum

diratifikasi oleh negara-negara yang menjalin kontak atau dimana kejahatan-kejahatan

tersebut dikecualikan oleh perundang-undangan mereka. Juga dianggap sebagai tindak

kejahatan teroris, adalah tindakan yang melanggar antara lain ke 12 konvensi multilateral

yang telah disebutkan di atas.

j. Menurut Treaty on Cooperation among the States Members of the Commonwealth of

Independent States in Combating Terrorism, 1999. Terorisme adalah tindakan illegal

yang diancam dengan hukuman dibawah hukum pidana yang dilakukan dengan tujuan

merusak keselamatan publik, memengaruhi pengambilan kebijakan oleh penguasa atau

menteror penduduk dan mengambil bentuk:

1) Kekerasan atau ancaman kekerasan terhadap orang biasa atau orang yang dilindungi

(7)

25

2) Menghancurkan atau mengancam untuk menghancurkan harta benda dan objek

materi lain sehingga membahayakan kehidupan orang lain.

3) Menyebabkan kerusakan atas harta benda atau terjadinya akibat yang

membahayakan bagi masyarakat.

4) Mengancam kehidupan negarawan atau tokoh masyarakat dengan tujuan mengakhiri

aktivitas publik atau negaranya atau sebagai pembalasan terhadap aktivitas tersebut.

5) Menyerang perwakilan negara asing atau staf anggota organisasi internasional yang

dilindungi secara internasional begitu juga tempat-tempat bisnis atau kendaraan

orang-orang yang dilindungi secara internasional.

6) Tindakan lain yang dikategorikan sebagai teroris dibawah perundang-undangan

nasional atau instrumen legal yang diakui secara internasional yang bertujuan

memerangi terorisme.

k. Menurut Terrorism Act 2000, UK.Terorisme mengandung arti sebagai penggunaan atau

ancaman tindakan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

1) aksi yang melibatkan kekerasan serius terhadap seseorang, kerugian berat pada harta

benda, membahayakan kehidupan seseorang, bukan kehidupan orang yang melakukan

tindakan, menciptakan risiko serius bagi kesehatan atau keselamatan publik atau

bagian tertentu dari publik atau didesain secara serius untuk campur tangan atau

mengganggu sistem elektronik.

2) penggunaan atau ancaman didesain untuk memengaruhi pemerintah atau untuk

(8)

26

3) penggunaan atau ancaman dibuat dengan tujuan mencapai tujuan politik, agama atau

ideologi.

4) penggunaan atau ancaman yang masuk dalam subseksi 1) yang melibatkan

penggunaan senjata api atau bahan peledak.

l. Menurut European Convention on the Suppression of Terrorism, 1977.

1) kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Perampasan Tidak Sah atas

Pesawat Terbang, ditandatangani di Hague, Desember 1970.

2) kejahatan dalam lingkup Konvensi untuk Pembasmian Tindakan Tidak Sah atas

Keselamatan Penerbangan Sipil, ditandatangani di Montreal 23 September 1971.

3) kejahatan berat yang melibatkan serangan atas integritas fisik dan kehidupan atau

kebebasan orang-orang yang dilindungi secara internasional, termasuk agen-agen

diplomatic.

4) kejahatan yang melibatkan penculikan, penyanderaan atau penahanan berat yang tidak

sah.

5) kejahatan yang melibatkan penggunaan bom, granat, roket, senjata otomatis, atau

surat atau paket bom jika penggunaannya membahayakan orang lain.

6) usaha untuk melakukan kejahatan atau berpartisipasi sebagai kaki tangan seseornag

(9)

27

7) kejahatan serius yang melibatkan tindakan kekerasan, selain dari yang tercakup dalam

artikel 1) sampai 6) jika tindakan tersebut menimbulkan bahaya kolektif bagi orang

lain.

8) usaha untuk melakukan kejahatan yang tersebut sebelumnya atau berpartisipasi

sebagai kaki tangan seseorang yang melakukan kejahatan tersebut.

m. Menurut Muhammad Mustofa8

. Terorisme adalah tindakan kekerasan atau ancaman

kekerasan yang ditujukan kepada sasaran secara acak (tidak ada hubungan langsung

dengan pelaku) yang berakibat pada kerusakan, kematian, ketakutan, ketidakpastian dan

keputusasaan massal .

n. Menurut Charles Kegley dan Eugene Witkoff (The Global Agendas Issues and

Perspectives), mengemukakan sebanyak 109 definisi tentang terorisme, namun para ahli

setuju bahwa Terorisme adalah suatu cara untuk mencapai tujuan tertentu dengan

menggunakan ancaman kekerasan guna menimbulkan rasa takut dan korban

sebanyak-banyaknya secara tidak beraturan9

.

o. Menurut Conway Henderson (International Relations Cobflict and Cooperaion at the

turn of 21th Century), menyatakan bahwa10

: Terorisme adalah suatu aksi kekerasan yang

dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang atau jaringan, dimaksudkan untuk

menciptakan suasana atau keadaan berbahaya serta penuh ketakutan dan bisa muncul

tanpa motif apapun .

8 Muhammad Mustofa, Memahami Terorisme: Suatu Perspektif Kriminologi, Jurnal Kriminologi Indonesia

FISIP UI, vol 2 no III, Desember 2002, h. 30.

9 Makalah Seminar Terorisme Suatu Tantangan bagi POLRI, oleh Tim Perumus Seminar, Lemdiklat

POLRI Sekolah Lanjutan Perwira, h. 5.

(10)

28

p. Menurut Konvensi Perserikatan Bangsa - Bangsa tahun 1937, Terorisme adalah segala

bentuk tindak kejahatan yang ditujukan langsung kepada negara dengan maksud

menciptakan bentuk teror terhadap orang-orang tertentu atau kelompok orang atau

masyarakat luas .

q. Menurut A.C Manullang11. Terorisme adalah suatu cara untuk merebut kekuasaan dari

kelompok lain, dipicu antara lain karena adanya pertentangan agama, ideologi dan etnis

serta kesenjangan ekonomi, serta tersumbatnya komunikasi rakyat dengan pemerintah,

atau karena adanya paham separatisme dan ideologi fanatisme.

r. Menurut The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, Pasal 14 ayat 1

sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes

any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in

fear.”Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan

pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak

pelaku teror. Kegiatan Terorisme dilakukan umumnya dengan sasaran acak, bukan

langsung kepada lawan, sehingga dengan dilakukan teror tersebut, diharapkan akan

didapatkan perhatian dari pihak yang dituju12.

s. Menurut Laqueur (1999)13, setelah mengkaji lebih dari seratus definisi Terorisme,

menyimpulkan adanya unsur yang paling menonjol dari definisi-definisi tersebut yaitu

bahwa ciri utama dari Terorisme adalah dipergunakannya kekerasan atau ancaman

kekerasan. Sementara motivasi politis dalam Terorisme sangant bervariasi, karena selain

11 A.C Manullang, Menguak Tabu Intelijen Teror, Motif dan Rezim, Panta Rhei, Jakarta, Januari 2001, h.

151.

12 Loebby Loqman, Analisis Hukum dan Perundang-Undangan Kejahatan terhadap Keamanan Negara di

Indonesia, Universitas Indonesia, Jakarta 1990, h. 98.

(11)

29

bermotif politis, Terorisme seringkali dilakukan karena adanya dorongan fanatisme

agama.

2.

Pengertian Pendanaan Terorisme

Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan sebelumnya mengenai terorisme yaitu,

terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan yang mengancam kedaulatan setiap

Negara, maka Negara wajib melindungi masyarakat dari ancaman tindak pidana terorisme dan

aktifitas siapapun yang mendukung terorisme.

a. Pendanaan terorisme adalah penyediaan dukungan keuangan untuk terorisme baik bagi

yang memfasilitasi, merencanakan atau melakukan terorisme. Dimana sumber

pendanaan terorisme tersebut bisa berasal dari hasil kejahatan (proceeds of crime)

maupun kegiatan yang sah. Para teroris mulai masuk dalam sektor perbankan dengan

menggunakan nama samaran untuk menyembunyikan identitas asli dan tujuan

penggunaan dana dalam rekening. Cara yang dianggap tepat dalam mengatasi masuknya

teroris dalam sistem perbankan ialah dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan

harta teroris, seperti yang telah tercantum dalam special recommendation FATF.

Beberapa tipologi pendanaan terorisme menurut DR. Yunus Husein,14

antara lain

meliputi :

1) Rekening dibuka atas nama pelajar atau tanpa pekerjaan yang jelas yang

memiliki pola transaksi di luar profil;

2) Beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki alamat yang sama.

14

(12)

30

3) Rekening dormant (jika dalam suatu rekening tidak ada mutasi baik penarikan

atau penyetoran selama 6 (enam) bulan berturut-turut) yang aktif kembali dengan

adanya incoming transfer dengan nilai yang relatif besar yang kemudian ditarik

tunai atau transfer dalam beberapa kali transaksi;

4) Dana yang ditarik segera setelah terdapat setoran (transaksi pass-by), penarikan

tunai lewat ATM dengan nilai relatif kecil namun sering, hingga nilai saldo

minimal.

5) Peningkatan aktifitas transaksi setelah terjadinya aksi terror, diduga dana

digunakan untuk membantu proses kaburnya pelaku;

6) Underlying transaction berupa donasi (ke/dari yayasan, organisasi amal, LSM),

hasil penjualan buku, investasi usaha, biaya hidup untuk anggota keluarga;

7) Beberapa wire transfer ke beneficiary yang sama.

Tipologi dalam pendanaan terorisme ini pengelompokan dalam hal tipe atau jenis

penyediaan dana dalam sektor perbankan dengan menggunakan nama samaran untuk

menyembunyikan identitas asli dan tujuan penggunaan dana dalam rekening yang cara

mengatasinya yaitu dengan melakukan pembekuan terhadap aset dan harta teroris.

b. Menurut Golose dalam definisi pendanaan terorisme, secara implisit terkandung unsur

“aliran dana masuk (input)” dan “pemanfaatan dana (output)”.

c. Menurut UU No. 9 Tahun 2013 dapat diartikan bahwa ”Dana adalah semua aset atau

benda bergerak atau tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud,

yang diperoleh dengan cara apa pun dan dalam bentuk apa pun, termasuk dalam format

(13)

31

benda tersebut, termasuk tetapi tidak terbatas pada kredit bank, cek perjalanan, cek yang

dikeluarkan oleh bank, perintah pengiriman uang, saham, sekuritas, obligasi, bank draf,

dan surat pengakuan utang”.

d. Menurut UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan tindak Pidana

Pendanaan Terorisme, Tindak pidana pendanaan terorisme adalah perbuatan apapun

yang berkaitan dana, baik langsung atau tidak langsung dengan maksud atau diketahui

untuk kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris yang dapat dilihat dalam

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme pengertian pendanaan terorisme terdapat dalam Pasal 1

angka 1 berisi rumusan:

“Pendanaan Terorisme adalah segala perbuatan dalam rangka menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud untuk digunakan dan/atau yang diketahui akan digunakan

untuk melakukan kegiatan terorisme, organisasi teroris, atau teroris”. 15

3.

Motif dan Bentuk Pendanaan Terorisme

Input dana terorisme bisa dikategorikan dari tiga segi. Dari segi subyek pendana, pendanaan

terorisme dapat berasal dari negara, organisasi atau kelompok dan individu. Dari segi negara asal

dana, dapat dibedakan dari luar negeri maupun dalam negeri. Dari segi cara perolehannya, dapat

diperoleh secara legal maupun hasil kejahatan (ilegal), baik dari sumbangan legal, hasil bisnis

yang legal maupun hasil kejahatan, termasuk hasil dari aksi teror. Kelompok teroris juga mampu

mendapatkan pendanaan terorisme melalui cara lain seperti lewat pengumpulan dana legal dan

ilegal. Salah satu sumber dana legal yang diperoleh ialah lewat hasil sumbangan masyarakat

15 Pasal 1 angka 1 UU Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

(14)

32

melalui badan amal. Kelompok teroris mampu memanfaatkan sumbangan ini melalui tiga cara,

yaitu: Penyelewengan dana melalui penipuan. Contohnya sebuah badan amal yang sah

mengumpulkan dana dari masyarakat untuk amal kepada anak yatim, namun kemudian dana

tersebut diselewengkan oleh pengurus badan amal untuk pendanaan terorisme. Membuat badan

amal fiktif dan bertindak seolah-olah sebagai badan amal yang sah, padahal seluruh dana yang

terkumpul digunakan untuk mendanai terorisme. Dalam hal ini sebuah organisasi pada negara A

mengumpulkan dana di negara tersebut untuk tujuan amal. Setelah terkumpul dana tersebut

ditransfer ke organisasi lain di negara B. Oleh organisasi teroris di negara B, dana tadi digunakan

untuk pendanaan terorisme.

Terorisme kontemporer tidak lagi seperti terorisme tradisional yang umumnya ditandai

dengan adanya kelompok dengan personel komando yang jelas, organisasi sistem piramid

hirarkis, dan aktor yang terlibat penuh mulai dari perencanaan sampai pemetaan target.

Salah satu contoh pemanfaatan internet dalam pendanaan terorisme di Indonesia dengan jalan

mengekspolitasi sistem pembayaran online, adalah peretasan situs komersial. Jaringan teroris

Rizky Gunawan berhasil mendapatkan dana sejumlah Rp 5,937 miliar dari tahun 2010-2012

dengan meretas situs speedline.com. Dana tersebut ditampung di rekening bank milik Cahya

Fitrianta dan istrinya, Nurul Azmi Tibyani. Dana digunakan terkait kepentingan teroris sejumlah

Rp 667 juta untuk pembiayaan pelatihan paramiliter di Poso pada tahun 2011. Selain itu dana

juga digunakan untuk membeli beberapa aset, seperti rumah, mobil dan motor. Rizky Gunawan

diajarkan oleh Wawan Kurniawan alias Mawan untuk meretas situs dengan membuatkan

program stealer yang berfungsi untuk mencuri password dari sebuah situs, serta membuat

program code clicker complete checker (C4) yang digunakan untuk mengecek validitas login

(15)

33

Teroris juga masih memerlukan infrastruktur sistem keuangan untuk memobilisasi dan

menyalurkan dananya. Tetapi yang membuat pendanaan terorisme menjadi sangat berbahaya

dibandingkan bentuk kriminal lainnya dikarenakan strategi mereka dalam menggunakan

organisasi amal atau nirlaba sebagai sumber pendanaan dan kemampuannya menginfiltrasi

sistem keuangan negara-negara miskin dan berkembang. Selain itu sumber dana terorisme yang

dapat pula berasal dari sumber yang halal atau legal mempersulit penelusuran dan pembuktian

aliran dana terorisme dibandingkan dengan money laundering yang sumber dananya hanya dari

hasil tindak pidana.16

4.

Pengaturan Sebelum dan Sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme

Semakin berkembangnya zaman terorisme semakin lama semakin berkembang bahkan motif

tindakan pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan untuk dicapainya target-target

serta metode Terorisme kini semakin luas, canggih dan bervariasi. Sehingga ini yang

membuatnya semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif

biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia.

Sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme

terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha

melakukan kebijakan kriminal yang disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif

terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai terorisme. Dengan menyadari kerugian yang

dirasakan sangat besar ditimbulkan oleh suatu tindak terorisme dan dirasakan pula dampak yang

16

http://www.neraca.co.id/article/74931/perubahan-pola-pendanaan-terorisme-di-indonesia di kunjungi pada tanggal

(16)

34

secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bom Bali I, menjadikan pemerintah

berkewajiban untuk secepatnya mengusut tuntas tindak pidana terorisme tersebut dengan

memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut yang mana menjadi hal ini

prioritas utama dalam penegakan hukum.

Peraturan yang ada saat terjadinya tragedi Bom Bali I yaitu Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas

Tindak Pidana Terorisme, Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk

Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003

disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme.

Adanya keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut di

samping telah adanya peraturan yang mengatur yaitu, KUHP dan Undang-Undang Nomor 8

tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus dalam

rangka untuk memerangi terorisme. Hal ini dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum

Pidana yang bersifat khusus dapat tercipta karena17:

1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena

pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu

yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan

norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu

perundang-undangan Hukum Pidana.

17

(17)

35

2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan

perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan

undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.

3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan

khusus untuk segera menanganinya.

4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam

pembuktian.

Sebagai Undang-Undang khusus, Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur

secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara

umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP) ''(lex specialis derogat lex generalis)''. Keberlakuan lex

specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria:

a. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan

oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.

b. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus

tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang

dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak

bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.

Dalam konteks tindakan terorisme, ekonomi sebagai kebutuhan dasar sepadan dengan

pengadaan alat-alat untuk melancarkan aksi terror entah itu senjata ataupun bom dengan artian

bahwa upaya untuk memerangi suatu perbuatan terorisme, perlu memotong jaringan keuangan

(18)

36

untuk memerangi terorisme bukan hanya dengan mengkriminalisasi perbuatan teror yang

dilakukan oleh para teroris, tetapi juga mengkriminalisasi kegiatan pendanaan/pembiayaan

terorisme kepada para teroris. Faktor pendanaan rupanya sudah mengkontruksi kesadaran

bangsa Indonesia yang kemudian melahirkan sebuah undang-undang sebagai perwujudan tujuan

keamanan yang juga merupakan tugas utama hukum.

Dengan pertibangan tersebut, maka pemerintah berupaya untuk mengeluarkan beberapa

PerUndang-Undang yang mencakup tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana

pendanaan terorisme, yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme, Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 tentang pengesahan International

Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism 1999 dan Undang-Undang Nomor

8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pendanaan terorisme

tersebut diatas belum mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan

terorisme secara memadai dan komprehensif serta peraturan tersebut dirasa belum optimal dalam

mengkriminalisasi kegiatan pendanaan terorisme di Indonesia. Dengan adanya pertimbangan

tersebut maka pemerintah berupaya membuat Undang-Undang pendanaan terorisme yaitu

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme. Dengan kehadiran UU tentang pendanaan ini sangat diharapkan dapat

mencegah terjadi kembalinya tindakan-tindakan terorisme tersebut.

Pengaturan mengenai pendanaan terorisme sebelum adanya Undang-Undang Nomor 9

(19)

37

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Terorisme, dapat dilihat dalam Pasal 11, Pasal 12 dan Pasal 13 yang isinya yaitu:

Pasal 11 : “Setiap orang yang mengumpulkan atau menyediakan sejumlah dana dengan tujuan terorisme……..”

Pasal 12 : “Setiap orang yang menyediakan atau mengumpulkan harta kekayaan, dimana harta kekayaan disini didefinisikan secara lebih luas, untuk mendukung aksi terorisme yang

terkait dengan bahan-bahan nuklir, senjata kimia dan biologis, dan lain-lain.”

Pasal 13 : “Setiap orang yang memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, antara lain dengan memberikan atau meminjamkan uang atau barang atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku tindak pidana terorisme.”

Untuk pengaturan mengenai pendanaan terorisme setelah adanya Undang-Undang Nomor 9

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang

terdapat dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dapat dilihat dalam Pasal Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, dan

Pasal 8 yang isinya yaitu:

Pasal 4: “Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah).”

Pasal 5: “Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana

pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”

Pasal 6: “Setiap Orang yang dengan sengaja merencanakan, mengorganisasikan, atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara seumur

hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.”

Pasal 8: “Dalam hal tindak pidana pendanaan terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal

4, Pasal 5, dan Pasal 6 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi dan/atau

Personel Pengendali Korporasi.”

(20)

38

1.

Analisis Undang-Undang

Jika dibandingkan antara Perppu No. 1 Tahun 2002 dengan UU No. 9 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, Dalam UU No. 9 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dijelaskan

dengan terperinci mengenai unsur-unsur apa saja dan siapa saja yang menjadi pelaku tindak

pidana pendanaan terorisme yang terdapat dalam Pasal 2, tetapi dalam Perppu. No.1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi

Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tidak diatur secara tersirat mengenai hal tersebut dalam

suatu pasal khusus tetapi diatur bersamaan dengan pemberian sanksi pidana terhadap pelaku

tindak pidana pendanaan terorisme .

Ancaman pidana untuk pelaku perorangan tak jauh berbeda. Ancaman pidana bagi

penyumbang kegiatan terorisme dalam Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15

Tahun 2003 dipidana paling lama 15 tahun penjara tanpa pengaturan tentang denda sedangkan

dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme dipidana paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak

Rp. 1 miliar. Di dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, terdapat pengaturan mengenai orang yang

merencanakan dan mengorganisasikan kegiatan pendanaan tersebut yang dipidana seumur hidup

(21)

39

Dalam Perppu No. 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tidak diatur

mengenai pemidanaan untuk setiap orang yang merencanakan dan/atau menggerakan orang lain

untuk melakukan aksi terorisme, atau berkontribusi dalam pelaksanaan anti terorisme yang

dilakukan oleh sekelompok orang dengan tujuan untuk membantu kelancaran aksi terorisme

tetapi di dalam UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme mengatur hal tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pencucian Uang tersebut belum menjelaskan secara terperinci mengenai

pencegahan dan pemberantasan pendanaan terorisme dan belum dapat mengkriminalisasi

kegiatan pendanaan terorisme bagi para teroris tetapi hanya menjelaskan mengenai

perbuatan-perbuatan yang dikategorikan dan/atau disamakan dengan hasil tindak pidana dalam pencucian

uang dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan.

Untuk pidana yang dijerat kepada korporasi, pada Perppu No. 1 Tahun 2002 pidana pokok

tentang pengaturan korporasi yang melakukan tindak pidana terorisme yaitu sebesar Rp. 1

Triliyun dan selain pidana denda korporasi yang terlibat tindak pidana terorisme hanya

dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang, tetapi pada UU

No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

diatur lebih rinci jika dibandingkan Perppu No. 1 Tahun 2002. Pasal 8 ayat (2) UU No. 9 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme

menyebutkan, pidana dijatuhkan terhadap korporasi jika tindak pidana pendanaan terorisme

dilakukan atau diperintahkan oleh personel pengendali korporasi, dilakukan dalam rangka

(22)

40

pemberi perintah dalam korporasi atau dilakukan oleh personel pengendali korporasi dengan

maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Dan dalam ayat (4) disebutkan, pidana pokok yang

dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda paling banyak Rp100 miliar.

Selain pidana denda, korporasi yang terbukti terlibat dalam kegiatan terorisme juga dijatuhi

pidana tambahan berupa pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan korporasi, pencabutan izin

usaha dan dinyatakan sebagai korporasi terlarang, pembubaran korporasi, perampasan aset

korporasi untuk negara, pengambilalihan korporasi oleh negara dan pengumuman putusan

pengadilan. Bahkan, UU No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme juga mengatur bahwa jika korporasi tak mampu membayar pidana

denda, diganti dengan perampasan harta kekayaan milik korporasi atau personel pengendali

korporasi yang berkaitan dengan tindak pidana pendanaan terorisme, dengan jumlah yang sama

dengan putusan pidana yang dijatuhkan. Jika penjualan harta kekayaan tersebut tak mencukupi,

pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap personel pengendali korporasi dengan

memperhitungkan denda yang telah dibayar.

Jadi pada dasarnya pengaturan mengenai tindak pidana terorisme sebelum adanya UU No. 9

Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme belum

terperinci dan belum tegas mengatur pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan

terorisme seperti pengaturan tentang tindak pidana pendanaan terorisme yang terdapat dalam

Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme. Dalam Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme pengaturannya tidak hanya terbatas pada

pendekatan dengan cara mengejar pelaku sehingga dapat dijatuhi hukum sesuai peraturan

(23)

41

karena jaringan yang begitu luas dan tersembunyi membuat eksistensi mereka terjaga tetapi

melakukan pendekatan follow the money dengan maksud agar kegiatan terorisme ini tidak dapat

menjalankan rencana-rencananya untuk melakukan teror itu sendiri. (lampiran I)

2.

Analisis Putusan perkara

Untuk menjawab rumusan masalah, penelitian ini menganalisis 2 kasus pendanaan

terorisme, di mana satu kasus diputus sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, sedangkan

satu kasus lagi diputus setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme.

Dalam Putusan No.113/PID/2013/PT.DKI tentang tindak pidana terorisme, terdakwa Cahya

Fitriyanta dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana

Terorisme dan Tindak Pidana Pencucian Uang”. Terdakwa melakukan hacking ke website bisnis

online yaitu untuk mengumpulkan dana guna melanjutkan perjuangan yang mereka sebut sebagai

jihad. Dengan menggunakan senjata api yang memerlukan biaya dan peralatan, membantu para

umahat (istri istri yang ditinggal oleh suaminya karena ketangkap maupun yang syahid)

sebagaimana yang diperintahkan oleh Santoso (telah meninggal dunia) selaku penyelenggara

pelatihan militer di daerah Poso dan bahwa terdakwa pada periode bulan Juli 2011 hingga awal

bulan September 2011 menempatkan uang hasil transaksi balance yang merupakan hasil dari

hacking website investasi online sebesar lima ratus juta rupiah dibeberapa rekening orang lain

lalu oleh Terdakwa ditarik dan lalu ditransferkan kebeberapa rekening milik Terdakwa dengan

(24)

42

menurut DR. Yunus Husein mengenai hal beberapa rekening atas nama berbeda yang memiliki

alamat yang sama.

Karena perbuatannya tersebut, maka terdakwa Cahya dijerat dengan Pasal 15 jo. Pasal 11

Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang

telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang No.8

Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.18 Pasal 15

Perppu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana telah

ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun 2003 berisi rumusan:

”Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.”

Dan diteruskan dengan Pasal 11 Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun

2003 berisi rumusan:

“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, setiap orang yang dengan sengaja menyediakan atau mengumpulkan dana dengan tujuan akan digunakan atau patut diketahuinya akan digunakan sebagian atau seluruhnya untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, dan Pasal 10.”19

Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang berisi rumusan:

18

Putusan Mahkamah Agung No. 113/PID/2013/PT.DKI Tentang Tindak Pidana Terorisme.

19 Pasal 15 dan Pasal 11 Perpu. No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

(25)

43

“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).”

Putusan yang kedua yaitu Putusan No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM. tentang tindak

pidana terorisme. Bahwa Terdakwa Riyanto alias Ato Margono alias Abu Ulya terbukti secara

sah dan meyakinkan bersalah melakukan “Tindak Pidana Terorisme dan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme”. Terdakwa bersama dengan Farid menggunakan sepeda motor jenis Mio

JT milik Farid mengambil 1 (satu) unit sepeda motor jenis Yamaha Jupiter warna Silver Biru

yang diparkir dalam halaman sebuah rumah di Jalur Dua Parigi dengan cara terdakwa jual ke

Ustad Mualim dengan harga tiga juta tiga ratus ribu rupiah. Ustad Mualim membayar sepeda

motor Yamaha Jupiter tersebut dengan cara menitipkan uang pembayarannya kepada Rohim

(iparnya Arif) lalu dari uang tersebut terdakwa sisihkan sebesar tujuh ratus ribu rupiah untuk

uang kas kelompok Santoso yang dipegang oleh Jundi, Sisanya terdakwa bagi dua dengan Farid.

Sehingga masing-masing mendapat sebesar satu juta tiga ratus ribu rupiah. Lalu Yono Piti

memberikan uang kepada Terdakwa sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah hasil penjualan 1

(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu. Uang hasil penjualan 1

(satu) unit sepeda motor Jenis Yamaha Vixion warna Hitam abu-abu dibagi-bagi, yang mana

uang hasil penjualan sepeda motor sebesar lima juta lima ratus ribu rupiah disisihkan terlebih

dahulu oleh terdakwa dan Jundi sebesar 20 (dua puluh) persen yaitu sebesar satu juta seratus ribu

rupiah untuk uang kas kelompok Santoso yang dipegang Jundi. Setelah itu sisanya sebesar empat

juta empat ratus ribu rupiah dibagi berempat sehingga terdakwa, Jundi, Rodik dan Farid

(26)

44

sepeda motor - sepeda motor disisihkan untuk Santoso dan kelompok terorisnya yang digunakan

oleh Santoso untuk membiayai kegiatan Santoso dalam melakukan Tindak Pidana Teroris.

Karena Perbuatan Terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam pidana menurut Pasal

5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Pasal 5 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang

Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme berisi rumusan:

“Setiap Orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.”

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme yang berisi rumusan:

“Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Dalam memutus suatu perkara, hakim harus mempertimbangkan apakah perbuatan pidana

tersebut telah memenuhi unsur yang yang terkandung di dalam Pasal yang telah dijatuhkan atau

belum dan hakim juga perlu mempertimbangkan segala sesuatu yang terjadi selama proses

persidangan. Dengan hal ini, putusan yang telah dijatuhkan hakim terhadap kedua perkara

tersebut diatas telah memenuhi unsur dalam Pasal 15 jo. Pasal 11 Perppu. No.1 Tahun 2002

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi

Undang-Undang No.15 Tahun 2003 dan Pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang

(27)

45

serta Pasal 5 jo. Pasal 4 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme dalam putusan perkara yang kedua.

Dalam putusan perkara yang pertama tersebut diatas, hakim juga menjatuhkan pemidanaan

mengenai tindak pidana pencucian uang selain menjatuhkan pemidanaan mengenai tindak pidana

terorisme terhadap terdakwa Cahya Fitriyanta karena dalam perkara tersebut terdakwa telah

melakukan transaksi perbankan yang mana terdakwa telah menggunakan beberapa no. rekening

pihak lain untuk melakukan transaksi keuangan via bank agar aliran danannya tidak di curigai

yang dalam hal ini dapat disebut dengan pencucian uang sebagai perbuatan tindak pidana untuk

melakukan tindak pidana pendanaan terorisme.

Dalam putusan No. 113/PID/2013/PT.DKI pemidanaan terhadap pelaku pendanaan terorisme

masih menggunakan dasar hukum Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Terorisme sebagaimana yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang No.15 Tahun

2003 dan oleh karena perbuatan tindak pidana pendanaan terorisme yang dilakukan terdakwa

Cahya Fitriyanta sebelum adanya peraturan khusus mengenai pendanaan terorisme yaitu

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pendanaan Terorisme. Maka dari itu putusan hakim terhadap perkara tersebut telah sesuai

dengan aturan hukum yang berlaku pada saat terjadinya tindak pidana pendanaan terorisme.

Sedangkan dalam putusan perkara yang kedua yaitu No. 629/PID/Sus/2014/PN.JKT.TIM,

pemidanaan terhadap perbuatan terdakwa Riyanto telah diputus menggunakan UU bersifat

khusus mengenai Pendanaan Terorisme. Oleh karena pada saat terdakwa melakukan tindak

pidana pendanaan terorisme UU tersebut telah diberlakukan. Perbuatan terdakwa tidak dapat di

jatuhi hukuman dengan Perppu. No.1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

(28)

46

karena mengingat bahwa terdapat asas Lex specialis derogat legi generali yang artinya adalah

asas penafsiran hukum yang menyatakan bahwa hukum yang bersifat khusus (lex specialis)

mengesampingkan hukum yang bersifat umum (lex generalis). Ada beberapa prinsip dalam asas

lex specialis derogat legi generalis, yaitu:

1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali

yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut;

2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentuan-ketentuan lex

generalis (undang-undang dengan undang-undang);

3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang

sama dengan lex generalis. Kitab Undang Hukum Dagang dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata sama-sama termasuk lingkungan hukum keperdataan.

Pengaturan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pendanaan terorisme sebelum

diberlakukan Undang-Undang No. 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pendanaan Terorisme dalam putusan perkara pertama yaitu putusan perkara nomor No.

113/PID/2013/PT.DKI yang salah satunya dalam perkara tersebut dikenai pidana Pasal 3

Undang-Undang No.8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana

Pencucian Uang berisi rumusan:

“Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 (dua

(29)

47

Makna kata “hasil tindak pidana” dalam rumusan pasal 3 Undang-Undang No.8 Tahun 2010

Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, adalah suatu perbuatan

dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana pencucian uang

yang dalam perkara diatas dalam rangka untuk mendanai perbuatan terorisme harus berasal dari

hasil perbuatan tindak pidana. Jika perbuatan tersebut bukan merupakan hasil dari tindak pidana

maka tidak masalah jika uang tersebut digunakan untuk mendanai aktivitas terorisme.

Dalam perkara yang kedua hakim menjatuhkan pidana menurut Pasal 4 Undang-Undang

Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan

Terorisme yang berisi rumusan:

“Setiap Orang yang dengan sengaja menyediakan, mengumpulkan, memberikan, atau meminjamkan Dana, baik langsung maupun tidak langsung, dengan maksud digunakan seluruhnya atau sebagian untuk melakukan Tindak Pidana Terorisme, organisasi teroris, atau teroris dipidana karena melakukan tindak pidana pendanaan terorisme dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”

Makna kata “dengan maksud digunakan” dalam rumusan Pasal diatas mengandung arti

segala sumber dana yang digunakan dimaksudkan untuk dipakai mendanai kegiatan terorisme

maka dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pendanaan terorisme.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, hakim dalam memutus perkara pendanaan

terorisme dalam putusan pertama diatas salah satunya dikenai pidana Undang-Undang No.8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang yang

dalam rumusan pasal 3 tersebut mengenai asal – usul uang yang diterima dalam pendanaan

(30)

48

sedangkan jika asal uang tersebut bukan merupakan hasil tindak pidana maka perbuatan tersebut

tidak dapat dikenakan dalam pasal tersebut.

Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, perkara pendanaan terorisme di jatuhkan

pidana dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan

Tindak Pidana Pendanaan Terorisme mengingat terdapat asas dalam hukum pidana yang

menyatakan hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang umum dan rumusan dalam

Pasal 4 UU pendanaan terorisme tersebut diatas mengenai tujuan menggunakan dana dalam

berbagai macam dan berbagai bentuk apapun dengan maksud untuk tujuan terorisme maka dana

yang dikumpulkan dan disediakan baik dalam bentuk dana legal maupun Illegal dengan maksud

tujuan digunakan untuk mendanai kegiatan terorisme maka dikatakan sebagai tindak pidana

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang Berbunyi : Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan ancaman

Pasal 803 menyebutkan bahwa, larangan melindungi terorisme, barangsiapa yang melindungi atau menyembunyikan atau dengan bukti yang layak dipercaya, telah melakukan pelanggaran

“Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan

(1) Setiap orang yang dengan sengaja menyelenggarakan, memberikan, atau mengikuti pelatihan militer, atau pelatihan lain, baik di dalam negeri maupun di luar

Pasal 82 Undang-Undang Perlindungan Anak berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat,

Proposal dalam draf RUU – jika disetujui – akan menambahkan cakupan penggunaan hukuman mati bagi mereka yang dengan sengaja menggerakan orang lain (Pasal 14) untuk melepaskan

Apabila kematian itu tidak dengan sengaja, tidak dikenakan pasal ini, yang mungkin dikenakan pasal 359 (karena kurang kehati-hatiannya, meyebabkan matinya orang lain) atau pasal

15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme Pasal 7 berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasaan atau ancaman kekerasaan bermaksud untuk menimbulkan suasana