• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata OLEH FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS DI BELAWAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata OLEH FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS DI BELAWAN"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata OLEH FUNGI PADA

BERBAGAI TINGKAT SALINITAS DI BELAWAN

DINDA DWI UTAMI SIRAIT 151201062

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(2)

DEKOMPOSISI SERASAH DAUN Rhizophora mucronata OLEH FUNGI PADA BERBAGAI TINGKAT SALINITAS DI

BELAWAN

SKRIPSI

Oleh:

DINDA DWI UTAMI SIRAIT 151201062

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2019

(3)

Tanggal Lulus : 12 Juli 2019

(4)
(5)

ABSTRAK

DINDA DWI UTAMI SIRAIT. Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora mucronata oleh Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas di Belawan.

Di bawah bimbingan YUNASFI dan BUDI UTOMO.

Rhizophora mucronata merupakan salah satu jenis tanaman mangrove yang cukup dominan dijumpai di Belawan. Serasah-serasah R. mucronata yang jatuh ke lantai hutan sangat mudah mengalami proses dekomposisi yang dibantu oleh dekomposer yaitu mikroba tanah. Fungi merupakan spesies yang berperan penting dalam proses dekomposisi serta dapat membantu proses pertumbuhan tanaman. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui populasi dan jumlah frekuensi kolonisasi fungi, untuk mengetahui jumlah jenis dan indeks keanekaragaman fungi pada serasah daun R. mucronata di berbagai tingkat salinitas di Belawan. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juli – Oktober 2018.

Teknik pengambilan sampel dengan cara Purposive Sampling yaitu menentukan 3 titik stasiun pengamatan berdasarkan perbedaan salinitas. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa populasi fungi tertinggi yaitu pada stasiun 1 dengan tingkat salinitas 0 – 10 ppt senilai 4,04 × 102 cfu/ml. Frekuensi kolonisasi fungi pada proses dekomposisi serasah tertinggi yaitu jenis Trichoderma sp. 2.

Jumlah jenis fungi tertinggi yaitu pada tingkat salinitas 0 – 10 ppt sebanyak 13 jenis fungi. Indeks keanekaragaman fungi pada salinitas 0 – 10 ppt, 11 – 20 ppt, 21 – 30 ppt yaitu 2,43; 2,3; 2,01. Indeks keaneragaman jenis fungi di perairan Belawan menunjukkan kisaran yang sama yaitu sedang yang menggambarkan bahwa produktivitas cukup, kondisi ekosistem cukup seimbang, tekanan ekologis seimbang.

Kata Kunci: Dekomposisi, fungi, mangrove, Rhizophora mucronata, serasah.

(6)

ABSTRACT

DINDA DWI UTAMI SIRAIT. Rhizophora mucronata Leaf Litter Decomposition by Fungi on Various Level of Salinity in Belawan. Under Academic Supervision by YUNASFI and BUDI UTOMO.

Rhizophora mucronata is one type of mangrove plant that is quite dominant found in Belawan. R. mucronata litter-litter that falls to the forest floor are very susceptible to decomposition process is aided by soil microbial decomposers. Fungi are species that play an important role in the decomposition process and can assist the process of plant growth. The purpose of this study was to determine the frequency of colonization of the population and the number of fungi, to determine the number of species and diversity index fungi in leaf litter R.

mucronata at different levels of salinity in the Belawan. The research was conducted in July – October 2018. The sampling technique purposive sampling method of determining the 3-point observation stations based on differences in salinity. Based on the results of this research is that the highest fungi population at station 1 with salinity 0 – 10 ppt worth 4.04 × 102 cfu / ml. The frequency of colonization of fungi in litter decomposition process highest kind of Trichoderma sp. 2. The number of species of fungi highest at the level of salinity 0 – 10 ppt as many as 13 species of fungi. Fungi diversity index at salinity 0 – 10 ppt, 11 – 20 ppt, 21 – 30 ppt which is 2,43; 2,3; 2,01. Multifaceted index species of fungi in Belawan waters show the same range that is currently illustrating that sufficient productivity, ecosystem conditions fairly balanced, ecologically balanced pressure.

Keywords: Decomposition, fungi, litter, mangrove, Rhizophora mucronata.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Kisaran, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 23 September 1997, dari Ayahanda Syahrin Sirait dan Ibunda Suryawati. Penulis merupakan anak kedua dari empat bersaudara kandung.

Penulis mengikuti pendidikan di TK pada tahun 2003.

Pada tahun 2009, penulis melanjutkan pendidikan di SD Negeri No 015900 Tinggi Raja dan pendidikan menengah pertama di tempuh dari tahun 2012 di SMP Negeri 1 Pulo Bandring, penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 4 Kisaran pada tahun 2015. Penulis melanjutkan pendidikan di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara melalui Jalur SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri). Penulis mengikuti Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) pada tanggal 18 Juli – 27 Juli 2017 di KHDTK Pondok Buluh Sumatera Utara.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Yogyakarta. Pada tanggal 24 Agustus - 04 September 2018. Pada tahun 2019 penulis menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora mucronata oleh Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas di Belawan”.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis sampaikan kepada Allah SWT karena atas segala rahmat dan rezeki yang telah diberikan-Nya sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul “Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora mucronata oleh Fungi Pada Berbagai Tingkat Salinitas di

Belawan”. Skripsi ini sebagai syarat untuk menyelesaikan tugas akhir di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Ayahanda Syahrin Sirait dan Ibunda Suryawati yang selalu memberikan dukungan semangat, moril/materil, serta doa yang tak henti kepada penulis selama mengikuti pendidikan hingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Saudara perempuan penulis Essy Lusiana Sirait, serta adik-adik penulis Bambang Aji Sirait, Yolanda Amalia Sirait yang telah memberikan dukungan doa dan semangat kepada penulis.

2. Dr. Ir. Yunasfi, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Dr. Budi Utomo, SP, MP selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing, memberi masukan dan arahan kepada penulis dalam menulis dan menyelesaikan skripsi ini. Team penguji Dr. Evalina Herawati, S.Hut., M.Si, Ridahati Rambey, S.Hut., M.Si, Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si yang telah memberi masukan dalam penyelesaian skripsi ini.

3. Ketua dan Sekretaris Departemen Budidaya Hutan, Mohammad Basyuni, S.Hut., M.Si., Ph.D. dan Dr. Deni Elfiati, SP., MP. dan seluruh Staf Pengajar dan Pegawai di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan.

4. Hiba DRPM Dikti tahun 2018 sebagai pihak sponsor dalam penelitian sehingga dapat berjalan dengan yang diharapkan.

5. Teman satu tim penelitian Elda Fitri Yani Harahap, Dian Sartika Tampubolon, dan Rizky Syahdana yang telah bekerja sama dengan baik sehingga penelitian berjalan dengan lancar.

6. Terima kasih kepada sahabat seperjuangan Irma Nurmayanti, Tamara Syafina Lubis, Ervi Alantina Matondang, Nurul Aliyah Harahap, Putri Gea, Muhammad Habibi Hasibuan, Rio Affandi, Robby Indrawan, Rahmad Hidayat, sahabat penelitian Hama dan Penyakit, teman-teman angkatan 2015 Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan serta kepada berbagai pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Terima kasih Staf pegawai Laboratorium Hama dan Penyakit yang membantu dalam penyelesaian penelitian penulis.

Penulis berharap, semoga pihak yang telah memberikan semua bentuk bantuan mendapat balasan dari Allah SWT atas amal perbuatannya. Penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Medan, Juli 2019 Dinda Dwi Utami Sirait

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

RIWAYAT HIDUP ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 3

Kerangka Penelitian ... 3

Tujuan Penelitian ... 5

Manfaat Penelitian ... 5

TINJAUAN PUSTAKA ... 6

Kondisi Umum Mangrove ... 6

Zonasi Mangrove ... 6

Fungsi Hutan Mangrove ... 7

Interaksi di Ekosistem Mangrove ... 9

Taksonomi dan Morfologi Rhizophora mucronata ... 9

Dekomposisi Serasah Mangrove Rhizophora mucronata ... 10

Peran Mikoorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah ... 12

Fungi ... 13

Pasang Surut ... 15

Salinitas ... 16

METODE PENELITIAN ... 17

Waktu dan Tempat ... 17

Alat dan Bahan ... 17

Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel ... 17

Stasiun I ... 18

Stasiun II ... 18

Stasiun III ... 19

Prosedur Penelitian ... 19

(10)

Pengumpulan Data ... 19

Pengambilan Sampel ... 20

Sterilisasi Alat dan Bahan ... 20

Pembuatan Media PDA ... 20

Isolasi Fungi ... 21

Identifikasi Fungi ... 21

Analisis Data ... 22

Indeks Keanekaragaman ... 22

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil ... 23

Jenis Fungi yang Terdapat pada Proses Dekomposisi Serasah Daun R. mucronata pada Salinitas 0 – 10 ppt ... 23

Jenis Fungi yang Terdapat pada Proses Dekomposisi Serasah Daun R. mucronata pada Salinitas 11 – 20 ppt ... 25

Jenis Fungi yang Terdapat pada Proses Dekomposisi Serasah Daun R. mucronata pada Salinitas 21 – 30 ppt ... 28

Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 30

Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 31

Indeks Keanekaragaman Fungi ... 31

Pembahasan ... 32

Jenis Fungi Dekomposer pada Serasah Daun R. mucronata dengan Berbagai Tingkat Salinitas ... 32

Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 34

Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 35

Indeks Keanekaragaman Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 36

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 4

2. Zonasi Mangrove ... 7

3. Pohon Rhizophora mucronata ... 10

4. Stasiun 1 (Salinitas 0 – 10 ppt) ... 18

5. Stasiun 2 (Salinitas 11 – 20 ppt) ... 18

6. Stasiun 3 (Salinitas 21 – 30 ppt) ... 19

7. Aspergillus sp. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), fialid (b), konidia (c) ... 24

8. Trichoderma sp. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk konidia (b), konidia (c) ... 24

9. Trichoderma sp. 1. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk konidia (b), konidia (c) ... 25

10. Aspergillus flavus. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), vesikel (b), fialid (c), konidia (c) ... 25

11. Trichoderma sp. 2. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk konidia (b), konidia (b) ... 27

12. Tidak Teridentifikasi. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b)... 27

13. Cladosporium herbarum. Koloni umur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b)... 27

14. Rhizoctonia sp. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), hifa (a) ... 28

15. Aspergillus fumigatus. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), Konidiofor (a), vesikel (b), fialid (c), konidia (d) ... 29

(12)

16. Humicola fuscoatra. Koloni umur 7 hari pada media PDA (A)

dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b)... 29 17. Trichoderma sp. 4. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A)

dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk

konidia (b), konidia (c) ... 30 18. Mucor sp. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan

bentuk mikroskopik (B), sporangiofor (a), sporangium (b),

kolumela (c) ... 30 19. Perbandingan Jumlah Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 31 20. Perbandingan Populasi Fungi pada Berbagai Tingkat Salinitas ... 31 21. Grafik Indeks Keanekaragaman Jenis Fungi pada Berbagai Tingkat

Salinitas ... 32

(13)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Jumlah koloni rata-rata × (102 cfu/ml) tiap jenis fungi pada serasah daun R. mucronata yang belum mengalami proses dekomposisi

0 -10 ppt ... 23 2. Jumlah koloni rata-rata × (102 cfu/ml) setiap jenis fungi dalam

15 hari sekali dan frekuensi kolonisasinya pada proses dekomposisi serasah daun R. mucronata selama 90 hari

pada salinitas 11 – 20 ppt ... 26 3. Jumlah koloni rata-rata × (102 cfu/ml) setiap jenis fungi dalam

15 hari sekali dan frekuensi kolonisasinya pada proses dekomposisi serasah daun R. mucronata selama 90 hari

pada salinitas 21 – 30 ppt ... 28

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman 1. Kegiatan Penelitian ... 45

2. Hasil Pengukuran Salinitas (ppt) ... 52 3. Jumlah Koloni × (102 cfu/ml) Berbagai Jenis Fungi setiap Ulangan

pada Serasah Daun R. mucronata yang Telah Mengalami Proses Dekomposisi selama 15 sampai 75 Hari di Lingkungan dengan

Salinitas 0 – 10 ppt ... 52 4. Jumlah Koloni × (102 cfu/ml) Berbagai Jenis Fungi setiap Ulangan

pada Serasah Daun R. mucronata yang Telah Mengalami Proses Dekomposisi selama 15 sampai 90 Hari di Lingkungan dengan

Salinitas 11 – 20 ppt ... 53 5. Jumlah Koloni × (102 cfu/ml) Berbagai Jenis Fungi setiap Ulangan

pada Serasah Daun R. mucronata yang Telah Mengalami Proses Dekomposisi selama 15 sampai 90 Hari di Lingkungan dengan

Salinitas 21 – 30 ppt ... 54 6. Matriks Hubungan Pengaruh Tingkat Salinitas terhadap Jumlah

Koloni Rata-rata × (102 cfu/ml) Berbagai Jenis Fungi pada Serasah Daun R. mucronata yang Belum dan

Telah Mengalami Proses Dekomposisi selama 75 Hari ... 55

(15)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Mangrove dikenal sebagai satu diantara bentuk ekosistem yang dapat menjaga sistem ekologis baik di daerah tropis maupun subtropis dengan menyediakan niches (relung ekologi) bagi berbagai flora, fauna dan mikroba.

Jamur endofit adalah salah satu mikroba yang telah ditemukan di hampir semua keluarga tumbuhan, termasuk tumbuhan mangrove. Komunitas jamur endofit merupakan komponen penting dari suatu ekosistem hutan dan berkontribusi sangat nyata pada keanekaragaman dan struktur tumbuhan (Giordano et al, 2009).

Wilayah pesisir meliputi bagian daratan dan lautan. Bagian daratan, baik kering maupun terendam air, masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Bagian lautan dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Proses- proses alami tersebut berpengaruh terhadap perbedaan penggenangan yang berakibat pada perbedaan salinitas pada zona tumbuh dan penyebaran kawasan mangrove. Zona tumbuh di kawasan mangrove mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap degradasi lingkungan. Daya adaptasi ini akan menentukan komposisi jenis yang menyusun suatu hutan mangrove (Jumiati, 2008).

Rhizosfer merupakan daerah yang ideal untuk pertumbuhan mikroorganisme tanah yang umumnya didominansi oleh bakteri, aktinomicetes, dan fungi. Rhizosfer kaya akan eksudat yang dikeluarkan oleh tanaman melalui proses sekresi akar. Kandungan eksudat antara lain karbohidrat, asam amino, asam organik, enzim, dan senyawa-senyawa lain. Mikroorganisme dapat memanfaatkan eksudat melalui proses dekomposisi. Dekomposisi eksudat oleh mikroorganisme menghasilkan energi dan senyawa prekursor. Senyawa prekursor

ini dapat dimanfaatkan oleh mikroorganisme dan tanaman (Widiastutik dan Nur, 2014).

Serasah adalah guguran daun yang jatuh ke lantai hutan. Serasah yang mengalami dekomposisi akan menyumbangkan bahan organik yang merupakan

(16)

sumber pakan bagi berbagai jenis ikan dan biota, serta organisme lain di ekosistem mangrove. Proses dekomposisi serasah dilakukan oleh organisme

seperti cacing, kepiting, dan mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi (Yunasfi, 2006).

Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove antara lain mengandung unsur makro, contohnya nitrogen, fosfor dan karbon yang tinggi dan akan larut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton.

Fitoplakton sebagai produsen utama di perairan memfiksasi karbon lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme konsumen. Pada jenjang tropik berikutnya yang lebih tinggi, konsumen primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumen sekunder dan seterusnya sampai pada konsumen puncak. Proses tersebut apabila berjalan dengan baik merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove sebagai penyedia sumber energi dan nursery ground (Mahmudi et al., 2008).

Fungi akan mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati.

Proses dekomposisi dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh fungi

yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik Proses dekomposisi oleh fungi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan

misalnya air, substrat, derajat keasaman, suhu, oksigen dan salinitas (Dix dan Webster, 1995).

Pemanfaatan berbagai jenis fungi yang diperkirakan berperan dalam proses dekomposisi serasah daun mangove merupakan salah satu usaha yang dapat digunakan untuk memanfaatkan potensi biologis yang terdapat pada ekosistem mangrove. Fungi merupakan pengurai utama dalam dekomposisi daun-daun mangrove karena mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin.

Selulosa dan lignin secara bersama merupakan komponen utama penyusun dinding sel di daun (Yunasfi dan Suryanto, 2008).

Keanekaragaman jenis fungi sangat berpengaruh terhadap laju dekomposisi serasah daun. Fungi merupakan agen utama dalam proses dekomposisi sehingga dapat menghasilkan unsur hara. Dekomposisi sangat erat hubungannya dengan bakteri dan fungi yang merupakan agen utama dalam proses dekomposisi.

(17)

Terhambatnya proses ini akan berakibat pada terakumulasinya bahan organik yang tidak dapat dimanfaatkan langsung oleh produsen (Bako et al., 2016)

Perumusan Masalah

Daun mangrove yang gugur akan mengalami proses dekomposisi melalui tahapan supaya serasah terurai. Pada tiap tahapan dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti musim hujan dan panas, pasang surut perairan, salinitas, sehingga didapatkan jenis fungi dan jumlah yang berbeda-beda. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan beberapa permasalahan yaitu:

1. Bagaimana jumlah populasi dan frekuensi kolonisasi fungi pada serasah daun R. mucronata yang mengalami proses dekomposisi pada berbagai tingkat salinitas?

2. Bagaimana jumlah jenis fungi dan Indeks Keanekaragaman fungi pada berbagai tingkat salinitas di Belawan?

Kerangka Pemikiran

Mangrove menghasilkan serasah daun yang berfungsi sebagai sumber pakan bagi biota. Serasah yang akan mengalami dekomposisi dilakukan oleh cacing, kepiting dan organisme pencabik lainnya. Hasil dari cabikan tersebut diuraikan oleh mikroorganisme yaitu bakteri dan fungi. Fungi merupakan pengurai utama dalam dekomposisi daun-daun mangrove karena mempunyai kemampuan untuk menguraikan selulosa dan lignin. Proses dekomposisi oleh fungi di mangrove sangat dipengaruhi oleh lingkungan seperti salinitas. Tingkat salinitas akan mempengaruhi banyaknya jenis fungi pada ekosistem mangrove. Secara skematis, kerangka pemikiran tersebut dapat digambarkan seperti yang pada Gambar 1.

(18)

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Keterangan: Aspek yang diteliti

Aspek yang tidak diteliti

Ekosistem Mangrove

Serasah Daun Rhizopora mucronata

Proses Dekomposisi

Organisme/ Mikroorganisme Lingkungan Perairan

Fungi Salinitas

Bakteri

Identifikasi dan Kolonisasi Fungi Makrobenthos

Keseimbangan Ekosistem

(19)

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui jumlah populasi dan frekuensi kolonisasi fungi yang terdapat pada proses dekomposisi serasah daun R. mucronata pada berbagai tingkat salinitas.

2. Untuk mengetahui jumlah jenis dan indeks keanekaragaman fungi pada berbagai tingkat salinitas di Belawan.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian adalah untuk mengetahui berbagai jenis fungi pada ekosistem mangrove sehingga dapat dimanfaatkan untuk mempercepat terjadinya proses dekomposisi serasah daun R. mucronata dan dapat dijadikan bahan informasi untuk masyarakat sekitar sehingga dapat dilakukan pemanfaatan dan pengelolaan perairan pantai khususnya kawasan ekosistem mangrove secara terpadu dan berkelanjutan di Belawan.

(20)

TINJAUAN PUSTAKA

Kondisi Umum Mangrove

Menurut Surat Keputusan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian No. 60/Kpts/DJ/I/1978 tentang silvikultur hutan payau, hutan mangrove adalah tipe hutan yang terdapat di sepanjang pantai atau sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Sedangkan menurut Nybakken (1992) hutan mangrove adalah sebutan umum yang digunakan untuk menggambarkan suatu varietas komunitas pantai tropik yang didominasi oleh beberapa spesies pohon-pohon yang khas atau semak-semak yang mempunyai kemampuan untuk tumbuh dalam perairan asin.

Berdasarkan vegetasi penyusunnya, hutan mangrove dapat dibedakan atas tiga macam, yaitu hutan mangrove utama (major mangrove), yaitu hutan mangrove yang tersusun atas satu jenis tumbuhan mangrove yang terdiri atas jenis-jenis campuran; dan tumbuhan asosiasi (associated plants), yaitu berbagai jenis tumbuhan yang berada di sekitar hutan mangrove yang kehidupannya sangat bergantung pada kadar garam, dan kelompok tumbuhan ini biasanya hidup di daerah yang hanya digenangi air laut pada saat pasang maksimum saja. Vegetasi penyusun hutan mangrove yang ada di Indonesia ini tergabung dalam 37 suku tumbuhan, yang terdiri atas pohon (14 suku), perdu (4 suku), terna (5 suku), liana (3 suku), epifit (10 suku ), dan parasit (1 suku). Untuk suku Rhizophoraceae, yang semua anggotanya terdiri atas pohon meliputi Bruguiera cylindrica, B. exaristata, B. gymnorrhiza, B. sexangula, Ceriops decandra, C. tagal, Kandelia candel, Rhizophora apiculata, R. mucronata, dan R. stylosa (Sudarmadji, 2004).

Zonasi Mangrove

Zona vegetasi mangrove nampaknya berkaitan erat dengan pasang surut.

Beberapa penulis melaporkan adanya korelasi antara zonasi mangrove dengan tinggi rendahnya pasang surut dan frekuensi banjir (Van Steenis, 1958 dan Chapman, 1976). Di Indonesia, areal yang selalu digenangi walaupun pada saat pasang rendah umumnya didominasi oleh Avicennia alba atau Sonneratia alba.

Areal yang digenangi oleh pasang sedang didominasi oleh jenis-jenis Rhizophora.

(21)

Adapun areal yang digenangi hanya pada saat pasang tinggi, yang mana areal ini

lebih ke daratan, umumnya didominasi oleh jenis-jenis Bruguiera dan Xylocarpus granatum, sedangkan areal yang digenangi hanya pada saat pasang

tertinggi (hanya beberapa hari dalam sebulan) umumnya didominasi oleh Bruguiera sexangula dan Lumnitzera littorea.

Pada umumnya, lebar zona mangrove jarang melebihi 4 kilometer, kecuali pada beberapa estuari serta teluk yang dangkal dan tertutup. Pada daerah seperti ini lebar zona mangrove dapat mencapai 18 kilometer seperti di Sungai Sembilang, Sumatera Selatan (Danielsen dan Verheugt, 1990) atau bahkan lebih dari 30 kilometer seperti di Teluk Bintuni, Irian Jaya (Erftemeijer et al, 1989).

Adapun pada daerah pantai yang tererosi dan curam, lebar zona mangrove jarang melebihi 50 meter. Untuk daerah di sepanjang sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut, panjang hamparan mangrove kadang-kadang mencapai puluhan kilometer seperti di Sungai Barito, Kalimantan Selatan. Panjang hamparan ini bergantung pada intrusi air laut yang sangat dipengaruhi oleh tinggi rendahnya pasang surut, pemasukan dan pengeluaran material ke dalam dan dari sungai, serta kecuramannya.

Gambar 2. Zonasi Mangrove ( Sumber: http://muhamaze.wordpress.com)

Fungsi Hutan Mangrove

Ekosistem mangrove berperan penting dalam mendukung kehidupan organisme yang terdapat di dalamnya. Adapun fungsi hutan mangrove menurut

(22)

Kusmana et al. (2005) dapat dibedakan ke dalam tiga macam, yaitu fungsi fisik, fungsi ekonomi dan fungsi biologi seperti yang berikut.

1. Fungsi fisik :

- Menjaga garis pantai dan tebing sungai dari erosi/abrasi agar tetap stabil - Mempercepat perluasan lahan

- Mengendalikan intrusi air laut

- Melindungi daerah belakang mangrove/pantai dari hempasan gelombang dan angin kencang

2. Fungsi ekonomi :

- Merupakan penghasil kayu sebagai sumber bahan bakar (arang, kayu bakar), bahan bangunan (balok, atap rumah, tikar)

- Memberikan hasil hutan bukan kayu seperti madu, obat-obatan, minuman serta makanan, tanin dan lain-lain.

- Merupakan lahan untuk produksi pangan dan tujuan lain (pemukiman, pertambangan, industri, infrastruktur, transportasi, rekreasi dan lain-lain) 3. Fungsi biologi :

- Merupakan tempat mencari makan (feeding ground), tempat memijah (spawning ground) dan tempat berkembang biak (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang dan biota laut lainnya.

- Menjadi tempat bersarang berbagai jenis satwa liar terutama burung

Struktur vegetasi mangrove memiliki fungsi yang begitu penting bagi keberlangsungan makhluk hidup baik secara fisik, ekologi, dan ekonomi. Secara fisik, vegetasi mangrove berfungsi sebagai pelindung pantai dari pengaruh gelombang laut, membentuk daratan. Secara ekologi vegetasi mangrove berfungsi sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah pemijahan (spawning ground), dan tempat mencari makan (feeding ground) bagi beranekaragam biota perairan seperti ikan, udang, dan kepiting (Cahyanto dan Kuraesin, 2013).

Salah satu fungsi hutan mangrove adalah sebagai peredam hempasan gelombang, sistem perakarannya dapat berperan sebagai pemecah gelombang sehingga pemukiman yang ada di belakangnya dapat terhindar dari tekanan gelombang dan badai, kondisi tersebut terjadi apabila hutan mangrove masih terjaga dengan baik (Hidayatullah dan Pujiono, 2014).

(23)

Interaksi di Ekosistem Mangrove

Mangrove merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Mangrove terdiri dari berbagai jenis tanaman (pada sebagian besar daerah di Indonesia didominasi oleh Rhizophora spp. dan Avicennia spp.) yang memiliki sifat khusus yaitu dapat beradaptasi tumbuh pada air asin (laut), fauna, dan organisme lain (seperti jamur dan mikroorganisme) beserta komponen abiotik (seperti udara, air, tanah) dimana satu sama lain berinteraksi membentuk suatu kesatuan yang memiliki habitat di perbatasan antara wilayah daratan dan lautan (pesisir) sehingga dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Elhaq dan Satria, 2011).

Mangrove merupakan ekosistem yang berada pada wilayah intertidal, dimana pada wilayah tersebut terjadi interaksi yang kuat antara perairan laut, payau, sungai dan terestrial. Interaksi ini menjadikan ekosistem mangrove mempunyai keanekaragam yang tinggi baik berupa flora maupun fauna.

Mangrove hidup di daerah tropik dan subtropik, terutama pada garis lintang 25°

LU dan 25° LS. Tumbuh-tumbuhan tersebut berasosiasi dengan organisme lain (fungi, mikroba, algae, fauna, dan tumbuhan lainnya) membentuk komunitas mangrove. Komunitas mangrove tersebut berinteraksi dengan faktor abiotik (iklim, udara, tanah, dan air) membentuk ekosistem mangrove. Tanpa kehadiran tumbuhan mangrove, kawasan tersebut tidak dapat disebut sebagai ekosistem mangrove (Martuti, 2013).

Taksonomi dan Morfologi Rhizophora mucronata

Klasifikasi Rhizophora mucronata (Bakau Hitam) Gambar 3 : Kingdom : Plantae

Divisio : Magnoliophyta Clasis : Magnoliopsida Ordo : Myrtales

Familia : Rhizophoraceae Genus : Rhizophora

Species : Rhizophora mucronata

(24)

Gambar 3. Pohon Rhizophora mucronata

Tumbuhan dari suku Rhizophoraceae ini berbatang pendek, bercabang banyak dengan akar tunjang. Batang menyilinder hampir berwarna hitam atau kemerahan serta permukaan batang kasar. Akar tumbuh melengkung, tetapi sebelum mencapai tanah biasanya masih bercabang lagi. Akar tumbuh dari bagian batang yang agak tinggi bahkan dari dahan-dahannya pun tumbuh akar-akar yang disebut akar udara. Daun tebal dan berwarna hijau cerah yang berkelompok diujung cabang atau ranting. Bagian bawah daun terdapat bintik-bintik cokelat.

Bunganya kecil-kecil, tebal dan berwarna putih kekuningan. Buah memanjang seperti telur, berbiji satu dan berwarna kecokelatan (Sugiarto dan Willy, 1996).

Rhizophora mucronata tumbuh pada habitat yang beragam di daerah pasang surut, lumpur, pasir dan batu, menyukai pematang sungai pasang surut, tetapi juga sebagai jenis pionir di lingkungan pesisir atau pada bagian daratan dari mangrove. Pada umumnya tumbuh dalam kelompok, dekat atau pada pematang sungai pasang surut dan di muara sungai, jarang sekali tumbuh pada daerah yang jauh dari air pasang surut. Pertumbuhan optimal terjadi pada areal yang tergenang dalam, serta pada tanah yang kaya akan humus (Setiawan, 2012).

Dekomposisi Serasah Mangrove Rhizophora mucronata

Produksi serasah merupakan bagian yang penting dalam transfer bahan organik dari vegetasi ke dalam tanah. Unsur hara yang dihasilkan dari proses dekomposisi serasah di dalam tanah sangat penting dalam pertumbuhan mangrove

(25)

dan sebagai sumber detritus bagi ekosistem laut dan estuari dalam menyokong kehidupan berbagai organisme akuatik. Apabila serasah di hutan mangrove ini diperkirakan dengan benar dan dipadukan dengan perhitungan biomassa lainnya, akan diperoleh informasi penting dalam produksi, dekomposisi, dan siklus nutrisi ekosistem hutan mangrove (Kavvadias et al., 2001).

Serasah adalah sisa organik dari tanaman dan hewan yang ditemukan baik di permukaan tanah atau di dalam mineral tanah itu sendiri. Serasah daun merupakan 70% dari total serasah di permukaan tanah. Hutan Mangrove mempunyai produktivitas bahan organik yang sangat tinggi, tetapi hanya kurang lebih 10%

dari produksinya dapat langsung dimakan oleh herbivora, sisanya masuk ke dalam ekosistem dalam bentuk detritus. Sebagian besar dari produksi tersebut dimanfaatkan sebagian detritus atau bahan organik mati seperti daun-daun mangrove yang gugur sepanjang tahun, dan melalui aktivitas mikroba dekomposer dan hewan hewan pemakan detritus kemudian diproses menjadi partikel-partikel halus (Galaxy et al., 2014).

Dalam aliran energi hutan mangrove, daun memegang peranan penting karena merupakan sumber nutrisi bagi organisme. Seluruh bahan organik ini merupakan sumber nutrisi bagi organisme perairan. Serasah yang jatuh akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme menjadi detritus. Semakin banyak serasah yang dihasilkan dalam suatu kawasan mangrove maka semakin banyak pula detritus yang dihasilkan. Detritus inilah yang menjadi sumber makanan bernutrisi tinggi untuk berbagai jenis organisme perairan (khususnya detritifor) yang selanjutnya dapat dimanfaatkan oleh organisme tingkat tinggi dalam jaring-jaring makanan (Zamroni dan Immy, 2008).

Proses dekomposisi bahan-bahan tumbuhan dipengaruhi oleh kandungan lignin dan lilin dalam bahan tumbuhan, suplai nitrogen, kondisi lingkungan, aerasi tanah, kelimpahan mikroorganisme, dan suhu udara. Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut. Adapun jenis organisme yang terdapat dalam ekosistem mangrove terdiri atas organisme baik yang cukup besar seperti

(26)

kepiting, serangga maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi (Sutedjo et al., 1991)

Pada dasarnya, serasah yang dihasilkan oleh hutan mangrove antara lain mengandung unsur makro, contohnya nitrogen, fosfor, dan karbon yang tinggi dan akan larut dalam air sehingga dapat menunjang proses pertumbuhan fitoplankton.

Fitoplakton sebagai produsen utama di perairan memfiksasi karbon lewat fotosintesis dan sekaligus menyediakan energi bagi organisme konsumen. Pada jenjang tropik berikutnya yang lebih tinggi, konsumen primer akan berlaku sebagai sumber makanan bagi konsumen sekunder dan seterusnya sampai pada konsumen puncak. Proses tersebut apabila berjalan dengan baik merupakan kemampuan daya dukung ekosistem mangrove sebagai penyedia sumber energi dan nursery ground (Mahmudi et al, 2008).

Peran Mikroorganisme dalam Proses Dekomposisi Serasah

Serasah adalah bahan organik yang belum terurai, berupa bagian tumbuhan yang sudah mati yang terdapat di permukaan tanah. Dekomposisi sampah merupakan proses yang penting di dalam ekosistem tanah, memegang peran utama dalam transfer energi dan nutrien. Telah diketahui dengan baik bahwa penguraian serasah tanaman di permukaan tanah dilakukan oleh berbagai jenis mikroorganisme baik bakteri, aktinomisetes maupun jamur. Dari semua kelompok mikroorganisme tersebut jamur merupakan agen dekomposisi bahan organik yang paling efisien, terutama untuk sampah atau serasah yang berasal dari tumbuhan.

Sebagai agen dekomposisi sisa-sisa tumbuhan, sangat penting untuk membentuk dan menjaga komunitas tumbuhan. Banyak jenis kapang, jamur mikroskopis yang hidup di tanah memiliki kemampuan dalam mendegradasi sisa-sisa bahan organik baik dari sisa organisme lainnya maupun serasah (Miranti, 2015).

Serasah yang jatuh akan mengalami dekomposisi yang melibatkan peran mikroorganisme seperti bakteri dan fungi. Dekomposisi akan berjalan lebih cepat jika terdapat penambahan mikroorganisme tersebut. Oleh karena itu, dengan penambahan fungi pada serasah daun tersebut, diharapkan proses dekomposisi akan lebih cepat. Dekomposisi merupakan proses perubahan secara fisik maupun secara kimiawi yang sederhana oleh mikroorganisme tanah, dan terkadang disebut mineralisasi. Proses dekomposisi dimulai dari proses penghancuran yang

(27)

dilakukan oleh serangga kecil terhadap tumbuhan dan sisa bahan organik mati menjadi ukuran yang lebih kecil. Kemudian dilanjutkan dengan proses biologi yang dilakukan oleh bakteri dan fungi untuk menguraikan partikel-partikel organik. Proses dekomposisi oleh bakteri dan fungi sebagai dekomposer dibantu oleh enzim yang dapat menguraikan bahan organik seperti protein, karbohidrat dan lain-lain (Hanum dan Kuswytasari, 2014).

Untuk dapat dimanfaatkan oleh organisme yang terdapat dalam hutan mangrove, serasah tersebut perlu didekomposisi terlebih dahulu menjadi bahan lain yang dapat menjadi sumber makanan bagi organisme tersebut. Faktor-faktor yang berperan dalam dekomposisi serasah adalah iklim, kondisi lingkungan tempat tumbuh, dan organisme. Faktor iklim mencakup curah hujan, kelembaban nisbi, intensitas cahaya matahari, suhu udara dan lain-lain. Faktor kondisi lingkungan tempat tumbuh yang berperan adalah suhu air, pH air, salinitas air dan lain-lain. Adapun jenis organisme yang terdapat dalam ekosistem mangrove terdiri atas organisme baik yang cukup besar seperti kepiting, serangga maupun yang kecil seperti bakteri dan fungi. Dalam proses dekomposisi, semua faktor tersebut saling berinteraksi satu dengan yang lainnya (Yunasfi, 2006).

Fungi akan mengeluarkan enzim yang menghancurkan molekul-molekul organik kompleks seperti protein dan karbohidrat dari tumbuhan yang telah mati.

Proses dekomposisi dimulai dengan kolonisasi bahan organik mati oleh fungi yang mampu mengautolisis jaringan mati melalui mekanisme enzimatik. Proses dekomposisi oleh fungi sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan misalnya air, substrat, derajat keasaman, suhu, oksigen dan salinitas (Dix dan Webster, 1995).

Fungi

Fungi memiliki lebih banyak varian morfologis dibandingkan bakteri dan mempunyai sel yang lebih besar. Fungi termasuk eukariotik, dimana intinya berselubung dan mereka menghasilkan badan-badan buah. Fungi ada yang bersifat uniseluler dan ada juga yang bersifat multiseluler dengan miselium. Fungi tingkat rendah akuatik bersifat uniseluler, pada bentukan yang lebih tinggi mampu menghasilkan miselium, walaupun tanpa septa (Waluyo, 2007).

Fungi parasit menyerap bahan organik dari organisme yang masih hidup yang disebut inang. Fungi semacam itu dapat bersifat parasit obligat yaitu parasit

(28)

sebenarnya dan parasit fakultatif yaitu organisme yang mula-mula bersifat parasit, kemudian membunuh inangnya, selanjutnya hidup pada inang yang mati tersebut sebagai saprofit. Fungi parasit dapat menyerang tumbuhan, hewan maupun manusia. Dari 50.000 spesies fungi yang ada, sebenarnya hanya kurang dari 300 spesies yang secara langsung bertindak sebagai agen penyakit pada manusia dan hewan (Kusnadi, 2012).

Fungi memiliki banyak keunikan yang memperkaya keanekaragaman jenis mahluk hidup. Fungi merupakan organisme yang morfologi nya mirip dengan tumbuhan namun fakta nya sangat berbeda dengan jenis tumbuhan. Tidak seperti tumbuhan yang memproduksi makanannya sendiri melalui proses fotosintesis, fungi mengandalkan organisme lain untuk memperoleh nutrisi. Perbedaan signifikan lainnya yaitu fungi memiliki kitin (substansi yang digunakan oleh insekta dan crustase untuk membuat eksoskeleton) pada dinding selnya sedangkan pada tumbuhan dinding sel nya disusun mengandung selulosa. Fungi memiliki peran yang sangat penting pada proses dekomposisi dan siklus nutrien, membantu pembentukan tanah stabil, fungi membentuk interaksi dengan akar yang mana sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup tumbuhan serta meningkatkan sumber makanan bagi organisme lain. Tanpa adanya fungi habitat mendasar dari tumbuhan tidak akan ada (Witantri et al., 2015).

Ekologi jamur di laut dan habitat mereka, dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mereka di laut. Habitat, ketersediaan substrat untuk kolonisasi, distribusi geografis dan suhu, salinitas, penghambatan kompetisi dan habitat mikro pada keragaman jamur laut. Namun, ini adalah hanya beberapa faktor yang berpengaruh pada terjadinya dan distribusi jamur laut. Lainnya termasuk terlarut nutrisi organik, ion hidrogen konsentrasi, efek osmotik, ketersediaan oksigen, polusi, kelimpahan propagul di dalam air, tekanan hidrostatik, spesifisitas substrat, suhu dan amplitudo pasang surut dan bahkan mungkin cahaya (Jones, 2000).

Fungi saprofit maupun fungi parasit, dapat bertahan hidup dengan mensekresikan enzim dari dalam tubuhnya untuk menguraikan/mendegradasi berbagai macam materi organik dan substratnya menjadi nutrisi sederhana yang terlarut. Nutrisi yang telah berada dalam bentuk terlarut tersebut selanjutnya

(29)

diserap oleh selnya baik secara pasif maupun dengan transport aktif. Tempat hidup atau habitat dari fungi dapat sangat beragam. Fungi dapat hidup di perairan terutama perairan tawar dan sebagian kecil di laut. Tetapi sebagian besar fungi hidup pada habitat terrestrial baik pada tanah maupun pada materi organik yang telah mati. Fungi seperti ini seperti telah dijelaskan di atas, berperan sangat penting dalam proses mineralisasi karbon organik di alam untuk kepentingan semua organisme (Kusnadi, 2012).

Fungi memainkan peran penting dalam ekosistem mangrove terutama dalam

hubungannya dengan bakteri untuk mempercepat dekomposisi serasah daun (Fell et al, 1975). Umumnya mikrofungi memiliki hifa yang berfungsi untuk

menyerap nutrien dari lingkungan serta membentuk struktur untuk reproduksi, nutrien yang diserapnya tersebut berupa bahan organik, sehingga mikroorganisme dekomposer ini berfungsi dalam regenerasi material yang terurai serta berperan dalam siklus karbon, nitrogen dan fosfat di lingkungan perairan danau, sungai, ataupun perairan tawar lainnya (Nuramalia et al., 2017).

Pasang Surut

Hutan Mangrove terdiri atas berbagai kelompok tumbuhan seperti pohon, semak, palmae, dan paku-pakuan yang beradaptasi terhadap habitat yang masih dipengaruhi oleh pasang surut air laut (Sugianto, 1995). Namun demikian karena keberadaannya di daerah pasang surut maka jenis-jenis mangrove harus mampu beradaptasi pada kondisi salinitas 0-35% dan juga kekeringan selama periode surutnya air laut (Sulistiyowati, 2009).

Pasang surut laut merupakan suatu fenomena pergerakan naik turunnya permukaan air laut secara berkala yang diakibatkan oleh kombinasi gaya gravitasi dan gaya tarik menarik dari benda-benda astronomi terutama oleh matahari, bumi dan bulan. Pasang surut dan arus yang dibangkitkan pasang surut sangat dominan dalam proses sirkulasi massa air di perairan pesisir. Pengetahuan mengenai pasang surut dan pola sirkulasi arus pasang surut di perairan pesisir dapat memberikan indikasi tentang pergerakan massa air serta kaitannya sebagai faktor

yang dapat mempengaruhi distribusi suatu material di dalam kolom air (Arifin et al., 2012).

(30)

Tinggi pasang surut adalah jarak vertikal antara air tertinggi (puncak air pasang) dan air terendah (lembah air surut) yang berurutan. Periode pasang surut adalah waktu yang diperlukan dari posisi muka air pada muka air rerata ke posisi yang sama berikutnya. Periode pasang surut tergantung pada tipe pasang surut.

Periode pada mana muka air naik disebut pasang, sedangkan pada saat air turun disebut surut. Pasang surut tidak hanya mempengaruhi lapisan di bagian teratas saja, melainkan seluruh massa air dan energinya pun sangat besar. Di perairan- perairan pantai, terutama di teluk-teluk atau di selat-selat yang sempit, gerakan naik turun atau variasi muka air menimbulkan arus yang disebut dengan arus pasang surut, yang menyangkut massa air dalam jumlah sangat besar dan arahnya kurang lebih bolak-balik (Mahatmawati et al., 2009).

Salinitas

Salinitas merupakan faktor lingkungan yang sangat menentukan perkembangan organisme. Salinitas merupakan kandungan garam dalam air laut yang dinyatakan dalam satuan ppt atau gram garam dalam satu kilogram air laut.

Kandungan air laut terbanyak adalah NaCl dengan ion Cl- terlarut rata-rata sebanyak 55% dari jumlah garam (Wijiyono, 2009).

Faktor yang mempengaruhi hingga berbedanya nilai salinitas adalah cuaca dan angin. Sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan dan aliran sungai. mengatakan bahwa perbedaan nilai salinitas air laut dapat disebabkan terjadinya pengacauan (mixing) akibat gelombang laut ataupun gerakan massa air yang ditimbulkan oleh tiupan angin. Dilihat dari sebaran, maka salinitas sekitar pantai lebih rendah dari pada salinitas laut lepas. Hal ini disebabkan karena air laut yang berada dekat daratan masih memiliki pengaruh dari air darat hingga menyebabkan salinitas di daerah ini kecil. Sebaliknya, salinitas di perairan laut lepas sudah tidak memiliki pengaruh dari darat, sehingga salinitasnya pun besar (Simon dan Patty, 2013).

(31)

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada Juli – Oktober 2018. Pengambilan serasah daun Rhizophora mucronata dilakukan di Belawan. Pembiakan dan Identifikasi fungi dilakukan di Laboratorium Hama dan Penyakit Tumbuhan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah refraktometer, kantong serasah (litter bag) ukuran 30×40 cm yang terbuat dari nilon, jarum, labu Erlenmeyer, gelas Beaker, kompor, tabung reaksi, cawan Petri, Autoclave, jarum ose, gelas objek, gelas penutup, oven, mikroskop cahaya, timbangan analitik, mortar, mikropipet, tip pipet 1 ml, bunsen, kamera digital, gunting, penggaris.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah daun Rhizophora mucronata, Air laut, spidol (alat tulis), tali rafia, benang, alkohol,

akuades, kertas tissue, kapas, kentang, dextrose, agar, masker, cling wrap, kertas stensil, aluminium foil, kertas label, dan metilen blue.

Deskripsi Stasiun Pengambilan Sampel

Teknik pengambilan data dengan cara Purposive Sampling (pengambilan data melalui pertimbangan) yaitu menentukan 3 titik stasiun pengamatan berdasarkan perbedaan salinitas. Penentuan titik stasiun dilakukan dengan pengukuran tingkat salinitas menggunakan refraktometer. Stasiun 1 dengan salinitas 0 – 10 ppt, stasiun 2 dengan salinitas 11 – 20 ppt, stasiun 3 dengan salinitas 21 – 30 ppt.

Stasiun 1

Stasiun ini didominasi oleh mangrove jenis Rhizophora sp. dan Avicennia sp. Area ini jauh dari pemukiman warga, kawasan wisata Pulau Siba, memiliki jarak yang paling jauh dari laut lepas dengan rata-rata salinitas 5 ppt. Stasiun 1 dapat dilihat pada Gambar 4.

(32)

Gambar 4. Stasiun 1 (salinitas 0 – 10 ppt)

Stasiun 2

Stasiun ini didominasi oleh mangrove R. mucronata dan R. stylosa.

Stasiun ini dekat dengan kawasan industri dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap.

Stasiun 2 memiliki salinitas rata-rata 15 ppt. Stasiun 2 dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5. Stasiun 2 (salinitas 11 – 20 ppt) Stasiun 3

Lokasi ini dekat dengan tambak ikan. Stasiun 3 berada ditempat yang berjarak paling dekat dengan tempat berlabuhnya kapal penyeberangan, nilai salinitas rata-rata 22 ppt. Stasiun 3 dapat dilihat pada Gambar 6.

(33)

Gambar 6. Stasiun 3 (salinitas 21 – 30 ppt)

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan secara in situ dan pengamatan laboratorium.

Sumber data yang digunakan adalah data primer. Data primer yang digunakan adalah hasil transek (pengambilan sampel dilapangan) berupa serasah daun R.

mucronata dan data tentang identitas, populasi tiap jenis, keanekaragaman jenis dan frekuensi kolonisasi tiap jenis fungi (pengamatan laboratorium).

Teknik pengambilan data dengan cara Purposive Sampling (pengambilan data melalui pertimbangan) yaitu menentukan 3 titik stasiun pengamatan berdasarkan perbedaan salinitas. Penentuan titik stasiun dilakukan dengan pengukuran tingkat salinitas menggunakan Refraktometer sehingga didapatkan rata-rata hasil pengukuran salinitas (ppt) yang dapat dilihat pada (Lampiran 2).

Stasiun 1 dengan salinitas 0 – 10 ppt, stasiun 2 dengan salinitas 11 – 20 ppt, stasiun 3 dengan salinitas 21 – 30 ppt..

Pengumpulan data lama masa dekomposisi dilakukan setelah serasah ditempatkan di lapangan dengan berbagai tingkat salinitas, selama waktu sebagai berikut:

A. Hari ke – 15 B. Hari ke – 30 C. Hari ke – 45 D. Hari ke – 60 E. Hari ke – 75

(34)

Untuk tiap kali pengamatan diambil contoh uji berupa serasah dalam kantong sampai 75 hari, dan tiap kali pengamatan dilakukan 3 ulangan.

Pengambilan Sampel

Mangrove daun R. mucronata yang telah gugur dikumpulkan dan dimasukkan ke dalam kantong serasah (litter bag) yang terbuat dari nilon berukuran 40 × 30 cm dengan mesh 1 × 1 mm sebanyak 50 g. Jumlah kantong yang berisi serasah disiapkan sebanyak 21 kantong pada setiap stasiun. Setelah daun dimasukkan, kantong serasah dijahit kemudian diberi lubang pada kedua sisi kantong kanan dan kiri agar dapat dihubungkan dengan tali rafia. Kemudian kantong serasah diikatkan pada akar mangrove dengan erat agar saat pasang kantong serasah tidak terlepas.

Identifikasi fungi dilakukan dengan mengambil 3 kantong yang berisi serasah diambil dari tiap tingkat salinitas sekali dalam 15 hari dan pengambilan kantong berisi serasah dilakukan sampai hari ke-75 setelah serasah diletakkan di lapangan.

Sterilisasi Alat dan Bahan

Sterilisasi alat dilakukan dengan mencuci alat menggunakan sabun pembersih. Alat yang telah dibilas dengan air bersih ditiriskan, untuk dapat dibungkus dengan kertas stensil. Sterilisasi alat dan bahan dilakukan dengan metode sterilisasi basah, menggunakan autoclave pada tekanan 1,5 atm selama 15 menit. Kemudian disterilisasi kering menggunakan Oven pada suhu 120 oC selama 15 menit agar terjauh dari mikroba yang tidak diinginkan.

Pembuatan Media PDA

Pembuatan Media PDA (Potato Dextrose Agar) dilakukan dengan merebus kentang yang telah dipotong dadu sebanyak 250 gram menggunakan 1000 ml akuades. Setelah mendidih, sari kentang di saring ke dalam gelas beaker dan ditambahkan dextrose dan agar masing-masing sebanyak 20 gram. Larutan yang telah homogen dan masih cair dituang ke dalam 4 buah labu Erlenmeyer 250 ml, ditutup dengan kapas steril, alumunium foil dan direkatkan dengan cling warp.

Media dimasukkan ke dalam autoclave untuk disterilkan selama 15 menit dengan

(35)

tekanan 1,5 atm. Sebelum melakukan penuangan media, ditambahkan 0,1 gram chlorompenicol. Chlorompenicol dihomogenkan pada media cair dan siap untuk dituang ke dalam cawan Petri.

Isolasi Fungi

Isolasi fungi dimulai dengan teknik pengenceran. Teknik pengenceran menggunakan air laut per stasiun yang telah steril. Sebelum teknik pengenceran dimulai, sampel serasah daun R. mucronata dihaluskan terlebih dahulu dengan mortar sebanyak 10 gram. Sampel yang telah halus, disuspensi di dalam labu Erlenmeyer dengan volume 100 ml air laut steril . Sampel yang telah tersuspensi dengan air, diambil 1 ml menggunakan pipet volumetrik dan dibuat pengenceran 10-1 pada tabung reaksi yang berisi 9 ml air laut steril. Larutan pada tabung reaksi ke- 1 dihomogenkan. Diambil kembali 1 ml larutan pada tabung reaksi ke-1 untuk dimasukkan kedalam tabung reaksi ke-2. Selanjutnya larutan dihomogenkan kembali. Diambil 0,1 ml dari tabung reaksi ke-2 setelah pengenceran. Selanjutnya sampel disebarkan pada media PDA yang terdapat dalam cawan Petri. Sampel tersebut diinkubasi selama 5 – 7 hari. Jumlah koloni fungi yang tumbuh dihitung, diamati dan dicatat. Fungi yang sudah tumbuh dan berkembang dipindahkan ke cawan Petri lain yang berisi media PDA untuk mendapatkan biakan murni.

Identifikasi Fungi

Biakan murni fungi di remajakan pada media PDA dan kemudian diinkubasi selama 5 – 7 hari pada suhu ruangan. Isolat fungi yang telah tumbuh pada media, diidentifikasi secara makroskopis yaitu dengan melihat sifat tumbuh hifa, warna koloni dan diamater koloni. Isolat fungi juga ditumbuhkan pada kaca obyek (obyek glass), yaitu dengan cara meletakkan potongan agar sebesar 4 x 4 x 2 mm pada kaca obyek, kemudian digoreskan fungi dengan jarum ose pada media PDA tersebut. Selanjutnya ditutup dengan kaca penutup (cover glass). Isolat pada kaca obyek di tempatkan dalam cawan petri yang telah diberi pelembab berupa kapas basah. Isolat fungi pada kaca obyek dibiarkan selama beberapa hari pada kondisi ruang sampai isolat fungi tumbuh cukup berkembang. Ketika isolat fungi telah berkembang dilakukan pengangkatan kaca penutup yang telah ditumbuhi fungi dengan hati-hati dengan tujuan untuk membuang potongan agar. Selanjutnya pada

(36)

bekas potongan agar ditetesi 1 tetes larutan methylene blue. Kaca penutup yang telah ditumbuhi fungi selanjutnya di letakkan di atas larutan methylene blue di atas kaca obyek. Kultur kaca ini di amati dengan menggunakan mikroskop cahaya untuk mengetahui ciri mikroskopik fungi yaitu ciri-ciri hifa, ada tidaknya sekat pada hifa, konidiofor, serta ciri-ciri konidia atau spora (bentuk dan rangkaian).

Ciri-ciri yang didapat kemudian di cocokkan dengan buku kunci identifikasi fungi yaitu Barnet dan Barry (1987), Gandjar dkk (1999), Watanabe (1937). Kegiatan ini dilakukan pada tiap kali pengambilan serasah dari lapangan selama masa proses dekomposisi, yaitu mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-90.

Analisis Data

Indeks Keanekaragaman

Untuk menganalisis data keanekaragaman fungi, digunakan rumus Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Krebs, 1985) yaitu:

Hʹ : Indeks Keanekaragaman s : Jumlah sampel keseluruhan i : data ke-i

ni : Jumlah jenis ke-i N : Jumlah total jenis

Indeks keanekaragaman mempunyai kisaran nilai sebagai berikut:

H'<1 : Keanekaragaman rendah 1<H'<3: Keanekaragaman sedang H'>3 : Keanekaragaman tinggi

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Jenis Fungi yang Terdapat pada Proses Dekomposisi Serasah Daun R. mucronata pada Salinitas 0 – 10 ppt

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 13 jenis fungi dekomposer yang berhasil diisolasi dari proses dekomposisi serasah daun R. mucronata yang pada salinitas 0 – 10 ppt. Jumlah koloni dan frekuensi koloni masing-masing jenis dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jumlah koloni rata-rata × (102 cfu/ml) setiap jenis fungi dalam 15 hari sekali dan frekuensi kolonisasinya pada proses dekomposisi serasah daun R.mucronata selama 75 hari pada salinitas 0 – 10 ppt

No. Jenis fungi

Jumlah koloni rata-rata pada masa dekomposisi (hari)

Jumlah koloni rata-rata

× (102 cfu/ml)

FK (%)a

15 30 45 60 75

1. Aspergillus flavus 0,33 0,66 0 0 0 0,198 33,33

2. Epicoccum nigrum 0,33 0 0 0 0 0,066 16,66

3. Acremonium sp. 0,66 0,33 0 0 0 0,198 33,33

4. Trichoderma sp. 0 1 1,66 1,33 1 0,998 66,66

5. Aspergillus sp. 0 0,33 0,33 2,33 0,33 0,664 66,66

6. Trichoderma sp. 1 0 0 0,66 1 0,66 0,464 50

7. Rhizopus stolonifer 0 0 0,33 0 0 0,066 16,66

8. Trichoderma sp. 2 0 0 1,66 1,33 0,66 0,73 50

9. Trichoderma sp. 3 0 0 0,66 0 0,33 0,198 33,33

10. Rhizoctonia sp. 0 0 0 0,66 0 0,132 16,66

11. Curvularia sp. 0 0 0 0,33 0,33 0,132 33,33

12. Fusarium sp. 0 0 0 0 0,33 0,066 16,66

13. Penicilium sp 0 0 0 0 0,66 0,132 16,66

Jumlah koloni rata-rata tertinggi yaitu Trichoderma sp dengan jumlah koloni rata-rata 0,99 × 102 cfu/ml. Bentuk koloni Trichoderma sp (Gambar 8 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 8 B). Frekuensi kolonisasi tertinggi terdapat 2 jenis fungi yaitu Trichoderma sp dan Aspergillus sp sebesar 66,66%.

Bentuk koloni Trichoderma sp dan Aspergillus sp (Gambar 7 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 7 B).

Jumlah koloni rata-rata terendah terdapat 3 jenis fungi yaitu Epicoccum nigrum, Rhizopus stolonifer dan Fusarium sp dengan jumlah koloni

A A

A A

(38)

rata-rata masing masing 0,066 × 102 cfu/ml. Bentuk koloni Trichoderma sp 1 (Gambar 9 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 9 B). Frekuensi kolonisasi terendah terdapat 5 jenis fungi yaitu Epicoccum nigrum, Rhizopus stolonifer, Fusarium sp, Penicilium sp dan Rizhoctonia sp, masing-masing mempunyai frekuensi yaitu 16,66 %. Bentuk koloni fungi Aspergillus flavus (Gambar 10 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 10 B).

Gambar 7. Aspergillus sp. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), fialid (b), konidia (c).

Gambar 8. Trichoderma sp . Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk konidia (b), konidia (c).

A B

A B

a c

b

a b

c

(39)

Gambar 9.Trichoderma sp. 1. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk konidia (b), konidia (c).

Gambar 10. Aspergillus flavus . Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), vesikel (b), fialid (c), konidia (d).

Jenis Fungi yang Terdapat pada Proses Dekomposisi Serasah Daun R.

mucronata dengan Salinitas 11 – 20 ppt

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 13 jenis fungi dekomposer dari proses dekomposisi serasah daun R. mucronata pada salinitas 11 – 20 ppt. Jumlah koloni dan frekuensi koloni masing-masing jenis dapat dilihat pada Tabel 2.

A B

A B

b a

c

d a

b

c

(40)

Tabel 2. Jumlah koloni rata-rata × (102 cfu/ml) setiap jenis fungi dalam 15 hari sekali dan frekuensi kolonisasinya pada proses dekomposisi serasah daun R.mucronata selama 75 hari pada salinitas 11 – 20 ppt.

No.

Jenis fungi

Jumlah koloni rata-rata pada masa dekomposisi (hari)

jumlah koloni rata-

rata × (102 cfu/ml)

FK

% (a)

15 30 45 60 75

1. Aspergillus sp. 1,33 0,33 0 0,33 1,33 0,664 66,66 2. Cladosporium

herbarum 0,33 0 0 0 0,33 0,132

33,33

3. Tidak Teridentifikasi 0,33 0 0 0 0 0,066 16,66

4. Aspergillus sp. 1 0 0,33 0 0,66 0,33 0,264 50

5. Rhizoctonia sp. 0 0,33 0 0,33 0 0,132 33,33

6. Scytalidium sp. 0 0 0,66 0 0,33 0,198 33,33

7. Rhizoctonia sp. 1 0 0 0,33 0,33 0 0,132 33,33

8. Trichoderma sp. 2 0 0 2,33 0,66 0,33 0,664 50

9. Trichoderma sp. 4 0 0 1,33 0,66 0 0,398 33,33

10. Trichoderma sp. 3 0 0 0 0,33 0 0,066 16,66

11. Mucor sp. 0 0 0 0 0,66 0,132 16,66

Jumlah koloni rata-rata tertinggi terdapat 2 jenis fungi yaitu Aspergillus sp dan Trichoderma sp 2 dengan jumlah koloni rata-rata 0,664 × 102

cfu/ml. Bentuk koloni Trichoderma sp 2 (Gambar 12 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 12 B). Frekuensi kolonisasi tertinggi yaitu Aspergillus sp sebesar 66,66 %.

Jumlah koloni rata-rata terendah yaitu Tidak teridentifikasi dengan jumlah koloni rata-rata 0,066 × 102 cfu/ml. Bentuk koloni fungi Tidak teridentifikasi (Gambar 13 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 13 B). Frekuensi kolonisasi terendah terdapat 3 jenis fungi yaitu Tidak teridentifikasi, Trichoderma sp 3 dan Mucor sp , masing masing mempunyai frekuensi yaitu 16,66 %. Bentuk koloni fungi Cladosporium herbarum (Gambar 14 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 14 B). Bentuk koloni fungi Rhizoctonia sp (Gambar 15 A) sedangkan bentuk mikroskopik (Gambar 15 B).

(41)

Gambar 11. Trichoderma sp. 2 . Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), sel-sel pembentuk konidia (b), konidia (c).

Gambar 12. Tidak Teridentifikasi . Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b).

Gambar 13. Cladosporium herbarum . Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), konidiofor (a), konidia (b).

A B

A B

A B

a b

c

a

b

a b

(42)

Gambar 14. Rhizoctonia sp. Koloni berumur 7 hari pada media PDA (A) dan bentuk mikroskopik (B), hifa (a)

Jenis Fungi yang Terdapat pada Proses Dekomposisi Serasah Daun R. mucronata pada Salinitas 21 – 30 ppt

Hasil pengamatan menunjukkan terdapat 8 jenis fungi dekomposer yang berhasil diisolasi dari proses dekomposisi serasah daun R. mucronata yang pada salinitas 21 – 30 ppt. Jumlah koloni dan frekuensi koloni masing-masing jenis dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Jumlah koloni rata-rata × (102 cfu/ml) setiap jenis fungi dalam 15 hari sekali dan frekuensi kolonisasinya pada proses dekomposisi serasah daun R. mucronata selama 75 hari pada salinitas 21 – 30 ppt.

No. Jenis Fungi

Jumlah koloni rata-rata pada masa dekomposisi (hari)

Jumlah koloni rata-rata

× (102 cfu/ml)

FK (%)a

15 30 45 60 75

1. Trichoderma sp. 2 1,33 2,66 2,33 0,66 0,33 1,462 83,33

2. Aspergillus fumigatus 1 0,66 0 0 1 0,532 50

3. Curvularia sp. 0,66 0,33 0 0,33 0,66 0,39 66,66

4. Mucor sp. 0 0,33 0 0 0,33 0,132 33,33

5. Trichoderma sp. 4 0 0,66 0,33 0,66 1 0,53 66,66

6. Mycocladus sp. 0 0 0,33 0,33 0 0,132 33,33

7. Humicola fuscoatra 0 0 0,66 0 0,33 0,198 33,33

8. Scytalidium lignicola 0 0 0 0,66 0,33 0,198 33,33 A A

A B

a

Referensi

Dokumen terkait

yang mengalami dekomposisi dalam lingkungan dengan salinitas &lt; 10 ppt, yang tidak terdapat pada serasah daun yang belum.. mengalami proses dekomposisi di lapangan

Studi ini bertujuan untuk menentukan pengaruh salinitas terhadap laju dekomposisi serasah daun R, mucranata pada berbagai tingkat salinitas, menentukan ketersediaan kandungan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Avicennia marina yang mengalami dekomposisi pada berbagai tingkat

Jenis-jenis fungi yang terlibat dalam proses dekomposisi serasah daun Avicennia marina pada berbagai tingkat salinitas. Jurnal Penelitian MIPA 2

SAPRIL ANAS HASIBUAN: Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina setelah Aplikasi Fungi Aspergillus sp pada Berbagai Tingkat Salinitas.. Dibimbing oleh YUNASFI dan

Laju Dekomposisi Serasah Daun Avicennia marina pada Berbagai Tingkat Salinitas.. Universitas

TAUFAN PRABUDI: Laju Dekomposisi Serasah Daun Rhizophora stylosa pada berbagai Tingkat Salinitas.. Dibimbing oleh YUNASFI dan

Dalam penelitian Silitonga (2010) bahwa jumlah jenis fungi yang terdapat pada serasah daun Rhizopora mucronata yang belum mengalami dekomposisi (kontrol) dan yang