i KEARIFAN LINGKUNGAN MELALUI UPAYA PAPERLESS
BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI BAGI MAHASISWA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
NEGERI (STAIN) SALATIGA
LAPORAN PENELITIAN UNGGULAN STAIN SALATIGA TAHUN 2014
Oleh:
Hj. MASLIKHAH, S.Ag., M.Si
ii KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
PUSAT PENELITIAN DAN PENGABDIAN PADA MASYARAKAT (P3M) JL. Tentara Pelajar 02. Telp (0298) 323706, 323433 Salatiga 50721
PENGESAHAN
Judul Penelitian
KEARIFAN LINGKUNGAN MELALUI UPAYA PAPERLESS BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI BAGI MAHASISWA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Peneliti : Hj. MASLIKHAH, S.Ag., M.Si
Tema : Pendidikan
Konsultan : Dr.H.Rahmat Hariyadi, M.Pd Lokasi Penelitian : STAIN Salatiga
Waktu Penelitian : 5 (Lima) Bulan
Besar/Sumber Dana : ………./DIPA STAIN Salatiga tahun 2014
Salatiga, 25 Nopember 2014
Kepala P3M Konsultan
Mufiq, S.Ag., M.Phil Dr.H.Rahmat Hariyadi, M.Pd NIP: 196906171996031004 NIP: 196701121992031005
iii ABSTRAK
MASLIKHAH. 2014. Kearifan Lingkungan melalui Upaya Paperless Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Konsultan. Dr. H.Rahmat Hariyadi, M.Pd.
Key words: Paperless, Teknologi Informasi dan Komunikasi.
Penelitian bertujuan untuk mengetahui makna kearifan lingkungan, upaya yang dilakukan, faktor pendukung, penghambat, dan upaya mengatasi hambatan penerapan paperless dalam rangka menerapkan kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga. Metode penelitian yang digunakan dengan penelitian kualitatif di STAIN Salatiga selama 5 (lima) bulan. Subyek penelitian mahasiswa STAIN Salatiga dengan obyek kegiatan perkuliahan, ujian, praktek, dan bimbingan skripsi. Sumber data mengacu pada 3 (tiga) sumber yaitu dari unsur
person, place, dan paper. Teknik pengumpulan data dengan wawancara,
iv DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1. Ruang Lingkup Kajian teori ... 53 Tabel 2.2 Kajian Teori tentang Paperless ... 84 Tabel 2.3 Perbedaan Sebelum dan Sesudah Penggunaan Sistem Website . 102
Tabel 2.4 Perbandingan E-Journal dan Jurnal Tercetak... 105
v
Gambar 2.8 Rapuhnya Kearifan Lingkungan Sebagai Penghambat Pembangunan Berkelanjutan ... 46
Gambar 4.6 Wawancara Isma Menunjukkan Media Pembelajaran dengan Kertas Bekas Bimbingan Skripsi ... 193
Gambar 4.7 Peneliti dengan Sikhatun Menunjukkan Upaya Paperless pada Hasil Penyusunan Skripsi ... 194
Gambar 4.8 Wawancara Peneliti dengan Istikhana ... 195
Gambar 4.9 Anis Menunjukka Pemanfaatan Kertas Bekas untuk Kegiatan Akademik ... 196
Gambar 4.10 Wawancara Peneliti dengan Faiz di Gedung Perpustakaan Ruang Skripsi Lantai 3 ... 197
Gambar 4.11 Wawancara Peneliti dengan Agus di Gedung Perpustakaan Ruang Skripsi Lantai 3 ... 198
vi Disk di Lap Top ... 201 Gambar 4.14 Mahasiswa Memanfaatkan Kertas sebagai Alat Peraga
Microteaching ... 202 Gambar 4.15 Mahasiswa Memanfaatkan Kertas Sebagai Alat Peraga
Microteaching ... ... 203 Gambar 4.16 Email Mahasiswa ... 204 Gambar 4.17 Mahasiswa sedang Melakukan Searching on line di Perpustakaan
Internet ... 205 Gambar 4.18 Mahasiswa Mencatat Data/Informasi dai Buku Referensi pada
Buku Catatan ... 206 Gambar 4.19 Mahasiswa Menggunakan Buku Binder untuk Mencatat
Keterangan Kuliah ... 207 Gambar 4.20 Mahasiswa sedang memanfaatkan Teknologi Informasi dan
Komunikasi di Perpustakaan STAIN Salatiga ... 208 Gambar 4.21 Naskah Skripsi yang Dicetak Bolak Balik dari Kertas Bekas
Konsultasi Skripsi Sebelumnya ... 210 Gambar 4.22 Persiapan Mahasiswa untuk Presentasi ... 211 Gambar 4.23 Mahasiswa Presentasi dengan Menggunakan Catatan Kecil dan
Bantuan Alat Teknologi Informasi dan Komunikasi ... 213 Gambar 4.24 Mahasiswa Memanfaatkan Teknologi Informasi dan
vii DAFTAR LAMPIRAN
halaman
LAMPIRAN 1 Pedoman Wawancara ... 1 LAMPIRAN II Verbatim Wawancara ... 2
viii DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul ... i
Halaman Pengesahan ... ii
Abstrak ... iii
Daftar Tabel ... iv
Daftar Gambar ... v
Daftar Lampiran ... vii
Daftar Isi ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Fokus Masalah ... 16
C. Tujuan Penelitian ... 17
D. Manfaat Penelitian ... 17
BAB II LANDASAN TEORI ... 21
A. Tinjauan Pustaka ... 21
1. Kajian Teori ... 21
a. Kearifan Lingkungan ... 21
1) Pengertian... 21
2) Makna Kearifan Lingkungan ... 24
3) Fungsi Kearifan Lingkungan ... 28
4) Prinsip Etika dalam Membangun Kearifan Lingkungan 30 5) Kearifan Tradisional dan Kearifan Rasional ... 35
6) Kearifan Lingkungan dalam Peerspektif Islam ... 38
ix 8) Rapuhnya Kearifan Lingkungan sebagai Faktor
Penghambat Pembangunan Berkelanjutan ... 43
9) Mempertahankan Kearifan Lingkungunan untuk Pembangunan Berkelanjutan ... 44
10) Strategi Membangun Perilaku Arif terhadap Lingkungan 46 b. Paperless ... 55
1) Pengertian ... 55
2) Dasar Penerapan Paperless ... 55
3) Tujuan dan Fungsi Paperless ... 63
4) Faktor Penting dalam Penerapan Paperless ... 69
5) Domain Perilaku Paperless ... 72
6) Implementasi Kebijakan Paperless di Perguruan Tinggi Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi ... 75
7) Keuntungan Menerapkan Paperless ... 80
8) Faktor Pendukung pada Penerapan Paperless ... 82
9) Faktor Penghambat Penerapan Paperless ... 83
c. Teknologi Informasi dan Komunikasi ... 85
1) Pengertian ... 85
2) Tujuan ... 85
3) Perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi 87
x 5) Keuntungan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi
Manusia ... 92
6) Pengelolaan Adminstrasi Akademik Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi ... 93
7) Upaya dari Paperbased ke Paperless ... 97
2. Temuan Hasil Penelitian Terdahulu ... .. 106
a. Mangen, Bente R, Walgermo, Kolbjorn Bronnick ... 106
b. Chao, Chiang-nan, Niall Hegarty, Abraham Stefandis ... 107
c. Dwivedi, Sanjay dan Anand Kumar ... 109
d. Sri Haryati ... 111
e. Agus Efendi ... 114
f. Tiwari, Mohit, Seema Syah ... 115
B. Kerangka Berpikir ... 140
BAB III METODE PENELITIAN ... 144
A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 144
B. Jenis Penelitian ... 144
C. Subyek Penelitian ... 145
D. Sumber Data ... 147
E. Teknik Pengumpulan Data ... 148
F. Teknik Analisis Data ... 153
G. Pengecekan Keabsahan Data ... 157
H. Teknik Analisis Data ... 149
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan ... 161
xi
B.Pembahasan ... 230
BAB V PENUTUP ... 233
A.Kesimpulan ... 233
B.Saran ... 234
C.Rekomendasi ... 235
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah Swt menyatakan dalam Al-Quran yang suci Q.S al-Baqarah: 284
bahwa seluruh alam semesta adalah milikNya. Manusia diberi izin tinggal di dalamnya untuk se mentara dalam rangka memenuhi tujuan yang direncanakan dan ditetapkan Allah Swt. Hal ini berarti, alam bukanlah milik
hakiki manusia. Kepemilikan manusia hanyalah amanat, titipan, pinjaman yang pada saatnya harus dikembalikan dalam keadaan seperti semula, bahkan
manusia yang baik akan mengembalikannya dalam keadaan yang lebih baik dari ketika menerimanya (Muhammad dalam Mangunjaya, Heriyanto, dan Gholami 2007: 4). Bumi tempat manusia tinggal telah diciptakan oleh Allah
Swt dengan sempurna dan seimbang untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Kesempurnaan dan keseimbangan tersebut harus dijaga oleh seluruh
manusia tanpa kecuali untuk keberlanjutan bagi generasi yang akan datang. Bumi sebagai tempat hidup bagi berbagai macam makhluk hidup dan matahari sebagai salah satu sumber energi bagi kehidupan yang dilengkapi
dengan kekayaan sumber daya. Mangunjaya (2006: 283) menerangjelaskan bahwa bumi seperti halnya makhluk hidup, sangat sensitif atas perlakukan
yang tidak seimbang. Bumi bisa jatuh sakit apabila ada organ atau sistem yang telah berjalan atas kodrat atau fitrahnya terganggu. Bumi memiliki
2 dilanggar dan diperlakukan melebihi kapasitasnya akan mengakibatkan ketidakseimbangan yang merugikan umat manusia.
Secara ekologis, lingkungan hidup dipandang sebagai satu sistem yang terdiri dari subsistem. Manusia sebagai bagian penting dalam sistem
ekologi merupakan kesatuan terpadu dengan lingkungannya dan yang memiliki jalinan hubungan fungsional yang sangat kuat. Hubungan fungsional antara manusia dan lingkungan terdapat saling ketergantungan dan saling
pengaruh yang pada akhirnya akan berpengaruh pada ekosistem secara keseluruhan. Budiharjo (2002: 27) memberikan karakter kepada manusia
berdasarkan pada asal kata bahasa Arab, insan yang memiliki sifat bisa diatur atau jinak, ingin senang, lupa dan selalu ingin bergerak maju atau dinamis agar hidupnya harmonis, selaras, dan serasi. Untuk mencapai keselarasan,
keserasian, dan keseimbangan antar subsistem dalam ekosistem diperlukan sistem pengelolaan secara terpadu. Sebagai suatu ekosistem, lingkungan hidup
mempunyai aspek sosial, budaya, ekonomi dan geografi dengan corak ragam dan daya dukung yang berbeda yang lebih menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi untuk mengejar kesejahteran rakyat sering mendatangkan
permasalahan di bidang lingkungan. Permasalahan lingkungan ini biasanya bersumber pada dorongan untuk memanfaatan secara terus menerus dan
belebihan sumber daya alam tanpa memperhatikan daya dukung sumber daya alam tersebut dan dampak yang akan terjadi. Manusia sebagai poros paling
3 bahwa manusia merupakan tema sentral dalam ekologi manusia. Manusia memiliki posisi imanen dalam konteks ekologi, yaitu menyatu dengan alam.
Manusia berfikir secara antroposentris, alam semesta lebih dilihat sebagai obyek untuk memenuhi kebutuhan manusia dan makhluk hidup lain daripada
ekosentrisme. Ekosentrisme menilai alam semesta merupakan pusat kehidupan manusia dan bagian dari alam ini yang harus dijaga akan kelestariannya. Manusia memiliki berbagai kepentingan terhadap alam baik yang menyangkut
aspek fisik, psikologis, ekonomis, politis, spiritual, maupun sosial. Kepentingan tersebut tidak lepas dari pemanfaatan kekayaan alam.
Kepentingan terhadap kekayaan alam tersebut tidak sekadar memanfaatkan, tetapi justru membuat desteriorasi lingkungan.
Lingkungan hidup mengalami degradasi kualitas lingkungan baik fisik,
sosial maupun buatan. Degradasi lingkungan hampir merata di pelbagai belahan dunia, termasuk Indonesia. Degradasi lingkungan dapat mengancam
keberlanjutan fungsi lingkungan hidup. Kondisi lingkungan yang demikian disebabkan pola pembangunan dan perilaku manusia yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar lingkungan. Pembangunan yang berlangsung cenderung
tidak memperhatikan keberlanjutan pembangunan secara sustainable. Semangat eksploitasi sumber daya alam untuk pembangunan dan memenuhi
kebutuhan manusia tanpa memperhatikan kemampuan alam untuk memenuhi dan mengembalikan fungsi lingkungan seperti sedia kala. Bumi dan kekayaan
4 fungsi alam dan lingkungan hidup tersebut bagi manusia konsekuensinya harus dijaga dan dimanfaatkan dengan bijak. Manusia dan alam harus dibina
hubungannya secara harmonis, sehingga keduanya dapat memberikan hubungan timbal balik yang serasi. Manusia dalam pengertian ini merupakan
bagian yang tidak terpisahkan dari alam dalam proses ekosistemnya. Manusia dipersiapkan untuk menjadi pelestari lingkungan hidup dan bukan sebagai perusak lingkungan. Sudarsono (2008: 25) mengemukakan pendapat bahwa
sebenarnya manusia itu bukanlah perusak mutlak jika manusia mengerti prinsip-prinsip ekologi dalam memanfaatkan sumber daya alam. Interaksi
manusia dengan alam memiliki variasi antara lain mengelola, memanfaatkan, dan melestarikan, serta merusak kelestarian lingkungan. Pada posisi ini, sesuai dengan model interaksinya manusia dapat memerankan secara ganda, di
samping memberikan peluang juga ancaman terhadap kelestarian fungsi lingkungan.
Ancaman bagi lingkungan adalah tipisnya sense of ecology yang dimiliki oleh masyarakat pada semua kalangan, masyarakat tidak memiliki kesadaran yang memadai tentang permasalahan lingkungan (Absori, 2000:
21). Masyarakat pada kelompok tertentu menilai kerusakan lingkungan dan pelestarian lingkungan menjadi tanggung jawab pemerintah, berbeda dengan
konsep yang dituangkan oleh Petkova et.al (2002: 11) bahwa
5 participation by making information widely available. Effective access to judicial and administrative proceedings,including redress and remedy, shall be provided.
Selebihnya, dijelaskan pada public participation in practice ada 3 (tiga) level yaitu nasional, lokal, dan project level oleh Petkova et.al (2002:
75) disebutkan bahwa This analysis of how public participation operates in practice conciders decision making at three levels: nasional, state or local,
and project level. For each decision-making cases. The analysis begins with
making at the national level, proceeded to regional or local
decision-making, and conclude with an assesment of public participation in decicions
made at the project level.
Hubungan partisipatif antara pemerintah dengan masyarakat menjadi pasangan yang dipersyaratkan untuk kebangunan prinsip ecological
awareness. Gobinath (2010: 18) bahwa educational institutions should also
be focused with industries to preserve our natural resources and
methods are to be developed to improve their environmental
performance. Kasperson (2002: 91) co-operation between government and
civil society has become an established principle in the environment, at least
private. Prinsip interaksi manusia dengan lingkungan diupayakan untuk meningkatkan kualitas manusia itu sendiri, melestarikan vitalitas dan
keanekaragaman bumi agar pembangunan dapat berlanjut, meminimalisir penciutan sumberdaya alam, mengubah kelangkaan menjadi kemelimpahan,
6 secara baik bagi manusia di masa yang akan datang. Kenyataan yang tampak dan dirasakan saat ini, manusia memanfaatkan sumberdaya alam secara tidak
arif, sehingga lingkungan mengalami kerusakan yang berkelanjutan (Sukandarrumidi dalam Wardhana, 2010: xiv). Fadjar (2005: 297)
mendiskripsikan bahwa kerusakan alam dan lingkungan hidup yang lebih dahsyat bukanlah disebabkan oleh proses penuaan alam itu sendiri, tetapi justru diakibatkan oleh tangan-tangan yang selalu berdalih memanfaatkannya,
yang sesungguhnya adalah mengeksploitasi tanpa memperdulikan adanya kerusakan lingkungan. Anshoriy (2008: 25) menyatakan bahwa sebenarnya
manusia bukan perusak mutlak jika manusia mengerti akan prinsip-prinsip ekologi dalam memanfaatkan sumber daya alam. Dengan demikian, perilaku manusia dinyatakan secara khusus sebagai unsur penting yang mempengaruhi
kualitas sumber daya alam yang mendukung kesejahteraan manusia itu sendiri (Soerjani, 1996: 13). Mangunjaya (2008: 76) memaparkan tentang manusia
dan kerusakan lingkungan sebagai berikut manusia kaya atau miskin menjadi tertuduh atas penyebab kerusakan lingkungan dan perubahan iklim. Apa yang bisa dilakukan? Saat ini target yang bisa dilakukan para pembela lingkungan
adalah bagaimana sesegera mungkin orang dapat mengubah pola gaya hidup dan perilakunya. Faktor yang dapat menentukan perubahan perilaku manusia
baik individual maupun kolektif antara lain nilai-nilai moral dan budaya yang di dalamnya termasuk nilai-nilai keagamaan yang mengkristal, pendidikan
7 hidup yang lebih ramah lingkungan, perundang-undangan atau aturan dan tata kerja yang jelas.
Manusia memposisikan hutan sebagai lahan untuk mencari nafkah hidup sejak zaman nenek moyang. Sejak itu pula telah ada kearifan lokal
manusia untuk melindungi dan melestarikan hutan dan lingkungannya sehingga hutan tetap menjadi primadona penopang kehidupan manusia pada zamannya. Hutan diketahui memiliki manfaat yang langsung maupun tidak
langsung bagi kehidupan manusia. Manfaat langsung antara lain sebagai sumber bahan pangan, sumber protein, sumber pendukung fasilitas
pendidikan, sumber bahan bakar, sumber oksigen, sumber pendapatan, sumber obat-abatan, habitat satwa.
Kerusakan hutan atau istilahnya "disturbance" ganguan-gangguan
dalam intensitas yang terbatas memberikan dampat posistif terhadap pertumbuhan semai-semai dan regenerasi di dalam hutan. Semua ini terjadi
agar keseimbangan ekosistem dalam hutan dapat terjadi melalui proses alami yang berjalan dengan baik. Namun, apabila intensitas kerusakan hutan itu tinggi melebihi "daya lenting" yang ada, maka akan terjadi deforestasi yang
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup.
Pendekatan rasionalitas dengan menggunakan sains dan teknologi lebih
ditonjolkan tanpa diimbangi dengan sentuhan moral atau etika manakala manusia berhadapan dengan alam semesta. Cara pandang manusia terhadap
8
World Record, Indonesia merupakan negara penghancur hutan tercepat
(Sudarsono, 2007: xi). Hutan di Kalimantan dan Riau terbakar/dibakar
mencapai ribuan hektar. Menurut Mangunjaya (2008: 61) kerusakan hutan Indonesia antara tahun 2000-2005 mencapai 1,8 Ha hingga 2 juta Ha per
tahun. Menurut Qaradhawi, 2002: 332) hutan yang dimusnahkan setiap detiknya di dunia ini mencapai lebih dari 4 Km. Beberapa industri kertas menjadi kehilangan bahan dasar pembuat kertas. Menurut Fariz (7 April 2010
dalam Kompas) disebutkan bahwa semakin banyak kertas yang dipakai, maka semakin banyak pula kayu yang ditebang. Apabila semakin banyak hutan
yang digunduli, maka kerusakan lingkungan seperti ini akan berakibat pada perubahan iklim. Misalnya efek rumah kaca, yang ada kaitannya dengan kurangnya penyerapan karbondioksida akibat jumlah pohon yang makin
sedikit. Efek rumah kaca akan meningkatkan suhu bumi, lalu berimbas pada banyaknya gejala cuaca yang aneh seperti El Nino, La Nina, mencairnya es di
kutub dan lain-lain. Produksi kertas pun menjadi menurun atau paling tidak Indonesia kembali menjadi importir kayu sebagai bahan dasar industri kertas untuk memenuhi kebutuhan manusia pada berbagai lapisan masyarakat
dengan berbagai keperluan.
Kertas adalah bahan yang tipis dan rata, yang dihasilkan dengan
kompresi serat yang berasal dari pulp. Serat yang digunakan biasanya alami yang mengandung selulosa dan hemiselulosa. Kertas dikenal sebagai media
9 digunakan untuk hidangan, kebersihan ataupun toilet. Adanya kertas merupakan revolusi baru dalam dunia tulis-menulis yang menyumbangkan arti
besar dalam peradaban dunia. Sebelum ditemukan kertas, bangsa-bangsa dahulu menggunakan tablet dari tanah lempung yang dibakar. Hal ini dapat
dijumpai dari peradaban bangsa Sumeria, prasasti dari batu, kayu, bambu, kulit atau tulang binatang, sutra, bahkan daun lontar yang dirangkai seperti dijumpai pada naskah naskah nusantara beberapa abad lampau (wikipedia
bahasa Indonesia. Diakses 4 September 2014). Kertas yang sering digunakan itu umumnya terbuat dari kayu atau lebih tepatnya dari serat kayu yang
dicampur dengan bahan-bahan kimia sebagai pengisi dan penguat kertas. Kayu yang digunakan di Indonesia umumnya jenis Akasia. Kayu jenis ini berserat pendek sehingga kertas menjadi rapuh. Hutan merupakan penghasil
kayu yang diandalkan selama ini. Kebakaran hutan yang terjadi di beberapa tempat di Indonesia menyisakan ruang sejarah yang sangat fenomenal.
Mangunjaya (2006: 102) memberikan informasi bahwa ketika hutan menjadi gundul, upaya mengembalikan hutan ternyata membutuhkan biaya yang sangat mahal. Mengembalikan hutan dengan program dana reboisasi pun
terbukti gagal. Program-program untuk mengembalikan hutan dengan reboisasi selalu dilaporkan tidak enak didengar. Proyek-proyek pengganti
untuk menstabilkan produksi kayu pun gagal dilakukan. Pemerintah perlu strategi yang terintegrasi dan komprehensif untuk bisa mempertahankan hutan
10 lain agar tujuan utama pencatatan dan pencetakan dapat diperoleh. Teknologi informasi dan komunikasi perlu digalakkan sebagai bagaian dari penyelesaian
paperbased yang menjadi primadona masyarakat selama ini.
Masyarakat menilai isu konsumsi kertas untuk berbagai kepentingan
sebagai salah satu perusak lingkungan dianggap berlebihan. Alasan yang dapat dikemukakan saat ini, pilihan-pilihan sedang dihadapkan pada masyarakat adalah bagaimana masyarakat dapat bersikap bijaksana untuk mengatasi
masalah kelangkaan kayu sebagai bahan dasar kertas. Penanaman pohon kembali atau reboisasi menunjukkan kegagalan yang berulang. Seruan
penghematan penggunaan kertas tidak henti-hentinya dilakukan oleh berbagai kalangan, baik dari unsur pemerintah maupun lembaga swadaya masyarakat. Peralihan teknologi media informasi dari media cetak ke media digital dan
elektronik masih belum bisa diterima secara keseluruhan oleh berbagai pihak. Seruan menggunakan kembali kertas (reuse) hingga mendaur ulang kertas
belum dapat menyentuh hati masyarakat pada berbagai lapisan. Program paperless yang sudah dilakukan pada berbagai PT di luar negeri telah
disosialisasikan keuntungan yang dapat dipetik, namun beberapa PT masih
mempertahankan paperbased sebagai salah satu fasilitas utama.
Kertas merupakan sarana yang dibutuhkan berbagai lapisan masyarakat,
termasuk mahasiswa di Perguruan Tinggi. Mahasiswa di perguruan tinggi memiliki ketergantungan pada kertas yang cukup signifikan. Budaya
11 maupun di luar kelas, termasuk juga dalam kegiatan organisasi mahasiswa. Kendati sebagian sudah dirancang menggunakan sistem online, penggunaan
kertas terbukti tidak dapat dihindarkan. Mahasiswa sebenarnya sudah memiliki pengetahuan dan keterampilan sistim informasi, komunikasi, dan
teknologi (information, communication, and technology). Mahasiswa dikondisikan oleh lingkungan untuk menggunakan sistem tersebut, tetapi data yang tersimpan dalam sistem elektronik tidak mampu menggeser kebutuhan
cetakan data di atas kertas untuk berbagai kepentingan secara signifikan. Demikian juga budaya akademik di STAIN Salatiga. Kertas masih menjadi
kebutuhan fundamental dalam proses perkuliahan di kelas, administrasi akademik, penugasan, ujian tengah semester, ujian akhir semester, ujian komprehensif, pembekalan praktek profesi keguruan, pembekalan Kuliah
Kerja Nyata (KKN), bimbingan akademik, dan bimbingan skripsi. Demikian halnya pada kegiatan unit kemahasiswaan, kertas masih menjadi raja untuk
mengiring-iringi kegiatan mahasiswa di kampus. Tidak dapat disangkal, kebutuhan mahasiswa terhadap kertas untuk tugas-tugas akademik memiliki cukup bukti dalam menambah kebutuhan kertas yang harus dipenuhi.
Teknologi informasi dan komunikasi sebenarnya sudah cukup memberikan solusi. Mahasiswa dalam mengikuti perkuliahan tidak perlu lagi
menggunakan foto kopi materi perkuliahan tetapi cukup dengan soft copy materi perkuliahan atau menggunakan buku referensi yang digunakan.
12 tidak perlu mendapatkan materi pembekalan praktek profesi keguruan, tetapi cukup mengunduh pada website unit PPP (sekarang unit praktikum).
Mahasiswa tidak perlu memfotokopi materi pembekalan KKN, tetapi cukup mengunduh pada website unit Pusat Penelitian dan Pengabdian pada
Masyarakat (P3M) untuk disimpan di laptop/flashdisk masing-masing kapan saja membutuhkan. Mahasiswa tidak perlu menerima lembaran hasil studi semesteran dari dosen pembimbing akademik. Sistem computerize dapat
membantu mahasiswa mendapatkan informasi hasil studi semesteran dengan mencatat/mengunduh pada anjungan akademik secara on line. Mahasiswa
tidak perlu mencetak draft proposal dan/atau skripsi selama proses bimbingan, tetapi cukup menggunakan lap top, email, soft copy, mencetak pada kertas bekas bimbingan sebelumnya atau menggunakan kertas secara bolak-balik
dengan model cetakan buku. Skripsi yang dikumpulkan di perpustakaan tidak perlu dalam bentuk skripsi layaknya diterapkan sekarang ini, cukup
mengumpulkan abstrak atau mengumpulkan skripsi dalam bentuk CD. Hal ini dapat mengurangi jumlah skripsi yang harus menumpuk di gedung perpustakaan yang akan menambah beban berat bangunan di perpustakaan
STAIN Salatiga, mengingat laporan penelitian dalam bentuk skripsi disimpan di lantai 3 perpustakaan ini.
Perpustakaan di berbagai perguruan tinggi juga sudah mengimplementasikan program paperless berupa program books dan
e-journal. Perilaku pemanfaatan fasilitas yang berorientasi untuk mengurangi
13 ditunjukkan oleh mahasiswa sebagai bagian dari budaya akademik mahasiswa. Menurut Sjafri S. Sairin dalam Sudarsono (2007: 175) kearifan lokal tidak
dapat dipisahkan dari kebudyaan masyarakat pemilik kebudayaan tersebut. Kearifan lokal seringkali tidak berlaku secara universal, hal ini karena kearifan
lokal itu merupakan bagian yang menyatu dalam budaya masyarakat lokal yaitu nilai-nilai yang berakar dari sebuah sistem pengetahuan milik bersama secara kolektif yang berfungsi sebagai blue print bagi sikap dan perilaku
anggota masyarakat lokal pendukung sistem itu.
Mahasiswa STAIN Salatiga belum memiliki arti dan makna kearifan
lingkungan dalam menggunakan kertas, upaya yang perlu dilakukan mahasiswa dalam mewujudkan kearifan lingkungan melalui paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi, mahasiswa masih terbelenggu
dengan hambatan pada sistem administrasi, unit kelembagaan akademik, dan style dosen dalam melaksanakan perkuliahan, penugasan dari dosen,
bimbingan akademik, dan bimbingan skripsi. Mahasiswa pada satu sisi belum menemukan faktor pendukung untuk melakukan paperless pada setiap proses perkuliahan dan tugas-tugas akademik lainnya. Mahasiswa dalam
melaksanakan kegiatan-kegiatan unit kemahasiswaan juga belum menemukan cara untuk berperilaku paperless dan menggunakan fasilitas teknologi
informasi dan komunikasi dalam perjalanan perkuliahan pada STAIN Salatiga. Mahasiswa dalam mengikuti dan melaksanakan program perkuliahan
14 sering terjadi pemborosan penggunaan kertas karena kesalahan yang sebenarnya tidak perlu terjadi. Mahasiswa dapat melakukan penyempurnaan
naskah dan melakukan pengecekan naskah secara teliti sebelum dilakukan pencetakan kesalahan-kesalahan sepele yang dilakukan mahasiswa pada
akhirnya dilakukan pencetakan ulang dalam jumlah yang fantastis. Hal ini menunjukkan telah terjadi inefisiensi sumber daya dalam proses belajar mengajar dan sistem administrasi bagi mahasiswa, serta dalam kegiatan unit
kemahasiswaan di STAIN Salatiga. Runnels (2013: 275) berpendapat A paperless classroom, when all materials required to complete a class are
available in an electronic form, has been shown to have positive impacts on
student and teacher motivation, engagement, productivity, and efficiency. Hal
ini dipertegas oleh Shah dan Tiwari (2010: 177) bahwa The paperless office is
an ideal situation for all managerial aspects in any organization. Several
studies have been conducted in this field and none concluded that there
is a possibility of any organization to become fully paperless.
Berdasarkan hal tersebut diperlukan kearifan lingkungan yang dimiliki oleh mahasiswa agar dapat meminimalisir penggunaan kertas (reduce) atau
menggunakan kertas dengan sistem recycling atau reuse. Mahasiswa yang memiliki kecerdasan dan pengalaman yang memadai sekiranya dapat
memahami makna kearifan lingkungan dan makna paperless bagi dirinya, keluarga, lembaga, dan negaranya, karena meminimalisir penggunaan kertas
15 berarti pula menghemat penebangan pohon sebagai bahan dasar penghasil kertas.
Paperless perlu dilakukan sebagai bukti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi sudah sampai di tangan mahasiswa. Keuntungan secara normatif
juga sudah dapat dipahami oleh sivitas akademika, khususnya mahasiswa. Namun, gejala dan gerakan yang mengarah pada paperless action dan menuju pada penerapan teknologi informasi dan komunikasi bagai mahasiswa STAIN
Salatiga tidak kunjung memberikan bukti. Nilai-nilai kepedulian terhadap lingkungan juga sudah dibentangkan pada materi perkuliahan, namun
paperbased tidak dapat ditinggalkan. Ada berbagai alasan yang dapat
dikemukakan oleh mahasiswa pada pemaknaan kearifan, hambatan yang tidak dapaat diurai oleh mahasiswa STAIN Salatiga atau terdapat variabel lain yang
mengganggu pada implementasi paperless bagi mahasiswa pada proses pembelajaran, penugasan, ujian, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi.
Berdasarkan permasalahan tersebut, maka peneliti berkeinginan untuk menemukan problematika, memotret lebih dekat permasalahan yang ada, dan solusi yang dapat ditawarkan untuk mahasiswa STAIN Salatiga agar memiliki
kearifan lingkungan dalam meminimalisir penggunaan kertas (paperless) berbasis teknologi informasi dan komunikasi. Jika penelitian ini tidak segera
dilakukan dikhawatirkan dapat membentuk karakter mahasiswa yang tidak mau peduli terhadap lingkungan. Ketidakpedulian mahasiswa dapat
16 sebagai bagian dari kepedulian terhadap lingkungan dan dapat menikmati keuntungan paperless yang dilakukan. Berdasarkan pada hal tersebut, peneliti
berkeinginan untuk melakukan penelitian dengan judul KEARIFAN LINGKUNGAN MELALUI UPAYA PAPERLESS BERBASIS
TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI BAGI MAHASISWA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN SALATIGA).
B. Fokus Masalah
Peneliti menyusun fokus masalah berdasarkan latar belakang di atas adalah bagaimana kearifan lingkungan mahasiswa STAIN Salatiga melalui upaya paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi? Fokus masalah
tersebut dapat diperinci ke dalam sejumlah pertanyaan berikut:
1. Apa makna kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga?
2. Apa upaya mahasiswa STAIN Salatiga dalam mewujudkan kearifan lingkungan melalui paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi?
3. Apa faktor pendukung kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga melalui upaya paperless berbasis teknologi informasi dan
komunikasi?
4. Apa faktor penghambat kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga melalui upaya paperless berbasis teknologi informasi dan
17 5. Bagaimana mahasiswa STAIN Salatiga mengatasi hambatan untuk melakukan paperless dalam rangka menunjukkan kearifan terhadap
lingkungan?.
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki serangkaian tujuan yang hendak diperoleh
dalam penelitian, antara lain untuk mengetahui:
1. Makna kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga melalui
paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi;
2. Upaya mahasiswa STAIN Salatiga dalam mewujudkan kearifan lingkungan melalui paperless berbasis teknologi informasi dan
komunikasi;
3. Faktor pendukung kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga
melalui upaya paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi; 4. Faktor penghambat kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga
melalui upaya paperless berbasis teknologi inforamasi dan komunikasi;
5. Upaya mahasiswa STAIN Salatiga dalam mengatasi hambatan untuk melakukan paperless dalam rangka menunjukkan kearifan terhadap
lingkungan. D. Manfaat Penelitian
1. Teoretis
Peneltian ini dapat menambah khasanah dunia pustaka di bidang lingkungan hidup secara khusus tentang paperless berbasis teknologi
18 disiplin keilmuan yang ada di STAIN Salatiga yang sebagian besar di luar kajian tentang lingkungan hidup. Penelitian ini dapat memenuhi keinginan
sivitas akademika STAIN Salatiga untuk memperoleh informasi tentang penelitian di bidang ilmu lingkungan.
2. Praktis
a. Mahasiswa
1) Mahasiswa STAIN Salatiga dapat mengetahui pentingnya makna
kearifan lingkungan sebagai bagian upaya mengatasi permasalahan lingkungan yang semakin kompleks.
2) Mahasiwa STAIN Salatiga dapat mengimplementasikan kearifan lingkungan melalui kegiatan paperless dan berorientasi pada penggunakan teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan
pembelajaran, penugasan, ujian mata kuliah, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi.
3) Mahasiswa STAIN Salatiga dapat mengatasi hambatan yang ditimbulkan dari penerpan paperless dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam dalam kegiatan pembelajaran,
penugasan, ujian mata kuliah, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi.
b. STAIN Salatiga
Signifikansi penelitian ini bagi STAIN Salatiga memuat dua
19 STAIN Salatiga menjadi IAIN Salatiga dan pentingnya pada permasalahan yang akan diteliti.
1) STAIN Salatiga dapat membangun bidang sosial sebagai bagian yang dapat melengkapi bidang garapan utama melalui kebijakan
kelembagaan yang peduli terhadap persoalan-persoalan regional, nasional dan internasional di bidang lingkungan hidup. Ketanggapsegeraan terhadap permasalahan tersebut diperlukan
penelitian yang mengacu pada peningkatan pembangunan karakter mahasiswa sebagai bagian dari sivitas akademika STAIN
Salatiga melalui upaya paperless berbais teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran, penugasan, ujian mata kuliah, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi bagi mahasiswa
STAIN Salatiga.
2) Memperkuat kebijakan pengembangan lembaga dalam rencana
alih status menjadi IAIN/UIN pada masa mendatang yang bercirikan pada kampus berkearifan lingkungan. Harapan yang diinginkan dapat menjadi kampus percontohan atau rujukan studi
Islam Indonesia melalui upaya paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran,
20 c. Peneliti
1) Peneliti sebagai bagian dari sivitas akademika STAIN Salatiga
dapat memperoleh informasi yang akurat terhadap pemaknaan kearifan lingkungan bagi mahasiswa STAIN Salatiga untuk
mendorong upaya paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran, penugasan, ujian mata kuliah, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi.
2) Peneliti dapat mengetahui hambatan yang dimiliki oleh mahasiswa STAIN Salatiga dalam melakukan upaya paperless berbasis
teknologi informasi dan komunikasi dalam kegiatan pembelajaran, penugasan, ujian mata kuliah, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi selanjutnya dapat memberikan sumbang pemikiran untuk
mengatasi hambatan yang dimiliki mahasiswa STAIN Salatiga. 3) Peneliti dapat menemukan keyword baru pada penelitian yang
21 BAB II
LANDASAN TEORI
Landasan teori memuat tinjauan pustaka dan kerangka berfikir. Tinjauan
pustaka meliputi kajian teori dan temuan hasil penelitian terdahulu. Sistematika tersebut dipaparkan secara runtut dalam laporan penelitian ini.
A. Tinjauan Pustaka
1. Kajian Teori
a. Kearifan Lingkungan
1) Pengertian
Kearifan sebagai seperangkat pengetahuan dikembangkan
oleh suatu kelompok masyarakat setempat (komunitas) yang terhimpun dari pengalaman panjang untuk menggeluti lingkungan
alam. Ikatan atau hubungan keduanya saling menguntungkan kedua belah pihak (manusia dan lingkungan) secara berkelanjutan dan dengan ritme yang harmonis. Kearifan (wisdom) dapat
disepadankan maknanya dengan pengetahuan, kecerdikan, kepandaian, keberilmuan, dan kebijaksanaan dalam pengambilan
keputusan yang berkenaan dengan penyelesaian atau penanggulangan suatu masalah atau serangkaian masalah yang relatif pelik dan rumit.
Sudharto P.Hadi dalam Sudarsono, (2007a: 164) mengemukakan kearifan lingkungan atau environmental wisdom
22 warga masyarakat dalam bertindak dan bertingkah laku dalam hubungannya dengan lingkungan. Tata nilai dimaksud
mengajarkan untuk hidup harmonis dengan lingkumgan. Kearifan lingkungan dimaksudkan sebagai aktivitas dan proses berpikir,
bertindak dan bersikap secara arif dan bijaksana dalam mengamati, memanfaatkan, dan mengolah alam sebagai suatu lingkungan hidup dan kehidupan umat manusia secara timbal balik.
Pengetahuan masyarakat yang memiliki kearifan ekologis itu dikembangkan, dipahami dan secara turun-temurun diterapkan
sebagai pedoman dalam mengelola lingkungan terutama dalam mengolah sumber daya alam. Pengelolaan lingkungan secara arif dan berkesinambungan itu dikembangkan mengingat pentingnya
fungsi sosial lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat.
Kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Local berarti setempat, sedangkan
wisdom dapat berarti kebijaksanaan. Secara umum, local wisdom (kearifan/kebijaksanaan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh
kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya. Kearifan lokal sebagai gagasan konseptual hidup
23 masyarakat. Kearifan lokal yang tumbuh di masyarakat memiliki ciri yang spesifik, terkait dengan pengelolaan lingkungan sebagai
kearifan lingkungan. Sudarsono (2007b: 46) menuliskan ketika kearifan nenek moyang berlaku, maka tanah bumi dipandang
sebagai ibu dan dijuluki tanah air sebagai Ibu Pertiwi, sehingga ada rasa dan sikap kasih pada tanah, air, hutan, fauna-flora, dan alam semesta. Alam diperlakukan bagaikan bidadari puteri yang cantik,
halus, lembut, berkembanglah perilaku menghormati alam.
Kearifan lingkungan (ecological wisdom) sebagai
pengetahuan yang diperoleh dari abstraksi pengalaman adaptasi aktif terhadap lingkungannya yang khas. Pengetahuan tersebut diwujudkan dalam bentuk ide, aktivitas, dan peralatan. Kearifan
lingkungan yang diwujudkan ke dalam tiga bentuk tersebut dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara
turun-temurun oleh komunitas pendukungnya. Kearifan lingkungan diharapkan dapat dipahami, dikembangkan, dipedomani dan diwariskan secara terus menerus oleh mahasiswa dalam
24 Definisi dan implikasi kearifan lingkungan dapat ditampilkan dalam bagan 2.1 berikut:
Gb. 2.1 Definisi dan Implikasi Kearifan Lingkungan
2) Makna Kearifan Lingkungan
Sudarsono (2007a: 91) berpendapat ‘makna kearifan
lingkungan adalah penyesuaian dengan sifat alami lingkungan, yaitu penyesuaian manusia untuk sederhana dan harmonis dengan
Kearifan lingkungan (local wisdom)
Widom/ Kearifan
dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik yang tertanam dan diikuti
oleh anggota masyarakatnya
aktivitas
Local/tempat
ide peralatan
Menjaga lingkungan
dipahami dikembangkan dipedomani
25 alam. Kearifan lingkungan berarti sifat penyesuaian manusia sesuai dengan budayanya agar dapat diterima lingkungan dalam rangka
melestarikan lingkungan, dan bukan hanya sekadar untuk mengambil keuntungan belaka. Sukandarrumidi (2010: 23)
berpendapat manusia sebagai makhluk Tuhan yang paling cerdik, kadang-kadang lupa melestarikan alam. Manusia ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari alam. Susilo (2009: 44)
berpendapat lingkungan memiliki sifat yang relatif. Hal ini memberi arti bahwa pada saat tertentu lingkungan berperan penting
dalam menjelaskan kecocokannya dengan budaya tertentu, tetapi pada suatu sisi lain lingkungan tidak cocok dengan budaya tertentu itu.
Makna kearifan lingkungan bagi Asdiqoh (2011: 9) terdapat 4 (empat) hal, yaitu membina, melestarikan, mencegah, dan
membimbing. Pertama, membina hubungan keselarasan antara manusia dengan lingkungan. Kedua, melestarikan berarti melestarikan sumber-sumber alam agar dapat dimanfaatkan terus
menerus dari generasi ke generasi. Ketiga, mencegah berarti mencegah kemerosotaan mutu lingkungan dan meningkatkannya
sehingga dapat menaikkan kualitas hidup manusia. Keempat, membimbing berarti membimbing manusia dari posisi perusak
26 moralitas yang dimiliki manusia memiliki 5 (lima) karakteristik yaitu perbuatan yang mendarah daging sebagai identitas bagi orang
yang melakukan; mudah, gampang, serta tanpa memerlukan pikiran lagi untuk melaksanakannya; dilakukan atas kemauan
sendiri dan pilihan sendiri, bukan karena paksaan dari luar; dilakukan dengan sebenarnya bukan berpura-pura, sandiwara atau tipuan; perbuatan tersebut atas dasar niat semata-mata karena Allah
Swt. Memberikan makna terhadap sebuah obyek perlu dibantu dengan sebuah modifikasi untuk digunakan sebagai langkah
implementatif. Erawati (2002: 129) 7 (tujuh) hal yang perlu dimodifikasi untuk membangun makna dalam perilaku seseorang. 7 (tujuh) hal itu antara lain perilaku yang dilakukan secara sengaja,
mengubah sasaran, menimbulkan perilaku baru yang diinginkan, cara yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, sasaran
perilaku yang dapat diubah karena batas-batas tertentu, pendekatan yang bersifat simptomatis yaitu hanya perilaku yang menampakkan gejala secara nyata yang menjadi sasaran modifikasi perilaku,
analisis mengenai asal-usul perilaku sasaran serta konteks di mana individu hidup, dipakai sebagai catatan penting yang digunakan
untuk memiliki sebuah prosedur yang paling efektif.
Kearifan lingkungan melalui paperless bagi mahasiswa
27 dasar kertas untuk peduli terhadap lingkungan. Kepedulian lingkungan bagi mahasiswa terhadap permasalahan tersebut
diharapkan mahasiswa mampu menggerakkan dirinya secara arif untuk melakukan reduce, recycling, dan reuse terhadap
penggunaan kertas berbasis teknologi informasi dan komunikasi pada kegiatan akademik mahasiswa di kampus dan/atau melakukan kegiatan organisasi di mampus serta melakukan kegiatan nyata
berupa penanaman pohon atau usaha memelihara pohon bersama masyarakat melalui kegiatan pengabdian masyarakat di bawah
inisiasi P3M STAIN Salatiga.
Makna kearifan Lingkungan dan Implikasinya dapat ditampilkan dalam gambar 2.2
Gb. 2.2 Makna Kearifan dan Implikasi Membina
Makna Kearifan dan Implikasi
Melestarikan
penyesuaian dengan sifat alami lingkungan
Mencegah Membimbing
mahasiswa dapat menyesuaikan dengan sifat alami lingkungan
28 3) Fungsi Kearifan Lingkungan
Fungsi kearifan lingkungan antara lain sebagai bagian
dari upaya untuk melakukan beberapa hal, antara lain: 1) Konservasi dan pelestarian sumberdaya alam;
2) Pengembangan sumberdaya manusia;
3) Pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan 4) Petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan.
5) Sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6) Bermakna etika dan moral, misal yang terwujud dalam upacara
Ngabendan penyucian roh leluhur.
7) Bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client.
Penjelasan fungsi-fungsi kearifan lokal mulai dari yang sifatnya teologis sampai pragmatis dan teknis dapat diterima secara
normatif dan tidak bertentangan dengan makna kaidah ilmiah. Salah satu contoh kearifan lingkungan yang digali dari kearifan lokal pada upaya pelestarian sumber air adalah kepercayaan pada
sumber air yang terdapat pohon rindang dan besar. Konsep
“pamali” atau (bahasa. Jawa oraelok: tidak baik) kencing di bawah
pohon besar di bawahnya terdapat sumber air merupakan perilaku masyarakat tradisional untuk memagari perbuatan anak-cucu agar
29 lingkungan untuk kelangsungan hidup berkelanjutan tanpa harus mengorbankan rasionalitas ilmu pengetahuan melebur dalam
keyakinan tradisional secara mutlak, melainkan mengutamakan azas manfaat dan kewajaran.
Kearifan lingkungan yang ditunjukkan pada pelaksanaan paperless diharapkan sebagai bagian untuk melaksanakan
serangkaian kegiatan yang berfungsi pada beberapa komponen.
Komponen tersebut antara lain konservasi dan pelestarian sumberdaya alam; pengembangan sumberdaya manusia;
pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan; petuah, kepercayaan, sastra, dan pantangan; sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat; bermakna etika dan moral, misal yang
terwujud dalam upacara Ngabendan penyucian roh leluhur; bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan
kekuasaan patron client.
Kegiatan-keegiatan di masyarakat yang bermaksud untuk melindungi liingkungan sebagai bukti kearifan terhadap
lingkungan terkadang juga menimbulkan permasalahan terhadap lingkungan juga. Sebagai contoh kegiatan masyarakat berupa
sedekah bumi dengan berbagai kegiatan baik di darat dan di lautan menyisakan permasalahan terhadap lingkungan, antara lain dengan
30 Fungsi kearifan lingkungan dapat dapat ditampilkan dalam gambar 2.3
Gb. 2.3 Fungsi Kearifan Lingkungan
4) Prinsip Etika dalam Membangun Kearifan Lingkungan
Beatrice Willard dalam Mangunjaya (2006: 283) merumuskan ethics of biospheral survival dalam Growth or
ecodisaster bahwa ekologis bumi itu mencakup tujuh macam
prinsip etika yang secara bersama-sama harus kita pahami guna mereformasi pemahaman dan perlakukan terhadap alam agar tidak
menyalahinya. Prinsip tersebut antara lain lingkungan holistik, keanekaragaman hayati, daur ulang, faktor pembatas, perilaku
31 pemulihan dan penstabilan ekosistem. Prinsip tersebut dapat dijabarkan pada keterangan berikut ini:
a) Prinsip Lingkungan Holistik
Sesuatu akan mempengaruhi sesuatu yang lain baik
langsung maupun tidak langsung. Tidak ada satu pun benda di jagad ini yang hidup terpisah, setiap sesuatu berkaitan dengan yang lain. Sekecil apa pun andil manusia dalam memelihara
bumi dari perilaku arif terhadap lingkungan akan mempunyai dampak kumulatif. Perilaku mahasiswa yang peduli dengan
lingkungan dengan menerapkan paperless sebagai perilaku arif terhadap lingkungan akan mempengaruhi kondisi lainnya secara holistik.
b) Keanekaragaman Hayati
Sumber-sumber kehidupan di bumi memamerkan
berbagai kekayaan morfologis, fisiologi, dan genetis yang hampir tidak terbatas pada dunia hewan dan tumbuhan. Keanekaragaman hayati merupakan warisan yang paling
berharga untuk menjamin kekekalan kehidupan di atas bumi. Kearifan lingkungan pada perilaku paperless bagi mahasiswa
32 c) Daur Ulang
Daur ulang sumber-sumber kehidupan yang ada di
bumi atau penyebaran kembali sumber-sumber tersebut. Semua ekosistem mendaur ulang limbah, semua materi dimanfaatkan,
dibuang dan diambil kembali oleh ekosistem yang lain untuk dimanfaatkan tanpa berhenti dalam siklus yang tidak terbatas. Perilaku arif terhadap lingkungan antara lain dengan
melakukan daur ulang bahah-bahan kertas yang tidak dapat digunakan lagi menjadi barang yang berharga.
d) Faktor Pembatas
Faktor-faktor lingkungan tertentu membatasi berfungsinya organisme-organisme hidup dalam semua
ekosistem. Faktor-faktor ini mendefinisikan parameter-parameter yang berlaku dari ekosistem dan
organisme-organisme hidup di dalamnya. Sering tidak hanya satu, tetapi banyak sekali faktor fisika dan kimia dalam lingkungan berinteraksi dengan kelompok spesies untuk melukiskan
faktor-faktor pembatas dari sistem itu. Prinsip ini dapat dikaitkan dengan sebagian besar sistem kehidupan untuk bereproduksi
lebih dari kemampuan pendukung ekosistem itu di mana mereka hidup. Kelangkaan pohon yang menjadi bahan dasar
33 e) Perilaku Ekologis
Kenyataan menunjukkan bahwa kelebihan populasi
memastikan bahwa beberapa individu berhasil mempertahankan hidupnya untuk melestarikan spesiesnya,
tetapi prinsip ini tidak bertindak bersama untuk menjaga keseimbangan populasi suatu spesies tertentu. Hal ini biasanya tidak mudah dimengerti dan terkadang sulit dipahami akan
kenyataan bahwa kita mungkin mengubah keseimbangan dengan suatu tindakan yang nampaknya tidak berbahaya.
Penebangan pohon untuk kebutuhan produksi kertas menjadikan keseimbangan alam menjadi terganggu. Tanaman yang biasanya dapat digunakan sebagai tempat tumbuh dan
berkembangnya satu spesies menjadi terganggu. f) Semua Ekosistem Memiliki Kemampuan Tertentu
Kemampuan ini seirng diistilahkan sebagai kapasitas pembawa. Perilaku ini mempunyai persamaan dengan sistem-sistem rekayasa dan perilaku dalam sebuah organisasi.
Organisasi yang memiliki keterbatasan untuk mengatur anggotanya agar dapat terawasi dan berdisiplin, begitu pula
ekosistem apabila ekosistem dipaksakan dan dibebani menampung segala persoalan, pasti akan hancur. Kelangkaan
34 kelangkaan tanaman yang seharusnya dapat menampung persoalan udara kotor.
g) Pemulihan dan Penstabilan Ekosistem
Ekosistem telah berkembang dalam jangka panjang dan
lama. Dimulai dari sistem yang sederhana selanjutnya menjadi sistem yang lebih rumit, saling terkait dan menjadi seimbang, bersaam dengan proses tersebut, terkait dan saling seimbang.
Bersamaan dengan proses tersebut muncul pula proses alam untuk mengontrol kemantapan sistem itu dan melindunginya
dari kerusakan yang mungkin disebabkan oleh dan melindunginya dari kerusakan yang mungkin disebabkan oleh kecelakaan seperti kebakaran, tanah longsor. Kondisi ini
memerlukan dilakukannya pemulihan untuk memberikan kondisi lingkungan yang dapat memberikan pemenuhan
kebutuhan manusia. Tanaman yang telah mengalami kebakaran dan longsor perlu dilakukan reboisasi bagi kepentingan yang lebih jauh untuk memenuhi kebutuhan manusia pada masa
yang akan datang.
Prinsip lingkungan holistik, keanekaragaman hayati, daur
ulang, faktor pembatas, perilaku ekologis, semua ekosistem memiliki kemampuan tertentu, pemulihan dan penstabilan
35
paperless dan mengupayakan penggunaan teknologi informasi dan
teknologi.
Prinsip Etika dalam membangun kearifan lingkungan dapat ditampilkan dalam gambar 2.4
Gb 2.4 Prinsip Etika dalam Membangun Kearifan Lingkungan
5) Kearifan Tradisional dan Rasional
Istilah tradisional dan rasional bersinonim dengan desa kota dan lama dan modern. Budaya tradisional merupakan kebiasaan yang berlaku turun temurun dalam berinteraksi dengan lingkungan
hidupnya. Budaya rasional terbentuk dari himpunan gagasan dan inovasi dalam berinteraksi dengan lingkungan hidupnya. Budaya
tradisional dan rasional yang pro terhadap lingkungan hidup membentuk kearifan lingkungan hidup (Rohadi, 2011: 221).
Ketika masyarakat dalam sebuah masa telah didominasi oleh ilmu pengetahuan dan teknologi dalam mengarungi hidup, maka Prinsip Etika dalam Membangun Kearifan Lingkungan
36 dikatakan masyarakat tersebut telah memasuki peradaban modern. Rasionalitas yang melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini
menjadi harapan baru di masa yang akan datang. Budaya rasional sesungguhnya dapat menciptakan budaya yang ramah lingkungan.
Pemikiran yang memikirkan kelanjutan fungsi lingkungan atau dikenal dengan pembangunan berkelanjutan kini tampak terus dikembangkan untuk memperbaiki lingkungan hidup. Ilmu
pengetahuan dan teknologi juga semakin nyata banyak yang dikembangkan untuk menciptakan teknologi industri yang
berwawasan lingkungan. Hal ini disebut sebagai budaya rasional yang pro terhadap lingkungan hidup.
Konsep kearifan lingkungan hidup yang terbangun dari
budaya tradisional dan rasional yang ramah lingkungan lebih tegas keberpihakan terhadap lingkungan hidup. Rohadi (2011: 221)
berpendapat dinamika budaya lingkungan hidup di perkotaan mengkonstruksikan konsep kearifan lingkungan hidup yang terbangun dari budaya tradisional dan rasional yang ramah
lingkungan.
Mahasiswa yang berada pada lingkungan akademik
memiliki budaya rasional dan tradisional secara bersamaan. Artinya mahasiswa yang berasal dari berbagai budaya tradisional
37 kertas. Paperless sebagai konstruksi konsep kearifan tradisional dan rasional menghendaki keberpihakan mahasiswa terhadap
keberlanjutan lingkungan hidup. Ruang-ruang dan kesempatan proses perkuliahan, penugasan, pembekalan PPL, KKL, KKN, dan
bimbingan skripsi yang masih berorientasi pada kertas akan bergeser menuju paperless dan mengoptimalkan pada penggunaan teknologi informasi dan komunikasi. Kearifan Tradisional dan
Rasional dapat ditampilkan dalam gambar 2.5
Gb. 2.5. Kearifan Tradisional dan Rasional Kearifan Tradisional dan Rasional
Kearifan tradisional
Kearifan Rasional
Paperless pada proses perkuliahan, PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi
Mahasiswa berada pada ruang lingkup tradisional dan seklaigus rasional diharapkan dapat menciptakan budaya yang ramah lingkungan.
Keberpihakan terhadap lingkungan hidup pada proses akademik
Optimalisasi penggunaan teknologi informasi dan
38 6) Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Islam
Kearifan lingkungan dalam hal ini adalah pada konteks
penerapan Paperless dan Penggunaan Teknologi informasi dan Komunikasi. Agama merupakan pedoman dan pandangan hidup
berperikehidupan bagi pemeluknya. Oleh karena itu, agama menjadi referensi utama sekaligus sebagai tolok ukur perilaku penganut agama. Agama dapat menjadi motivator dan motor
penggerak perilaku ekologis penganutnya menuju kearifan lingkungan. Islam memandang kearifan lingkungan merupakan tata
ketentuan hubungan antara manusia dengan lingkungannya.
Substansi pesan ekoteologis dari ungkapan peduli lingkungan sebagai bagian dari iman adalah hakikat orang beriman
adalah selalu memelihara kelestarian optimasi daya dukung lingkungan bagi kehidupan. Sudarsono (2007a: 10) menambahkan
spirit dan substansi ekoteologis berupa hati damai, bumi lestari. Sesanhwa ramah lingkungan, peduli lingkungan, arif terhdap lingkungan akan menjadi pilar penyangga kelestarian lingkungan.
Hal ini merupakan sikap teologis Islam memberikan ajaran secara tegas janganlah mengaku dirinya sebagai orang beriman jika tidak
memiliki komitmen untuk peduli lingkungan. Indikator orang beriman adalah kepedulian terhadap lingkungan (Sudarsono,
39 penyangga kelestarian lingkungan. Sikap ramah dan positif terhadap lingkungan antara lain sebagaimana diteorikan oleh
Asdiqoh (2002: 15) antara lain apresiatif, kreatif, proaktif, dan produktif. Pertama, apresiatif merupakan sikap menghargai
keberadaan lingkungan hidup. Seorang muslim harus berusaha mengetahui apa guna dari adanya lingkungan hidup tersebut. Adanya menghargai lingkungan hidup memberikan indikasi
terhindarnya manusia dari sifat perusak, termasuk perusak alam dan sekitarnya. Kedua, kreatif merupakan daya cipta manusia yang
tumbuh dari dalam dirinya karena melihat obyek, termasuk lingkungan hidup. Seorang manusia seharusnya mampu membangkitkan dan menumbuhkan sikap kreatifnya, sehingga
tercipta kondisi positif bagi lingkungan hidup. Seorang muslim diharapkan agar selalu berbuat baik kepada siap saja dan apa saja.
manusia mempunyai nilai tinggi di hadapan sang Pencipta apabila mampu melakukan tindakan yang menyenangkan orang lain. Harapan yang diinginkan adalah lingkungan yang tetap serasi,
tumbuh dan berkembang serta dapat dirasakan kemanfaatannya bagi umat manusia. Ketiga, proaktif artinya lawan dari dari sikap
kontraktif. Sikap proaktif pada dasarnya sikap pembangunan lingkungan hidup selaras, searah, sejalan dengan eksistensi
40 Keempat, produktif artinya sikap manusia untuk mengarah kepada aktivitas memproduksi bahan mentah menjadi bahan jadi yang
diambil dari sumber daya alam.
Kearifan lingkungan dalam perspektif Islam dalam
mengimplementasikan paperless dan mengupayakan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dapat ditampilkan dalam gambar 2.6
Gb. 2.6 Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Islam Kearifan Lingkungan dalam Perspektif Islam
Kepedulian dan ramah lingkungan Nilai-nilai Ajaran Islam
Motivator dan motor penggerak perilaku ekologis Tolok ukur perilaku
penganut agama
Perilaku Peduli sebagai Pilar Penyangga Kelestarian Lingkungan
Menjadi referensi umatnya berperilaku
utama
Paperless dan penggunaan teknologi informasi dan komunikasi
Kreatif Proaktif Produktif
41 7) Kearifan Lingkungan sebagai Aset Bangsa dan Negara
Keberagaman kearifan lingkungan yang dimiliki bangsa ini
merupakan aset atau modal pembangunan yang sangat berharga yang tidak boleh dinaifkan atau dihilangkan semata-mata tidak
masuk akal. Nilai pamali (tabu) justru harus ditransformasikan ke dalam khazanah budaya masa kini. Masyarakat dapat menemukan hakekat mendasar dari kearifan lingkungan yang ada dalam
masyarakat itu dengan cara mencari rasionalisasinya atau penjelasan ilmiah sebagai modal utama dalam mencari alternatif
baru dalam penanganan masalah lingkungan yang terjadi selama ini (Sudarsono, 2007b: xii). Mangunjaya (2008: 92) berpendapat keinginan manusia untuk menghargai sains, dan agama sebagai
wahana untuk menghubungkannya dengan alam sebagai ciptaan. Kearifan lingkungan berupa perilaku paperless berbasis
teknologi informasi dan komunikasi bagi mahasiswa STAIN Salatiga merupakan aset bangsa dan negara. Jumlah mahasiswa STAIN Salatiga di atas 3000 mahasiswa yang dapat mengurangi
jumlah kertas pada setiap kegiatan akademik dan organisasi dapat meminimalisir penggunaan kertas berarti turut serta mengurangi
jumlah pohon yang harus ditebang sebagai bahan dasar kertas. Oleh karena itu, mahasiswa STAIN menjadi aset negara dalam
42 informasi dan komunikasi. Paperless bagi mahasiswa dalam proses perkuliahan dan memenuhi tugas-tugas serta ujian yang
dilaksanakan, pembekalan dan praktek PPL, KKL, KKN, dan bimbingan skripsi baik pada proses bimbingan maupun publikasi
hasil penelitian. Kearifan lingkungan sebagai aset bangsa dan negara dapat ditampilkkan dalam gambar 2.7
Gb. 2.7 Kearifan Lingkungan sebagai Aset Bangsa dan Negara Kearifan Lingkungan sebagai Aset Bangsa dan Negara
Ditemukan nilai rasionalisasinya/ penjelasan ilmiah
Nilai-nilai budaya seperti pamali
Alternatif baru
dalam penanganan masalah lingkungan yang terjadi
Keinginan manusia menghargai dan mengaplikasikan sains, dan agama sebagai wahana untuk
menghubungkannya dengan alam sebagai ciptaan. Ditemukan hakikat mendasar Kearifan
Lingkungan
Penerapan paperless dan teknologi informasi serta komunikasi
Paperless dan Penggunaan Teknologi Informasi dan Komunikasi bagi mahasiswa dalam proses pembelajaran, PPL, KKL, KKN, dan bimbang skripsi
43 8) Rapuhnya Kearifan Lingkungan sebagai Faktor Penghambat
Pembangunan Berkelanjutan
Sudharto P. Hadi dalam Sudarsono (2007a: 165)
berpendapat ‘rapuhnya kearifan lingkungan itu seiring dengan
makin besarnya jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meningkatnya jumlah penduduk dan beragamnya kebutuhan memicu eksploitasi sumber
daya alam yang semakin besar. Perkembangan teknologi manusia merasa bahwa alam tidak lagi sakral karena manusia merasa dapat
menguasainya. Manusia tidak lagi merasa harus mengikuti irama
dan hukum alam tetapi menentukan irama dan hukumnya sendiri’.
Di samping itu, kebijakan tertulis ataupun tidak tertulis yang
dimiliki oleh masyarakat, atau bahkan lembaga menjadikan masyarakat dibuat tidak berdaya utuk mengakkan kearifan
terhadap lingkungan.
Kearifan lingkungan direpresentasikan dalam nilai agama, sosial, norma, adat, etika, sistem kepercayaan, pola penataan ruang
tradisional, serta peralatan dan teknologi sederhana ramah lingkungan. Sumber daya sosial yang diwarisi secara turun
temurun tersebut pada kenyataannya terbukti efektif menjaga kelestarian lingkungan serta menjamin kelestarian lingkungan.
44 dalam mengimplementasikan paperless berbasis teknologi informasi dan komunikasi dalam melaksanakan kegiatan akademik
dan organisasi kemahasiswaan.
9) Mempertahankan Kearifan Lingkungan untuk Pembangunan
Berkelanjutan
Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan faktor pendorong sekaligus kekuatan penggerak dalam pengelolaan
lingkungan hidup. Adaptasi terhadap lingkungan kelompok-kelompok masyarakat tersebut mengembangkan kearifan
lingkungan sebagai hasil abstraksi pengalaman dalam mengelola lingkungan. Keanekaragaman pola-pola adaptasi terhadap lingkungan hidup yang dikembangkan masyarakat Indonesia yang
majemuk merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan yang berkelanjutan.
Keyakinan tradisional mengandung sejumlah besar data empiris yang berhubungan dengan fenomena, proses dan sejarah perubahan lingkungan, sehingga membawa implikasi bahwa sistem
pengetahuan tradisional dapat memberikan gambaran informasi yang berguna bagi perencanaan dan proses pembangunan.
Keyakinan tradisional dipandang sebagai kearifan budaya lokal dan merupakan sumber informasi empiris dan pengetahuan penting
45 berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitan dengan struktur
lingkungan, misalnya bagaimana lingkungan berfungsi, reaksi alam terhadap tindakan manusia, serta hubungan-hubungan yang
sebaiknya tercipta antara masyarakat dan lingkungan alamnya. Penggalian terhadap kearifan budaya lokal ditujukan untuk mengenal dan memahami fenomena alam melalui penelusuran
informasi dari masyarakat.
Kearifan lokal di masyarakat yang didasari dari
pengalaman dalam periode waktu panjang sehingga tertanam keselarasan hidup dengan alam, memahami secara dalam karakter alam dan kehidupannya diterapkan dalam mengelola alam
merupakan cara untuk mempertahankan kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan bukanlah tindakan tradisional yang
terbelakang, kita dapat menerapkan teknologi modern pengelolaan lingkungan, tetapi dengan memperhatikan kearifan lokal, paduan yang proporsional akan terwujud kearifan lingkungan. Kegiatan
gotong royong dalam pembuatan rumah adat merupakan salah satu contoh kearifan lokal yang dipertahankan sebagai kearifan
lingkungan sosial.
Kearifan mahasiswa terhadap lingkungan yang berada di
46 terhadap lingkungan dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pembangunan berkelanjutan. Ciri dari pembangunan
berkelanjutan antara lain penggunaan sumber daya alam secara efisien. Paperless dan penggunaan teknologi informasi dan
komunikasi merupakan salah satu upaya efisiensi terhadap sumber daya alam.
Mempertahankan Kearifan Lingkungan untuk
Pembangunan Berkelanjutan dapat ditampilkan dalam gambar 2.8.
Gb. 2.8 Mempertahankan Kearifan Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan
10)Strategi Membangun Perilaku Arif terhadap Lingkungan
Strategi yang dapat digunakan untuk membentuk perilaku ekologis berupa perilaku arif terhadap lingkungan dengan Pendorong sekaligus kekuatan
penggerak dalam pengelolaan lingkungan hidup Kemajemukan
Bangsa
Mempertahankan Kearifan Lingkungan untuk Pembangunan Berkelanjutan
Adaptasi Keanekaragaman
Sumber Daya Alam
Perencanaan dan Pelaksanaan Pembangunan Berkelanjutan Kearifan Tradisonal
47 mengadopsi pada pendidikan Islam menurut Nasikh Ulwan dalam Susilowati (2002: 73) antara lain melalui keteladanan, pembiasaan,
nasehat, pengawasan, dan hukuman. Kementerian Lingkungan Hidup dan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah, 2011:
26-9 menegakkan konsep penyusunan strategi perilaku ekologis dengan kegiatan mengajarkan, pembiasaan, keteladanan, dan refleksi.
a) Mengajarkan
Menumbuhkan akhlak lingkungan dengan mengandalkan
pada pengetahuan teoretis tentang konsep-konsep nilai yang terkait dengan perilaku ramah lingkungan dan pengelolaan lingkungan. Seseorang dapat memiliki kesadaran dan
melakukan perilaku ramah lingkungan terlebih dahulu harus mengetahui nilai-nilai penting lingkungan bagi kehidupan dan
bagaimana melakukan pengelolaannya. Hal ini didasarkan pada pemahaman bahwa perilaku manusia pada dasarnya dituntun oleh pengertian dan pemahaman terhadap nilai dari perilaku
yang dilakukannya melalui proses pendidikan dan pengajaran. Proses pendidikan dan pengajaran tentang lingkungan ini
dapat dilakukan secara langsung, baik melalui pemberian informasi dengan pembelajaran maupun penugasan melalui