• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI PANTI ASUHAN AISYIYAH MOJOLABAN CABANG BEKONANG KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PEMBINAAN KARAKTER ANAK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EKSISTENSI PANTI ASUHAN AISYIYAH MOJOLABAN CABANG BEKONANG KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PEMBINAAN KARAKTER ANAK"

Copied!
180
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

i

EKSISTENSI PANTI ASUHAN AISYIYAH MOJOLABAN

CABANG BEKONANG KABUPATEN SUKOHARJO

DALAM PEMBINAAN KARAKTER ANAK

SKRIPSI

Oleh:

RATIH YULITA

K8408096

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(2)

commit to user

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini

Nama : Ratih Yulita

NIM : K8408096

Jurusan/Program Studi : PIPS/Pendidikan Sosiologi Antropologi

menyatakan bahwa skripsi saya berjudul “EKSISTENSI PANTI ASUHAN

AISYIYAH MOJOLABAN CABANG BEKONANG KABUPATEN

SUKOHARJO DALAM PEMBINAAN KARAKTER ANAK” ini benar-benar

merupakan hasil karya saya sendiri. Selain itu, sumber informasi yang dikutip dari

penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Apabila pada kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan skripsi ini hasil jiplakan, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan saya.

Surakarta, Mei 2012

Yang membuat pernyataan

(3)

commit to user

iii

EKSISTENSI PANTI ASUHAN AISYIYAH MOJOLABAN

CABANG BEKONANG KABUPATEN SUKOHARJO

DALAM PEMBINAAN KARAKTER ANAK

Oleh:

RATIH YULITA

K8408096

Skripsi

Diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana

Pendidikan Program Pendidikan Sosiologi Antropologi, Jurusan Pendidikan

Ilmu Pengetahuan Sosial

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

(4)

commit to user

iv

PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Surakarta, Mei 2012

Pembimbing I, Pembimbing II,

Drs. T. Widodo, M.Pd Drs. Soeparno, M.Si

(5)

commit to user

v

PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk memenuhi salah satu persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.

Hari : Jumat

Tanggal : 4 Mei 2012

Tim Penguji Skripsi

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Drs. Saiful Bachri, M.Pd Sekretaris : Drs. Slamet Subagyo, M.Pd

Anggota I : Drs. T. Widodo, M.Pd Anggota II : Drs. Soeparno, M.Si

Disahkan Oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Dekan,

(6)

commit to user

vi ABSTRAK

Ratih Yulita. EKSISTENSI PANTI ASUHAN AISYIYAH MOJOLABAN CABANG BEKONANG KABUPATEN SUKOHARJO DALAM PEMBINAAN KARAKTER ANAK. Skripsi, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, Mei 2012.

Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui sistem pembinaan karakter anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, Cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo. (2) Mengetahui pola pengasuhan pada anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, Cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo. (3) Mengetahui sistem pendidikan anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, Cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Subjek penelitian adalah anak-anak asuh di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, Cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo yang berjumlah 23 anak. Sumber data berasal dari kepala panti asuhan, pengurus dan pengasuh panti asuhan Aisyiyah, peristiwa atau aktivitas, tempat atau lokasi, dan dokumen. Teknik pengumpulan data adalah dengan observasi dan wawancara. Validitas data menggunakan teknik triangulasi data. Analisis data menggunakan teknik analisis interaktif.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan karakter anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, Cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo melalui pendidikan keagamaan yang meliputi tafsir Al Quran, hafalan asmaul husna, pengajian, dan les akidah/akhlak. Sistem pendidikan di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, Cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo meliputi pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal di lakukan di sekolah-sekolah umum yang berada di luar panti asuhan. Pendidikan informal dilakukan di dalam panti asuhan dengan sistem kekeluargaan. Pendidikan nonformal dilakukan dengan cara memberikan pendidikan keterampilan yang meliputi keterampilan menjahit, menyulam, memasak/boga, salon, dan membatik. Pola pengasuhan yang diterapkan di panti asuhan Aisyiyah adalah pola pengasuhan demokratis, yaitu memberikan kesempatan kepada anak asuh untuk berbicara dan mengambil keputusan sendiri serta dapat mempertanggungjawabkannya.

Simpulan penelitian ini adalah hasil dari pembinaan karakter di panti asuhan Aisyiyah belum tercapai seluruhnya. Karakter yang dibina di panti asuhan Aisyiyah adalah karakter jujur, kerja keras, disiplin, taqwa, dan sholehah. Karakter yang berhasil dimiliki oleh anak asuh adalah karakter sholehah. Sedangkan karakter yang kurang dimiliki oleh anak asuh adalah karakter jujur. Secara garis besar pembinaan karakter di panti asuhan Aisyiyah belum mencapai maksimal.

(7)

commit to user

vii Abstract

Ratih Yulita. THE EXISTENSE OF AISYIYAH ORPHANAGE OF BEKONANG AREA OFFICE OF MOJOLABAN IN SUKOHARJO REGION IN CHILDREN CHARACTER BUILDING. Thesis. Faculty of Teacher Training and Education Sebelas Maret University. Surakarta, May 2012.

The aims of this research are, first, to find the children character building Mojolaban in Sukoharjo region. The source of data in this research are obtained from the head master, principals and governess of Aisyiyah orphanage, the events or activities take place, the setting or location, and documents. The techniques of collecting data are from observation and interview. The data validation uses technique of triangulation. The data analysis uses interactive analysis technique.

The results of this research show that children character building of Aisyiyah orphanage of Bekonang Office area of Mojolaban in sukoharjo region is obtained using religious educations containing interpreting Qur’an, reciting Asmaul Husna, attending religious forums, and attending moslemah character course. The education system of Aisyiyah orphanage of Bekonang Office area of Mojolaban in Sukoharjo Region contains of formal, in-formal and non-formal educations. Formal education held in public schools outside the orphanage house. Informal education held within children family. Nonformal education held by giving extra skills to children such as sewing, embroidering, cooking, beauty coursing, and batik craft painting. The fostering pattern applied in Aisyiyah Orphanage is a democratic fostering pattern that giving children independency to express their thoughts and to decide matters on their own with responsibility.

The conclusion of this research is that the outcome of character building to children of Aisyiyah Orphanage has not been successfully achieved. Characters primarily built to children in Aisyiyah Orphanage are honesty, hard work, discipline, devoted, and sholehah. Character achieved by children in Aisyiyah Orphanage house is mainly sholehah. Meanwhile, the character less achieved is honesty. Therefore, in concluding to the findings above, the character building in Aisyiyah Orphanage is not fully achieved.

(8)

commit to user

viii MOTTO

“Banyak orang mengatakan kepintaran yang menjadikan seseorang ilmuwan besar.

Mereka keliru, semua itu adalah karena faktor karakter.”

(Albert Einstein)

“Sabar dalam mengatasi kesulitan dan bertindak bijaksana dalam mengatasinya

adalah

sesuatu yang utama.”

(9)

commit to user

ix

PERSEMBAHAN

Kupersembahkan karya ini untuk:

1.

Bapak Prapto Diharjo tercinta

2.

Alm. Ibu Sri Sutinah tercinta

3.

Mas Tanto dan Mas Dedi tersayang

4.

Sahabat-sahabat dekat yang selalu memberi

semangat

(10)

commit to user

x

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, yang memberi ilmu, inspirasi, dan kemuliaan. Atas kehendak-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “EKSISTENSI PANTI ASUHAN AISYIYAH MOJOLABAN CABANG BEKONANG KABUPATEN SUKOHARJO DALAM

PEMBINAAN KARAKTER ANAK”

Skripsi ini disusun untuk memenuhi sebagian dari persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana pada Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan pengarahan

dari berbagai pihak. Untuk itu, penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial.

3. Ketua Program Pendidikan Sosiologi Antropologi, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Drs. T. Widodo, M.Pd., selaku Pembimbing I, yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

5. Drs. Soeparno, M.Si., selaku Pembimbing II, yang selalu memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

(11)

commit to user

xi

7. Ibu Siti Muslichah selaku pengurus dan pengasuh di Panti Asuhan Aisyiyah Mojolaban Cabang Bekonang Kabupaten Sukoharjo, yang telah memberi bimbingan dan masukan dalam penelitian ini.

8. Anak-anak di Panti Asuhan Aisyiyah Mojolaban Cabang Bekonang Kabupaten Sukoharjo yang telah bersedia untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan penelitian ini.

9. Semua pihak yang turut membantu dalam penyusunan skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan karena keterbatasan penulis. Meskipun demikian, penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, Mei 2012

(12)

commit to user

xii DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PENGAJUAN ... iii

PERSETUJUAN ... iv

PENGESAHAN ... v

ABSTRAK ... vi

MOTTO ... viii

PERSEMBAHAN ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR TABEL ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah ... 8

C. Tujuan Penelitian ... 8

D. Manfaat Penelitian ... 8

BAB II. KAJIAN PUSTAKA . ... 9

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan ... 9

1. Kajian Teori ... 9

a. Kajian Teori Mengenai Pendidikan Karakter ... 9

1) Karakteristik Karakter ... 13

2) Budi Pekerti, Nilai, Norma, dan Moral ... 16

b. Pendidikan Budi Pekerti pada Panti Asuhan ... 18

(13)

commit to user

xiii

2) Sosialisasi Pengembangan Kepribadian ... 21

3) Pola Asuh Pendidikan Karakter ... 26

4) Tujuan Pendidikan Karakter ... 27

c. Karakter Berhubungan dengan Kepribadian ... 29

1) Perubahan Karakter ... 30

d. Tinjauan Mengenai Panti Asuhan ... 31

2. Hasil Penelitian yang Relevan ... 34

a. Hasil Penelitian yang Relevan 1 ... 34

b. Hasil Penelitian yang Relevan 2 ... 35

c. Hasil Penelitian yang Relevan 3 ... 36

B. Kerangka Berpikir ... 37

BAB III. METODE PENELITIAN ... 39

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 39

1. Tempat Penelitian ... 39

2. Waktu Penelitian ... 40

B. Pendekatan dan Jenis Penelitian ... 41

1. Bentuk Penelitian ... 41

2. Strategi Penelitian ... 41

C. Data dan Sumber Data ... 42

1. Informan (narasumber) ... 42

2. Peristiwa atau Aktivitas ... 43

3. Tempat atau Lokasi ... 44

4. Dokumen ... 44

D. Teknik Sampling (Cuplikan) ... 45

E. Pengumpulan Data ... 46

F. Uji Validitas Data ... 47

G. Analisis Data ... 48

(14)

commit to user

xiv

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 52

1. Gambaran Umum Kota Sukoharjo ... 52

2. Gambaran Umum Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang ... 54

a. Sejarah Berdirinya Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang .. 54

b. Dasar Pendirian Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang ... 57

c. Azaz dan Tujuan ... 59

d. Organisasi Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang ... 60

e. Program Pendidikan ... 65

f. Penerimaan Anggota Panti Asuhan Aisyiyah ... 68

g. Tata Tertib Panti Asuhan Aisyiyah ... 69

B. Deskripsi Temuan Penelitian ... 73

1. Deskripsi Gambaran Anak-Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 73

a. Sistem Penerimaan dan Pengeluaran Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 73

b. Sasaran Anak yang Masuk ke Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 75

c. Potensi Anak-Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 78

d. Kondisi Anak-Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 79

e. Sarana dan Prasarana di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 80

2. Sistem Pendidikan di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang .... 82

a. Pendidikan Formal ... 82

b. Pendidikan Informal ... 83

(15)

commit to user

xv

d. Sumber Dana Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang

Sukoharjo ... 87 3. Pola Pengasuhan di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang

Sukoharjo ... 90 a. Kendala dalam Memberikan Pengasuhan Kepada Anak-

Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo .. 91 4. Sistem Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan Aisyiyah

Bekonang Sukoharjo ... 95 a. Proses Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan

Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 95 b. Strategi Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan

Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 107

c. Hambatan dalam Menjalankan Pembinaan Karakter

Anak di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo .. 114

d. Faktor yang Mempengaruhi Pembinaan Karakter Anak

di Panti Asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 115 e. Solusi yang Digunakan untuk Mengatasi Hambatan dalam

Menjalankan Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan

Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 117 f. Hasil Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan

Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 118 C. Pembahasan ... 139

1. Tujuan Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan Aisyiyah

Bekonang Jelas ... 140 2. Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan Aisyiyah

Bekonang Dipengaruhi oleh Faktor Internal dan Faktor

(16)

commit to user

xvi

3. Hasil Pembinaan Karakter Anak di Panti Asuhan Aisyiyah

Bekonang Belum Tercapai Seluruhnya ... 145

BAB V. SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN ... 148

A. Simpulan ... 148

B. Implikasi ... 149

C. Saran ... 150

DAFTAR PUSTAKA ... 152

(17)

commit to user

xvii

DAFTAR GAMBAR

(18)

commit to user

xviii

DAFTAR TABEL

1. Jadwal Penelitian ... 40 2. Jenis sarana dan prasarana di panti asuhan Aisyiyah Bekonang ... 80 3. Jenis fasilitas di panti asuhan Aisyiyah Bekonang ... 81 4. Mata pelajaran yang terdapat di SMA Muhammadiyah Bekonang dan

(19)

commit to user

xix

DAFTAR LAMPIRAN

1. Daftar anak di panti asuhan Aisyiyah Bekonang Sukoharjo ... 155

2. Desain Pengumpulan Data ... 158

3. Fieldnote ... 165

4. Surat Permohonan Izin Penyusunan Skripsi ... 195

5. Surat Keputusan Dekan FKIP tentang Izin Penyusunan Skripsi ... 196

6. Surat Permohonan Izin Observasi ... 197

7. Surat Permohonan Izin Penelitian ... 198

(20)
(21)
(22)

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pada zaman sekarang ini sedang dilanda kemerosotan moral anak. Banyak anak-anak yang berperilaku menyimpang, akibatnya kondisi moral/akhlak generasi muda rusak/hancur. Kerusakan moral ini ditandai dengan maraknya seks bebas di kalangan remaja (generasi muda), peredaran narkoba di kalangan remaja, tawuran pelajar, peredaran foto dan video porno pada kalangan pelajar, dan sebagainya. Fenomena tersebut mengisaratkan bahwa anak-anak sebagai generasi muda mengalami krisis moral. Seperti yang di kemukakan oleh Dr. Zubaedi M. Ag, M.Pd

menyatakan bahwa, “krisis moral dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu hilangnya karakter bangsa dan lingkungan sosial yang kurang kondusif” (2009: 2). Menurutnya

krisis moral disebabkan oleh hilangnya karakter bangsa yang sudah dibangun oleh nenek moyang kita berabad-abad yang lalu. Selain itu, lingkungan sosial juga

mempunyai andil sebagai sebab terjadinya krisis moral pada generasi muda. Sekarang ini, moral bangsa Indonesia sangat tidak mencerminkan karakter bangsa Indonesia

yang sudah berabad-abad dibangun oleh nenek moyang kita.

(23)

commit to user

sopan. Pada prakteknya, anak-anak tidak menerapkannya pada etika kehidupan sehari-hari. Mereka malah lebih senang menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa. Alasannya, berbicara menggunakan bahasa Indonesia lebih mudah daripada menggunakan bahasa Jawa.

Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara Indonesia telah menunjukkan adanya degradasi atau demoralisasi dalam pembentukan karakter dan kepribadian Pancasila. Degradasi nilai-nilai dan moral Pancasila sebagai inti dari pembentukan karakter Pancasila tersebut tidak saja terjadi di kalangan masyarakat awam tetapi juga sudah merambah ke kepribadian para profesional, tokoh masyarakat, para pelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin bangsa dan negara ini. Wajar adanya bila banyak penilaian masyarakat internasional yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara terkorup di dunia dan birokrasi pemerintahan di Indonesia adalah birokrasi pemerintahan paling buruk kedua di dunia.

Belum lagi perilaku para petinggi negara ini yang mencerminkan tidak

mempunyai karakter yang baik yang menyebabkan rusaknya moral bangsa menjadi akut. Dimulai dari kasus korupsi, asusila, kejahatan, kasus mafia hukum dan

(24)

commit to user

Masnur Muslich berpendapat “dampak globalisasi yang terjadi saat ini

membawa masyarakat Indonesia melupakan pendidikan karakter bangsa. Padahal, pendidikan karakter merupakan suatu pondasi bangsa yang sangat penting dan perlu ditanamkan sejak dini kepada anak-anak” (2011: 1). Oleh karena itu, dalam menghadapi era globalisasi ini pendidikan karakter harus selalu ditanamkan pada diri anak-anak sebagai generasi penerus bangsa. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Garin Nugroho bahwa pendidikan nasional belum mampu mencerahkan bangsa ini. Pendidikan kita kehilangan nilai-nilai kemanusiaan, padahal pendidikan seharusnya memberikan pencerahan nilai-nilai itu (Masnur Muslich, 2011: 2). Pendidikan di Indonesia seharusnya memberikan nilai-nilai karakter kepada peserta didik. Dengan memberikan nilai-nilai karakter kepada peserta didik melalui pendidikan akan mendorong pembangunan karakter bangsa Indonesia.

Untuk itu pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang No.20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Pada pasal 3 berbunyi “Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban

bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan

bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung

jawab”. Dalam Undang-Undang No.20 tahun 2003 tersebut menjelaskan bahwa Sistem Pendidikan Nasional menetapkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional yaitu mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa dan berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berahklak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.

(25)

commit to user

(2000) yang menyatakan bahwa keluarga hendaklah kembali menjadi school of love, sekolah untuk kasih sayang atau tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang (keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warrahmah). Sedangkan pendidikan karakter melalui sekolah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur dan sebagainya (Masnur Muslich, 2011: 52). Seperti yang telah di kemukakan diatas bahwa keluarga merupakan lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama bagi seorang anak. Orangtua pasti mengajarkan hal-hal yang mencerminkan nilai-nilai kebaikan kepada anaknya supaya anak bisa berperilaku sesuai dengan kaidah yang baik dan sopan.

Banyak anak yang mengalami nasib yang tidak sama seperti anak lain pada umumnya. Ada anak yang mempunyai orangtua dan keluarga yang lengkap sehingga keluarga tersebut dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Akan tetapi ada juga anak yang hanya memiliki satu orangtua saja, misalnya ayah atau ibu saja, dan bahkan ada anak yang tidak memiliki orangtua. Hal ini disebabkan karena salah satu atau kedua

orangtua mereka sudah meninggal dunia, sehingga fungsi-fungsi sebuah keluarga tidak dapat dijalankan. Maka anakpun menjadi kurang terawat dan mengalami lebih

banyak kendala dalam proses perkembangannya. Dengan demikian anak-anak yang mengalami disorganisasi dalam keluarganya tersebut membutuhkan penanganan yang berbasis keluarga, karena keluarga adalah penanggung jawab pertama bagi masa depan anak.

(26)

commit to user

miskin di Indonesia yang sebesar 37,5 juta jiwa. Dengan demikian, anak-anak yang tergolong anak terlantar dan yatim piatu membutuhkan penanganan yang khusus guna mengembangkan kemampuan dan kepribadiannya.

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 ayat 1 menyebutkan bahwa

“Fakir miskin dan anak terlantar di pelihara oleh negara”. Dari pernyataan tersebut

sudah jelas bahwa negara bertanggung jawab atas fakir miskin dan anak terlantar. Karena fakir miskin dan anak terlantar merupakan bagian dari negara dan harus mendapat perhatian yang lebih dari negara dan pemerintah. Fakir miskin dan anak terlantar merupakan masyarakat yang tidak mempunyai pekerjaan yang tetap dan selalu hidup serba kekurangan. Pemerintah harus menyediakan suatu wadah bagi fakir miskin dan anak terlantar supaya mereka bisa hidup lebih layak. Wadah penampungan bagi anak terlantar adalah di panti asuhan.

Pemerintah Indonesia juga telah mengeluarkan Undang-Undang Republik Indonesia No.23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Undang-undang ini menegaskan bahwa pertanggungjawaban orangtua, keluarga, masyarakat, pemerintah

dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindungi hak-hak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus berkelanjutan dan

terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial. Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan sedini mungkin yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18 tahun. Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.

(27)

commit to user

masyarakat dilaksanakan baik di dalam maupun di luar panti; (4) Pemerintah mengadakan pengarahan, bimbingan, bantuan, dan pengawasan terhadap usaha kesejahteraan anak yang dilakukan oleh masyarakat. Usaha kesejahteraan anak dilakukan pada anak yatim piatu, anak terlantar, dan anak yang tidak mampu. Berdasarkan isi undang-undang tersebut sudah jelas bahwa panti asuhan merupakan lembaga tempat usaha kesejahteraan anak yang harus diperhatikan oleh pemerintah, masyarakat dan negara.

Panti asuhan adalah lembaga yang berperan dalam perawatan dan pemeliharaan bagi anak-anak yatim piatu dan anak-anak terlantar. Dalam panti asuhan pengasuh merupakan pengganti orangtua dan keluarga bagi anak-anak asuh. Oleh karena itu pengasuh merupakan agen sosialisasi yang paling utama bagi anak-anak asuh. Panti asuhan bukan hanya berfungsi sebagai tempat penampungan bagi anak-anak yatim piatu dan anak terlantar, tetapi juga melakukan pengasuhan dalam mengupayakan terpenuhinya kebutuhan pendidikan dan perlindungan bagi mereka. Panti asuhan sebagai lembaga pengganti sebuah keluarga menjalankan fungsi-fungsi

sebagaimana mestinya yang dilakukan oleh keluarga. Salah satu fungsi yang dijalankan adalah memberikan pendidikan bagi para anak asuh. Kebanyakan panti

asuhan menggunakan jalur pendidikan formal yang anak-anak yang diasuhnya bersekolah di sekolah formal, dimana anak asuhnya bersekolah di sekolah yang dekat dengan asrama mereka.

(28)

commit to user

Keramahan, tenggang rasa, kesopanan, rendah hati, suka menolong, solidaritas sosial dan sebagainya yang merupakan jati diri bangsa seolah-olah hilang begitu saja. Keadaan ini telah menggugah kesadaran bersama terhadap perlunya memperkuat kembali dimensi moralitas bangsa.

Banyak orang beranggapan bahwa anak-anak yang tinggal di panti asuhan identik dengan anak-anak yang nakal, kurang memiliki sopan santun, tidak memiliki budi pekerti yang baik, dan lain sebagainya. Akan tetapi anggapan itu semua salah. Bukan karena anak-anak panti asuhan tidak mempunyai orangtua lantas menganggap mereka serba jelek. Harus diperhatikan di sini adalah bagaimana mengupayakan pengasuhan kepada mereka supaya bisa menjadi manusia yang baik, sopan, mempunyai moral dan karakter yang baik, berkepribadian baik, berakhlak mulia, dan berbudi pekerti luhur sebagai manusia yang bermartabat. Itu semua merupakan tanggung jawab pengasuh panti asuhan yang mencetak anak-anak yang berkepribadian baik. Anak membutuhkan pembinaan dan pengarahan sejak dini agar terhindar dari berbagai perilaku menyimpang supaya mempunyai kepribadian yang

baik.

Melihat latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini, peneliti tertarik

melakukan penelitian tentang bagaimana pembinaan karakter yang diberikan oleh panti asuhan Aisyiyah Mojolaban cabang Bekonang Kabupaten Sukoharjo. Oleh karena itu peneliti mengambil judul: “Eksistensi Panti Asuhan Aisyiyah Mojolaban Cabang Bekonang Kabupaten Sukoharjo Dalam Pembinaan

(29)

commit to user

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian permasalahan tersebut, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

Bagaimana sistem pembinaan karakter anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui sistem pembinaan karakter anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo.

2. Untuk mengetahui pola pengasuhan pada anak asuh di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo.

3. Untuk mengetahui sistem pendidikan anak di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis

a. Dapat digunakan sebagai bahan informasi khasanah penelitian sosial dalam rangka pembangunan Ilmu Pengetahuan Sosial pada umumnya dan Sosiologi

pada khususnya.

b. Hasil penelitian ini merupakan salah satu sumber metodologi pendidik berkarakter.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman bagi pihak-pihak yang bersangkutan di panti asuhan Aisyiyah Mojolaban, cabang Bekonang, Kabupaten Sukoharjo.

3. Manfaat Akademik

(30)

commit to user

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian yang Relevan

1. Kajian Teori

a. Kajian Teori Mengenai Pendidikan Karakter

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah sistem keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Hurlock (1974) dalam bukunya, Personality Development, secara tidak langsung mengungkapkan bahwa karakter terdapat pada kepribadian. Karakter mengimplikasikan sebuah standar moral dan melibatkan sebuah pertimbangan nilai. Karakter berkaitan dengan tingkah laku yang di atur oleh upaya dan

keinginan (Dharma Kesuma, Cepi Triatna, & Johar Permana, 2011: 24). Hati nurani, sebuah unsur esensial dari karakter, adalah sebuah pola kebiasaan

perlarangan yang mengontrol tingkah laku seseorang, membuatnya menjadi selaras dengan pola-pola kelompok yang di terima secara sosial.

Menurut Simon Philips dalam buku Refleksi Karakter Bangsa (2008) menyatakan bahwa karakter adalah kumpulan tata nilai yang menuju pada suatu sistem, yang melandasi pemikiran, sikap, dan perilaku yang ditampilkan. Sementara itu, Koesoema A (2007) menyatakan bahwa karakter sama dengan kepribadian (Masnur Muslich, 2011: 70). Kepribadian dianggap sebagai ciri atau karakteristik atau gaya atau sifat khas dari diri seseorang yang bersumber dari bentukan-bentukan yang diterima dari lingkungan, misalnya keluarga pada masa kecil dan juga bawaan seseorang sejak lahir.

(31)

commit to user

(Masnur Muslich, 2011: 70). Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.

Definisi karakter menurut Winnie (1991) yang juga dipahami oleh Ratna Megawangi menyatakan:

Istilah karakter di ambil dari bahasa Yunani yang berarti „to mark‟ (menandai). Istilah ini lebih fokus pada tindakan atau tingkah laku. Ada dua pengertian tentang karakter. Pertama, ia menunjukkan bagimana seseorang bertingkah laku. Apabila seseorang berperilaku tidak jujur, kejam, atau rakus, tentulah orang tersebut memanifestasikan perilaku buruk. Sebaliknya, apabila seseorang berperilaku jujur, suka menolong, tentulah orang tersebut memanifestasikan karakter mulia. Kedua, istilah karakter erat kaitannya dengan personality (kepribadian) seseorang (Masnur Muslich, 2011: 71)

Seseorang baru bisa di sebut „orang berkarakter‟ (a person of character) apabila tingkah lakunya sesuai kaidah moral.

Dari berbagai pendapat di atas dapat di simpulkan bahwa karakter itu berkaitan dengan kekuatan moral, berkonotasi „positif‟, bukan netral. Jadi, „orang berkarakter‟ adalah orang yang mempunyai kualitas moral (tertentu) positif. Dengan demikian, pendidikan adalah membangun karakter, yang secara implisit mengandung arti membangun sifat atau pola perilaku yang di dasari atau berkaitan dengan dimensi moral yang positif atau yang baik, bukan yang negatif atau yang buruk. Hal ini didukung oleh Peterson dan Seligman yang mengaitkan secara langsung „character strength‟ dengan kebajikan. Character strength dipandang sebagai unsur-unsur psikologis yang

(32)

commit to user

Secara psikologi tujuan pendidikan adalah pembentukan karakter yang terwujud dalam kesatuan esensial si subyek dengan perilaku dan sikap hidup yang dimilikinya (Tim Pengembang Ilmu Pendidikan, 2007). Bagi Foerster, karakter merupakan sesuatu yang mengkualifikasi seorang pribadi. Karakter menjadi identitas yang mengatasi pengalaman kontingen yang selalu berubah. Dari kematangan karakter inilah, kualitas seorang pribadi diukur. Pencetus pendidikan karakter yang menekankan dimensi etis-spiritual dalam proses pembentukan pribadi ialah pedagog Jerman F.W. Foerster.

Pendidikan karakter, menurut Ratna Megawangi (2004) adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya (Dharma

Kesuma, Cepi Triatna & Johar Permana, 2011: 5). Pendidikan karakter diharapkan bisa membantu anak-anak dalam mengambil keputusan serta dapat

mempertanggungjawabkan setiap keputusan yang telah diambilnya.

Pendidikan karakter mempunyai makna lebih tinggi dari pendidikan moral, karena bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga siswa didik menjadi faham tentang mana yang baik dan salah, mampu merasakan nilai yang baik dan mau melakukannya. Seperti kata Aristotle, karakter itu erat kaitannya dengan “habit” atau kebiasaan yang terus-menerus dipraktekan dan dilakukan.

(33)

commit to user

Tiga komponen yang baik (components of good character), yaitu moral knowing atau pengetahuan tentang moral, moral feeling atau perasaan tentang moral, dan moral action atau perbuatan moral. Moral knowing merupakan hal yang penting untuk diajarkan. Moral feeling adalah aspek yang lain yang harus ditanamkan kepada anak yang merupakan sumber energi dari diri manusia untuk bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip moral. Moral action adalah bagaimana membuat pengetahuan moral dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata (Masnur Muslich, 2011: 133-134)

Menurut Lickona, pendidikan karakter harus melibatkan ketiga aspek tersebut. Tanpa ketiga aspek tersebut maka pendidikan karakter tidak akan berjalan dengan efektif, dan pelaksanaannya pun harus dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan.

Dalam pendidikan karakter juga melibatkan pendidik karakter dan peserta didik. Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendidikan karakter adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh pendidik karakter, yang mampu mempengaruhi karakter peserta didik. Pendidik karakter membantu membentuk watak peserta didik. Hal ini mencakup keteladanan bagaimana perilaku pendidik karakter, bertoleransi, berbicara, dan lain sebagainya. Pendidik karakter hendaknya mempunyai karakter dasar seperti tanggung jawab, jujur, hormat dan santun, kasih sayang, peduli, kerjasama, percaya diri,

kreatif, kerja keras, pantang menyerah, keadilan dan kepemimpinan, baik dan rendah hati, toleransi, cinta damai, dan cinta persatuan. Pendidik karakter

harus mempunyai nilai karakter tersebut supaya bisa di tiru oleh perserta didik, dan peserta didik dapat mengamalkan nilai karakter tersebut.

(34)

commit to user

peserta didik di harapkan mempunyai pemahaman tentang mana nilai-nilai kebaikan dan mana nilai-nilai keburukan, mampu merasakan nilai-nilai yang baik dan mau melakukannya.

1) Karakteristik Karakter

Karakter berasal dari nilai tentang sesuatu. Suatu nilai yang diwujudkan dalam bentuk perilaku anak itulah yang disebut karakter. Jadi suatu karakter dengan nilai dari perilaku tersebut. Karenanya tidak ada perilaku anak yang tidak bebas dari nilai. Dalam referensi Islam, nilai yang sangat terkenal dan melekat yang mencerminkan akhlak perilaku yang luar biasa tercermin pada Nabi Muhammad SAW, yaitu (1) sidik, (2) amanah, (3) fatonah, (4) tablig. Tentu di pahami bahwa empat nilai ini merupakan esensi, bukan seluruhnya. Karena Nabi Muhammad SAW juga

terkenal dengan karakter kesabarannya, ketangguhannya, dan berbagai karakter lain.

Sidik yang berarti benar, mencerminkan Rasulullah berkomitmen pada kebenaran, selalu berkata dan berbuat benar dan berjuang untuk menegakkan kebenaran. Amanah yang berarti jujur atau terpercaya, mencerminkan bahwa apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan. Rasulullah dapat dipercaya oleh siapa pun, baik oleh kaum muslimin maupun nonmuslimin. Fatonah yang berarti cerdas/pandai, arif, luas wawasan, terampil, dan profesional. Artinya, perilaku Rasulullah dapat dipertanggungjawabkan kehandalannya dalam memecahkan masalah. Tablig yang bermakna komunikatif mencerminkan bahwa siapa pun yang menjadi lawan bicara Rasulullah, maka orang tersebut akan mudah memahami apa yang dibicarakan/dimaksudkan oleh Rasulullah.

(35)

commit to user

Muhammad Jibriel Abdul Rahman (2005) dalam bukunya yang berjudul Karakteristik Lelaki Shalih mengemukakan sejumlah karakter lelaki dan

perempuan yang sholeh dan sholehah yang digambarkan sebagai makhluk yang bersih jiwanya, lurus akidahnya, dan benar amalnya. Karakter sholeh dan sholehah menurut Abu Muhammad yaitu; (1) Ikhlas dalam beramal, (2) Taat kepada Allah dan Rasul-Nya, (3) Sabar menghadapi ujian Allah, (4) Negeri akhirat tujuan utamanya, (5) Sangat takut kepada Allah dan ancaman-Nya, (6) Bertobat dan mohon ampun atas dosa-dosanya, (7) Sholat malam menjadi kebiasaannya, (8) Tawakal kepada Allah, (9) Senantiasa gemar berinfak, (10) Cinta kasih dan penuh pengertian terhadap keluarga (Dharma Kesuma, Cepi Triatna, & Johar Permana, 2011: 13-14). Panti asuhan harus menanamkan karakter sholeh dan

sholehah kepada anak-anak asuhnya, supaya mempunyai kepribadian yang baik serta lurus akidahnya.

Anak-anak sebagai generasi penerus bangsa harus diajarkan tentang nilai-nilai yang harus di milikinya guna memperkuat pembangunan karakter bangsa ini. Terutama anak-anak yang tinggal di panti asuhan, mereka akan kesulitan untuk membentuk kepribadiannya. Nilai-nilai yang harus di miliki oleh anak-anak panti asuhan antara lain adalah:

(a) Jujur

(36)

commit to user

Dalam konteks pembinaan karakter di panti asuhan, kejujuran menjadi amat penting untuk menjadi karakter anak-anak Indonesia saat ini. Karakter ini dapat dilihat secara langsung dalam kehidupan sehari-hari di asrama panti, misalnya sudah melaksanakan sholat 5 waktu atau belum. Apabila ada anak yang belum melaksanakan sholat 5 waktu, tetapi dia berbohong dan berkata sudah melaksanakannya. Perbuatan itu merupakan perbuatan yang mencerminkan anak tidak berkata jujur kepada diri sendiri, teman, dan ibu asrama panti.

Orang yang memiliki karakter jujur dicirikan oleh perilaku berikut: (1) Jika bertekad untuk melakukan sesuatu, tekadnya adalah

kebenaran.

(2) Jika berkata tidak berbohong.

(3) Jika adanya kesamaan antara yang dikatakan hatinya dengan apa yang dilakukannya.

Karakter jujur merupakan salah satu karakter pokok untuk menjadikan seseorang cinta kebenaran, apapun resiko yang akan di terima dirinya dengan kebenaran yang ia lakukan.

(b)Kerja Keras

(37)

commit to user (c) Ikhlas

Ikhlas dalam bahasa Arab memiliki arti “murni”, “suci”, “tidak bercampur”, “bebas” atau “pengabdian yang tulus”. Dalam kamus Bahasa Indonesia, ikhlas memiliki arti tulus hati. Sedangkan menurut Islam adalah setiap kegiatan yang kita kerjakan semata-mata hanya karena mengharapkan ridho Allah. Ciri-ciri ikhlas: (1) terjaga dari segala sesuatu yang diharamkan oleh Allah SWT, baik sedang bersama dengan manusia atau sendiri, (2) senantiasa beramal di jalan Allah SWT, baik dalam keadaan sendiri atau bersama orang lain, baik ada pujian ataupun celaan, (3) Selalu menerima apa adanya yang diberikan oleh Allah SWT dan selalu bersyukur atas nikmat yang diberikan oleh Allah SWT, (4) mudah memaafkan kesalahan orang

lain.

2) Budi Pekerti, Nilai, Norma, dan Moral

(38)

commit to user

Dalam hal ini, secara umum disepakati bahwa sesuatu yang berkenaan dengan budi pekerti atau perilaku yang baik secara konseptual berkaitan dengan etika. Manusia menganggap sesuatu bernilai karena ia merasa memerlukannya dan menghargainya. Dengan akal dan budinya manusia menilai dunia dan alam sekitarnya untuk memperoleh kepuasan diri baik dalam arti memperoleh apa yang diperlukannya, apa yang menguntungkannya, atau apa yang menimbulkan kepuasan batinnya. Manusia sebagai subyek budaya maka dengan cipta, rasa, karsa, iman, dan karyanya menghasilkan di dalam masyarakat bentuk-bentuk budaya yang membuktikan keberadaan manusia dalam kebersamaan dan semua bentuk budaya itu mengandung nilai.

Masnur Muslich berpendapat, “norma adalah kaidah, ketentuan, aturan, kriteria, atau syarat yang mengandung nilai tertentu yang harus di patuhi oleh warga masyarakat di dalam berbuat, bertingkah laku agar

masyarakat tertib, teratur, dan aman” (2011: 74). Norma, di samping sebagai pedoman atau panduan berbuat atau bertingkah laku juga di pakai sebagai tolok ukur di dalam mengevaluasi perbuatan seseorang. Norma selalu berpasangan dengan sanksi, yaitu suatu keadaan yang dikenakan kepada si pelanggar norma. Si pelanggar norma harus menjalani sanksi sebagai akibat atau tanggung jawabnya atas perbuatan itu. Adapun wujud, bentuk, atau jenis sanksi itu sesuai, selaras dengan wujud, bentuk, dan jenis normanya. Norma dapat di temukan dalam kehidupan manusia dan dapat di golongkan menjadi (1) norma agama atau religi, (2) norma moral atau kesusilaan, (3) norma adat istiadat/sopan santun atau norma kesopanan, dan (4) norma hukum.

(39)

commit to user

manner mores atau manners, morals (2011: 74). Dalam Bahasa Indonesia

kata moral berarti akhlak atau kesusilaan yang mengandung makna tata tertib batin atau tata tertib hati nurani yang menjadi pembimbing tingkah laku batin dalam hidup. Kata moral ini dalam bahasa Yunani sama dengan ethos yang menjadi etika. Secara etimologis, etika adalah ajaran tentang

baik-buruk, yang diterima umum tentang sikap, perbuatan, kewajiban, dan sebagainya.

b. Pendidikan Budi Pekerti pada Panti Asuhan

Panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga bagi anak-anak asuh. Masalah degradasi moral dalam keluarga di panti asuhan perlu segera mendapat penanganan khusus. Salah satu upaya penanganan khusus tersebut

adalah melalui pendidikan budi pekerti. Karena pendidikan budi pekerti merupakan pendidikan nilai, pihak pertama yang paling cocok memberikan

budi pekerti adalah keluarga, khususnya dalam penelitian ini adalah panti asuhan.

(40)

commit to user

Seperti diketahui bahwa pendidikan dapat dikelompokkan menjadi tiga jenis, yaitu pendidikan informal, pendidikan formal, dan pendidikan nonformal. Pendidikan formal biasanya sangat terbatas dalam memberikan pendidikan nilai. Hal ini disebabkan oleh masalah formalitas hubungan antara guru dan siswa. Pendidikan nonformal dalam perkembangannya saat ini tampaknya juga sangat sulit memberikan perhatian besar pada pendidikan nilai. Hal ini berhubungan dengan proses transformasi budaya yang sedang terjadi dalam masyarakat kita. Pihak yang masih dapat diharapkan adalah pendidikan informal yang terjadi dalam keluarga. Panti asuhan sebagai lembaga pengganti keluarga bagi anak terlantar dan yatim piatu menanamkan nilai-nilai sebagai berikut:

Pertama, nilai kerukunan. Kerukunan merupakan salah satu

perwujudan budi pekerti. Orang yang memiliki budi pekerti luhur tentu lebih menghargai kerukunan dan kebersamaan daripada perpecahan. Jika dalam

keluarga panti asuhan sudah ditanamkan nilai-nilai kerukunan itu dan anak dibiasakan menyelesaikan masalah dengan musyawarah maka dalam kehidupan di luar panti asuhan mereka juga akan terbiasa menyelesaikan masalah berdasarkan musyawarah.

Kedua, nilai ketaqwaan dan keimanan. Ketakwaan dan keimanan merupakan pengendali utama budi pekerti. Seseorang yang memiliki ketakwaan dan keimanan yang benar dan mendasar terlepas dari apa agamanya tentu akan mewujudkannya dalam perilaku dirinya. Dengan demikian sangat tidak mungkin jika seseorang memiliki kadar ketakwaan dan keimanan yang mendalam melalukan tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa dirinya itu memiliki budi pekerti yang sangat hina.

(41)

commit to user

anggota panti asuhan. Jika berhasil, tentu hal itu akan terbawa dalam pergaulannya.

Keempat, nilai kebiasaan sehat, yang dimaksud kebiasaan sehat disini adalah kebiasaan-kebiasaan hidup yang sehat dan mengarah pada pembangunan diri lebih baik dari sekarang. Penanaman, kebiasaan, pergaulan sehat ini tentu saja akan memberikan dasar yang kuat bagi anak dalam bergaul dengan lingkungan sekitarnya.

1) Peranan Panti Asuhan dalam Pendidikan Karakter Anak

Megawangi (2003) menjelaskan karakter, seperti juga kualitas diri yang lainnya, tidak berkembang dengan sendirinya. Perkembangan karakter pada setiap individu dipengaruhi oleh faktor bawaan (nature) dan faktor sosialisasi dan lingkungan (nurture) (Masnur Muslich, 2011: 94).

Menurut para ahli psikologi perkembangan setiap manusia memiliki potensi bawaan yang akan termanifestasi setelah dia dilahirkan, termasuk

potensi yang terkait dengan karakter atau nilai-nilai kebajikan.

Terkait dengan itu, Confusius (seorang filsuf terkenal Cina) menyatakan bahwa manusia pada dasarnya memiliki potensi mencintai kebajikan, namun bila potensi ini tidak diikuti dengan pendidikan dan sosialisasi setelah manusia dilahirkan, maka manusia dapat berubah menjadi binatang, bahkan lebih buruk lagi (Masnur Muslich, 2011: 95). Oleh karena itu sosialisasi dan pendidikan anak yang berkaitan dengan nilai-nilai kebajikan, baik di keluarga, sekolah, maupun lingkungan yang lebih luas, sangat penting dalam pembentukan karakter seorang anak.

Menurut Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Erikson, yang terkenal dengan teori Psychososial Development-nya, juga menyatakan hal yang sama. Dalam

(42)

commit to user

perlahan tapi pasti. Dengan kata lain, bila dasar-dasar kebajikan gagal ditanamkan pada anak di usia dini, maka dia akan menjadi orang dewasa yang tidak memiliki nilai-nilai kebajikan.

Dari paparan ini dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan kualitas moral dan mental seseorang yang pembentukannya dipengaruhi oleh faktor bawaan (fitrah, nature) dan lingkungan (sosialisasi atau pendidikan, nurture). Potensi karakter yang baik dimiliki manusia sebelum dilahirkan, tetapi potensi tersebut harus terus-menerus dibina melalui sosialisasi dan pendidikan sejak usia dini. Tentu saja kebiasaan baik atau buruk pada diri seseorang, yang mengindikasikan kualitas karakter ini, tidak terjadi dengan sendirinya. Telah disebutkan bahwa selain faktor nature, faktor nurture juga berpengaruh. Dengan kata lain,

proses sosialisasi atau pendidikan yang dilakukan oleh keluarga, sekolah, lingkungan yang lebih luas memegang peranan penting, bahkan mungkin

lebih penting dalam pembentukan karakter seseorang.

2) Sosialisasi Pengembangan Kepribadian

Dalam pengertiannya, sosialisasi berhubungan dengan kepribadian. Berbicara mengenai hal ini, menggunakan istilah kepribadian untuk menjelaskan susunan khas dari sikap, karakteristik, dan perilaku. Horton memberikan pandangan bahwa seseorang belajar interaksi sosial melalui interaksi dengan orang lain. Kebanyakan orang berpandangan bahwa, kita menilai orang secara pengamatan tetapi juga lewat kesan-kesan. Cooley menggunakan kata looking-glass self yang menekankan bahwa kita melihat orang lain dengan berkaca pada diri kita. Cooley mengemukakan proses pengembangan identitas diri atau konsep diri memiliki tiga penekanan yaitu:

(43)

commit to user

pintar, malu, dan kuat). Akhirnya kita mengembangkan beberapa bagian tentang penilaian orang lain terhadap diri kita seperti rasa hormat, sebagai hasil atas kesan terhadap kita (Richard T. Shaefer, 2005: 82).

Pandangan Cooley “looking glass self” adalah sebuah hasil dari imajinasi seseorang atas pandangan terhadap orang lain. Sebagai hasilnya, kita dapat mengembangkan identitas diri berdasarkan penilaian orang lain yang yang tidak benar atas diri kita. Kemudian identitas diri merupakan

subjek untuk mengubah pandangan di atas.

Goerge Herbert Mead melanjutkan eksplorasi Cooley dari teori interaksi. Mead berpendapat bahwa sosialisasi yang di lalui seseorang dapat di bedakan melalui tahap-tahap, diantaranya: preparatory stages, play stage, dan game stage.

(a) Tahap Persiapan (Preparatory stage)

Selama tahap preparatory stage, anak selalu meniru perilaku orang yang berada di sekitarnya, terutama anggota keluarganya dengan siapa mereka terus-menerus berinteraksi. Lama kelamaan anak akan berkembang menjadi dewasa, anak menjadi pintar menggunakan simbol untuk berkomunikasi dengan orang lain. Simbol dapat terdiri dari gerak tubuh, isyarat, benda, dan kata-kata yang digunakan untuk berkomunikasi. Seperti berbicara dengan menggunakan bahasa, mengubah simbol dari kebudayaan satu ke kebudayaan lain, dan dari satu sub kebudayaan ke sub kebudayaan yang lain.

(b)Tahap Meniru (The Play Stage)

Mead diantara satu hubungan analisa dari simbol untuk sosialisasi. Sebagai anak mengembangkan keterampilan berkomunikasi dengan

(44)

commit to user

mencatat peranan merupakan aspek penting dari tahap play stage. Peranan merupakan proses dari perumpamaan mental dari perspektif yang lain.

(c) Tahap Siap Bertindak (Game Stage)

Tahap ketiga adalah game stage, anak dari usia 8 atau 9 tahun sampai dewasa memainkan peran tapi mulai untuk mempertimbangkan beberapa tugas-tugas dan hubungannya secara bersama. Pada titik perkembangan ini, anak tidak hanya memegang kedudukan mereka sendiri tetapi juga orang lain disekitarnya. Kemampuannya menempatkan diri pada posisi orang lain pun meningkat sehingga memungkinkan adanya kemampuan bermain secara bersama-sama. Dia mulai menyadari adanya tuntutan untuk membela keluarga dan

bekerja sama dengan teman-temannya. Pada tahap ini lawan berinteraksi semakin banyak dan hubungannya semakin kompleks.

Individu mulai berhubungan dengan teman-teman sebaya di luar rumah. Peraturan-peraturan yang berlaku di luar keluarganya secara bertahap juga mulai dipahami. Bersamaan dengan itu, anak mulai menyadari bahwa ada norma tertentu yang berlaku di luar keluarganya.

Menurut pendapat Mead, diri mulai mempunyai hak-hak yang sama dalam kedudukannya di dunia ini. Anak memfokuskan pada diri mereka sendiri pada segala sesuatu di sekitarnya dan menemukan kesulitan untuk mempertimbangkan pandangan orang lain.

(45)

commit to user

teater yang di sebut dengan dramaturgi. Menurut pandangannya, perilaku orang mirip seperti drama.

Dalam perkembangan teori kognitif, Piaget mengidentifikasikan empat tahap dalam perkembangan proses pikiran anak-anak sebagai berikut:

Pertama, tahap sensorimotor, anak kecil menggunakan pikirannya untuk membuat penemuan. Kedua, tahap preoperational, anak mulai menggunakan kata-kata dan simbol untuk membedakan benda dan pikiran/gagasan. Ketiga, tahap concrete operational, pada tahap ini lebih lanjut anak menggunakan pikiran dan logikanya. Terakhir adalah tahap formal operational, anak muda menjadi cakap dan mampu mengabstraksikan pikiran mereka, dan dapat menyimpulkan dengan pikiran dan menilai dalam menggunakan logikanya (Richard T. Shaefer, 2005: 85)

Piaget menjelaskan bahwa perkembangan moral menjadi bagian penting dalam sosialisasi anak mengembangkan kemampuan untuk berpikir lebih ringkas. Menurut Jean Piaget, interaksi sosial adalah kunci utama dalam perkembangan. Sebagai anak yang tumbuh menjadi dewasa, mereka meningkatkan perhatiannya bagaimana orang lain berpikir dan mengapa mereka kebiasaan dalam berperilaku. Dalam mengembangkan kepribadian, setiap orang membutuhkan peluang untuk berinteraksi

dengan orang lain.

Abu Ahmadi menjelaskan salah satu masalah yang menjadi pusat

(46)

commit to user

dari kebiasan yang ada di masyarakat atau lingkungannya. Semua sifat dan kecakapan yang dipelajari dalam proses sosialisasi itu disusun dan dikembangkannya sebagai suatu kesatuan sistem dalam diri anak tersebut. Tiap-tiap pilar pendidikan terdapat proses sosialisasi yang berbeda-beda satu sama lain.

(a) Keluarga dan Sosialisasi

Keluarga terdiri dari ayah, ibu, serta anak-anak yang berkumpul dalam satu rumah tangga. Abu Ahmadi menyatakan bahwa “keluarga ialah kelompok sosial yang terdiri dari dua orang atau lebih yang mempunyai ikatan darah, perkawinan, atau adopsi” (1991: 166). Keluarga merupakan tempat sosialisasi yang utama dan pertama karena keluarga merupakan kelompok kecil yang anggotanya

berinteraksi face to face secara tetap. Keadaan seperti ini menyebabkan perkembangan anak dapat diikuti dengan seksama oleh

orang tuanya dan penyesuaian secara pribadi anak dalam hubungan sosial keluarga lebih mudah. Orang tua pun mempunyai motivasi yang kuat untuk mendidik anak karena anak merupakan buah cinta kasih hubungan suami-istri.

(47)

commit to user

yang ada di dalam keluarga. Selain itu, keluarga juga berperan dalam pembentukan kepribadian anak.

(b)Sekolah dan Sosialisasi

Sekolah memiliki peranan tidak kalah penting dalam proses sosialisai anak karena sekolah memiliki fungsi memberantas kebodohan serta memberikan pendidikan. Gillin dan Gillin berpendapat bahwa fungsi pendidikan sekolah ialah penyesuaian diri anak dan stabilitasi masyarakat. David Popenoe mengemukakan pendapat yang lebih terperinci mengenai fungsi pendidikan sekolah. Menurutnya ada empat fungsi pendidikan antara lain transmisi kebudayaan masyarakat, menolong individu memilih dan melakukan peranan sosialnnya, menjamin integrasi sosial, dan sebagai sumber inovasi sosial.

(c) Masyarakat dan Sosialisasi

Sosialisasi di keluarga dan di sekolah sudah dilalui anak, kemudian

anak akan memasuki proses sosialisasi di masyarakat. Dalam masyarakat anak akan mempelajari kebudayaan-kebudayaan yang berkembang di dalam masyarakat. Proses sosialisasi di masyarakat mengalami perubahan, dahulu anak akan belajar norma-norma yang baik di lakukan. Namun seiring dengan perkembangan zaman perubahan pun terjadi. Lingkungan sekarang sudah tidak begitu kondusif sebagai agen sosialisasi anak karena lingkungan justru mengajarkan hal-hal buruk pada anak.

3) Pola Asuh Pendidikan Karakter

(48)

commit to user

tergantung pada jenis pola asuh yang diterapkan pengasuh kepada anak. Pola asuh dapat didefinisikan sebagai pola interaksi antara anak dengan pengasuh yang berperan sebagai orangtua yang meliputi pemenuhan kebutuhan fisik (seperti makan, minum, dan lain-lain) dan pemenuhan psikologis (seperti rasa aman, kasih sayang, dan lain-lain), serta sosialisasi norma-norma yang berlaku di masyarakat agar anak dapat hidup selaras dengan lingkungannya. Dengan kata lain, pola asuh juga meliputi pola interaksi pengasuh sebagai orangtua dengan anak asuh dalam rangka pendidikan karakter anak.

Hurlock, juga Hardy & Heyes mengemukakan jenis-jenis pola asuh, yaitu sebagai berikut:

(1) Pola asuh otoriter, (2) Pola asuh demokratis, dan (3) Pola asuh permisif. Pola asuh otoriter mempunyai ciri orangtua membuat semua keputusan, anak harus tunduk, patuh, dan tidak boleh bertanya. Pola asuh demokratis mempunyai ciri orangtua mendorong anak untuk membicarakan apa yang ia inginkan. Pola asuh permisif mempunyai ciri orangtua memberikan kebebasan penuh kepada anak untuk berbuat (Masnur Muslich, 2011: 100).

Melalui pola asuh yang dilakukan, anak belajar tentang banyak hal, termasuk karakter. Tentu saja pola asuh otoriter (yang cenderung

menuntut anak untuk patuh terhadap segala keputusan orangtua) dan pola asuh permisif (yang cenderung memberikan kebebasan penuh kepada anak

untuk berbuat) sangat berbeda dampaknya dengan pola asuh demokratis (yang cenderung mendorong anak untuk terbuka, namun bertanggung jawab dan mandiri) terhadap hasil pendidikan karakter anak.

4) Tujuan Pendidikan Karakter

(49)

commit to user

abad kita, seharusnya membuat kita perlu mempertimbangkan kembali bagaimana lembaga pendidikan mampu menyumbangkan perannya bagi perbaikan kultur. Sebuah kultur yang membuat kita semakin manusiawi.

Manusia secara natural memang memiliki potensi di dalam dirinya untuk bertumbuh dan berkembang mengatasi keterbatasan dirinya dan keterbatasan budayanya. Di lain pihak manusia juga tidak dapat abai terhadap lingkungan sekitar dirinya. Tujuan pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka gerak dinamis dialektis, berupa tanggapan individu atas impuls natural (fisik dan psikis), sosial, kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempa diri menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada di dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Semakin menjadi

manusiawi berarti ia juga semakin menjadi makhluk yang mampu berelasi secara sehat dengan lingkungan di luar dirinya tanpa kehilangan otonomi

dan kebebasannya sehingga ia menjadi manusia yang bertanggung jawab. Menurut Doni Koesoema dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektis proses pembentukan individu, para insan pendidik, seperti, guru, orangtua, staf sekolah, masyarakat dan lain-lain, diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan bagi anak didik dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan berupa, kenyamanan, keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius) (2003).

(50)

commit to user

pendidikan karakter merupakan satu keutuhan yang tidak dapat dipisahkan. Penanaman nilai dalam diri siswa, dan pembaruan tata kehidupan bersama yang lebih menghargai kebebasan individu merupakan dua wajah pendidikan karakter dalam lembaga pendidikan. T. Ramli mengemukakan bahwa pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral dan pendidikan akhlak (2003). Tujuannya adalah membentuk pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam

konteks pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia

sendiri, dalam rangka membina kepribadian generasi muda.

c. Karakter Berhubungan dengan Kepribadian

(51)

commit to user

menentukan seseorang akan menjadi manusia yang mempunyai karakter yang baik atau tidak baik. Seseorang yang mempunyai karakter yang baik pasti mempunyai kepribadian yang baik pula, sebaliknya seseorang yang mempunyai karakter yang buruk tentu mempunyai kepribadian yang buruk pula.

1) Perubahan Karakter

Ada banyak faktor yang memperngaruhi perkembangan kepribadian atau karakter manusia. Secara umum, faktor-faktor tersebut di bagi menjadi dua bagian besar. Faktor yang pertama adalah faktor internal atau bawaan, faktor kedua adalah faktor eksternal atau lingkungan. Faktor internal meliputi faktor keturunan. Faktor bawaan atau keturunan merujuk pada faktor genetis seorang individu. Tinggi fisik, bentuk wajah, gender,

temperamen, adalah karakteristik yang pada umumnya dianggap bawaan sejak lahir yang diturunkan dari gen temperamen dari orang tuanya atau

dengan kata lain secara biologis, psikologis, dan psikologis bawaan dari individu. Faktor keturunan memiliki peranan penting dalam menentukan kepribadian dan karakter seseorang. Dasar pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan temperamen pada anak-anak. Selain faktor keturunan, faktor diri sendiri sendiri juga dapat mempengaruhi perubahan karakter dan kepribadian pada seseorang. Seperti misalnya, tekanan emosional (frustasi yang berkepanjangan), dan identifikasi atau imitasi terhadap orang lain yang berkepribadian menyimpang.

(52)

commit to user

tersebut yang dapat mempengaruhi paling dominan terhadap kepribadian seseorang adalah pengaruh dari keluarga khususnya orangtuanya. Karena inilah faktor lingkungan pertama dan utama yang akan menentukan perkembangan kepribadian. Seorang individu yang dibesarkan dalam keluarga otoriter yang kuat, di mana cara mengungkapkan sikap dan perilaku ditentukan semata-mata oleh satu atau kedua orangtuanya akan berbeda dengan individu lainnya yang dibesarkan dengan penuh kebebasan.

Faktor pengaruh karakter atau kepribadian yang lain selain faktor-faktor tersebut diatas adalah faktor-faktor agama dan budaya. Dalam menerima budaya anak mengalami tekanan untuk mengembangkan karakter dan kepribadian yang sesuai dengan standar yang ditentukan budayanya.

Agama juga berperan penting dalam pembentukan karakter seseorang. Karena agama dapat membimbing seseorang untuk berperilaku baik

dengan menaati kaidah dan aturan yang berlaku dalam agama tersebut.

d. Tinjauan Mengenai Panti Asuhan

Depsos RI mengemukakan pengertian panti asuhan yaitu:

Panti asuhan adalah suatu lembaga usaha kesejahteraan sosial yang mempunyai tanggung jawab untuk memberikan pelayanan kesejahteraan sosial kepada anak terlantar serta melaksanakan pelayanan pengganti atau perwalian anak dalam memenuhi kebutuhan fisik, mental, sosial pada anak asuh sehingga memperolah kesempatan yang luas yang diharapkan sebagai bagian dari generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan yang akan turut serta aktif dalam bidang pembangunan nasional (Depsos RI, 1986: 3).

Sedangkan Badan Pembinaan Koordinasi dan Pengawasan Kegiatan (BPKPK) memberi batasan mengenai Panti Asuhan, yaitu:

(53)

commit to user

Berdasarkan penjelasan diatas, panti asuhan berfungsi sebagai pengganti keluarga dan pimpinan panti asuhan sebagai pengganti orangtua, sehubungan dengan orangtua anak tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya dalam mendidik dan mengasuh anaknya. Dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa panti asuhan berfungsi sebagai lembaga alternatif keluarga yang berupaya mewujudkan kesejahteraan anak sehingga mereka dapat hidup di tengah masyarakat secara layak dan dapat berperan serta dalam pembangunan.

Menurut Departemen Sosial RI, pengasuhan anak melihat hal-hal berikut ini:

1. Pengasuhan anak ditujukan kepada anak yang orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anaknya secara wajar, baik fisik, mental, spiritual maupun sosial.

2. Pengasuhan anak tersebut dilakukan oleh lembaga yang mempunyai kewenangan untuk itu.

3. Jika lembaga tersebut berlandaskan agama, anak yang di asuh harus yang seagama dengan agama yang menjadi landasan lembaga yang bersangkutan.

4. Jika pengasuhan anak dilakukan oleh lembaga yang tidak berlandaskan agama, maka pelaksanaan pengasuhan anak harus memperhatikan agama yang di anut anak yang bersangkutan. 5. Pengasuhan anak oleh lembaga dapat dilakukan di dalam atau di

luar panti sosial.

6. Perseorangan yang ingin berpartisipasi dapat melalui lembaga-lembaga tersebut.

7. Pengasuhan anak dilaksanakan tanpa membedakan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin, etnik, budaya dan bahasa, status hukum anak, urutan kelahiran anak, dan kondisi fisik dan atau mental.

(54)

commit to user

Panti asuhan didirikan bertujuan untuk memberikan pelayanan kepada anak terlantar dengan cara membantu dan membimbing mereka ke arah perkembangan pribadi yang wajar serta kemampuan keterampilan kerja, sehingga mereka menjadi anggota masyarakat yang dapat hidup layak dan penuh tanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri, keluarga, maupun masyarakat. Pelaksanaan pembimbingan di panti asuhan berada dalam satu koordinasi seorang pemimpin. Pemimpin menentukan langkah-langkah yang harus di ambil dalam angka mencapai tujuan panti asuhan itu sendiri. Seorang pemimpin harus dapat memotivasi setiap anggota yang di pimpinnya agar memiliki jiwa kepemimpinan pula, sebab para anggota tersebut juga memimpin setiap anak asuh yang di bimbingnya. Seperti di ungkapkan Ki Hajar Dewantoro tentang ajaran-ajaran kepemimpinan, “Ing ngarso sung

tulodho, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” (Soerjono Soekanto,

2002: 289). Filosofi tersebut memiliki makna bahwa seorang pemimpin harus

dapat memberi teladan, membangun semangat dan memberi pengaruh pada para anggota yang di pimpinnya.

Pada umumnya di panti asuhan keteladanan berlaku bagi semua yang ada di panti tersebut, baik bagi pemimpin maupun setiap pengasuh. Keteladanan sangat di perlukan sebab mereka menjadi panutan bagi setiap anak asuh. Keteladanan pimpinan dan pengasuh panti asuhan di harapkan dapat memotivasi setiap anak asuh untuk selalu mengikuti sikap dan tindakan mereka. Karena pada dasarnya merekalah yang menjadi kunci penggerak bagi keberhasilan panti asuhan dalam menegakkan peraturan dan pelaksanaan program yang terdapat di panti asuhan.

(55)

commit to user

mental atau fisik maupun gangguan sosial yang bersifat ekstrinsik, yaitu karena pengaruh lingkungan di luar diri anak, seperti orangtua meninggal, perpecahan dalam keluarga, kemiskinan dan lain-lain sehingga menjadi terlantar.

Pada umumnya anak-anak yang tinggal di panti asuhan adalah: 1) Anak yatim, piatu, dan yatim piatu terlantar.

2) Anak terlantar dari keluarga yang mengalami perpecahan, sehingga tidak memungkinkan anak dapat berkembang secara wajar baik jasmani, rohani, maupun sosial.

a) Keluarga retak, sehingga tidak ada hubungan sosial yang harmonis. b) Salah satu orangtua atau kedua-duanya sakit kronis, terpidana dan

lain-lain.

3) Anak terlantar yang keluarganya dalam waktu relatif lama tidak mampu melaksanakan fungsi dan peranan sosialnya secara wajar. Adapun

penyebab keterlantaran pada anak antara lain:

a) Orangtua meninggal dan atau tidak ada sanak saudara yang merawatnya sehingga menjadi anak yatim piatu.

b) Orangtua tidak mampu atau sangat miskin sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan minimal anak-anaknya.

c) Orangtua tidak dapat atau tidak sanggup melaksanakan fungsinya dengan baik atau wajar dalam waktu yang relatif lama, misalnya menderita penyakit kronis.

2. Hasil Penelitian yang Relevan

a. Hasil Penelitian yang Relevan 1

Gambar

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir
Tabel 1. Jadwal Penelitian
Gambar 2. Model Analisis Interaktif
Gambar 3. Struktur Organisasi Panti Asuhan Aisyiyah commit to user
+6

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian yang telah dilakukan pada Panti Asuhan Yayasan Sayap Ibu Cabang Yogyakarta, khususnya di Panti Balita terlantar, mengenai pola pembinaan anak dalam

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui factor- faktor yang berpengaruh dalam pendidikan Islam di Panti Asuhan Yatim Putri ‘Aisyiyah Cabang

BENTUK GEOMETRI MELALUI PERMAINAN PUZZLE PADA ANAK KELOMPOK A TKIT AISYIYAH LABAN MOJOLABAN SUKOHARJO TAHUN AJARAN 2014/2015.. Skripsi, Fakultas Keguruan dan

Peran Pengasuh Panti Dalam Membentuk Karakter Religius Melalui Kegiatan Ibadah Di Panti Asuhan Anak Yatim Al-Ikhlas Kecamatan Rejotangan Kabupaten Tulungagung .... Faktor-faktor

Hasil yang diperoleh adalah dengan pembinaan yang dilakukan di Panti Asuhan Puteri „Aisyiyah kepada anak asuhnya dapat mengembangkan kemampuan yang merekamiliki

Usaha-usaha pembinaan akhlak anak asuh di panti asuhan yang diterapkan adalah dalam bentuk pembinaan melalui pendidikan shalat berjamaah, wirid pengajian, membaca al

Melalui program PELATIHAN INSTALASI PERANGKAT LUNAK DAN OPERATOR KOMPUTER UNTUK ANAK-ANAK PANTI ASUHAN AISYIYAH KOTA KUPANG, diharapkan dapat meningkatkan kreatifitas

Berdasarkan data tang telah dikumpulkan tentang profil kebahagiaan remaja panti asuhan Aisyiyah Cabang Ampang Padang dilihat dari sikap menerima yaitu pada kategori cukup bahagia